Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia

$
0
0

Pande Ketut Noling, petani berusia senja ini untuk kali pertama diajari menanam padi model model jajar legowo 2:1, cara baru meningkatkan produksi beras (system of rice intensification/SRI).

Dalam menanam padi di 25 are lahan miliknya, ia mendadak belasan relawan program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, salah satu kawasan warisan budaya dunia (world heritage of subak landscape), Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada minggu kemarin yang dilaksanakan Bank Indonesia perwakilan Bali.

Dengan dibantu 750 relawan antara laiin terdiri dari siswa SLTA polisi, tentara, PNS, penanaman padi selesai dalam 4 jam. “Seru sekali nanam padi, tapi sayang pakai rok. Repot sekali,” kata Dian Aryani dan rekannya, siswa berseragam pramuka dengan kaki dan lengan berlumuran lumpur.

Relawan menanam padi pada program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada awal Juil 2015. Penanaman bibit padi dengan model jejer legowo, diharapkan dapat meningkatkan hasil panen padi. Foto : Luh De Suriyani

Relawan menanam padi pada program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada awal Juil 2015. Penanaman bibit padi dengan model jejer legowo, diharapkan dapat meningkatkan hasil panen padi. Foto : Luh De Suriyani

Sistem tanam legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat) baris tanaman padi dan satu baris kosong. Istilah legowo di ambil dari bahasa jawa, yaitu berasal dari kata ”lego” berarti luas dan ”dowo”  berarti memanjang.

Baris lahan kosong dan memanjang ini disebut satu unit legowo, dimana legowo 2:1 berarti dua baris tanam per unit legowo, dan legowo 4:1 berarti empat baris tanam per unit legowo. Model tanam ini diyakini memberikan hasil panen lebih banyak karena kena sinar matahari lebih banyak. Sistem ini menggunakan lebih sedikit bibit, sehingga diyakini lebih hemat air dan pupuk

Noling dan petani lain umumnya memiliki lahan sempit 25 are, berharap uji coba cara baru ini menghasilkan panen lebih baik karena persoalan ketergantungan pangan dan peningkatan biaya pengolahan lahan.

Noling bercerita, biaya tambahan dikarenakan anak mereka malas bertani, sehingga butuh sewa tenga seperti traktor untuk mengolah tanah, biaya pupuk, dan panen. Petani belum bisa sepenuhnya organik.

Hasil panen sekitar 1 ton, yang akan berkurang bila diselip. “Hanya untuk makan sendiri, kalau kurang beli,” sahut Noling. Ia mengaku tak pernah menjual hasil panen karena pas-pasan untuk konsumsi. Jika banyak ada upacara adat dan agama, sering membeli tambahan beras.

Namun ia mengaku akan teguh menjaga tanah warisan leluhur ini. “Tidak akan pernah saya jual karena warisan leluhur,” katanya.

Pande Ketut Noling menanam bibit padi dengan cara jejer legowo di lahannya, dengan dibantu relawan pada program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada awal Juil 2015. Penanaman bibit padi dengan model jejer legowo, diharapkan dapat meningkatkan hasil panen padi. Foto : Luh De Suriyani

Pande Ketut Noling menanam bibit padi dengan cara jejer legowo di lahannya, dengan dibantu relawan pada program penanaman padi serentak seluas 10 hektar di Subak Pulagan, Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada awal Juil 2015. Penanaman bibit padi dengan model jejer legowo, diharapkan dapat meningkatkan hasil panen padi. Foto : Luh De Suriyani

Senada dengan Noling, Ketut Rauh, mengolah sendiri lahan seluas 30 are, bahkan sering mengupah orang untuk menggarap menanam bibit, dan memanen karena sudah renta. Ia juga tak pernah bisa menjual panennya karena malah sering kekurangan beras untuk makan dan keperluan upacara dan ritual seperti upacara pernikahan, kematian, kedewasaan, dan lainnya.

“Tiap enam bulan sekali panen, hasilnya cuma bisa untuk makan 3 bulan,” kata Rauh. “Payah cari uang biaya Rp800 ribu untuk upah sawah. Masih sering beli beras juga,” kisah Rauh.

Namun ia juga tak akan mau menjual lahan salah satunya karena sawah adalah sumber budaya dan ritual di Bali. “Kalau terus ada sawah ya masih ada upacara. Meyadnya ten pegat (persembahan pada alam tak akan putus),” katanya pelan.

Sang Nyoman Astika, Pekaseh (pimpinan organisasi) Subak Pulagan mengatakan petani memang sulit mendapat penghasilan jika kepemilikan lahannya sedikit. Walau pemerintah dan pihak lain membantu bibit, menurutnya selama petani belum bisa memenuhi pangan dari lahan sendiri akan tetap miskin.

Ia berharap sistem jajar legowo ini memang bisa meningkatkan hasil panen. “Kalau sekarang tanam biasa hasilnya 5-6 ton per hektar. Dengan sistem ini katanya bisa meningkat sampai 10 ton,” ujar pria yang mengkoordinir 110 hektar lahan padi ini. Menurutnya kepemilikan lahan sedikit rata-rata 25 are. Bisa dihitung yang punya lahan di atas setengah hektar.

Untungnya karena petani masih sangat menghormati leluhur, menurut Astika mereka tak akan menjual lahannya. Walau kawasan subak ini di sekitar kawasan wisata, yakni Ubud dan Tegalalang yang diserbu industri wisata seperti hotel, restoran, dan villa.

Agar makin menjauhkan dari alih fungsi lahan, pemerintah membuatkan jalan setapak di areal sawah agar lahan mudah diakses dengan roda 2 seperti motor dan sepeda. “Jalan gampang, petani mudah pulang,” kata Astika.

Pria ini berharap petani bisa mendapat penghasilan dari panen. Ia mengaku sedang menyiapkan Bank Tani. Ia meyakini ketika petani tak bisa mencukupi kebutuhan pangannya tinggal menunggu alih fungsi lahan.

Data BPS tahun 2010 memperlihatkan alih fungsi lahan sawah paling massif di Bali, sekitar 1000 hektar/tahun persawahan hilang pada 2005-2009, dengan 700 orang rumah tangga pertanian berkurang tiap bulan.

UNESCO, Badan PBB untuk kebudayaan pada 2012 menetapkan sejumlah kawasan subak dan area pendukungnya di Tabanan, Badung, dan Gianyar sebagai warisan budaya dunia.

Penetapan lanskap budaya Bali berbasis subak disebut sebagai manifestasi filosofi Tri Hita Karana (tiga sumber kesejahteraan) karena prinsip harmonisasi pada alam, Tuhan, dan manusia. Di satu pihak menimbulkan kebanggaan, di lain pihak dinilai melahirkan kegamangan.

Kebanggaan karena penetapan UNESCOini merupakan pengakuan internasional atas prestasi Bali dalam mengukir peradaban pertanian dan penataan lanskap. Sementara kegamangan karena sejauh ini banyak muncul pertanyaan apakah bisa dipertahankan di masa depan.


Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia was first posted on July 14, 2015 at 2:25 am.

Manado Bay, Alternatif Wisata Hemat Yang Mengagumkan

$
0
0

Manado, jika kita mendengar nama kota ini, maka yang terbayang di dalam pikiran kita adalah wisata kuliner dengan sajian bubur manadonya yang lezat dan sehat. Atau nasi kuning yang juga menjadi makanan khas andalan kota tinutuaan ini.

Tetapi selain makanan, sebetulnya ibukota propinsi Sulawesi Utara  mempunyai potensi wisata lain yang cukup menjanjikan dan banyak diminati oleh para pelancong, yaitu lautnya.

Pemandangan Manado Bay dari pinggir Pantai Kota Manado. Foto : Wisuda

Pemandangan Manado Bay dari pinggir Pantai Kota Manado. Foto : Wisuda

Manado Bay, demikian nama yang dikenal oleh sebagian pehobi selam yang sering melakukan kegiatan menyelam di area itu . Walaupun selama ini hanya Bunaken dan dan Selat Lembeh saja yang namanya lebih mendunia, dikenal oleh para penyelam baik lokal maupun internasional.

Keindahan karangnya yang luar biasa tidak kalah oleh Taman Laut Bunaken, yang bahkan membutuhkan biaya lebih jika ingin menikmati keindahannya. Ini karena untuk mencapai taman laut bunaken, kita harus menyebrang ke Pulau Bunaken dengan menggunakan kapal yang tidak murah harganya, yaitu sekitar Rp1-2 juta.

Coconut Octopus alias Gurita Kelapa, menjadi salah satu satwa eksotis yang dapat ditemui di Manado Bay. Foto : Wisuda

Coconut Octopus alias Gurita Kelapa, menjadi salah satu satwa eksotis yang dapat ditemui di Manado Bay. Foto : Wisuda

Kepiting permen hidup diantara terumbu karang dari perairan Manado, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Kepiting permen hidup diantara terumbu karang dari perairan Manado, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Lauriea siagiani atau squat lobster kecil yang dapat ditemui di perairan Manado Bay. Foto : Wisuda

Lauriea siagiani atau squat lobster kecil yang dapat ditemui di perairan Manado Bay. Foto : Wisuda

Sedangkan untuk menyelam atau bersnorkeling di Manado Bay, para wisatawan bisa langsung melakukannya dari bibir pantai. Walaupun tidak berkontur tebing atau wall seperti di Taman Laut Bunaken, Manado Bay mempunyai daya tarik sendiri dengan karang yang tumbuh di kontur tanahnya yang slove atau miring mendatar itu. Soft dan hard coral, sponge, anemon banyak ditemukan hidup di sepanjang pantai manado. Dan karena terumbu karang tumbuh dengan suburnya, maka ikan-ikan karang pun mudah dijumpai di sini.

Selain ikan-ikan karang, para pehobi foto bawah laut menyukai menyelam di Manado Bay, dikarenakan beragamnya makhluk hidup yang ada. Bahkan makhluk-makhluk unik macam coconut octopus, aneka macam nudibranch atau kelinci laut, jawfish, candy crab, dan masih banyak yang lainnya dapat ditemukan di Manado Bay.

Anemon laut dan telurnya yang dapat ditemui di Manado Bay. Foto : Wisuda

Anemon laut dan telurnya yang dapat ditemui di Manado Bay. Foto : Wisuda

Squad lobster yang ditemui di perairan Manado Bay. Foto : Wisuda

Squad lobster yang ditemui di perairan Manado Bay. Foto : Wisuda

Batfish menjadi salah satu ikan yang bisa ditemui di Manado Bay. Foto : Wisuda

Batfish menjadi salah satu ikan yang bisa ditemui di Manado Bay. Foto : Wisuda

Dapat dikatakan underwater Manado Bay adalah tiruan Selat Lembeh yang lebih dulu terkenal dengan mahluk-mahluk uniknya. Yang membedakannya dengan Lembeh adalah biayanya. Sama seperti ke Bunaken, menyelam di Selat Lembeh harus dilakukan dengan menggunakan kapal, dengan tiket berkisar Rp800 ribu – Rp2 juta.

Michael, salah satu pehobi foto bawah laut dari Amerika Serikat, mengatakan kalau dia hampir setiap tahun berkunjung dan menyelam di Manado Bay bersama  istrinya karena sangat menyukai keindahan dan keunikan dasar lautnya.

Salah satu jenis ikan jawfish sedang membuka mulutnya di perairan Manado Bay. Foto : Wisuda

Salah satu jenis ikan jawfish sedang membuka mulutnya di perairan Manado Bay. Foto : Wisuda

Wisatawan pehobi fotografi bawah laut menjadikan Manado Bay sebagai salah satu spot diving menarik dan murah di Indonesia. Foto : Wisuda

Wisatawan pehobi fotografi bawah laut menjadikan Manado Bay sebagai salah satu spot diving menarik dan murah di Indonesia. Foto : Wisuda

Selain menyimpan potensi wisata bawah laut, Manado Bay juga bisa dinikmati oleh para wisatawan yang hobi fotografi tanpa harus menyelam. Hampir setiap pagi dan sore hari, jika tidak musim ombak, para nelayan Pantai Malalayang melaut dan mencari ikan di rumpon, di Teluk Manado. Biasanya mereka berkumpul dari belasan sampai puluhan perahu di sekitar rumpon atau rumah ikan buatan, di tengah laut. Nah, moment seperti ini sangat lah unik jika diabadikan oleh kamera. Aktivitas nelayan, ditambah latar belakang matahari terbit atau tenggelam, menambah keindahan dan keunikannya. Murah dan mengagumkan, itulah yang didapat jika anda berwisata ke Pantai Manado.

Nelayan dengan perahunya berangkat melaut di Pantai Malalayang, Manado. Sulut. Foto : Wisuda

Nelayan dengan perahunya berangkat melaut di Pantai Malalayang, Manado. Sulut. Foto : Wisuda

Reklamasi yang terus berlangsung di pantai Manado. Foto : Wisuda

Reklamasi yang terus berlangsung di pantai Manado. Foto : Wisuda

 

Sayangnya, dibalik semua keindahan itu, ada hal yang jika terus menerus dibiarkan, akan menggerus Pantai Manado dan menghilangkan semua keindahan tadi, yaitu reklamasi yang terus dilakukan. Ketiadaan pantai bakal mengubah arus laut berubah dan ekosistem dalam laut Manado Bay. Mungkin jika pembangunan dilakukan di sisi jalan lainnya atau beach view, dan tidak dilakukan di pantainya, maka keberadaan ekosistem laut manado bay akan lebih terjaga.

 


Manado Bay, Alternatif Wisata Hemat Yang Mengagumkan was first posted on July 15, 2015 at 9:43 am.

Sulawesi Alami Krisis Ruang, Tambang Mendominasi

$
0
0

Sulawesi tengah mengalami krisis ruang. Sekitar 54 persen dari seluruh daratan Pulau Sulawesi telah habis dibagi untuk perizinan tambang, hak guna usaha, HPH dan HTI. Tambang menempati peringkat pertama sebanyak 25 persen atau 4,78 juta hektar. Kedua untuk migas sebesar 2,2 juta ha. Pertambangan ada di seluruh jazirah Sulawesi dengan jumlah terbesar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Demikian laporan hasil riset yang diselenggarakan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) pada ekspos hasil riset di Hotel Ibis Makassar, pada akhir Juni 2015.

Riset yang selama enam bulan ini dilaksanakan oleh JKPP bekerjasama dengan simpul layanan pemetaan partisipatif (SLPP) wilayah Sulawesi.

Pulau Sulawesi mengalami krisis ruang, dimana sebagian besar wilayahnya digunakan untuk tambang, migas dan industri ekstraktif. Foto : Wahyu Chandra

Pulau Sulawesi mengalami krisis ruang, dimana sebagian besar wilayahnya digunakan untuk tambang, migas dan industri ekstraktif. Foto : Wahyu Chandra

Menurut riset ini, berdasarkan hasil pengolahan data spasial,  18 juta total luasan Pulau Sulawesi, sekitar 38 persen atau sekitar 7 juta ha lebih merupakan areal penggunaan lain (APL), dan 26 persen (4,7 juta) adalah hutan lindung, dan 20 persen (3,7 juta ha) hutan produksi terbatas serta hutan produksi konservasi 20 persen (3,7 juta ha). Sisanya diisi oleh kawasan pelestarian dan konservasi alam sebayak 10 persen.

“Persentase ruang tersebut menunjukan porsi alokasi yang besar bagi investasi baik dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan melalui APL. Menelusuri bagaimana dan jenis apa saja penggunaan APL dan Kawasan Hutan bisa menunjukan bagaimana kerusakan ekologi maupun penyingkiran petani dimulai yang berujung pada krisis,” ungkap Diarman, peneliti dari JKPP, dalam paparannya.

Kerusakan yang terjadi selalu berawal dari pemberian konsesi pada industri ektraktif atau perkebunan skala besar. Di Pulau Sulawesi, tambang dan sawit menjadi penyebab utama dalam kontribusi merusak dan memiskinkan masyarakat.

“Dalam catatan triwulan BKPM pada periode 2010 – 2012, menyebutkan sektor pertambangan dan perkebunan merupakan sektor yang dalam tiga tahun terakhir masuk sebagai sektor dominan dalam investasi di koridor ekonomi Sulawesi,” katanya.

Terkait izin tambang sendiri, riset ini menemukan bahwa terdapat 1.256 IUP di Sulawesi, masing-masing adalah emas, nikel, besi, logam dasar, batu bara. Sementara untuk jumlah konsesi terbanyak untuk komoditas, masing-masing adalah nikel, emas, batuan dasar, berupa batuan andesit, kerikil, pasir dan tanah timbunan, besi dan aspal.

Salah satu daerah sasaran riset terkait tambang berada di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dan Pulau Wamonii, Kabupaten Kolaka, Sultra, dan Minahasa, Sulut.

Untuk Kabupaten Maros, keseluruhan luas daerah ini adalah 146 ribu hektar, dimana terdapat juga hutan lindung 10 persen, hutan produksi 10,5 persen, HPT 6,5 persen, taman nasional 20 persen. Untuk tambang luas wilayah yang diberikan izin sekitar 9,668 hektar.

“Ironisnya, dari luasan tersebut sebanyak 53 persen, mengambil ruang hutan produksi, yaitu 5.170 hektar. Tambang juga mengambi wilayah hutan lindung sebesar 14 persen atau sekitar 1.398 hektar, hutan produksi terbatas sekitar 504,99 hektar atau sekitar 5 persen,” katanya.

Sementara Pulau Wawonii, meski luasnya hanya 1.513,98 km, namun di pulau ini terdapat 18 IUP. Salah satunya adalah PT Derawan Barjaya Mining, luas IUP 10,070 hektar dimana sekitar 342,17 hektar masuk dalam kawasan hutan lindung.

“Sebagai pulau kecil dengan keterbatasan daratan dan air, ancaman terhadap pulau ini adalah ketersediaan pangan,” katanya.

Di Minahasa, Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara yang ditetapkan tahun 2014 semakin mempertegas bahwa daerah ini merupakan surga bagi penambang emas.

Dokumen ini menunjukkan bahwa sebanyak tujuh wilayah diperuntukkan sebagai kawasan pertambangan yakni Tapal Batas Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Manado, tapal batas Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Bitung, tapal batas Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Minahasa, tapal Batas Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupate Minahasa Selatan, tapal batas Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, tapal Batas Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan dan  tapal Batas Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kota Kotamobagu.

“Sejak tahun 2010 hingga saat ini, sebanyak 74 persen dari total propinsi Sulawesi Utara telah dikapling untuk pertambangan emas.”

Riset ini juga memberi perhatian pada pemanfaatan ruang untuk perkebunan sawit. Konsesi untuk sawit ini mengalami kenaikan hampir di seluruh wilayah di Sulawesi. Secara nasional penguasaan perkebunan besar pada tahun 2008 didominasi oleh perkebunan sawit yang mencapai 4,5 juta hektar atau sekitar 79 persen dari luasan perkebunan yang ada.

“Luas perkebunan sawit dikuasai oleh perkebunan besar sebanyak 61 persen dan hanya 39 persen yang dikuasai oleh rumah tangga petani. Menurut Data Ditjen Perkebunan, areal perkebunan sawit tersebar di 17 provinsi meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.”

Khusus untuk Sulawesi, di Sulawesi Barat luas perkebunan sawit mencapai 1,66 juta hektar. Izin perkebunan sawit sebanyak 19 izin dengan luas lahan 102 ribu hektar.

Di Sulbar sendiri terdapat sekitar 153 Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan peta analisis diketahui bahwa 19 DAS dengan total luasan 902 ribu hektar terancam tercemar limbah dari pabrik CPO. DAS yang terancam oleh tambang diperkirakan seluas 1,03 juta hektar meliputi 60 DAS.

