Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

Womangrove, Para Perempuan Penyelamat Mangrove di Tanakeke

$
0
0

Hayati mengusap peluh di wajahnya dengan lengan atas, sementara kedua tangannya memegang alat tulis. Sebuah lembar tulis dari plastik dan spidol warna merah. Dengan teliti ia mencatat satu persatu bibit mangrove yang mulai tumbuh hingga selutut.

“Umurnya sudah setahun lebih, mulai ditanam awal tahun lalu,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari objek yang ia catat.

Anggota Womangrove melakukan mointoring rutin berupa pencatatan berbagai aspek mangrove yang telah ditanam, mulai dari kondisi fisik mangrove hingga biota-biota laut yang ada di sekitarnya di perairan Kepulauan Tanakake, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra

Anggota Womangrove melakukan mointoring rutin berupa pencatatan berbagai aspek mangrove yang telah ditanam, mulai dari kondisi fisik mangrove hingga biota-biota laut yang ada di sekitarnya di perairan Kepulauan Tanakake, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra

Sabtu (23/05/2015) siang itu, kami berkesempatan menemani sejumlah perempuan Tanakeke yang tergabung dalam Womangrove melakukan monitoring pertumbuhan mangrove di perairan Kepulauan Tanakake, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Dengan perahu motor kecil berpenumpang lima orang, lokasi dicapai sekitar 15 menit dari Desa Tompotana, salah satu pulau terpadat di Kepulauan Tanakeke.

Womangrove sendiri sesuai dengan namanya berasal dari perpaduan kata woman dan mangrove, adalah sebuah komunitas perempuan yang memiliki kepedulian atas kelestarian mangrove. Komunitas beranggota 20-an orang ini berasal dari berbagai kelompok usaha perempuan di lima desa yang ada di Kepulauan Tanakeke.

Hayati kemudian memperlihatkan lembar monitoring di tangannya sambil menjelaskan cara kerjanya. “Kami mencatat banyak hal, misalnya tingkat kerapatan mangrove, keragaman jenis mangrove, populasi ikan dan udang, populasi kerang-kerangan, populasi kepiting dato’ dan kepiting eja mata,” katanya.

Lahan penanaman mangrove sendiri dulunya adalah bekas tambak milik warga yang tidak produktif lagi. Lahan itu ditanami atas persetujuan pemilik tambak.

Meski tak semuanya berpendidikan tinggi, namun para perempuan dari berbagai usia ini tampak antusias dan serius menjalankan aktivitasnya layaknya peneliti. Sebelum turun di lapangan mereka telah dibekali dengan pengetahuan penanaman dan proses monitoring. Mereka juga punya tugas tambahan mengawasi pengelolaan mangrove di kawasan tersebut.

Perempuan Womangrove dari beragam usia dan pendidikan. Mereka berbaur dalam misi yang sama menghijaukan kembali Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan seperti kondisi semula sebelum rusak oleh hadirnya tambak. Foto : Wahyu Chandra

Perempuan Womangrove dari beragam usia dan pendidikan. Mereka berbaur dalam misi yang sama menghijaukan kembali Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan seperti kondisi semula sebelum rusak oleh hadirnya tambak. Foto : Wahyu Chandra

Menurut Hayati, tidak semua lahan cocok untuk ditanami mangrove, sehingga kemudian ada proses assesment di lapangan, sebagai studi kelayakan. Meski demikian hampir semua daerah yang mereka jajaki memiliki kelayakan.

“Dulu seluruh kawasan di Tanakeke ini memang adalah hutan mangrove, sehingga hampir semuanya layak untuk pertumbuhan mangrove,” katanya.

Meski terlihat mudah namun pekerjaan penanaman dan monitoring ini penuh tantangan. Tidak hanya karena teriknya matahari, namun juga resiko terluka dalam aktivitas.

“Kalau turun biasanya memang kami tak pakai alas kaki sehingga kalau sedang sial bisa tertusuk ikan karang yang durinya beracun. Bisa sampai berhari-hari kaki bengkak dan badan panas dingin kalau kena racun ikan itu,” jelas Hayati.

Aktivitas ini pun dilakukan secara sukarela oleh para perempuan Tanakeke ini, memanfaatkan waktu luang mereka. Menurut Hayati, kesenangannya ketika aktivitas dilakukan ramai-ramai dan ketika mangrove yang ditanam mulai tumbuh dengan baik.

Sebagian besar perempuan di Womangrove ini adalah ibu rumah tangga, yang selain membantu pekerjaan suami juga mengelola usaha budidaya rumput laut. Tak heran ketika kita memasuki pesisir Tanakeke terlihat ratusan bentangan tali yang ditumbuhi rumput laut mengapung di laut.

Para perempuan yang tergabung dalam Womangrove, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan ini adalah kesehariannya bekerja membantu suami budidaya rumput laut. Ada juga jenis usaha lain, seperti pembuatan beragam produk makanan dari hasil laut. Foto : Wahyu Chandra

Para perempuan yang tergabung dalam Womangrove, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan ini adalah kesehariannya bekerja membantu suami budidaya rumput laut. Ada juga jenis usaha lain, seperti pembuatan beragam produk makanan dari hasil laut. Foto : Wahyu Chandra

Mereka juga mengusahakan berbagai produk makanan berbahan baku hasil laut, seperti keripik ikan, kepiting dan rumput laut.

Menurut Irham Rapy, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL), Tanakeke dulunya memang kawasan mangrove. Sayangnya, pada 1980-an ketika sedang terjadi booming udang, banyak lahan mangrove kemudian dikonversi menjadi tambak udang.

“Sayangnya ketika tambak ini tidak produktif lagi kemudian banyak ditinggalkan begitu saja. Kini hanya sebagian kecil saja dari lahan mangrove ini yang tersisa,” ungkapnya.

Hasil penelitian Mangrove Action Plan (MAP) pada 2010 menemukan bahwa dalam 30 tahun terakhir, lahan mangrove di Tanakeke menurun cukup drastis, dari 1776 hektar atau hampir keseluruhan luas daratan Tanakeke menjadi hanya 500 hektar saat ini.

Oxfam didukung Canadian International Development Agency (CIDA) membuat program perbaikan penghidupan pesisir atau Restorasi Coastal Livelihood (RCL) pada 2010 di Tanakeke, dengan salah satu program yaitu gerakan restorasi mangrove. Tidak hanya menyelamatkan mangrove di pesisir, program ini juga menginisiasi lahirnya sebuah kawasan konservasi mangrove seluas 51,5 hektar di Bangko Tapampang, yang dikelola warga secara swadaya.

Lahirnya kawasan konservasi, berawal dari dibentuknya forum pemerintah desa Tanakeke, yang membuat konsensus bersama melahirkan kawasan konservasi Bangko Tapampang.

Forum juga menginisiasi lahirnya Peraturan Desa tentang Mangrove pada 2012, yang efektif menghambat laju deforestasi kawasan mangrove di kepulauan ini.

Forum yang masih aktif ini, melakukan pertemuan tiap tiga bulan di lokasi yang disepakati bersama melalui apa yang mereka sebut Safari Tanakeke.

“Di pertemuan ini mereka membicarakan berbagai hal, baik tentang perkembangan penanaman mangrove di desa masing-masing ataupun masalah-masalah lintas desa. Forum ini secara efektif menjadi perekat bagi warga dari berbagai desa berbeda,” papar Irham.

Kepulauan Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan mencakup lima desa dengan total penduduk sekitar 7000 jiwa. Dulu sebagian besar kawasan ini adalah hutan mangrove, kaya dengan beragam hasil laut dan bahkan mutiara. Foto : Wahyu Chandra

Kepulauan Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan mencakup lima desa dengan total penduduk sekitar 7000 jiwa. Dulu sebagian besar kawasan ini adalah hutan mangrove, kaya dengan beragam hasil laut dan bahkan mutiara. Foto : Wahyu Chandra

Program Oxfam di Tanakeke sendiri akan segera berakhir, meski belum semua perencanaan penanaman mangrove dilaksanakan. Namun kondisi ini tidak membuat gerakan perempuan ini berhenti tengah jalan.

“Kita tetap akan melanjutkan program yang sudah ada dan sudah direncanakan hingga beberapa tahun ke depan. Meski tanpa ada lagi Oxfam program akan tetap jalan,” ungkap Abbasiah Nutta, anggota Womangrove lainnya.

Meski berharap ada program lanjutan dari lembaga lain, namun jika pun tak ada Abbasiah tetap yakin Womangrove bisa tetap eksis.

“Kalau bibit kita bisa ambil dari yang sudah ada. Ini bisa tetap lanjut dengan swadaya masyarakat,” katanya.

Kepulauan Tanakeke sendiri adalah sebuah gugusan pulau kecil yang berada di pesisir selatan Sulawesi Selatan. Terdapat lima desa di kepulauan ini berpenduduk sekitar 7000 jiwa. Meski kaya dengan hasil laut dan daratan yang subur, namun sebagian besar kepulauan ini tidak memiliki sumber air bersih untuk konsumsi.

Menurut Tajuddin Daeng Ngerang, Kepala Desa Tompotana, keterbatasan air bersih ini membuat mereka harus membeli air dari daratan Takalar. Ia memperkirakan dalam sebulan jumlah total anggaran yang dikeluarkan warga untuk membeli air bersih mencapai Rp 60 juta.

Perairan Tanakeke juga dikenal kaya dengan mutiara alam, ikan napoleon, ikan karang, hiu dan bahkan diperkirakan menjadi salah satu rute mamalia laut.

“Sudah sering warga melihat adanya penampakan ikan paus, bahkan ada yang pernah ditemukan mati terdampar beberapa bulan lalu,” ungkap Irham.

Pelatihan Perencanaan Penanaman

Suksesnya restorasi mangrove dengan lahirnya kawasan konservasi Bangko Tapampang dan di sebagian wilayah pesisir Tanakeke tidak membuat warga berpuas diri. Warga bahkan bermimpi untuk mengembalikan kondisi Tanakeke ke kondisi semula sebelum terjadi konversi lahan menjadi tambak.

Dari mimpi warga inilah kemudian menjadi acuan dari program RCL Oxfam untuk memberi pelatihan bagi warga terkait perencanaan penanaman mangrove.

Menurut Fatmasari Hutagalung, Program Officer RCL Oxfam, perencanaan ini penting dalam mempercepat dan memperluas jangkauan restorasi mangrove, karena selain potensi lahan restorasi yang cukup besar, juga besarnya antusiasme warga, khususnya perempuan, untuk terlibat dalam upaya restorasi tersebut.

“Melalui kegiatan ini diharapkan warga Kepulauan Tanakeke akan memiliki perencanaan teknis, yang dalam hal bahasa teknis mudah dipahami, dalam bentuk apa kegiatannya dan akan menghasilkan apa, yang secara bertahap mereka rancang itu harus ada inline, sehingga pantauannya nanti terukur oleh mereka sendiri,” ungkap Fatmasari.

Kegiatan ini dilakukan memadukan teori dan praktek. Para peserta dibagi dalam beberapa kelompok dimana mereka menyusun proses perencanaan di daerahnya masing-masing. Mereka juga diminta menggambarkan bagaimana kondisi yang diharapkan terjadi di Kepulauan Tanakeke lima tahun ke depan.

Fatmasari berharap apa yang dihasilkan dari kegiatan ini bisa terus berkesinambungan meski program RCL tak ada lagi. “Idealnya proses-proses seperti ini yang harus selalu mereka lakukan. Tools-nya bisa digunakan untuk perencanaan desa. Makanya kita membuatnya secara sederhana,” tambahnya.


Womangrove, Para Perempuan Penyelamat Mangrove di Tanakeke was first posted on June 10, 2015 at 4:45 am.

BKSDA Jateng Evakuasi Buaya Muara dari Hotel

$
0
0

Buaya muara (Crocodylus porosus) yang berada di sebuah kandang berkolam di Kompleks Hotel Moro Seneng, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) akhirnya dievakuasi oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jateng pada Rabu (10/06/2015).

Petugas BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Cilacap-Pemalang mengevakuasi buaya muara (Crocodylus porosus) yang berada di sebuah kandang berkolam di Kompleks Hotel Moro Seneng, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada Rabu (10/06/2015), karena tidak berizin. Foto : L Darmawan

Petugas BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Cilacap-Pemalang mengevakuasi buaya muara (Crocodylus porosus) yang berada di sebuah kandang berkolam di Kompleks Hotel Moro Seneng, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada Rabu (10/06/2015), karena tidak berizin. Foto : L Darmawan

Begitu datang ke Hotel Moro Seneng, pemilik hotel langsung mempersilakan para petugas BKSDA langsung ke kandang buaya. Buaya berada di kandang setempat sekitar 8 tahun lalu. Petugas dari BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Cilacap-Pemalang, Dedy Supriyanto, bersama dengan petugas lainnya langsung melakukan evakuasi dengan cara manual. Membutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk melakukan evakuasi dari kandang ke mobil pengangkut.

“Buaya ini memang dievakuasi, karena tidak memiliki izin. Buaya berkelamin betina tersebut akan dibawa ke Lembaga Konservasi Jembangan di Kebumen. Pemilik hotel sangat kooperatif, karena dia sendiri yang melaporkan ke BKSDA Jateng,”kata Dedy yang melakukan proses evakuasi dengan dibantu petugas lainnya.

Di tempat yang sama, Koordoinator Polisi Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Cilacap-Pemalang Rahmat Hidayat mengatakan kalau buaya muara tersebut dibawa ke Lembaga Konservasi Jembangan. “Satwa tersebut termasuk dalam satwa dilindungi. Akan tetapi, kalau hasil penangkaran, maka turunannya atau F2 dan seterusnya sudah menjadi milik privat. Kalau buaya di sini bukan merupakan hasil penangkaran, sehingga tidak diperbolehkan,”katanya.

Menurutnya, kalau memang pemilik hotel mau ada penangkaran, maka bisa dilakukan. Hanya saja, untuk sementara ini, buaya muara yang bukan merupakan hasil penangkaran harus diamankan terlebih dahulu. “Selain buaya muara, kami nantinya juga mengevakuasi landak (Hystrix brachyuran) dan kijang (Muntiacus muntjak). Tetapi untuk sementara yang paling utama adalah buaya muara dulu agar segera dapat dibawa ke Kebumen. Namun, sepertinya pemilik bakal mengurus izin penangkaran, makanya untuk sementara landak dan kijang masih belum dievakuasi,” katanya.

Petugas BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Cilacap-Pemalang mengevakuasi buaya muara (Crocodylus porosus) yang berada di sebuah kandang berkolam di Kompleks Hotel Moro Seneng, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada Rabu (10/06/2015), karena tidak berizin. Foto : L Darmawan

Petugas BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Cilacap-Pemalang mengevakuasi buaya muara (Crocodylus porosus) yang berada di sebuah kandang berkolam di Kompleks Hotel Moro Seneng, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada Rabu (10/06/2015), karena tidak berizin. Foto : L Darmawan

Buaya muara (Crocodylus porosus) sitaan dari Hotel Moro Seneng, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada Rabu (10/06/2015), akan dibawa ke Lembaga Konservasi Jembangan, Kebumen, Jateng. Foto : L Darmawan

Buaya muara (Crocodylus porosus) sitaan dari Hotel Moro Seneng, Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada Rabu (10/06/2015), akan dibawa ke Lembaga Konservasi Jembangan, Kebumen, Jateng. Foto : L Darmawan

 

Rahmat mengatakan, laporan mengenai buaya muara di hotel setempat dilakukan oleh pemilik hotel sendiri sekitar satu bulan lalu. “Kami mendapat laporan sekitar satu bulan lalu. Namun, baru hari ini dapat dilaksanakan. Yang pasti, pemilik hotel bersikap sangat kooperatif. Dia juga mengaku tidak tahu kalau memelihara buaya harus ada izinnya,”ujarnya.

Sementara pemilik Hotel Moro Seneng Baturraden, Hengki Siswo Riyanto, mengatakan bahwa sebetulnya buaya muara tersebut merupakan titipan dari seseorang. Buaya tersebut merupakan hadiah dan telah menempati kandang sekitar 8 tahun silam. “Terus terang, saya tidak tahu kalau memelihara buaya harus ada izinnya.

Oleh karena belum ada izin, maka saya melaporkan ke pihak terkait dalam hal ini BKSDA. Kami serahkan buaya muara tersebut. Selain buaya muara, di sini juga ada satwa lain seperti landak, siamang, kijang dan lainnya. Kami akan berkoodinasi dengan pihak BKSDA, mengenai izinnya. Kalau boleh, saya akan ajukan izin penangkaran,” tambahnya.


BKSDA Jateng Evakuasi Buaya Muara dari Hotel was first posted on June 11, 2015 at 12:55 am.

Coral Triangle Day, Momentum Perlindungan Laut di Kawasan Segitiga Karang

$
0
0

Sejumlah elemen masyarakat merayakan hari segitiga terumbu karang (coral triangle day), Selasa (09/06/2015), di Desa Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Dengan tema “Shared Waters, Shared Solutions: Coming Together as One for the World’s Centre of Marine Life, peringatan coral triangle day dimaksudkan untuk mengangkat isu konservasi laut serta melindungi dan melestarikan kawasan segitiga karang ini. Coral Triangle Day mulai dirayakan setelah pada 2009 ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Manado.

Sri Intan Montol, Kepala Bidang Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Sulut, dalam sambutannya mengatakan melalui kegiatan aksi dan kampanye lingkungan, Coral Triangle Day diharapkan dapat memposisikan segitiga karang sebagai wilayah ecoregion global dan menjadi hari untuk mempelajari pentingnya  kawasan segitiga karang ini.

Kegiatan peringatan hari segitiga terumbu karang (coral triangle day), Di Desa Arakan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara pada Selasa (09/06/2015), dengan penanaman mangrove dan rehabilitasi terumbu karang. Foto : LSM Manengkel Solidaritas

Kegiatan peringatan hari segitiga terumbu karang (coral triangle day), Di Desa Arakan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara pada Selasa (09/06/2015), dengan penanaman mangrove dan rehabilitasi terumbu karang. Foto : LSM Manengkel Solidaritas

Sri mengajak masyarakat melakukan aksi nyata melestarikan dan melindungi ekosistem laut, karena Sulut merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan terumbu karang, adanya species endemik seperti ikan fosil hidup (coelacanth) serta sumber daya alam dan pesisir yang sangat potensial.

“Namun, masih terdapat sejumlah gangguan dan ancaman terhadap ekosistem terumbu karang, yang datang melalui, destructive fishing, penangkapan berlebih, pariwisata yang tidak ramah lingkungan dan perubahan iklim,” katanya.

