Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

Interpol Bantu Indonesia Kejar Kapal Hai Fa. Kenapa?

$
0
0

International Criminal Police Organization (Interpol) bakal membantu pemerintah Indonesia untuk menangkap Kapal Hai Fa, yang telah berlayar keluar Indonesia tanpa izin.

Ketua Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa mengatakan, saat ini KKP sudah menjalin kerja sama dengan Interpol)untuk menangani kasus Hai Fa. Kerja sama yang dilakukan, mencakup pemberian notice melalui Interpol untuk negara-negara lain yang menjadi jaringan kerja Interpol.

“Di Interpol, notice  itu ada berbagai warna. Dan, untuk kasus Hai Fa notice-nya masuk dalam kategori warna purple,” jelas pria yang akrab disapa Ota itu pada jumpa pers di kantor KKP, Senin (22/06/2015).

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah. Foto : Setkab.go.id

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah. Foto : Setkab.go.id

Dijalinnya kerja sama dengan Interpol tersebut, kata Ota, karena kapal Hai Fa saat ini sudah berada di luar wilayah teritorial Indonesia. Sehingga, harus dilakukan oleh pihak berwenang yang memiliki legalitas internasional.

Dalam kesempatan tersebut, Ota juga menjelaskan, Hai Fa menjadi perburuan internasional, karena kapal tersebut sudah melakukan pelanggaran berat dalam industri perikanan Indonesia. Pelanggaran tersebut adalah mengangkut dan mengedarkan hiu martil; pengadaan kepemilikan hiu martil; tidak ada pelaporan pengangkutan hiu martil.

Hai Fa juga mematikan AIS (Automatic Identification System), mengeluarkan ikan tanpa sertifikat surat kesehatan ikan; dan berlayar ke Tiongkok tanpa Surat Persetujuan Berlayar (SPB).

Pada kesempatan itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti berharap kasus Hai Fa bisa terus diperdalam hingga berhasil mengungkapnya lebih jelas. Kata dia, targetnya diharapkan bisa sampai ke pemiliknya di Tiongkok.

“Hai Fa itu berbuat IUU Fishing sudah lama. Kapal tersebut sudah lama ada sejak 1988 dan berganti nama hingga 4 kali dan ganti bendera hingga 6 kali. Kapal apa itu namanya?” tanya dia.

Sebelumnya, KKP menetapkan status kapal asal Tiongkok, Hai Fa, yang melakukan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia, sebagai kapal IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) List atau Illegal list yang diusulkan kepada organisasi perikanan internasional. Status tersebut diberikan, karena Hai Fa diketahui sudah melakukan pelanggaran lanjutan dengn berlayar kembali ke Tiongkok pada 1 Juni 2015 tanpa pemberitahuan ke Pemerintah Indonesia.

KKP juga sudah mengirimkan notifikasi kepada International Maritime Organization (IMO) dan memberitahukan tentang pelanggaran baru yang dilakukan Hai Fa. Kepada IMO, KKP merekomendasikan untuk mencabut segala izin (lisensi international) yang dimiliki kapal Hai Fa.

KKP juga meminta kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan untuk mencabut dan tidak memberlakukan segala bentuk dokumen milik kapal Hai Fa.

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah.


Interpol Bantu Indonesia Kejar Kapal Hai Fa. Kenapa? was first posted on June 23, 2015 at 4:21 am.

Suarakan Penyelamatan Yaki, Aktivis Buka Tenda Informasi di Pasar Airmadidi

$
0
0

Yayasan selamatkan yaki membuka stand informasi di pasar Airmadidi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Sabtu (20/6/2015). Lewat kegiatan ini, mereka berupaya berbagi informasi penyelamatan yaki (Macaca nigra) secara langsung kepada masyarakat.

Mereka juga mengajak anak-anak bermain sambil belajar, lewat kegiatan mewarnai dan membuat topeng Yaki. Selain itu masyarakat yang hadir juga memperoleh stiker gratis dan penjelasan tentang protokol jika melihat atau mendapatkan yaki  yang jadi piaraan ataupun dijual.

“Kami berharap, kesadaran masyarakat dapat semakin meningkat, dan mengetahu bahwa yaki merupakan satwa yang hanya ditemukan di Sulawesi Utara. Ia juga dilindungi UU No.5/1990 dan keberadaannya sudah sangat mengkhawatirkan. Jika tidak dilestarikan maka akan punah,” kata Yunita Siwi, Education Officer Yayasan Selamatkan Yaki.

Stand informasi dari Yayasan Selamatkan Yaki di pasar Airmadidi, Minahasa Utara, sebagai sarana informasi mengenai konservasi penyelamatan yaki (Macaca nigra). Foto " Yayasan Selamatkan Yaki

Stand informasi dari Yayasan Selamatkan Yaki di pasar Airmadidi, Minahasa Utara, sebagai sarana informasi mengenai konservasi penyelamatan yaki (Macaca nigra). Foto ” Yayasan Selamatkan Yaki

Program stand informasi  sudah memasuki tahun kedua. Kampanye tahun pertama diadakan di Langowan dan Tomohon yang menarik minat hingga 1600 pengunjung.

Dalam pembukaan stand informasi tahun ini, Yayasan Selamatkan Yaki mendapat dukungan dari sejumlah lembaga yang aktif melakukan kampanye pelestarian lingkungan di Sulut, seperti, Pendidikan Konservasi Tangkoko, KPA Tunas Hijau Airmadidi serta duta dari Yaki Youth Camp 2015.

Pasar Airmadidi dipilih sebagai lokasi kampanye karena menjadi pusat aktivitas perdagangan dan ekonomi dan dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat. Dengan pertimbangan ini, Yayasan Selamatkan Yaki coba mendekati masyarakat dengan membagikan informasi sebanyak-banyaknya kepada pengunjung pasar.

“Mengingat juga semakin dekatnya acara pengucapan syukur maka kami akan terus mensosialisasikan Kampanye Kebanggaan Yaki, sehingga ancaman terhadap yaki dari konsumsi diharapkan akan berkurang. Dalam beberapa bulan kedepan kami akan melanjutkan terus stand informasi  ini di pasar-pasar yang lain di Bitung dan Airmadidi serta akan kembali berkunjung ke Langowan.”

Anak-anak belajar sambil bermain dalam kampanye konservasi penyelamatan yaki di Pasar Airmadidi, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Anak-anak belajar sambil bermain dalam kampanye konservasi penyelamatan yaki di Pasar Airmadidi, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Airmadidi, selain Bitung, memang menjadi target kampanye Yayasan Selamatkan Yaki pada tahun 2015 ini. Mereka menilai, dua lokasi tadi memiliki kedekatan dengan Cagar Alam Tangkoko dan Duasudara, yang menjadi ‘rumah’ bagi sejumlah besar populasi yaki. Namun, disesalkan mereka, jumlah tersebut tidak seimbang dengan kecenderungan masyarakat untuk memburu yaki.

“Yaki terus terancam oleh perburuan, baik untuk dikonsumsi maupun dijadikan peliharaan di rumah. Selain itu, ada juga yang mengalihfungsikan hutan,” ujar Yunita.

Jaring Duta Yaki 2015

Stand informasi tadi merupakan salah satu bagian dari kampanye kebanggaan yaki 2015. Sebelumnya, yayasan Selamatkan Yaki telah melakukan sosialisasi di sejumlah sekolah di Bitung dan Airmadidi. Sosialisasi itu menitikberatkan pada ciri khusus yaki, penurunan populasi, ancaman terhadap populasi, serta pentingnya yaki bagi manusia.

Thirza Loffeld, Koordinator Pendidikan dan Advokasi Yayasan Selamatkan Yaki, mengatakan, salah satu upaya pelestarian satwa dilindungi  adalah melalui edukasi. Dengan menanamkan rasa bangga dan cinta alam, ia berharap, generasi muda mampu mengubah pola pikir dan bertindak lebih baik untuk pelestarian hewan khas Sulawesi, khususnya terhadap yaki.

Selain itu, pada pertengahan Mei 2015, mereka telah menjaring duta yaki yang terdiri dari siswa-siswi SMA di kota Bitung dan Airmadidi. Penjaringan dilakukan lewat Yaki Youth Camp 2015. Dalam perkemahan tersebut, duta yaki mendapat materi lebih dalam. Mereka diberi informasi tambahan seputar kebiasaan-kebiasaan hidup, karakteristik hutan tempat tinggal yaki, serta materi awareness raising.

Duta yaki juga mendapat kesempatan untuk melatih kemampuan public speaking agar semakin percaya diri ketika tampil di depan banyak orang. Tim Selamatkan Yaki menunjukkan betapa banyak cara peserta berkontribusi pada konservasi yaki, meskipun mereka masih bersekolah.

Thirza menilai, peserta YYC 2015 sudah paham faktor-faktor penyebab kepunahan yaki. Lebih penting lagi, mereka paham mengapa yaki, atau satwa liar lain, tidak boleh dibiarkan punah. “Mungkin mereka masih sulit menjelaskan ataupun menyampaikan pendapat mengenai dilema antara kepentingan manusia versus kepentingan alam, namun mereka masih punya waktu lebih mempelajari hal tersebut.”

Diskusi Peserta Yaki Youth Camp 2015 dengan tim selamatkan yaki. Foto Yayasan Selamatkan Yaki

Diskusi Peserta Yaki Youth Camp 2015 dengan tim selamatkan yaki. Foto Yayasan Selamatkan Yaki

“Saat ini, kepedulian dan semangat mereka sudah menjadi motivasi yang besar bagi tim kami, dan akan menjadi inspirasi yang lebih hebat lagi bagi siswa-siswa yang kelak akan melihat mereka tampil di depan kelas, serta bagi masyarakat umum yang melihat generasi muda yang peduli lingkungan.”

Thirza berharap, duta yaki bisa aktif memberikan informasi mengenai konservasi yaki pada siswa-siswi lain dan juga masyarakat umum. Caranya, dengan melakukan sosialisasi bersama di SD dan SMP bersama, juga dengan berpartisipasi dalam info stand pasar yayasan Selamatkan Yaki yang akan diselenggarakan secara berkala.

“Akan tetapi, mereka juga diharapkan berinisiatif mengadakan kegiatan secara mandiri dalam lingkungan pergaulan mereka, apakah itu di sekolah, rumah ibadah, organisasi siswa, ataupun klub olahraga yang mereka ikuti.”

“Selamatkan Yaki berperan meningkatkan kapasitas para duta yaki agar dapat memenuhi tugas tersebut dan menjadi supervisor bagi mereka. Dalam sosialisasi-sosialisasi selanjutnya ke sekolah-sekolah, Selamatkan Yaki tidak lagi menjadi pemateri. Seluruh materi akan disampaikan oleh para Duta Yaki,” tambah Thirza.


Suarakan Penyelamatan Yaki, Aktivis Buka Tenda Informasi di Pasar Airmadidi was first posted on June 23, 2015 at 6:55 am.

Ada Monster Plastik di Gianyar Bali. Ada Apakah?

$
0
0

Di tangan ahlinya, sampah bisa berubah menjadi barang-barang cantik dan mempesona. Begitu pula di tangan Putri dan Intan. Dua anak SD bersama 20 temannya dari Komunitas Pusat Belajar Slukat, Gianyar, Bali, membuat mainan dari barang-barang bekas.

Kain bekas dan kaos kaki, mereka sulap menjadi mainan imut dan warna-warni. Kaos kaki mereka tarik memanjang. Di dalamnya mereka isi dengan kain-kain. Pita kain warna-warni mereka ikatkan melingkar badan mainan. Lalu kancing mereka tambahkan menjadi mata mainan tersebut.

Wallaaaa! Jadilah, boneka pinguin dan ulat warna-warni.

Anak-anak antusias membuat mainan dari barang-barang bekas dalam acara Festival TrashStock di Gianyar, Bali pada Sabtu-Minggu (20-21/06/2015). Foto : Anton Muhajir

Anak-anak antusias membuat mainan dari barang-barang bekas dalam acara Festival TrashStock di Gianyar, Bali pada Sabtu-Minggu (20-21/06/2015). Foto : Anton Muhajir

Pembuatan boneka dari bahan bekas itu merupakan salah satu kegiatan di TrashStock Festival akhir pekan Sabtu dan Minggu (20-21/06/2015) kemarin. Kegiatan itu diadakan oleh Komunitas Slukat, Act Global, Yayasan Manik Bumi, Eco Bali, dan Komunitas Tunas Rungu Bali (Bali Deaf Community).

Di lokasi kegiatan, di Taman Baca Kesiman, Jalan Sedap Malam, Denpasar, para pengunjung membuat aneka barang kerajinan dari plastik. Di depan perpustakaan ada pameran lukisan. Di halaman depan ada stan komunitas-komunitas yang ikut memamerkan karya dan program masing-masing terkait lingkungan.

Komunitas Eco Bali, misalnya, memamerkan antara lain tas serba guna untuk menggantikan tas plastik. Ada pula berbagai gelas terbuat dari botol bekas. Komunitas Act Global mempromosikan program-program mereka di berbagai negara termasuk Indonesia. Adapun Soul Surf Project Bali memamerkan foto-foto tentang sampah di pantai-pantai Bali.

Festival TrashStock pertama ini bertema musik, artistik, dan plastik, mempertemukan berbagai komunitas peduli lingkungan di Bali, mulai dari organisasi lingkungan, seniman dan musisi.

“Kami ingin mengubah mindset anak muda tentang sampah plastik mulai dari apa yang anak muda sukai yaitu seni dan musik. Dengan begitu, mereka akan lebih teredukasi,” kata Putu Hendra Arimbawa, Ketua Panitia TrashStock.

Berbagai kerajinan dari barang bekas yang ditampilkan dalam Festival Trashstok di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Berbagai kerajinan dari barang bekas yang ditampilkan dalam Festival Trashstok di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Hendra menambahkan ide acara ini juga terinspirasi dari kepercayaan umat Hindu Bali yaitu Tri Hita Karana, konsep keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia (pawongan), dan alam (palemahan).

“Dari filosofi itu, kami arahkan pada hal lebih modern untuk mengingatkan anak-anak muda,” ujarnya.

Monster Plastik

Ide kampanye tentang plastik melalui seni dan musik itu disambut antusias oleh seniman dan musisi muda di Bali. Made Bayak, Gede Sayur, Nanoe Biroe, dan Gede Robi Supriyanto hanya sebagian dari seniman dan musisi yang turut serta.

Made Bayak, pelukis dan gitaris band Geeksmile, misalnya, membuat seni instalasi dari sampah daur ulang. Pelukis yang sering membuat karya-karya seni dari sampah ini juga yang mengajarkan anak-anak Komunitas Slukat di TrashStock untuk membuat mainan dari kain bekas.

Bayak, alumni Insitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, secara personal sudah membuat kampanye peduli lingkungan melalui seni lewat proyek Plastikologi. Melalui proyek ini, Bayak mengajarkan anak-anak untuk memanfaatkan sampah plastik.

Instalasi dari sampah daur ulang karya Made Bayak, yang ditampilkan dalam Festival TrashStock di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Instalasi dari sampah daur ulang karya Made Bayak, yang ditampilkan dalam Festival TrashStock di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Secara terus menerus, dia ke sekolah-sekolah maupun komunitas-komunitas anak di Bali. Dengan biaya sendiri, Bayak mengajak anak-anak melukis atau membuat seni instalasi dengan sampah.

“Kita harus mendekatkan sampah kepada anak-anak. Menjadikan mereka sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan, bukan hanya dibuang,” ujarnya.

Selama kegiatan TrashStock, Bayak memamerkan karya instalasi berupa patung ikan terbuat dari plastik. Dia seperti mengampanyekan bagaimana sampah-sampah plastik di daratan juga telah mencemari laut dan ikan-ikan maupun habitat lainnya.

Instalasi lain adalah monster plastik karya Gede Sayur, seniman dari Ubud. Sayur selama ini konsisten dengan kampanye Not For Sale dengan instalasi seni di desanya sebagai bentuk penolakan terhadap maraknya penjualan tanah.

Di TrashStock kali ini dia membawa pesan sendiri mengenai bahaya sampah plastik. Instalasi yang dia buat berupa mulut monster raksasa berukuran sekitar 1,5 x 1 meter. Mulut itu memamerkan gigi besar-besar dan runcing.

Instalasi mulut monster raksasa dari barang bekas berukuran sekitar 1,5 x 1 meter karya seniman Gede Sayur yang ditampilkan dalam Festival TrashStock di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Instalasi mulut monster raksasa dari barang bekas berukuran sekitar 1,5 x 1 meter karya seniman Gede Sayur yang ditampilkan dalam Festival TrashStock di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

“Awas sampah plastik siap menerkam dan memakanmu. Ingat waspada sampah plastik,” kata seniman alumni ISI Yogyakarta ini.

Konser Musik

Selain melalui seni lukis dan instalasi, kampanye sampah plastik TrashStock juga dilakukan melalui musik. Gede Robi, vokalis band Navicula yang juga aktivis lingkungan, turut hadir pada malam konser musik.

Robi mengampanyekan perlunya penanganan sampah karena ada rata-rata 11 ton per hari sampah padat di Bali. Ketika dipilah, 70 persen merupakan sampah organik dan 30 persen non organik. Sampah organik, menurutnya, bisa dikembalikan ke alam karena alam membutuhkannya.

“Apabila dijadikan kompos akan bermanfaat dan bukan menjadi sampah,” ujarnya.

Robi sendiri sudah membuktikan. Dia termasuk salah satu musisi di Bali yang aktif bertani secara organik maupun dengan metode urban farming. Dia juga terlibat dalam kampanye-kampanye tentang permakultur.

Menurut Robi, sampah organik selain mengurangi jumlah sampah juga bisa mendatangkan keuntungan. Berdasarkan hitung-hitunganya, kalau dikelola pemerintah Bali dengan harga pupuk organik Rp4.000 per kilo, dari 70 persen sampah ini pemerintah Bali bisa mendapatkan Rp4 triliun per tahun.

“Itu uang yang sangat besar apabila dikelola dengan benar. Karena ini bisa menjadi sumber daya asal sampah dipisah,” tambahnya.

Karenanya, dia mendukung kampanye terkait sampah dengan berbagai cara, seperti TrashStock ini.

 

 


Ada Monster Plastik di Gianyar Bali. Ada Apakah? was first posted on June 24, 2015 at 5:10 am.

Petani Berkurang, Masa Depan Pertanian Indonesia Terancam

$
0
0

Masa depan pertanian Indonesia terancam dengan semakin berkurangnya minat generasi muda untuk terjun di bidang pertanian, khususnya untuk pertanian pangan. Merosotnya luas lahan garapan kepemilikan pribadi dinilai sebagai salah satu penyebab keengganan ini.

“Ini terjadi dimana-mana, generasi muda semakin hilang dan berkurang yang mau bekerja di sektor pertanian. Ini menjadi tantangan pertanian kita ke depan,” ungkap Nurhady Sirimorok, peneliti dari Ininnawa, dalam sebuah diskusi di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Mei 2015 lalu.

Menurutnya, pembangunan desa akan sangat bergantung pada tenaga produktif, sehingga ketika tak ada lagi generasi muda yang mau mengerjakan lahan, maka kebutuhan pangan pasti akan disuplai dari luar.