Pulau Sulawesi sedang terjadi krisis ruang, dimana banyak terjadi alih fungsi lahan untuk kegiatan ekstraktif dan usaha perkebunan seperti sawit. Foto : Wahyu Chandra

Pulau Sulawesi sedang terjadi krisis ruang, dimana banyak terjadi alih fungsi lahan untuk kegiatan ekstraktif dan usaha perkebunan seperti sawit. Foto : Wahyu Chandra

Tidak hanya berdampak pada krisis ruang, keberadaan tambang juga ternyata berdampak bagi kualitas kesehatan di daerah sekitar tambang. Ada dua lokasi yang menjadi contoh dalam riset ini yaitu di Kabupaten Maros, Sulsel dan di Pomala, Kolaka, Sultra.

Di Kabupaten Maros, penderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) hingga tahun 2013 berjumlah 10.885 orang. Sementara di Pomala, Kolaka, Sultra, berdasarkan hasil penelitian Puspaham dan Walhi Sutra menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita ISPA, TB Paru selama periode 2005-2009. Pada tahun 2009, penderita ISPA telah mencapai 20.588 orang.

Wilayah Kelola Rakyat dan Penyingkiran Petani

Riset ini juga membahas tentang wilayah kelola rakyat dan penyingkiran petani. Hasil Pemetaan Partisipatif (PP) di Pulau Sulawesi yang terdokumentasi seluas 829.659 ha yang sebagian besar tersebar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil tumpang susun wilayah pemetaan partisipatif dengan semua ijin konsensi yang ada di Pulau Sulawesi diperoleh hampir setengah dari wilayah PP tersebut tumpang tindih atau sekitar ijin konsesi pertambangan, migas, perkebunan dan kehutanan. Sekitar 43,5 persen wilayah masyarakat yang tumpang tindih dengan ijin tambang, 6 pesen tumpang tindih dengan ijin migas, 4,3 persen tumpang tindih dengan HGU termasuk di dalamnya ijin perkebunan sawit dan HPH sebesar 3 persen.

“Proses pelepasan atau penurunan produktivitas petani terhadap lahan tidak hanya disebabkan secara langsung oleh pengkaplingan ruang untuk ijin atau penetapan kawasan hutan, melainkan turut disebabkan dari dampak pengelolaan ijin usaha ektraksi sumberdaya alam skala luas yang mendorong terjadinya bencana alam maupun krisis air.”

Seperti diketahui, 60 persen rumah tangga di Sulawesi merupakan rumah tangga pertanian dimana 26,04 persen merupakan rumah tangga buruh tani. Dari hasil pengolahan data sebaran persentase keluarga pertanian, keluarga buruh pertanian, dan ijin IUP menunjukkan adanya korelasi yang cukup signifikan perubahan sumber pendapatan utama rakyat pedesaan akibat perluasan konsesi industri ekstraktif skala luas.

“Pada sebagian kasus, kehadiran konsesi industri ekstraktif menyebabkan penurunan jumlah rumah tangga pertanian disatu sisi dan disisi lain menambah jumlah keluarga buruh tani di pedesaan.”

Menurut Deny Rahadian, Direktur JKPP, pemilihan Pulau Sulawesi sebagai daerah sasaran riset karena bentuknya yang unik. Secara bentang alam bentuknya tipis, bentang alamnya lengkap, bayak pegunungan yang tinggi, ada dataran, pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Di antara bentuk tipis tersebut, intervensi dan masuknya investasi yang berskala besar cukup banyak karena potensi sumber daya alam yang melimpah, tambang, perkebunan dan lainnya,” katanya.

Menurutnya, hasil riset ini memang menunjukkan bahwa Pulau Sulawesi cukup krisis dalam hal penguasaan ruang dilihat dari penggunaan ruang yang ada. Dari seluruh luas Pulau Sulawesi, hanya 37 persen yang dialokasikan untuk masyarakat dan itu pun kemudian banyak bermasalah dengan kawasan-kawasan hutan.

“Dengan hasil temuan dan fakta yang telah dijelaskan tadi menunjukkan adanya masalah besar di sini, sehingga kemudian kami menyampaikan sejumlah rekomendasi sebagai bagian dari solusi.”

JKPP merekomendasikan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota agar segera menyelesaikan tumpang tindih alokasi ruang dan konflik agraria akibat kebijakan dan praktek ekstraksi sumberdaya lahan di wilayah kelola masyarakat.

Kami juga merekomendasikan segera bentuk badan penyelesaian konflik ruang dan sumberdaya alam dan revisi RTRWP dan RTRWK di tingkat provinsi yang bersifat ad-hoc dan sistematis,” katanya.

JKPP juga merekomendasikan pemerintah melibatkan secara penuh partisipasi rakyat dan organisasi masyarakat sipil di wilayah konflik dalam menata ulang hak penguasaan dan pengelolaan wilayah kelola dan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan.

Selain itu, juga diperlukan komitmen politik pemulihan krisis atas ruang tertuang dalam dokumen kebijakan dan RPJMD di suluruh pemerintah daerah.

“Terakhir, kami mendorong agar seluruh instansi pemerintah terkait di tingkat pusat dan daerah untuk dapat mengintegrasikan peta dari hasil pemetaan patisipatif dan perencanaan tata guna lahan berkelanjutan secara partisipatif dalam perumusan perencanaan pembangunan wilayah.”

 


Sulawesi Alami Krisis Ruang, Tambang Mendominasi was first posted on July 16, 2015 at 10:32 am.

Mengoleksi Tumbuhan Pegunungan Jawa di Kebun Raya Baturraden

$
0
0

Mendengar nama Baturraden, kebanyakan orang langsung mengerti jika kawasan itu adalah tempat wisata. Baturraden yang berada di Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) sejak lama memang terkenal dengan wisata alamnya karena berlokasi di lereng selatan Gunung Slamet. Udaranya yang sejuk dilengkapi dengan sejumlah air terjun dan pemandian air panas.

Tetapi kini Baturraden tak hanya wisata alam, namun juga menawarkan wisata pendidikan dan konservasi. Itu nanti bakal disajikan Kebun Raya Baturraden yang rencananya di-launching pada Oktober 2015 mendatang. Meski belum diresmikan, tetapi kebun raya tersebut sudah mulai tertata. Karena di lokasi setempat telah ada spot-spot yang mendukung Kebun Raya Baturraden untuk mendukung tematik “Tanaman Pegunungan Jawa.”

kbr1

“Dengan adanya tematik tanaman pegunungan Jawa, maka pengelola Kebun Raya Baturraden mulai mengumpulkan beragam flora khas pegunungan. Tentu yang pertama dikumpulkan adalah tanaman dan pepohonan khas di Gunung Slamet. Selain itu, kami juga mengumpulkan bermacam tanaman lainnya dari sejumlah pegunungan di Jawa,”ujar Andika Andi Krisna, petugas Registrasi Koleksi Kebun Raya Baturraden, Kamis (16/7).

Dijelaskan oleh Andika, berbagai macam koleksi yang mulai dikoleksi di Kebun Raya Baturraden di antaranya berasal dari dan lainnya. “Jadi, kami ingin, nantinya Kebun Raya Baturraden menjadi tempat koleksi flora yang tumbuh di gunung-gunung di Jawa. Sampai sekarang, kami masih mencari tanaman yang khas agar dapat dikembangan di Kebun Raya Baturraden,”jelas Andika.

Menurutnya, berbagai macam flora yang telah dikumpulkan di antaranya adalah tumbuhan paku, anggrek, kantung semar, tanaman obat dan lainnya. “Berbagai macam tumbuhan tersebut saat sekarang telah ditata sedemikian rupa sesuai dengan tempatnya. Jadi ada spot-spot tanaman yang telah dikelompokkan. Misalnya saja ada lokasi tanaman herbal atau taman liliana,”katanya.

Peneliti LIPI yang menjadi pendamping di Kebun Raya Baturraden, Nuri Jilma Megawati, menunjukkan sejumlah lokasi yang kini menjadi tempat pengembangan flora untuk kebun raya. “Kalau di sini, merupakan tempat koleksi anggrek. Banyak ragam anggrek yang ada di sini. Tidak hanya yang khas dari Gunung Slamet, melinkan juga daerah pegunungan lainnya,”kata Mega, panggilan akrab Nuri Jilma Megawati.

Ia mengungkapkan bersama dengan pekerja kebun raya lainnya, ia melakukan perbanyakan koleksi. “Tidak hanya anggrek yang menjadi koleksi Kebun Raya Baturraden, tetapi juga ada kantung semar yang macam-macam spesiesnya. Ada juga lokasi pengembangan tanaman obat. Namun sampai sekarang belum terlalu tinggi pohonnya, salah satunya disebabkan karena sinar matahari yang tidak langsung akibat terhalang tegakan hutan damar,”ujarnya.

Pintu gerbang Kebun Raya Baturraden, di utara kota Purwokerto, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan

Pintu gerbang Kebun Raya Baturraden, di utara kota Purwokerto, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan

Namun, lanjut Mega, tidak ada masalah yang berat, karena koleksi tanaman herbal yang ditanam tetap dapat tumbuh. “Harus benar-benar dirawat setiap harinya, sehingga seluruhnya akan dapat berkembang dengan baik,”kata Mega yang didampingi sejumlah temannya melakukan pengecekan seluruh tanaman setiap harinya.

Hingga kini, lanjut Mega, Kebun Raya Baturraden memiliki koleksi 116 suku, 396 marga, 571 spesies, 2.637 spesimen. Jumlah tersebut, katanya, dimungkinkan akan terus bertambah untuk menambah koleksi untuk melengkapi tanaman dan tumbuhan koleksi dari pegunungan di Jawa. “Masih cukup banyak koleksi yang bakal dikumpulkan. Idealnya memang dari seluruh pegunungan di Jawa dapat dikumpulkan di sini,”tambahnya.

Sejarah Kebun Raya

Menurut Kepala Seksi Tata Usaha Kebun Raya Baturraden Sumanto ide adanya kebun raya diawali saat Megawati Soekarno Putri yang saat itu jadi Wapres menutup Jambore Nasional tahun 2001. “Ketika itu, ada ide dari Ibu Megawati mengenai pembangunan kebun raya. Setahun kemudian, Pemprov Jateng membentuk Tim Khusus untuk merintis pembangunan kebun raya dengan melakukan studi kelayakan,”kata Sumanto.

Dengan difasilitasi pengelola Kebun Raya Bogor, maka mulai 2002 dimulai eksplorasi dan pengiriman bibit dari Kebun Raya Bogor. “Dari usulan Gubernur Jateng, maka keluarlah SK Menteri Kehutanan No 117/Menhut-II/2004 tanggal 19 April 2004. Isinya adalah Penunjukkan Kawasan Hutan Produksi Terbayas seluas 150 Ha di Banyumas sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk hutan penelitian dan pengembangan serta pendidikan lingkungan dalam bentuk Kebun Raya Baturraden,”paparnya.

Ia melanjutkan, pada 29 Desember 2004 dilaksanakan peresmian, penanaman perdana, dan penandatanganan nota kesepahaman antara Kepala Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan, Gubernur Jateng, Kepala LIPI, Dirut Perum Perhutani dan Bupati Banyumas. MoU tersebut mengenai kolaborasi pengelolaan Kebun Raya Baturraden. “Guna meningkatkan status hukum kawasan, Menhut menerbitkan SK Menhut No 85/Menhut-II/2005 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan Lingkungan dalam bantuk Kebun Raya Baturraden seluas 143,5 ha,”katanya.

Untuk menjadi kebun raya seperti Bogor, membutuhkan waktu panjang. Namun demikian, lanjut Sumanto, menurut rencana Kebun Raya Baturraden bakal di-launching pada Oktober 2015 mendatang. Kebun raya yang berlokasi sekitar 15 km dari pusat Kota Purwokerto tersebut memiliki ketinggian antara 600-750 meter di atas permukaan laut (mdpl). Temperatur lokasi Kebun Raya Baturraden cukup sejuk, berkisar antara 20-30 derajat Celcius. Curah hujan di tempat ini cukup tinggi, berkisar antara 5 ribu hingga 6 ribu milimeter (mm) per tahun.

Salah satu tempat di kawasan Kebun Raya Baturraden dengan koleksi tanaman gunungnya. Foto : L Darmawan

Salah satu tempat di kawasan Kebun Raya Baturraden dengan koleksi tanaman gunungnya. Foto : L Darmawan

Kebun Raya Baturraden akan difungsikan sebagai lembaga konservasi yang melakukan usaha koleksi, pemeliharaan dan penangkaran berbagai jenis tumbuhan untuk membentuk dan mengembangkan habitat baru. Selain itu, juga sebagai sarana perlindungan dan pelestarian alam dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, pengembangan iptek serta sarana rekreasi yang sehat. “Hingga kini, Kebun Raya Baturraden telah dijadikan sebagai tempat riset para mahasiswa khususnya taksonomi tumbuhan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Negeri Semarang,”kata Sumanto.

 


Mengoleksi Tumbuhan Pegunungan Jawa di Kebun Raya Baturraden was first posted on July 17, 2015 at 6:02 am.

Wisatawan Lokal Punya Andil Merusak Terumbu Karang Di Pulau Menjangan Bali

$
0
0

Wisatawan lokal memiliki andil besar terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan konservasi Pulau Menjangan, Kabupaten Buleleng, Bali. Menurut pelaku wisata di kawasan Teluk Banyuwedang, Kecamatan Gerokgak , Buleleng, ketika ditemui Mongabay bahwa kerusakan terumbu karang justru lebih banyak dilakukan wisatawan lokal.

‘’Wisatawan lokal sebagain besar melakukan snorkeling dengan tidak mengindahkan kelangsungan hidup terumbu karang yang ada di dalamnya. Mereka menginjak karang, atau melakukan hal-hal yang tidak ramah lingkungan,’’ kata Komang Sugiartha, yang diamini oleh Mahmudi dan Made Sariasa.

Pulau Menjangan, Kabupaten Buleleng, Bali merupakan salah satu tempat wisata menyelam di pulau dewata, sekaligus sebagai kawasan konservasi. Foto : Indonesia.travel

Pulau Menjangan, Kabupaten Buleleng, Bali merupakan salah satu tempat wisata menyelam di pulau dewata, sekaligus sebagai kawasan konservasi. Foto : Indonesia.travel

Komang Sugiartha mengatakan wisatawan asing yang umumnya melakukan aktivitas menyelam di Pulau Menjangan justru sadar untuk menjaga kawasan tersebut, karena paham tentang status konservasi, sehingga berusaha tidak merusak lingkungan.

“Mereka umumnya sangat menjaga lingkungan. Kamipun akhirnya hati-hati sekali saat meng-handle mereka. Kalau kami tidak menjaga lingkungan, justru mereka yang marah kepada kita dan tidak datang lagi,’’jelas Komang yang sudah belasan tahun berprofesi sebagai pemandu selam.

Oleh karena itu pelaku wisata di kawasan Batu Ampar itu menolak keputusan penambahan biaya penyeberangan dari Teluk Banyuwedang ke Pulau Menjangan khusus untuk wiasatan asing yang berlaku mulai Senin (16/06/2015).  Peningkatan biaya penyeberangan itu menjadi Rp200.000 untuk hari Senin – Jum’at dan Rp300.000 untuk hari Sabtu dan Minggu.

“Bagaimana bisa melakukan mark up tiket sebesar itu, tanpa mengetahui situasi di lapangan. Tidak semua wisatawan kaya. Kalau peraturan itu dilakukan, kami mau makan apa, tidak akan ada yang datang di kawasan Pulau Menjangan,” kata Mahmudi.

Sementara banyak wisatawan lokal yang datang dari wilayah lain, seperti wilayah Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur, justru jauh lebih murah. ‘’Kami dengar banyak wisatawan baik asing ataupun lokal dari Banyuwangi menyeberang ke Pulau Menjangan dengan penumpang 30 – 40 orang. Sepertinya mereka tidak ada yang mengatur,’’ lanjut Mahmudi.

Kapal-kapal bersandar di Pulau Menjangan, Kabupaten Buleleng, Bali yang merupakan salah satu tempat wisata di pulau dewata, sekaligus sebagai kawasan konservasi. Foto : Indonesia.travel

Kapal-kapal bersandar di Pulau Menjangan, Kabupaten Buleleng, Bali yang merupakan salah satu tempat wisata di pulau dewata, sekaligus sebagai kawasan konservasi. Foto : Indonesia.travel

Dari informasi yang dihimpun, tiket penyeberangan sebelumnya dari Teluk Banyuwedang – Pulau Menjangan sebelumnya Rp10.000 untuk wistawan lokal dan Rp20.000 untuk wisatawan asing. Untuk melakukan aktivitas snorkeling dikenakan tambahan Rp15.000 dan untuk aktivitas menyelam dikenakan biaya tambahan Rp.25.000

Namun per Senin (15/06/2015) harga tiket untuk wisatawan mancanegara dikenai Rp200.000 untuk hari biasa dan Rp300.000 untuk Sabtu dan Minggu. Itu belum termasuk aktivitas tambahan snorkeling ataupun menyelam yang jumlahnya sama dengan ketentuan sebelumnya.

Sedangkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng, Nyoman Sutrisna mengatakan pihaknya terus melakukan koordinasi dan penyadaran kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian terumbu karang. Bahkan beberapa kali melakukan pelatihan selam kepada masyarakat dan juga kalangan wartawan. ”Mudah-mudahan masyarakat semakin lama semakin sadar menjaga lingkungan laut,”katanya yang ditemui di kantornya belum lama ini.

Pihaknya bahkan bakal mengadakan konferensi dan pameran laut tingkat dunia di Teluk Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleleng. “Acaranya ini juga membawa dampak secara langsung ataupun tidak membuat penyadaran khususnya kepada masyarakat lokal,” tambahnya.


Wisatawan Lokal Punya Andil Merusak Terumbu Karang Di Pulau Menjangan Bali was first posted on July 19, 2015 at 10:06 pm.

Rp24,7 Triliun Dari Perbankan Siap Mengalir Untuk Sektor Kelautan

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berharap pada akhir tahun ini seluruh stakeholder yang memenuhi syarat, sudah mendapatkan kredit dan pembiayaan dari perbankan dan industri keuangan non bank (IKNB). Di akhir tahun nanti, kredit dan pembiayaan ditargetkan sudah bisa tersalurkan secara akumulatif sebesar Rp24,7 triliun.

Dana tersebut, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, berasal dari  tujuh bank nasional, satu bank daerah dan IKNB. Lembaga-lembaga tersebut telah menjalin kerja sama dengan KKP dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam membiayai usaha sektor kelautan dan perikanan.

“Ini kabar bahagia untuk pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan. Saat ini peluangnya semakin terbuka lebar karena Pemerintah juga fokus untuk membantu usaha ini sejalan dengan komitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia,” ungkap Susi.

 Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Kemudahan pendanaan dari perbankan dan INKB itu harus dimanfaatkan untuk kemajuan dunia kelautan dan perikanan nasional.  “Kalau dari Pemerintah sudah jelas diberikan kemudahan. Nah, sekarang dari perbankan dan IKNB juga sudah melakukannya. Para stakeholder yang ada di seluruh Nusantara bisa mulai menata usahanya kembali dengan cara lebih baik,” paparnya.

Lembaga perbankan tersebut yaitu BRI, BNI, BTPN, Bank Danamon, Bank Mandiri, Bank Permata, Bank Bukopin dan BPD Sulselbar.

Berikut rinciannya seperti dirilis KKP:

pembiayaan perbankan kelautan

Tujuh Program

Dalam kerja sama dengan OJK dan lembaga perbankan dan IKNB, KKP menggelar tujuh program utama, yang diharapakn diharapkan bisa ikut mengembangkan dunia usaha sektor kelautan dan perikanan yang ada di Tanah Air.

