Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

Mongabay Travel : Hutan Pelawan, Surga Di Tengah Bangka

$
0
0

Pulau Bangka yang masuk dalam wilayah Provinsi Bangka Belitung memang lebih dikenal sebagai pulau penghasil timah atau karena pantai-pantainya yang indah. Pulau dengan luas seluas 11.693 km2 atau sekira dua kali pulau Bali ini juga menawarkan hal lain selain pantai, museum, dan kulinernya yang menggoda lidah.  Pulau ini menyimpan tempat yang sejuk dan menyejukkan untuk didatangi, yakni Hutan Pelawan.

Hutan  yang terletak di Desa Namang, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, berjarak satu jam perjalanan dari Pangkalpinang, ibukota provinsi Babel. Hutan yang cukup lebat ini seolah menjadi oase di bagi pulau yang sudah tercabik-cabik tambang timah selama ratusan tahun.

Hutan Pelawan yang merupakan hutan rawa ini ditumbuhi berbagai jenis pohon, namun yang paling menonjol adalah banyaknya pohon-pohon pelawan. Pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) dengan batangnya berwarna merah, merupakan salah satu spesies dari famili Myrtaceae, dulu dimanfaatkan masyarakat Pulau Bangka sebagai bahan bangunan, bahan pembuat kapal, ajir perkebunan lada, dan kayu api.

Pintu masuk Hutan Pelawan di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto

Pintu masuk Hutan Pelawan di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto

Hutan Pelawan dengan luas 260 hektar menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Selain ditumbuhi berbagai macam pohon dan tumbuhan rawa lain, kawasan ini adalah rumah bagi satwa-satwa melata dan setidaknya 96 spesies burung yang hidup secara bebas.

Menurut pengelola hutan, burung-burung  tersebut sebelumnya hidup di hutan liar di seantero Pulau Bangka, namun akhirnya memilih pindah ke Hutan Pelawan karena habitatnya yang rusak. Inilah salah satu alasan mengapa Hutan Pelawan diproyeksikan menjadi Kebun Raya Bangka (KRB), dengan sebelumnya memperbaiki infrastruktur terutama untuk tujuan konservasi dan penelitian.

Jembatan kayu yang baru jadi, kontras dengan ‘warna’ Hutan Pelawan, Pulau bangka, Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto

Jembatan kayu yang baru jadi, kontras dengan ‘warna’ Hutan Pelawan, Pulau bangka, Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto

Secara infrastruktur, hutan lindung yang juga menjadi tujuan wisata ini sudah cukup baik. Pengunjung dimanjakan dengan jalan setapak berpaving dan jembatan kayu berwarna merah menyala, kontras dengan kegelapan hutan, apalagi jika cuaca mendung.

Madu dan Jamur Pelawan

Begitu kita melewati gerbang Hutan Pelawan dan menyusuri jalan setapak, kita akan disambut oleh rimbunnya pepohonan dan dari semuanya, yang paling mencolok memang Pohon Pelawan. Pohon yang kulit kayunya sudah terkelupas akan berwarna kemerahan dan membuatnya paling mudah diidentifikasi. Seolah, inilah nyawa hutan ini.

Betapa tidak? Dari pohon ini, puluhan keluarga menggantungkan mata pencaharian darinya.  Pohon Pelawan adalah tempat hidup sarang lebah liar yang mampu menghasilkan madu yang rasanya pahit. Ini terjadi karena lebah-lebah tersebut mengisap serbuk bunga pohon pelawan, sehingga madu yang dihasilkan terbilang pahit. Madu Pelawan, produk andalan Pulau Bangka ini bersumber dari lebah liar Apis dorsata yang menghisap dari sari bunga dari pohon pelawan.

Pohon pelawan, menjadi tumpuan mata pencaharian banyak orang di Pulau Bangka, Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto

Pohon pelawan, menjadi tumpuan mata pencaharian banyak orang di Pulau Bangka, Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto

Bunga kayu pelawan menjadi makanan lebah liar besar. Lebah itu bisa ditemukan di sejumlah hutan di Asia Tenggara, tetapi kayu pelawan hanya ada di Bangka. Bahkan, belakangan kayu itu hanya bisa ditemukan secara terbatas di Bangka Tengah.