Sawah-sawah petani menjadi salah satu keindahan desa bagi turis yang datang. Foto: Anton Muhajir

Sawah-sawah petani menjadi salah satu keindahan desa bagi turis yang datang. Foto: Anton Muhajir

Dengan semakin banyak orang yang meninggalkan desa maka kebutuhan pangan mereka akan diimpor dari luar. Apalagi jika lahan tersebut diubah menjadi lahan perkebunan untuk keperluan ekspor, seperti sawit dan lain-lain. Desa yang dulunya eksportir pangan akan berubah menjadi importir.

“Rendahnya keuntungan dari usaha tani, kurangnya lahan, dan tingginya harga tanah pertanian menjadi halangan utama generasi muda desa membayangkan masa depan mereka bersama cangkul dan tanah,” kata Nurhady, yang juga peneliti di Insist ini.

Ia mencontohkan apa yang terjadi di Desa Maleali, sebuah desa penghasil kakao di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Di desa tersebut, sebagian besar lahan pertanian sudah disulap menjadi lahan kakao, termasuk pekarangan rumah yang dulunya untuk tanaman sayuran.

“Mereka pada akhirnya semakin terdesak oleh komoditas kakao, sehingga seluruh kebutuhan pangan kemudian harus diimpor dari luar,” katanya.

Trend pertanian kakao yang dimulai sejak tahun 1990-an, selain memberi harapan baru bagi kesejahteraan juga dinilai sebagai ancaman bagi keberlanjutan pertanian pangan.

“Masalahnya adalah kakao memiliki siklus hidup. Kakao itu seperti mesin, ketika sudah melewati usia 10-15 tahun maka produktifitasnya akan semakin menurun dan tidak bisa diperbaiki lagi,” lanjut Nurhady.

Ketika lahan pertanian ini semakin rusak maka akan ditinggalkan karena tidak menjanjikan lagi. Mereka akhirnya menjadi buruh tani di usia tuanya.

“Mereka pergi menjadi buruh tanam atau buruh pengupas kelapa padahal usia mereka tidak muda lagi. Dulunya mereka membuka lahan untuk pangan, menanam dan mendapatkan hasilnya. Sekarang mereka bangkrut,” jelasnya.

Di Desa Cendana Hijau, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur, bahkan sejumlah petani transmigran meninggalkan lahan pertaniannya untuk diubah menjadi pabrik pembuatan batu bata, karena dinilai lebih prospektif.

Sejumlah petani transmigran di Luwu Timur, Sulsel, mengubah lahan pertanian sebagai pabrik pembuatan batu bata, karena dinilai lebih menjanjikan hasil bagi masa depan mereka. Foto : Wahyu Chandra

Sejumlah petani transmigran di Luwu Timur, Sulsel, mengubah lahan pertanian sebagai pabrik pembuatan batu bata, karena dinilai lebih menjanjikan hasil bagi masa depan mereka. Foto : Wahyu Chandra

Lebih jauh Nurhady menjelaskan tentang fenomena di Desa Maleali, tentang generasi muda terdahulu yang tumbuh di masa kejayaan kakao.

“Dulu mereka tidak ada yang tertarik bekerja di luar pertanian karena mereka merasakan hasilnya. Prestise mereka naik sehingga mereka tidak tertarik untuk kerja kantoran.”

Kondisi ini membuat mereka banyak yang tidak melanjutkan sekolah dan justru fokus untuk mengerjakan lahan perkebunan kakao mereka.

“Itu sebabnya mereka banyak yang tidak sekolah atau putus sekolah. Hasilnya, saat ini banyak di antara mereka, yang sekarang telah berusia 30-an, hanya tamatan SD.”

Mereka ini tetap bertahan di dunia pertanian hanya jika mereka melihat prospeknya bagus. Keyakinan ini runtuh, ketika mereka akhirnya menyadari bahwa butuh modal besar untuk melewati siklus itu. Khususnya untuk mengembalikan kesuburan tanah yang terkuras oleh kakao dan menyemprotan kimia bertahun-tahun.

“Para petani ini ternyata kemudian tidak memiliki persiapan melalui siklus tersebut, sehingga kemudian harus bekerja keras lagi memulai dari awal.”

Dengan pengalaman kegagalan di masa lalu disertai perspektif baru bahwa tak ada lagi masa depan untuk pertanian, mereka pun mendorong anak-anak meninggalkan desa, untuk sekolah yang tinggi. Ironsinya, ketika anak-anak ini tak ingin lagi kembali ke desa.

“Jadi beberapa tahun ke depan kita akan menemukan banyak generasi muda yang meninggalkan desa, dan dari sinilah akan menimbulkan masalah baru, dengan semakin jauhnya mereka dari pertanian.”

Intensitas perkebunan kakao dianggap sebagai salah satu penyebab tergerusnya lahan untuk pertanian pangan. Sulawesi memang dikenal sebagai salah satu produsen kakao terbesar di Indonesia. Foto : Wahyu Chandra

Intensitas perkebunan kakao dianggap sebagai salah satu penyebab tergerusnya lahan untuk pertanian pangan. Sulawesi memang dikenal sebagai salah satu produsen kakao terbesar di Indonesia. Foto : Wahyu Chandra

Nurhady mencontohkan kasus menarik lainnya di Desa Soga, Kecamatan Marioriawa, Soppeng, Sulsel, yang tidak ada pertandingan sepak bola karena tidak ada lagi pemuda. “Tak banyak generasi muda yang tertinggal desa, bahkan untuk membentuk satu tim sepakbola pun sudah tak cukup.”

Di desa tersebut memang tak ada SMA, yang ada hanya sebuah SMP. Anak-anak yang sekolah ke luar desa biasanya tidak kembali lagi. Sementara yang tidak sekolah juga banyak meninggalkan desa karena melihat tak ada harapan lagi di sektor pertanian.

“Desa itu juga kampung kakao seperti halnya di Maleali. Ketika kakao tidak lagi memberi hasil yang baik, lahan pun tidak serta merta pulih kesuburannya maka tak ada jalan lain bagi mereka selain meninggalkan desa mencari penghidupan di tempat lain.”

Desa Soga ini pun kini memilih komoditas lain untuk ditanam, seperti jagung, meski tidak seprospektif tanaman kakao sebelumnya. Itupun lebih banyak untuk dijual dibanding untuk konsumsi sendiri.

“Untuk mendapatkan beras sebagian warga kemudian menjadi buruh panen di desa-desa lain sekitar. Dari situlah kemudian mereka mendapatkan beras untuk konsumsi pribadi. Ini ironis, karena dulunya desa ini justru dikenal sebagai daerah pertanian.“

Nurhady sendiri belum bisa memastikan penyebab kelangkaan generasi untuk bertani di Desa Soga ini. Untuk mengetahui persoalannya secara jelas harus diketahui dulu struktur kepemilikan lahan di desa tersebut.

“Sekarang kami masih meneliti bagaimana struktur kepemilikan tanah di sana. Asumsi saya, sebagian anak-anak yang pergi itu adalah mereka yang tidak punya lahan atau punya lahan sedikit sehingga tidak cukup untuk diwariskan. Prospeknya tidak mencukupi, akhirnya mereka mencari pekerjaan di luar pertanian.”

Pada akhirnya di desa tersebut muncul dilema bagi mereka, di satu sisi mereka senang ketika anak-anak mereka bisa bekerja dan berkiprah di luar, namun di sisi lain merasa resah karena tak ada lagi generasi pelanjut yang akan membangun desa kelak.

Kekhawatiran Nurhady ini sejalan dengan hasil Sensus Pertanian 2013 lalu, yang menunjukkan tren penurunan jumlah petani, yaitu dari 31,7 juta rumah tangga (RT) petani turun pada 2003, menjadi 26,13 juta RT (2013), atau penurunan sekitar 5,04 juta RT (1,75%).

Hasil sensus ini juga menunjukkan bahwa rumah tangga petani rata-rata hanya menguasai 0,89 hektar dan khusus untuk sawah rata-rata cuma 0,39 hektar.

“Lahan pertanian seluas rata-rata 0,89 hektar per RT inilah yang diperebutkan oleh sekitar 30 juta keluarga petani Indonesia. Banyak generasi muda petani harus mencari uang dengan merantau demi mendapatkan lahan garapan pada masa tua.”

Justru yang meningkat kemudian adalah unit pertanian dan perkebunan padat modal yang berarti bahwa orang-orang inilah yang kemudian menjadi buruh tani.

Data BPS 2014 menyebutkan, Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman pangan hanya mencapai 100,24 pada 2013 dan 100,07 pada 2014. Angka ini menunjukkan betapa mereka hanya hidup dari keuntungan marjinal.

NTP adalah rasio antara harga produk petani dan harga barang-barang kebutuhan petani, salah satu indikator utama untuk melihat kesejahteraan petani. Angka NTP 100 berarti petani mengalami impas, lebih besar dari itu mereka untung dan lebih kecil menandakan kerugian.

“Angka ini pun masih rata-rata, belum memilah antara petani kecil, menengah dan besar, juga antara petani pemilik tanah dan tunakisma atau orang yang tak punya tanah.”

Dengan segala kondisi ini Nurhady melihat adanya ancaman ke depan terhadap pertanian di Indonesia.

Pertama, Indonesia akan kehilangan generasi petani. Kalaupun jadi petani mereka hanya menjadi buruh tani, sehingga tidak bisa mengontrol apa yang ingin ditanam.

“Kalau perusahaan bilang tanam sawit mereka akan tanam sawit. Sehingga makanan pokok kita akan tergantung dari luar melalui impor.”

Kedua, Indonesia akan kehilangan pertanian berbasis keluarga atau rumah tangga. Kondisi sekarang, dinilai Nurhady membuat petani sulit untuk bertahan mempertahankan kepemilikan lahannya.

“Dengan naiknya harga saprodi akan menaikkan biaya produksi, sehingga mereka akan memilih jadi buruh dibanding mengolah lahan mereka yang sedikit.“

Jika semua itu terjadi, maka pengetahuan bertani akan hilang sendirinya karena tergantikan dengan mekanisasi mesin. Petani tidak lagi belajar tentang pengetahuan pemuliaan, cuaca, dan pengendalian hama. Kearifan lokal pertanian perlahan akan hilang.

“Masalah berlanjut ketika semua alat yang digunakan tersebut tenyata harus dibeli dan diimpor dari luar. Meskipun ada petani tapi kita tetap bergantung dari alat-alat dari luar tersebut. Ketahanan pangan terancam. Misalnya suatu saat kita tak punya benih lagi, maka apa yang bisa dilakukan pemerintah jika suatu saat ada embargo dari luar?”

Globalisasi industri pangan saat ini, menurutnya, hanya dipegang oleh sedikit perusahaan dan secara progresif melakukan pengintegrasian petani dan lahan mereka ke dalam sistem pasar global. Petani hanya salah satu pekerja dalam industri pangan.

“Kalau dalam kasus padi ada mekanisasi dan input kimia. Jadi yang paling diuntungkan adalah mereka produsen input-input tersebut.”

Pada kasus kakao, Nurhady melihat petani hanya menjadi buruh tani kakao global. Karena semua standar mutu dan harga akan ditentukan oleh pasar dunia.

Andaikan keluarga petani mempunyai lahan dua hektar, yang dapat dibagi sebagai lahan pertanian monokultur baik sawit maupun kakao.

“Mereka bermain diinsentif, padahal merekalah yang mendapatkan keuntungan paling kecil dari produksi kakao global, sementara seluruh risiko ditanggung sendiri oleh petani. Kalau terjadi gagal panen maka ini tidak ditanggung oleh mata rantai yang lain.”

Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar hanya bergerak pada level atas saja misalnya menyuplai alat pertanian, bahan kimia, industri prosesing.

“Tidak ada satupun yang bergerak di bidang produksi kakao di Indonesia. Tahun 2007, sekitar 89% produksi kakao dihasilkan oleh petani kecil sisanya dihasilkan oleh perusahaan negara. Karena memang risikonya tinggi.”


Petani Berkurang, Masa Depan Pertanian Indonesia Terancam was first posted on June 25, 2015 at 5:21 am.

Nelayan Filipina Bermarkas di Kepulauan Sangihe. Kok Bisa?

$
0
0

Penertiban aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing memang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, penertiban tersebut lebih difokuskan pada kapal-kapal besar dari luar Indonesia yang melaut di perairan Indonesia.

Sementara, penertiban nelayan-nelayan asing yang melaut di Indonesia hingga saat ini masih belum dilakukan. Contoh nyata hingga saat ini masih terjadi di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Di kepulauan yang berbatasan langsung dengan Filipina itu, hingga saat ini masih sangat banyak nelayan dari Filipina yang melaut di Sangihe.

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Pengakuan tersebut diungkapkan sendiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dalam penuturannnya, dia mengaku para nelayan di Tahuna, Kepulauan Sangihe, mengeluhkan kondisi terkini di wilayah perairan daerah tersebut.

“Disana, nelayan mengeluhkan kapal Filipina mulai berlayar di laut di Sangihe. Kondisi itu tidak membuat nyaman para nelayan disana, karena harus bersaing dengan nelayan dari luar negeri,” ungkap Susi.

Menurut Susi, banyaknya kapal Filipina yang melaut di Sangihe, karena saat ini di wilayah perairan tersebut diketahui sedang masuk musim ikan. Jadi, produksi ikan disana dalam beberapa minggu ini sedang melimpah.

“Tidak hanya melaut, nelayan-nelayan dari Filipina juga saat ini banyak yang memilih untuk tinggal sementara waktu di Sangihe. Itu jumlahnya mencapai ratusan orang,” jelas Susi.

Lebih lanjut Susi mengatakan, tidak hanya sebatas tinggal dan melaut di perairan sekitar Sangihe, para nelayan dari Filipina tersebut juga diketahui banyak yang memiliki identitas kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia.

“Bagi saya itu tidak masuk akal. Karena mereka jelas WNA tapi kok bisa dapat KTP. Ini sudah membuat nelayan lokal resah, karena nelayan dari Filipina tersebut dilengkapi dengan kapal yang lebih canggih,” jelas dia.

Kapal Indonesia, ABK Filipina

Tidak saja tinggal di daratan Indonesia, para nelayan Filiipina juga beroperasi di perairan sekitar Kepulauan Sangihe dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia. Semua itu, hanya satu tujuannya, agar bisa mendapat ikan sebanyak mungkin saat musim ikan terjadi di kawasan tersebut.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Asep Burhanudin menjelaskan, di Tahuna saat ini terdapat kapal   di bawah 30 Gross Tonnage (GT) milik pengusaha Indonesia. Namun, kapal-kapal tersebut saat ini dioperasikan dengan menggunakan anak buah kapal (ABK) dari Filipina.

“Ini juga modus baru. Kita harus bisa menghentikan aksi ini karena bisa jadi ini adalah modus lain aktivitas IUU Fishing,” ungkap Asep.

Saat ini, Asep mengatakan, di Tahuna terdapat 82 kapal plam boat  yang dioperasikan oleh 340 ABK. Kapal-kapal tersebut diketahui dimiliki agen-agen perikanan yang ada di Tahuna. Kata dia, diperkirakan jumlah agen yang mengoperasikan kapal plam boat sebanyak 23 dan berasal dari Bitung dan Tahuna.

“Dari 82 plam boat, ada 8 plam boat yang dioperasikan dengan berbendera Indonesia, tapi menggunakan ABK dari Filipina. Dari 8 tersebut. 4 plam boat diantaranya sempat diproses oleh TNI AL, namun dibebaskan karena tidak ada identitas yang lengkap pada masing-masing ABK,” ungkap Asep.

Nelayan Bitung Protes Pajeko Dilarang Beroperasi

Sementara itu keluhan juga datang dari nelayan yang ada di Bitung, Sulawei Utara. Disana, para nelayan mengeluh karena perahu kapal pajeko yang biasa digunakan nelayan lokal dilarang untuk beroperasi di wilayah perairan Bitung dan Sulawesi Utara. Larangan tersebut keluar dari Pemprov Sulut.

Ketua Himpunan Pengusaha Kecil Nelayan Sulawesi Utara Djefri Sagune mengatakan, larangan tersebut membuat resah para nelayan setempat karena itu berarti mematikan sumber pendapatan mereka. Karena itu, para nelayan kemudian berencana untuk melaut ke perairan Maluku Utara yang diketahui tidak melarang armada pajeko untuk melaut.

“Ada laporan dari nelayan mengenai perpanjangan surat yang ditolak oleh Dinas Kelautan Sulut. Ini tidak masuk akal, karena di Maluku Utara, pajeko tidak dilarang. Padahal, di Manado saja ada 20 Pajeko yang beroperasi,” ungkap Djefri kepada Mongabay.

Dari informasi yang beredar di kalangan nelayan Bitung, larangan tersebut diketahui dilatarbelakangi surat edaran dari KKP. Surat edaran tersebut, kata Djefri, menjadi senjata pamungkas untuk menolak perpanjangan izin melaut untuk armada pajeko.

“Ini aneh, karena di Maluku Utara tidak dilarang. Semakin aneh, karena ada dua pajeko yang melaut ke perairan Maluku Utara dan ditangkap oleh Polair. Alasannya, karena melakukan pelanggaran. Tetapi, justru dari Pemprov Maluku Utara kedua kapal tersebut tidak disebut melanggar,” papar dia.

Mengetahui hal tersebut, Susi Pudjiastuti langsung terlihat kebingungan. Bagi dia, info yang beredar tersebut terasa aneh dan janggal. Pasalnya, dia sama sekali tidak pernah mengeluarkan surat edaran pelarangan pajeko di Sulut.

“Yang dilarang itu adalah kapal eks asing yang berbobot 30 GT ke atas. Itu bagian dari moratorium. Kalau kapal lokal dan di bawah 30 GT kapasitasnya, ya silakan saja. Makanya, kita akan telusuri lebih jauh tentang larangan ini,” pungkas dia. 


Nelayan Filipina Bermarkas di Kepulauan Sangihe. Kok Bisa? was first posted on June 25, 2015 at 6:44 am.

Penambangan Pasir Ilegal, Kerusakan Di Balik Pesona Bali

$
0
0

Sekilas, perbukitan di pedalaman Bali itu seperti terkena meteor. Lubang-lubang raksasa menganga dengan kedalaman 20-an meter, seluas lebih dari lapangan bola.

Didalamnya, terlihat para buruh bekerja mengeruk pasir dengan sekop ataupun mesin pengeruk (backhoe). Truk pengangkut hilir mudik. Derunya bercampur dengan suara mesin-mesin pemilah pasir.

Itulah yang setiap hari terjadi di perbukitan di Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali. Desa berjarak sekitar 60 km dari Denpasar itu termasuk salah satu pusat penambangan pasir di Bali.

Penambangan pasir yang menyisakan lubang-lubang menganga dan kerusakan lingkungan yang berakibat hilangnya mata air dan kekeringan. Foto : Anton Muhajir

Penambangan pasir yang menyisakan lubang-lubang menganga dan kerusakan lingkungan yang berakibat hilangnya mata air dan kekeringan. Foto : Anton Muhajir

Selain di Selat, pusat penambangan pasir di Karangasem ada di dua kecamatan lain yaitu Kubu dan Bebandem. Semuanya terletak di kaki Gunung Agung dan menjadi jalur lahar ketika gunung tertinggi di Bali itu meletus pada 1963, sehingga diberkahi hamparan pasir.