Ketujuh program tersebut adalah:

  1. Pengembangan pembiayaan usaha mikro bidang kelautan dan perikanan;
  2. Penguatan permodalan usaha dan investasi UMKM;
  3. Komersialisasi hasil penelitian kelautan dan perikanan;
  4. Pembiayaan pengembangan infrastruktur sektor kelautan dan perikanan;
  5. Peningkatan kapasitas usaha mikro dan UMKM;
  6. Pendampingan kelembagaan; dan
  7. Pelaksanaan program CSR dan CCR kepada stakeholders di bidang kelautan dan perikanan.

Konsorsium Khusus

Sementara itu menurut Dirjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut P Hutagalung, untuk memudahkan proses pembiayaan dari IKNB, OJK bekerjasama dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), sedang menyiapkan konsorsium khusus yang bergerak melayani pembiayaan usaha kelautan dan perikanan.

“Skema pembiayaan ini akan berbentuk leasing yang dilengkapi dengan penjaminan kredit dari Jamkrindo dan asuransi dari lembaga asuransi,” ucap Saut.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Adapun, target produk yang akan dibiayai antara lain cold storage, mesin kapal, mesin pengolahan, dan kendaraan (motor, mobil, truk) berpendingin, dengan skema pembiayaan yang dibuat oleh konsorsium tersebut.

“Dari situ, nanti akan bisa ditentukan skema harga dan suku bunga yang tepat untuk diterapkan dalam pembiayaan,” jelas dia.

Lebih jauh Saut menerangkan, untuk membantu kerja konsorsium yang akan dibentuk nanti di lapangan, APPI akan menggandeng tenaga penyuluh, pendamping, dan konsultan keuangan mitra bank (KKMB). Nantinya, tenaga-tenaga tersebut akan dijadikan satu dalam Sahabat Keuangan Maritim (SKM).

“SKM ini akan berfungsi sebagai fasilitator jasa keuangan non bank berupa pembiayaan, asuransi, dan penjaminan kepada usaha sektor kelautan dan perikanan,” tutur Saut.

Dengan fungsi seperti itu, maka SKM nantinya akan menjadi fasilitator profesional yang diberikan target kerja dan reward. Diharapkan, dengan cara demikian, para tenaga fasilitator bisa bekerja lebih baik untuk memajukan dunia usaha sektor kelautan dan perikanan.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja menjelaskan, sosialisasi pembentukan SKM sudah dilakukan di sejumlah daerah seperti Batam (Kepulauan Riau), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Medan (Sumatar Utara).

“ Diharapkan, dengan adanya sosialisasi ini, perekrutan SKM bisa lebih cepat dan itu bisa mempercepat proses untuk membantu pembiayaan usaha sektor kelautan dan perikanan,” tambahnya.


Rp24,7 Triliun Dari Perbankan Siap Mengalir Untuk Sektor Kelautan was first posted on July 21, 2015 at 4:28 am.

Astaga! Berulang Kali Kalah, Perusahaan Tambang Masih Beraktifitas Di Pulau Bangka?

$
0
0

Warga dan aktivis yang menolak pertambangan di pulau Bangka, Sulawesi Utara, seharusnya bergembira karena gugatan mereka dikabulkan dengan putusan PTUN Jakarta Timur pada Selasa (14/07/2015) yang menyatakan pembatalan Surat Keputusan Menteri ESDM tertanggal 17 Juli 2014 soal izin produksi pertambangan di pulau Bangka.

Namun, tidak demikian yang terjadi. Pasca putusan PTUN, mereka masih menyaksikan aktivitas perusahaan tambang di pulau itu. “Istilahnya menang. Senanglah. Tapi, di balik itu semua mereka masih kerja. Masih buat jalan,” kata Potros Liaha, warga pulau Bangka, ketika dihubungi Mongabay, Kamis (16/07/2015).

Akat-alat berat terus bekerja Pulau Bangka, Sulut. Foto: Save Bangka Island

Akat-alat berat terus bekerja Pulau Bangka, Sulut. Foto: Save Bangka Island

Potros mengatakan, selama proses hukum berjalan, PT Mikgro Metal Perdana (MMP) terus melakukan aktifitas di sana. Padahal seharusnya perusahaan tidak boleh beraktifitas. Apalagi, beberapa kali gugatan warga dimenangkan oleh lembaga hukum di negara ini.

Potros khawatir, PT MMP akan terus beroperasi meski putusan hukum untuk kesekian kalinya kembali memenangkan warga. Sebab, sejak upaya banding warga dikabulkan PTUN Makassar pada 1 Maret 2013, ditolaknya banding MMP oleh MA pada 24 September 2013 hingga ditolaknya Peninjauan Kembali Bupati Minahasa Utara pada 5 Maret 2015, perusahaan tambang tidak kunjung menghentikan aktifitasnya.

“Bukan baru pertama kali warga menang. Seharusnya kita ikuti hukum. Tapi, nyatanya, tidak hanya hari ini mereka mengabaikan hukum di Indonesia,” sesalnya.

Ia berharap, melalui putusan PTUN Jaktim,  perusahaan tambang segera angkat kaki dari pulau Bangka. Putusan itu, menurut dia, sekali lagi menegaskan bahwa pulau Bangka tidak layak menjadi areal pertambangan.

“Kami masih menunggu surat putusan dari Jakarta. Akan ada gerakan untuk menghentikan aktifitas mereka. Tapi, kami berharap, pemerintah baik daerah maupun pusat segera merespon keputusan tersebut. Jangan sampai gerakan masyarakat kembali dikriminalisasi,” tegas Potros.

Kaka Slank, menyerukan penyelamatan Pulau Bangka, lewat petisi di change.org. Kaka khawatir keindahan pulau ini akan hilang jika tambang masuk. Foto: Save Bangka Island

Kaka Slank, menyerukan penyelamatan Pulau Bangka, lewat petisi di change.org. Kaka khawatir keindahan pulau ini akan hilang jika tambang masuk. Foto: Save Bangka Island

Maria Taramen, Ketua Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau, bersyukur karena untuk kesekian kali hukum masih berpihak pada masyarakat kecil. Lewat kemenangan ini,  ia menghimbau kepada masyarakat untuk tidak pesimis dalam memperjuangkan hak-haknya.

“Walau implementasi belum memuaskan, tapi ini jadi bukti bahwa masih ada individu-individu di lembaga hukum yang masih berpihak pada masyarakat,” katanya.

Namun, sejak awal Maria sudah memperkirakan bahwa perusahaan tambang tidak akan menghentikan aktifitasnya karena keberpihakan pemda pada PT MMP.

“Perusahaan tambang masih pede karena pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten hanya diam, bahkan memback-up mereka,” ujarnya.

Karena itu, ia mendesak pemerintah pusat untuk segera turun tangan mengatasi permasalahan ini dan mencabut izin perusahaan tambang di pulau Bangka. “Jangan sampai ketika masyarakat bergerak memperjuangkan haknya dan menuntut PT MMP serta pemerintah daerah untuk mematuhi hukum, mereka dikriminalisasi. Kasus seperti ini sudah pernah terjadi, sebelumnya,” tambah Maria.

Jull Takaliuang, dari Yayasan Suara Nurani Minaesa, menyatakan pihaknya akan terus berupaya mengusir perusahaan tambang dari pulau Bangka, dengan memastikan penegak hukum mematuhi putusan.

“Tahap selanjutnya memastikan penegakan hukum. Artinya, jangan ada lagi Brimob yang menjaga aset MMP. Penegak hukum harus mematuhi hukum. Kami akan kembali mempertanyakan hukum karena keputusan hukum tidak dihargai. Kami akan meminta eksekusi keputusan ini. Menteri ESDM harus perintahkan pencabutan izin MMP,” katanya.

Pihaknya juga akan menuntut pertanggungjawaban pemda provinsi dan kabupaten yang dinilai mendukung aktifitas pertambangan di pulau yang dikategorikan kecil tersebut.

Bahkan, Jull menduga, draft perda tentang Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang sedang dipersiapkan Pemprov Sulut merupakan cara untuk memuluskan langkah agar perusahaan tambang bisa beroperasi di pulau Bangka.

“Beberapa waktu silam, pemerintah provinsi mengadakan sosialisasi perda itu. Tapi, tidak ada naskah akademik. Miskin data. Hanya beberapa daerah saja yang punya. Selain itu kosong. Kemudian, MMP menjadi satu-satunya perusahaan tambang yang diundang. Sisanya PNS dari kabupaten/kota. Ini, kan, aneh.”

Oleh karena itu, mereka akan terus mengawal pembuatan kebijakan di tingkat daerah, khususnya yang bersinggungan dengan pulau Bangka. “Tak boleh ada pertambangan di pulau Bangka. Yang harus dilakukan adalah menghentikan operasi perusahaan dan memperbaiki kerusakan lingkungan di sana,” tegasnya.

Pulau Bangka, Sulut, bak berukir-ukir alias mulai botak karena operasi tambang. Foto: Save Bangka Island

Pulau Bangka, Sulut, bak berukir-ukir alias mulai botak karena operasi tambang. Foto: Save Bangka Island

Kepada media lokal, Rosit Balfas, penasehat hukum MMP dan Kepala Bagian Hukum Pemkab Minahasa Utara Paulin Puansalaing akan mengajukan banding.

“Selama surat resmi belum dipegang, belum yakin hal tersebut 100 persen. Namun kalau sudah seperti itu (putusan PTUN Jaktim), kenapa tidak (banding),” kata Paulin, dikutip dari manadopostonline.com, Rabu (15/7/2015).

Tambang Bikin Susah

Merty Katulung, warga pulau Bangka, turut menyesalkan dan kecewa masih beraktifitasnya perusahaan tambang. Aparat kepolisian juga tetap menjaga aktifitas PT MMP yang menyerobot tanah adat dengan cara memaksa untuk pembangunan jalan itu

“Sangat disesalkan, warga sudah menang dan harusnya dilindungi. Harusnya polisi menegakkan hukum. Tapi perusahaan tambang masih beraktifitas. Berarti mereka (polisi) yang berjaga di sana berpihak pada pelanggar hukum,” tutur Merty.

Dulunya, di lokasi tersebut, warga masih bisa menananam jambu mente, kelapa dan kayu jati. “Lokasi tanah adat sekarang dirusak MMP untuk pembuatan jalan. Lebarnya 12 Meter, panjang sekitar 4 Meter,” katanya.

Aktifitas perusahaan tambang di pulau Bangka selama ini, masih dikatakan Merty, turut berdampak pada sulitnya mengakses air bersih. Air di desa Kahuku sudah mulai keruh. Diduga, kondisi itu disebabkan sumber air bersih disekat perusahaan tambang untuk kepentingan mereka.

Kehadiran MMP juga dinilai sebagai pemicu bentrok antara warga desa penolak dan pendukung tambang, pada Sabtu (12/7/2014) silam. Bentrok kemudian berdampak penangkapan dua warga asal desa Kahuku yang menolak tambang. Mereka dituduh membakar alat berat perusahaan.

Pada Rabu (17/12/2014) keduanya divonis 1 tahun 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Minahasa Utara. Vonis itu dinilai sebagai bentuk kriminalisasi untuk menakut-nakuti warga yang berupaya menolak pertambangan di pulau Bangka.

“Karena kejadian-kejadian itu, kami minta polisi harus ditarik dari pulau Bangka. MMP Juga harus keluar. Jangan lagi ketika warga bertindak nanti dikriminalisasi,” tegas Merty.

Sementara itu, Wilson Damanik, Humas Polda Sulawesi Utara, ketika dihubungi Mongabay enggan berkomentar banyak mengenai hal ini. Ia berjanji akan melakukan langkah selanjutnya jika sudah menerima dokumen asil dari PTUN Jaktim. “Saya belum bisa berkomentar banyak sebelum lihat dokumen resminya. Yang jelas, hukum harus ditegakkan. Itu saja dulu,” jawabnya.


Astaga! Berulang Kali Kalah, Perusahaan Tambang Masih Beraktifitas Di Pulau Bangka? was first posted on July 22, 2015 at 4:17 am.

Idealnya, Masa Transisi Peralihan Alat Tangkap Ikan Cantrang Nelayan Butuh 3 Tahun

$
0
0

Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melaksanakan masa transisi nelayan yang menggunakan alat tangkap cantrang dinilai sebagai langkah yang baik. Namun, rencana tersebut dinilai belum sesuai harapan, karena aturan pelarangan cantrang secara resmi diminta untuk ditunda oleh Ombusdman Indonesia.

Demikian pendapat Ketua Kesatuan Nelayan Seluruh Indonesia (KNSI) Riza Damanik kepada Mongabay. Menurut dia, apa yang dilakukan KKP sudah merupakan cara yang baik. Karena itu artinya, KKP merespon keluhan dari nelayan yang menggunakan cantrang.

“Tapi, KKP juga harusnya bisa merespon putusan yang dikeluarkan Ombusdman yang meminta KKP untuk menunda pelarangan cantrang. Sekarang, kenyataannya masih tanda tanya apakah KKP menerima putusan Ombusdman atau tidak,” ungkapnya.

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Dalam putusan Ombusdman, jelas Riza, KKP diminta untuk melaksanakan masa transisi selama tiga tahun sebelum aturan pelarangan cantrang berlaku penuh. Waktu tersebut dinilai tepat karena nelayan harus diberikan waktu beradaptasi secara penuh.

“Pelarangan cantrang ini kan tidak sederhana. Nelayan juga sudah susah payah untuk membeli alat tangkap tersebut. Nelayan juga pasti harus berpikir realistis bagaimana keberlanjutan melaut mereka berikutnya jika alat tangkapnya dilarang seketika,” tuturnya.

Karena tidak sederhana, Riza berpendapat memang nelayan harus diberikan waktu lebih banyak lagi dari waktu yang dijanjikan KKP hingga 1 September 2015. Dengan waktu yang lebih panjang, nelayan akan mulai membiasakan perubahan alat tangkap sekaligus menyiapkan modal untuk membeli alat tangkap yang tidak dilarang oleh KKP.

“Selama masa transisi tiga tahun, dari sekarang KKP juga bisa membuat putusan apakah cantrang boleh dipakai ataukah tidak. Jika memang boleh seperti apa, begitu juga jika memang tidak seperti apa jelasnya,” paparnya.

Sebelumnya, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim mengatakan selain perlu masa transisi pelarangan cantrang, KKP juga perlu memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil dengan APBN-P 2015,  berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan. Juga berkoordinasi dengan perbankan nasional agar menyiapkan skema kredit kelautan dan perikanan yang bisa diakses oleh pelaku perikanan untuk penggantian alat tangkap.

Sedangkan Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan mengatakan nelayan perlu diberi bantuan alih tehnologi dan waktu untuk peralihan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan, sehingga dampak bagi perekonomian nelayan dan industri perikanan bisa diminimalkan.

Seperti diketahui, KKP mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan perikanan Nomor 02/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Cantrang sendiri merupakan salah satu jenis alat penangkapan ikan yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).

Namun, bagi nelayan di pesisir utara Jawa Tengah yang mayoritas menggunakan alat tangkap cantrang, peraturan tersebut dinilai memberatkan dan menyulitkan. Karenanya, mereka membawa keluhan tersebut ke Ombusdman dan kemudian keluarlah rekomendasi dari lembaga tersebut untuk ditunda aturan pelarangan cantrang.

 Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Ketua Ombudsman RI Danang Girindrawardana mengatakan, pihaknya telah melakukan pemeriksaan berkas laporan, dokumen, peraturan perundang-undangan terkait serta meminta penjelasan atau klarifikasi kepada pelapor dan terlapor.

“Setelah menelaah data dan hasil klarifikasi pada pihak yang terkait, maka sesuai ketentuan pasal 37 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Ombudsman RI menyampaikan Rekomendasi kepada Menteri KKP sebagai bentuk penyelesaian laporan pengaduan,” ungkap Danang.

KKP Fasilitasi Penggantian Cantrang

Walau ada rekomendasi untuk menunda pelaksanaan pelarangan cantrang, namun Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti masih belum mengeluarkan tanggapan resmi terkait hal tersebut. Menteri asal Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat itu justru bersikukuh akan mulai memberlakukan aturan mulai 1 September mendatang.

“Kita akan jalan terus, karena ini untuk kebaikan laut Indonesia dan untuk masa depan kelautan dan perikanan nasional,” tegasnya.

Namun, meski tetap berlanjut, Susi mengaku berempati pada nelayan yang menggunakan cantrang. Karenanya, KKP memfasilitasinya untuk mendapatkan kredit dari perbankan jika ingin mengganti alat tangkap dengan yang ramah lingkungan.

“Kita sudah kerja sama dengan OJK (otoritas jasa keuangan) untuk kredit ini. Kita adakan kerja sama ini karena kita juga peduli dengan nelayan cantrang. Mereka juga bagian dari nelayan nasional,” tutur dia.

Susi mengatakan, untuk fasilitas kredit tersebut akan diberikan oleh tujuh bank nasional dan swasta yang dikoordinasi langsung oleh OJK. Total, untuk kredit tersebut dialokasikan dana sebesar Rp7,15 triliun yang akan disalurkan sepanjang tahun ini.

“Bank langsung menginventarisir sendiri nelayan yang memiliki cantrang. Kita harapkan itu bisa segera dikucurkan kreditnya kepada mereka,” jelas dia.

Sementara menurut Direktur Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut P Hutagalung, penggantian cantrang dengan alat tangkap lain yang ramah lingkungan melalui kredit perbankan, diharapkan bisa menyelesaikan polemik yang ada di kalangan nelayan terkait pemberlakukan Permen  No 2/KKP tentang pelarangan cantrang.

“Kita juga sadar kalau mengeluarkan putusan itu harus sudah disiapkan antisipasinya. Nah, ini bentuk antisipasinya. Kita juga tetap peduli sama nelayan, tapi kita juga sama ekosistem laut kita. Jadi harus sama-sama dijaga,” cetus dia.

Terkait nelayan mana saja yang mendapatkan, kata Saut itu sudah menjadi kewenangan dari perbankan. Hanya, KKP memberikan rekomendasi nelayan mana saja yang berhak memperoleh kredit. Karena tidak sekaligus semua nelayan mendapatkan kredit, lanjut dia, KKP melakukan seleksi nelayan mana saja yang dinilai pantas menerima kredit segera.

Namun, Saut menegaskan, untuk tahap awal pihaknya bersama perbankan akan menyasar 45 kapal yang menggunakan cantrang di Kota Tegal, Jawa Tengah. Untuk rencana tersebut, KKP akan difasilitasi oleh 25 kreditur dengan nilai total Rp12 miliar.


Idealnya, Masa Transisi Peralihan Alat Tangkap Ikan Cantrang Nelayan Butuh 3 Tahun was first posted on July 23, 2015 at 8:36 am.

Mongabay Travel : Asyiknya Selfie dan Menyelam di Desa Tumbak Sulut

$
0
0

Desa Tumbak bukanlah nama besar di Sulawesi Utara. Ia hanya sebuah desa di Kecamatan Pusomaen, Kabupaten Minahasa Tenggara, yang harus ditempuh dengan perjalanan darat selama 3 jam dari kota Manado. Jarak dan waktu tempuh ditambah lagi akses jalan yang masih dalam perbaikan menjadi salah satu faktor penghalang untuk mengenalinya.

Namun, belakangan, kendala itu seakan tidak lagi menjadi soal. Sebab, nyaris tiap minggu, wisatawan dari dalam dan luar Sulut mendatanginya. Lewat publikasi di media massa, jejaring sosial atau penuturan dari mulut ke mulut, informasi mengenai potensi wisata di desa ini tersebar, dan berhasil menarik minat pengunjung dari Bunaken, destinasi wisata utama di Sulut.

Wisatawan memang tidak akan menyesal mendatanginya desa dengan berbagai keindahan alam, seperti kesegaran hutan mangrove seluas 200 hektar. Ditambah tujuh pulau kecil tak berpenghuni disekitar Desa Tumbak, yaitu pulau Ponteng, Baling-baling, Pakolor, Bangkoan, Kukusan, Belakang Kuda serta pulau Putih. Dari kejauhan, pulau-pulau tadi terlihat seperti potongan kue lapis yang didominasi warna hijau. Jaraknya tidak jauh, sekira 15-30 menit naik perahu.