Masyarakat lokal begitu mencintai Hutan Pelawan, karena tentu saja tak ingin sumber mata pencahariannya hilang. Sebuah pilihan yang logis, hutan pelawan yang mereka jaga, hutan pelawan yang mereka lestarikan, memberikan berkah hasil hutan bernilai ekonomis tinggi yang sarat manfaat. Selain dijual di kota, masyarakat pun menjual madu di sekitar hutan tersebut seharga Rp.200 ribu untuk ukuran 300 cc.

Selain itu, pada akar pohon pelawan juga merupakan tempat tumbuhnya jamur yang bisa dimakan yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan kulat pelawan. Kulat pelawan menjadi jamur khas pulau Bangka yang biasanya tumbuh di musim penghujan, dan masa panen jamur ini biasanya setahun dua kali yaitu akhir bulan Maret dan pertengahan September.

Jamur yang tumbuh di sekitar pohon Pelawan. Foto : skalanews

Jamur yang tumbuh di sekitar pohon Pelawan. Foto : skalanews

“Jamur Pelawan ini hidup harus ada musim kemarau setidaknya tiga bulan. Kemudian diperlukan juga hujan paling tidak seminggu. Saat jamur Pelawan ini tumbuh juga harus ada petir atau gledek, seperti itu konon kata cerita orang Bangka,” kata Indra, salah seorang penjual jamur pelawan kering di tempat tersebut.

Jamur yang seluruhnya berwana kemarahan tersebut tumbuh sangat cepat, Saat mulai tumbuh bibitnya, maka dalam empat hari sudah cukup besar. Jamur tersebut juga mesti segera digunakan karena akan membusuk setelah lewat dari tiga hari setelah dipanen. Jamur ini cukup banyak tumbuh di sekitar Hutan Pelawan, dan cukup bisa menghidupi puluhan keluarga yang tinggal di sekitar kawasan Hutan Pelawan.

Untuk 1 kg jamur kering, dihargai Rp. 1.250.000, dan jamur ini kini bisa dibeli di banyak tempat di Pangkalpinang. Jamur ini oleh masyarakat sekitar biasanya dimasak aneka hidangan dan sangat enak dan menyehatkan. Jamur yang dijual adalah jamur yang sudah dikeringkan.

“Kami berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan. Hutan Pelawan adalah urat nadi keluarga kami” kata Restu, yang menjual jamur pelawan kering.

Kesadaran akan pelestarian hutan ini memang sangat diperlukan di kawasan yang alamnya sudah begitu rusak seperti pulau Bangka yang sudah digali sejak abad 19 untuk diambil timahnya. Indra, Restu, dan Hutan Pelawan, mungkin mewakili suara masa depan Bangka, yang bisa sejahtera karena memanfaatkan alam dengan menjaga dan melestarikannya, bukan merusaknya.


Mongabay Travel : Hutan Pelawan, Surga Di Tengah Bangka was first posted on May 28, 2015 at 4:51 am.

Inilah Kritik Untuk Kepemimpinan Susi Pudjiastuti

$
0
0

Kritikan pedas dialamatkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah kepemimpinan Susi Pudjiastuti. Meski sudah melakukan banyak terobosan di dunia kelautan dan perikanan Indonesia, namuan ia dinilai masih belum terlalu tegas.

Kritikan tersebut datang dari Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI) yang melakukan evaluasi terkait kepemimpinan Susi Pudjiastuti. Menurut KNTI, di bawah Susi, KKP memang terus memperlihakan kinerja positif karena sejumlah capaian penting berhasil dijejak.