Namun, berkah itu menjadi ancaman bila pengambilan pasir tanpa aturan dan pengendalian. “Paling hanya 10-15 persen dari 100-an usaha penambangan pasir di Karangasem yang berizin. Sisanya ilegal,” kata Wayan Sadra, mantan anggota DPRD Karangasem.

Made Mangku, Koordinator Sekretariat Kerja Penyelamatan dan Pelestarian Lingkungan Hidup (SKPPLH) memberikan data yang kurang lebih sama. Menurut Mangku, 75 persen perusahaan penambangan pasir Bali tak berizin alias ilegal.

Menurut Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Karangasem sendiri, ada 60 perusahaan penggalian pasir di tiga kecamatan tersebut. Sebagian besar memang tak berizin. Toh, pemerintah setempat membiarkan saja demi alasan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Selain Karangasem, kabupaten lain yang menjadi pusat penambangan pasir adalah Bangli. Tepatnya di kaki Gunung Batur yang beberapa kali meletus. Hamparan pasir terutama di sisi barat dan utara Gunung Batur dikeruk tiap hari.

Seperti halnya di Karangasem, penambangan pasir di Kintamani, Bangli pun banyak yang tak berizin. Toh, warga seperti bebas menambang pasir tanpa harus takut terhadap adanya pelarangan.

Kencing di Jalan

Di kaki Gunung Batur, hampir 500 truk tiap hari hilir mudik mengangkut pasir dari tempat berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Denpasar itu. Dari jantung Bali itu, pasir dijual terutama ke daerah Bali selatan seperti Badung dan Denpasar.

Ketut Sudarma, salah satu sopir truk pengangkut mengatakan, tiap hari rata-rata satu truk mengangkut dua kali. Ketut misalnya, tiap hari berangkat pukul 2 pagi lalu pukul 10 sudah bawa ke Denpasar. Siangnya dia kembali lagi. Satu kali angkut mereka bisa membawa 15 ton pasir. “Padahal kapasitas maksimal menurut aturan hanya tujuh ton,” ujar Ketut.

Maraknya penambangan pasir ilegal di Bali membuat kerusakan lingkungan seperti lubang menganga dan jurang yang dalam. Foto : Anton Muhajir

Maraknya penambangan pasir ilegal di Bali membuat kerusakan lingkungan seperti lubang menganga dan jurang yang dalam. Foto : Anton Muhajir

Para sopir biasanya mengakali agar tidak kena operasi penertiban. Mereka menurunkan sebagian pasir yang diangkut itu ke pengepul di sepanjang jalan. Para pengepul ini dengan mudah ditemukan sepanjang jalan antara Denpasar dan lokasi penambangan.

Di Jalan By Pass IB Mantra, jalur utama ke Bali timur, pengepul ini mudah ditemukan. Tempat mereka biasanya terbuka dengan tumpukan pasir di dalamnya. Sesekali truk akan berhenti di sana lalu menurunkan sebagian isi baknya ke pengepul tersebut.

Istilah di kalangan sopir, mereka akan kencing di jalan. Maksudnya menjual sebagian isi truk mereka.

Ibarat pepatah, sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit. Namun, sebaliknya, bukit yang dikeruk pasirnya lama-lama tak tersisa. Begitu pula di Desa Sebudi maupun di desa-desa lainnya.

Penambangan pasir di Sebudi dimulai sejak 1999. Semula, warga lokal hanya menggunakan sekop. Peralatan sederhana itu mulai tergantikan ketika para investor masuk. Salah satunya perusahaan bahan bangunan dari Jawa Timur.

Perusahaan penambangan ini memilah langsung pasir di sana. Kualitas pasir itu beda-beda, tergantung mesin pemilahnya. Misalnya pasir halus, pasir kasar, hingga pasir batu. Beda kualitas, beda pula harganya.

Sebagai gantinya, warga lokal kini jadi buruh penambang pasir. Mereka bekerja selama 8-10 jam per hari secara berkelompok antara 6-10 orang. Dari satu truk, mereka akan mendapatkan Rp 200.000 yang kemudian dibagi bersama. Bahan yang mereka ambil tak selalu pasir. Kadang-kadang juga batu.

Mesin pengolah batu dan pasir pada pertambangan pasir ilegal di Bali yang merusak lingkungan. Foto : Anton Muhajir

Mesin pengolah batu dan pasir pada pertambangan pasir ilegal di Bali yang merusak lingkungan. Foto : Anton Muhajir

Dalam sebulan, menurut salah satu warga, mereka mendapatkan Rp 750.000 hingga Rp 1 juta. Jumlah ini masih di bawah upah minimum regional (UMR) Karangasem, Rp 1,7 juta. Toh, bagi warga lokal, menjadi buruh pasir kini jadi pekerjaan utama mereka.

“Meskipun lebih sedikit, tapi kami bisa dapat tiap hari,” kata Kadek Rasmi, salah satu buruh penambang pasir. Siang itu dia dan lima temannya, semua perempuan, mengangkut batu dan memasukkannya ke truk. Bagi Rasmi, pendapatan sebagai buruh penambangan pasir tetap lebih baik daripada bertani atau berternak.

Namun duit per hari itu tak sebanding dengan makin hilangnya kekayaan di desa mereka sendiri. Bukit-bukit yang dulu indah menjulang, kini berganti dengan jurang-jurang menganga sisa penambangan.

Ngurah Raos, salah satu penjaga penambangan tersebut, mengatakan pada awalnya semua daerah tersebut berbukit. Setelah terus menerus dikeruk, tinggal lubang menganga yang tersisa. “Dalam empat tahun, mungkin kami sudah pindah dari sini karena pasirnya sudah habis,” katanya.

Beberapa lokasi yang sudah habis pasirnya memang ditinggalkan kosong begitu saja. Tidak ada aktivitas sama sekali. Para perusahaan penambangan yang sebagian besar ilegal itu dengan mudah berpindah ketika pasir sudah habis. Tinggal warga lokal yang mungkin akan kena dampaknya.

Ancaman

Selain hilangnya bukit-bukit di desa mereka sendiri, seperti halnya di Sebudi, dampak lain yang mungkin terjadi adalah hilangnya air dan banjir bandang.

Menurut Suriadi Darmoko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, penambangan pasir tanpa kendali telah menghilangkan sumber-sumber air bagi warga. akibatnya, warga pun kesulitan mengakses air bersih.

Hal ini karena, Darmoko melanjutkan, pasir-pasir di pegunungan Bali pada umumnya berfungsi pula untuk menyerap air ketika hujan. “Tanpa pasir yang menyerap air, maka air hujan akan langsung (mengalir di permukaan tanah) dan bisa mengakibatkan banjir,” katanya.

“Jika pasir terus dikeruk tanpa rehabilitasi, maka suatu saat banjir bandang pasti akan terjadi,” tambahnya.

Parahnya, penambangan pasir ilegal itu tak hanya terjadi di pegunungan tapi juga di pesisir. Bedanya, penambangan pasir di pesisir ini biasanya terjadi dalam skala kecil. Misalnya di Klungkung atau Jembrana.

“Kerusakan akibat penambangan pasir ilegal terjadi di semua tempat. Tidak hanya di gunung tapi juga di pantai,” kata Darmoko.

Untuk itulah, baik Darmoko maupun Sadra menegaskan, pemerintah perlu bertindak lebih tegas terhadap penambangan pasir ilegal. Selain menutup penambangan-penambangan pasir ilegal tersebut, pemerintah juga harus mewajibkan mereka untuk merehabilitasi lahan.

Ketika masih menjadi anggota dewan, Sadra mengaku sudah meminta agar pemerintah menutup operasi perusahaan penambangan pasir ilegal. “Tapi, pemerintah tidak mau melakukan,” katanya.

 


Penambangan Pasir Ilegal, Kerusakan Di Balik Pesona Bali was first posted on June 26, 2015 at 9:14 am.

Taman Teknologi: Ruh Nawa Cita untuk Kelautan dan Perikanan Indonesia

$
0
0

Ruh program Nawa Cita yang dideklarasikan Presiden Joko Widodo terus diaplikasikan diterjemahkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Terbaru, Nawa Cita diwujudkan dalam pembangunan taman teknologi (techno park) yang tersebar di 24 lokasi di seluruh Indonesia. Pembangunan tersebut dimulai tahun 2015 ini dan diharapkan rampung pada 2019 mendatang.

Pelaksana pembangunan techno park tersebut dipegang oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDM KP) KKP dan bertugas secara berkala menghadirkan taman tersebut dalam kurun waktu empat tahun ke depan.

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat peluncuran techno park kepada publik di Jakarta, Kamis (25/6), mengaku kalau pembangunan techno park menjadi program lanjutan dari Program Nasional Pengembangan  100 Taman Sains dan Teknologi Nasional (Science and Techno Park/STP).

“Itu sebagai salah satu quick win oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan serta Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada 7 Mei lalu,” ungkap Susi.

Di hadapan semua orang, Susi bercerita bagaimana techno park dibangun dengan mengemban tugas sebagai tempat berpusatnya kegiatan pendidikan dan pelatihan berbasis kelautan dan perikanan. Melalui kegiatan tersebut diharapkan bisa melahirkan tenaga kompeten, adaptasi dan alih teknologi untuk menghasilkan produk inovatif, dan inkubator bisnis untuk menghasilkan usaha baru.

“Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada masyarakat ini tanpa dipungut biaya sama sekali. Sementara, inkubator bisnisnya meliputi jejaring kerja sama dengan dunia usaha, dunia industri, dan stakeholders,” jelas Susi.

Selain hal tersebut, dengan bergabung dalam kegiatan di techno park, Susi menjanjikan setiap orang akan mendapatkan pendampingan oleh penyuluh dari Pusat Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP), peningkatan teknologi tepat guna, konsultasi, dan inovasi teknologi dengan pendidikan, penelitian dan pengembangan.

Janji tersebut dicetuskan, karena Susi melihat kehadiran techno park bisa menjadi sarana strategis dalam mendorong pembangunan ekonomi berbasis SDM.

“Ini aksi nyata pengembangan SDM yang andal dan kompeten melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan untuk mendukung pembangunan ekonomi kerakyatan kelautan dan perikanan berbasis IPTEK dan inovasi,” tandas Susi.

Sambut MEA dari 4 Daerah

Sebagai program percontohan, KKP saat ini baru membangun techno park di empat daerah, yakni di Tegal (Jawa Tengah), Banyuwangi (Jawa Timur), Aertembaga, Bitung (Sulawesi Utara), dan Ambon (Maluku). Dipilihnya empat daerah tersebut, tidak lepas dari pertimbangan aspek kewilayahan, kedekatan lokasi dengan Unit Pelaksana Teknnis (UPT) KKP dan sekaligus dekat dengan potensi daerah.

Dari empat daerah tersebut, KKP berharap akan muncul inovasi-inovasi di sektor kelautan dan perikanan. Dengan demikian, menurut Susi, sasaran techno park untuk sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan konservasi perairan bisa segera terwujud.

Karena itu, KKP membangun techno park dengan menyesuaikan karakter daerah masing-masing. Untuk Tegal, kegiatan techno park difokuskan pada sertifikasi kompetensi, pengembangan garam, udang galah padi, permesinan, budidaya udang, dan budidaya rumput laut.

Kemudian, di Banyuwangi, kegiatan difokuskan pada sertifikasi kompetensi, budidaya ikan sidat, produksi garam, budidaya udang, dan pengolahan produk. Di Bitung, kegiatan difokuskan pada sertifikasi kompetensi, perkapalan, dan pengolahan produk. Terakhir, di Ambon, kegiatan difokuskan pada sertifikasi kompetensi, budidaya ikan laut, pengolahan produk, permesinan perikanan, dan wisata pelatihan.

Selain untuk penguatan daerah masing-masing, kehadiran techno park juga diharapkan bisa menjadi sarana untuk mempersiapkan masyarakat setempat untuk terlibat aktif dalam kerja sama ekonomi regional, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai dari tahun ini.

“Kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan harus menjadi sarana utama mendukung pengelolaan Techno Park untuk meningkatkan kompetensi, inovasi, inkubator bisnis kelautan dan perikanan serta mengembangkan fungsi Tekno Park kedepan,” tutur Susi.

Setelah empat daerah tersebut, KKP akan membangunan secara bertahap 20 techno park lain yang tersebar di 20 daerah di Indonesia. Semuanya diharapkan sudah bisa digunakan maksimal pada 2019 mendatang.

Rp30 Miliar untuk Techno Park

Untuk melaksanakan kegiatan techno park di 4 daerah tersebut, KKP melalui BSPDM KP telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp30 miliar yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Atau, dengan kata lain, KKP mengalokasikan anggaran sebesar Rp7,5 miliar untuk masing-masing techno park.

Menurut Kepala BPSDM KP Suseno Sukoyono, pengalokasian anggaran tersebut menjadi tonggak penting untuk pengembangan SDM kelautan dan perikanan di Indonesia. Dengan program Nawa Cita yang dibawa Presiden Jokowi, keberadaan techno park diharapkan bisa ikut bersinergi dengan  baik di dalamnya.

Terkait anggaran Rp30 miliar, Suseno mengatakan bahwa jumlahnya sudah cukup untuk melaksanakan segala kegiatan dan mengelola techno park yang ada di empat daerah.”Itu sudah cukup karena ini baru tahap awal,” ujar dia menegaskan.

“Kita gunakan lahan, bangunan, sarana dan prasarana yang sudah ada. Memang terkesan sedikit tapi bagi kami sebenarnya dibandingkan techno park lain yang butuh Rp27 miliar, bagi kami Rp7,5 miliar sudah cukup,” ujar Suseno.


Taman Teknologi: Ruh Nawa Cita untuk Kelautan dan Perikanan Indonesia was first posted on June 27, 2015 at 7:14 am.

Indonesia Siap Implementasikan Rencana Aksi Konservasi Hiu Dan Manta

$
0
0

Sebagai negara mega biodiversity, Indonesia sudah selayaknya menjaga keanekaragaman flora, fauna dan mikroba yang ada di dalamnya. Salah satu yang harus dijaga, adalah keberadaan spesies hiu dan pari yang jumlahnya terus menyusut di dunia dan khususnya di Indonesia.

Menurut Direktur Kawasan dan Konservasi Ikan Direktoran Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Dermawan, di dunia saat ini terdapat 5-30 juta spesie flora, fauna dan mikroba. Dari jumlah tersebut, 1,7 juta diketahui berada di Indonesia.

“Namun di Indonesia, dari jumlah tersebut baru 300 ribu spesies yang sudah bernama. Selebihnya, ya belum memiliki nama. Termasuk, seperti hiu dan pari yang sudah bernama,” ungkap Agus kepada Mongabay minggu kemarin.

Hiu paus di akuarium Georgia Taiwan. Foto : Wikipedia

Hiu paus di akuarium Georgia Taiwan. Foto : Wikipedia

Dengan jumlah sebanyak itu, dijelaskan Agus, Indonesia memiliki kewajiban untuk terus menjaganya dengan baik, karena itu menjadi bagian dari kekayaan hayati dunia. Kewajiban tersebut juga sesuai dengan Konvensi Rio de Janeiro 1992 yang membahas tentang kenakeragaman hayati dunia.

“Indonesia salah satu anggota dan berkomitmen untuk ikut terlibat. Makanya, Indonesia kemudian meratifikasinya melalui Undang-Undang No 5 Tahun 1994,” jelas dia.

Nilai Strategis Hiu dan Pari

Dari 300 ribu spesies yang ada di Indonesia, Agus memaparkan, ada 118 spesies hiu dan 101 jenis spesies pari. Jumlah tersebut menjadi bagian dari 500 spesies hiu dan pari dunia. Dengan jumlah tersebut, pemanfaatan hiu dan pari dari hari ke hari semakin tinggi.

“Dan itu bisa mengancam populasi spesies tersebut. Kalau tidak diatur maka akan semakin terancam lagi. Apalagi di Indoensia produksinya per tahun bisa mencapai 100 ribu ton hiu dan pari. Kita jadi negara produsen terbesar di dunia,” tutur Agus Dermawan.

Melihat kondisi tersebut, menurut Agus, Indonesia berkepentingan untuk bisa mengaturnya dengan lebih bijak. Karenanya, KKP bersama pakar dan perguruan tinggi menggelar Simposium Nasional Hiu dan Pari di Bogor, Jawa Barat, 10 Juni lalu.

“Kita harus bisa mengaturnya, karena pada 2013 ditetapkan ada 5 hiu di dunia yang ditetapkan langka dan terancam punah. Dan, 4 diantaranya terdapat di Indonesia,” ungkap dia.

Menurut Agus, status 4 hiu tersebut adalah 3 hiu martil dan 1 hiu cowboy dan keempat spesies tersebut perdagangannya harus mengikuti aturan berupa penetapan kuota.”Jadi, 4 hiu tersebut pemanfaatannya masih boleh, tapi harus dilakukan sesuai prosedur dan mekanisme yang ada,” cetus Agus.

Ditempat terpisah, Direktur Program Coral Triangle WWF-Indonesia, Wawan Ridwan, mengatakan hiu dan pari berperan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut dan memastikan laut tetap produktif memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan dari sektor perikanan.

Akan tetapi  hiu dan pari banyak diburu sebagai tangkapan utama maupun tangkapan sampingan (bycatch) di beberapa lokasi di Indonesia seperti Laut Jawa Selat Karimata, Selat Makassar, Samudera Hindia, Laut Tiongkok Selatan dan Samudera Pasifik.

“Kedua ikan bertulang rawan tersebut ditangkap dan dijadikan komoditi berkeuntungan besar. Hiu diburu untuk sirip, daging, kulit, minyak hati, dan tulang rawannya, sementara pari diambil insangnya untuk dimanfaatkan sebagai bahan tonik kesehatan di Tiongkok,” katanya.

Penangkapan Hiu Lombok6

Oleh karena itu, Rencana Aksi Nasional (RAN) pengelolaan hiu dan pari di Indonesia secara berkelanjutan sebagai hasil simposium menjadi penting untuk dilaksanakan demi menyelamatkan kedua spesies tersebut.

RAN hiu dan manta yang menunggu disahkan oleh KKP itu, bakal menjadi pedoman pelaksanaan penyelamatan hiu,  dari rencana aksi, status perlindungan, penganggaran sampai dengan pelaksanaan di lapangan.

“RAN hiu dan manta akan mendorong dikeluarkannya status perlindungan bagi hiu dan manta.Ketika hiu dan manta ditetapkan sebagai spesies dilindungi dengan surat keputusan, maka pelaksanaannya menjadi suatu keharusan di lapangan,” jelas Wawan.

Dokumen RAN tersebut akan menyangkut kewajiban dan kewenangan berbagai pihak, seperti pemda, dan partisipasi masyarakat.

RAN menyangkut kewenangan pemda, partisipasi masyarakat, dan nelayan yang menangkap hiu dan manta sebagai tangkapan utama maupun bycatch.

Sedangkan Koordinator Konservasi dan Tangkapan Hiu WWF, Dwi Yoga Gautama mengatakan RAN hiu dan manta sebagai hasil simposium merupakan pembaharuan dari RAN hiu dan manta pertama yang dibuat pada 2009.