Segitiga karang atau coral triangle adalah sebutan untuk wilayah gografis perairan lebih dari 6.500.000 km², dengan lebih dari 600 spesies terumbu karang dan meliputi 76% semua spesies terumbu karang yang ada di dunia. Ia juga merupakan ekosistem laut paling subur yang hanya mencakup 1% dari seluruh planet.

Kawasan segitiga karang meliputi Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste, yang menjadi sumber kehidupan lebih dari 120 juta orang di daerah pesisir, serta ribuan unit usaha baik kecil maupun besar di sektor perikanan dan pariwisata.

Lebih dari 3.000 spesies ikan termasuk ikan paus, lumba-lumba, pari, hiu, duyung dan ikan terbesar di dunia (paus hiu) menjadikan wilayah segitiga karang sebgai tempat hidup. Belum lagi, 6 dari 7 spesies penyu laut bertelur, mencari ikan dan bermigrasi di kawasan ini.

“Segitiga Terumbu Karang ini menjadi sumber utama makanan dan pendapatan lebih dari 120 juta penduduk dari ke enam negara yang hidup di pesisir. Wilayah ini terkenal dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna endemik, hutan hujan tropis, terumbu karang, hutan mangrove yang luas, dan juga beberapa species padang lamun. Namun memiliki ancaman yang tinggi terhadap kelangsungan terumbu karangnya,” tambah Sri.

Menurut catatan Greenpeace, luas terumbu karang di Indonesia mencapai 50.875 kilometer persegi atau sekitar 18% kawasan terumbu karang dunia. Sebagian besar terumbu karang ini berlokasi di bagian timur Indonesia, yang lazim disebut kawasan segitiga terumbu karang.

Namun, kondisi tersebut bukan tanpa masalah. Pada tahun 2012 Pusat Penelitian Oceanografi (P2O) LIPI menyatakan hanya 5,3% terumbu karang tergolong sangat baik. 27,18% digolongkan dalam keadaan baik, 37,25% dalam kondisi cukup. Sementara, 30,45% dalam kondisi buruk.

Diduga, rusaknya terumbu karang disebabkan pembangunan di wilayah pesisir, pembuangan limbah dari berbagai aktifitas di darat maupun di laut, sedimentasi akibat rusaknya hulu dan daerah aliran sungai, pertambangan, penangkapan ikan merusak yang menggunakan sianida dan alat tangkap terlarang, pemutihan karang akibat perubahan iklim, serta penambangan terumbu karang.

Rehabilitasi terumbu karang sebagai bagian dari peringatan hari segitiga terumbu karang (coral triangle day), Di Desa Arakan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara pada Selasa (09/06/2015). Foto : LSM Manengkel Solidaritas

Rehabilitasi terumbu karang sebagai bagian dari peringatan hari segitiga terumbu karang (coral triangle day), Di Desa Arakan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara pada Selasa (09/06/2015). Foto : LSM Manengkel Solidaritas

Pada kesempatan terpisah, Direktur Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) Safran Yusri mengatakan dari laporan penelitian P20 LIPI tahun 2014, tren terumbu karang mulai membaik. “Hasil dari pemantauan terumbu karang dari tahun 90-an sampai 2014, kita melihat ada tren terumbu karang membaik. Kira-kira 70 persen terumbu karang kondisinya sekarang sedang dan baik,” kata Safran yang dihubungi Mongabay pada Senin (08/09/2015).

Sedangkan terumbu karang yang rusak sekitar 30 persen, yang posisinya tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di Indonesia bagian timur. Safran mengatakan, pada sekitar tahun 90-an, terumbu karang yang rusak mencapai 45 persen. “Butuh waktu sekitar 25 tahun sehingga kondisi sekarang lebih baik,” katanya.

Memang sejak 1990-an, mulai banyak inisiatif program untuk penyelamatan dan rehabilitasi terumbu karang, yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun LSM seperti Yayasan Terangi. “Semua lembaga itu berhasil menyebarkan informasi tentang terumbu karang. Sekarang masyarakat lebih paham bahwa terumbu karang merupakan ekosistem yang penting untuk kehidupan laut,” jelasnya.

Penanaman Mangrove dan Rehabilitasi Karang

Sekitar 150 peserta orang dari berbagai elemen seperti masyarakat, komunitas motor, fotografer, LSM, pelaku wisata dan bisnis terlibat dalam perayaan Coral Triangle Day di Desa Arakan melakukan kegiatan penanaman mangrove dan rehabilitasi karang. Sekitar 3000 bibit mangrove berjenis Rhizopora ditanam di area seluas 3 hektar.

Sonny Tasidjawa, dari Manengkel Solidaritas, berharap, melalui penanaman mangrove, masyarakat dapat bersama-sama menjaga pelestarian lingkungan. “Sebab, berdasarkan informasi, masyarakat di sini dulunya sering tebang mangrove sebagai bahan dasar pembuatan sero (alat tangkap), karena kayu mangrove terbilang kuat. Selain itu, jemuran rumput laut juga dibuat dari kayu mangrove,” kata Sonny.

Sementara itu, kegiatan rehabilitasi karang diawali dengan sosialisasi, penguatan serta pelatihan rehabilitasi karang bagi kelompok masyarakat. Mereka, kemudian, diarahkan untuk membuat rencana strategis dan rencana pengelolaan sampai 10 tahun yang akan datang.

“Nantinya akan dimonitoring dan diawasi secara partisipatif oleh masyarakat. Kami berharap, daerah terumbu karang yang rusak bisa cepat pulih dan kesadaran masyarakat semakin baik,” katanya.

Ia menilai, rehabilitasi karang merupakan suatu upaya dalam mempercepat pemulihan karang. Sebab, manfaat ekosistem terumbu karang dari segi ekonomi dan ekologis tak diragukan lagi.

“Dari segi ekonomi terumbu karang menyediakan sumber pangan dan mata pencaharian serta primadona pariwisata. Ditinjau dari segi ekologis, terumbu karang memiliki kemampuan untuk mencegah erosi pesisir, merupakan habitat ikan dan biota lainnya,” tambah Sonny.

 


Coral Triangle Day, Momentum Perlindungan Laut di Kawasan Segitiga Karang was first posted on June 11, 2015 at 8:26 am.

Sengketa Tak Berkesudahan, Potret Wilmar Group di Nagari Kapa

$
0
0

Sudah 17 tahun, sengketa antara PT. Permata Hijau Pasaman (PHP) dengan masyarakat Nagari Kapa, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat terjadi. Sudah berlarut-larut keprihatinan yang diungkapkan masyarakat pemilik lahan yang terkena dampak pembangunan perkebunan sawit oleh perusahaan. Sudah berkali-kali pemerintah gagal mengupayakan penyelesaian sengketa yang terjadi, ungkap salah seorang perwakilan masyarakat Nagari Kapa yang diwawancarai Mongabay di Padang pada Kamis, (14/5/2015). Ada persoalan apa di Nagari Kapa?

Nagari Kapa merupakan salah satu Nagari yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, tempat tinggal 4.454 Kepala Keluarga dengan berjumlah 18.704 jiwa (BPS,2010). Hampir keseluruhan lahan di Nagari ini telah diusahakan, mulai dari pemukiman, peladangan, perkebunan sawit swadaya milik masyarakat dan perkebunan sawit milik perusahaan.

Kantor lapangan PT. Permata Hijau Pasaman, jalan akses menuju perusahaan juga menjadi pintu masuk ke Jorong Rantau Panjang, Nagari Sasak, Kecamatan Sasak Ranah Pesisir. Foto: Riko Coubut

Kantor lapangan PT. Permata Hijau Pasaman, jalan akses menuju perusahaan juga menjadi pintu masuk ke Jorong Rantau Panjang, Nagari Sasak, Kecamatan Sasak Ranah Pesisir. Foto: Riko Coubut

Zainul Abidin Dt. Majo Bosa, salah seorang ninik mamak Nagari Kapa kepada Mongabay mengatakan ada empat jenis pengelompokan kepemilikan tanah di nagari Kapa; pertama, tanah yang dikuasai langsung oleh adat yaitu tanah yang dimiliki secara bersama oleh masyarakat. Biasanya tanah ini merupakan kawasan hutan, rawa, kawasan perairan. Kedua, tanah hak milik yang dikuasai oleh seorang datuk, dikenal dengan nama tanah bosa/kampung. Ketiga, tanah milik kaum kerabat berdasarkan garis keturunan seorang ibu atau dikenal dengan nama tanah pusaka tinggi. Keempat, tanah yang dimiliki secara pribadi yang diperoleh melalui pembukaan lahan baru atau melalui pembelian, tanah seperti ini dikenal dengan tanah pusaka rendah.

Kewenangan pengelolaan tanah adat berada di tangan pucuk adat dan datuk, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tanah ulayat. Apabila ada diantara anak, cucu dan kemenakan yang hendak mengelola tanah ulayat maka mereka harus memperoleh izin dari pucuk adat dan membayar uang siliah jariah/uang adat, seperti kata pepatahnya “adaik diisi, limbago dituang”. Setelah itu barulah mereka dapat mengelola lahan tersebut dengan status hak pakai, maka terhadap pengelolaannya berlaku ketentuan adat “ka rimbo babungo kayu, ka lauik babungo karang, ka sawah babungo ampiang, ka sungai ba bungo pasie,” artinya si pengelola mesti menyisihkan sebagian dari hasil pengelolaannya untuk diserahkan kepada ninik mamak, tambahnya.

Di Nagari Kapa, tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak ada pemiliknya. Untuk mengusahakan tanah-tanah di Nagari Kapa, pengelola harus mendapatkan persetujuan dari pucuk adat dan para ninik mamak. Lantas bagaimana halnya dengan PT. PHP yang mengusahakan lahan di Nagari Kapa?

Dalam buku yang berjudul “Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan” yang diterbitkan oleh Forest People Programme, Sawit Watch dan TUK Indonesia, tentang berbagai penelitian terhadap permasalahan pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia.

Salah satu penelitian dilakukan terhadap persoalan konflik sawit yang terjadi antara masyarakat Nagari Kapa dengan PT. PHP Pasaman. Konflik berawal pada 1997, ketika pucuk adat dan ninik mamak di Nagari Kapa menyerahkan tanah ulayat kepada Bupati Pasaman untuk dijadikan tanah negara dan selanjutnya diserahkan lahan tersebut kepada perusahaan untuk kegiatan perkebunan sawit dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) sebagai alas hak pengusahaannya.

Penyerahan itu ternyata tidak dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan masyarakat Nagari Kapa sehingga banyak diantara masyarakat Nagari tidak mengetahui proses penyerahan, luasan, lokasi dan sebagainya. Akhirnya banyak kalangan anak nagari (masyarakat kampung) dirugikan karena merasa kehilangan tanah, termasuk dari kalangan bundo kanduang yang notabene sebagai pemilik ulayat. Bahkan mereka mengangap penyerahan lahan yang dilakukan oleh pucuk adat dan ninik mamak pada saat itu kepada perusahan hanya mewakili kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan masyarakat Nagari Kapa.

Walau Jorong Rantau Panjang diapit oleh perusahaan perkebunan besar milik Wilmar Group, masyarakatnya masih tetap hidup penuh keterbatasan dan kemiskinan. Foto: Riko Coubut

Walau Jorong Rantau Panjang diapit oleh perusahaan perkebunan besar milik Wilmar Group, masyarakatnya masih tetap hidup penuh keterbatasan dan kemiskinan. Foto: Riko Coubut

Pada tahun 1999-2000, pecah konflik di Nagari Kapa, dimana sekitar 150 KK menggarap sisa lahan sekitar 200 hektar yang lokasinya berdampingan dengan perkebunan perusahaan. Aparat kepolisian kemudian datang dan mengusir masyarakat pengarap. Kejadian itu memantik kemarahan masyarakat dan menyerang kantor perusahaan. Akibatnya beberapa orang laki-laki yang diduga melakukan pengrusakan, ditahan, disidangkan dan dipenjara.

Konflik juga terjadi akibat persoalan plasma. Sekitar tahun 2000, masyarakat Nagari Kapa berunjuk rasa menuntut untuk menyerahkan kebun plasma yang menjadi kewajiban perusahaan, dengan menghalangi kegiatan perusahaan untuk memanen tandan buah segar lahan perkebunannya. Hingga pada tahun 2004, perusahaan menyerahkan lahan plasma seluas 353 hektar dan pada tahun 2009 seluas 344 hektar kepada masyarakat Nagari Kapa.

Ketidakjelasan luas izin konsesi perkebunan juga membuat masyarakat menuntut pengukuran ulang lahan perusahaan. Selanjutnya ada upaya penyingkiran sejumlah tokoh-tokoh ninik mamak yang menolak menyerahkan lahan kepada pemerintah.

Buku itu juga menyebutkan perusahaan mengaku telah memberikan seluruh kebun plasma kepada masyarakat yang menjadi kewajiban perusahaan. Tetapi masyarakat tidak puas dengan luasan kebun plasma yang telah diserahkan. Masyarakat juga mempermasalahkan rendahnya harga tandan buah segar yang dibayarkan oleh koperasi, terkait tanggung jawab perusahaan. Perusahaan juga mengaku telah membayar uang siliah jariah kepada ninik mamak saat pertama kali datang untuk mengusahakan lahan perkebunan di Nagari Kapa.

Areal konsesi Hak Guna Usaha (HGU) PT. Permata Hijau Pasaman. Foto: Google

Areal konsesi Hak Guna Usaha (HGU) PT. Permata Hijau Pasaman. Foto: Google

PT. PHP merupakan anak perusahaan Wilmar Group, dengan luas perkebunan berdasarkan SK HGU No.65/HGU/BPN/2004 sekitar 1.600 hektar, yang terletak di Nagari Kapa dan sebagian lahannya masuk dalam administrasi Nagari Sasak Ranah Pesisir.

Lahan merupakan tanah gambut di tepi pantai barat Pasaman Barat, yang dikeringkan lalu ditanami sawit. Akibat pengeringan lahan, masyarakat kesulitan mencari ikan, kepiting, udang sebagai mata pendaharian mereka.

Berdasarkan SK Menteri Negara Penanaman Modal/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor: 49 V/PMA/1999 tentang Perubahan Status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA), Perusahaan ini awalnya PMDN, berubah status menjadi Penanaman Modal Asing (PMA). Sahamnya dimiliki oleh; Keyflow Limited (British Virgin Islands), Caffery International Limited (UK), HPR Investment Limited (British Virgin Islands), Banoto Investment Limited (British Virgin Islands), Wilmar Plantation Limited (British Virgin Islands) dan PT. Kartika Prima Vegetable, terakhir dikabarkan dijual kepada PT. Karya Prajona Nelayan.

Sejak pertengahan tahun 1992, perusahaan telah memperoleh beberapa perizinan untuk usaha perkebunan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintah. Pertama, berdasarkan rekomendasi Gubernur Sumbar dan Bupati Pasaman (kini Pasaman Barat), perusahaan diberikan rekomendasi pencadangan lahan seluas 12.000 hektar di Nagari Sasak, Kecamatan Pasaman. Kedua, pada tahun 1995 melalui rekomendasi dari Bupati Pasaman dan Gubernur Sumbar diberikan izin membuka lahan seluas 4.000 hektar di Nagari Sikilang, Kecamatan Pasaman. Ketiga, tahun 1998 dua proposal pembangunan perkebunan sawit yang diajukan kepada Bupati Pasaman kembali disetujui untuk dibangun di Nagari Kapa yaitu seluas 1.600 hektar dan di Nagari Maligi seluas 3.500 hektar. PT. PHP memiliki dua perusahaan yang terdiri I dan II dengan total lahan perkebunan seluas 5.450 hektar.

Kegiatan perkebunan PT. PHP  terdiri perkebunan sawit, pengelolaan tandan buah segar (TBS) dan pengolahan minyak biji inti sawit. Kapasitas produksinya mencapai 135.250 ton TBS, 28.600 ton CPO dan 6.900 ton minyak kernel sawit per tahun. Sekitar 25 persen atau sebanyak 7.150 ton CPO yang dihasilkan dijual dalam pasar domestic, dan 75 persen atau sebanyak 21.450 ton dijual di pasar international.

Pabrik Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) PT. Permata Hijau Pasaman. Foto: Riko Coubut

Pabrik Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) PT. Permata Hijau Pasaman. Foto: Riko Coubut

Terpisah, Simon Siburat Perwakilan Wilmar Group dalam acara pemantauan publik atas terlaksananya kebijakan Wilmar tentang larangan deforestasi, larangan konversi lahan gambut dan larangan eksploitasi manusia serta persoalan sosial yang pelakunya perusahaan sawit di Sumbar mengatakan persoalan konflik masyarakat Nagari Kapa, Kabupaten Pasaman Barat dengan PT. PHP sudah disampaikan masyarakat kepada lembaga Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) di Malaysia beberapa waktu yang lalu dan kami akan tunduk dengan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Bahkan guna menindaklanjuti komplain masyarakat tersebut, dalam waktu dekat lembaga RSPO akan mengunjungi pemkab Pasaman Barat guna meminta klarifikasi mengenai masalah ini.

Simon menambahkan Wilmar berkomitmen untuk tidak melakukan pengelolaan perkebunan di lahan gambut dan untuk lahan gambut yang sudah di land clearing maka tidak akan diusahakan dan dibiarkan menjadi hutan kembali. Selanjutnya tidak akan membuka lahan baru serta tidak akan bekerjasama dengan perusahaan supplier penghasil tandan buah segar (TBS) jika diketahui perusahaan mitra tersebut tidak ramah terhadap lingkungan.

“Kami telah menyediakan layanan pengaduan secara online melalui website perusahaan, maka melalui layanan ini masyarakat dan stakeholder lainnya dapat menyampaikan komplain secara langsung dengan perusahaan,” ucapnya kepada Mongabay pada Rabu, (10/6/2015).

Menurut Prof. Afrizal, MA, pakar antropologi dari Universitas Andalas kepada Mongabay pada Senin (18/05/2015), memandang kasus konflik masyarakat dengan Nagari Kapa dengan PT. PHP akibat ketidakjelasan proses penyerahan lahan untuk pembangunan perkebunan sawit. Dimana Ninik Mamak terindikasi berperan sendiri-sendiri tanpa mengikutsertakan masyarakat nagari. Seharusnya keputusan penyerahan ulayat yang menjadi kewenangan pucuk adat dan ninik mamak, setelah melalui musyawarah di tingkat nagari.