Pemandangan dari puncak Pulau Baling Baling, Desa Tumbak, MInahasa Utara, Sulut.  Foto : Hendra Wijaya

Pemandangan dari puncak Pulau Baling Baling, Desa Tumbak, MInahasa Tenggara, Sulut. Foto : Hendra Wijaya

Wisatawan berfoto selfie di Pulau Baling-Baling, Desa Tumbak, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Facebook Wisata Pulau Tumbak

Wisatawan berfoto selfie di Pulau Baling-Baling, Desa Tumbak, Minahasa Tenggara, Sulut. Foto : Facebook Wisata Pulau Tumbak

Menurut Leonardo, salah seorang pemandu wisata di Desa Tumbak, warga setempat menamakan pulau berdasarkan bentuknya. “Misalnya, pulau Belakang Kuda karena bentuknya mirip punuk kuda. Sementara, pulau Putih karena pulaunya memiliki batu berwarna putih,” kata lelaki yang akrab disapa Leon ini kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Juni 2015.

Sejak 2010, Leon bersama Yoan Parizot, seorang keturunan Perancis yang menikah dengan seorang warga dan menetap di Desa Tumbak dan, mendirikan tour organizer untuk kunjungan ke situs-situs wisata di sekitar desa Tumbak.

Berawal dari pendirian cottage keluarga Yoan di antara desa Tumbak dan pulau Bentenan, mereka melihat Desa Tumbak bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata dan cottage itu menjadi fasilitas menginap bagi pengunjung.

Mereka sepakat menamai komunitas pemandu wisata “Pulau Tumbak Wisata”, dengan tujuan mengenalkan desa Tumbak dengan pulau-pulau yang menjadi target wisata. Paket wisata pulau-pulau itupun dibuat termasuk jasa penginapannya.

“Awalnya, open trip hanya untuk 10 orang saja. Kemudian di buat regular, ternyata banyak yang minat. Salah satu faktornya, underwater di Tumbak dirasa lebih bagus karangnya dibanding tempat lain. Akhirnya, di buka one day trip, berangkat dari Manado pagi lalu pulang sore. Sekarang, sekali trip kalau dirata-rata bisa 40 sampai 50 pengunjung,” terang Leon.

Salah satu spesies ikan di perairan Desa Tumbak, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Yoan Parizot

Salah satu spesies ikan di perairan Desa Tumbak, Minahasa Tenggara, Sulut. Foto : Yoan Parizot

Golden coral, salah satu jenis terumbu karang yang ada di perairan Desa Tumbak, Sulut. Foto :  pulautumbak.com

Golden coral, salah satu jenis terumbu karang yang ada di perairan Desa Tumbak, Sulut. Foto : pulautumbak.com

Kekayaan terumbu karang di perairan Desa Tumbak, Minahasa Utara, Sulut. Foto Yoan Parizot

Kekayaan terumbu karang di perairan Desa Tumbak, Minahasa Tenggara, Sulut. Foto Yoan Parizot

Terdapat 3 pulau yang menjadi destinasi unggulan di desa Tumbak, yaitu pulau Bentenan, Baling-Baling dan Ponteng. Di pulau Bentenan wisatawan disuguhkan dengan pemandangan hutan mangrove, termasuk padang savana yang menarik untuk berfoto selfie.

Berfoto di padang savana memberikan kesan berbeda. Hamparan rumput hijau serta hembusan angin yang membelai rambut, membuat suasana pulau Bentenan terasa sejuk.

Beranjak ke pulau Baling-baling, wisatawan kembali dipersilahkan melangsungkan hajatan potret-memotret. Lokasinya tak lagi di padang Savana. Pengunjung harus mendaki bukit di pulau ini. Tiba di atas puncak, terdapat lokasi foto ciamik dengan pemandangan laut di belakangnya.

Wisatawan ber-selfie di savana Pulau Bentenan, Desa Tumbak, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Wisatawan ber-selfie di savana Pulau Bentenan, Desa Tumbak, Minahasa Tenggara, Sulut. Foto : Themmy Doaly

“Baling-Baling untuk fotografi karena kalau orang naik ke puncaknya dan foto di sana hasilnya akan bagus, nggak ada di tempat lain. Pulau ini jadi salah satu andalan di desa tumbak,” Leon menambakhan. “Ada beberapa kali tamu yang datang ke tumbak pagi-pulang siang hanya untuk foto di pulau Baling-Baling.”

“Sementara itu pulau Ponteng juga dijadikan lokasi wisata, karena punya spot diving dan snorkling, kedua-duanya masuk world class. Tingkat kerapatan karangnya lebih dari di taman laut lainnya di Sulawesi Utara.”

Lionfish, salah satu satwa bawah laut di perairan Desa Tumbak, Sulut. Foto : pulautumbak.com

Lionfish, salah satu satwa bawah laut di perairan Desa Tumbak, Sulut. Foto : pulautumbak.com

Gugusan karang di perairan Desa Tumbak, Sulut. Foto : Yoan Parizot

Gugusan karang di perairan Desa Tumbak, Sulut. Foto : Yoan Parizot

Gugusan terumbu karang di perairan Desa Tumbak, Sulut. Foto : Yoan Parizot

Gugusan terumbu karang di perairan Desa Tumbak, Sulut. Foto : Yoan Parizot

Pulau lain sejauh ini belum dimanfaatkan sebagai lokasi wisata, sebab kondisi daratannya dinilai belum ideal untuk menampung wisatawan. Namun, Leon menambahkan, nyaris di seluruh perairan desa Tumbak terdapat spot diving dengan pemandangan mempesona. Totalnya, 24 lokasi menyelam tersebar di perairan Tumbak, semisal spot Napo Kipas, Hutan Bakau Bohaga serta Bohaga Kecil.

“Terumbu karang ada berbagai bentuk dan warna-warni. Kemudian, di perairan Tumbak ada ratusan spesies ikan dari berbagai jenis, misalnya saja lionfish, clownfish, surgeon fish dan parot fish.”

Berdasarkan hasil penelitian Hartono Sormin, dkk, luas terumbu karang di desa Tumbak Madani sekitar 25 hektar. Dari garis pantai menuju lautan lepas panjangnya mencapai 200 meter, kemudian berbentuk landai menuju pulau Baling-baling dan Ponteng, menjadi habitat binatang laut pygmy seahorse.

“Selain itu, berdasarkan pengamatan fishwatch yang dilakukan Acroporis, di desa Tumbak Madani terdapat 53 famili ikan konsumsi dan ikan hias,” demikian tertulis dalam Jurnal Platax Januari 2013 dengan judul Deskripsi Sumberdaya Perikanan Desa Tumbak Madani Kapubaten Minahasa Tenggara.

Keindahan situs wisata di pulau maupun perairan sekitar desa Tumbak mendapat pengakuan dari sejumlah wisatawan. Seperti dikatakan Andro, pengunjung dari Manado, situs wisata di sekitaran desa Tumbak menjadi lokasi yang pas untuk selfie atau foto bersama rekan-rekan.

“Saya baru sekali datang ke sini karena dengar informasi dari teman. Ada banyak pulau indah untuk dikunjungi. Kondisi karangnya juga bagus. Saya baru kali ini datang dan ingin kembali lagi lain waktu,” ucap Andro.

Hal serupa dikatakan Fredrik pengunjung dari Samarinda. Ia mengaku kagum dengan sajian wisata di sana. Bersama anak dan istrinya, Fredrik menyempatkan diri untuk berfoto di puncak pulau Baling-baling. Tak hanya itu, mereka juga mengaku puas dengan pemandangan bawah laut di lokasi tersebut.

“Saya tahunya dari facebook. Penasaran juga. Pas nyampe sini puas. Karangnya masih bagus, ikannya juga. Anak-anak juga senang bisa menyelam dan ikut trip dari pulau ke pulau. Apalagi waktu foto bareng di Baling-baling,” ujar Fredrik dengan nada sumringah.

Cottage di Desa Tumbak Milik Yoan Parizot. Foto Themmy Doaly

Cottage di Desa Tumbak, Minahasa Tenggara, Sulut,  Milik Yoan Parizot. Foto Themmy Doaly

Nelayan setempat ikut dilibatkan dalam pengembangan pariwisata di desa Tumbak, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Nelayan setempat ikut dilibatkan dalam pengembangan pariwisata di Desa Tumbak, Minahasa Tenggara, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Ancaman Sianida dan Bom Ikan

Meski memiliki sumberdaya alam yang dapat menjadi modal wisata, namun perairan di desa Tumbak terancam oleh aksi pengeboman dan racun sianida oleh nelayan untuk menangkap ikan.

Yoan mengatakan meski mengetahui dampak buruknya, nelayan bersikap tidak peduli. Padahal polisi sudah sering menangkap para pelaku, bahkan ada juga pelaku yang sempat menjadi korban dari aktifitas mereka.

“Tapi susah diketahui berapa banyak jumlahnya. Hanya saja, dalam beberapa tahun, korban dari aktifitas pengeboman sekitar 10 orang. Tahun ini saja, ada 2 orang meninggal, 2 luka parah, ada yang lumpuh dan ada yang masuk penjara,” kata Yoan yang juga alumnus Universitas Marseile Perancis.

Untungnya, masih menurut Yoan, aktifitas pengeboman tidak terjadi di dekat ekosistem terumbu karang. Sehingga, kondisi karang di perairan desa Tumbak terbilang relatif baik. “Mereka mengebom di daerah yang tidak terlihat dari kampung,” ungkap Yoan.

Namun demikian, sejumlah wisatawan mengaku pernah mendengar dentuman bom saat menyelam di perairan Tumbak. Misalnya saja seperti dikatakan Rizal, warga Manado. Ketika sedang asik menyelam, tiba-tiba ia mendengar suara ledakan yang diduga berasal dari bom ikan.

“Duarrr..” begitu ia menirukan bunyi ledakan tersebut, “Saya kaget dan langsung menuju ke permukaan air. Untung saja gendang telinga saya tidak pecah.”

Meski tidak memiliki data pasti, namun diyakini sejak maraknya pariwisata di desa Tumbak aktifitas pengeboman ikan di sana mulai menurun. Masyarakat sekitar dinilai mulai sadar akan potensi wisata di daerah tersebut.

“Beberapa nelayan sudah berhenti dari aktifitas pengeboman ikan. Beberapa juga sudah merasakan hasil dari pariwisata. Mereka bisa bawa tamu-tamu yang kami bawa ke Tumbak,” jelas Leon.

Upaya menjaga lingkungan agar potensi wisata bisa dimaksimalkan juga melibatkan pemuda setempat. Leon dan Yoan sering melibatkan mereka ketika wisatawan mengunjungi desa Tumbak, selain itu memberi penyadaran lewat percakapan informal.

“Kami mengajak pemuda di sini untuk tidak lagi melakukan aktifitas merusak lingkungan. Ada potensi lain yang mereka bisa dapatkan tanpa bom dan racun. Lewat aktifitas pariwisata, selain mendapat uang dari situ, mereka juga bisa menjaga lingkungan,” tutup Leon.

 


Mongabay Travel : Asyiknya Selfie dan Menyelam di Desa Tumbak Sulut was first posted on July 24, 2015 at 4:43 am.

Bangkai Kapal Liberty, Ikon Bawah Laut Tulamben Yang Makin Rapuh

$
0
0

Suara ombak bergemuruh di pesisir kawasan wisata bawah laut Karangasem, Amed dan Tulamben, Bali. Kapal cepat dan perahu yang terparkir nampak naik turun terbawa arus kuat pada Sabtu (11/07/2015) pekan lalu. Sejumlah rombongan penyelam membatalkan rencananya menjelajah panorama bawah laut Timur Bali ini.

Puluhan perahu terlihat terparkir di pantai. Nelayan juga menunda melaut karena ombak terlihat begitu garang. Angin juga terasa keras menampar-nampar kulit wajah. Ada sejumlah penyelam yang berani masuk namun lebih pagi ketika ombak sedikit lebih santai.

Hari pertama ombak besar pada 11 juli lalu di Perairan Amed, Bali Timur, banyak penyelam dan nelayan mengurungkan kegiatannya. Cuaca buruk berdampak juga pada ekosistem bawah laut obyek wisata selam Amed dan Tulamben seperti lokasi selamt Bangkai Kapal Liberty Ship Wreck dan karangnya. Foto : Luh De Suriyani

Hari pertama ombak besar pada 11 juli lalu di Perairan Amed, Bali Timur, banyak penyelam dan nelayan mengurungkan kegiatannya. Cuaca buruk berdampak juga pada ekosistem bawah laut obyek wisata selam Amed dan Tulamben seperti lokasi selamt Bangkai Kapal Liberty Ship Wreck dan karangnya. Foto : Luh De Suriyani

Hari pertama cuaca buruk ini, tak ada yang memprediksi dampaknya. Sejumlah pekerja wisata terlihat memotret suasana saat itu dan berharap ombak kembali reda.

I Nyoman Suastika, salah seorang guide selam lokal yang memotret kondisi bawah laut pasca gelombang besar selama 5 hari pada 11-16 Juli itu. Bangkai kapal perang dunia II,  USAT Liberty Ship wreck yang menjadi ikon penyelaman kawasan ini terlihat makin keropos. “Ada bagian yang jatuh, dan ada juga yang tertimbun oleh batu atau pasir, ada pula koral yang patah,” papar pria penggerak wisata di Desa tulamben ini. Ia mengaku kaget karena ada lubang di bagian bodi kapal.

Kapal ini disebut kena torpedo Jepang namun tak tenggelam. Tentara Amerika ingin menarik ke pelabuhan di Singaraja, Barat Bali namun tak berhasil. Kapal dibiarkan lalu pada 1963 saat Gunung Agung yang sangat dekat kawasan pesisir ini meletus, mendorong kapal lalu tenggelam di pesisir. Lokasi karam sangat mudah diakses, hanya beberapa belas meter dari pantai dan terlihat di permukaan.

Foto-foto kerusakan kapal akibat ombak ini diposting di grup Photovoices Karangasem, komunitas warga yang belajar dokumentasi lewat kamera foto.  Difasilitasi oleh Lensa Masyarakat Nusantara (LMN), Coral Reef Alliance (CORAL), Conservation International (CI) Indonesia dan Yayasan Reef Check Indonesia. Pegiatnya sebagian pemandu selam lokal dan pekerja pariwisata yang andalan utamanya panorama bawah laut ini.

Rekan penyelam lain juga memotret hal yang sama. Ada bagian kapal yang patah. Ada sudut lain yang terkubur pasir. Juga sejumlah koral patah. “Selama ombak ini kegiatan pariwisata lumpuh di tulamben. Bahkan dapat membahayakan para penyelam yang mau dive di tulamben,” tambah Suastika.

Ikon tempat selam perairan Amed yaitu bangkai kapal Liberty tertutup pasir yang dibawa ombak besar hampir seminggu pekan lalu di perairan Timur Karangasem. Foto : Nyoman Suastika/Photovoices

Ikon tempat selam perairan Amed yaitu bangkai kapal Liberty tertutup pasir yang dibawa ombak besar hampir seminggu pekan lalu di perairan Timur Karangasem. Foto : Nyoman Suastika/Photovoices

Namun, dampak ombak ini bukan kekhawatiran pertama. Sudah beberapa tahun terakhir ini, para penyelam lokal dan aktivis konservasi mulai risau dengan masa depan dive spot termasyur ini. Bangkai kapal yang sudah menjadi rumah ratusan spesies laut dan diorama paling dicari penyelam ini makin rapuh karena usia dan berisiko hancur. Dalam musim-musim ramai penyelam,  puluhan orang bisa ada di satu site ini bersamaan.

Menikmati terumbu yang hidup di bangkai sepanjang 120 meter ini. Tak hanya penyelaman, banyak aktivitas lain seperti fotografi bawah laut. Pada Mei 2014, fotografer  Benjamin Von Wong merilis foto-foto model di area Liberty Ship Wreck ini dengan sangat indah. Para model yang juga free divers ini mengenakan gaun putih dan diikat kakinya agar terlihat melayang-layang di air. Terlihat magis.

Pemandu selam lokal dan pemerintah desa mendiskusikan ini beberapa kali di sejumlah pertemuan tentang upaya penataan dan perlindungan harta karun bahari ini.

Salah satu bagian bangkai kapal Liberty ship di perairan Amed, Bali Timur berlubang cukup besar,  kemungkinan karena benturan karang. Foto : Nyoman Suastika/Photovoices

Salah satu bagian bangkai kapal Liberty ship di perairan Amed, Bali Timur berlubang cukup besar, kemungkinan karena benturan karang. Foto : Nyoman Suastika/Photovoices

Menurut laporan CI Indonesia, kawasan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Karangasem diidentifikasi memiliki nilai konservasi tinggi dalam program Kajian Cepat Kelautan Bali (Marine Rapid Assessment Program/MRAP) tahun 2011. Sekitar 100 penyelam turun di perairan Tulamben setiap harinya.

Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karangasem tahun 2013-2014 menunjukkan sekitar 70 ribu orang wisatawan ke lokasi ini setiap tahun. Kajian terhadap nilai ekonomi kawasan yang dilakukan oleh Coral Reef Alliance dan Reef Check Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan perputaran ekonomi senilai USD 10 juta. Terutama didorong oleh sektor pariwisata dan sekaligus sebagai penunjang utama ekonomi masyarakat di Tulamben.

Lalu apa solusi menyelamatkan Liberty Wreck ini? Pada sebuah diskusi yang dihelat CI, sejumlah pihak dari Balai Pelestarian Cagar Budaya menyebut perlu regulasi seperti kepastian zonasi konservasi dan pelestarian situs bangkai kapal ini. Komang Amiek mengatakan regulasi pengelolaan kawasan wisata bawah laut ini dengan harus jelas.

Sementara Gde Yadnya menambahkan secara teknis bisa dipasang tanda sebagai rambu-rambu bagi penyelam.  “Meski sudah pasti, tapi belum ada yang bisa memprediksi dengan pasti kapan kapal akan habis. Untuk mengantisipasi hal itu perlu ada daya tarik alternatif,” katanya.

Para pemandu selam lokal sudah berancang-ancang membentuk semacam asosiasi pemandu selam dan membuat kesepakatan dalam perlindungan salah satu sumber mata pencaharian mereka.


Bangkai Kapal Liberty, Ikon Bawah Laut Tulamben Yang Makin Rapuh was first posted on July 26, 2015 at 3:31 am.

Jelang Pengucapan Syukur Kabupaten Minahasa, Diduga Daging Yaki Dijual Di Pasar Langowan

$
0
0

Menjelang perayaan pengucapan syukur di kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, perdagangan satwa dilindungi diduga masih berlangsung. Sebab, pada Kamis (23/07/2015) tim Yayasan Selamatkan Yaki menyaksikan potongan daging mirip Yaki (Macaca nigra), satwa endemik Sulut, di Pasar Langowan.

Berawal ketika tim Selamatkan Yaki membuka Stand Informasi di pasar Langowan, untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk tidak lagi mengkonsumsi satwa dilindungi dalam perayaan pengucapan syukur di Minahasa.

Tiba-tiba, dari jarak 10 meter mereka dikejutkan potongan daging mirip Yaki sedang diperdagangkan di sana. Namun, pertimbangan keamanan membuat tim Selamatkan Yaki tidak bisa memastikan satwa yang diperdagangkan tersebut.

Yaki, atau kera hitam Sulawesi yang semakin terancam. Photo © Andew Walmsley Wildlife Photography

Yaki, atau kera hitam Sulawesi yang semakin terancam. Photo © Andew Walmsley Wildlife Photography

“Tidak sempat difoto karena kami harus mempertimbangkan faktor keamanan. Di pasar Langowan kami menggunakan baju, atribut dan simbol-simbol penyelamatan yaki yang relatif besar ukurannya. Kalau difoto atau menanyakan langsung pada penjual, mungkin bisa lain ceritanya,” kata Yunita Siwi, Education Officer Yayasan Selamatkan Yaki pada Mongabay, Jumat (24/o7/2015).