RAN merupakan turunan dari National Plan of Action Internasional, yang harus dimiliki oleh setiap negeri. Indonesia sudah mempunyai RAN hiu dan manta sejak 2009, yang berlaku selama empat tahun, tetapi efektif berlaku pada 2011 sampai 2015.

“Di periode sebelumnya, RAN hanya dokumen tanpa legalitas. Dan ada masalah nomenklatur. Rencana pengelolaan perikanan tiap WPP (wilayah pengelolaan perikanan) tidak dijelaskan dalam RAN hiu dan manta. Ketika dokumen ada tidak bisa menjadi acuan pemerintah untuk lakukan program,” kata Dwi Yoga.

Ikan-ikan hiu hasil buruan. Foto: Petrus Riski

Ikan-ikan hiu hasil buruan. Foto: Petrus Riski

Dalam RAN kedua ini, lebih dijelaskan kejelasan tanggung jawab dan tugas stakeholder, dan adanya delapan program prioritas yang akan dijalankan.  “Ada 7 prioritas program, misalnya database penelitian hiu yang selama ini tersebar di KKP, KKJI di Balitbang KP, di NGO dan beberapa universitas. Kita sepakati, dibuat Pokja hiu dan pari, dengan ketua KKJI. Database di-pool-kan di Balitbang KP. Setiap 2 tahun sekali akan buat analisis baru, untuk buat buku status hiu nasional, dan buat simposium hiu setiap 2 tahun,” katanya.

RAN juga mengatur perdagangan hiu dan manta, termasuk pelacakan asal (tracebility) kedua spesies itu dari ditangkap sampai dengan diolah.

Pengaturan perdagangan, banyak penelitian terkait, ada aspek sosial ekonomi. Permasalahan di kita tidak pernah perdagangan, karena hiu itu olahannya macam2. Sehingga tidak bisa dipastikan hiu itu apa. Sehingga dibuatkan tracebility, dari di tangkap sampai diolah.

“Akan lebih fokus sistem perdagangan. Dibandingkan kita menindak nelayannya, yang lebih efisien adalah menekan pasarnya,”tambah Dwi Yoga.

Rekomendasi Hasil Simposium

Simposium Hiu dan Pari Indonesia yang mengumpulkan hasil-hasil penelitian para ahli di Indonesia terkait sumber daya hiu dan pari, menyajikan beberapa rekomendasi terhadap aspek biologi, populasi dan ekologi; sosial dan ekonomi’ serta pengelolaan dan konservasi hiu dan pari di Indonesia yang bisa dijadikan dasar kebijakan dimaksud

Simposium tersebut mencapai kesepahaman bahwa perlu ditetapkannya sebuah kebijakan sebagai dasar implementasi Rencana Aksi Nasional (National Plan of Action/NPOA) untuk pengelolaan hiu dan pari di Indonesia secara berkelanjutan.

Pembantaian manta ray di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok, NTB. Foto : Paul Hilton / WCS

Pembantaian manta ray di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok, NTB. Foto : Paul Hilton / WCS

Rekomendasi dari hasil simposium tersebut, yaitu tentang stok perikanan hiu dan pari. Dari rekomendasi ini diputuskan untuk membuat kajian data hiu dan pari.  Dari hasil simposium disepakati untuk meningkatkan SDM terkait pengkajian dan merumuskan 3 poin jangka pendek dan jangka panjang. Untuk Jangka pendek, yaitu me lakukan pendataan hiu dan pari di Indonesia  yang tertangkap di wilayah perikanan, yang umum diperdagangkan, dan spesies yang masuk dalam daftar konvensi. Lalu, mengidentifikasi dan menentukan lokasi prioritas pendataan hiu dan pari. Misalnya, di TPS Cilacap, Tanjung Luar, Aceh, Cimuncang, Lamongan, Banten, Pelabuhan Ratu, Makassar, Bitung, Sorong, Indramayu, Benoa, Muara Angke. Terakhir, dilakukan identifkasi lokasi, berdasarkan data statistik perikanan, alat penangkapan, target dan daerah penangkapanan.

Untuk jangka panjang, disepakati untuk melakukan penyempurnaan sistem pendataan ikan hiu dan pari di Indonesia. Jenis spesiesnya apa, alat penangkapannya apa, jenis kelaminnya apa, daerah penangkapan dan ukuran panjang hiu.

Terkait pemanfaatan hiu dan pari dan pemanfaatan perdagangan dan pariwisata, disepakati untuk memperkuat sistem ketelusuran, baik produk untuk pasar ekspor maupun utk domestik.

Memberikan pemahaman untuk pengembangan eko wisata hiu dan pari. Lokasi tertentu yang ada hiu dan pari, bisa dikembangkan untuk ekowisata.


Indonesia Siap Implementasikan Rencana Aksi Konservasi Hiu Dan Manta was first posted on June 29, 2015 at 2:22 am.

SIKCoralWatch, Aplikasi untuk Memantau Kualitas Terumbu Karang

$
0
0

Selama dua hari pada 23-24 Juni 2015 lalu, belasan pemandu selam bersama perwakilan kelompok maupun usaha wisata di Karangasem, Bali, mengikuti pelatihan memantau kondisi terumbu karang, sebagai bentuk pemantauan secara partisipatif.

Para peserta berasal dari tiga desa di pantai timur laut Bali yaitu Tulamben, Amed, dan Tejakula. Tulamben dan Amed merupakan pusat pariwisata menyelam di Karangasem. Mereka bertetangga meskipun berbeda kecamatan, Amed di Abang dan Tulamben di Kubu.

Adapun Tejakula merupakan kecamatan paling timur dari Kabupaten Buleleng. Desa ini memiliki keindahan terumbu karang dan menjadi tujuan menyelam meskipun belum sepopuler Tulamben.

Kegiatan pemantauan kesehatan terumbu karang di Bali. Foto : Reef Check Indonesia

Kegiatan pemantauan kesehatan terumbu karang di Bali. Foto : Reef Check Indonesia

Sebagai daerah pesisir dengan tempat wisata menyelam yang didatangi ribuan turis tiap tahun, ketiga desa ini memiliki tantangan dalam pengelolaan terumbu karang. Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pesisir, seperti Reef Check Indonesia, Conservation International (CI) dan Coral Reef Alliance, sudah beberapa kali memperingatkan tentang perlunya manajemen terumbu karang di kawasan ini agar tidak dieksploitasi demi pariwisata.

Ketiga LSM itu bekerja sama dengan CoralWatch dan Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Karangasem menggelar pelatihan pemantauan kesehatan terumbu karang sebagai bagian dari upaya menjaga potensi bawah laut sekaligus daya tarik pariwisata tersebut. Pelatihan pemantauan terumbu karang menggunakan metode yang dikembangkan oleh CoralWatch, lembaga riset di Universitas Queensland, Australia.

Pelatihan diadakan di Desa Tulamben, pusat penyelaman paling populer di kawasan ini. Tulamben memiliki 51,5 hektar luas terumbu karang dari keseluruhan 720,4 hektar luas terumbu karang di Kabupaten Karangasem. Namun, bangkai kapal perang sisa Perang Dunia II menjadi magnet utama desa ini.

Pelatihan ini untuk mengenalkan dan melatih pemandu selam lokal tentang metode yang dikembangkan CoralWatch. Melalui metode ini, para pemandu selam bisa memantau kondisi terumbu karang, terutama pemutihan terumbu karang (coral bleaching).

Tujuan lainnya, sebagaimana ditulis dalam siaran pers dari Reef Check Indonesia, adalah meningkatkan pemahaman pemandu selam terkait isu global tentang terumbu karang. Harapannya, para pemandu selam juga akan bisa memberikan penyadaran tentang isu tersebut kepada turis maupun komunitas lokal.

Pemantauan kesehatan karang dg metode Coral Watch di Bali. Foto : Reef Check Indonesia

Pemantauan kesehatan karang dg metode Coral Watch di Bali. Foto : Reef Check Indonesia

CoralWatch telah membuat metode untuk melindungi terumbu karang setelah terjadinya pemutihan (bleaching) yang menjadi ancaman serius terhadap terumbu karang dunia. Pemutihan karang saat ini merupakan dampak utama dari kenaikan suhu laut. Ketika terumbu karang tumbuh di suhu lebih tinggi, terumbu karang lebih cepat stres dan mengeluarkan algae yang mengakibatkan pemutihan.

Tingkat pertumbuhan dan reproduksi terumbu karang pun terdampak. Terumbu karang juga lebih mudah terkena penyakit dan stress. Batang terumbu juga lebih mudah rusak. Jika terumbu karang tidak diperbaiki, maka mereka akan bisa mati. “Karena itulah sangat penting memantau pemutihan terumbu karang sehingga kita bisa melepaskan tekanan dan membantunya pulih kembali,” jelas Reef Check.

Metode Pemantauan

Dalam pemantauan partisipatif bersama para pemandu selam lokal, metode yang digunakan berupa sebuah Bagan Kualitas Terumbu Karang (Coral Health Chart). Metode ini untuk membandingkan warna terumbu karang dengan warna terpilih secara ilmiah di bagan. Hasil pemantauan ini akan ditambahkan pada database besar yang akan dianalisis secara keseluruhan.

Melalui analisis tersebut akan telrihat bagaimana pemutihan dan kualitas terumbu karang secara umum yang dipantau di kawasan tersebut.

Metode ini sangat sederhana dan mudah digunakan siapa saja dari apapun latar belakang dan pekerjaannya. Jika para pemandu lokal bisa menggunakan metode ini, maka mereka bisa memberikan informasi terhadap tamu sehingga mereka juga bisa memantau kualitas terumbu karang.

Kyra Hay dan Mrs. Diana Kleine dari CoralWatch Australia mengenalkan metode CoralWatch kepada peserta. Mereka menunjukkan cara menggunakan dan mengisi Coral Health Chart serta bagaimana memasukkan data ke website dan aplikasi bergerak (mobile apps). “Informasi tentang terumbu karang sangat penting bagi kita dan karena itu terumbu karang harus selalu dipantau serta dikelola,” kata Kyra.

Setelah belajar tentang cara penggunaan, para peserta juga mempraktikkan metode yang mereka pelajari sebelum masuk air dan menerapkannya langsung di lapangan.

Pada hari kedua, para peserta mempraktikkan langsung metode CoralWatch dengan cara snorkeling dan diving. Praktik lapangan bertujuan meningkatkan kemampuan perwakilan peserta dalam menggunakan metode.

Mereka menyelam dan mencocokkan warna terumbu karang yang mereka temukan. Hasilnya kemudian dimasukkan ke dalam versi offline dari CoralWatch. Sebagian besar pemandu lokal mengaku mendapatkan pengalaman positif dalam penggunaan Coral Health Chart.

Mereka juga mengatakan bagan amat mudah digunakan untuk mengindentifikasi jenis-jenis terumbu karang yang berbeda. Perangkat untuk mencocokkan warna juga mudah dimengerti tiap orang.

Peserta memasukkan data ke aplikasi Coral Watch berbasis Android dalam pelatihan pemantauan kesehatan terumbu karang di Bali. Foto : Reef Check Indonesia

Peserta memasukkan data ke aplikasi Coral Watch berbasis Android dalam pelatihan pemantauan kesehatan terumbu karang di Bali. Foto : Reef Check Indonesia

Aplikasi yang digunakan mendapat respon positif dari para pengguna meskipun mereka baru pertama kali menggunakan. Banyak yang tertarik untuk mendapatkan hasil survei pada hari yang sama. Namun, hal itu tidak mungkin bisa. Sebab Coral Health Chart menekankan pentingnya kembali ke terumbu karang yang sama, misalnya tiap dua minggu sekali, dan melihat perkembangan selama periode tersebut.

Saat ini, CoralWatch memiliki hampir 2.000 anggota. Organisasi ini juga memiliki data dari lebih dari 70 negara. Dengan aplikasi yang amat mudah untuk digunakan, jumlah penggunanya akan terus bertambah.

Bagaimana cara menggunakan Coral Health Chart

1. Pesanlah bagan dari CoralWatch.org. Gratis tanpa biaya.
2. Pilihlah satu terumbu karang untuk dipantau
3. Masukkan informasi di lembar terpisah mengenai karang tersebut. Misalnya jenis dan suhunya. Catatlah ketika kita di terumbu karang tersebut agar tidak lupa.
4. Pantau setidaknya 20 koloni terumbu karang
5. Pantau koloni terumbu karang berjarak antara 2-3 meter
6. Peganglah bagan di dekat terumbu karang tapi JANGAN sentuh terumbu karangnya
7. Pilihlah warna paling terang dan paling gelap
8. Pilih jenis terumbu karangnya apakah bercabang, datar, atau lembut
9. Pemantauan bisa dilakukan sambil menyelam atau snorkling


SIKCoralWatch, Aplikasi untuk Memantau Kualitas Terumbu Karang was first posted on July 5, 2015 at 4:49 am.

Turis Bali Mau Bayar Dana Konservasi, Asal Dikelola Transparan. Kenapa?

$
0
0

Raja Ampat di Papua dan Kepulauan Galapagos di Ekuador disebut sebagai kawasan wisata yang berhasil menggalang dan mengelola dana konservasi lingkungan. Bali sebagai pulau wisata kini juga terus menjajaki apakah pelancong mau membayar insentif pelestarian alamnya.

Sedikitnya dua riset tentang ini dibuat oleh sejumlah lembaga konservasi pesisir. Pertama riset kolaborasi Coral Reef Alliance, Whale Stranding Indonesia, dan Reef Check Indonesia pada 2013 pada turis di empat objek wisata perairan terkenal di Bali yakni Amed, Tulamben, Pemuteran, dan Lovina. Hasilnya sebagian turis bersedia membayar inisiatif konservasi (willingness to pay/WTP) sekitar 4-5 USD per orang asalkan dikelola transaparan dan akuntabel oleh konsorsium, tak hanya pemerintah.

Pantai Canggu - Badung menjadi salah satu lokasi surfing bagi turis di Bali. Foto : Luh De Suriyani

Pantai Canggu – Badung menjadi salah satu lokasi surfing bagi turis di Bali. Foto : Luh De Suriyani

Riset paling anyar berjudul  “Tingkat Kepuasan, Jumlah Pengeluaran, dan Kesediaan Membayar Wisatawan untuk Inisiatif Konservasi di Wilayah Perairan Padangbai – Candidasa, Karangasem, Bali” yang dilaporkan Juni 2015 ini. Hasil penelitian kerjasama antara Conservation International (CI) Indonesia dengan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Bali, yang dilakukan pada Januari – April di dua kawasan wisata di Bali timur itu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kepuasan wisatawan dan nilai ekonomi dari aktivitas wisata bahari yang berpotensi menunjang pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Karangasem, khususnya di wilayah Padangbai – Candidasa.

Wilayah pesisir Padangbai – Candidasa merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Pesisir (KKP) Karangasem, yang telah dikembangkan secara intensif sejak 2013, karena memiliki keragaman hayati yang tinggi dan menjadi salah satu prioritas konservasi di Bali. Aktivitas wisata bahari di Padangbai diperkirakan menghasilkan Rp236,4 miliar, sementara dari Candidasa sebesar Rp50,4 miliar.

Padangbai dan Candidasa yang berjarak sekitar 15 kilometer di timur Bali, mempunyai karakteristik berbeda. Padangbai merupakan lokasi penyebarangan ke pulau di timur Bali, dengan beberapa titik penyelaman seperti Baong Turtle Neck, Blue Lagoon, GIli Mimpang dan Shark Point. Ditemukan juga jenis terumbu karang Jepun yang sangat khas di kawasan ini.

Sementara ada abrasi pantai di Candidasa. Pusat akomodasi sudah kehilangan pantai tapi masih menjadi pusat akomodasi untuk wisata alam dan budaya di Karangasem.

Salah satu pesisir di Nusa Lembongan, Bali yang terkena abrasi parah. Foto : Luh De Suriyani

Salah satu pesisir di Nusa Lembongan, Bali yang terkena abrasi parah. Foto : Luh De Suriyani

Hasil penelitian menunjukkan ada dua faktor kesediaan wisatawan membayar dana insentif konservasi. Pertama faktor produk pariwisata, seperti kualitas kebersihan, kualitas akomodasi, landscape, fasilitas wisata, dan faktor komunitas lokal.  Kedua, adanya informasi mengenai pencemaran dan tingkat keintiman wisatawan dengan masyarakat lokal. Terdapat variasi tinggi besarnya nilai ekonomi dan kesediaan membayar di kedua lokasi penelitian.

“Ada dua faktor yakni keintiman dan fasilitas pariwisata.  Yang bersedia membayar punya keinginan terlibat pelestarian lingkungan,” kata Adikampana, salah seorang peneliti. Sementara yang tak bersedia kebanyakan karena sudah bayar di destinasi lain entah di Indonesia atau luar Indonesia. Juga ada ada keraguan bagaimana pengelolaan dana konservasi itu. “Ada ketidakpercayaan dalam akuntabilitas pengelolaan,” lanjutnya.

Wisatawan pada umumnya merasa puas terhadap kegiatan wisata bahari khususnya dalam hal pelayanan jasa guide. Sementara untuk aspek lainnya seperti, fasilitas pendukung, kebersihan, dan akomodasi kepuasan wisatawan tergolong masih rendah hingga sedang.

Wisatawan mau membayar dana konservasi di Padangbai sebesar Rp42.500 dan Rp70.400 di Candidasa. Tetapi, wisatawan kurang percaya pengelolaan dana WTP oleh pemerintah, dan dikelola langsung masyarakat lokal dan organisasi non pemerintah.

Bagi wisatawan yang tidak bersedia membayar secara material, mereka bersedia menggantinya dalam bentuk kontribusi tenaga dan pemikiran dalam aktivitas konservasi (volunteer tourist). “Ini menarik, ada peluang mereka menjadi relawan untuk pengembangan kawasan konservasi,” tambah Sukma Arida, koordinator riset ini.

Penelitian merekomendasikan pemerintah untuk mendukung komunitas pesisir guna lebih meningkatkan kualitas lingkungan di pesisir, dan dukungan kebijakan tata kelola ruang laut dan pesisir secara berkelanjutan, serta meningkatkan profesionalitas aparatur birokrasi.

Untuk masyarakat pesisir khususnya masyarakat di sekitar Candidasa dan Padangbai agar meningkatkan upaya konservasi berbasis kemampuan lokal dan meningkatkan kapasitas dalam menangkap peluang ekonomi dari industri pariwisata.

 

Perahu nelayan di Pulau Nusa lembongan, Bali  yang perlu dukungan perikanan ramah lingkungan. Foto : Luh De Suriyani

Perahu nelayan di Pulau Nusa lembongan, Bali yang perlu dukungan perikanan ramah lingkungan. Foto : Luh De Suriyani

Sejumlah LSM dan akademisi menggagas perlunya dana konservasi lingkungan yang independen dan akuntabel bagi turis ke Bali. Tantangan dan degradasi lingkungan Bali dinilai makin parah sehingga perlu upaya konservasi yang makin massif.

Sedangkan I Ketut Sarjana Putra, Direktur Eksekutif CI Indonesia mengatakan inisiatif memulai mekanisme Bali Conservation Funds (BCF) ini penting karena Bali menghadapi perubahan besar. “Di satu sisi antisipasi belum ada secara nyata. Bagaimana Bali akan tetap bisa menjaga alam dan budaya?” tanyanya.