“Saya melihat, hal ini yang tidak dilakukan semenjak awal. Akhirnya konflik ini berlarut-larut sampai sekarang, mulai dari persoalan penyerahan lahan, persoalan plasma dan sebagainya. Pemerintah juga terlihat kurang berperan dalam menginisiasi percepatan penyelesaian konflik masyarakat dan cenderung membiarkannya. Lihatlah, sudah 17 tahun konflik ini terjadi tanpa penyelesaian,” katanya.

Afrizal menambahkan sepantasnyalah Pemerintah Pasaman Barat memfasilitasi penyelesaian sengketa perkebunan di daerah sentral perkebunan sawit Sumbar itu. Hampir seluruh wilayah Pasaman Barat terdapat perkebunan, dengan berbagai kasus yang terjadi.  PT PHP selayaknya selalu melibatkan masyarakat, baik dalam rapat konsultasi pengambilan keputusan, pengembangan program pemberdayaan, termasuk membangun mekanisme penyelesaian konflik.


Sengketa Tak Berkesudahan, Potret Wilmar Group di Nagari Kapa was first posted on June 12, 2015 at 1:27 am.

Perkenalkan Kawasan Danau Buyan Dan Tamblingan Lewat Twin Lake Festival

$
0
0

Twin Lake Festival kembali digelar Kamis (11/06/2015) di Kawasan Danau Buyan, tepatnya depan Pura Ulun Danu, Desa Pancasasi, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali. Festival yang digelar hingga 14 Juni ini, menampilkan berbagai atraksi budaya dan olahraga tradisional, serta menampilkan berbagai potensi mulai dari pertanian, perikanan hingga kegiatan berwawasan lingkungan.

Menurut Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana disela-sela pembukaan acara mengatakan bahwa festival ini disamping sebagai ajang kreativitas berbagai potensi yang ada di dalamnya, yang tidak kalah penting adalah memperkenalkan dua Danau, yaitu Buyan dan Tamblingan sebagai kawasan vital khususnya  menyangkut pelestarian sumber air di dua Kabupaten, yaitu Tabanan dan Buleleng sendiri. ‘’Melalui Twin Lake Festival, kita harapkan masyarakat ikut bersama-sama melestarikan dua danau ini – karena begitu penting khususnya sebagai kawasan penyangga dan resapan air untuk wilayah disekitarnya,” katanya.

Kawasan Danau Buyan, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, tempat diadakannya Twin Lake Festival. Foto : Wikipedia

Kawasan Danau Buyan, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, tempat diadakannya Twin Lake Festival. Foto : Wikipedia

Karena begitu penting, masih menurut Bupati Buleleng ini, hingga pihaknya berusaha mengambil langkah tegas ‘pengusiran’  terhadap masyarakat yang ingin menetap di kawasan hutan lindung dan hutan wisata alam ini. ‘’Kawasan Danau Tamblingan dan Buyan adalah kawasan hutan lindung yang juga merupakan kawasan suci. Kami ingin menjaga agar tetap lestari,’’katanya. ‘’Kalau ada berita yang berkembang saat ini, terjadi  pembakaran rumah warga itu bohong belaka. Karena sudah dilakukan pendekatan kepada masyarakat setempat,’’tambah Bupati dengan nada galau.

‘’Sejarahnya warga menetap di sana sekitar tahun 1991. Semula yang boleh tinggal di kawasan Danau Tamblingan adalah warga Bendega dari Catur Desa. Mereka diijinkan menetap karena mereka memilki tugas sebagai penjaga atau memelihara tempat-tempat suci yang ada di kawasan tersebut. Tapi lama kelamaan, ada masyarakat luar yang datang dan menetap di sana’’ ujarnya.

Sebenarnya segala upaya sudah diakukan untuk ‘mengusir’ dari tempat tersebut, tetapi selalu gagal. Hingga puncaknya 25 Mei lalu, terjadi pengosongan paksa yang dilakukan warga Catur Desa terhadap warga ‘pendatang’ yang sudah menetap lama hingga beranak – cucu di kawasan tersebut. ‘’Sejak Oktober lalu, kami sudah melakukan pendekatan. Dan sebelum peristiwa pengosongan itu terjadi sudah dilakukan pendekatan dan musyawarah. Tapi peristiwa tersebut dipolitisir dikatakan pembakaran rumah warga, padahal tidak ada. Yang dibakar hanya puing-puing rumah yang berserakan yang sudah ditinggal warga,’’jelasnya kepada wartawan.

Kawasan Danau Tamblingan, Buleleng, Bali, tempat diadakannya Twin Lake Festival. Foto : Wikipedia

Kawasan Danau Tamblingan, Buleleng, Bali, tempat diadakannya Twin Lake Festival. Foto : Wikipedia

Danau Tamblingan terletak di lereng Utara Gunung Lesung, kawasan Desa Munduk, Kecamatan Banjar. Danau ini satu dari tiga danau kembar yang terbentuk dalam sebuah kaldera besar. Dikatakan kembar, karena di Timur Danau Tamblingan hanya dibatasi hutan, terdapat Danau Buyan, Desa Pancasari, kecamatan Sukasada. Keduanya berada di wilayah Kabupaten Buleleng. Satu Danau lainnya, danau Beratan yang berada di Kabupaten Tabanan.

Disamping sebagai kawasan resapan air karena curah hujannya cukup tinggi, kawasan danau ini juga dikembangkan sebagai kawasan wisata ramah lingkungan demi menjaga kelestarian alam dan lingkungannya. Yang menjadi daya tarik kedua danau ini, Buyan dan Tamblingan, disamping karena pesona alamnya, juga banyak terdapat Pura, tempat-tempat suci umat Hindu yang menyimpan sejarah perkembangan peradaban dan kebudayaan Bali, khususnya menyangkut pembentukan dan perkembangan Desa Tamblingan, pada abad 10 hingga 14 Masehi.

 


Perkenalkan Kawasan Danau Buyan Dan Tamblingan Lewat Twin Lake Festival was first posted on June 12, 2015 at 2:17 am.

Menyulap Morotai Jadi Pusat Industri Kelautan dan Kemaritiman

$
0
0

Harapan untuk menjadikan Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara sebagai satu kawasan baru yang menjadi tempat bertumbuhnya industri berbasis kelautan dan kemaritiman terus dipendam hingga saat ini oleh Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebagai pemegang kebijakan dalam sektor kelautan dan kemaritiman, terus berupaya mencari cara untuk mewujudkannya.

Salah satu yang dilakukan, adalah dengan menggandeng para investor swasta yang ada di luar negeri. Salah satunya adalah Taiwan, negara kepulauan yang terletak di Asia Timur, dengan menggelar pertemuan perdana Indonesia-Taiwan Bussines Council (ITBC) di Jakarta, Kamis (11/06/2015) malam.

Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara dikenal sebagai Hidden Paradise of East Indonesia karena keindahan panorama dan alam bawah lautnya. Foto : pulaumorotaikab.go.id

Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara dikenal sebagai Hidden Paradise of East Indonesia karena keindahan panorama dan alam bawah lautnya. Foto : pulaumorotaikab.go.id

Pertemuan perdana asosiasi yang baru terbentuk itu, menjadi proses inisiasi indonesia untuk mendapatkan kepastian perihal pembangunan sektor kelautan dan kemaritiman, utamanya proyek besar di Morotai. Hal itu diakui oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut P Hutagalung kepada Mongabay.

“Kita harapkan adanya asosiasi ini bisa membantu percepatan pembangunan Morotai sebagai kawasan baru yang maju. Mirip lah seperti Singapura nantinya,” ujar Saut.

Maksudnya, Morotai akan dibuat menjadi sebuah kawasan ekonomi khusus (KEK) yang luasnya sangat besar dan memiliki integrasi beragam industri berbasis kelautan dan kemaritiman.

“Ini memang sudah menjadi pikiran (saya) sejak lama. Kita harapkan pembangunan Morotai bisa terwujud segera dengan mengundang investor dari Taiwan. Negara tersebut investasinya sangat baik dan itu yang kita butuhkan,” ungkap Saut.

Sebagai KEK, Morotai nantinya bisa dibentuk dengan luas mencapai 8.000 hektare atau lebih dan di dalamnya bisa dibangun industri perikanan, galangan kapal, dan lainnya. Sehingga, segala hal yang mencakup industri kelautan dan kemaritiman bisa dijumpai di Morotai.

“Morotai ini potensinya sangat besar. Posisinya strategis di Indonesia Timur dan bisa menjadi poros maritim Indonesia untuk dunia. Ini sangat baik. Sekarang kan poros maritim sedang gencar dikampanyekan oleh Pemerintah,” tuturnya.

“Saya berharap, keberadaan ITBC bisa memfasilitasi keinginan Pemerintah. Jangan sampai, kerja sama baik ini hanya fokus mengembangkan industri perikanan skala kecil saja. Sayang sekali itu. Sekarang momennya ada dan harus dimanfaatkan dengan baik,” tandasnya.

Belajar Teknologi Perikanan dan Kelautan

Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP51) Thomas Darmawan, kerja sama Indonesia dengan Taiwan sebaiknya tidak hanya sekedar investasi di industri perikanan dan kelautan saja. Namun juga, bagaimana kedua negara tersebut berbagai teknologi perikanan dan kelautan.

“Sayang sekali ya kalau cuma untuk itu. Taiwan ini teknologi perikanannya sangat maju dan mereka sudah lama dikenal memiliki teknologi budidaya yang sangat bagus. Ini harusnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia,” ungkap Thomas.

Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara dikenal sebagai Hidden Paradise of East Indonesia karena keindahan panorama dan alam bawah lautnya. Foto : pulaumorotaikab.go.id

Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara dikenal sebagai Hidden Paradise of East Indonesia karena keindahan panorama dan alam bawah lautnya. Foto : pulaumorotaikab.go.id

Untuk penguasaan teknologi, Thomas menjelaskan, Taiwan sangat ahli dalam bidang perikanan, budidaya rumput laut, budidaya bandeng dan udang. Disana, kata dia, produksi bandeng bisa dilakukan dengan kuantitas yang tinggi dan produksi ikan nila yang bernilai ekonomi tinggi di pasar internasional.

“Kita juga kan punya beragam jenis komoditas perikanan dan kelautan. Kalau teknologinya sudah kita miliki dengan sangat maju, kita akan bisa mengembangkan setinggi mungkin. Makanya, inilah momen pas untuk belajar teknologi dari Taiwan,” ungkapnya.

Di luar pemanfaatan teknologi, Thomas juga sepakat Indonesia dan Taiwan melakukan kerja sama jangka panjang membangun proyek KEK di Morotai. Dengan basis industri perikanan dan kemaritiman, dia menilai proyek tersebut akan menjadi proyek percontohan di Indonesia.

5 Fasilitas Berkelas Dunia di Morotai

Ketua Umum ITBC Setyono Djuandi Darmono dalam kesempatan yang sama, menjelaskan bahwa konsep pembangunan di Morotai memang akan diarahkan kepada industri berbasis kelautan dan kemaritiman karena karakteristiknya cocok.

“Namun tidak menutup kemungkinan itu akan ada pengembangan untuk industri lainnya,” kata Darmono.

Namun, terlepas dari fokus pembangunan industri yang akan dikembangkan, Darmono memaparkan bahwa konsep pembangunan di Morotai akan berkelas dunia seperti halnya di Singapura. Adapun, fasilitas yang akan dikembangkan mencakup lima fasilitas penting.

“Ada lima fasilitas penting berkelas dunia yang sudah masuk perencanaan pembangunan. Itu penting disediakan karena Morotai harus bisa jadi poros dunia,” tandas dia.

Kelima fasilitas penting itu, papar Darmono, adalah tourism official office, pemandu turis (Tourist Guide), toilet umum, public homestay, local heritage atau  local performance. Kehadiran lima fasilitas tersebut, diharapkan bisa memberi rasa nyaman kepada setiap pengunjung yang datang ke Morotai.

“Jadi walau pengembangan akan diarahkan sebagai kawasan industri, sektor pariwisata tetap digarap juga. Sehingga, investor maupun pelaku usaha yang datang ke Morotai bisa merasa nyaman dan betah,” pungkasnya.


Menyulap Morotai Jadi Pusat Industri Kelautan dan Kemaritiman was first posted on June 13, 2015 at 2:26 am.

Inovasi dan Teknologi Untuk Tingkatkan Budidaya Perikanan di Indonesia

$
0
0

Sebagai negara maritim yang dikenal memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, pemerintah terus berupaya memaksimalkan segala potensi yang ada di wilayah airnya untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Upaya yang dilakukan adalah dengan fokus mengembangkan potensi sumber daya laut yang sudah ada sejak lama, termasuk potensi perikanan dan rumput laut.

Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) membuat beragam inovasi untuk teknik budidaya perikanan sesuai kondisi terkini.

Pembudidayaan ikan melalui Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Singkarak, Nagari Saniang Baka, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Pembudidayaan ikan melalui Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Singkarak, Nagari Saniang Baka, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Kepala Balitbang KP Achmad Poernomo menyebut pengembangan yang dilakukan itu adalah untuk akuakultur. Pengembangan tersebut dilakukan untuk memberi kemudahan pelaku sektor budidaya perikanan.

“Dengan akuakultur, kita bisa mengembangkan budidaya perikanan dengan lebih baik, efisien dan berbiaya rendah. Itu akan sangat membantu para pelaku usaha di sektor tersebut,” ujar Achmad kepada Mongabay, Jumat (12/06/2015).

Yang dimaksud akuakultur, menurut Achmad, adalah kegiatan pemberdayaan ikan dari mulai pengadaan atau perekayasaan strim unggul sampai benihnya. Kemudian juga ke tahap teknologi pembudidayaannya, yang di dalamnya mencakup teknologi pakan, teknologi mengatasi penyakit juga.

“Selain itu juga ada akuakultur engineering, ini adalah perekayasaan kolam, wadah-wadah untuk budidaya. Teknologi yang dikembangkan tersebut bisa digunakan untuk budidaya perikanan yang dilakukan di air laut, air payau, maupun air tawar,” jelasnya.

Semua itu untuk tujuan meningkatkan produksi dan memperbaiki kualitas produksi perikanan budidaya, sehingga lebih meningkatkan nilai ekonomi.

“Kita sebagai negara maritim harus bisa mengembangkan produk kelautan sebaik mungkin. Karena kita harus bisa membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia memang layak disebut sebagai negara maritim,” tandasnya.

Forum Inovasi Teknologi Akuakultur

Dalam mengembangkan inovasi teknologi akuakultur, Balitbang KP KKP mendapat anggaran sebesar Rp770 miliar, yang digunakan antara lain untuk perberdayaaan para peneliti budidaya perikanan.

Cara tersebut dinilai tepat dilakukan, karena menurut Achmad, budaya dan kedisiplinan masyarakat Indonesia hingga saat ini masih belum semaju di negara lain. Sehingga, jika ada masalah atau ada potensi yang tergali, kemudian tidak ditindaklanjuti karena keterbatasan kemampuan.

“Sepanjang tahun penelitian dilakukan untuk memecahkan setiap persoalan dan mengembangkan setiap potensi yang ada. Setelah setahun itu, para peneliti akan berbagi hasil penelitian mereka dalam sebuah forum khusus,” tuturnya.

Forum khusus yang dimaksud tersebut, adalah Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA) yang tahun ini diselenggarakan di Bogor, Jawa Barat. Dalam pertemuan tersebut, Balitbang KP mengungkap sekitar 75 hasil penelitian yang sudah dilakukan.

“Forum ini mempertemukan para peneliti dengan para pelaku usaha di sektor budidaya perikanan. Kita tawarkan teknologi yang sudah diuji untuk digunakan oleh mereka. Jadi ini sangat baik untuk meningkatkan produksi,” ungkap dia.

Rekayasa genetik Akuakultur

Sebagai bagian dari inovasi teknologi akuakultur, Balitbang KP melakukan rekayasa genetik untuk sejumlah produk perikanan seperti ikan dan rumput laut, dengan hasil seperti ikan nila pasopasti, nila srikandi, lele mutiara dan rumput laut.

“Tentu saja namanya juga inovasi, setiap penelitian yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi, dan juga perbaikan kualitas produk,” tandasnya.

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Sementara menurut Thomas Darmawan, Ketua Komite Tetap Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Kamar Dagang dan Industri (KADIN), rekayasa genetik untuk produk perikanan memang perlu dilakukan oleh Indonesia di masa sekarang. Pasalnya, melalui cara tersebut produk perikanan Indonesia bisa meningkatkan daya saing di dunia internasional.

“Ingat, ekspor perikanan kita itu tidak melulu seafood, tapi juga ada hasil budidayanya. Nah, budidaya ini yang harus ditingkatkan. Karena kita juga harus melihat negara lain yang budidayanya sudah maju, seperti Taiwan,” jelasnya.

Thomas menilai apa yang dilakukan KKP saat ini dengan meneliti dan mengembangkan produk perikanan patut diapresiasi. Karena, kalau itu diilakukan oleh swasta maka biayanya akan sangat mahal. Sehingga, para pelaku usaha akan kesulitan untuk mendapatkan hasil penelitiannya.

“Contohnya saja nila, di Taiwan sudah maju. Tapi saya dengar juga di Indonesia sudah dilakukan penelitian nila oleh KKP. Nah itu sangat baik untuk daya saing kita di pasar internasional,” ungkap Thomas menyebut nila pasopasti dan nila srikandi yang sudah dikembangkan KKP.

Namun demikian, Thomas berpendapat, KKP juga harus tetap terbuka untuk menerima ilmu dari siapapun dan dari negara manapun terkait pengembangan budidaya perikanan. Karena, hanya dengan cara demikian inovasi teknologi akukultur bisa terus diperbaiki.


Inovasi dan Teknologi Untuk Tingkatkan Budidaya Perikanan di Indonesia was first posted on June 14, 2015 at 4:36 am.

Perlu Penataan Zonasi Pantai Dalam Budidaya Rumput Laut

$
0
0

Sadar bahwa sumber daya laut tidak selamanya akan tersedia, Pemerintah mulai fokus mengembangkan budidaya perikanan dan kelautan. Salah satu komoditas yang digenjot pengembangannya secara masif adalah rumput laut.

Pengembangan budidaya rumput laut saat ini dinilai sudah menunjukkan perkembangan pesat, mulai dari penelitian, produksi, hingga pengolahannya. Pemerintah hal itu, karena rumput laut di pasar internasional sangat diminati dan belum banyak negara yang melakukan budidayanya.

Direktur Jenderal Budidaya Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebijakto mengatakan, pemilihan rumput laut sebagai komoditas utama dalam pengembangan budidaya perikanan, karena komoditas tersebut dinilai paling bisa dipasarkan secara domestik maupun internasional.