Ke depan, Yayasan Selamatkan Yaki kedepannya akan berkomunikasi dengan pengelola pasar untuk menertibkan aktifitas perdagangan di pasar Langowan. Mereka juga akan melibatkan para pedagang di sana dalam kegiatannya.

“Kami berencana bikin sebuah kegiatan khusus dengan pedagang dan menjelaskan kepada mereka bahwa yaki adalah satwa dilindungi. Kegiatan ini rencananya akan melibatkan juga pengelola pasar,” ucapnya.

Dalam penyelenggaraan Stand Informasi kali ini, tim Selamatkan Yaki melibatkan Kelompok Pecinta Alam Langowan (Kapalang). Anak-anak juga dilibatkan dalam kegiatan mewarnai. Kegiatan ini kemudian berhasil menarik perhatian sejumlah pengunjung pasar. Sayangnya, tidak banyak informasi terkait perdagangan satwa endemik Sulut yang didapat.

“Tapi, kami sedang bikin riset mengenai perdagangan satwa liar, bukan cuma yaki. Pengambilan data dilakukan di beberapa lokasi, misalnya Langowan, Kawangkoan, Tomohon, Amurang dan Motoling. Ini baru tahap pertama. Dari riset ini, kita akan tahu kecenderungan perdagangan satwa di Sulawesi Utara, khususnya mengenai satwa dilindungi,” jelasnya.

Stand Selamatkan Yaki di pasar langowan. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Stand Selamatkan Yaki di pasar langowan. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Sudiyono, kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam  (BKSDA) Sulawesi Utara, mengaku baru mendengar informasi dugaan perdagangan satwa mirip yaki di pasar Langowan. Namun, ia berjanji akan meninjau lokasi dan mengembangkan informasi terkait perdagangan satwa di pasar Langowan ini.

“Kita akan pantau siapa penyuplai dan lewat jalur mana. Kami juga akan mengkomunikasikan persoalan ini dengan pengelola pasar, nantinya,” katanya.

Pihaknya mengaku sudah melakukan pengawasan menjelang perayaan pengucapan syukur di kabupaten Minahasa ini. Upaya menekan perdagangan satwa dilindungi, misalnya, dilakukan dengan mengawasi peredaran di perbatasan Sulut dan Gorontalo. Sebab, perdagangan satwa dilindungi diduga melintasi jalur Sulawesi Tengah, Gorontalo hingga Sulawesi Utara.

Meski demikian, ia tidak memungkiri bahwa pengawasan tersebut memiliki kendala tersendiri. “Memang ada yang terlewat dari pengawasan. Kan, jumlah yaki di luar kawasan konservasi hampir 3000 ekor,” jelasnya.

BKSDA melakukan pendekatan berbeda dalam pengawasan di pasar menjelang perayaan pengucapan syukur. Faktor keamanan petugas patroli dijadikan pertimbangan untuk mengambil langkah.

“Kami melakukan pengawasan tertutup sesuai dengan informasi. Kami juga sudah punya jadwal,” tambah Sudiyono, “Namun,pengucapan syukur di Sulawesi Utara ini kan tidak serentak. Itu juga  jadi salah satu kendalanya.”

Stand informasi Yayasan Selamatkan Yaki di Pasar Langowan, Minahasa, Sulut,  juga mengajak anak-anak untuk ikut terlibat dalam kegiatan mewarnai. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Stand informasi Yayasan Selamatkan Yaki di Pasar Langowan, Minahasa, Sulut, juga mengajak anak-anak untuk ikut terlibat dalam kegiatan mewarnai. Foto : Yayasan Selamatkan Yaki

Perayaan pengucapan syukur secara historis merupakan ungkapan syukur masyarakat Minahasa atas panen padi. Namun, dalam perkembangannya, sejumlah aktivis dan pecinta satwa menilai, momentum pengucapan syukur cukup rentan dengan perburuan, perdagangan dan konsumsi satwa dilindungi, salah satunya yaki.

John Tasirin, pakar Biodiversitas asal Universitas Sam Ratulangi menyatakan, semua primata di Indonesia merupakan satwa dilindungi. Sehingga, perdagangan satwa mirip yaki di pasar Langowan merupakan pelanggaran hukum. Karenanya, ia mendesak instansi berwenang untuk berani mengambil langkah menyelesaikan persoalan ini.

“Semua primata dilindungi undang-undang, bukan perorang. Jadi ketika ditemukan daging mirip yaki di pasar Langowan, berarti ada seorang kriminal, sesuai UU. Pihak berwenang harus usut kasus ini. Harus ada action. Strategi yang baik di pasar adalah menindak kepala pasar karena dia yang bertanggungjawab di sana,” tegas dia.

Namun, John melihat, kelemahan dalam penyelesaian kasus perburuan atau perdagangan satwa dilindungi berasal dari sudut pandang para penegak hukum. Selama ini, sejumlah kasus perburuan dan perdagangan satwa sulit diselesaikan karena bukti semisal foto dinilai tidak cukup kuat secara hukum.

“Kalau ikut mekanisme sekarang, tangkap tangan, susah. Tapi, kan, dalam UU sudah ditegaskan, siapa yang memiliki, memegang dan atau memindahkan, sebagian atau seluruhnya, hidup atau mati, sudah bisa dipidana.”

Dampak Buruk Bagi Kesehatan

John menyatakan sejumlah penelitian membuktikan bahwa ada penyakit yang bisa ditularkan primata pada manusia, yang dalam jangka panjang berdampak degradasi fungsi otak.

John belakangan menjadi anggota South East Asia One Health Universty Network (SEAOHUN). Jaringan one health di universitas se-Asia Tenggara ini digagas oleh WHO, bertujuan menciptakan kader profesional atau terlatih berdasarkan konsep one health.

One health berarti ekosistem sehat, manusia juga sehat,” jelasnya.

Lewat SEAOHUN, ia terlibat dalam riset-riset yang bertujuan mengidentifikasi dan memerangi virus yang ditebarkan oleh satwa liar. “Contohnya zoonotic atau virus yang didistribusikan oleh satwa liar, yang merambat dari kehidupan satwa liar ke manusia.”

Ia menambahkan, sejumlah penelitian telah mempublikasi adanya virus yang ditemukan di tempat lain, tapi tidak ditemukan di sini. Namun, itu bukanlah kabar baik. Sebab, virus-virus tadi bisa berkembang dan bermutas dengan sangat cepat.

“Kalau virus-virus itu bermutasi, kita di Sulawesi Utara yang paling berbahaya menerima penyakit tersebut. Kalau masyarakat menyatakan selama ini tidak bermasalah dengan konsumsi daging yaki, karena memang dampaknya tidak langsung terasa. Ada bioakumulasi. Nanti akan terasa sedikit-sedikit,” katanya.

“Dari sisi kesehatan masyarakat, warga Sulut sebenarnya dirugikan karena sudah mengkonsumsi yaki. Tapi banyak orang mempercayai mitos. Ada yang bilang yang bilang obat dan sebagainya. Padahal, berdampak buruk bagi kesehatan.”

John menilai, belum ada stategi untuk menekan peredaran virus tersebut. Solusi yang dirasa paling relevan adalah berhenti mengkonsumsi satwa liar. “Karena kita bisa konsumsi hewan yang sudah didomestikasi, yang lebih terkontrol kehidupannya. Jadi, sampai kapan makan yaki?”

 


Jelang Pengucapan Syukur Kabupaten Minahasa, Diduga Daging Yaki Dijual Di Pasar Langowan was first posted on July 27, 2015 at 12:29 am.

Akhir Tahun, HuMa Targetkan Pengesahan 15 Perda Masyarakat Adat

$
0
0

Sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/2012 tentang tanah adat, belum banyak pemerintah daerah yang mengimplementasikannya di lapangan. Bahkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat bahkan masih kerap terjadi.

Untuk Sulawesi Selatan, baru kabupaten Luwu Utara dan Bulukumba yang mengakomodir putusan MK tersebut dengan perda. Oleh karena itu, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), menargetkan pengesahan 15 perda masyarakat adat yang di dalamnya juga terkait hutan adat.

“Harapan kami 15 daerah ini bisa selesai dalam tahun ini. Selain itu juga harus ada anggaran negara untuk mengurus ini,” kata Nurul Firmansyah dalam diskusi percepatan pengesahan hutan adat regional Indonesia Timur di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, pada awal Juli 2015.

Masyarakat adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulsel menanti terbitnya Perda Pengukuhan dan Perlindungan. Hanya beberapa daerah di Indonesia yang telah memiliki perda masyarakat adat. Foto : Wahyu Chandra

Masyarakat adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulsel menanti terbitnya Perda Pengukuhan dan Perlindungan. Hanya beberapa daerah di Indonesia yang telah memiliki perda masyarakat adat. Foto : Wahyu Chandra

Kebijakan tanah adat di daerah dalam bentuk perda atau SK Bupati memang tidak mudah karena ada tahapan yang harus dilalui. “Paling tidak wilayah adat yang telah diperdakan ini segera ditetapkan. Yang paling jelas adalah tentang PP Hutan Adat. Pemerintah juga harus membuatkan regulasi tentang hutan adat ini,” katanya.

HuMa merekomendasikan terselenggaranya dialog percepatan penetapan wilayah adat dalam kerangka Perda Masyarakat Adat ini secara nasional. Dengan koordinasi Kementerian Agraria dan kolaborasi kerja di daerah untuk mempercepat kebijakan itu.

Sedangkan Farida Patittingi, Guru Besar Agraria dan Adat dari Universitas Hasanuddin Makassar melihat pemerintah serius mendorong lahirnya kebijakan masyarakat adat, dengan adanya perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan Gubernur Sulsel dalam acara tersebut.

Farida menjelaskan awal hukum di Indonesia adalah hukum adat, yang kemudian diubah Belanda dengan peraturan yang menghilangkan atau mengebiri hukum adat tersebut.

“Kita ini semua dari masyarakat hukum adat. Bahkan dalam Undang-undang Pokok Agraria Pasal 5 masih tegas mengakui bahwa hukum agraria yang berlaku tentang bumi air dan ruang angkasa yang berlaku ialah hukum adat, dan oleh karena itu cara-cara terjadinya hak milik atas tanah atau model penguasaan tanah hukum adat tidak boleh dinegasikan, harus diakui sepanjang itu dilakukan berdasarkan ketentuan hukum adat, secara teoritis memiliki sifat terang, konkrit, dan konstan.”

Tetapi hukum adat hanya berdasar kondisi nyata, dan formalisasi pembuktian atas tanah dengan sertifikat baru dikenal setelah Belanda membuat aturan hukum agraria.

Seperti aturan Domein Verklaring yaitu semua hak atas tanah yang tidak bisa dibuktikan hak miliknya maka itu dimiliki oleh Negara, yang memperkosa hak masyarakat hukum adat, karena tidak bisa membuktikan kepemilikannya. Aturan itu merupakan cara Belanda menguasai dan mengesploitasi tanah masyarakat hukum adat.

“Bayangkan Belanda membuat sedemikian rupa seperti ini. Mana ada masyarakat hukum adat yang mempunyai bukti dengan dasar sertifikat. Semua dengan dasar penguasaan fisik, paling jauh kan hanya di register di Pemerintahan Desa,” jelasnya.

Melalui UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria, aturan Domein Verklaring dicoba dihapus dengan memposisikan negara sebagai badan pengatur, bukan pemilik tanah dalam tatanan hukum.

“Negara tidak boleh mempunyai hubungan keperdataan terhadap tanah. Hanya hubungan publik, hanya mengatur peruntukannya, persediaanya, pemeliharaan atas tanah tersebut,” katanya.

Dari aspek hukum, Farida menilai kedudukan masyarakat hukum adat sangat kuat, dengan berbagai aturan teknis yang telah ada, seperti Surat Edaran Kemendagri tentang Mekanisme Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

“Karena dasar hukumnya sudah sangat kuat, tidak ada lagi alasan dari pemerintah untuk tidak menjalankan ini, tinggal bagaimana nanti menyesuaikan atau melihat karakteristik seperti apa.”

Pemda berkewajiban mengidentifikasi dan menginventarisasi masyarakat adat di wilayahnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan HuMa di tahun 2014 membuktikan secara ilmiah masih adanya masyarakat adat di nusantara, baik dari ritual adat, kelembagaan adat dan batas-batas wilayahnya. Foto : Wahyu Chandra

Pemda berkewajiban mengidentifikasi dan menginventarisasi masyarakat adat di wilayahnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan HuMa di tahun 2014 membuktikan secara ilmiah masih adanya masyarakat adat di nusantara, baik dari ritual adat, kelembagaan adat dan batas-batas wilayahnya. Foto : Wahyu Chandra

Sedangkan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan bahwa upaya menjaga hutan harus dilihat sebagai upaya melindungi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta melindungi masyarakat.

“Bagaimana rakyat terlindungi? Salah satunya yaitu dengan menjaga hutan. Lalu bagaimana menjaga hutan kita? Bagaimana pun kita tidak mau merusak hutan kita apalagi oleh negara,” katanya.

Peraturan diperlukan sebagai pegangan untuk mengatur kesejahteraan rakyat, termasuk dalam hal pelestarian hutan. “Oleh karena itu saya setuju apapun bentuk undang-undang tersebut harus mensejahterakan rakyat. Hutan adat tidak boleh diperjualbelikan. Pengaturannya harus ketat,” katanya.

Sementara Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Hadi Daryanto, mengatakan pihaknya bersama HuMa terus berupaya untuk melaksanakan putusan MK No.35

“Pengeluaran hutan adat dari hutan negara bermakna pengembalian hutan adat kepada masyarakat adat. Jadi kita sedang berupaya bagaimana menyelesaikan putusan MK tersebut. Saat ini kita sedang menyusun putusan tentang hutan hak yang sementara dalam proses,” katanya.

Upaya pengakuan eksistensi masyarakat adat, sudah dilakukan oleh Kemendagri melalui Permendagri No.52/2014 dan sejumlah pemerintah daerah. Sedangkan dalam UU Kehutanan pasal 67 dikatakan pentingnya keberadaan perda, sehingga KLHK  menfasilitasi lahirnya peraturan hutan adat.

Saat ini, KLHK dibantu masyarakat sipil sedang memfasilitasi pembuatan perda tentang wilayah adat di Kabupaten Kajang dan Seko. “Ketika sudah ada Perda dan diakui wilayah adat, maka dia dikembalikan dan didaftar di kementerian,” katanya.

Sementara Edi Sugiharto, Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri mengatakan pemda memainkan peranan dalam mengkoordinasi dan mengintegrasikan berbagai peraturan terkait masyarakat adat, termasuk soal hak pelimpahan dan pendanaan.

“Masyarakat hukum adat berada di tengah NKRI jadi harus perhatikan aturan. Walaupun nanti sudah menjadi tanah adat namun jika diperlukan oleh negara, masyarakat adat harus melepaskannya karena ini adalah NKRI.”

 


Akhir Tahun, HuMa Targetkan Pengesahan 15 Perda Masyarakat Adat was first posted on July 28, 2015 at 2:00 am.

Opini : Pulau Bangka Meradang Karena Tambang

$
0
0
*Indra Ambalika Syari.  Dosen Ilmu Kelautan Universitas Bangka Belitung, Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang UBB,  Sekretaris Yayasan Sayang Babel Kite (SBK).  Email : iambalikasyari@gmail.com.  Tulisan ini merupakan opini penulis.

Kebutuhan dunia terus meningkat akan bahan mineral tambang, perkembangan teknologi dan meningkatnya jumlah penduduk membuat orientasi penambangan yang semula banyak terpusat di wilayah darat kini semakin bergeser menuju laut. Selain itu, semakin menipisnya konsentrasi mineral tambang di darat dan sempitnya luasan wilayah di darat menjadikan penambangan di laut menjadi solusi masa depan untuk penyediaan bahan tambang yang tak dapat diperbaharui.

Timah telah ditambang di bumi Pulau Bangka lebih dari 300 tahun yang lalu. Berawal dari daratan kini penambangan timah mulai beralih ke laut Pulau Bangka. Kini penambangan mulai ekstensif dan menuju intensif (semi intensif) dilakukan di laut Pulau Bangka.

Sejak Undang-undang No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah (otonomi daerah) dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis dan sejak SK Bupati Bangka No.6/2001 tentang pertambangan diterbitkan, pertambangan timah inkonvensional (TI) menjarah daratan Pulau Bangka dan Belitung.

Tambang inkonvensional (TI) apung timah di Pantai Sungailiat Pulau Bangka yang merusak lingkungan pesisir dan perairan. Foto : Indra Ambalika Syari

Tambang inkonvensional (TI) apung timah di Pantai Sungailiat Pulau Bangka yang merusak lingkungan pesisir dan perairan. Foto : Indra Ambalika Syari

Saat ini, TI Apung dan modifikasinya mulai marak memenuhi lautan Pulau Bangka. Jumlah Kapal isap di laut terus bertambah yang sebelumnya dikuasai oleh kapal keruk. Sistem penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi sangat rakus, berorientasi keuntungan jangka pendek dan berdampak pada kerusakan lingkungan yang parah (Erman, 2010).

Ironisnya, otonomi daerah membuat pertambangan di laut seperti terkesan tidak terkontrol, karena unsur politis antara pengusaha tambang dengan kepala daerah dan pejabat daerah. Juga lemahnya pengawasan, pemantauan dan penilaian pengelolaan lingkungan dari aktivitas tambang di laut. Fungsi dari pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Lingkungan Hidup (BLHD) terkesan tidak tegas. Dan kurangnya koordinasi antara sektor pertambangan dengan sektor perikanan dan pariwisata bahari.

Dampak Buruk Tambang

Selain memberikan dampak positif seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan lapangan kerja, kegiatan penambangan pun memberikan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, perubahan budaya masyarakat dan kesehatan.

Tahap AMDAL dilakukan agar menjadi panduan dan jaminan pihak perusahaan pertambangan timah di laut dapat memberikan dampak negatif seminimal mungkin dan dampak positif semaksimal mungkin.

Ironisnya, perusahaan tambang yang telah memiliki dokumen AMDAL terkesan dapat bebas berbuat “suka-suka”. Semua menjadi seakan “legal” dan “halal”. Padahal jelas dalam dokumen AMDAL, penambangan timah laut memiliki beberapa catatan sebelum menambang.

Sebagai contoh, Operasi KK/KI/KIP/BWD dan Mitra seminimal mungkin mengakibatkan dampak penting negatif terhadap : Daerah Asuh, Habitat Khusus, Terumbu Karang, Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground), dan Lokasi Wisata Bahari (Dokumen Rencana pengelolaan Lingkungan (RKL) PT  TIMAH Tbk, 2009, halaman III-34).

Namun hal ini tak pernah menjadi pedoman. Karenanya masyarakat pun harus memahami AMDAL dan pemerintah pun tidak boleh terkesan lepas tanggung jawab setelah perusahaan memiliki dokumen AMDAL. Karena pemerintahlah yang menjadi eksekutor utama yang mengawasi, memantau dan menilai pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh penambangan timah laut.

Ironisnya, pemerintah sendiri seperti tak punya gigi untuk memantau dan menilai. Jika punya gigi, mana data monitoring ekosistem pesisir (spot terumbu karang, lamun dan mangrove) yang diambil datanya setiap 6 bulan untuk kemudian menjadi dasar dalam mengambil kebijakan apakah operasi pertambangan tidak berdampak besar atau kecil?