Banyak pihak bertanya, apakah Bali masih seindah ini di masa depan? Berapa kebutuhan dana untuk mengajegkan Bali. Berapa pemerintah mengalokasikan dana untuk konservasi?

Sarjana mengusulkan empat pilar utama alokasi BCF berkonsep kearifan lokal, yaitu Wana Kertih (forest landscape conservation), Danu Kertih (bagaimana sumber air seperti sungai, danau bisa terjaga), Segara Kertih (coastal and marine concervation) dan Jana – Atma Kertih (untuk peningkatan kapasitas manusianya).

Ia mencontohkan inisiatif entrance fee system saat mendarat di Galapagos sebesar USD 100 dan footprint fee USD 48 saat keluar. “Hanya untuk menikmati kepulauan di Ekuador sebagai kawasan taman nasional,” kata Sarjana yang mengaku terlibat dalam pembuatan sistemnya. Alokasi dana konservasi yang didapat 40% untuk Galapagos National Park dan 25% untuk Galapagos Munincipalities.

Sedangkan di Raja Ampat, Papua, ada dive fee system sebesar USD 50 untuk WNA, 25 untuk domestik. Didistribusikan ke kas pemerintah lokal dan pengelola Raja Ampat.

Mobilisasi dana konservasi ini didasari isu kualitas lingkungan hidup di Bali yang perhatian serius yaitu tingginya alih fungsi lahan, meningkatnya lahan kritis, menurunnya kualitas udara, kritisnya penyediaan air bersih, meningkatnya aktivitas di kawasan pesisir, pantai dan laut; tingginya pertumbuhan penduduk, dan meningkatnya sampah dan limbah (SLHD Bali 2013).

Alokasi dana konservasi ini dinilai sangat kecil dibanding angka dalam dokumen isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Bali yang nilainya terus meningkat dari tahun ke tahun. DIPA Bali tahun 2011 sebesar Rp6,37 triliun, tahun 2012 sebesar Rp6,97 triliun dan tahun 2013 sebesar Rp7,47 triliun.


Turis Bali Mau Bayar Dana Konservasi, Asal Dikelola Transparan. Kenapa? was first posted on July 6, 2015 at 7:16 am.

Dubes Perancis: COP21 Paris, Awal Komitmen Nyata Tangani Perubahan Iklim

$
0
0

Pada Desember nanti, sekitar 200 negara akan hadir dalam Konferensi Perubahan Iklim (Conference of Parties / COP) ke-21 dari Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC )di Paris, Perancis pada Desember 2015. Selama dua minggu, lebih dari 50.000 peserta akan mendiskusikan dan menyepakati berbagai hal untuk mengatasi perubahan iklim.

Sebagai tuan rumah, Perancis tidak hanya berkepentingan menjaga agar pertemuan tahunan tersebut berjalan dengan baik, tapi juga agar COP 21 menghasilkan kesepakatan-kesepakatan lebih baik untuk masa depan bumi.

“Situasi yang kita hadapi saat ini tidak hanya perubahan iklim tapi bencana iklim,” kata Duta Besar Perancis dalam COP 21 untuk Asia Philippe Zheller kepada jurnalis di Bangkok, Thailand, Kamis (2/7) lalu. Selain Zeller, dalam konferensi pers tersebut hadir pula Jose Ramos-Horta, mantan Presiden Timor Leste dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1996.

Duta Besar Perancis dalam COP 21 untuk Asia, Philippe Zheller dan Mantan Presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, mantan Presiden Timor Leste  dalam konferensi pers di Bangkok, Thailand, Kamis (2/7). Foto : Anton Muhaijr

Duta Besar Perancis dalam COP 21 untuk Asia, Philippe Zheller dan Mantan Presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, mantan Presiden Timor Leste
dalam konferensi pers di Bangkok, Thailand, Kamis (2/7). Foto : Anton Muhaijr

Sebagai pertemuan tahunan penting terkait perubahan iklim, COP 21 akan diikuti lintas kementerian masing-masing negara peserta. Misalnya menteri lingkungan hidup, menteri luar negeri, menteri pertanian, maupun menteri ekonomi dan perdagangan. Namun, sebagai pejabat tinggi, para politisi akan lebih banyak membahas isu-isu umum.

Menurut Zheller, yang lebih penting adalah isu-isu spesifik yang akan dibahas para peneliti, swasta, maupun masyarakat sipil. “Perubahan iklim melibatkan banyak dimensi. Namun, yang paling penting adalah dimensi kemanusiaan,” kata mantan Dutas Besar Perancis untuk Indonesia dan Timor Leste tersebut.

Menurut Zheller ada empat pilar utama yang ingin dicapai dalam COP 21 nanti,  Pertama adanya kesepakatan mengikat (legally binding agreement) diantara negara anggota UNFCC.

“Kesepakatan mengikat ini sebaiknya dibuat fleksibel, dapat diandalkan, dan terbuka,” kata Zheller. Kesepakatan mengikat ini diharapkan akan menjadi legalitas bagi negara-negara anggota UNFCC.

Salah satu poin dalam kesepakatan tertulis itu, lanjut Zheller, adalah agar para anggota UNFCC sepakat mengurangi peningkatan suhu bumi agar di bawah 2o C. Kesepakatan ini diharapkan bisa mempunyai kekuatan jangka panjang, tidak hanya hingga 2030.

“Kita harus menyiapkan kesepakatan jangka panjang agar bumi memiliki masa depan lebih panjang,” tambahnya.

Pilar kedua adalah Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yaitu komitmen secara nasional tentang seberapa besar kontribusi mereka dalam menangani perubahan iklim. INDC menekankan bahwa tiap negara anggota UNFCC harus membuat mekanisme domestik untuk mengatasi isu perubahan iklim sesuai konteks negara masing-masing.

Zheller berharap selain negara-negara anggota G7 yaitu Kanada, Perancis, Jerman, Inggris, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat, negara lain yang masuk dalam G20 pun turut serta mengeluarkan INDC masing-masng. “Kami ingin agar sebanyak mungkin negara membuat INDC sebelum Desember nanti,” ujar Zheller.

“Kita harus mencatat semua kontribusi masing-masing negara dalam adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim agar mampu menekan peningkatan suhu Bumi di bawah 2o C,” lanjutnya.

Green Climate Fund

Pilar ketiga, lanjutnya, adalah pembiayaan. Dalam COP 21 Paris nanti, para pihak diharapkan bisa menyepakati mekanisme pembiayaan untuk mengatasi perubahan iklim. Zheller menyebut akan ada sekitar USD 1 miliar yang akan disumbangkan ke negara-negara berkembang maupun negara-negara maju untuk mitigasi maupun adaptasi.

Sumber pembiayaan bisa berasal dari berbagai pihak. Di Perancis misalnya,  ada Finance Climate Day, penggalanan dana publik yang dilakukan para anak muda. Dana kemudian disalurkan terutama ke negara-negara berkembang yang paling kena dampak perubahan iklim.

Dalam COP21, salah satu yang diharapkan bisa diluncurkan adalah Green Climate Fund, pendanaan untuk perubahan iklim.

Adapun pilar keempat adalah agenda solusi. Menurut Zheler sebenarnya sudah ada beberapa sejumlah solusi yang diterapkan secara lokal maupun global. Solusi itu sudah dilakukan di tingkat kota, komunitas, dan lain-lain. Misalnya new subway, melindungi kota, dan seterusnya. Semua solusi akan diperlihatkan di Paris.

Meskipun demikian, menurut Zheller, perubahan iklim memerlukan upaya solusi yang melibatkan lintas-aktor. Amat penting untuk melihat sisi lain dari situasi saat ini. “Paris is not the end, it is just as begining,” katanya.

Dalam konteks tersebut, posisi Asia sangat penting. Selain menjadi korban dalam perubahan iklim, kawasan ini juga berperan penting dalam mitigasi maupun adaptasi. Misalnya Bangladesh adalah negara paling kena dampak. Begitu pula kawasan Sungai Mekong yang meliputi beberapa negara seperti Thailand, Laos, Vietnam, dan Kamboja.

Menurut beberapa riset, kawasan ini termasuk yang mengalami dampak perubahan iklim seperti perubahan pola tanam hingga salinitas, masuknya air laut ke persawahan akibat meningkatnya permukaan air laut. Meskipun demikian, menurut Zheller, negara-negara di Asia Tenggara yang lebih maju seperti Singapura pun sudah harus melakukan mitigasi. Misalnya mengatasi polusi udara dan menciptakan energi bersih.

Dalam konteks tersebut, Zheller mengatakan bahwa Indonesia berperan sangat penting dalam COP21. Tidak hanya karena Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia yang rentan kena dampak tapi juga memiliki potensi untuk mengatasi perubahan iklim yaitu luasnya hutan.

Jaringan Peneliti

Sejalan dengan persiapan COP21 di Paris, para peneliti dan wakil pemerintah hadir dalam tiga hari konferensi tentang perubahan iklim di Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok pada 1-3 Juli 2015 lalu. Konferensi dihadiri sekitar 500 peserta dari berbagai negara terutama di Asia.

Selama tiga hari, peserta membicarakan berbagai isu terkait perubahan iklim. Tak hanya tentang dampak, mitigasi, dan adaptasi tapi juga kebijakan politik hingga pembiayaan.

Zakri Abdul Hamid, Penasihat Bidang Sains untuk Perdana Menteri Malaysia, menjadi pembicara utama dalam pembukaan konferensi. Menurut Zakri, penyebab utama perubahan iklim saat ini adalah terlalu dominannya kegiatan manusia di bumi. Karena itu, manusia bertanggung jawab untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

“Sains dan pembangunan berkelanjutan haruslah sejalan,” katanya.

Sains, menurut Zakri, berperan penting untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan dan menghasilkan solusi yang sudah teruji dan bisa diterapkan di berbagai tempat. Agar solusi-solusi ilmu pengetahuan bisa diterapkan, maka para peneliti harus menggunakan bahasa-bahasa politisi. “Berdasarkan pengalaman saya, kita akan kalah jika tidak menggunakan bahasa-bahasa politik,” ujarnya.

Sementara itu pembicara lain Saleemul Huq, Direktur Program Perubahan Iklim International Institute for Environment and Development (IIED), London menekankan perlunya pertukaran pengetahuan sesama peneliti untuk mengatasi perubahan iklim. Tidak hanya pertukaran dari sesama negara-negara selatan (berkembang) tapi juga negara utara (negara maju) ke Selatan.

“Perubahan iklim adalah masalah global sehingga memerlukan pertukaran pengetahuan secara global pula,” kata Saleemul Huq melalui video yang disiarkan dalam pembukaan konferensi tersebut.

Setelah konferensi, para peneliti di Asia membentuk Jaringan Peneliti untuk Perubahan Iklim di Asia. Jaringan ini akan menjadi forum pertukaran ilmu dan pengetahuan untuk mengatasi perubahan iklim.

 


Dubes Perancis: COP21 Paris, Awal Komitmen Nyata Tangani Perubahan Iklim was first posted on July 6, 2015 at 10:16 am.

Pelaku IUU Fishing Dari Tiongkok Dihukum 2 Tahun Dan Denda Rp1 Miliar

$
0
0

Kekecewaan yang dirasakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti atas putusan Pengadilan Perikanan Ambon, Maluku terhadap lima kapal asal Tiongkok, Sino, sepertinya terobati. Hal itu menyusul dikeluarkannya putusan dari Pengadilan Perikanan Merauke, Papua, terhadap lima kapal Sino.

Kapal-kapal tersebut adalah pelaku Illegal Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di wilayah perairan Indonesia dan dimiliki PT Sino Indonesia Shunlida Fishing.

Sebelumnya, kapal Hai Fa hanya mendapat hukuman berupa denda sebesar Rp100 juta dan subsidair kurungan penjara selama 4 (empat) bulan di Pengadilan Perikanan Ambon. Susi menilai putusan itu sangat rendah jika dibandingkan dengan kerugian negara akibat ulah mereka dalam melaksanakan aktivitas IUU Fishing sangatlah besar.

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah. Foto : Setkab.go.id

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah. Foto : Setkab.go.id

Namun, seperti merespon kekecewaan Susi, Pengadilan Perikanan Merauke secara mengejutkan pada 29 Juni dan 3 Juli lalu mengeluarkan putusan berbeda dari Pengadilan Perikanan Ambon. Dalam putusannya, Kapal Sino yang berjumlah 5 (lima) unit terdiri dari KM Sino 29, 16, 18, 28, dan 17 diputus bersalah dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp1 miliar dan subsidair kurungan penjara selama enam bulan kepada masing-masing fishing master.

Selain menjatuhkan hukuman, Pengadilan Perikanan Merauke juga menyita barang bukti berupa kapal, alat tangkap, dan ikan tangkap. Kapal dan alat tangkap dirampas untuk dimusnahkan, sedangkan ikan tangkapan dilelang dan hasilnya disetorkan kepada kas negara. Jumlah hasil lelang ikan yang dirampas dari kelima kapal tersebut mencapai Rp6,12 miliar.

Atas putusan tersebut, kelegaan dan kegembiraan terlihat jelas di wajah Ketua Satuan Tugas Anti IUU Fishing Mas Achmad Santosa. Kepada wartawan di Jakarta, Senin (6/7/2015), pria yang akrab disapa Ota itu mengaku sempat tak percaya para pelaku IUU Fishing tersebut mendapat hukuman yang cukup berat.

“Jika dibandingkan dengan putusan di Pengadilan (Perikanan) Ambon, jelas ini lebih baik. Ini menjadi angin segar juga buat penegakan hukum di laut dan pemberantasan IUU Fishing yang sekarang sedang dilakukan,” ungkap Ota.

Putusan Pengadilan Tinggi Ambon

Sementara itu 5 (lima) kapal Sino lainnya yang lebih dulu divonis di Pengadilan Perikanan Ambon, juga mendapat tambahan hukuman setelah kasus tersebut dinyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Ambon. Dalam putusannya, kelima kapal Sino tersebut, yakni KM 15, 26, 27, 35, dan 36 dinyatakan bersalah dan mendapatkan pidana penjara dua tahun dan denda masing-masing sebesar Rp1 miliar kepada fishing master dan nakhoda KM Sino 15, 26, dan 27.

Kemudian, Pengadilan Tinggi Ambon juga menjatuhkan pidana penjara satu tahun enam)bulan dan denda masing-masing Rp1 miliar kepada fishing master dan nakhoda KM 36. Selain itu, hukuman juga diberikan kepada fishing master dan nakhoda KM 35 dengan pidana penjara 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp1 miliar.

Selain hukuman tersebut, Pengadilan Tinggi Ambon juga menyita alat bukti berupa kapal bersama alat penangkapnya yang akan dimusnahkan. Kemudian, turut disita juga ikan hasil tangkapan dan kemudian dijual kepada publik.

 Pengawas Perikanan Lingkup Stasiun Pengawasan SDKP Tual menangkap 5 kapal eks asing di Merauke pada akhir 2014. Kelima kapal tersebut adalah KM. SINO 16 GT. 275, KM. SINO 17 GT. 265, KM. SINO 18 GT. 265, KM. SINO 28 GT. 265 dan KM. SINO 29 GT. 265 milik PT. Sino Indonesia Shunlida Fishing berpangkalan di Merauke Papua dengan barang bukti yang diamankan 5 unit kapal, 5 unit alat tangkap pukat ikan, 5 bundel dokumen dan ikan campuran sekitar 393 ton. Foto : PSDKP Tual


Pengawas Perikanan Lingkup Stasiun Pengawasan SDKP Tual menangkap 5 kapal eks asing di Merauke pada akhir 2014. Kelima kapal tersebut adalah KM. SINO 16 GT. 275, KM. SINO 17 GT. 265, KM. SINO 18 GT. 265, KM. SINO 28 GT. 265 dan KM. SINO 29 GT. 265 milik PT. Sino Indonesia Shunlida Fishing berpangkalan di Merauke Papua dengan barang bukti yang diamankan 5 unit kapal, 5 unit alat tangkap pukat ikan, 5 bundel dokumen dan ikan campuran sekitar 393 ton. Foto : PSDKP Tual

Menurut Wakil Ketua Satgas IUU Fishing Yunus Husen, putusan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi Ambon tersebut jauh lebih berat dibandingkan dengan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Perikanan Ambon yang menghukum dengan denda Rp100 juta dan subsidair empat bulan.

Untuk diketahui, kapal-kapal Sino ditangkap di perairan Arafura, Maluku pada 8 Desember 2014 oleh KRI Abdul Halim Perdanakusuma 335 dan TNI AL. Kapal-kapal tersebut ditangkap karena menangkap ikan di perairan Indonesia dan menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan Surai Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

Dua putusan dalam waktu hampir bersamaan di dua daerah berbeda tersebut diapresiasi oleh Tim Satgas IUU Fishing. Baik Ota maupun Yunus Husen sama-sama menilai bahwa putusan tersebut sangat baik untuk penegakan hukum dalam pemberantasan IUU Fishing di wilayah perairan Indonesia.

Namun, Ota dan Yunus sepakat bahwa putusan dari Pengadilan Perikanan Merauke dan Pengadilan Tinggi Ambon sifatnya masih belum final. Karena, seluruh terdakwa bisa saja menyatakan banding ke tingkat kasasi.

“Itu bisa saja. Namun bagi kami tetap ini harus diapresiasi. Sekarang yang bisa dilakukan adalah berusaha terus, berdoa saja semoga tidak ada banding dari mereka,” tandas dia.

Seluruh Kapal Sino Ditenggelamkan

Karena sudah divonis bersalah dengan hukuman dan denda, KKP akan bertindak tegas untuk menenggelamkan seluruhnya. Namun, rencana tersebut masih harus menunggu putusan final dari kasus tersebut.

“Jika memang sudah final, kami akan segera menenggelamkan kapal-kapal tersebut,” ungkap Ota. Jika dalam waktu seminggu atau dua pekan ke depan tidak ada banding ataupun kasasi dari kapal-kapal Sino, maka penenggelaman akan langsung dilakukan.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Yunus Husen menegaskan, setelah mendapatkan hukuman dari Pengadilan Perikanan Merauke dan Pengadilan Tinggi Ambon, Tim Satgas akan berusaha untuk mengejarnya hingga ke korporasi.

“Sangat terbuka lebar korporasi untuk dipidanakan. Karena, memang peluangnya ada. Namun, sekarang kita sedang membuat strateginya,” pungkas Yunus.


Pelaku IUU Fishing Dari Tiongkok Dihukum 2 Tahun Dan Denda Rp1 Miliar was first posted on July 7, 2015 at 2:35 am.

HUT Polri, KontraS Soroti Kinerja Polri terkait Konflik Argraria di Sulawesi

$
0
0

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi pada peringatan hari jadi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atau hari Bhayangkara menyampaikan ‘kado’ ulang tahun berupa catatan singkat tentang kinerja Polri sepanjang tahun 2015, termasuk penanganan konflik agraria yang dinilai sarat kekerasan dan kriminalisasi.

Catatan terhadap kinerja Polri ini didasarkan pada pemantauan kinerja institusi kepolisian di wilayah Sulawesi selama 6 (enam) bulan, mulai Januari hingga akhir Juni  2015. Disamping itu, catatan ini juga mengulik beberapa penanganan kasus di tahun sebelumnya, yang hingga sekarang masih menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan oleh kepolisian.