“Dibandingkan dengan komoditas lain, memang rumput laut ini yang paling menjanjikan. Makanya sebagian besar produksi dari marikultur atau budidaya (perikanan) disumbang dari rumput laut,” ujar Slamet.

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Selain bisa bersaing di pasar internasional, pemilihan rumput laut sebagai komoditas utama budidaya perikanan karena berbiaya murah dan mudah untuk dikembangkan oleh siapapun.

“Yang paling penting, dari rumput laut ini, adalah dalam pengembangannya bisa menyerap tenaga kerja, terutama mereka yang tinggal di kawasan pesisir pantai. Dengan demikian, rumput laut akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pada akhirnya,” tuturnya.

Berdasarkan data Dirjen Budidaya Perikanan KKP, produksi rumput laut pada 2013 mencapai 930.000 ton. Dari jumlah tersebut, 176.000 ton kering diekspor dengan nilai mencapai USD162,4 juta, sedangkan rumput laut yang diolah jumlahnya 120.000 ton kering.

Zonasi Pantai untuk Budidaya Rumput Laut

Mengingat rumput laut saat ini menjadi komoditas andalan dalam pengembangan budidaya perikanan, KKP perlu menata zonasi di berbagai daerah dengan batasan hingga 4 mil dari garis pantai.

“Rumput laut ini zonasinya 4 mil. Sementara yang zonasi di atas 4 mil bisa dikembangkan untuk komoditas yang lain dan disesuai dengan daerah masing-masing. Misalnya, ada yang mengembangkan kakap, kerapu, bawal bintang, abalone, atau tuna,” papar Slamet.

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) KKP Achmad Poernomo juga menilai sama bahwa penataan zonasi pantai mutlak agar  pembudidayaan rumput laut akan lebih terjamin keamanannya, sehingga bisa tumbuh dengan baik. Bila zonasi tidak diatur, budidaya rumput laut di lepas pantai bisa terancam keberlangsungannya.

“Kalau ada zonasi, maka itu dijamin tidak ada aktivitas lain selain rumput laut saja. Namun, kalau tidak ditata zonasi, maka bisa saja beberapa meter dari lokasi budidaya rumput laut, ada aktivitas budidaya perikanan lain atau bahkan aktivitas lain di luar budidaya perikanan,” jelasnya.

Kesibukan petani rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Kesibukan petani rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Achmad mengungkapkan, perlunya dilakukan penataan zonasi karena itu bisa memicu perbaikan kualitas dan peningkatan produksi. Pasalnya, dengan kondisi sekarang saja, kata dia, rumput laut dari Indonesia produksinya sudah bisa mengalahkan Filipina yang sejak lama dikenal sebagai produsen rumput laut dunia.

“Selain zonasi, yang harus dilakukan oleh para petani adalah bagaimana memilih bibit unggul dan mengatasi penyakit ice-ice yang masih menyerang di sejumlah tempat budidaya. Selain itu juga, sekarang Pemerintah harus bisa menentukan output secondary dari rumput laut ini,” tandasnya.

Output secondary dimaksudkan rumput laut saat ini tidak hanya untuk menyuplai kebutuhan produksi agar-agar saja, tetapi juga menyuplai kebutuhan produksi farmasi, dan atau kosmetik.

“Yang paling utama adalah bagaimana sekarang petani bisa bersabar hingga 45 hari menunggu rumput laut siap dipanen. Jika tidak, maka itu akan mengancam kualitasnya dan kandungan agarnya menjadi berkurang,” ucap Achmad.

Saat ini, potensi lahan marikultur yang bisa digunakan untuk  budidaya perikanan mencapai 4,58 juta hektare yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena rumput laut menjadi prioritas, sebagian besar dari lahan tersebut bisa digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut.

Untuk rumput laut sendiri, KKP saat ini memiliki sentra penelitian dan pengembangan di Boalemo, Gorontalo. Menurut Achmad, untuk sentra produksinya, saat ini tersebar sepanjang garis pantai dari Boalemo hingga ke Teluk Tomini di Sulawesi Tenggara.

Daya Serap Masih Sedikit

Meski menjadi prioritas oleh Pemerintah, namun kenyataannya saat ini daya serap rumput laut untuk industri di Indonesia masih sedikit. Namun, itu terjadi karena industri di Indonesia yang menggunakan bahan baku rumput laut masih sangat sedikit.

“Kebutuhan pasar nasional rumput laut bisa dipenuhi karena memang industrinya masih sedikit. Sementara, produksinya sangat besar karena Indonesia sudah dikenal sebagai salah satu negara penghasil rumput laut di dunia,” ungkap Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis.

Karena belum banyak terserap, Safari berpendapat kalau rumput laut harus bisa diberdayakan sebaik mungkin, termasuk dengan mengekspor ke negara lain.

 

 


Perlu Penataan Zonasi Pantai Dalam Budidaya Rumput Laut was first posted on June 15, 2015 at 3:38 am.

Polres Minahasa Utara Gagalkan Perdagangan Penyu Hijau. Bagaimana Ceritanya?

$
0
0

Polres Minahasa Utara (Minut), Sulawesi Utara, menggagalkan aksi perdagangan penyu hijau (Chelonia mydas), pada Sabtu (13/6/2015). Satwa ini ditemukan dalam kondisi menderita luka robek karena kedua sirip depan diikat dengan tali nilon. Setelah menjalani perawatan di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), penyu hijau ini kemudian dilepaskan ke laut.

Kejadian ini bermula ketika tim gabungan Polres Minahasa Utara melakukan Operasi Cipta Kondisi di depan Kantor Polisi Polres Minut. Operasi ini sebenarnya bertujuan memeriksa dan menertibkan kelengkapan surat kendaraan bermotor serta merazia barang-barang kepemilikan ilegal dan senjata tajam.

“Saat sedang melakukan pemeriksaan, kami mencurigai sebuah mobil yang setelah diperiksa ternyata bermuatan seekor penyu hijau di bagian bagasi belakangnya. Ini adalah kasus perdagangan satwa pertama yang berhasil kami gagalkan,” ujar Kapolres Minut AKBP Eko Irianto, SIK.

Barang bukti seekor penyu hijau (Chelonia mydas) yang diamankan oleh tim gabungan Polres Minahasa Utara, Sulawesi Utara,  saat operasi Cipta Kondisi Sabtu malam (13/06/2015). Foto : PPST

Barang bukti seekor penyu hijau (Chelonia mydas) yang diamankan oleh tim gabungan Polres Minahasa Utara, Sulawesi Utara, saat operasi Cipta Kondisi Sabtu malam (13/06/2015). Foto : PPST

Berdasarkan penuturan Eko Irianto, penyu hijau tersebut dibeli oleh pelaku, yang berinisial SB, dari nelayan di desa Batu Lubang, pulau Lembeh. Saat ini, SB dikenai wajib lapor oleh aparat kepolisian. Penyu Hijau yang beratnya diperkirakan nyaris 100 Kg ini akan dijual dengan harga Rp. 350.000 ke daerah Wori sebagai hidangan untuk perayaan pengucapan (semacam thanks giving).

Setelah mengetahui penyu hijau adalah satwa langka yang dilindungi, petugas segera membawanya ke PPST dengan menggunakan mobil pelaku. Di PPST, reptil yang dalam daftar merah IUCN dikategorikan terancam punah (endangered) mendapat perawatan, sebelum dilepaskan kembali ke laut.

Setelah mendapatkan perawatan dan menginap semalam di PPST untuk diberi pengobatan, penyu tersebut akhirnya dilepaskan kembali ke laut lepas pada Senin pagi (14/6/2015). “Saat tiba di PPST penyu hijau dalam keadaan stres. Kami memberi antiseptik untuk membersihkan luka agar tidak infeksi,” kata Billy Gustafianto, staff Information and Education PPST, pada Senin (14/6/2015).

Billy mengatakan, pihaknya sudah banyak menerima laporan terkait perdagangan dan perburuan satwa di Sulut. Namun, hanya beberapa saja yang berhasil dijaring. Melalui kasus ini, ia berharap, aparat kepolisian dapat mengembangkan dan memberi sanksi tegas kepada pelakunya. “Selama ini, penegakan hukum terkait perdagangan satwa sebatas satwa ditahan pelakunya dilepas. Lebih baik lagi bila ada sanksi tegas.”

Penyu hijau adalah jenis yang paling sering diperdagangkan dagingnya untuk dikonsumsi. Pelindung tubuh penyu hijau digunakan sebagai hiasan, sementara telur penyu diyakini memiliki protein dan dapat menjadi obat.

“Semua jenis penyu laut di Indonesia telah dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Ini berarti segala bentuk perdagangan penyu baik dalam keadaan hidup, mati maupun bagian tubuhnya itu dilarang.”

“Menurut Undang Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu itu bisa dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta,” tambah Billy.

Perdagangan penyu di tingkat internasional untuk tujuan komersil juga dilarang. Sebab, semua jenis penyu laut telah dimasukan dalam appendix I , sesuai ketetapan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna).

Penyu hijau adalah satu dari tujuh jenis penyu di dunia, enam di antaranya terdapat di Indonesia. Mereka terdiri dari penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys imbricata olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta).

Menurut catatan WWF, diperkirakan 100.000 ekor penyu hijau dibunuh di kepulauan Indo-Australia. Satwa ini terancam oleh tiga faktor, yaitu hilang dan rusaknya habitat. Pembangunan yang tidak terkendali menyebabkan rusaknya pantai yang penting bagi penyu hijau bertelur.

“Demikian juga habitat tempat penyu hijau mencari makan, seperti terumbu karang dan hamparan lamun laut terus mengalami kerusakan akbiat sedimentasi ataupun pengrusakan oleh manusia,” dikutip dari laman WWF.

Faktor kedua adalah pengambilan secara langsung. Para peneliti memperkirakan setiap tahun sekitar 30.000 penyu hijau ditangkap di Baja, California dan lebih dari 50.000 penyu laut dibunuh di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Bali dan di pasifik selatan. Di banyak negara, anak-anak penyu laut ditangkap, diawetkan dan dijual sebagai cendera mata kepada wisatawan.

Selain dua faktor tadi, penyu hijau juga terancam oleh pengambilan secara tidak langsung. Setiap tahun, diperkirakan ribuan penyu hijau terperangkap dalam jaring penangkap. Penyu laut merupakan reptil dan mereka bernafas dengan paru-paru, sehingga saat mereka gagal untuk mencapai permukaan laut, mereka mati karena tenggelam.

 


Polres Minahasa Utara Gagalkan Perdagangan Penyu Hijau. Bagaimana Ceritanya? was first posted on June 16, 2015 at 2:12 am.

Sudah Saatnya Nelayan dan Pembudidaya Ikan Peroleh Kesejahteraaan

$
0
0

Keterpurukan nasib nelayan tradisional di Indonesia mulai mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat, dengan dibuatnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan. Saat ini, RUU itu masuk tahap pembahasan Komisi IV DPR RI.

Dalam pembahasan yang dilaksanakan pada Senin (15/6/2015) di Gedung DPR RI, Jakarta, Komisi IV mendengarkan masukan dari sejumlah ahli di bidang kelautan dan perikanan dari berbagai perguruan tinggi negeri terkemuka, untuk referensi pembahasan RUU nantinya.

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Menurut Wakil Ketua Komisi IV Herman Kheron, permasalahan yang dialami nelayan dan pembudidaya ikan sejak lama hingga sekarang belum juga teratasi. Padahal, profesi nelayan dan pembudidaya ikan sebenarnya profesi yang tidak bisa dihilangkan sampai kapan pun.

“Kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan menjadi tantangan yang harus diwujudkan oleh kami. Melalui RUU ini diharapkan tantangan tersebut bisa terwujud,” ucap Herman di Gedung Komisi IV.

Dia mengatakan, dengan kehadiran RUU tersebut, nelayan dan pembudidaya ikan yang selama ini merasa nasibnya tidak diperhatikan, bisa bernafas lega. Karena, dalam RUU akan dibahas tuntas setiap permasalahan yang ada dalam profesi tersebut dari mulai hulu hingga hilir.

“Mudah-mudahan saja RUU ini biisa menjadi jawaban untuk mereka (nelayan dan pembudidaya ikan),” tuturnya.

Untuk bisa mendapatkan jawaban yang diinginkan, Komisi IV mendatangkan para pakar perikanan dan kelautan dari PTN terkemuka. Menurut Herman, langkah tersebut diharapkan bisa membongkar masalah yang biasa dialami nelayan dan pembudidaya ikan.

Dengan diundangnya para pakar, Komisi IV juga berharap tidak ada pertentangan dengan Badan Keamanan dan Kelautan yang ada saat ini dan sudah diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

“Kami berharap RUU ini sudah bisa masuk prolegnas 2015 dan bisa dirampungkan pada tahun ini juga,” tandas Herman.

Permudah Akses

Pakar Kelautan yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Rokhimin Dakhuri, berpendapat, jika ingin para nelayan dan pembudidaya ikan mendapatkan kesejahteraan, maka Pemerintah harus meningkatkan perhatian kepada mereka. Terutama, dengan memberi kemudahan akses kepada nelayan dan pembudidaya ikan.

“Nelayan dan pembudidaya ikan itu jangan hanya dianggap sebagai potensi ekonomi saja, tapi anggap juga mereka sebagai sumber kehidupan. Kalau sudah demikian, akan bisa memahami lebih dalam lagi profesi tersebut,” ungkap Rokhmin.

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Selain memanusiakan nelayan dan pembudidaya ikan, pria asli Cirebon, Jawa Barat itu juga meminta Pemerintah untuk memperhatikan teknologi informasi untuk profesi tersebut. Hal itu dimaksudkan, agar profesi tersebut bisa bersaing lebih baik lagi dengan profesi lain yang sudah lebih dulu maju dan berkembang.

Pemerintah diharapkan menjamin keberlangsungan profesi nelayan dan pembudidaya ikan dengan menjamin lahan profesi mereka. Caranya, dengan mencegah konversi lahan menjadi industri lain dan membiarkannya tetap sebagai lahan untuk kelautan dan perikanan.

“Pemerintah juga harus memperhatikan kelestarian kawasan perikanan dan kelautan dan memastikan itu bisa terus terjaga hingga kapan pun. Karena, dengan menjaga kelestarian, maka itu akan menjaga keberlangsungan sumber daya laut yang ada,” mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu.

Sementara menurut Kamiso Handoyo, Guru Besar Fakultas Perikanan UGM, nasib nelayan dan pembudidaya ikan saat ini terus terpuruk karena perhatian dari Pemerintah masih minim. Salah satunya, belum adanya sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

“Padahal, jika ingin menjadi negara maritim yang kuat, maka nelayan dan pembudidaya ikan harus diperhatikan. Kesejahteraan mereka harus diperhatikan dengan diberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan,” ucap Kamiso.

Salah satu sarana yang harus diberikan itu, kata dia, adalah dengan diberikannya akses perbankan. Dengan diberikannya akses tersebut, nelayan dan pembudidaya ikan bisa mengembangkan usahanya lebih baik lagi.

“Ingat, yang baik itu jangan diberi umpan, tapi berikan saja kailnya. Artinya, nelayan jangan diberi fasilitas alat tangkap dan lain-lain, tapi berikan saja aksesnya. Dengan begitu mereka akan memutar otaknya untuk bisa berkembang dan mandiri,” cetusnya.

Asuransi Nelayan

Berbeda dengan Rokhimin dan Kamiso, menurut Yusran Nur Indar, Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanudin, Makassar, profesi nelayan dan pembudidaya ikan itu merupakan profesi mulai yang penuh resiko. Karenanya, harus ada perlindungan asuransi untuk mereka.

“Siapa yang bisa tahu nasib nelayan di tengah laut atau pembudidaya ikan juga saat sedang bekerja. Makanya, perlindungan asuransi itu penting diberikan. Termasuk juga perlindungan untuk alat yang digunakan mereka bekerja,” paparnya.

Selain asuransi, menurut Yusran, harus ada juga jaminan kepada nelayan dan pembudidaya ikan saat sedang memasuki masa paceklik. Biasanya, untuk nelayan masa tersebut dalam setahun bisa berlangsung lama antara 3 sampai 4 bulan.

Sementara menurut Nimmi Zulbainarni, Dosen PSP-FPIK IPB, perlindungan nelayan dan pembudidaya ikan mutlak harus diberikan oleh Pemerintah dan seluruh stakeholder terkait, karena profesi tersebut memang mengandung resiko tinggi.

“Namun bagi saya, adalah bagaimana mereka dibekali agar bisa bersaing dengan nelayan lain yang lebih maju dan modern. Semoga saja dalam RUU ini akan dibahas juga tentang hal tersebut,” pungkasnya.


Sudah Saatnya Nelayan dan Pembudidaya Ikan Peroleh Kesejahteraaan was first posted on June 16, 2015 at 2:30 am.

Pemkab Tanah Datar Gamang menetapkan Hutan Adat

$
0
0

Walau telah ada peluang kebijakan dan peraturan untuk menetapkan wilayah adat, namun Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Tanah Datar, Sumatera Barat masih gamang menggunakan kebijakan tersebut, mengingat belum adanya mekanisme penetapannya.

Kegamangan itu terlihat dengan belum adanya kebijakan yang mengatur tata cara pengakuan masyarakat hukum adat dan proses penetapan wilayah adatnya. Jika kebijakan dipaksakan dibuat melalui Surat Keputusan Bupati atau Peraturan Daerah, ditakutkan berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi, sehingga keinginan masyarakat tidak terakomodir. Untuk itu pemerintah semestinya menerbitkan tata cara implementasi penetapan wilayah adat dan pengakuan masyarakat hukum adat di daerah.

 

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Desriko

 

M. Riza Fahlefy dari Bagian Hukum Pemkab Tanah Datar, kepada Mongabay pada Kamis (11/06/2015) mengatakan dalam hal penetapan wilayah adat telah dimulai dari Masyarakat Hukum Adat Malalo Tigo Jurai, dimana kelompok ini telah mempersiapkan kebutuhan dilapangan untuk penetapan wilayah adat mereka.

Pemkab Tanah datar sering melakukan diskusi bersama masyarakat guna mendorong percepatan penetapan wilayah adat masyarakat melalui regulasi yang tersedia.

“Masyarakat menginginkan penetapan wilayah adat mereka. Secara administrasi wilayah adat yang sudah dipetakan oleh masyarakat berada di dua kabupaten dan pengelolaannya nanti mencangkup dua nagari/desa, maka peranan pemerintahan propinsi menjadi penentu guna mewujudkan harapan masyarakat ini,” tegasnya.