“Namun, itu tidak cukup. Karena KKP perlu untuk melaksanakan kebijakan yang lebih tegas dari sekedar pencitraan saja. Saat ini, itu belum dilakukan oleh bu Menteri,” ungkap Ketua Bidang Strategis dan Kebijakan Dewan Pimpinan Pusat KNTI, Suhana, di Jakarta, Kamis (28/05/2015).

Kapal asing berbendera  Malaysia ini  diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto:  Ayat S Karokaro

Kapal asing berbendera Malaysia ini diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto: Ayat S Karokaro

Suhana mengapresiasi kebijakan Susi dalam pemberantasan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, tetapi kebijakan tersebut dinilai baru sebatas program penenggelaman kapal saja. Padahal, yang harus dilakukan sesungguhnya adalah mengumumkan kapal mana saja yang sudah melakukan pelanggaran di wiilayah perairan Indonesia.

“Pengumumannya dilakukan ke seluruh dunia saja. Apa kapalnya, dari negara mana, siapa krunya dan apa jenis ikan yang jadi tangkapannya. Kalau sudah diumumkan, itu akan jadi pertimbangan dunia internasional,” ungkapnya.

Menurut Suhana, jika suda diiumumkan ke seluruh dunia, negara-negara pengimpor produk laut akan mengamati dan mengawasinya dengan ketat. Sehingga, jika memang ada produk laut yang berasal dari kapal pelaku illegal fihsing, maka itu tidak akan diterima. Prinsip seperti itu, kata dia, seharusnya sudah dilakukan oleh Susi Pudjiastuti.

Nelayan Belum Diperhatikan

Selama kepemimpinan Susi, kritikan juga datang dari nelayan. Menurut Ketua KNTI DKI Jakarta M Tahir, walau KKP saat ini sudah melakukan pemberantasan illegal fishing, namun nelayan yang ada di sejumlah daerah, khususnya di pesisir utara Jakarta masih belum merasakan dampak positifnya.

“Bahkan kalau saya bilang faktanya saat ini nelayan masih miskin dan bahkan masih dimiskinkan. Jadi keberhasilan yang sudah diklaim oleh mereka itu tidak benar,” demikian ungkap Tahir.

Tahir menjelaskan, apa yang sudah dirasakan nelayan saat ini seharusnya tidak boleh terjadi. Karena, nelayan tradisional di Indonesia sejak dulu hingga sekarang dikenal memiliki kemampuan melaut yang baik dan sudah teruji. Namun, kemampuan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah.

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Yang ada, kata Tahir, nelayan di pesisir Jakarta saat ini terancam kehilangan mata pencahariannya karena lokasi tempat melaut sudah hampir hilang seiring bergulirnya rencana reklamasi kawasan pesisir Pantai Utara Jakarta.

“Sampai sekarang tidak ada solusi apapun dari Pemerintah. Nelayan dibiarkan begitu saja. Padahal sudah jelas mereka terancam kehilangan profesinya. Pemerintah harus bisa memahami kondisi tersebut,” ungkap dia.

Kinerja Membaik Tak Berarti Nelayan Sejahtera

Sementara menurut Dani Setiawan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, membaiknya kinerja sektor perikanan dan kelautan di bawah kepemimpinan Susi Pudjiastuti tidak berarti menggambarkan kesejahteraan nelayan di Indonesia ikut meningkat.

“Ini memang sudah berjalan sejak lama. Kinerja ekonomi selalu memiliki gap dengan realita di lapangan. Itu juga yang terjadi di sektor kelautan dan perikanan sekarang. Nelayan tidak mendapatkan dampak positif dari peningkatan kinerja secara keseluruhan,” tutur dia.

Kondisi tersebut, menurut Dosen Oceanografi Insitut Pertanian Bogor Alan Koropitan, seharusnya tidak terjadi. Karena bagaimanapun, nelayan tradisional sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Nelayan tradisional, kata dia, mampu berlayar di lautan tanpa menggunakan kompas atau penunjuk arah seperti yang dimiliki kapal-kapal sekarang.