Nasrun, Wakil Kordinator KontraS Sulawesi, dalam pernyataannya kepada media di Makassar, Rabu (1/7/2015) menilai perayaan hari Bhayangkara ke – 69 ini bisa menjadi momentum bagi pemajuan agenda akuntabilitas Polri demi tercapainya reformasi yang utuh dalam tubuh Polri.

“Revolusi mental oleh institusi Polri akan berjalan maksimal bilamana diimplementasikan polisi yang tunduk pada supremasi sipil, penegakan hukum dengan menjamin perlindungan hak-hak masyarakat dan pemenuhan rasa keadilan serta terimplementasikannya penegakan nilai dan prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas kepolisian.”

Di beberapa konflik agraria yang terjadi antara warga dan perusahaan, institusi polri selalu terlibat dan lebih berpihak kepada perusahaan. Keberadaan polisi justru menciptakan rasa takut bagi masyarakat karena tindakan refresif yang dilakukannya. Foto : Wahyu Chandra

Di beberapa konflik agraria yang terjadi antara warga dan perusahaan, institusi polri selalu terlibat dan lebih berpihak kepada perusahaan. Keberadaan polisi justru menciptakan rasa takut bagi masyarakat karena tindakan refresif yang dilakukannya. Foto : Wahyu Chandra

Terkait penyelesaian kasus konflik agraria, Nasrun menjelaskan bahwa sejak awal tahun hingga Juni 2015, sejumlah peristiwa kekerasan yang terjadi yang melibatkan institusi kepolisian, antara lain sengketa antara PTPN XIV dan Serikat Tani Polongbangkeng Takalar dan konflik antara perusahaan tambang PT Derawan Berjaya Mining dengan petani Desa Polara, Desa Tondonggito, Desa Waturai dan Desa Kekea di pesisir Pulau Wamonii Kendari, Sulawesi Tenggara.

Nasrun menceritakan bahwa pada bulan April, satuan Brimobda melakukan pengamanan terhadap pengolahan secara paksa yang dilakukan pihak PTPN XIV Takalar yang dilaksanakan dari pagi hingga dini hari. Pengamanan ini pun dilakukan oleh anggota Brimob lengkap dengan persenjataan dengan konvoi mengitari sejumlah desa di sekitar lokasi lahan yang disengketakan.

“Hal ini mengakibatkan para petani mengalami ketakutan. Bahkan, tak jarang para petani yang masuk ke lokasi lahan selalu dihadang oleh anggota Brimob tersebut, ungkap Nasrun.

Kejadian lainnya di bulan Mei 2015, sejumlah anggota Brimob lengkap dengan senjata, mendatangi dan mencari Dg. Toro, salah seorang pimpinan Serikat Tani Polongbangkeng Takalar. Peristiwa tersebut terjadi jelang malam hari dan dinilai tanpa alasan yang jelas. Di akhir bulan Mei, Dg. Puji, nenek berusia 65 tahun dikriminalisasi dengan tuduhan telah melakukan penganiayaan terhadap seorang karyawan PTPN XIV hingga mengalami pendarahan pada tanggal 11 Mei 2015.

Faktanya, pada 11 Mei 2015 tersebut, Dg. Puji tidak sedang berada di lokasi lahan melainkan sedang berobat dikarenakan sedang sakit.

“Pada kasus Dg. Puji ini, pihak Polres Takalar terkesan sangat memaksakan agar kasus tersebut tetap diproses secara hukum, tanpa melihat fakta dan kondisi yang dialami oleh Dg Puji.”

Kasus kekerasan juga terjadi di Sulawesi Tenggara, tepatnya tanggal 3 Mei sekitar pukul 04.00 WITA, dimana anggota Brimob Polda Sulawesi Tenggara berjumlah 3 peleton lengkap dengan persenjataan masuk ke desa Batulu dan Tokenea, Pulau Wamonii Kendari, dan mendatangi rumah Ismail dengan maksud menangkap Muamar dan Hasim Lasao dengan tuduhan sebagai provokator peristiwa pembakaran basecamp PT Derawan Berjaya Mining pada tanggal 8 Maret 2015.

“Pada peristiwa ini, warga yang berusaha menghalangi upaya penangkapanan tersebut direspon aparat kepolisian dengan melakukan penembakan brutal, penganiayaan, intimidasi dan bahkan pelecehan seksual.”

Terdapat 14 warga mengalami kekerasan dalam peristiwa tersebut, 3 orang mengalami luka tembak, 9 mengalami berbagai bentuk penganiayaan, seorang ibu diancam dengan ditodongkan senjata api sementara seorang perempuan mengalami pelecehan seksual.

Terkait upaya penegakan hukum, pada berbagai peristiwa tersebut KontraS Sulawesi mempertanyakan konsistensi penegakan hukum oleh kepolisian demi upaya perlindungan hak-hak hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

“Berbagai respon aparat kepolisian terhadap sejumlah peristiwa dengan masih menggunakan pendekatan bentuk-bentuk kekerasan malah mengakibatkan hilangnya rasa aman bagi masyarakat.”

Kenyataan yang terlihat, aparat kepolisian malah mengedepankan proses penegakan keadilan dan memisahkannya dengan upaya perlindungan hak dan pemenuhan rasa keadilan. Hal ini mengakibatkan sejumlah kasus kekerasan oleh aparat kepolisian yang masih mengalami kemandekan.

Penggunaan senjata api berlebihan

Selain konflik agraria, KontraS mencatat setidaknya 54 peristiwa kekerasan dengan 99 korban yang melibatkan Polri di Sulawesi sepanjang 2015.  “Kami yakin, jumlah peristiwa dan korban berjumlah yang sesungguhnya melebihi dari apa yang dapat kami catat,” jelas Nasrun.

Berbagai tuntutan masyarakat terhadap reformasi institusi kepolisian. Penggunaan senjata api secara berlebihan mendominasi tindak kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian, dimana ditemukan kasus sebanyak 18 peristiwa penembakan yang dilakukan polisi terjadi di medio Januari – Juni 2015. Foto : Wahyu Chandra

Berbagai tuntutan masyarakat terhadap reformasi institusi kepolisian. Penggunaan senjata api secara berlebihan mendominasi tindak kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian, dimana ditemukan kasus sebanyak 18 peristiwa penembakan yang dilakukan polisi terjadi di medio Januari – Juni 2015. Foto : Wahyu Chandra

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat Polri meliputi tindakan penyiksaan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang kepada masyakat sipil. Juga intimidasi dan kriminalisasi, bahkan pelecehan seksual  pada penanganan konflik sengketa lahan.

“Kami juga mencatat bahwa dalam upaya pemberantasan terorisme, aparat kepolisian masih kerap melakukan penggunaan kekuatan berlebihan dan penyalahgunaan kewenangan.” Sebanyak 18 peristiwa penembakan terjadi di medio Januari – Juni 2015, mengakibatkan 4 orang meninggal dan 22 orang menderita luka-luka.

“Dalam penanganan maraknya begal’ di beberapa wilayah di Sulawesi, anggota kepolisian masih kerap menindak para tersangka dengan melepas tembakan yang umumnya terjadi pada saat proses penangkapan.”

Kebebasan Pers Terancam

Nasrun juga menilai adanya arogansi aparat kepolisian masih terlihat ditataran penghormatan dan perlindungan hak berekspresi dan jaminan kebebasan pers. Setidaknya terdapat 7 peristiwa yang direspon oleh aparat kepolisian dengan tindakan penganiayaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang berujung pada tindak kriminalisasi, intimidasi dan pembiaran.

Terkait jaminan kebebasan pers, pada 14 Januari, Marvil Rumerung, seorang wartawan media cetak di Manado mengalami pemukulan hingga bibir berdarah oleh Kanit Lantas saat sedang meliput pencarian korban hanyut di Sungai Mangas.

“Ini menjadi indikasi adanya ancaman bagi kekebasan pers yang berasal dari institusi kepolisian.”

Rekomendasi untuk Polri

KontraS Sulawesi memberi rekomendasi kepada Polri sebagai upaya untuk reformasi diri.

Pertama, agar Polri meningkatkan profesionalisme dan menguatkan akuntabilitas serta transparansi penegakan hukum dengan melakukan pengawasan berkala dari tingkat Polda hingga ke Polres dan Polsek.

“Peningkatan mutu dan akuntabilitas kinerja Propam sebagai salah satu satuan pengawas internal dan harus ditempatkan secara independen sehingga bebas dari berbagai bentuk intervensi.”

Kedua, membuka ruang pemulihan sebagai bentuk pertanggungjawaban institusi kepolisian atas kesalahan penindakan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, sesuai dengan apa yang diatur dalam PerKap HAM no. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian.

Ketiga, menuntut evaluasi menyeluruh kinerja Densus 88 Anti Teror agar penanganan dan pemberantasan terorisme sesuai hak asasi manusia para terduga teroris. Mengedepankan asas praduga tak bersalah dan menghindari pendekatan senjata api serta mendorong upaya deradikalisasi.

Keempat, meminta institusi kepolisian membuka diri terhadap kontrol dan pengawasan eksternal baik oleh lembaga negara lainnya maupun terhadap partisipasi masyarakat sipil. Hal

“Dari kesemuanya itu, KontraS Sulawesi turut mendorong agar adanya upaya melakukan revisi UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang mana mengarah pada tercapainya reformasi institusi kepolisian. Sehingga Kepolisian Republik Indonesia meninggalkan perilaku militerisme dan menjadi polisi sipil.”

 


HUT Polri, KontraS Soroti Kinerja Polri terkait Konflik Argraria di Sulawesi was first posted on July 7, 2015 at 5:25 am.

Indonesia Mengejar Penghematan Energi 10 Persen

$
0
0

Indonesia bergerak cepat untuk mengejar ketertinggalan dari sejumlah negara di ASEAN dan di dunia yang sudah lebih dulu menerapkan kebijakan konservasi dan efisiensi energi, dengan memulai menerapkannya dari industri.

Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Farida Zed mengungkapkan, konservasi energi dan energi efisiensi menjadi misi penting yang harus dilaksanakan oleh Indonesia saat ini, karena menyangkut berbagai hal dan hajat hidup orang banyak.

“Kita sudah menyusun bersama-sama baseline seperti apa. Itu berguna untuk mendukung road map yang kita buat untuk pelaksanakan kebijakan konservasi energi dan energi efisiensi,” ungkap Farida dalam gelaran SWITCH-Asia regional conference and networking event yang digelar di Sari Pan Pasific Hotel, Jakarta, Selasa (07/07/2015).

Instalasi Solar Panel sebagai energi ramah lingkungan. Foto: Tommy Apriando

Instalasi Solar Panel sebagai energi ramah lingkungan. Foto: Tommy Apriando

Menurut Farida, pemerintah menargetkan pada 2020 bisa tercapai penghematan energi hingga 10 persen. Untuk mencapai goal tersebut, dari sekarang berbagai langkah sudah dilakukan untuk mendukung target tersebut, antara lain melakukan labelling dan penerapan standardisasi semua peralatan yang digunakan dalam kehidupan harian.”Jadi, semua peralatan yang kita gunakan dan masuk itu kita standardisasi. Sehingga, kita dapatkan barang yang memang hemat energi,” jelasnya.

Selain langkah di atas, upaya yang sudah dilakukan untuk mewujudkan 10 persen penghematan energi pada 2020, kata Farida, adalah dengan melakukan sosialisasi dan membenahi peraturan regulasi. Kemudian, ada juga langkah membangun manager energy yang akan disebar ke seluruh sektor industri.

“Akan ada 1500 auditor dan manager energy yang akan kita bentuk hingga 2025,” tuturnya.

Peran Perbankan

Dalam upaya percepatan penerapan konservasi energi dan efisiensi energi, Pemerintah sengaja menggandeng perbankan dan lembaga keuangan untuk bersama-sama menggiring industri dari hulu ke hilir melaksanakan kebijakan tersebut.

Dengan menggandeng perbankan dan lembaga keuangan, industri diharapkan mendapatkan kemudahan untuk melaksanakan kebijakan. Misalnya, jika ada perusahaan yang ingin mengganti mesin ataupun teknologi yang lebih hemat energi, maka perbankan atau lembaga keuangan bisa memberikan kredit.

Saat ini, industri yang sudah terlibat aktif adalah industri semen dengan motornya Semen Gresik dan Semen Padang, industri baja, industri tekstil, dan pembangkit-pembangkit listrik.”Industri-industri tersebut sudah mulai melakukan penghematan energi dan itu bisa mendapatkan cost energy lebih rendah dan bisa survive dari persaingan global. Dari Pemerintah kita fasilitasi dengan kehadiran manager energy,” tutur Farida.

Selain industri tersebut, Farida memaparkan, pihaknya sedang mendorong industri lain sepert industri tambang dan batubara untuk menerapkan kebijakan tersebut. Dengan ikut terlibat, industri tersebut bisa membantu penghematan energi nasional dan memperpanjang umur cadangan.

35 Persen

Sementara itu menurut UNEP representative, Coordinator of SWITCH-Asia Regional Policy Support Component, Sabin Basnyat, sebagai negara berpenduduk banyak, Indonesia bisa meraih hasil maksimal dalam menerapkan kebijakan konservasi energi dan efisiensi energi, dengan syarat pelibatan masyarakat.

“Jika masyarakat dilibatkan, akan ada penghematan energi hingga 35 persen. Itu jumlah yang sangat besar,” ungkap Sabin.

Sabin menjelaskan, syarat mendapatkan 35 persen itu cukup mudah didapat hanya dengan mengubah gaya hidup di setiap rumah tangga. Contohnya, adalah bagaimana membiasakan setiap masyarakat untuk selalu mematikan lampu jika sedang tidak digunakan. Atau, bagaimana menanamkan pola pikir bahwa penggunaan pendingin ruangan (AC) tidak harus dalam kondisi terdingin.

“Untuk lampu, kan bisa dimulai dengan menggunakan lampu LED. Itu sudah membantu untuk ikut menghemat energi nasional. AC juga temperaturnya tidak harus rendah,” jelas dia.

Sedangkan Delegasi khusus Uni Eropa untuk Indonesi, Ria Noviari Butarbutar terkait melihat Indonesia harus bisa menerapkan konservasi energi dan efisiensi energi, karena memang banyak produk (industri) yang dihasilkan dikirim ke Eropa.

“Asia, khususnya Indonesia adalah negara penting karena memproduksi banyak kebutuhan untuk Eropa. Sementara, Eropa jua sangat fokus untuk menerapkan kebijakan yang berkaitan dengan energi baru terbarukan dan konservasi energi,” ungkap Ria.

Aktivis Lingkungan dari Tunas Hijau menunjukkan peralatan elektronik yang hemat energi dan yang boros energi. Foto : Petrus Riski

Aktivis Lingkungan dari Tunas Hijau menunjukkan peralatan elektronik yang hemat energi dan yang boros energi. Foto : Petrus Riski

Sebagai mitra di Indonesia, Ria menjelaskan, Uni Eropa sudah mendanai sembilan dari total 81 proyek yang ada di 16 negara. Proyek-proyek tersebut, semuanya bertujuan untuk melaksanakan konservasi energi dan efisiensi energi.

Dalam kesempatan yang sama, Executive Director of ASEAN Centre for Energy, Sanjayan Velautham mengatakan, kebijakan konservasi energi dan efisiensi energi saat ini menjadi isu pokok di ASEAN. Untuk tingkatan regional tersebut, diharapkan pada tahun ini bisa didapatkan penghematan energi hingga delapan persen.

“Masing-masing negara di ASEAN punya target sendiri-sendiri. Ini sangat baik. Kita harus terus mengenalkan kepada orang-orang untuk selalu menggunakan energi yang efisien dalam setiap aktivitas kehidupan. Negara lain sudah berjalan dan Indonesia diharapkan bisa segera mengikuti jejak negara lain tersebut,” tandasnya.


Indonesia Mengejar Penghematan Energi 10 Persen was first posted on July 8, 2015 at 7:28 am.

Mahasiswa Pelaku Perdagangan Satwa Ternyata Target Interpol

$
0
0

Tim Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse dan Kriminal (Tipiter Bareskrim) Mabes Polri menggerebek rumah  kost seorang mahasiswa berinisial RD di Dramaga, Bogor, Senin (06/07/2015) yang lalu. Rumah kost tersebut beralamat di Kampung Hegarmanah Nomi 21 RT 01 RW 06, Desa Ciherang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Rumah itu diduga menjadi tempat penampungan satwa langka yang dilindungi untuk kemudian diperjualbelikan melalui internet.

Penggerebekan ini dilakukan atas dukungan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Wildlife Conservation Society (WCS). Informasi tentang RD sendiri bermula dari pihak kepolisian Australia yang menyebutkan banyaknya reptil langka yang beredar di Australia yang diperjualbelikan secara daring.

Direktur Tipiter Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Yazid Fananie mengatakan bahwa penggerebekan ini dilakukan setelah pihaknya melakukan penyidikan dan berhasil mengetahui lokasi penyimpanan satwa langka dilindungi di Dramaga. “Kami langsung menggerebek lokasi ini dan menangkap satu orang berinisial YJ, 28 tahun, yang diduga bertugas menjaga dan merawat satwa-satwa tersebut,” jelasnya di lokasi penggerebekan, pada Selasa, (07/07/2015).

RD yang diketahui sebagai seorang mahasiswa kampus terkenal di Bogor ini tidak berada di tempat saat penggerebekan. Namun saat berita ini diluncurkan, terkonfirmasi bahwa RD sudah menyerahkan diri. Keduanya terancam pasal 40 junto pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp.100 juta.

Ular sawah, dipelihara untuk diambil daging dan sebagai obat tradisional. (c) yohanes

Ular sawah, dipelihara untuk diambil daging dan sebagai obat tradisional. (c) yohanes

Dalam operasi ini, berhasil diamankan barang bukti 35 ekor reptil langka yang sebagian besar berasal dari Papua. Dijelaskan lebih lanjut, dari ke-35 barang bukti tersebut, 30 ekor di antaranya merupakan jenis Conrophyton viridis atau biasa disebut ular phyton hijau Papua. Selain itu, terdapat 1 ekor biawak ekor biru (Varanus doreanus), 3 ekor biawak hijau papua (Varanus salvadorii) dan 1 ekor kadal payung asal papua.

Irma Hermawati, koordinator Wildlife Crimes Unit (WCU) menyampaikan bahwa RD sudah menjadi incaran sejak lama. Dari pengamatan WCU, RD sudah memiliki jaringan internasional dan bahkan sudah terkenal di kalangan kolektor reptil langka. Dia juga diketahui menjalankan bisnisnya sendiri, sejak pengadaan hingga penjualan langsung ke konsumen.

“RD selama ini menjalankan bisnisnya melalui internet. Meski masih mahasiswa, jaringannya sudah internasional,” jelas Irma.

Lebih lanjut Irma menyampaikan bahwa konsumen RD tidak hanya dari dalam negeri saja. Dia juga melakukan tawar menawar dengan pembeli dari luar negeri. Biasanya satwa yang diperjualbelikan dikirim melalui jasa pengiriman barang internasional.