Padahal panduan dalam menilai kondisi ekosistem pesisir sudah jelas tersaji. Kriteria baku kerusakan ekosistem Terumbu Karang; Kepmen Lingkungan Hidup (LH) No.04/2001, Kepmen No.200/2004   tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun dan  Kepmen LH No.201/2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

Pertanyaannya sekarang adakah titik permanen yang dimonitoring oleh pemerintah setiap 6 bulan sekali sebagai tanggung jawab mereka yang telah mengeluarkan izin penambangan untuk pedoman pemantauan lingkungan?

Melihat dampak dari penambangan laut bukan hanya dari sampel air laut. Yang paling penting dan jelas sangat terpengaruh (sensitif) adalah ekosistem pesisir utamanya terumbu karang dari dampak buangan tailing. Karang akan mudah mati jika tertutup lumpur dari buangan tailing. Dari tutupan lumpurnya saja ini dapat dinilai.

Hal yang utama menjadi fokus perhatian dari aktivitas penambangan timah laut yang paling mudah untuk dilihat adalah terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menjadi indikator penting karena merupakan ekosistem laut vital yang terkena dampak paling besar akibat penambangan timah lepas pantai.

Karang tertutup lumpur di Pulau Mengkudu Kecamatan Belinyu, Pulau Bangka.  Foto : Indra Ambalika Syari

Karang tertutup lumpur di Pulau Mengkudu Kecamatan Belinyu, Pulau Bangka. Foto : Indra Ambalika Syari

Sebagai contoh untuk penambangan timah di laut, tailing buangan dari aktivitas penambangan timah di laut dan di darat (dari DAS yang tercemar buangan tailing penambangan timah di darat) dapat menutup polip karang dan membunuh karang secara massif.

Hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Tim Eksplorasi Terumbu Karang Universitas Bangka Belitung pada 2007 – 2013 (dirilis Bangkapos, 15 Oktober 2013) dimana hampir semuanya dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) yang merupakan metode standar pengukuran kondisi ekosistem terumbu karang yang berpedoman pada Hill, J. & C. Wilkinson (2004) menunjukkan hasil dari 41 lokasi spot ekosistem terumbu karang di Pulau Bangka hanya 10 lokasi yang kondisi ekosistem terumbu karang dalam kondisi baik dan tidak terpengaruh dari aktivitas penambangan timah.

Ke-10 lokasi itu yaitu 1 lokasi di Kabupaten Bangka, 6 lokasi di Kabupaten Bangka Tengah, 3 lokasi di Kabupaten Bangka Selatan dan tak satupun lokasi yang kondisi ekosistem terumbu karangnya baik di Kabupaten Bangka Barat.

Lokasi titik terumbu karang yang telah dilakukan pengecekan antara lain 11 lokasi di Kabupaten Bangka, 11 lokasi di Kabupaten Bangka Barat, 9 lokasi di Kabupaten Bangka Tengah dan 10 lokasi di Kabupaten Bangka Selatan (Gambar 1).

Ironisnya, Lokasi yang kondisi ekosistem terumbu karang baik ternyata hampir semuanya merupakan terumbu karang di pulau-pulau kecil yang letaknya berjauhan dari pulau utama (Pulau Bangka).

Bahkan untuk Pulau Dapur dan Pulau Punai Kabupaten Bangka Selatan dan Pulau Panjang, Ketawai dan Semujur Kabupaten Bangka Tengah kondisi terumbu karang di sekitar pulau tersebut telah banyak yang rusak karena tertutup sedimen (siltation) akibat tailing dari buangan aktivitas penambangan timah.

Dan terumbu karang yang mati akibat siltation sangat sulit untuk melakukan pemulihan (recovery). Hal ini karena karang yang mati akibat siltation akan berubah tekstur substratnya dan kemudian akan ditumbuhi oleh makroalga (rumput laut).

Jika hal ini terjadi maka secara ekologis, struktur komunitas yang awalnya adalah ekosistem terumbu karang telah berganti menjadi struktur komunitas makroalga. Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan, hingga saat ini belum ada spot karang yang sebelumnya kondisinya baik kemudian tertutup lumpur akibat penambangan yang pulih kembali kondisi karangnya seperti semula.

Indikator Biologis

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling sensitive terhadap perubahan kualitas air dibandingkan ekosistem peisisir lain seperti lamun (seagrass) dan mangrove. Implementasi dari KEPMEN ESDM No 7 Tahun 2014 (pasal 14 point a) menyebutkan kesehatan karang pada ekosistem terumbu karang menjadi indikator biologis terhadap kondisi kualitas perairan.

Karang tertutup lumpur tailing KIP di Pulau Pemuja Penganak, Pulau Bangka Barat. Foto : Indra Ambalika Syari

Karang tertutup lumpur tailing KIP di Pulau Pemuja Penganak, Pulau Bangka Barat. Foto : Indra Ambalika Syari

Karang menyediakan bahan dasar dan struktural untuk perlindungan pantai yang menjadi fungsi utama terumbu. Terumbu karang merupakan pemecah gelombang alami dan menjaga daratan dari terpaan gelombang dan abrasi. Selain itu terumbu karang merupakan salah satu penghasil pasir pantai. (pasal 14 point b)

Karang menyediakan kompleksitas struktural (yang biasanya berhubungan dengan keanekaragaman hayati) dan perlindungan bagi ikan dan avertebrata. Terumbu karang merupakan daerah tempat tinggal, tempat berlindung, tempat berkembang biak (Spawning ground), tempat pembesaran (Nursery ground), dan mencari makanan (Feeding ground) bagi ribuan biota laut yang tinggal di dalam dan di sekitarnya. (pasal 14 point c)

Terumbu karang tempat bergantung hidup ribuan nelayan beserta anggota keluarganya dan penduduk yang hidup di pesisir. Indikasi terumbu karang yang sehat adalah dengan melimpahnya ikan di perairan tersebut sehingga menjadi tambatan hidup nelayan-nelayan yang menangkap ikan disekitar perairannya.

Hasil penelitian menyatakan, Dari 1 km2 terumbu karang yang sehat, dapat diperoleh 20 ton ikan yang cukup untuk memberi makan 1.200 orang  di wilayah pesisir setiap tahun. (Burke et al., 2002). Ada ribuan kepala keluarga yang berprofesi menjadi nelayan di Bangka Belitung. Ikan hasil tangkapan nelayan menjadi bahan konsumsi utama masyarakat Bangka Belitung yang bergizi tinggi selain juga diolah menjadi produk olahan perikanan dan di ekspor ke luar daerah dan luar negeri.

Turis sangat tertarik dengan karang hidup dan menganggap meraka adalah perwujudan dari terumbu yang sehat. Perkembangan sektor pariwisata bahari dapat menjadi tumpuan hidup dan pondasi perekonomian Bangka Belitung masa depan. Letak geografis yang tidak jauh dari pusat ibukota (dari DKI Jakarta sekitar 50 menit perjalanan udara) menjadikan Bangka Belitung sebagai destinasi wisata masa depan seiring semakin jenuh dan padatnya kondisi di Bali. Pantai dengan nilai estetika yang menawan.

Bila ditambah dengan potensi inner-beauty pariwisata bahari (ekosistem terumbu karang) maka tidak mustahil Bangka Belitung dalam waktu dekat dapat maju seperti Hawai, Karibia, Kepulauan Maladewa, Phuket Thailand, Manado (Bunaken), Wakatobi, Raja Ampat dan banyak lagi daerah lain yang maju daerahnya dari wisata bahari jika potensi ini dikelola dengan bijak.

Khusus untuk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai contoh kasus, dua sektor unggulan yang ingin dikembangkan oleh pemerintah daerah selain pertambangan timah adalah perikanan dan pariwisata bahari. Maka ekosistem terumbu karang adalah tulang punggung kedua sektor ini.

Ironisnya kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Bangka menjadi rusak akibat penambangan timah. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam prinsip pengelolaan dampak tidak dapat dipenuhi. Ada tiga metode dalam pengelolaan dampak; (1) mencegah dampak (avoidance), (2) minimalisasi dampak (minimization) dan (3) pengendalian dan/atau kompensasi dampak (mitigation and/or compensasion).

Harus kita sadari, pertambangan laut saat ini belum dapat mencegah, meminimalisir hingga mengendalikan dampak. Buktinya limbah tailing langsung dibuang ke laut. Sehingga kompensasilah yang bisa diharapkan. Namun kompensasi yang bagaimana? Apakah Rp 250.000,-/2 bulan seperti yang pernah diterima oleh nelayan Matras dan Kualo pada Tahun 2010 saat ada belasan KIP yang beroperasi disekitar perairan mereka?

Tentu saja nilai besarannya harus dihitung dengan seksama sehingga masyarakat tidak akan merasa dirugikan. Jika memang perusahaan tidak sanggup membayar kompensasi yang telah ditetapkan, maka jangan menambang dulu. Tunggu sampai harga timah sesuai untuk menutupi biaya-biaya termasuk kompensasi tadi.melalui AMDAL yang berlandaskan tiga prinsip utama, yaitu mencegah (avoidance), meminimalisasi (minimization) dan mengendalikan (mitigation and/or compensation).

Karenanya kegiatan rehabilitasi terumbu karang saat operasi dan pasca operasi penambangan timah harus dilakukan dengan konsep reklamasi laut yang aplikatif dengan kondisi Bangka Belitung. Pemerintah pusat dan daerah perlu merancang dan menyiapkan regulasi yang tegas dan jelas dalam membuat konsep reklamasi laut untuk mengembalikan kondisi lingkungan semirip mungkin dengan kondisi awal lingkungan sebelum dilakukan penambangan timah yang dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan.

Hal ini sesuai dengan amanah dari UU No.4/2009 tentang Pertambangan dan Minerba, UU No.32/2009 tentang PPLH dan UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 


Opini : Pulau Bangka Meradang Karena Tambang was first posted on July 29, 2015 at 4:27 am.

Pemkab dan Polres Dinilai Tidak Serius Tangani Pembabatan Hutan Mangrove Talaud. Kenapa?

$
0
0

Proses penangangan kasus pembabatan hutan mangrove di kecamatan Beo Barat, kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, dinilai jalan di tempat. Sejak hari pembabatan, hingga saat ini, belum ada penetapan status tersangka pada pelaku pembabatan hutan. Akibatnya, aktivis lokal menilai, lembaga penegak hukum tidak serius menyelesaikan permasalahan ini.

Menurut Rhytcer Taengetan, Divisi Invetigasi Hukum dan HAM Komunitas Pecinta Alam Karakelang (Kompak), sejak hutan mangrove dibabat (25/05/2015), Polres Talaud sebenarnya telah memasang police line di tempat kejadian perkara. Tindakan itu dinilai merupakan tanda bahwa lokasi kejadian resmi berstatus hukum, namun disesalkan hingga saat ini belum ada kejelasan proses hukumnya.

Lokasi pembabatan hutan mangrove di dekat pantai Tambioe, kecamatan Beo Barat, kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Lokasi pembabatan hutan mangrove di dekat pantai Tambioe, kecamatan Beo Barat, kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Ia menuturkan, instansi terkait hanya memasang papan informasi tanpa ada tindakan selanjutnya, padahal masyarakat masih mempertanyakan proses hukumnya.

“Sementara, kasus ini bukan lagi delik aduan, tapi perusakan lingkungan. Selain itu, dilihat dari alat bukti, sebenarnya sudah cukup untuk mengembangkan proses penyelidikan menjadi penyidikan dengan menetapkan beberapa orang tersangka,” sesal Rychter yang ditemui Mongabay pada awal Juli 2015.

Tak hanya kepolisian, Pemkab Talaud dinilai tidak memiliki keseriusan untuk mengungkap permasalahan ini, meski Kompak mengaku sudah berulang kali berupaya mendesak, misalnya dengan mempublikasi kasus pembabatan mangrove ke media massa.

Sayangnya, respon Pemkab Talaud tidak seperti yang diharapkan. Walaupun sudah beberapa kali mendapat publikasi baik media lokal maupun nasional, namun proses hukum dinilai berjalan lambat. Pemkab Talaud diduga lepas tangan karena proses hukum sudah ditangani pihak kepolisian.

“Harusnya pemerintah daerah melakukan kroscek dan memberi informasi kepada masyarakat sejauh mana perkembangan kasus pelanggaran ini. Tapi sejauh ini tidak pernah ada informasi kepada masyarakat, terutama yang berada di kawasan pengrusakan itu.”

Lokasi pembabatan hutan mangrove di dekat pantai Tambioe, kecamatan Beo Barat, kabupaten Talaud, Sulawesi Utara.  Penegakan hukum kasus ini dipertanyakan masyarakat.  Foto : Themmy Doaly

Lokasi pembabatan hutan mangrove di dekat pantai Tambioe, kecamatan Beo Barat, kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Penegakan hukum kasus ini dipertanyakan masyarakat. Foto : Themmy Doaly 

Dampaknya, masih dikatakan Rytcher, akan muncul penilaian bahwa isu lingkungan belum menjadi prioritas bagi Pemkab Talaud. “Dampak berikutnya adalah pelaku menganggap remeh pelanggaran hukum yang berhubungan dengan lingkungan,” demikian ia memperkirakan.

Ketika Mongabay mengunjungi Talaud pada awal Juli 2015, pemandangan kerusakan hutan memang masih bisa disaksikan. Sejumlah pohon tumbang jelas terlihat. Di lokasi itu, pemerintah kabupaten sudah memasang papan informasi bertuliskan “Perhatian: Dilarang Merusak Pohon Mangrove, Dilarang Mengambil Material Di Pasir Pantai, Di Larang Membuang Sampah Di Daerah Aliran Sungai.”

Tindakan seperti yang melanggar himbauan tadi, masih seturut tulisan di papan, turut melanggar “UU 32 Tahun 2009, PP 19 Tahun 1999, Kepmen LH 201 Tahun 2004 dan PP 27 Tahun 2012”. Di sana, ada juga police line dengan panjang sekitar 100 meter membentangi pohon-pohon yang telah tumbang.

Lokasi pembabatan tadi berada di dekat pantai Tambioe. Jalan raya membelah pesisir dengan habitat hutan mangrove. Kata Rytcher, bupati Talaud sering melintasi jalan tersebut untuk pergi ke kantor. Rumah Bupati berada di kecamatan Beo Timur. Jalan menuju kantor dinas di kecamatan Melonguane memang tepat melintasi lokasi pembabatan ini.

Polres Sedang Kembangkan Kasus

Menurut Aiptu Polii dari Polres Talaud, menyatakan kasus pembabatan hutan mangrove sedang dalam tahap penyelidikan.  Seperti dugaan sebelumnya, ‘pemilik lahan’ kepada polisi, membenarkan pembabatan hutan mangrove rencananya dimanfaatkan untuk pembangunan ruko. Hanya saja, Polres Talaud belum bisa menetapkan ‘pemilik lahan’ sebagai tersangka perusakan hutan. Sebab, menurut Polii, YT memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah.

“Ada sertifikat tahun 2003 dari dinas pertanahan kabupaten. Namun, hasil koordinasi dengan kepala dinas kehutanan menyatakan lahan bersertifikat tadi masuk kawasan hutan. Mereka punya hasil pemetaan tahun 2007 dan 2013 bahwa itu adalah kawasan hutan,” ujar Polii kepada Mongabay, Selasa (28/7/2015).

Karenanya, ia menolak tudingan sejumlah pihak yang menyatakan pembabatan hutan mangrove tidak serius ditindak oleh aparat kepolisian setempat. “Kita mau proses tapi perlu bukti untuk dikembangkan. Karena lahan ini ada bukti sertifikat sebagai hak pemilik lahan. Nanti akan kita kembangkan, apakah bisa masuk ke tahap penyidikan,” tegas Polii.

Pemkab Talaud Harus Jeli

Rahman Dako, Project Coordinator Mangrove For the Future (MFF) Teluk Tomini, menilai, pemerintah kabupaten mesti jeli menyelesaikan kasus ini. Menurut dia, alih fungsi lahan mangrove harus sesuai dengan peruntukannya dalam tata tuang kabupaten maupun provinsi.

“Hutan lindung tidak bisa dikonversi. Kalaupun terjadi di Talaud, mesti cek ke dinas kehutanan atau badan pertanahan. Kalau untuk bisnis dan pemukiman, silahkan tanya ke pemerintah kabupaten. Harusnya mereka punya catatan itu,” katanya.

Rahman menilai, pemerintah daerah harus berhati-hati mengeluarkan izin konversi lahan, apalagi di wilayah kepulauan seperti Talaud. Sebab, mangrove memiliki fungsi penting, seperti mengurangi resiko bencana. Belum lagi, tambah dia, ekosistem tumbuhan pantai ini berguna untuk menekan emisi gas rumah kaca.  Ia menilai, kerusakan hutan mangrove tiga kali lebih berbahaya dari kerusakan hutan tropis.

“Mangrove melindungi pantai dari badai. Ia juga menyerap karbon, memberi kontribusi positif bagi sektor perikanan dan menjadi filter bagi air pesisir dari polutan. Harusnya, karena fungsi tadi, pemerintah kabupaten menambah luasan. Bukan memberi ijin konversi,” tambahnya.

 


Pemkab dan Polres Dinilai Tidak Serius Tangani Pembabatan Hutan Mangrove Talaud. Kenapa? was first posted on July 30, 2015 at 4:06 am.

Dengan Wisata, Desa Pesisir Ini Bangkit dari Kemiskinan

$
0
0

Dulu, Desa Tadangpalie, hanyalah salah satu dari puluhan desa tertinggal di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Sebagaimana desa pesisir lainnya, tak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan warganya selain sebagai nelayan subsisten untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, lima tahun silam, desa yang berjarak 30 km sebelah barat ibukota Kabupaten Pinrang ini mulai menggeliat. Dengan garis pantai yang panjang dan landai, menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang menikmati pemandangan laut yang indah di sore hari, dan makanan olahan hasil laut.

Pantai Dewata Desa Desa Tadangpalie, Pinrang, Sulsel sebagai tujuan wisata bahari kini telah memakmurkan warga setempat. Dengan membayar Rp10 ribu per orang, pengunjung bisa dibawa mengelilingi pesisir pantai selama sekitar 20 menit. Foto : Wahyu Chandra

Pantai Dewata Desa Desa Tadangpalie, Pinrang, Sulsel sebagai tujuan wisata bahari kini telah memakmurkan warga setempat. Dengan membayar Rp10 ribu per orang, pengunjung bisa dibawa mengelilingi pesisir pantai selama sekitar 20 menit. Foto : Wahyu Chandra

Kini setiap hari libur, desa ini ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah di Sulsel. Seperti pada Minggu (19/07/2015) atau dua hari setelah lebaran, jumlah pengunjung mencapai ribuan orang dan sempat terjadi kemacetan yang cukup parah.

Sepanjang hari, mobil dan motor berdatangan silih berganti. Ratusan orang bahkan memilih berjalan kaki sekitar dua kilometer dari tempat parkir ke pantai. Terlihat pula, beberapa mobil truk besar berdatangan membawa puluhan pengunjung, yang sebagian besar adalah anak-anak.

Kondisi desa wisata ini, yang pantainya kemudian dinamakan Pantai Dewata (Desa Wakka Tadangpalie), jauh dari perkiraan saya. Bukan hanya pengunjung yang membludak, ratusan warga berjejer di sepanjang jalan menjajakan berbagai macam jenis ikan yang masih segar. Warung makanan juga bertebaran di setiap sudut, sehingga tempat ini terlihat lebih mirip pasar dibanding tempat wisata bahari.

Adalah Jabir, Kepala Desa Tadangpalie ketika itu, yang mulai pertama kali mengenalkan desanya, tepatnya Dusun Wakka, kepada dunia luar, sekitar tujuh tahun lalu, meski dilakukan tidak sengaja.

Rosna, salah seorang anak Jabir, bercerita, ketika ayahnya masih hidup dan berkuasa di desa itu, ia membangun sebuah gazebo kecil di sekitar pantai, yang digunakan menjamu tamu penting dari kecamatan atau kabupaten.