“Nelayan tradisional itu harus dipelihara dan diberi kesempatan untuk berkembang. Karena hanya mereka yang mengerti lautan Indonesia sebenarnya. Mereka akan fokus untuk menjaga ekosistem dan kekayaan hayati di dalamnya,” papar Alan.

Bentuk pengakuan dari Pemerintah itu, menurut Alan, adalah dengan diberikan akses permodalan dan asuransi kecelakaan dan hari tua. Jika itu sudah dilakukan, nelayan tradisional tidak akan takut untuk melaut hingga perairan terjauh sekalipun.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Secara keseluruhan, KNTI menyimpulkan capaian kinerja di bawah Susi Pudjiastuti masih belum terlalu bagus. Menurut Ketua Umum KNTI Riza Damanik, berdasarkan hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh KKP saat ini merupakan tindak lanjut dari kinerja lama.

“Artinya tidak ada temuan baru dalam hasil akhir anev (analisis dan evaluasi). Selain itu kinerja penegakan hukum juga belum terhubung dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kinerja ekonomi perikanan,” pungkas Riza.

Karena itu, KNTI merekomendasikan dalam hal pemberantasan pencurian ikan, Pemerintah segera mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang menggunakan kapal eks asing untuk pencurian ikan untuk tanggungjawab materil atas kerugian yang diterima oleh negara akibatnya kejahatannya, dengan usulan 5 tahun terakhir.

Rekomendasi untuk kesejahteraan nelayan dan petambak, yaitu benahi akses dan perlindungan harga BBM,  pembenahan terhadap Permen No.1/2015 untuk memberikan akses terhadap usaha pembenihan dan pembesaran lobster, dan penguatan kapasitas koperasi nelayan dan organisasi nelayan untuk mendapatkan kepastian ijin pasca moratorium.

 


Inilah Kritik Untuk Kepemimpinan Susi Pudjiastuti was first posted on May 29, 2015 at 2:27 am.

KPK : Hanya 1 Persen Luas Hutan Indonesia Yang Dikelola Masyarakat Adat

$
0
0

Hutan merupakan kekayaan Indonesia, yang berfungsi sebagai ruang publik dan penyangga kehidupan, budaya dan peradaban, sehingga pemanfaatannya harus secara adil.  Tetapi kondisi saat ini praktik penguasaan hutan justru melupakan hakikatnya sebagai bagian sistem hidup berbangsa. Ketimpangan pengelolaan dan watak kebijakan sumber daya alam yang otoriter, kelemahan dalam tata kelola dan ketidakpastian hukum dan korupsi.

“Penguasaan ratusan juga hektar luas kawasan hutan, belum sepenuhnya manfaat hutan dapat menjadi jalan kemakmuran bangsa dengan adil,” kata Plt pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi SP, dalam acara koordinasi dan supervisi (korsup) serta monitoring dan evaluasi (monev) sektor kehutanan dan perkebunan di empat provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta, di Semarang, Rabu (20/05/2015).

Plt pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi SP, mengungkapkan hasil kajian KPK di sektor kehutanan dan perkebunan dalam acara korsup dan monev di Semarang, Rabu (20/05/2015). Foto : Tommy Apriando

Plt pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi SP, mengungkapkan hasil kajian KPK di sektor kehutanan dan perkebunan dalam acara korsup dan monev di Semarang, Rabu (20/05/2015). Foto : Tommy Apriando

Menurutnya, dari total 41,69 juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang diberikan kepada skala kecil dan masyarakat adat. Sementara setiap tahun terjadi kerusakan hutan, yang merugikan sekitar 80 juta masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidupnya dari hutan. Buruknya pengawasan menyebabkan negara rugi hingga Rp35 triliun per tahun akibat pembalakan liar.

Data kajian KPK 2010 tentang perencanaan kehutanan, mengkonfirmasi persoalan tata laksana pengawasan hutan menjadi persoalan. Hasil kajian menemukan bahwa kelemahan pengawasan izin pinjam pakai menyebabkan terjadi potensi kerugian dan kehilangan negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam kawasan hutan sebesar Rp15,9 triliun.