Seekor biawak (Varanus salvadorii) di habitatnya. FOto : H.A Wahyudi

Seekor biawak (Varanus salvadorii) di habitatnya. FOto : H.A Wahyudi

Saat dikonfirmasi tentang kondisi terkini satwa yang disita, Irma menjelaskan bahwa satwa-satwa tersebut sementara ini dititipkan ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Namun dia menegaskan bahwa sebaiknya setelah proses penyidikan selesai, satwa-satwa tersebut secepatnya dilepasliarkan kembali ke habitatnya di Papua.

“Kami dari WCS dan JAAN siap memfasilitasi pelepasliaran kembali di Papua. Mestinya setelah satwa tersebut menjalani proses pemeriksaan dan dinyatakan siap untuk dilepasliarkan kembali. Kami berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat mendorong upaya pelepasliaran ini,” tegas Irma.

Perdagangan satwaliar ilegal selama ini masih dianggap sebagai hal yang biasa bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, pertengahan tahun ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis data yang sangat mengejutkan. Ternyata Indonesia mengalami kerugian mencapai 300 Triliun Rupiah dalam 2-3 tahun terakhir ini, hanya dari satwaliar.

 


Mahasiswa Pelaku Perdagangan Satwa Ternyata Target Interpol was first posted on July 8, 2015 at 10:35 am.

Ikan Kini Resmi Jadi Komoditas Kebutuhan Pokok di Indonesia

$
0
0

Pemerintah Indonesia akhirnya resmi menetapkan ikan jadi komoditas terkini yang masuk sebagai bahan pokok dan barang penting melalui Peraturan Presiden No 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Perpres di mata Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut dianggap sangat tepat karena ikan saat ini semakin diminati banyak orang dan sudah menyebar luas ke berbagai negara.

“Walaupun ada negara yang tidak memiliki pantai atau lautan, namun ikan dari laut tetap menjadi komoditas favorit. Karenanya, negara tersebut mengimpor ikan dari negara lain,” ujar Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (P2HP KKP) Saut P. Hutagalung.

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Menurut Saut, terus meningkatnya minat masyarakat dunia terhadap ikan tersebut, menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk segera menetapkan ikan sebagai bagian dari komoditas pokok nasional. Karena, jika sudah menjadi kebutuhan masyarakat dunia, konsumsi ikan dipastikan akan terus meningkat dari waktu ke waktu.

“Jika sudah demikian, maka potensi untuk terjadinya kelangkaan ikan bisa saja terjadi. Ini sama dengan yang dialami beras, yang sudah menjadi komoditas pokok sejak lama. Karena menjadi kebutuhan utama, beras banyak diburu dan sering kali terjadi kelangkaan,” jelas Saut.

“Memang belum terjadi kelangkaan sejauh ini. Namun, untuk mengantisipasinya, maka ikan ditetapkan sebagai kebutuhan pokok. Itu sudah benar,” lanjutnya.

Karena sudah menjadi kebutuhan pokok, Saut mengaku tak khawatir jika produksi ikan ke depan akan menurun. Terutama, karena ikan dari Indonesia selama ini selalu diekspor ke negara lain di Asia dan sejumlah negara di Eropa.

Saut menerangkan, langkah berikut yang akan diambil setelah ikan ditetapkan menjadi bagian dari kebutuhan pokok nasional, adalah dengan membuat perencanaan stok dan harga acuan ikan. Dengan melakukan hal tersebut, ketersediaan dan produksi ikan dari sekarang hingga masa mendatang akan lebih teratur dan terjamin

Terkait penetapan harga acuan ikan, Saut memaparkan bahwa hingga saat ini pihaknya masih belum memilikinya. Namun, dia berjanji secepatnya harga acuan ikan bisa segera dibuat dan diumumkan ke publik.

“Harga acuan ini sama dengan HET (harga eceran tertinggi) untuk sejumlah produk yang banyak diminati. Dengan harga acuan, diharapkan transaksi perdagangan ikan bisa lebih terpantau lagi,” tutur dia.

Dua Undang-Undang

Penetapan ikan menjadi barang kebutuhan pokok, ternyata tidak muncul begitu saja. Menurut Saut Hutagalung, prosesnya dimulai dari inisiasi KKP kepada Pemerintah Indonesia karena ikan saat ini sudah semakin banyak peminat dan berpotensi bisa memicu kelangkaan.

Setelah inisiasi dilakukan, kemudian ditelaah dan dipelajari. Kemudian, dua undang-undang dijadikan acuan untuk mengukur apakah ikan sudah pantas dijadikan barang kebutuhan pokok atau tidak untuk saat ini.

Dua undang-undang itu adalah UU No.18/2012 tentang Pangan dan UU No.7/2014 tentang Perdagangan. Setelah itu, ikan baru diputuskan masuk dalam kategori bahan pokok dan dituangkan dalam Perpres No.71/2015.

Dalam Perpres tersebut, ikan menjadi bagian barang pokok bersama beras, kedelai bahan baku tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras.

Pasokan Ikan Melimpah, Namun Permintaan Turun

Sementara itu, terkait kebutuhan Ramadhan tahun ini, Saut mengutarakan bahwa kondisinya saat ini terjamin. Hal itu, karena pasokan ikan tahun ini lebih baik dibandingkan pada Ramadhan tahun lalu. Tahun ini, pasokan ikan untuk Ramadhan jumlahnya mencapai 1,25 juta ton dan estimasi kebutuhan ikan sendiri jumlahnya hanya 1,1 juta ton saja.

“Namun, walau pasokan melimpah, permintaan ikan pada Ramadhan tahun ini menurun. Penurunannya mencapai kisaran 20 hingga 20 persen,” ungkap Saut.

Meski demikian, Saut memperkirakan, selama menjelang dan sesudah Lebaran, pasokan ikan segar akan mengalami penyusutan tajam baik dari ikan laut maupun ikan budidaya. Selama periode tersebut, ikan yang beredar di pasaran akan didominasi oleh ikan olahan.

“Namun itu sudah menjadi situasi yang normal. Karena memang nelayan maupun pembudidaya akan memilih untuk libur karena momen Lebaran,” tandas dia.

Sementara itu Kepala Balitbang KP Achmad Poernomo, pada kesempatan terpisah, mengakui bahwa saat ini ketersediaan ikan sedang banyak. Kondisi tersebut karena memang nelayan banyak yang mengejar untuk kebutuhan Lebaran.

“Bahkan, menjelang Lebaran, sebenarnya akan terjadi puncak pasokan ikan. Tapi, itu akan habis seketika karena permintaan juga sangat tinggi. Ini menjadi siklus tahunan yang sudah biasa terjadi,” tutur dia.

Achmad mengatakan, selama pasokan ikan segar tidak ada karena Lebaran, ikan yang akan masuk ke pasaran lebih banyak berasal dari ikan olahan. Contohnya, ikan pindang, bandeng, ikan asin, atau ikan kemasan.”Akan banyak ikan olahan nantinya,” tandas dia.


Ikan Kini Resmi Jadi Komoditas Kebutuhan Pokok di Indonesia was first posted on July 9, 2015 at 3:51 am.

Menghadirkan Keragaman Burung Di Baluran Dalam Android

$
0
0

Kini para pengamat burung maupun pengunjung tidak perlu lagi susah-susah untuk melihat keragaman burung di Taman Nasional Baluran. Swiss Winasis, staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) di Taman Nasional yang juga berjuluk Little Africa ini, berhasil membangun sebuah aplikasi berbasis android untuk memandu kita melihat burung-burung yang ada di Baluran. Aplikasi ini dapat diunduh secara gratis melalui gadget dengan mudah.

Swiss menjelaskan bahwa ide dasar aplikasi ini berawal dari pemikiran sederhana bahwa menjadi peneliti di kawasan konservasi sebenarnya tidak memerlukan berbagai peralatan mahal. Cukup dengan mengoptimalkan fungsi smartphone, yang sekarang ini hampir semua orang memiliki.

“Gadget kita sudah dilengkapi dengan fungsi GPS, notes, talleysheet dan juga kamera. Fungsi-fungsi itu sudah sangat cukup untuk kepentingan dokumentasi di lapangan,” jelas penulis buku Birds of Baluran ini.

Pemikiran itu pula yang kemudian melandasi ide membangun sebuah aplikasi yang bisa diakses banyak orang dan memudahkan mereka dalam mengeksplorasi kekayaan hayati Taman Nasional Baluran. Di mulai sejak bulan Desember 2014 yang lalu, Swiss mulai berkutat dengan kode-kode program yang direlease oleh Victoria Museum.

Tampilan aplikasi panduan keragaman hayati burung di Taman Nasional Baluran berbasis android, yang dikembangkan oleh  Swiss Winasis, staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Aplikasi gratis ini dapat memandu pengguna melihat burung-burung yang ada di Baluran. Foto : Hariyawan A Wahyudi

Tampilan aplikasi panduan keragaman hayati burung di Taman Nasional Baluran berbasis android, yang dikembangkan oleh Swiss Winasis, staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Aplikasi gratis ini dapat memandu pengguna melihat burung-burung yang ada di Baluran. Foto : Hariyawan A Wahyudi

Dia mengaku perlu 2 bulan untuk mempelajari bahasa kode dan cara mengedit agar sesuai dengan yang diinginkan. Dengan dibantu 4 orang relawan, yaitu Kukuh, Lutfian, Nurdin dan Arief Budiawan, aplikasi yang sudah jadi tersebut mulai diisi dengan data burung yang bersumber dari buku Birds of Baluran yang sudah terbit beberapa tahun sebelumnya.

“Secara khusus, saya mengapresiasi keempat orang relawan ini. Karena tanpa mereka aplikasi tersebut akan butuh waktu sangat lama untuk selesai,” lanjut Swiss.

Memudahkan Pengamat Burung Menjumpai Spesies

Aplikasi ini sendiri saat ini sudah diunduh lebih dari 300 kali. Hal ini menunjukkan bahwa respon publik cukup antusias terhadap aplikasi ini. Swiss menyadari bahwa angka tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan aplikasi seperti game atau aplikasi populer lainnya.

“Isu konservasi spesies di Indonesia bukanlah isu populer bagi publik luas, sehingga jumlah orang yang men-download tersebut menurut saya sudah merupakan angka yang menggembirakan. Itu tandanya mereka merasa terbantu dengan adanya aplikasi itu,” akunya.

Happy Ferdiansah, salah satu pengunjung Taman Nasional Baluran yang juga mencoba menggunakan aplikasi ini, mengaku sangat terbantu oleh aplikasi tersebut. Setiap melihat burung, dia cukup mengetikkan deskripsi umum yang ada seperti ukuran dan warna. Secara otomatis aplikasi akan menyeleksi jenis burung yang ada berdasarkan deskripsi yang dimasukkan.

“Aplikasi ini memberikan informasi yang sangat lengkap, seperti deskripsi, taksonomi, foto dalam berbagai pose, penggunaan ruang di dalam kawasan hutan dan juga distribusi  spatial di kawasan Taman Nasional Baluran,” jelasnya.

Seorang pengunjung Taman Nasional Baluran memperlihatkan aplikasi panduan keragaman hayati burung di Baluran berbasis android, yang dikembangkan oleh  Swiss Winasis, staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Aplikasi gratis ini dapat memandu pengguna melihat burung-burung yang ada di Baluran. Foto : Hariyawan A Wahyudi

Seorang pengunjung Taman Nasional Baluran memperlihatkan aplikasi panduan keragaman hayati burung di Baluran berbasis android, yang dikembangkan oleh Swiss Winasis, staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Aplikasi gratis ini dapat memandu pengguna melihat burung-burung yang ada di Baluran. Foto : Hariyawan A Wahyudi

Selain berguna sebagai panduan saat mengunjungi Taman Nasional Baluran, aplikasi ini juga sangat berguna bagi para pengamat burung pemula untuk belajar mengidentifikasi jenis burung. Sebagaimana kebiasaan para pengamat burung, mereka selalu membawa buku panduan identifikasi selama di lapangan. Seringkali, buku-buku tersebut cukup merepotkan karena berat dan juga medan yang berat dan menyulitkan.

“Dengan menggunakan aplikasi ini, kita hanya perlu membawanya dalam saku kita. Dan pastinya, kemanapun pergi, gadget selalu,” lanjut Happy.

Membangun Aplikasi Dengan Uang Sendiri

Saat ditanya berapa biaya yang dibutuhkan untuk membangun sistem semacam ini, Swiss secara lugas menyatakan bahwa mereka membangun ini tanpa ada support dana dari manapun. Mereka murni menggunakan dana sendiri.

“Bagi saya, bekerja di konservasi itu adalah pekerjaan kerja bakti. Nilai ibadahnya lebih berarti dibanding uangnya,” jelasnya.

Dia juga sangat berharap kepada komunitas developer di Indonesia untuk turut mengembangkan aplikasi yang bermanfaat untuk lingkungan hidup. Menurutnya, programer Indonesia tidak kalah dengan programer dari negara maju. Sayangnya, selama ini ketertarikan mereka masih kepada membuat game.

Selain itu, dia juga ingin menunjukkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mulai meninggalkan ketergantungan terhadap kertas. “Lembaga tempat saya bekerja memiliki tanggung jawab yang besar untuk mulai berada di depan dalam kampanye paperless. Dan aplikasi ini salah satu contoh yang bisa dikembangkan,” tegasnya.

Lutfian Nazar, salah satu relawan yang turut membangun aplikasi ini sendiri mengatakan bahwa meski tidak dibayar, dia mengaku senang dapat terlibat. Menurutnya, tidak semua pekerjaan di dunia konservasi harus melibatkan uang, karena seringkali bekerja berdasarkan uang justru membuat kita jadi tertekan.

“Berawal dari senang pengamatan burung, kemudian ada keinginan untuk terus belajar mengembangkan konservasi burung di Indonesia. Membangun aplikasi ini adalah salah satu media yang efektif dalam konservasi spesies,” jelas alumni Universitas Negeri Semarang yang sejak tahun 2006 sudah mulai menggeluti  bidang konservasi spesies ini.

Dia hanya berharap, aplikasi ini dapat diunduh sebanyak mungkin pengamat burung di Indonesia sebagai media belajar. Lebih jauh lagi, mereka dapat mengembangkan aplikasi serupa untuk daerah mereka masing-masing.


Menghadirkan Keragaman Burung Di Baluran Dalam Android was first posted on July 10, 2015 at 2:00 am.

Akhir Tahun Ini, Indonesia Berlakukan SVLK untuk Seluruh Eksportir Kayu

$
0
0

Indonesia menjadi negara pertama yang akan mendapatkan kemudahan ekspor kayu dan turunannya ke Eropa mulai akhir tahun ini, karena Indonesia berhasil merampungkan proses negosiasi dengan Uni Eropa (UE) dalam perjanjian Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT).

Kepastian itu didapat setelah Indonesia yang diwakili KLHK mengadakan pertemuan The Third Joint Implementation Committe (JIC) FLEGT dengan UE yang dilaksanakan pada Rabu (08/07/2015). Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Ida Bagus Putera Prathama, seusai pertemuan mengatakan, kemudahan ekspor ke Eropa akan diberikan untuk produk kayu dan turunannya yang sudah memiliki sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

“Kita akan berikan akses itu kepada siapa saja yang bisa menghasilkan kayu dengan sertifikat SVLK. Bisa pengusaha dan bisa juga IKM (industri kecil menengah),” ungkap Ida Bagus kepada Mongabay.

Kayu-kayu hutan alam dan kemenyan yang dibabat untuk berganti ekaliptus di Register 41, Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro

Kayu-kayu hutan alam dan kemenyan yang dibabat untuk berganti ekaliptus di Register 41, Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro

Menurutnya saat ini proses negosiasi dengan UE sudah berjalan jauh dan sudah memasuki tahap akhir. Diharapkan, pada Oktober mendatang sudah bisa dilakukan penandatanganan untuk kerjasamanya, sehingga pada akhir tahun pengiriman kayu-kayu dan turunannya sudah bisa dilakukan dengan lancar.

“Kayu-kayu yang akan masuk ke Eropa adalah kayu hijau yang sudah dipastikan melalaui sertifikat SVLK. Jadi tidak akan melalui due dilligence lagi. Ini jelas menguntungkan karena membuat Indonesia lebih kompetitif di pasar ini,” jelas Ida.

Deklarasi Ekspor

Dalam proses negosiasi tahap akhir yang sekarang sedang dilakukan, Ida Bagus mengatakan bahwa saat ini pihaknya fokus pada tiga list saja, yaitu Deklarasi Ekspor (DE), tindak lanjut pemerintah terhadap unit manajemen yang tidak lulus (compliance), dan evaluasi bertahap (periodic evaluation).

Dengan list tersebut, Ida Bagus mengaku optimis itu akan bisa dicapai kesepakatan pada September mendatang. Khusus untuk DE, dia mengungkapkan bahwa itu menjadi pembahasan lanjutan karena sebelumnya ada produk kayu dan turunannya dari Indonesia yang hanya menggunakan DE saja untuk pengantar masuk.

“Namun berikutnya, walau DE sudah ada, kita tetap wajibkan kayu yang akan dikirim ke Eropa harus sudah memiliki sertifikat SVLK. Ini memang menegaskan bahwa posisi DE tidak serta merta menggantikan SVLK,” tutur dia.

Bagi Ida Bagus, persyaratan SVLK memang harus dipenuhi oleh setiap eksportir, karena pihaknya ingin reputasi kayu dan turunannya dari Indonesia bisa sangat baik di tingkat dunia, khususnya di Eropa yang dikenal memilki regulasi ketat terhadap keabsahan produk.

“Memang, hingga saat ini ekspor kayu ke Eropa masih kecil jika dibandingkan dengan ekspor ke Tiongkok atau Jepang. Namun, Eropa adalah pasar yang penting karena reputasinya yang sangat baik di tingkat dunia,” jelas Ida Bagus.

Tingginya reputasi Eropa, menurut dia, ikut memengaruhi kebijakan yang dikeluarkan negara tetangga, Australia. Dia yakin, Australia hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menjalin kerja sama dalam pengiriman kayu dan turunannya. Karena, Australia selama ini sangat tergantung pada Eropa dalam menilai setiap kebijakan produk.

Tanpa SVLK, IKM Akan Ditutup

Kewajiban setiap IKM di Indonesia untuk memiliki seritifikat SVLK sudah menjadi harga mati. Namun, KLHK mengaku akan membantu setiap IKM untuk mendapatkan sertifikat dengan diberikan kemudahan dana. Saat ini, kata Ida Bagus, KLHK sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp30 miliar untuk membantu sertifikasi IKM.

“Saat ini, ada 805 IKM yang terdata resmi di Kemendag. Dari 805, hanya 300 sekian saja yang mengekspor beneran, yang lain tidak aktif. Dari 300 sekian itu, 80 persennya kita sedang bantu untuk dapat (sertifikat) SVLK. Akhir tahun ini sudah bisa selesai,” paparnya.

Untuk bisa mendapatkan sertifikat SVLK, Ida Bagus menerangkan, setiap IKM harus melalui proses seleksi yang dilakukan oleh sekitar 20 lembaga sertfikasi. Itu prosesnya panjang dan memerlukan biaya tidak sedikit. Namun, kata dia, semua biaya tersebut akan ditanggung oleh KLHK.