Pemkab Tanah Datar sendiri telah memiliki Perda No.4/2008 tentang Nagari, yang menegaskan bahwa Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, sehingga masyarakat akan lebih mudah mengurus penetapan wilayah adatnya.

Sedangkan Mora Dingin, Direktur Perkumpulan Qbar, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 merupakan pintu masuk untuk memulihkan kembali hak masyarakat adat atas hutannya, yang berimplikasi pada terjaminnya kesejahteraan sosial dan mengembalikan jaminan kekayaan alam milik mereka.

Hutan adat bagi masyarakat hukum adat menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat warisan bagi generasi berikutnya. Hutan sejak dulu telah menjadi sumber kekayaan alam dan keanekaragaman hayati masyarakat yang mereka rawat dan jaga.

“Negara harus menjamin kepastian hak masyarakat hukum adat atas hutan. Untuk itu keberadaan masyarakat hukum adat masih memerlukan perangkat hukum di daerah, baik melalui Peraturan Daerah maupun melalui Surat Keputusan Kepala Daerah. Pemerintah Daerah perlu menetapkan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum melalui Perda dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah menjadi elemen utama untuk penetapan hutan adat,” ucapnya saat diwawancarai Mongabay di Padang pada Kamis (11/6/2015).

Mora mengingatkan perlu sinergitas antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Masyarakat Hukum Adat untuk menata dan menginventarisasi kembali hutan adat masyarakat agar pemaknaan dari Putusan MK No.35/2012 dapat diterapkan bukan sebatas norma teks yang tertulis.

Di banyak tempat, masyarakat hukum adat telah diakui keberadaan melalui Perda atau SK Kepala Daerah, misalnya Perda Kabupaten Morowali No.13/2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Tau Taa Wana, SK Bupati Luwu Utara No.300/2004 tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko. Bahkan di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci, Jambi, hutan adat telah diakui secara jelas keberadaannya.

Pengakuan tersebut mempermudah proses penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sehingga, daerah lain perlu didorong untuk menetapkan masyarakat hukum adat, untuk memperlancar proses hukum penetapan hutan adat.

 

Salah seorang warga yang bermukim di kawasan hutan, lokasi ini dahulunya merupakan perkampungan padat penduduk, namun kini banyak penduduknya pindah ke pinggiran Danau Singkarak atau merantau. Foto: Riko Coubut

Salah seorang warga yang bermukim di kawasan hutan, lokasi ini dahulunya merupakan perkampungan padat penduduk, namun kini banyak penduduknya pindah ke pinggiran Danau Singkarak atau merantau. Foto: Desriko

 

Telah banyak muncul inisiasi untuk mengimplementasikan hutan adat diberbagai tempat, misalnya Kabupaten Aceh Barat dan Pidie di Nanggroe Aceh Darussalam; Kabupaten Merangin di Jambi; Kabupaten Lebong di Bengkulu; Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman Kabupaten Mentawai di Sumatera Barat; Kabupaten Lebak Banten, Kabupaten Sekadau di Kalimantan Barat; Kabupaten Paser di Kalimantan Timur; Kabupaten Bulukumba dan Luwu Utara di Sulawesi Selatan; Kabupaten Sigi dan Morowali di Sulawesi Tengah.

Kabupaten Tanah Datar sebagai Luhak Nan Tuo (negeri asal-muasal) di Minangkabau harus mampu menjadi terdepan dalam membuat pengakuan terhadap masyarakat hukum adat maupun penetapan hutan adanya.

Pemkab Tanah Datar masih ragu-ragu, meski ada Undang-Undang  No.6/2014 tentang Desa untuk mengatur desa adat, Permendagri No.52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang menyebutkan penetapan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati.

Kebijakan lain yang bisa dipakai seperti  Peraturan Bersama Tiga Menteri tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam kawasan hutan, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No.9/2015 tentang Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, dan Permendes No.1/2015 tentang Hak Asal Usul Desa.

Masyarakat Malalo berharap percepatan penetapan hutan adat mereka. Pasalnya segala bentuk persiapan sudah dilakukan oleh masyarakat, mulai dari menyiapkan peta wilayah adatnya, membangun kesepahaman dengan para ninik mama di Malalo dan sebagainya.

Can Amalo, tokoh masyarakat Malalo berharap pemerintah tidak perlu ragu-ragu untuk mengeluarkan peraturan mengenai penetapan hutan adat Malalo. Masyarakat sebagai pemilik ulayat akan siap untuk membantu pemerintah jika di kemudian hari peraturan itu dipermasalahkan, seperti mendatangi Kementerian Dalam Negeri.

 

Peta Indikatif Wilayah Adat Malalo hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat Malalo. Sumber: Siriah Sumbar

Peta Indikatif Wilayah Adat Malalo hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat Malalo. Sumber: Siriah Sumbar

“Kami telah mengelola hutan sejak dahulunya, sejak negara ini belum merdeka. Untuk sekarang kami tidak bisa memanfaatkan hutan itu kembali sebab kami bisa ditangkap oleh pihak kepolisian jika tetap mengusahakannya,” tegasnya.

Berbagai aturan adat yang berlaku di Malalo, seperti setiap pasangan yang hendak menikah di Malalo, wajib menanam 60 pohon yang kayunya untuk membangun rumah. Juga terdapat sanksi hukuman ringan bagi anak-kemenakan yaitu menanam ratusan pohon di sepanjang aliran sungai. Warga boleh menebang kayu di hutan untuk mendirikan rumah, tetapi menggantinya dan dilarang menebang kayu minimal 100 meter dari bantaran sungai.

 


Pemkab Tanah Datar Gamang menetapkan Hutan Adat was first posted on June 17, 2015 at 1:00 am.

Petambak Dipasena Minta Udang dari Pengusaha Tidak Dijual Bebas

$
0
0

Penolakan kasasi 185 petambak eks Dipasena, Lampung oleh Mahkamah Agung (MA) langsung direspon cepat oleh para petambak. Selama dua hari, Senin dan Selasa (15-16/06/2015), para petambak menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta, sebagai bentuk keprihatinan sekaligus protes apa yang terjadi.

Dalam aksinya yang digelar di sejumlah tempat, para petambak yang berjumlah puluhan orang melakukan aksi simpatik dengan membentangkan spanduk berisi keprihatinan mereka atas kasus Dipasena yang terjadi hingga sekarang. Menurut para petambak, aksi dilakukan karena perjuangan mereka belum berhasil.

Udang hasil tambak warga Gresik, Jatim, mati terkena limbah  smelter. Foto : Petrus Riski

Udang hasil tambak warga Gresik, Jatim, mati terkena limbah smelter. Foto : Petrus Riski

Putusan penolakan kasasi, menjadi bukti kuat bahwa kasus Dipasena hanya menguap begitu saja. Hal itu dirasakan sendiri oleh Apriyanto, petambak sekaligus kepala kampung Dipasena, yang memilih ikut bersama rombongan ke Jakarta.

“Pemerintah seharusnya dapat membuat aturan terhadap perusahaan-perusahaan, seperti PT Central Proteinaprima agar tidak diperbolehkan menjual udangnya di pasaran lokal. Sehingga harga dan pasokan di pasaran lokal dapat lebih stabil,” ungkapnya.

Padahal dengan tetap membiarkan perusahaan tersebut menjual udangnya di pasaran lokal, harga jual udang terus mengalami penurunan. Akibatnya, para petambak terus menderita kerugian besar dan itu diperparah dengan mewabahnya penyakit (white faeces disease/WFD) yang melanda tambak udang di Dipasena.

“Sekarang tempat penyimpanan berpendingin (cold storage) lokal dipenuhi oleh udang PT Central Proteinaprima, seharusnya perusahaan licik seperti mereka ditutup saja kalau tidak mampu menjual udangnya keluar negeri secara langsung,” jelas Apriyanto.

Karena kondisi tersebut, dia mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera mengeluarkan sikap atas kejadian yang terus berlangsung di Dipasena. Terutama, bagaimana agar penyakit WFD bisa segera diatasi dan harga jual udang bisa kembali pulih.

Mereka menunggu perhatian pemerintah karena komoditas udang adalah komoditas ekspor unggulan untuk sektor perikanan, dengan rasio untuk ekspor yang lebih tinggi dibanding untuk konsumsi lokal.

Dugaan Kerugian Negara Rp19,5 triliun

Selain menggelar aksi unjuk rasa, para petambak merespon putusan MA yang menolak kasasi 185 petambak Dipasena dengan melaporkan temuan dugaan praktek korupsi hingga merugikan keuangan negara sebesar Rp19,5 triliun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dugaan penyelewangan itu terjadi pada aksi penjualan PT Dipasena Grup kepada PT Charoen Popkhand Tbk, perusahaan dari Thailand.

Penjualan aset perusahaan tersebut, dilakukan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada 2007 melalui konsorsium Neptune sebagai pemenang tender “jual putus” aset milik negara tersebut. Selain laporan tersebut, para petambak juga pada saat yang sama melaporkan dugaan penggelapan pengelolaan dana APBN subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap 3000 petambak Dipasena periode 2009-2010 yang disalurkan melalui dua bank, BRI dan BNI.

Arie Suharso, dari Perhimpunan Petambak Pengusaha Udang Wilayah (P3UW) mengatakan, dugaan penyelewengan dana yang terjadi dalam pengelolaan Dipanena, menjadi catatan penting yang harus diketahui oleh publik. Menurutnya, kasus tersebut harus segera diungkap hingga diketahui siapa orang yang bersalah di balik kasus tersebut.

Sebagai aset negara yang bernilai besar, Bumi Dipasena menjadi proyek penting dalam sektor perikanan budidaya nasional. Hal itu, karena areal pertambakan tersebut menjadi yang terluas di Asia Tenggara.

Intervensi Pemerintah

Sementara menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, pihaknya saat ini tidak bisa ikut campur tangan terlalu jauh, karena kasus Bumi Dipasena merupakan kasus hukum.

“Kita waktu itu (sempat) fasilitasi. Hanya ini masalah hukum jadi kita tidak bisa banyak intervensi,” ucap Slamet menyebut kunjungan yang pernah dilakukan Menteri KP Susi Pudjiastuti ke Dipasena pada tiga bulan lalu.

Slamet melanjutkan, bentuk keterlibatan KKP di areal tambak Bumi Dipasena adalah murni untuk pengembangan produksi udang. Untuk tahun ini, pihaknya sudah mengalokasikan anggaran untuk produksi udang dan dikerjasamakan dengan kelompok kerja di Dipasena.

“Kita inginnya udang windu bisa masuk kesana. Budidaya disana tidak bisa dilakukan secara intensif dengan kondisi sekarang. Kita akan menebar 80 ekor udang per meter. Itu yang kita sebut dengan budidaya udang berkelanjutan,” paparnya.

Pemilihan udang windu untuk dibudidayakan di Dipasena, dilakukan karena KKP melihat potensi udang windu saat ini ada. Selain itu, kata Slamet, pihaknya juga ingin memperkenalkan budidaya udang windu kepada para petambak yang ada di Dipasena.

“Pokoknya untuk kasus hukumnya kita tidak ikut campur. Kita hanya berusaha mengembalikan sentra produksinya saja. Makanya, kita juga mengusahakan untuk difungsikan kembali sarana dan prasarana yang ada saat ini,” jelasnya.

“Untuk pakan, nantinya akan dikelola langsung oleh PT CP Prima dengan menggunakan campuran probiotik, grigarin. Pakan tersebut ada penawarnya juga. Saya kira itu merupakan inovasi. Jadi perlu kita dukung,” tandasnya.

Untuk kekurangan fasilitas lain seperti aliran listrik, Slamet mengaku sudah mengusulkan pada 28 Mei lalu kepada Kementerian ESDM untuk segera dipasang.


Petambak Dipasena Minta Udang dari Pengusaha Tidak Dijual Bebas was first posted on June 17, 2015 at 3:00 am.

Hindari Tengkulak, Warga Ini Jualan Produk Hasil Lautnya Lewat Online

$
0
0

Nurhayati tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Senyum lebar mengembang di wajahnya yang terlihat letih. Belum beberapa jam ia memajang produk kelompok usahanya, berupa ikan bandeng cabut duri di sebuah toko online yang cukup popular di Indonesia, ia telah mendapatkan tawaran pembelian.

“Alhamdulillah sudah ada penawaran 100 ekor bandeng cabut duri. Terima kasih Oxfam yang sudah memfasilitasi kegiatan pelatihan ini,” tulisnya pada statusnya di facebook.

Hal serupa dirasakan Daeng Rani. Hanya beberapa menit setelah memasang iklan penjualan rumput laut kering, ia telah mendapatkan tawaran pembelian sebanyak 1 ton. Ia segera membalas penawaran itu di akun toko online yang baru saja dibuatnya.

“Wah sudah ada tawaran pembelian satu ton. Cepat sekali ya,” katanya setengah berteriak. Ia tak menyangka respon pembeli begitu cepat, padahal sebelumnya ia pesimis. Lapak penjualan rumput laut yang dibuatnya bahkan masih berupa uji coba pelatihan.

 

Untuk meluaskan pemasaran produknya, para ibu -dari kelompok pesisir dari empat kabupaten di Sulsel binaan program RCL Oxfam ini antusias memanfaatkan toko online sebagai sarana pemasaran, meski dengan keterbatasan pengetahuan internet. Foto : Wahyu Chandra

Untuk meluaskan pemasaran produknya, para ibu -dari kelompok pesisir dari empat kabupaten di Sulsel binaan program RCL Oxfam ini antusias memanfaatkan toko online sebagai sarana pemasaran, meski dengan keterbatasan pengetahuan internet. Foto : Wahyu Chandra

 

Daeng Rani mengakui tidak pernah membayangkan sebelumnya jika penjualan melalu toko online tenyata sangat sederhana dan mudah dilakukan tanpa harus memiliki pengetahuan internet yang luas.

Pengalaman Nurhayati dan Daeng Rani ini dialami ketika mereka mengikuti pelatihan marketing  online yang dilaksanakan oleh Oxfam melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL),  pada 10-12 Juni 2015, di Hotel M Regency, Makassar, Sulawesi Selatan.

Kegiatan ini diikuti 18 peserta yang berasal dari anggota kelompok usaha pesisir binaan program RCL Oxfam di empat kabupaten di Sulsel, yaitu Takalar, Barru, Maros dan Pangkep. Jenis usaha mereka bermacam-macam, mulai dari usaha rumput laut, produk makanan olahan hasil laut, seperti keripik kepiting, nuget ikan bandeng, sirup rumput laut, ikan bandeng cabut duri dari tambak organik, pertanian organik dan beragam makanan dan minuman olahan dari hasil laut dan pesisir.

Tidak hanya diberikan materi, para peserta di hari ketiga bahkan diajari cara pendaftaran sebagai penjual di berbagai laman toko online. Akun penjualan dari simulasi ini bahkan diarahkan bisa menjadi akun kelompok, yang bisa digunakan para peserta secara berkelanjutan setelah pelatihan.

Menurut Alauddin Latief, Media Officer RCL Oxfam, kegiatan ini bertujuan untuk mendukung pemasaran kelompok usaha yang dalam lima tahun terakhir telah didampingi Oxfam. Selama ini penjualan mereka terbatas dengan kemasan yang sederhana dan distribusi yang terbatas hanya sekitar desa saja.

“Kita lihat ada potensi besar dari kelompok-kelompok usaha ini. Kualitas produk mereka juga semakin baik, sehingga kami cukup yakin ini bisa dijual secara luas melalui pasar online,” ungkap Alauddin.

Untuk pasar rumput laut, Alauddin berharap dengan semakin terbukanya pasar rumput laut ini akan memutus mata rantai tengkulak di daerah yang masih sering ditemukan di daerah pesisir. Petani rumput laut diharapkan bisa mendapatkan selisih keuntungan yang lebih besar karena tidak melalui perantara lagi dan terbebas dari cengkeraman utang pada tengkulak.

“Kalau mereka mendapatkan pasar langsung tanpa perantara, harganya tentu akan lebih baik. Selama ini kan pembelinya bertingkat dari petani ke pedagang kecil sebagai pengumpul yang lalu dijual ke pedagang besar. Melalui pemasaran online bisa langsung. Petani pun tidak lagi harus dirugikan oleh fluktuasi harga yang kadang sangat merugikan,” katanya.

Hal yang menarik dari pelatihan ini adalah para peserta, yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, hanya memiliki pengetahuan internet yang terbatas. Tapi ternyata mereka tetap antusias mengikuti dengan baik pelatihan itu. Sebagian besar mereka selama ini hanya aktif di facebook melalui handphone. Bahkan untuk membuat email sebagai syarat bergabung di pasar online, peserta harus mendapat bimbingan khusus.

Faisal, salah satu narasumber, menjelaskan bahwa meski toko online memiliki prospek untuk pemasaran produk namun prinsip kehati-hatian harus selalu diutamakan.

“Memang ada juga biasa yang nakal yang berpura-pura sebagai pembeli ataupun penjual namun niatnya adalah penipuan. Harus selalu dipegang prinsip kehati-hatian,” katanya.

Menurut Alauddin, salah satu kendala pemasaran produk selama ini pada kemasan yang tidak menarik dan tak tahan lama, sehingga ia berharap ketika produk kelompok usaha, khususnya untuk makanan olahan dari hasil laut, ingin dipasarkan secara online harus benar-benar sudah diperbaiki dan dipercantik bentuknya.

“Meski produknya bagus tapi jika tak dikemas dengan baik maka tak akan menarik banyak pembeli. Kita akan membantu dalam hal kemasan sebagai branding. Tapi kita takkan sekedar membantu tetapi juga tetap memperhatikan keberlanjutan. Ketika Oxfam tidak membantu lagi, kita berharap warga bisa tetap eksis,” jelasnya.

Nurhayati berharap dengan pengetahuan baru dari pelatihan ini bisa memperluas pasar produk mereka. Selama ini beberapa produk makanan olahan milik kelompoknya terbatas dijual di desa atau dititipkan di gerai milik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep di Patampa, Kecamatan Bungoro. Ini membuat produk mereka terbatas. Untuk penjualan ikan bandeng cabut duri, misalnya, paling mereka hanya bisa menjual 30 ekor per minggunya.

“Tadi meski baru uji coba bisa langsung dapat pesanan hingga 100 ekor. Semoga ini bisa menjadi penyemangat bagi anggota kelompok untuk memproduksi lebih banyak lagi.”