“Dulu hanya satu tempat saja dibangun sekedar menjamu tamu dari kota. Lalu ternyata mulai banyak yang datang setiap akhir pekan untuk makan ikan bakar. Sekarang malah susah dapat tempat kalau tidak pesan jauh-jauh hari,” ungkap Rosna.

Dengan membayar Rp400 ribu, pengunjung bisa menikmati sajian ikan bakar di Pantai Dewata Desa Desa Tadangpalie, Pinrang, Sulsel. Harga ini sudah termasuk untuk ikan, nasi, sambel dan tempat berupa gazebo. Foto : Wahyu Chandra

Dengan membayar Rp400 ribu, pengunjung bisa menikmati sajian ikan bakar di Pantai Dewata Desa Desa Tadangpalie, Pinrang, Sulsel. Harga ini sudah termasuk untuk ikan, nasi, sambel dan tempat berupa gazebo. Foto : Wahyu Chandra

Rosna sendiri kini bertindak sebagai ‘makelar’ tempat, apalagi di waktu-waktu pengunjung sangat ramai. Sebagai anak mantan kepala desa yang berjasa membangun tempat itu, Rosna cukup dikenal dan disegani oleh pedagang-pedagang setempat.

“Mungkin ini semacam balas budi karena mereka melihat bapak saya yang berjasa membangun tempat ini,” katanya.

Peran Rosna cukup vital, karena meski ada seratusan gazebo di tempat itu, di waktu sibuk sangat sulit bagi pengunjung untuk mendapatkan tempat, dan kadang harus menunggu antrian hingga berjam-jam.

Desa Miskin

Kondisi Desa Tadangpalie ini, menurut Rosna, sangat jauh dari kondisi sebelum dikenal sebagai tujuan wisata. Sebagai nelayan tangkap dengan peralatan yang sederhana tak banyak yang bisa diharap untuk mengangkat derajat warga dari kemiskinan.

“Dulu, setiap ada bantuan dari daerah pasti desa kami yang didahulukan karena memang sangat miskin.”

Sebagian warga malah dulunya banyak yang keluar kampung untuk bekerja sebagai buruh kasar. Tak banyak yang memilih menetap secara permanen karena kondisi desa yang sangat miskin.

Ketika industri wisata mulai menggeliat, perlahan warga sekitar mulai kembali melirik desanya. Mereka pun mulai membangun gazebo-gazebo kecil, berjejer dengan gazebo lama. Sekarang ada sekitar seratusan gazebo milik 20 orang warga setempat.

Menurut Rosna, sejak berkembangnya lokasi wisata tersebut, kesejahteraan warga mulai meningkat. Aktivitas nelayan pun mulai meningkat karena permintaan ikan yang meningkat pesat. Perahu-perahu nelayan juga sudah lebih baik dan lebih besar dibanding sebelumnya.

Dulu hasil tangkapan tidak habis dijual di pasar, sekarang justru nelayan tidak sanggup memenuhi permintaan ikan untuk kebutuhan lokasi wisata tersebut.

“Kalau mengandalkan hasil tangkapan nelayan di sini saja sudah tak cukup pak. Kini harus beli dari luar, itupun kurang kalau musim lagi buruk,” jelas Rosna.

Sekarang warga ekonominya membaik dengan usaha warung, pajak retribusi Rp2000 per pengunjung, serta biaya parkir kendaraan, Rp5000 per mobil dan Rp2000 per motor.

Destinasi wisata Pantai Dewata Desa Desa Tadangpalie, Pinrang, Sulsel ini makin diminati warga karena pantai, sajian kuliner hasil laut dan fasilitas bermain anak. Foto : Wahyu Chandra

Destinasi wisata Pantai Dewata Desa Desa Tadangpalie, Pinrang, Sulsel ini makin diminati warga karena pantai, sajian kuliner hasil laut dan fasilitas bermain anak. Foto : Wahyu Chandra

“Hasil pendapatan dari pengunjung itu dikelola desa untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas pelayanan di desa.”

Rosna menghitung secara kasar penghasilan kotor yang diperoleh pemilik gazebo per hari, di hari libur, lebih dari Rp12 juta dari menjual sekitar 30 keranjang ikan, dengan harga Rp400.000 per keranjang.

“Untuk tenaga kerja biasanya digaji Rp20 ribu per keranjang, untuk yang mengolah dan membakar ikan, dan mengolah nasi.”

Sekilas, Pantai Dewata ini sebenarnya tidak memiliki daya tarik sama sekali. Selain garis pantai yang panjang, tak banyak keindahan yang ditawarkan. Pantainya pun cenderung berlumpur, sehingga airnya berwarna kecoklatan.

Ramli, pengunjung dari Kabupaten Sidrap, datang bersama belasan anggota keluarganya.“Di sini kan ada fasilitas bakar ikan. Kita bisa kumpul-kumpul dengan keluarga dari jauh. Apalagi ini habis lebaran,” katanya.

gazebo menjadi tempat bersantai menikmati sajian ikan bakar merupakan andalan wisata di Pantai Dewata. Dengan membayar Rp400.000, pengunjung bersantai di gazebo, ditemani sekeranjang ikan bakar, sebakul nasi dan sambel.

Sedangkan Murni, datang dengan suami dan empat anaknya untuk rekreasi keluarga setelah bulan puasa. Apalagi di Pantai Dewata kini dilengkapi fasiltas bermain anak-anak dan wisata keliling pantai dengan perahu, serta banana boat.

“Sudah dua tahun setelah lebaran pasti ke sini, apalagi sekarang mulai ramai dan banyak fasilitas bermain,” tambahnya.

Perahu wisata keliling pantai juga cukup diminati, dengan hanya membayar Rp10.000 per orang, pengunjung akan diajak keliling pantai.

Pengembangan pantai

Staf humas Pemda Pinrang, Herman membenarkan rencana pengembangan Pantai Dewata sejak beberapa tahun lalu dan kini menunggu penganggarannya dari Dinas Pariwisata.

“Lokasi wisata ini sudah dikelola Dinas Parwisata. Sudah ada beberapa fasilitas yang dibangun dan akan dikembangkan secara lebih luas dan profesional,” katanya.

Sayangnya, meski menjadi primadona wisata bahari, namun tak banyak fasilitas pendukung di Pantai Dewata. Tidak ada petugas yang berjaga di sekitar pantai. Padahal sebagian besar pengunjung yang bermain di pantai adalah anak kecil berusia 3-7 tahun. Dan tak ada upaya membersihkan sampah di sekitar pantai.

Akses jalan menuju pantai juga sempit sehingga sudah dilalui mobil yang berpapasan. Hal ini menyebabkan kemacetan ketika terjadi lonjakan pengunjung.

“Seharusnya pemerintah kini lebih memperhatikan pelebaran jalan karena setiap hari libur pasti tempat ini sangat ramai. Kalau seperti ini kondisinya malah tak nyaman dan kita harus berjalan kaki jauh di tengah terik panas matahari,” keluh Rizal, pengunjung lain.

Dengan daya tarik wisata ini, Desa Tadangpalie kini berkembang pesat. Banyak warga kini sudah memiliki kendaraan sendiri dan rumah permanen menggantikan rumah reyot khas desa tertinggal.

 

 


Dengan Wisata, Desa Pesisir Ini Bangkit dari Kemiskinan was first posted on July 31, 2015 at 3:47 am.

Pertahankan Kabuyutan, Budayawan Sunda Menolak Penggenangan Waduk Jatigede

$
0
0

Pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat ternyata menyisakan berbagai masalah. Salah satunya adalah bakal tenggelamnya wilayah Kabuyutan Pakuan, wilayah leluhur Sunda yang mempunyai nilai sejarah tinggi.

Oleh karena itu, Forum aktivis lingkungan, budayawan dan seniman Sunda, melakukan aksi di depan Gedung Sate, Bandung, pada Kamis (30/07/2015), menyuarakan penundaan pengairan waduk Jatigede.

Dalam aksi tersebut mereka melakukan ritual bakar menyan sekaligus berdoa bersama. Tujuannya agar Pemerintah daerah maupun pusat mendengar  aspirasi mereka terkait mempertahankan situs sejarah dan masalah lingkungan yang akan muncul dikemudian hari.

Forum aktivis lingkungan, budayawan dan seniman Sunda, melakukan aksi di depan Gedung Sate, Bandung, pada Kamis (30/07/2015), menyuarakan penundaan pengairan Waduk Jatigede, Sumedang, Jabar. Pembangunan Waduk Jatigede menenggelamkan wilayah Kabuyutan Pakuan, wilayah leluhur Sunda yang mempunyai nilai sejarah tinggi. Foto : Doni Iqbal

Forum aktivis lingkungan, budayawan dan seniman Sunda, melakukan aksi di depan Gedung Sate, Bandung, pada Kamis (30/07/2015), menyuarakan penundaan pengairan Waduk Jatigede, Sumedang, Jabar. Pembangunan Waduk Jatigede menenggelamkan wilayah Kabuyutan Pakuan, wilayah leluhur Sunda yang mempunyai nilai sejarah tinggi. Foto : Doni Iqbal

Budi Dalton, perwakilan Budayawan Sunda mangatakan bahwa Jatigede bukan hanya soal waduk, tetapi merupakan daerah Kabuyutan yang mempunyai sejarah Sunda. Mereka meminta pemerintah jangan melupakan daerah Kabuyutan, karena kebudayaan merupakan identitas sebuah peradaban.

“Banyak masalah yang muncul dikalangan masyarakat , banyak anak yang tidak sekolah kerena sekolahnya tidak ada, banyak warga yang belum mendapatkan tempat tinggal baru karena belum tuntas ganti rugi dan yang menghawatirkan adalah masalah cagar budaya dan keanekaragaman hayati di Jatigede,” katanya saat melakukan orasi.

Taufan, salah satu anggota forum tersebut mengatakan mereka tidak anti pembangunan, tetapi hanya mengkhawatirkan dan peduli terhadap nasib kawasan leluhur bersejarah Sunda yang bakal tergerus pembangunan yang tidak bertanggung jawab.

Sementara Man Jasad, vokalis band underground Jasad yang ikut dalam aksi itu mengatakan dirinya sebagai seniman juga turut peduli dan berupaya mempertahankan situs – situs kebudayan di Bumi Parahiyangan.

Dia kecewa kepada pemerintah yang kurang memikirkan dengan baik dan matang rencana pembangunan waduk Jatigede yang tidak menjaga situs kebudayaan Sunda itu.

Dalam tour konser musiknya bersama band underground Bandung Burgerkill ke Inggris mulai 4 Agustus 2015 nanti, Man Jasad akan menyuarakan permasalahan Jatigede ini. Dia berencana mengunjungi Oxford University untuk melihat pusaka bersejarah Bunjangga Manik, Viking, Birta dan museum di Inggris yang memiliki koleksi benda sejarah asal Indonesia khususnya Sunda.

Dalam aksi di depan Gedung Sate itu, mereka menuntut Gubernur  Jabar Ahmad Heryawan  mengambil langkah tegas terkait kasus Waduk Jatigede yang rencananya akan dilakukan penggenangan air per 1 Agustus 2015.

Mereka juga meminta Presiden Jokowi mendengarkan aspirasi mereka serta melakukan kebijakan untuk penyelamatan situs dan kabuyutan yang ada di kawasan Jatigede.

Tidak ada pihak perwakilan dari Pemerintah yang menemui mereka, hanya ada barisan blokade pengamanan dari kepolisian. Aksi yang dimulai sekitar 11.00 WIB, akhirnya berakhir sekitar pukul 13.00 WIB.

 


Pertahankan Kabuyutan, Budayawan Sunda Menolak Penggenangan Waduk Jatigede was first posted on August 1, 2015 at 2:56 am.

Ketika Para Guru Sekolah Di Sulawesi Utara Belajar Konservasi

$
0
0

Ada pemandangan yang berbeda di aula Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Rabu (29/07/2015).  Biasanya terlihat siswa SD, SMP atau SMA yang datang belajar tentang konervasi.  Namun kali ini, puluhan guru dari dari 18 sekolah di kota Bitung, 3 sekolah di kecamatan Airmadidi kabupaten Minahasa Utara, dan 1 sekolah dari kota Manado  menjadi peserta pelatihan konservasi yang diselenggarakan Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT).

Sejak pagi hingga sore, mereka duduk tenang mendengarkan materi dari orang-orang yang usianya separuh lebih muda dari sebagian besar mereka. Seperti tim PKT, tim Macaca Nigra Project (MNP), Selamatkan Yaki dan PPST. Sesekali, anggota Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau Airmadidi menghibur dengan lagu bertema lingkungan, sehingga suasana lebih rileks.

Suasana pelatihan konservasi yang diselenggarakan Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) yang diikuti oleh puluhan guru dari kota Bitung di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Rabu (29/7/2015).  Foto : Themmy Doaly

Suasana pelatihan konservasi yang diselenggarakan Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) yang diikuti oleh puluhan guru dari kota Bitung di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Rabu (29/7/2015). Foto : Themmy Doaly

Berbagai materi disampaikan, seperti pengetahuan dasar lingkungan hidup,ekosistem dan keanekaragaman hutan hujan tropis, flora dan fauna, flora dan fauna di Indonesia dan Sulawesi.

Interaksi pun terjadi, seperti pertanyaan mengenai penurunan yaki (Macaca Nigra), teknis pembagian jadwal di sekolah hingga masalah perburuan, pemeliharaan dan perdagangan satwa dilindungi. Dengan sabar, para pemateri menjawab pertanyaan itu.

Setelah makan siang, peserta diajak menyaksikan langsung sejumlah satwa sitaan irehabilitasi di PPST.  “Baiknya dibagi 3 kelompok. Sehingga, tiap kelompok tidak melebihi 10 orang. Sebab, di lokasi rehabilitasi, bapak-ibu diharap bisa menjaga ketenangan. Tidak terlalu ribut,” kata Billy Gustafianto, Staff Information and Education PPST.

Peserta menurut. Mereka kemudian beranjak ke tempat perawatan orang utan, beruang madu hingga burung. Sebagian besar nampak heran. Mereka mulai mengetahui bahwa satwa-satwa yang disaksikan merupakan sitaan. Selain itu, mereka mengetahui bahwa perdagangan satwa dilindungi merupakan tindak melanggar hukum.

“Sebagai guru, pelajaran yang kami dapat hari ini, akan kami sampaikan ke siswa-siswi. Karena, pendidikan lingkungan hidup hari ini lebih spesifik daripada di sekolah, yang terlalu umum,” ujar Stevi guru dari SD GMIM 9 Pinangunian Bitung.

Sedangkan Desma, pengajar dari SMP 7 Bitung menjadi tahu kekayaan sumber daya alam serta masalah perdagangan dan perburuan satwa di Indonesia.

 

Para guru, peserta pelatihan konservasi mendapatkan arahan tim dari Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Rabu (29/7/2015).  Pelatihan konservasi diselenggarakan Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) yang diikuti oleh puluhan guru dari kota Bitung. Foto : Themmy Doaly

Para guru, peserta pelatihan konservasi mendapatkan arahan tim dari Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Rabu (29/7/2015). Pelatihan konservasi diselenggarakan Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) yang diikuti oleh puluhan guru dari kota Bitung. Foto : Themmy Doaly

“Pelatihan guru ini sangat bagus, karena memperkenalkan hewan yang sebagian besar hampir punah. Ini juga memperkenalkan alam Indonesia yang memiliki aneka ragam hewan. Ada beberapa hewan yang tidak pernah dilihat di Sulawesi Utara, kita bisa lihat di tempat ini.”

Menurutnya, pendidikan lingkungan sudah harus menjadi prioritas, karena lembaga pendidikan berperan penting menyampaikan pada masyarakat mengenai persoalan lingkungan, termasuk pelestarian alam.

“Pihak sekolah juga sedang berusaha mempersiapkan diri menjadi sekolah berwawasan lingkungan. Karena, yang paling penting pemahaman dari sekolah bisa disebarkan ke masyarakat. Karena, orang tua dulu, kan, tidak begitu memahami keterancaman satwa, misalnya,” tambah Desmon.

Emanuel, rekan Desmon dari SMP 7, mendukung pendapat sebelumnya. Pelatihan ini tentang penyelamatan satwa liar, khususnya di Sulawesi Utara.

Nanti kami akan menyampaikan dalam proses pembelajaran. Meski belum dipatenkan dalam muatan lokal, tapi saya sebagai guru mata pelajaran IPA, akan mengaitkannya dengan penyelamatan satwa liar. Karena di biologi juga ada materi tentang konservasi,” katanya.

Pelatihan ini memberikan gambaran yang relevan yang bakal ia ajarkan di sekolah. Apalagi, dalam kurikulum 2013 ditekankan pelajaran yang bersifat kontekstual.

“Siswa bisa diajak melihat langsung, memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Misalnya, memberi usulan dan solusi penyelamatan yaki. Mereka akan punya peran kedepannya,” yakinnya.

Seorang guru, peserta pelatihan konservasi melihat burung mambruk di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Rabu (29/7/2015).  Pelatihan konservasi diselenggarakan Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) yang diikuti oleh puluhan guru dari kota Bitung. Foto : Themmy Doaly

Seorang guru, peserta pelatihan konservasi melihat burung mambruk di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Rabu (29/7/2015). Pelatihan konservasi diselenggarakan Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) yang diikuti oleh puluhan guru dari kota Bitung. Foto : Themmy Doaly

Nona Diko, koordinator lokal PKT, menjelaskan, pelatihan ini bertujuan melibatkan dan memberi penguatan pada guru mengenai isu-isu konservasi, khususnya materi pelajaran yang akan disampaikan PKT ke sekolah-sekolah. Diharap, setelah mengikuti pelatihan, guru bisa menjawab pertanyaan siswa di kelas.

“Lewat pelatihan ini, diharapkan pula timbul ide dan informasi baru dari para guru untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan,” tambah Nona.

PKT adalah program pendidikan dari Macaca Nigra Project (MNP) yang telah dimulai sejak 2011. Di tahun awal kegiatan, pendidikan hanya menjangkau sekolah di sekitar Cagar Alam Tangkoko. Tahun 2014, mereka mulai mengajar 13 sekolah. Di 2015 ini, 18 sekolah menjadi sasaran pendidikan konservasi.

Tahun lalu, siswa-siswi mendapat pelajaran semisal, pengenalan dasar lingkungan hidup, keragaman hayati, keragaman hutan hujan tropis dan pengenalan flora-fauna di Indonesia, Sulawesi Utara dan Cagar Alam Tangkoko. Kini, ada 2 mata pelajaran tambahan, yaitu pelajaran mengenai pesisir serta Bahasa Inggris.

“Kami merasa senang telah berkolaborasi dengan sekolah-sekolah dan bersama-sama dengan mereka. Kita semua bisa membentuk generasi baru untuk menyelamatkan hutan dan satwa liar,”  tegas Nona.

MoU Pendidikan Konservasi

3 Juli 2015, Pendidikan Konservasi Tangkoko menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Dinas Pendidikan Kota Bitung untuk mendukung kegiatan pendidikan konservasi. Dikatakan Stephan Miloyski Lentey, Field Station Manager MNP, lewat MoU ini, nantinya pendidikan konservasi akan diarahkan menjadi materi  pelajaran dalam muatan lokal (mulok) atau masuk pelajaran kategori B yang menyesuaikan dengan daerah.

Ia menilai, kesepakatan tersebut adalah suatu kemajuan besar yang dicapai oleh PKT. Stephan mengapresiasi ide dari dinas pendidikan kota Bitung. Sebab, setelah sekian lama bergelut dalam pendidikan konservasi, baru kali ini pemda melihat pendidikan lingkungan secara serius.

“Walau sejak awalnya sudah mendapat rekomendasi dari dinas pendidikan, tapi baru tahun ini ada MoU untuk mata pelajaran konservasi,” ujarnya.