SVLK kini wajib bagi Indonesia untuk menembus Eropa. Foto: Aji Wihardandi

SVLK kini wajib bagi Indonesia untuk menembus Eropa. Foto: Aji Wihardandi

Akan tetapi, Ida Bagus mengungkapkan, jika IKM tersebut sudah melewati tahap sertifikasi dan dinyatakan tidak lulus, maka statusnya IKM tersebut harus menutup aktivitasnya. Karena, tanpa SVLK keberadaan IKM tersebut adalah ilegal.

“Sebelum mereka dinyatakan ditutup, kita akan berikan kelonggaran dulu. Misalnya, IKM tidak harus mendapatkan 100 persen untuk syarat kelulusan. Namun, untuk surveillance yang pertama, setiap IKM wajib bisa melewatinya,” tandas dia.

Uni Eropa Istimewakan Indonesia

Kepala Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam, dan ASEAN Colin Crooks, dalam kesempatan yang sama menjelaskan, dengan dicapainya kesepakatan FLEGTY license untuk produk kayu dan turunannya, maka posisi Indonesia sudah unggul dari negara lain eksportir kayu ke Eropa.

“Hingga sekarang baru Indonesia yang sudah bisa memiliki sertifikat tersebut. Itu satu keuntungan juga bagi Indonesia. Sementara bagi kami di Eropa, itu juga satu keuntungan karena kami bisa mendapatkan kayu dengan status jelas,” ungkap Colin kepada Mongabay.

Colin berharap, proses negosiasi tahap akhir yang sedang dilakukan sekarang bisa segera diselesaikan secepatnya. Dengan demikian, produk kayu-kayu dan turunannya yang bersertifikat SVLK di Indonesia sudah bisa masuk ke Eropa maksimal pada awal tahun 2016.

“Ini adalah langkah yang indah. Kami berharap langkah seperti ini bisa membantu Indonesia untuk meningkatkan ekspornya ke wilayah Eropa. Kami juga akan mensosialisasikan kabar ini ke negara-negara Eropa,” pungkas dia.

Berdasarkan data KLHK, hingga 7 Juli 2015 ini total ekspor kayu yang memiliki dokumen V-legal dari Indonesia jumlahnya mencapai 9,568 miliar kg dengan nilai USD5,354 miliar.


Akhir Tahun Ini, Indonesia Berlakukan SVLK untuk Seluruh Eksportir Kayu was first posted on July 11, 2015 at 4:38 am.

Sasi, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal Di Raja Ampat

$
0
0

Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah berjalan sekitar setengah jam menyusuri pesisir pantai yang ditumbuhi beragam jenis mangrove, kami akhirnya tiba di lokasi tujuan.

Dalam gelapnya malam, terlihat di kejauhan cahaya kemerahan dari lampu petromaks perahu nelayan. Pantai sedang surut dan kami bisa melangkah hingga puluhan meter ke arah tengah laut, ikut bersama warga yang sedang mencari teripang.

“Ini adalah salah satu wilayah sasi. Tak usah terlalu ke sana, di sini saja,” ungkap Laurent, seorang penduduk lokal yang menemani kami.

Malam itu, kami melakukan perjalanan menuju sebuah kawasan ‘sasi’ yang disebut Tanjung Vagita, yang termasuk dalam wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.

Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi”. Foto : Wahyu Chandra

Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi”. Foto : Wahyu Chandra

Sasi sendiri bisa diartikan sebagai larangan. Sebuah hukum adat berupa larangan mengambil sesuatu di lokasi tertentu, yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan populasi sumberdaya hayati. Sasi dikenal luas di daerah timur Indonesia, khususnya Maluku dan Papua.

Sakralisasi sasi ini bisa dilihat dari proses penutupan dan pembukaannya, yang selalu didahului oleh ritual dan doa-doa tertentu, baik oleh pemangku adat, pendeta di gereja ataupun imam di mesjid.

Laurent lalu memperlihatkan teripang tangkapannya, masih kecil, tak sampai 10 cm. Ia melepasnya kembali, lalu kembali menyusuri pesisir pantai dengan senter tambang yang pasangkan di kepala.

Hewan laut yang hidupnya di dasar dan kadang bersembunyi di antara karang, pasir atau lumpur, tidak selalu menampakkan diri, sehingga proses pencarian memang membutuhkan kejelian tersendiri.

Teripang dicari karena harganya yang mahal, berkisar Rp 300 ribu – Rp1,2 juta per kilo kering, yang tergantung pada jenis. Butuh 15-20 teripang kering baru bisa dapat takaran sekilo.

Menurut Awaluddinnoer, Koordinator Bidang Monitoring dan Evaulasi The Nature Conservancy (TNC) Raja Ampat, pencarian teripang di Folley sudah menjadi tradisi musiman. Ketika sasi telah dibuka maka warga kampung bisa mencari teripang dimana saja di lokasi sasi. Pencarian bisa dilakukan di siang atau pun malam hari.

“Ini tergantung pada jenis teripangnya. Ada sejumlah jenis teripang baru muncul di di siang hari, ada juga di malam hari ketika air sedang surut atau meti.”

Menurut Nugroho Arif Prabowo, Media Officer TNC Raja Ampat, dalam kawasan konservasi laut daerah Raja Ampat, sasi ini termasuk dalam salah satu model atau zona pemanfaatan tradisional dan bahkan memiliki zona tersendiri yang disebut zona sasi.

Umumnya sasi yang dikenal di Misool adalah sasi adat atau sasi gereja dan sasi musiman.

Kunjungan kami ke Kampung Folley pada pertengahan April 2015 ini secara kebetulan bertepatan dengan masa buka sasi. Ketika kami datang, sasi sudah dibuka selama dua hari, dan masih ada lima hari lagi waktu tersisa sebelum ditutup kembali oleh panitia sasi atau gereja.

Seorang warga memperlihatkan teripang hasil panen buka ‘sasi” di Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Tanjung Vagita merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi”. Foto : Wahyu Chandra

Seorang warga memperlihatkan teripang hasil panen buka ‘sasi” di Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Tanjung Vagita merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi”. Foto : Wahyu Chandra

Menurut Kaleb Fadimpo, Kepala Kampung Folley, meski sasi telah dikenal sejak dulu, namun baru di tahun 2009 dilakukan sasi secara meluas dengan melibatkan panitia dari gereja dan petuanan atau pemangku adat setempat, dengan luas wilayah sasi sekitar 84 hektar, memanjang dari garis pantai sekitar 4 km.

“Selama ini sasi yang banyak dilakukan keluarga, dan itu tanpa pengawasan. Itupun tergantung kita saja kapan mau buka atau tutup. Beda dengan sekarang sudah ada pengelolanya dari gereja yang difasilitasi oleh TNC,” ungkap Kaleb.

Menurutnya, meski Folley dikenal kaya dengan teripang, namun pada 1990-2000, teripang berkurang drastis dan bahkan hilang. Ini akibat penangkapan berlebihan tanpa adanya aturan ukuran yang boleh diambil.

“Dulu semuanya diambil dan ini membuat teripang sempat hilang. Kita tak menemukan teripang dimana pun, tak seperti sekarang-sekarang ini.”

Ketika TNC masuk ke Misool di tahun 2007, berbagai sosialisasi konservasi pun dilakukan. Sasi sebagai tradisi leluhur ternyata kemudian sejalan dengan semangat konservasi, sehingga kemudian didorong lebih luas dengan melibatkan gereja dan petuanan setempat.

Pada tahun 2009, pelaksanaan sasi tahap pertama mulai dilakukan di Folley, meski masih diliputi rasa curiga dari warga tentang tujuan TNC di daerah tersebut.

Hasilnya? Ketika sasi dibuka di tahun 2011, banyak teripang yang berhasil dikumpulkan warga. Sayangnya hasil tangkapan yang diperoleh dari sasi pertama ini tak tercatat dengan baik. Kaleb sendiri mengingat bahwa hasilnya jauh melebihi harapan harapan mereka.

Sukses dengan sasi pertama ini, sasi dilanjutkan selama dua tahun, 2011-2013. Bedanya, pembukaan sasi di tahap kedua ini dilakukan setelah dilakukan monitoring.

Monitoring ini adalah sebuah metode untuk mengukur jumlah rata-rata teripang yang ditemukan di lokasi yang dijadikan sebagai lokasi sampling. Di perairan yang agak dalam monitoring dilakukan dengan cara menyelam, sementara di daerah dangkal bisa dengan berjalan sambil melihat ke kanan dan kiri lintasan.

“Sasi dengan monitoring ini adalah sebuah kolaborasi antara pengalaman budaya masyarakat dengan pengetahuan modern. Ada alat ukur yang digunakan untuk mengetahui potensi teripang di lokasi sasi. Jadi tak harus memeriksa seluruh wilayah yang sangat luas,” jelas Awaluddinnoer.

Monitoring ini penting karena dapat menjadi acuan kapan sebuah sasi bisa dibuka dengan hasil yang banyak. Banyak sasi yang gagal karena dibuka di saat yang tak tepat.

Warga memperlihatkan teripang hasil panen buka ‘sasi” di Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Tanjung Vagita merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi”. Foto : Wahyu Chandra

Warga memperlihatkan teripang hasil panen buka ‘sasi” di Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Tanjung Vagita merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi”. Foto : Wahyu Chandra

Tidak hanya soal waktu, lokasi sasi pun ternyata menjadi penentu hasil yang akan diperoleh, sehingga penentuan lokasi sasi pun kemudian harus didahului dengan monitoring.

 

“Ini berbeda dengan pendekatan tradisional yang menetapkan lokasi sasi begitu saja. Makanya banyak juga sasi yang gagal karena dilakukan di lokasi yang tak tepat,” jelas Awaluddinnoer.

 

Ketika pertama kali metode monitoring ini diperkenalkan di tahun 2013, TNC terlebih dahulu membicarakannya dengan pihak petuanan dan gereja.  Setelah izin diperoleh, monitoring pun dilakukan dengan melibatkan tokoh pemuda, pemilik sasi dan tokoh adat serta pemerintah kampung untuk sama-sama terlibat dalam melakukan monitoring.

 

Dari hasil monitoring sasi ternyata ditemukan sekitar 100 ekor teripang dalam 7 transek, dalam jarak sekitar 50 m.

 

TNC lalu menyampaikan hasil monitoring ini kembali kepada masyarakat. Hasil rembuk antara TNC, masyarakat, gereja dan petuanan kemudian memutuskan pembukaan sasi pada tanggal 14 Juni 2013 dan ditutup pada 23 Juni 2013. Pembukaan ini dilakukan melalui sebuah prosesi doa di gereja.

Hasil sasi yang didahului dengan monitoring ini ternyata membuahkan hasil. Jauh dari perkiraan, hasil tangkapan mencapai 1.338 ekor, dengan ukuran rata-rata teripang antara 15-20 cm.

“Selama sasi tersebut dibuka, tercatat 20 nelayan yang memanen selama 4 hari dengan rata-rata tangkapan setiap perahu mencapai 67 teripang per malamnya,” jelas Awaluddinnoer.

Sasi pun berlanjut, kembali selama dua tahun, 2013-2105. Pembukaan sasi yang ketiga ini dilakukan pada pertengahan April 2015, bertepatan dengan kunjungan kami ke Folley.

“Sasi ketiga inilah yang baru dibuka dua hari lalu, dengan kesepakatan buka sasi selama seminggu. Dua hari ini jumlah teripang yang berhasil ditangkap sebanyak 1.232 ekor.”

Hasil tangkapan selama dua hari ini, berdasarkan kesepakatan diserahkan ke panitia sasi untuk disumbangkan untuk pembangunan gereja.

Menyangkut pembagian hasil sasi ini, menurut Awaluddinnoer, memang ditentukan melalui kesepakatan di gereja. Di Folley sendiri, kesepakatannya bahwa hasil tangkapan dua malam pertama akan diberikan kepada panitia atau gereja, lima hari selebihnya akan menjadi milik warga yang menangkapnya.

“Di kampung lain bisa beda. Ada yang menggunakan sistem persentase, misalnya sekian persen untuk gereja, petuanan sebagai pemilik sasi dan warga yang menangkapnya. Jumlah persentasenya juga tergantung pada kesepakatan bersama.”

Sasi ini sendiri memiliki sejumlah aturan. Selain aturan pembagian hasil tangkapan, ada juga tentang ukuran taripang yang boleh ditangkap, yaitu antara 10 – 25 cm. Selain ukuran itu harus dikembalikan lagi ke laut.

“Semua tangkapan itu harus dilaporkan untuk dicatat dan sebagai bentuk pengawasan apakah ukuran teripang yang ditangkap sudah sesuai aturan,” jelas Kaleb.

TNC sendiri, sejak 2015 ini berupaya memperbaiki metode monitoring yang dilakukan dengan melihat pengalaman pada pelaksanaan monitoring sebelumnya.

“Hanya perubahan metode saja yang lebih mudah dipahami oleh warga,” jelas Awaluddinnoer.

Selain di Kampung Folley, sasi yang didorong TNC juga di delapan kampung lainnya, lima di Misool dan empat di Kofiau. Tak semua sasi ini berjalan efektif karena akan sangat tergantung pada efektifitas kepengurusan panitia pelaksana sasi.

Ke depan, TNC berencana akan melakukan penguatan hanya di tiga sasi, yang dinilai memiliki kepengurusan yang berjalan baik.


Sasi, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal Di Raja Ampat was first posted on July 12, 2015 at 5:00 am.

Ikan Juga Bisa untuk Ketahanan Pangan Nasional

$
0
0

Sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia dan sekaligus produsen perikanan terbesar kedua di dunia, Indonesia bisa mengandalkan wilayah kelautannya untuk dijadikan sebagai kawasan ketahanan pangan. Potensi itu sangat besar dan bisa digali lebih jauh. Hanya syaratnya, Indonesia harus bisa mengelola dengan sangat baik.

Demikian diungkapkan Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arief Satria kepada Mongabay. Menurut dia, Indonesia saat ini tetap menjadi salah satu negara kelautan yang besar. Hanya saja, sejak lama pengelolaan sumber daya laut di negara ini masih berantakan dan bahkan cenderung asal-asalan.

“Laut kita termasuk yang terkaya di dunia, kita juga jadi produsen besar di dunia. Tapi dengan kekayaan seperti itu ternyata kita tidak bisa mengelolanya dengan baik, itu jadi sebuah ironi. (Contohnya) kita impor ikan kembung, ikan lele, ikan patin, dan macam-macam,” ungkap Arief.

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

Karena kekayaan tersebut, kata Arief, seharusnya Indonesia bisa lebih menghargai dan belajar untuk menjaga lautnya lebih baik lagi. Sehingga, ke depan laut bisa dijadikan akses untuk menuju ketahanan pangan nasional.

“Selama ini, ketahanan pangan selalu diidentikkan dengan beras atau tanaman holtikultura. Padahal, tidak itu saja. Sekarang sudah saatnya sumber daya laut, khususnya ikan bisa dijadikan sebagai bahan pokok untuk ketahanan pangan nasional,” jelas dia.

Ikan di Laut Tinggal 10 Persen Lagi

Akan tetapi, walaupun laut Indonesia berpotensi memberikan jalan untuk mendukung ketahanan pangan nasional, menurut Arief Satria saat ini kondisinya tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Sebagai bagian dari laut internasional, ketersediaan ikan pada masa kini terus menerus berkurang hingga tersisa 10 persen saja.

“Yang 10 persen itu yang sama sekali belum tereksploitasi ya. Jadi itu potensi yang bisa dikembangkan oleh Indonesia. Jadi sekarang tinggal sedikit saja yang tersedia,” tutur dia.

Secara keseluruhan, kata Arief, ikan di lautan yang sudah terekploitasi dan over eksploitasi besarnya mencapai 61 persen. Jumlah itu sangat besar dan diprediksi akan terus bertambah lagi jika Indonesia tidak bisa mengelola wilayah lautnya dengan baik beserta sumber daya laut di dalamnya.

“Dua tahun lalu, ketersediaan ikan masih 15 persen. Tapi tahun ini sudah tinggal 10 persen saja. Itu artinya ada 5 persen yang hilang begitu cepat. Jika ini terus dibiarkan, maka Indonesia terancam tidak bisa mengambil ikan lagi di lautnya sendiri,” tandas dia.

 Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Meski demikian, Arief menaruh harapan kekayaan laut akan bisa dijaga diselamatkan karena ada banyak kebijakan yang bersifat melindungi sudah dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

“Saat ini sudah ada langkah jelas, contohnya dengan kebijakan cantrang yang sudah mulai dilakukan pengalihan alat tangkap oleh KKP. Begitu juga dengan lobster yang sudah dilindungi lebih baik lagi. Untuk transshipment juga demikian, kondisinya sudah terlindungi saat ini,” paparnya.

Ketahanan Pangan Dimulai dari Nelayan

Sementara itu menurut Menteri KP Susi Pudjiastuti, sumber daya kelautan memang sudah bisa dijadikan sebagai komponen pokok untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun, untuk menuju kesana harus ada kerja sama kuat dari semua kalangan, termasuk nelayan dan Pemerintah..

“Ketahanan pangan itu harus dijaga oleh kita semua. Karena, ketahanan pangan akan mengantarkan Indonesia pada swa sembada pangan juga. Ini sangat baik untuk kemajuan bangsa ini ke depannya,” ungkapnya.

Karena ketahanan pangan dari sektor kelautan masih baru, Susi berharap semua pihak bisa membuat metode yang pas. Karena, hanya dengan metode yang tepat, ketahanan pangan bisa diwujudkan tanpa merugikan pihak tertentu.

Susi mencontohkan, sebagai orang Pangandaran, Jawa Barat dan sekaligus sebagai pengusaha perikanan disana, dia sudah terbiasa melihat ketangguhan nelayan lokal dalam mengelola ikan hasil tangkapan dari laut.

“Biasanya, ikan akan dijual langsung ke KUD (koperasi unit desa) dan berikutnya dilelang. Itu proses yang wajib dilalui oleh setiap nelayan yang menangkap ikan di laut. (Penjual) bakul tidak diizinkan untuk membeli dari nelayan langsung,” urai dia.

Cara seperti itu, menurut Susi, merupakan salah satu cara yang baik dalam mengelola hasil laut dan juga wilayah laut. Karena, dengan hasil yang pasti, nelayan pasti ingin tetap mendapatkan ikan, dengan demikian nelayan juga pasti akan berusaha menjaga laut dengan baik.

“Ada banyak KUD yang tersebar di pesisir pantai di Kabupaten Pangandaran. Termasuk, di Pantai Parigi dan Pantai Pangandaran,” tambah dia.

Untuk bisa mewujudkan ketahanan pangan nasional dari sektor kelautan, memang diperlukan penjagaan dan pengelolaan dari semua pihak. Karena, potensi sumber daya laut, khususnya ikan masih sangat besar dan tidak boleh disia-siakan saja.

“Sekarang itu bukan tugasnya KKP lagi untuk menjaga laut. Itu sudah menjadi tugas kita semua, termasuk seluruh kementerian yang ada. Mereka harus berkontribusi untuk ikut menjaga lautan,” kata Wakil Ketua DPD RI GKR Hemas.


Ikan Juga Bisa untuk Ketahanan Pangan Nasional was first posted on July 13, 2015 at 8:37 am.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live