“Di Kalimantan, Sumatera dan Papua ditemukan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam pakai. Untuk di Pulau Jawa kami masih akan perdalam dari hasil monev,” kata Johan.

Ia melanjutkan, korupsi menjadi penyakit dalam buruknya tata kelola hutan. Melalui metode kajian Corruption Impact Assessment (CIA), KPK membuktikan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat rentan korupsi, dengan ditemukan 13 dari 27 regulasi terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, mudah disalahgunakan dan menjadi peluang korupsi. Setiap perizinan penuh dengan suap, konflik kepentingan, pemerasan dan state capture.

“Melalui monev ini kami ingin membenahi berbagai hal untuk menyematkan sumberdaya alam kita. Seperti regulasi, kebijakan sumberdaya alam, menyelaraskan proses perencanaan hutan dan perkebunan dan memastikan penyelesaian konflik yang terjadi,” kata Johan Budi.

Potongan batang kayu yang layak tebang akan memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat dan lingkungan. Foto : Tommy Apriando

Potongan batang kayu yang layak tebang akan memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat dan lingkungan. Foto : Tommy Apriando

Sementara itu, Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Soepijanto mengatakan, hingga saat ini luas kawasan hutan ada 1.361.146 hektar di Jatim, 757.250 hektar di Jateng dan seluas 816.603 hektar di Jabar. Sedangkan hingga Oktober 2014 realisasi nasional percepatan penetapan kawasan hutan 61.434.612,94 hektar atau sekitar 50,86 persen, penetapan di tahun 2009 yakni 13.819.510,12 hektar atau 11,44 hektar, dengan total penetapan 75.252.123,06 hektar atau 62,30 persen.

“Rekapitulasi izin bidang pertambangan yang terindikasi berada pada hutan konservasi seluas 3.246,92 hektar. Operasi produksi 2 izin dan eksplorasi 4 izin,” kata Bambang.

Sedangkan hasil rekapitulasi izin bidang pertambangan yang terindikasi berada pada kawasan hutan lindung di Jatim seluas 16.711 hektar, Jateng seluas 3.033 hektar dan Jabar  seluas 12.900 hektar.

Adapun rekapitulasi penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dengan mekanisme pinjam pakai kawasan hutan di Jatim yakni 2 unit untuk ekplorasi dengan luas 3.673, 1 unit persetujuan prinsip dengan luas 421 hektar, 8 unit operasi produksi . Di Jateng persetujuan prinsip 5 unit dengan luas 156 hektar dan operasi produksi 1 unit dengan luas 150 hektar. Di Jabar ada 3 unit dengan  luas 21 hektar untuk persetujuan prinsip, 21 unit dengan luas 1.742 hektar untuk operasi produkasi.

“KLHK saat ini melakukan rencana aksi sektor kehutanan yakni pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administratif. Selain itu menata perizinan kehutanan dan perkebunan, perluasan wilayah kelola masyarakat serta membangun sistem pengendalian anti korupsi,” kata Bambang.

Direktur Pasca Panen dan Pembinaan Usaha Dirjen Perkebunan KLHK Bambang Saad mengatakan dari 2007 hingga 2015, yaitu ada 768 Ijin Usaha Perkebunan (IUP) dengan luas 6,08 hektar  yang tersebar di 24 provinsi,  95 persennya untuk komoditi kelapa sawit. Permasalahan umumnya,  IUP yang diberikan tumpang tindih dengan perusahaan perkebunan lain atau perusahaan pertambangan.

“Pelaporan pemberian IUP dan perkambangan pelaksanaan kegiatan dinas provinsi belum berjalan optimal dan pemberian izin tidak transparan serta waktu melebihi batas waktu  yang ditetapkan perundang-undangan yang berlaku,” katanya.