 

Rumput lau menjadi salah satu produk andalan masyarakat pesisir, yang kini dikelola secara lebih serius oleh ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok usaha tani. Kendala utamanya pada harga yang fluktuatif permainan tengkulak. Pemasaran secara online diharapkan bisa menjadi solusi. Foto : Wahyu Chandra

Rumput lau menjadi salah satu produk andalan masyarakat pesisir, yang kini dikelola secara lebih serius oleh ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok usaha tani. Kendala utamanya pada harga yang fluktuatif permainan tengkulak. Pemasaran secara online diharapkan bisa menjadi solusi. Foto : Wahyu Chandra

 

Optimisme juga dirasakan oleh Rabbasiah Nutta, peserta dari Kepulauan Tanakeke Kabupaten Takalar. Ia berharap dengan adanya fasilitas penjualan online ini bisa menghidupkan kembali berbagai usaha olahan laut di desanya yang sempat dihentikan karena kurangnya pembeli.

“Selama ini usaha makanan olahan sulit berkembang karena pembeli yang terbatas. Itulah kemudian sebabnya kami fokus ke budidaya rumput laut saja. Kalau melihat sekarang ternyata ada pasar online, semoga bisa dihidupkan kembali usaha yang sempat mati suri itu,” katanya.

Hanya saja, tantangan yang dihadapi di desanya adalah akses internet yang terbatas. Meskipun telah ada menara BTS di desanya namun untuk akses internet biasanya membutuhkan waktu lama.

“Di kampung kami jauh di kepulauan meski sudah ada tower di Desa Baladatu namun aksesnya sangat lambat. Untuk membuka facebook saja butuh waktu lama, apalagi untuk buka website. Tapi kita akan carikan solusi,” katanya.

Optimisme juga dirasakan oleh Salmiah, peserta dari Kabupaten Barru. Ia malah bercita-cita untuk bisa segera membagi ilmu pemasaran online ini bagi warga lain di desanya.

“Ada banyak produk yang bisa dijual di desa. Semoga pengetahuan dari pelatihan ini bisa mendukung usaha kelompok usaha tani di desa,” katanya.

Usaha kue bolu, salah satu makanan khas lokal masyarakat Bugis, yang dikembangkan Salmiah dan kelompoknya, Kelompok Bahagia, cukup menjanjikan. Dalam sehari ia bisa membuat adonan kue dari bahan 200 kg terigu dengan hasil ribuan buah kue bolu. Pasarnya pun sudah sampai ke daerah lain. Usaha ini bahkan mampu meningkatkan taraf hidup belasan perempuan anggota kelompok.

RCL Oxfam adalah sebuah program peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir di Sulsel, yang dimulai sejak 2010 silam dan akan berakhir pada Agustus 2015 mendatang. Dalam rentang waktu lima tahun ini 100-an kelompok usaha masyarakat pesisir telah dibentuk. Dukungan diberikan melalui bantuan barang (in kind) yang penggunaanya bersifat bergulir.

Kelompok-kelompok ini juga diberikan berbagai pelatihan pengembangan usaha. Salah satu kelompok dampingan RCL yaitu Pita Aksi bahkan telah mendapatkan penghargaan dari Presiden RI pada awal tahun 2015 lalu.

Tidak hanya focus pada usaha-usaha olahan dari hasil laut, program RCL juga mendorong pertanian dan tambak organik. Salah satu hasilnya adalah pada pertengahan April 2015 lalu, Kelompok Makkawaru dari Desa Paopao, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, berhasil panen perdana untuk padi organik, dengan hasil mencapai 7,5 ton per hektar, melebihi jumlah panen pada sawah non-organik.

“Kita berharap produk-produk organik dari binaan Oxfam ini juga bisa kelak dipasarkan secara luas melalui toko online. Apalagi pasar produk organik cukup menjanjikan dan harga yang lebih mahal,” tandas Alauddin.


Hindari Tengkulak, Warga Ini Jualan Produk Hasil Lautnya Lewat Online was first posted on June 18, 2015 at 5:25 am.

Selamatkan Wilayah Laut, DPR RI Bentuk Panja Pencemaran Laut

$
0
0

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak mau berdiam diri mengetahui wilayah laut Indonesia banyak disalahgunakan orang ataupun instansi tertentu. Untuk itu, DPR mengambil sikap dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pencemaran Laut yang disepakati pada Selasa (16/6/2015) melalui Rapat Kerja Komisi IV dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Pembentukan Panja tersebut diharapkan bisa menghentikan aksi penyalahgunaan wilayah laut Indonesia beserta isinya oleh pihak-pihak tertentu. Panja tersebut akan bekerja dengan mencari fakta dan data ke sejumlah daerah yang diduga kuat telah terjadi aksi penyalahgunaan wilayah lautnya.

Kondisi pantai Teluk Penyu di Cilacap, Jateng yang tercemar tumpahan minyak mentah pada Senin (25/05/2015). Warga dan nelayan setempat bergotong-royong membersihkan pantai dengan mengambil tumpahan minyak tersebut. Foto : L Darmawan

Kondisi pantai Teluk Penyu di Cilacap, Jateng yang tercemar tumpahan minyak mentah pada Senin (25/05/2015). Warga dan nelayan setempat bergotong-royong membersihkan pantai dengan mengambil tumpahan minyak tersebut. Foto : L Darmawan

“Jadi semua setuju ya? Dengan ini saya nyatakan Panja resmi terbentuk,” ucap Wakil Ketua Komisi IV Viva Yoga Mauladi saat menutup rapat kerja tersebut di Ruang Pertemuan Komisi IV DPR RI.

Seusai rapat, Viva Yoga mengatakan, pembentukan Panja dilakukan karena pihaknya menerima banyak sekali keluhan terkait kejahatan ataupun penyelewengan yang terjadi di atas laut. Selain itu, pihaknya juga mengevaluasi kinerja KKP dalam enam bulan terakhir.

“Kita ingin memberi yang terbaik untuk bangsa ini. Laut adalah bagian dari bangsa ini. Kalau ada sesuatu tidak beres di laut, maka sudah seharusnya kita semua bergerak,” tutur Viva.

Anggota Komisi IV Daniel Johan menjelaskan, pembentukan panja memang menjadi kebutuhan mendesak yang harus dilakukan segera. Menurutnya, panja bisa menjadi sarana untuk mengungkap apa yang terjadi di lautan Indonesia saat ini dan sebelumnya.

“Kita kan sedang berupaya memberantas illegal fishing dan sekaligus. Maka, lautan Indonesia harus bisa berdaulat dan menjadi tempat yang ramah untuk bangsanya sendiri,” ungkap Daniel.

Selain masalah penegakan hukum, Daniel mengatakan, pembentukan panja juga bisa menjadi langkah yang bagus terkait penyelamatan kelestarian laut. Kata dia, kelestarian laut Indonesia saat ini sudah semakin menurun, salah satunya karena aksi illegal fishing yang sudah terjadi.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Anggota Komisi IV lainnya, Nasir Jamil. Menurut dia, pembentukan panja dilakukan karena pihaknya menerima banyak keluhan, salah satunya adalah kasus bangkrutnya usaha budidaya ikan yang dilakukan seorang pengusaha di Tangerang, Banten.

“Penyebabnya cuma satu, ikan-ikan pada mati karena air sungai tercemar limbah pabrik kertas yang letaknya 8 kilometer dari sentra budidaya. Padahal, sebelum ada pabrik, budidaya menghasilkan keuntungan besar,” jelas dia.

Perbedaan Data Milik KKP dengan Komisi IV

Selain mengesahkan pembentukan Panja Pencemaran Laut, raker juga membahas pagu anggaran tambahan yang diajukan KKP untuk tahun anggaran 2016. Namun, di sela pembahasan tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengajak peserta rapat untuk membahas masalah di laut. Salah satunya, perkembangan tentang perikanan dan kelautan.

Menurut Susi, selama dia memimpin, sudah banyak penegakan hukum yang dilakukan, termasuk dengan menenggelamkan 42 kapal yang melakukan praktek Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing. Selain itu, produksi perikanan juga terus tumbuh seiring pemberantasan IUU Fishing dalam enam bulan terakhir.

Kapal asing berbendera  Malaysia ini  diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto:  Ayat S Karokaro

Kapal asing berbendera Malaysia ini diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto: Ayat S Karokaro

Namun, paparan Susi tersebut mendapat kritikan tajam dari Daniel Johan. Menurut dia, apa yang dipaparkan tersebut berbeda dengan data yang dimilikinya. Padahal, data yang dimiliki Daniel juga diklaim merupakan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan juga asosiasi-asosiasi yang bergerak dalam industri perikanan dan kelautan.

“Tolong dijelaskan kenapa bisa ada perbedaan data. Data yang saya miliki juga berasal dari data resmi,” ucap Daniel dalam rapat.

Seusai rapat, kepada Mongabay Daniel menjelaskan, perbedaan data tersebut patut untuk ditelusuri lebih lanjut. Pasalnya, dia menduga ada permainan data yang dilakukan oleh oknum terkait kondisi faktual perikanan dan kelautan.

“Itu data-data siapa tahu dimanipulasi oleh anak buahnya bu Susi. Jadi, siapa tahu Bu Susi memang benar, tapi anak buahnya yang tidak benar. Ini harus ditelusuri lebih jauh,” tandas dia.

KKP Alokasikan Dana untuk Kesejahteraan Nelayan

Dalam rapat kerja tersebut, dibahas juga tentang usulan penambahan anggaran KKP Tahun Anggaran 2016. Tambahan yang diusullkan itu, dituturkan Susi, besarnya mencapai Rp21,035 triliun. Penambahan tersebut, diklaim termasuk untuk anggaran kesejahteraan nelayan yang ada di seluruh Nusantara.

Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widajaja seusai rapat mengatakan, usulan penambahan anggaran mencakup program pembenahan kesejahteraan nelayan. Besarannya, kata dia, mencapai 60 persen dari total anggaran yang dimiliki KKP setelah disetujui.

“Kan tahun depan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan seharusnya sudah disahkan, jadi kita sudah siapkan program untuk melaksanakannya. UU ada kan harus dilaksanakan,” cetus dia.

Di antara kesejahteraan yang dimaksud, menurut Sjarief, adalah pemberian asuransi jiwa, kesehatan, dan pendidikan kepada para nelayan. Asuransi diberikan, karena KKP ingin melindungi nelayan saat sedang melaut dan juga memberi perlindungan untuk keluarga nelayan.

“Ibu (Susi) tadi kan sudah minta BPJS sudah mulai jalan. Perlindungan tersebut diberikan, karena melaut itu penuh dengan risiko. Jika (nelayan) hilang di laut, ada yang bisa ditinggalkan untuk keluarganya. Kalau sakit, bisa berobat. Dan asuransi pendidikan untuk putera-puteri nelayan,” pungkasnya.


Selamatkan Wilayah Laut, DPR RI Bentuk Panja Pencemaran Laut was first posted on June 18, 2015 at 6:35 am.

Inilah Kolaborasi Menarik Dalam Distribusi Seafood Ramah Lingkungan

$
0
0

Pernahkan Anda bertanya pada pedagang dari mana ikan yang mau dibeli ditangkap? Pertanyaan seperti ini dinilai salah satu kunci penggugah kesadaran.

Jika ingin memastikan hasil laut di piring makan aman, bisa dicoba model ini. Ada kelompok nelayan laut dan bakau yang didampingi LSM agar menangkap hasil laut yang baik dan ramah lingkungan. Kemudian hasil laut ini dipasarkan penyedia dan pengecer  ke konsumen. Mereka menjalin rantai distribusi sekaligus mengedukasi konsumen untuk memastikan mereka makan hasil laut yang ditangkap secara aman.

Aktivitas pada Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta ini mempertemukan nelayan, pengolah perikanan tangkap laut dan konsumen dengan kolaborasi kampanye sustainable seafood. Foto : Luh De Suriyani

Aktivitas pada Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta ini mempertemukan nelayan, pengolah perikanan tangkap laut dan konsumen dengan kolaborasi kampanye sustainable seafood. Foto : Luh De Suriyani

Inilah yang terlihat dalam Festival Bukan Pasar Ikan Biasa, salah satu rangkaian dari Kampanye Seafood yang Bertanggung Jawab (Sustainaible Seafood) dengan tagar #BeliyangBaik oleh WWF Indonesia. Kampanye ini untuk perubahan perilaku penikmat seafood agar mengurangi tekanan terhadap perikanan yang sudah atau hampir mencapai status tangkap lebih. Lembaga pangan dunia menyebut kondisi kelautan sudah 53% atau tertangkap penuh sementara populasi penduduk terus meningkat.

Di Pantai Kuta yang terik akhir pekan kemarin, ada kolaborasi kampanye sustainable seafood yang diperlihatkan para nelayan yang tergabung dalam Jaring Nusantara, Fish n Blues, dan industri perhotelan. Pengunjung memilih bahan baku menu makan siangnya di Jaring Nusantara. Ada kerapu merah dan hitam, kerang, dan udang windu. Lalu memilih cara pengolahan dan membayar biaya masaknya di Fish n Blues. Ada berbagai varian olahan seperti steak, rebus, goreng, dan lainnya.

Para pembeli atau konsumen yang menikmati hasil olahan laut ini juga mendapat pengetahuan untuk menelusuri asal usul santapannya. Apakah ditangkap dengan cara yang baik, siapa nelayan atau pembudidayanya, dari daerah laut manakah, dan lainnya.

Salah satu masakan dari kerang pada acara  Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta. Festival ini mengkampanyekan sustainable seafood. Foto : Luh De Suriyani

Salah satu masakan dari kerang pada acara Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta. Festival ini mengkampanyekan sustainable seafood. Foto : Luh De Suriyani

Salah satunya ada Taulani, salah satu pengurus kelompok nelayan Kepiting Lestari di Pemalang, Jawa Tengah. Ia membudidayakan kepiting bakau di perairan pantai utara Jawa ini. Selama beberapa tahun kelompoknya didampingi sebuah LSM mitra WWF untuk menerapkan cara budidaya yang baik, tanpa eksploitasi.

Ia tak menyangka sekira 7 tahun setelah upaya rehabilitasi bakau dilakukan, banyak hewan muncul, salah satunya kepiting (mud crab). Para nelayan akhirnya mendapat anugerah dari merawat dan memperbaiki tapak bakau yang rusak. Kepiting ini kemudian ditangkar untuk penggemukan. “Ternyata digemukkan sekitar 20 hari saja harga jualnya bisa berkali lipat,” cerita Taulani. Para nelayan dan pembudidaya ini lah menyuburkan warung-warung makan kepiting di kawasan Pantura.

Selain mendapat pasar yang relatif stabil, Taulani juga memasok ke Fish n Blues, sebuah usaha retailer dan supplier seafood. Usaha ini menyerap hasil laut dari nelayan binaan Jaring Nusantara yang mempraktikkan perikanan berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Aturannya ketat sekali, minimal berat kepiting 300 gram tidak bisa kurang. Harganya oke,” tambah Taulani tentang Fish n Blues.

Untuk kebutuhan kampanye di Bukan Pasar Ikan Biasa di Bali ini, Fish n Blues mendapat pasokan dari kelompok nelayan Kabupaten Buleleng yang juga mempraktikkan penangkapan yang aman. Misalnya tidak menggunakan bom, potas, atau sianida yang meracuni dan merusak ekosistem sekitar. Tidak menangkap anakan (juvenile), dan jika budidaya bibitnya hasil pembibitan bukan diambil dari alam.

Pengelola Fish n Blues adalah dua anak muda mantan aktivis WWF Indonesi yakni Annisa Ruzuar dan Ranggi Fajar Muharam. Keduanya tampak melayani pembeli yang memilih ikan, cara mengolahnya, dan memperkenalkan prinsip bisnis yang baru sejak tahun lalu berbadan hukum ini. Tim ini mengenakan kaos seragam bertuliskan “I Know where my seafood come from.”

Aktivis dan panitia Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta, Bali.  Festival ini mengkampanyekan perikanan ramah lingkungan (/sustainable seafood). Foto : Luh De Suriyani

Aktivis dan panitia Festival Bukan Pasar Ikan Biasa yang diselenggarakan di Pantai Kuta, Bali. Festival ini mengkampanyekan perikanan ramah lingkungan (/sustainable seafood). Foto : Luh De Suriyani

Anissa mengatakan fokus mendistribusikan hasil nelayan lokal untuk pasar domestik. “Ini kan hasil laut kita, yang bagus jangan hanya dibawa ke luar negeri (ekspor),” sergah perempuan yang fokus mengurus komunikasi usaha sosial ini. Baru dua daerah yang bisa dilayani yakni Jakarta dan Bali secara terbatas. Pasokan diutamakan dari nelayan kecil karena biasanya mereka yang menerapkan penangkapan yang ramah lingkungan dibanding pengusaha perikanan besar yang menggunakan pukat/trawl.

“Ini kan produk segar tak tahan lama, kami harus memastikan pengemasan dan pengirimannya. Konsumen bisa pesan online,” jelasnya. Misalnya di website fishnblues.com atau media sosialnya. Ranggi, CEO Fish n Blues menyebut jumlah distribusi per bulannya baru 100-300 kg ke tangan konsumen. Sejumlah hasil laut dan budidaya yang bisa dipesan di antaranya ikan katamba/lencam, tuna, kepiting bakau, ikan kuwe, nila, udang windu, kerang, dan bakso tuna.

Keduanya yakin dengan masa depan bisnis ini karena tren konsumsi dan anak muda yang makin sadar tentang keamanan pangan dan pelestarian lingkungan. Tantangannya penetrasi pasar retail besar dan peningkatan kapasitas distribusi.

WWF juga membagikan panduan memilik hasil laut yang lestari melalui Seafood Guide. Berisi puluhan daftar spesies yang hidup di perairan Indonesia dan dikonsumsi.

Hasil laut itu dibagi tiga kategori sesuai dengan kondisi penangkapan dan populasinya saat ini. Pertama warna hijau sebagai kode pilihan terbaik, artinya aman dikonsumsi seperti tenggiri, teri jengki, dan tongkol, cakalang, cumi, dan lainnya. Berhati-hatilah dan pertimbangkan mengonsumsi produk (kuning), misalnya ikan gindara, gurita, sotong, gurita, kepiting bakau, dan lainnya. Produk-produk ini seringkali dihasilkan dari cara penangkapan yang tidak lestari atau tidak ramah lingkungan, dan secara umum populasi ikan dalam kategori ini mulai menurun.