Saat ini, tim PKT harus menyelesaikan administrasi untuk memenuhi persyaratan. Sesuai arahan dari instansi terkait, ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar pendidikan konservasi masuk dalam mulok. Misalnya, mempunyai kompetensi dasar, menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan memiliki silabus.

Persyaratan itu dinilai menjadi patokan agar mata pelajaran dapat terukur dan bisa dievaluasi. Stephan memperkirakan, ketika pendidikan konservasi sudah masuk dalam mulok, kerja tim PKT dan pegiat lingkungan di Sulawesi Utara, khususnya Bitung, akan semakin terbantu. Namun, pihaknya berharap, kegiatan saling mendukung antara sekolah dengan pegiat konservasi akan terus terjalin.

Dalam pelatihan guru kali ini, tim PKT menegaskan akan tetap menjadi pengajar di sekolah untuk mata pelajaran konservasi. MoU tadi menjadi pengingat bahwa guru-guru juga harus memahami isu-isu konservasi.

“Karena, tidak bisa dipungkiri, tahun-tahun sebelumnya banyak murid bertanya pada guru namun banyak guru yang tidak tahu apa yang kami ajarkan. Sehingga, lewat kegiatan ini, murid tahu, guru juga tahu tentang pelajaran konservasi,” pungkas Stephan.

 


Ketika Para Guru Sekolah Di Sulawesi Utara Belajar Konservasi was first posted on August 2, 2015 at 9:08 am.

Kedatangan El Nino Menjadi Berkah Sektor Perikanan dan Kelautan

$
0
0

Walaupun Pemerintah  Indonesia mengakui bahwa fenomena alam El Nino yang sedang berlangsung saat ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional, namun kenyataannya itu justru berdampak baik bagi sektor kelautan dan perikanan.

Fenomena El Nino, menurut Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Achmad Poernomo, memang menjadi berkah sekaligus bencana bagi Indonesia.

“Bencana ya bisa kita lihat nanti, karena El Nino akan berdampak pada sektor pertanian nasional. Namun, pada saat bersamaan, El Nino juga membawa keberkahan buat para nelayan dan pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan,” ungkap Achmad kepada Mongabay belum lama ini.

 Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Menurut Achmad, selama masa El Nino berlangsung, akan terjadi kenaikan produksi perikanan dan itu bisa dirasakan di hampir semua wilayah perairan di Indonesia.”Ketersediaan ikan akan berlimpah di semua perairan dan itu menjadi tantangan untuk kita semua,” jelasnya.

Yang dimaksud dengan tantangan, kata Achmad, adalah bagaimana  memanfaatkan ketersediaan ikan yang banyak sehingga bisa memberi manfaat untuk semua, termasuk nelayan dan pelaku usaha yang terlibat. Karena, jika tidak ditangani dengan baik, potensi positif tersebut akan hilang dengan cepat.

“Mengingat masa El Nino tidak sepanjang tahun dan sangat jarang terjadi. Bukan berarti kita menari dan bergembira di atas penderitaan para petani, namun ini juga harus tetap dimanfaatkan sebaik mungkin,” tuturnya.

Selain ketersediaan ikan meningkat tajam, Achmad mengungkapkan, fenomena El Nino juga akan memberi dampak positif untuk para petani garam di seluruh Nusantara. Karena, selama masa El Nino berlangsung, suhu panas akan meningkat dan itu baik untuk proses pembuatan garam.

“Namun, selain itu akan ada dampak negatif juga untuk sektor kelautan dan perikanan. Karena, masa El Nino akan berdampak negatif untuk perikanan budidaya. Ini yang harus diwaspadai oleh seluruh petani perikanan budidaya di seluruh Indonesia,” ungkap dia.

6,3 Juta Ton Produksi Perikanan Tangkap

Sementara itu, Menteri Susi Pudjiastuti menjelaskan, kenaikan stok ikan selama masa El Nino berlangsung memang sudah diprediksi sejak jauh hari. Menurut dia, kondisi tersebut harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin nelayan dan pelaku usaha.

Untuk produksi perikanan tangkap selama masa El Nino berlangsung tahun ini, diprediksi akan mencapai 6,3 juta ton. Jumlah tersebut dinilai cukup banyak jika dibandingkan dengan tahun lalu. Hal itu juga diakui oleh Sekretaris Dirjen Perikanan Tangkap KKP Mohamad Abduh.

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Menurut Abduh, meski El Nino diakui akan menambah ketersediaan ikan cukup banyak, namun pihaknya tidak bisa menargetkan produksi lebih dari 6,3 juta. Hal itu, karena produksi perikanan tangkap dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti cuaca dan juga alat tangkap.

Kondisi tersebut, kata Abduh, berbeda dengan produksi perikanan budidaya yang bisa diprediksi dan ditargetkan dengan baik. Karena, faktor yang memengaruhinya tidak lebih banyak dari produksi perikanan tangkap.

Sementara itu terkait peningkatan produksi garam selama masa El Nino berlangsung, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (P2KP) KKP Sudirman Saad, mengungkapkan bahwa itu akan terjadi di sejumlah wilayah tempat produksi garam berlangsung selama ini.

Bahkan, Sudirman tak ragu menyebut lahan seluas 10.000 hektare yang selama ini menjadi sentra pembuatan garam nasional akan merasakan dampak positif dari fenomena El Nino. Peningkatan itu bisa terjadi, karena ketersediaan sinar matahari akan lebih banyak dan itu sangat baik untuk  proses pembuatan garam.

“Kita bersyukur karena ada positifnya juga El Nino ini. Terlepas ada negatif yang harus dirasakan oleh sektor yang lain, namun produksi garam ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin oleh petani garam. Karena, sinar matahari tersedia sangat cukup,” tutur dia.

Saat ini, Sudirman menjelaskan, produksi garam dilaksanakan di lahan seluas 10.000 hektare yang tersebar di seluruh Indonesia. Termasuk, 300 hektare merupakan lahan tambahan hasil sumbangan dari PT Garam.

“Karena lokasi di Sampang seluas 300 hektare tidak digunakan, kita minta lahan milik PT Garam tersebut digarap oleh para petani yang ada di kawasan tersebut. Maksudnya, biar bermanfaat dan menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi,” ungkap Sudirman.

Di luar lahan 300 hektare yang sudah digarap di Sampang, Jawa Timur, Sudirman memaparkan, pihaknya juga fokus untuk membina para petani garam yang menggarap lahan seluas 10.000 hektare di seluruh Indonesia. Namun, dari jumlah tersebut, sebagian besar atau mencapai 40 persen berlokasi di Jawa Timur, seperti Madura dan Gresik.

“Sisanya di Cirebon, Indramayu, Bima, NTB. Itu adalah sentra-sentra garam yang selama ini sudah berkembang, petani juga sudah lama membudidayakan garam. Jadi tempat-tempat itulah yang akan kita intensfikasi,” jelas dia kepada wartawan di Jakarta, akhir pekan lalu.


Kedatangan El Nino Menjadi Berkah Sektor Perikanan dan Kelautan was first posted on August 3, 2015 at 3:00 am.

Serius Terapkan Perikanan Berkelanjutan, KKP Gelar Kompetisi Inovasi Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan

$
0
0

Dengan makin meningkatkan jumlah penduduk dan perekonomian, kebutuhan pangan, termasuk dari sektor perikanan dan kelautan pun meningkat, sehingga terjadi peningkatan jumlah penangkapan ikan. Sementara, stok sumberdaya ikan cenderung bersifat statis atau bahkan menurun apabila tidak dibarengi dengan upaya pengelolaan perikanan yang baik.

Oleh karen itu diperlukan komitmen dan kebijakan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries) agar mampu memenuhi kebutuhan pangan tersebut, sekaligus dapat menjaga keberlanjutan sumber daya kelautannya.

Dalam beberapa kali kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan keinginannya untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia menjadi lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang dibuat adalah dengan pembatasan penangkapan untuk ikan tertentu dan pengaturan alat tangkap yang digunakan.

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mendorong penerapan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan yang beroperasi di Indonesia. Menteri Susi pun berkeinginan untuk menerapkan semua aturan dan konvensi perikanan, dengan melakukan tata kelola sektor perikanan dan kelautan yang baik.

Banyak konvensi internasional maupun regional yang mengatur tentang penangkapan ikan yang berkelanjutan, seperti The 1995 Code of Conduct for Responsible Fisheries, The 1995 Agreement for the Implementation of the Provision of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 (The 1995 UNIA).

Indonesia juga meratifikasi aturan internasional tersebut, seperti UU No. 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement For The Implementation Of The Provisions Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982 Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish Stocks And Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh) dll.

Di tingkat nasional, UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan telah mengadopsi prinsip-prisip pengelolaan perikanan berkelanjutan tersebut. Terkait dengan pengaturan alat penangkapan ikan di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan, antara lain Kepmen KP No.06/ 2010 tentang tentang Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Permen KP No. 02/2011 dan perubahannya tentang tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Tidak hanya berhenti pada aturan formal, KKP berkeinginan memastikan penggunaan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. KKP juga mengembangkan penemuan atau modifikasi alat penangkapan ikan agar lebih ramah lingkungan. Salah caranya adalah dengan menggelar Kompetisi Inovasi Alat Penangkap Ikan yang Ramah Lingkungan.

Penyelenggaraan kompetisi yang dibantu oleh WWF itu, bertujuan untuk memancing partisipasi masyarakat dalam mengembangkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, dan menghimpun ide-ide untuk bahan pengaturan lebih lanjut.

 

Dwi Yoga Gautama, Bycatch and Shark Conservation Coordinator WWF mengatakan kompetisi inovasi alat tangkap ini pertama kali digelar di Indonesia dan telah mengundang minat yang tinggi dari masyarakat.

Sebanyak 93 judul didaftarkan oleh peserta perorangan maupun tim dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, nelayan, peneliti, dari berbagai daerah di Indonesia. Panitia kemudian menyeleksi dan memilih 22 judul dari 35 peserta perorangan/tim.

Ke-35 peserta yang mengajukan proposal tersebut diundang pada acara puncak “Final dan Workshop Kompetisi Inovasi Alat Penangkap Ikan yang Ramah Lingkungan” yang diselenggarakan pada tanggal 29-31 Juli 2015 di Balai Besar Penangkapan Ikan (BBPI) Semarang untuk mempresentasikan gagasannya tersebut.

Mereka sekaligus menjadi peserta Workshop tentang Alat Penangkapan Ikan yang Ramah Lingkungan dari berbagai narasumber, antara lain: Kepala BBPI Semarang, Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan, serta WWF Indonesia.

Dalam acara tersebut, dipilih lima orang pemenang. Terpilih menjadi juara 1 adalah Galih Dandung Akbar Gumala, Muhamad Ali Dofir dan Romi Dwi Nanda dari Universitas Brawijaya Malang dengan judul Electro Shield System: Pemertahanan Populasi Hiu (Carcharhinus leucas) dengan Mengoptimalisasi Peran Alat Tangkap Berkelanjutan untuk Menurunkan Bycatch di Perairan Indonesia.

Juara kedua yaitu Adefryan Kharisma Yuniarta dari Balai Karantina Ikan Tanjung Pinang dengan judul Modisikasi Rawai Dasar dengan Penggunaan Mata Pancing Magnet Permanen untuk Mengurangi Hasil Tangkapan Sampingan Hiu.

Sementara juara ketiga diraih Dian Pranoto dan Arqi Eka Pradana dari Universitas Brawijaya Malang dengan judul A-Tool (Audiosonic Tool) Application Technology of Audiosonic due to Reduce Bycatch.

Untuk juara harapan 1 diraih Bagus Prasetio dari Universitas Diponegoro Semarang dengan judul Perancangan Smart Portable Liftnet dengan Self-Electrical Source sebagai Solusi Alat Tangkap Ikan yang Ramah Lingkungan. Dan juara harapan 2 yaituAhmad Hadi Prayogo dari BBPI Semarang dengan judul Uji Coba Lacuda V.2 (Lampu Celup Dalam Air) Berselongsong Karet.

Masing-masing pemenang mendapatkan penghargaan berupa trophy, piagam dan uang tunai, serta akan difasilitasi untuk mengikuti kompetisi serupa di tingkat internasional.

Dwi Yoga mengatakan juara 1, juara 2 dan juara 3 juga mendapatkan grant riset untuk penerapan alat tangkap tersebut di lapanganpendanaan untuk. “Kita minta pendampingan untuk uji terapan tersebut, dari dosen atau dari BPPI,” katanya ketika dihubungi Mongabay pada Selasa (04/08/2015).

Dari hasil uji terapan dan review tersebut, KKP bisa mengevaluasi untuk penerapan kepada nelayan. Bahkan KKP bisa mengeluarkan peraturan untuk penggunaan secara nasional. Dia mengatakan kompetisi alat tangkap ramah lingkungan ini bakal diselenggarakan rutin tiap tahu, dengan komposisi dewan juri yang mewakili berbagai profesi dan independen. Panitia berencana menggandeng beberapa produsen bahan alat penangkapan ikan (pabrik jaring, tali, pancing, pelampung, pemberat, dll) untuk tahun depan dengan harapan beberapa ide dapat langsung difasilitasi penerapannya oleh industri.

Sedangkan Galih Dandung Akbar Gumala, salah satu anggota tim juara 1 dari Unibraw Malang mengatakan alat penangkapan ikat buatan mereka dibuat menyertakan alat yang memancarkan gelombang listrik yang aman digunakan nelayan karena elektrifikasinya yang kecil.

Hiu dan manta yang mempunyai organ reseptor elektromagnetik bakal menjauhi alat tangkap tersebut karena dianggap ancaman, sehingga akan menjauhi alat penangkap ikan tersebut. Sehingga pada akhirnya akan menghindari tertangkapnya hiu dan manta, hewan yang dilindungi oleh undang-undang oleh nelayan.

“Ide pembuatan alat ini ketika kita mewawancarai nelayan di Trenggalek (Jatim). Kami dapat informasi, mereka sering mendapatkan hiu, padahal tidak ingin menangkapnya. Hiu merupakan top predator di lautan, dan sebagian besar dilindungi, karena bila hiu habis maka mempengaruhi rantai makanan di laut,” kata mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Unibraw angkatan 2013 itu.

Galih berharap, dengan grant dana untuk riset pengujian alat dari kemenangan mereka tersebut, bakal membuat alat tersebut dapat digunakan secara nasional oleh nelayan, sehingga dapat menjaga populasi hiu dan manta di Indonesia.


Serius Terapkan Perikanan Berkelanjutan, KKP Gelar Kompetisi Inovasi Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan was first posted on August 4, 2015 at 7:04 am.

KKP Tak Akan Batalkan Permen Pelarangan Cantrang

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan menegaskan tidak akan membatalkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No.2/2015 tentang pelarangan alat tangkap cantrang yang seharusnya dimulai pada September nanti. Penegasan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan masyarakat umum setelah Ombudsman RI mengeluarkan keputusan terkait aturan tersebut.

Seperti diketahui, Ombusdman meminta KKP untuk menunda pelaksanaan aturan tentang pelarangan alat tangkap cantrang tersebut, karena KKP dinilai belum siap setelah mendapat respon beragam dari para nelayan yang menggunakan cantrang sebagai alat tangkap.

Ombudsman meminta aturan tersebut ditunda hingga tiga tahun ke depan. Selama masa penundaan tersebut, KKP bisa melaksanakan sosialiasi kepada para nelayan yang selama ini menggunakan cantrang. Ombudsman sendiri mengeluarkan rekomendasi setelah lembaga tersebut mendapatkan desakan dari nelayan Jawa Tengah yang keberatan atas pelarangan tersebut.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja saat ditemui Mongabay, akhir pekan lalu, mengatakan, keputusan yang dikeluarkan Ombudsman tersebut cukup jelas dan pihaknya akan mematuhi dan menghormatinya.

“Namun, keputusan tersebut tidak menghalangi rencana kami untuk menerapkan Permen tersebut. Bagi kami, pelarangan tersebut sudah di koridor yang benar. Namun memang masih ada pemahaman yang berbeda di antara nelayan,” ungkapnya.

Sjarief menjelaskan, keputusan KKP untuk melarang cantrang digunakan sebagai alat tangkap didasarkan pada fakta bahwa alat tangkap tersebut bisa merusak ekosistem kelautan. Namun, alat tangkap tersebut di kalangan nelayan yang menggunakannya memang dinilai sebagai alat tangkap yang baik karena bisa menangkap ikan dalam jumlah banyak.

Cantrang Belum Dilarang

Karena ada rekomendasi dari Ombudsman, KKP berinisiatif untuk mengikuti prosedur pelaksanaan Permen hingga masa sosialiasi selama dua tahun dinilai sudah berhasil. Selama masa tersebut berjalan, KKP memastikan bahwa cantrang masih tetap bisa digunakan sebagai alat tangkap oleh nelayan.

“Kita kan sudah menegaskan bahwa saat ini belum ada pelarangan cantrang. Nanti pun demikian. Jika sudah ada kesepahaman (dengan nelayan), baru kita akan melaksanakan. Soal berapa lamanya, itu kan sudah direkomendasikan oleh Ombudsman,” ujar Sjarief Widjaja.

Selain karena ada rekomendasi dari Ombudsman, Sjarief mengakui, pihaknya juga mempertimbangkan kepentingan pelaku usaha yang selama ini mendapat pasokan ikan dari nelayan yang menggunakan cantrang.

“Kita ingin pelaksananaan permen ini tidak berdampak buruk bagi mereka yang terlibat. Kita juga sadar, pelarangan ini membuat pihak-pihak tertentu merasa terganggu dan tidak nyaman. Karenanya, kita berusaha bijak untuk menerapkannya,” tuturnya.

Karena tidak akan membatalkan Permen, KKP berkomitmen untuk membantu proses peralihan alat tangkap dari cantrang ke alat tangkap lain yang dinilai ramah lingkungan. Proses tersebut, salah satunya dibantu dengan akses kredit dari perbankan.

Menurut Direktur Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut P Hutagalung, penggantian cantrang dengan alat tangkap lain yang ramah lingkungan melalui kredit perbankan, diharapkan bisa menyelesaikan polemik yang ada di kalangan nelayan terkait pemberlakukan Permen  pelarangan cantrang itu.

“Untuk kredit penggantian cantrang tersebut, perbankan mengalokasikannya sebesar Rp7,15 triliun dan diharapkan itu bisa disalurkan hingga akhir 2015 nanti,” ungkap dia.

Nelayan Perlu Diperhatikan

Sebelumnya, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim mengatakan selain perlu masa transisi pelarangan cantrang, KKP juga perlu memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil dengan APBN-P 2015,  berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan.

“Juga berkoordinasi dengan perbankan nasional agar menyiapkan skema kredit kelautan dan perikanan yang bisa diakses oleh pelaku perikanan untuk penggantian alat tangkap,” ungkap Abdul Halim dalam rilis yang dikirim kepada Mongabay.

Pendapat sama juga diungkapkan Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor Alan Koropitan. Menurut dia,  nelayan perlu diberi bantuan alih teknologi dan waktu untuk peralihan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan.

“Sehingga, dampak bagi perekonomian nelayan dan industri perikanan bisa diminimalkan,” tutur dia.

Seperti diketahui, KKP mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan perikanan Nomor 02/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Cantrang sendiri merupakan salah satu jenis alat penangkapan ikan yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).

Namun, bagi nelayan di pesisir utara Jawa Tengah yang mayoritas menggunakan alat tangkap cantrang, peraturan tersebut dinilai memberatkan dan menyulitkan. Karenanya, mereka membawa keluhan tersebut ke Ombusdman dan kemudian keluarlah rekomendasi dari lembaga tersebut untuk ditunda aturan pelarangan cantrang.


KKP Tak Akan Batalkan Permen Pelarangan Cantrang was first posted on August 5, 2015 at 3:00 am.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live