Hindarilah memesan seafood dari daftar hindari (merah). Seafood dalam daftar ini mengalami penurunan populasi yang serius di alam dan dalam proses penangkapannya sangat merusak dan memungkinkan terjadinya penangkapan satwa langka atau dilindungi. Misalnya bawal hitam, putih, hiu, kakap putih, kuda laut, telur ikan, tuna sirip biru, dan lainnya. Daftar ini belum lengkap dan bisa berubah kategori.

Imam Musthofa, Sunda Banda Seascapes and Fisheries Leader WWF Indonesia mengatakan pihaknya 5 tahun terakhir ini mengampanyekan soal penangkapan dan konsumsi yang lestari. Salah satunya melalui sistem ekolabel. Pengusaha besar perikanan Indonesia belum ada yang mendapat sertifikat dari MSC (Marine Stewardship Council) untuk perikanan tangkap. “Sudah ada yang menuju ke sana karena pasar mulai memperhatikan hal ini,” katanya. Mereka berkumpul dalam jaringan Seafood Savers.

Ada juga ASC (Aquaculture Stewardship Council). Keduanya adalah organisasi non profit internasional yang mengembangkan skema sertifikasi pihak ketiga untuk perikanan tangkap dan budidaya yang berkelanjutan.


Inilah Kolaborasi Menarik Dalam Distribusi Seafood Ramah Lingkungan was first posted on June 19, 2015 at 4:26 am.

KKP Izinkan Transshipment untuk Kapal Lokal

$
0
0

Pelarangan transshipment yang diberlakukan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.57/2014 memang ditujukan kepada kapal-kapal eks asing yang kapasitasnya diatas 30 gross tonnage (GT). Akan tetapi, pelarangan tersebut berimbas pada aktivitas kapal-kapal tangkap milik para pengusaha nasional.

Untuk mengatasinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memperbolehkan aktivitas bongkar muat atau pengangkutan dari kapal tangkap ke kapal angkut di tengah lautan. Keputusan itu dikeluarkan, karena KKP melihat ada aktivitas yang terganggu setelah aturan transshipment diberlakukan.

Beberapa kapal berbobot besar bersandar di salah satu pelabuhan di Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Beberapa kapal berbobot besar bersandar di salah satu pelabuhan di Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Kamis (18/06/2015) menjelaskan, diberlakukannya izin untuk aktivitas transshipment karena saat ini ada dampak negatif yang tidak diharapkan. Salah satunya, yang dirasakan oleh para pengusaha dan nelayan.

“Kita tidak mau seperti itu. Makanya kita beri izin untuk mengangkut tangkapan dari kapal tangkap ke kapal angkut. Namun, ini mekanismenya masih terus digodok dan saat ini akan disempurnakan lagi,” ucap Susi.

Pengangkutan tersebut akan diberikan perizinannya dari pusat tangkapan (fishing ground) ke pelabuhan (port) di masing-masing daerah. Untuk melakukan pengangkutan tersebut, KKP akan bekerja sama dengan pengusaha yang mengelola kapal angkut.

“Kita tidak mau rencana ini digulirkan begitu saja. Kita juga tidak mau pengusaha terus terkena getah dari permen transshipment. Makanya, kita ingin rencana ini sangat matang, biar tidak ada masalah di kemudian hari setelah dilaksanakan,” tandasnya.

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Sebelum bisa menerapkan aturan baru tersebut, Susi memastikan pihaknya akan meminta pengusaha yang mengoperasikan kapal-kapal pengakut untuk bisa melengkapi kapal-kapalnya dengan teknologi canggih. Hal itu, karena dia ingin setiap kapal yang beroperasi bisa dipantau secara langsung dari manapun.

“Jika mengandalkan VMS (vessel monitoring system) yang saat ini ada di kapal-kapal tertentu, itu sudah tidak mungkin. Teknologi VMS yang digunakan di Indonesia sudah ketinggalan zaman. Kapal-kapal pengangkut nanti harus bisa memperbarui teknologinya. Tidak ada alasan,” tandas dia.

Dimulai dari 3 Pelabuhan

Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, pelaksanaan pengangkutan dari kapal tangkap ke kapal angkut akan dimulai dari tiga pelabuhan, yaitu Bitung (Sulawesi Utara), Benoa (Bali) dan Muara Baru (Jakarta).

“Ketiga pelabuhan itu yang paling siap untuk melaksanakan pengangkutan tersebut. Karena disana fasilitasnya sudah memadai. Namun demikian, kita secara bertahap akan menambah jumlahnya di pelabuhan lain jika memang kondisinya sudah memungkinkan,” tutur Slamet.

Menurut Slamet, untuk memulai pelaksanaan di tiga pelabuhan tersebut, pihaknya saat ini masih terus melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait. Terutama, dengan stakeholder yang akan melaksanakan aktivitas pengangkutan tersebut.

“Tapi minggu depan saya berencana meminta approval dari Ibu (Susi). Karenanya, semua hal harus sudah bisa diselesaikan sebelum pengajuan tersebut. Selain itu, saya juga berharap nantinya segala urusan yang berkaitan dengan masalah operasional sudah bisa diselesaikan,” ungkap dia.

Terkait dengan keinginan Susi Pudjiastuti yang meminta semua kapal pengangkut harus memperbarui teknologi pemantauannya, menurut Slamet itu juga sudah menjadi ketentuan yang harus ditaati. Keinginan tersebut, kata dia, karena Menteri ingin aktivitas pengangkutan tidak disalahgunakan.

“Yang jelas, saat kapal beroperasi, nantinya aktivitas bongkar muat ataupun aktivitas pelayaran bisa dipantau dari daratan. Maunya sih, nanti aktivitas tersebut bisa dipantau dengan live streaming monitoring,” tegasnya.

Akan tetapi, walau sudah direncanakan, Slamet mengaku masih belum tahu kapan pengangkutan tersebut bisa dilaksanakan.”Pokoknya dalam waktu dekat saja. Sekarang sedang kita usahakan secepatnya,” cetusnya.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Sementara itu Ady Surya dari Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (APKPII) mengaku tidak mempermasalahkan jika KKP ingin memberikan izin kepada kapal-kapal tangkap untuk memindahkan hasil tangkapannya ke kapal angkut. Menurutnya, langkah tersebut justru bagus karena bisa menyelamatkan tangkapan ikan yang usianya sangat pendek jika tidak dibantu dengan alat-alat.

“Yang dimaksud ala-alat itu cold storage. Di kapal tangkap nasional, sangat jarang dilengkapi dengan fasilitas seperti cold storage, karena memang harganya sangat mahal. Selain itu, jika ingin melengkapinya, maka kapal harus me-upgrade-nya,” tutur Ady.

Mengenai penerapan live streaming monitoring yang dilakukan di atas kapal, Ady juga merasa itu tidak jadi persoalan, karena memang peralatannya sudah memadai saat ini. Namun, kata dia, jika ingin lebih akurat dan cepat, maka harus ada pembaruan teknologi dan itu butuh biaya besar.

“Kami akan mencari cara bagaimana keinginan dari Pemerintah Indonesia ini bisa dijalankan. Kapal-kapal pengangkut yang akan beroperasi nantinya juga akan dilengkapi dengan teknologi canggih sehingga memungkinkaan dilaksanakan live streaming monitoring,” pungkas dia.

Hal senada juga diungkapkan Dwi Agus Siswa Putra, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI). Dia  menilai, apa yang dilakukan KKP tersebut sebagai jawaban atas keresahan pengusaha dan nelayan karena terkena dampak dari pemberlakuan transshipment.

“Kami akan melaksanakan ketentuan ini. Soal kapal angkutnya dari mana itu masih akan dibicarakan lagi. Kita justru senang karena dengan adanya kapal angkut, maka usia tangkapan ikan menjadi semakin lama lagi,” tandas dia.


KKP Izinkan Transshipment untuk Kapal Lokal was first posted on June 19, 2015 at 4:48 am.

Indonesia Marah, Kapal Hai Fa Keluar dari Wilayah Lautnya Tanpa Izin

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akhirnya menetapkan status kapal asal Tiongkok, Hai Fa, yang melakukan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia, sebagai kapal IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) List atau Illegal list yang diusulkan kepada organisasi perikanan internasional. Status tersebut diberikan, karena Hai Fa diketahui sudah melakukan pelanggaran lanjutan dengn berlayar kembali ke Tiongkok pada 1 Juni 2015 tanpa pemberitahuan ke Pemerintah Indonesia.

KKP juga sudah mengirimkan notifikasi kepada International Maritime Organization (IMO) dan memberitahukan tentang pelanggaran baru yang dilakukan Hai Fa. Kepada IMO, KKP merekomendasikan untuk mencabut segala izin (license international) yang dimiliki kapal Hai Fa.

KKP juga meminta kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan untuk mencabut dan tidak memberlakukan segala bentuk dokumen milik kapal Hai Fa.

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah. Foto : Setkab.go.id

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah. Foto : Setkab.go.id

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tak bisa menyembunyikan amarah dan kekesalannya atas ulah yang diperbuat Hai Fa tersebut. Menurut dia, sangat tidak masuk akal jika kapal yang sedang berperkara hukum di Indonesia bisa keluar dari wilayah teritorial laut nasional dan melenggang dengan bebas.

“Ini sangat memalukan. Kenapa bisa terjadi seperti ini. Sangat disesalkan. Saya sudah laporkan ini ke Interpol (The International Criminal Police Organization) dan saya sampaikan komplain terkait Hai Fa ini,” ungkap Susi di Jakarta.

Amarah Susi tersebut semakin menjadi, karena kapal besar berbobot 4.306 Gross Tonnage  (GT) itu sama sekali tidak memberitahukan rencana mereka untuk keluar dari wilayah perairan Indonesia.

“Ini sangat lucu. Bagaimana bisa kapal sebesar Hai Fa yang luasnya seperti lapangan sepak bola bisa keluar begitu saja. Ini sangat aneh,” ungkapnya.

Tidak Ada SLO dan SPB

Sesuai dengan ketentuan, setiap kapal yang akan berlayar di wilayah Indonesia, sebelumnya harus mendapatkan keterangan Surat Laik Operasi (SLO) dari Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Ambon, Maluku dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dari Syahbandar Kantor Otoritas Kesyahbandaran (KSOP) Kelas I Ambon.

Namun, dua surat tersebut, diketahui tidak pernah dikeluarkan oleh PSDKP dan KSOP. Karenanya, menurut Wakil Ketua Satgas Anti IUU Fishing Yunus Husen, kapal Hai Fa sudah melakukan pelanggaran lanjutan di wilayah perairan Indonesia.

“Ini yang sedang kita laporkan ke berbagai pihak terkait. Termasuk, Interpol dan IMO. Kita ingin Hai Fa diketahui dunia dan mereka tidak mendapat kepercayaan lagi,” jelasnya.

Yunus mengatakan, pelanggaran yang dilakukan Hai Fa tersebut tidak hanya karena kapal tersebut keluar tanpa ijin dari pihak otoritas terkait, tapi juga karena saat ini kapal tersebut sedang menjalani proses hukum di Indonesia.

“Saat ini, KKP dengan Polri, Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub dan Badan Keamanan Laut tengah mengembangkan penyidikan baru kasus Hai Fa yang melakukan IUU Fishing di Indonesia,” tandasnya.

Kantongi Surat dari Kejari Ambon

Sementara itu, Sekjen KKP Sjarief Widjaja menjelaskan, kepergian kapal Hai Fa dari wilayah perairan Indonesia diketahui hanya berbekal Surat Perintah Kejaksaan Negeri Ambon Nomor: Print-S110/EUH.2/2015 tanggal 28 Mei 2015 Perihal Barang Bukti Beserta Perlengkapannya dikembalikan kepada Pemilik Kapal.

“Surat tersebut benar adanya. Tapi, surat tersebut tidak bisa dijadikan kekuatan untuk bisa keluar dari wilayah perairan Indonesia. Ini aneh makanya,” ungkapnya.

Seharusnyasebagai kapal internasional, Hai Fa harus mendapatkan surat izin dari otoritas terkait.”Yang terjadi, kan justru otoritas terkait tidak mengeluarkan izin berlayar ke luar karena memang tidak ada pemberitahuan sama sekali,” paparnya.

Saat ini, berdasarkan laporan dari Kepala Satker PSDKP Ambon yang didapat dari pihak Lantamal IX Ambon, kapal MV Hai Fa berangkat dari Teluk Ambon menuju Tiongkok melalui perairan Maluku Utara hingga Laut Sulawesi.

“Dari informasi tersebut, diketahui pada Kamis, 4 Juni 2015 kapal Hai Fa diperkirakan sudah sampai di perairan Filipina dan kemungkinan besar saat ini kapal tersebut sudah tiba di Tiongkok,” jelas Sjarief.

Selain tidak mengantongi izin resmi dari Indonesia, pelanggaran lain kapal Hai Fa saat berangkat dari Teluk Ambon keluar dari perairan Indonesia, adalah tidak menyalakan alat pemantau Vessel Monitoring System (VMS) dan Automatic Identification System (AIS).

Karena temuan tersebut, Sjarief menambahkan, saat ini Tim Satgas Anti IUU Fishing terus berkoordinasi dengan aparat di Indonesia dan berharap ada bantuan dari mereka. Tim terus menunggu bantuan dari Badan Intelijen Nasional (BIN), Menteri Perhubungan, Polri,  Dirjen Bea Cukai Menteri Keuangan, TNI AL, dan Kejaksaan Agung.

“Kapal Hai Fa harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku dan perlu melibatkan pihak-pihak tersebut, selain Interpol. Hai Fa sudah melawan hukum dan menginjak harkat dan martabat bangsa Indonesia,” pungkasnya.


Indonesia Marah, Kapal Hai Fa Keluar dari Wilayah Lautnya Tanpa Izin was first posted on June 20, 2015 at 3:42 am.

Menjaga Agar Penyu Tak Punah Di Gili Trawangan

$
0
0

Pagi cerah di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB) Jumat pekan lalu. Turis-turis asing berjemur di pasir putih pulau terbesar dari tiga gugusan pulau di sisi barat Pulau Lombok tersebut. Turis-turis lokal asyik mandi di pantai, berfoto selfie, atau sekadar jalan-jalan maupun bersepeda.

Sebagian turis yang melintas di pantai timur Gili Trawangan singgah di balai penangkaran penyu. Lokasi penangkaran ini berada di pinggir pantai. Karena itu turis pun dengan mudah mengenali tempat tersebut.

Balai penangkaran penyu berupa rumah terbuka beratap jerami. Di bangunan seluas sekitar 20 x 15 meter persegi itu terdapat tiga kolam berdinding kaca. Tiga kolam itu tempat tukik-tukik dipelihara dari baru menetas hingga siap dilepas ke laut terbuka.

Marjan membersihkan kolan penangkaran penyu di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Marjan membersihkan kolan penangkaran penyu di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Pagi itu, Marjan sibuk memberi makan penyu-penyu tersebut. Bapak berumur lebih dari 50 tahun ini membelah beberapa ikan, mengambil dagingnya, lalu memberi makan tukik-tukik dengan daging ikan tersebut.

Sambil tetap memberi makan tukik, Marjan juga menjawab pertanyaan para turis di balai tersebut.

Balai penangkaran penyu Gili Trawangan berawal dari inisiatif mantan kepala dusun Zainuddin. Melihat makin berkurangnya penyu di kawasan tiga pulau ini, Zainuddin kemudian membuat tempat penangkaran penyu. Dia membeli telur penyu dari nelayan dan kemudian ditetaskan.

Semula tempat penangkaran itu di pantai terbuka. Namun, pihak maskapai penerbangan Garuda Indonesia kemudian membantu membangun balai seperti yang ada sekarang ini.

Pengelolaan balai penangkaran dilakukan secara swadaya. Selain Zainuddin, warga lain yang ikut membantu adalah Marjan dan Abu. Mereka bersama-sama memberi makan, membersihkan kolam, dan menjaga balai penangkaran tersebut.

“Niat saya hanya satu, menjaga agar anak cucu saya masih bisa melihat penyu seperti saya saat ini,” kata Marjan.

Marjan menambahkan, hingga akhir 1990-an, penyu masih banyak bertelur di Gili Trawangan. Namun, akibat masifnya pembangunan pariwisata serta penangkapan oleh nelayan, penyu di Gili Trawangan makin berkurang.

“Kalau dulu kita bisa melihat penyu berenang dan terumbu karang cukup dari sini,” tambah Abu, pengelola lain yang berdiri sekitar 20 meter dari bibir pantai.

Mengajak Nelayan

Sejak 2005, Zainuddin bersama Marjan dan Abu pun mengelola penangkaran penyu di Gili Trawangan. Mereka membeli telur penyu dari nelayan seharga Rp1.500 – Rp2.000 per butir. Tujuannya, menurut Marjan, untuk mengajak nelayan agar peduli pada pelestarian penyu.

Tempat penetasan penyu di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Tempat penetasan penyu di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Telur-telur penyu tersebut kemudian diperam di pasir selama sekitar 40 hari. Tempat pengeraman ini berada di bangunan khusus dengan lantai pasir. Abu menunjukkan telur-telur yang sedang diperam. Sebagian sudah mengelupas, tanda si tukik telah menetas.

Dalam sebulan, mereka menetaskan sekitar 350 butir telur penyu. Dua jenis yang paling banyak adalah penyu hijau (Chelonia midas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).

Dari tempat penetasan, tukik-tukik itu dibawa ke kolam perawatan. Selama 6-8 bulan, tukik-tukik itu akan dirawat di sana. Selama itu pula para pengelola seperti Marjan dan Abu akan merawat tukik itu tiap hari.

Menurut Marjan dalam setahun mereka bisa membudidayakan 1.500 ekor tukik. Ketika berumur 6-8 bulan, tukik itu baru dilepas ke laut terbuka. Para turis yang berkunjung bisa menyumbang Rp 200.000 untuk melepas satu ekor tukik.

Wisatawan mancanegara maupun domestik berkunjung di di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Wisatawan mancanegara maupun domestik berkunjung di di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Donasi dari turis tersebut, Marjan melanjutkan, amat penting untuk biaya operasional sehari-hari balai penangkaran penyu Gili Trawangan. Menurut dia, hingga saat ini tidak ada satu pun lembaga yang mendukung upaya pelestarian tersebut.

Dulu, pihak Garuda Indonesia membangunkan balai penangkaran pada 2008. Namun, saat ini mereka tidak pernah datang atau mendukung lagi. “Hanya dibangun setelah itu tidak diurusi,” katanya.

“Pemerintah juga tidak peduli sama sekali,” ujarnya. Padahal, kata Marjan, alangkah baiknya jika pihak pemerintah datang dan membantu pengelola balai penangkaran.

Padahal, untuk mengelola balai penangkaran itu, mereka butuh biaya tak sedikit. Tiap hari mereka membutuhkan sekitar Rp200.000 untuk pakan penyu maupun biaya perawatan. Karena itu pula, mereka menyiadakan kotak donasi di balai tersebut. Namun, amat sedikit pengunjung yang menyumbang ke mereka.

Papan infromasi di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Papan infromasi di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Biaya pengelolaan mereka peroleh juga dari warung kecil di depan balai dan penyewaan sepeda pribadi. “Jika ada pendapatan lebih, kami sisihkan untuk biaya perawatan. Jika tidak ya kami pakai uang pribadi. Yang penting cukup untuk merawat tempat ini,” kata Abu.

Saat ini, salah satu dukungan yang mereka inginkan adalah perbaikan atap jerami balai penangkaran. Atap tersebut terlihat sebagian sudah rusak dan berlubang. Padahal, tidak hanya jadi tempat penangkaran, balai itu pun jadi tempat berteduh para turis.

Marjan, salah satu pengelola balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Marjan, salah satu pengelola balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

“Kadang-kadang kalau hotel-hotel penuh malah banyak yang menginap di sini. Saya biarkan saja yang penting mereka mau menjaga tempat ini,” kata Marjan.

“Tidak tahulah. Kalau memang tidak ada yang mau membantu ya biarkan saja bangunan ini ambruk,” Marjan pasrah.

Di tengah minimnya dukungan, secara swadaya Zainuddin, Marjan, dan Abu terus melestarikan penyu di Gili Trawangan. Menjaga agar spesies ini tidak punah di masa depan.

 


Menjaga Agar Penyu Tak Punah Di Gili Trawangan was first posted on June 21, 2015 at 5:00 am.

Opini : Mencermati Peran Perusahaan Multinasional Dalam Isu Lingkungan Dan Demokrasi (Bagian 2 Dari 2 Tulisan)

$
0
0
 *Ari Mochamad, Penilik Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis. Tulisan pertama dapat dilihat pada tautan ini

Tulisan pada bagian ke 2 ini memfokuskan pada peran corporates dalam pemilihan umum di Nigeria dan Meksiko (diambil dari buku Marketing and Militarizing Elections? Social Protest, Extractive Security, and the De/Legitimation of Civilian Trabsition in Negeria and Mexico by Anna Zalik), yang memperlihatkan mereka sebagai pemenang, ditengah pergulatan ideologi para pihak yang bersaing dalam pemilihan umum tersebut

Kekuatan perusahaan multinasional dalam mempengaruhi kebijakan suatu negara ditentukan oleh faktor kekuatan modal yang luar biasa. Bahkan seringkali mereka menjadi faktor utama dan penentu dari kemenangan suatu pemilihan pemimpin sebuah negara. Dengan jaringan yang dimilikinya mereka berada pada semua lini kekuatan untuk dapat mempengaruhi dan memobilisasi dukungan. Lihat saja bagaimana mereka memasuki bisnis pangan, energi/minyak, media pertelevisian dan elektronik lainnya yang dapat dengan mudah menentukan kehidupan ekonomi sebuah bangsa.

Penebangan liar di Suaka Margasatwa Dangku dampak masyarakat makin terdesak karena ruang hidup mereka sudah menjadi 'milik' perusahaan. Foto: Taufik Wijaya

Penebangan liar di Suaka Margasatwa Dangku dampak masyarakat makin terdesak karena ruang hidup mereka sudah menjadi ‘milik’ perusahaan. Foto: Taufik Wijaya

Munculnya istilah kleptokrasi. Suatu kekuasaan (kratos) yang dijalankan oleh para “maling”(klepto)) bermula dari adanya persekutuan antara pengusaha dan penguasa dalam menjarah kekayaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya sebagai bentuk hubungan yang saling menguntungkan bagi keduanya. Bahkan seringkali persekutuan ini pada akhirnya melibatkan angkatan bersenjata untuk mendukung keberlanjutan posisi pengusaha dan penguasa ini.

Oleh sebab itu seringkali dengan kekuatan yang dimilikinya, mereka dengan kepentingan pendanaan globalnya merupakan aktor yang bermain dalam setiap penggantian suatu rejim. Ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah mengenal ‘ideologi’ tertentu sebagai kawan atau lawan, artinya mereka tidak peduli atau lepas dari ‘nilai’ rejim yang berkuasa.

Kecenderungan masuknya pengaruh kuat pengusaha dalam mengintervensi politik suatu negara terjadi pada negara yang secara demokratis belum mapan dan sistem ekonomi yang cenderung tidak sehat.  Yoshihara Kunio (1988) mengatakan bahwa kapitalisme semu (ersatz capitalism) seringkali melahirkan rent seeker (pencari rente), yang selalu berupaya untuk membangun persekutuan dengan penguasa untuk meminta segala fasilitas atau perlakukan khusus lainnya yang meringankan dan terlindungi dari kompetisi.

Dalam contoh kasus yang terjadi di dua negara berkembang, yaitu Meksiko dan negara yang dikategorikan sebagai dunia ketiga, Nigeria misalnya menunjukkan bagaimana pengaruh kuat perusahaan minyak multi-corporation dalam menentukan jalannya pemerintahan suatu rejim karena rejim yang disukai dapat membuka ruang bisnis yang menguntungkan baginya. Kesamaan dari kedua negara tersebut adalah bahwa Meksiko dan Nigeria merupakan dua negara yang cukup penting dalam menyuplai minyak. Jika Meksiko sangat berarti bagi Amerika Serikat, Nigeria sangat penting posisinya dalam menjamin kesediaan minyak negara-negara sub Sahara.

Rejim atau suatu pemerintahan yang korup menyadari betul arti hubungan dengan pengusaha, apalagi jika mereka merupakan perusahaan yang mampu mematikan atau memperpanjang masa kepemimpinan para penguasa tadi. Modal yang dimiliki yang tersebar dalam pasar uang dan saham yang menjadi rujukan dunia dapat dengan mudah dipermainkannya. Oleh karenanya hubungan suatu  refim dengan transnational oil industry  menjadi sangat penting dalam konteks pengakuan kekuasaan suatu rejim di dunia.

Tajuk hutan alam primer seperti yang ada di Borneo.  Foto: Ridzki R. Sigit

Tajuk hutan alam primer seperti yang ada di Borneo. Foto: Ridzki R. Sigit

Di Meksiko, rejim yang berkuasa dan mendapatkan dukungan pengusaha minyak asing pada akhirnya membayar kompensasi yang telah diberikan padanya dengan memprivatisasi industri minyak nasional mereka, sekaligus sebagai jawaban terhadap adanya kepentingan internasional dibalik keputusan tersebut.

Sementara di Nigeria, penguasa memberikan ‘pintu masuk’ bagi industri minyak transnasional untuk dapat turut berperan mengambil tindakan keras terhadap kegiatan perdagangan penyelundupan minyak. Tentu kegiatan penyelundupan yang umumnya dilakukan oleh para musuh politik rejim penguasa tersebut merugikan industri minyak yang dimiliki perusahaan transnasional tadi. Dengan kekuatan modal, baginya sangat mudah untuk menyewa tentara bayaran dan melengkapinya dengan persenjataan yang modern.

Dengan demikian maka arah kedua kepentingan negara tersebut sangat berpihak pada kepentingan industri minyak transnasional, walau seakan para penguasa tadi membiarkan terjadinya kompetisi dengan para pelaku dalam negeri (kompetisi semu). Jika demikian, lalu apa esensi dari sebuah pemilihan umum dan dimana peran rakyat untuk merubahnya.

Pemilihan umum dilakukan sebagai langkah untuk memulai dan mengakhiri sebuah kekuasaan. Demikian ungkapan untuk menggambarkan kekuatan perusahaan dalam menentukan pemilihan. Jika regim berkuasa mencoba untuk ‘mengkhianati’ kepentingan dan keinginannya, maka dengan mudah merekapun dapat mengakhirinya.

Demokrasi nampak hanya sebagai kegiatan ritual dan dianggap menjadi sesuatu yang ‘tidak penting’. Artinya kekuatan riil suara rakyat dapat dengan mudah dikesampingkan dengan tindakan kekerasan dan peredaman suara mereka lainnya oleh penguasa yang didukung oleh suatu perusahaan.

Apa yang terjadi di Nigeria pada tahun 2003 dan 2007 menjadi bukti untuk memperkuat fakta itu. Pemilihan yang penuh kritik karena dipenuhi kecurangan, kekerasan dan pembunuhan terhadap lawan politik regim yang berkuasa pada akhirnya tetap diakui walau secara formal mereka memenuhi tuntutan dunia internasional untuk menciptakan pemilihan yang bebas dan adil. Pada akhirnya hasil pemilihan disetujui oleh lembaga bilateral/multilateral yang melakukan tugas pengawasan pemilihan umum. Kecurangan dan kekerasan hak asasi manusia yang terjadi selama pemilihan umum ‘dibungkam’ dengan keputusan yang ‘seakan’ demokratis.

Sementara di Meksiko (2006), perlawanan yang dilakukan oleh kelompok Zapatista dengan mengkampayekan sesuatu yang sangat populer di mata penduduk miskin Meksiko dengan janjinya terhadap kepemilikan dan reformasi di bidang tanah seakan tak mempengaruhi rejim penguasa untuk melakukan kecurangan dan kegiatan intimidasi lainnya. Ironisnya hasil pemilihan yang memenangkan penguasa (yang memiliki kedekatan dengan industri minyak transnasional) disetujui oleh lembaga bilateral/multilateral yang melakukan tugas pengawasan pemilihan umum.

Kanopi hutan hujan tropis.  Foto: Rhett Butler

Kanopi hutan hujan tropis. Foto: Rhett Butler

Dari hasil pemilihan umum di kedua negara tersebut dapat dikatakan bahwa demokrasi yang mereka lakukan  sebatas prosedural, belum mencapai demokrasi yang substansial. Namun demikian terdapat pendapat (mengenai demokrasi prosedural-demokrasi substantif) dari pakar politik bahwa apa yang dihasilkan sangat terkait dengan prosesnya (pendapatnya ditujukan terhadap apa yang terjadi pada pemilihan umum di Indonesia).

Melihat apa yang terjadi pada kedua negara tersebut maka faktor penilai terhadap ideologi dari para calon (candidate) atau pesaing secara langsung dipersepsikan  apakah yang bersangkutan  pro atau anti terhadap  daya saing ekonomi. Mereka (kalangan industri minyak transnasional) secara ekstrem mengkategorikan  politik  para kandidat  hanya dengan mengaitkan kepada pilihan kebijakan ekonominya, apakah  yang berkecenderungan ‘kanan’ atau ‘kiri’.  Sebaliknya mereka tidak peduli dengan jargon politik yang dibawa para calon penguasa.

Terdapat catatan kritis dari apa yang terjadi pada kedua negara tersebut namun memiliki persamaan yang cukup fundamental, yaitu bahwa kedua negara itu takluk pada industri minyak transnasional. Dengan contoh kedua negara yang  memiliki sejarah demokrasi yang berbeda namun memiliki  kesamaan dalam konteks penerapan demokrasi yang rapuh (yang tidak diikuti dengan demokrasi substantif).

Lihat saja contoh kasus di Nigeria, dimana perkembangan dari institusi negara tidak mencerminkan pondasi sosial, bahkan mereka tunduk pada pasar bebas (partially subject to a free market), artinya negara sebagai ekspresi kepentingan elit tidak menyatu secara dalam dengan akar kepentingan nasional.

Sementara contoh kasus di Meksiko menunjukkan bahwa walaupun pelaku-pelaku korporasi sudah relatif mapan namun  perkembangan dari kegiatan demokrasi formal maupun informal tetap dibawah pengaruh institusi dan kelompok kepentingan neo liberal.

Catatan Penutup

Pengaruh besar dan kuat dari neo liberalisme ditandai dengan masuknya mereka dalam seluruh elemen kegiatan pemerintahan dan bisnis. Kehadiran militer dimanfaatkan sebagai upaya untuk melanggengkan pengaruh dan kekuasaannya. Terwujudnya persekutuan dari ketiga kekuatan besar dan saling mempengaruhi dan tentu saling menguntungkan juga) hanya dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan adanya demokrasi yang secara prosedural dan subtansial dapat dijalankan melalui peran masyarakat sipil, perguruan tinggi, lembaga keagamaan, partai politik dan pemerintah yang menjalankan amanat rakyat sesuai dengan apa yang menjadi pesan dari konstitusinya.

Belajar dari apa yang terjadi di negara-negara lain, khususnya di Meksiko dan Nigeria dapat membuka mata bahwa pelaku bisnis besar yang diperankan oleh perusahaan transnasional, industri minyak transnasional pada hakekatnya sedikit memberikan peran terhadap terwujudnya suatu negara demokratis atau tidak, bahkan  ada atau tidaknya kompetisi dalam menjalankan bisnis mereka. Dalam benaknya mempengaruhi elit politik untuk melanggengkan roda perputaran keuntungan dari bisnis yang dijalankannya merupakan prioritas dan target mereka.

Tentu tidak setiap pelaku bisnis berperilaku seperti itu, namun pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa kehendak bebas sepatutnya diatur dan dijalankan dengan instrumen pemaksa agar pelaku tetap pada jalur yang mengarah pada kesejahteraan nyata masyarakat negara tersebut. Mereka harus belajar bahwa cara-cara demikian hanya menyuburkan kekerasan politik yang bersifat laten (terus-menerus) pada akhirnya mengeluarkan biaya dan korban jiwa  yang sangat besar yang tak akan membawa mereka (negara tersebut) pada level sebuah negara yang sejahtera secara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

 


Opini : Mencermati Peran Perusahaan Multinasional Dalam Isu Lingkungan Dan Demokrasi (Bagian 2 Dari 2 Tulisan) was first posted on June 22, 2015 at 2:00 am.

KKP Cabut Izin Usaha Perikanan 4 Grup Perusahaan Ini. Kenapa?

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus menebar ancaman kepada semua pelaku Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang sudah mencuri sumber daya laut di perairan Indonesia. KKP tak segan akan mencabut Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) seperti yang diberikan kepada perusahaan perikanan PT Benjina Pusaka Resources (PBR) yang berpusat di Benjina, Maluku Utara.

Ancaman tersebut terucap dari mulut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (22/6/2015). Susi menyebut, siapapun pelaku IUU Fishing akan ditindak tegas karena sudah melakukan pelanggaran hukum di wilayah kelautan Indonesia.

“Ini adalah bentuk penegakan hukum. Jadi tidak ada alasan lagi dan kami harus bisa mematuhinya,” ucap Susi dengan nada tegas.

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

Dia mengungkapkan, apa yang sudah dilakukan PT PBR menjadi gambaran jelas bahwa tindakan IUU Fishing bisa dilakukan dengan bebas. Oleh itu, KKP langsung mencabut SIUP PT PBR dan melarang setiap aktivitas perikanan yang dilakukan perusahaan tersebut.

“Kita tidak mau apa yang dilakukan di Benjina ada juga di daerah lain. Kita harus terus menjaganya. Kita akan terus tegakkan hukum yang berlaku. Itu semua demi kedaulatan laut kita,” tuturnya.

Kegiatan IUU Fishing tersebut, kata Susi, selain ditemukan di Benjina, juga diketahui dilakukan perusahaan lainnya yang beroperasi di pesisir Kawasan Timur Indonesia. Total, ada empat grup perusahaan yang statusnya sudah melakukan IUU Fishing.

Keempat grup perusahaan tersebut, adalah PT Dwi Karya yang berpusat di Wanam, Merauke, Papua; PT Indojurong Fishing Industries yang berpusat Panambulan, Maluku Tenggara, Maluku; PT Maritim Timur Jaya yang berpusat di Kota Tual, Maluku dan PT Mabiru Industreis di Ambon, Maluku.

“Keempat grup perusahaan tersebut diduga kuat sudah melakukan pelanggaran di wilayah laut Indonesia. Karena, walaupun ada di Indonesia tapi mereka menggunakan kapal-kapal (laut) dari luar Indonesia,” jelas Susi.

Bekukan SIPI dan SIKPI Grup Perusahaan

Sementara menurut Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Asep Burhanudin, keempat grup perusahaan tersebut saat ini sudah dilakukan pencabutan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Usaha Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

“Namun, untuk SIUP saat ini baru PT PBR di Benjina yang sudah dicabut. Sementara untuk yang lain, saat ini (pencabutan izin) baru akan dilakukan, sesuai dengan arahan dari bu Menteri,” ungkapnya.

Kapal asing berbendera  Malaysia ini  diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto:  Ayat S Karokaro

Kapal asing berbendera Malaysia ini diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto: Ayat S Karokaro

Asep memaparkan, dari hasil analisis dan evaluasi terhadap empat grup perusahaan tersebut, memang ditemukan adanya praktek pelanggaran hukum. Terutama, yang dilakukan PT Dwi Karya di Wanam, Merauke.

“Ada dugaan tindak pidana perikanan dan luar perikanan yang sudah dilakukan PT Dwi Karya. Itu yang menjadi pertimbangan grup perusahaan tersebut sudah melakukan tindakan IUU Fishing,” cetus dia.

Tidak hanya itu, Asep mengungkapkan, dari ratusan kapal yang dimiliki PT Dwi Karya, hanya 68 kapal saja yang diketahui sudah berijin. Sementara, sekitar 200 kapal lagi diketahui lari ke perairan di Papua Nugini yang berbatasan langsung dengan Papua.

Terkait rencana pencabutan SIUP untuk grup perusahaan tersebut, Plh Dirjen Perikanan KKP Narmoko Prasmadji mengungkapkan, pihaknya mempersiapkan proses tersebut dibarengi dengan antisipasi gejolak sosial masyarakat setempat.

Dia mencontohkan, untuk pencabutan SIUP PT Dwi Karya, KKP bekerja sama dengan Pemkab Merauke untuk menjaga gejolak sosial. Kemudian, untuk ikan yang ditangkap nelayan, jika PT Dwi Karya sudah tak beroperasi, semuanya akan dibeli oleh Perum Perindo.

“Saat ini Perindo sudah sampai di Wanam dan akan membeli ikan dari nelayan setempat. Kita juga sudah kirim genset untuk dioperasikan disana. Kita tidak akan melaksanakan kebijakan dari penegakan hukum jika tidak ada antisipasinya,” tegas Narmoko.


KKP Cabut Izin Usaha Perikanan 4 Grup Perusahaan Ini. Kenapa? was first posted on June 22, 2015 at 1:58 pm.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live