Solusi yang sedang dan akan dilakukan yakni pelaporan secara online  izin yang telah diberikan dan kemajuan pelaksanaan teknis,meningkatkan kordinasi pemerintah, perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya, penyelarasan peraturan perizinan serta mengoptimalkan peran pemberi izin sebagai pembina dan pengawas terhadap pelaksanaan perizinan usaha perkebunan.  “Tentu penerapan hukum yang lebih tegas juga perlu dilakukan,” tambah Bambang.

Desakan Koalisi Anti Mafia Hutan

Koalisi Anti Mafia Hutan mengapresiasi upaya KPK dan lembaga negara lain lewat Gerakan Nasional penyelamatan Sumberdaya Alam (GNSDA) dengan korsup KPK di sektor kehutanan dan perkebuan di Pulau Jawa.

Ronald M Ferdaus mewakili koalisi memaparkan puluhan ribu hektar kawasan lindung dan konservasi di Jabar, Jateng, DIY dan Jatim telah dibebani ijin pertambangan dan potensi kerugian negara dari land rent mencapai Rp8,4 miliyar. Sehingga perlu tindakan tegas untuk menghentikan pertambangan di kawasan konservasi  dan lindung,

“Selidiki kemungkinan adanya kasus korupsi dalam pemberian izin pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi tersebut,” katanya.

Catatan koalisi menyebutkan lahan di Pulau Jawa, khususnya yang dikelola Perum Perhutani, terjadi deforestasi terus menerus, masih banyak konflik lahan,  serta kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar hutan. Sedangkan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut. Juga konflik masyarakat yang terjadi di kawasan hutan konservasi yang dikelola Balai Taman Nasional. Pada kawasan hutan negara di DIY yang dikelola KPH Yogyakarta areal yang dicadangkan untuk HKm,HTR dan HD belum semua direalisasikan dalam pembentukan ijin kepada masyarakat, serta  konflik dengan masyarakat di areal PTPN.

“Perlu segera dilakukan audit terhadap Perum Perhutani terhadap hutan dan pengelolaan dan peruntukan di Pulau Jawa dan Madura,” tambah Ronald.

Koalisi merekomendasikan penegasasn pemisahan kewenangan pemerintah sebagai regulator dan Perum Perhutani sebagai badan usaha (operator).  Juga erlu merevisi PP No. 62/2010 sebagai rasionalisasi penguasaan perhutani terhadap 2.566.899 hektar hutan Jawa dan Madura dengan mempertimbangkan  aspek pengelolaan, penguasaan dan pengusahaannya karena banyak jenis usaha yang bertentangan dengan upaya pemeliharaan fungsi kawasan hutan serta kemandirian desa.

Sedangkan untuk sektor perkebunan, perlu moratorium perpanjangan ijin HGU diatas tanah yang sedang berkonflik dan pertegas tafsir pemberian hak prioritas atas izin HGU bahwa kepentingan rakyat yang harus diprioritaskan dalam pemanfaatan tanah negara eks perkebunan. Selain itu, hentikan pengelolaan dan pemanfaatan tanah perkebunan yang tidak sesuai peruntukan, hentikan kriminalisasi  terhadap masyarakat di areal-areal  perkebunan yang bersengketa dan pemerintah wajib memberikan bantuan dan perlindungan perkebunan rakyat, terutama dalam bentuk koperasi.

“Hentikan dan larang penjualan tanah negara eks perkebunan kepada pengembang perumahan/real estate ataupun kawasan industri,” tutup Ronald.

 


KPK : Hanya 1 Persen Luas Hutan Indonesia Yang Dikelola Masyarakat Adat was first posted on May 29, 2015 at 4:11 am.

Kenapa Kejahatan Tambang Masih Terus Terjadi di Indonesia?

$
0
0

Janji Joko Widodo untuk mengawal kejahatan tambang di Indonesia dinilai tidak pernah terealisasi sejak dia resmi dilantik menjadi presiden di negeri ini. Yang terjadi, Jokowi justru membiarkan kejahatan tambang semakin merajalela dan tak bisa dibendung oleh siapapun, hingga saat ini.

Fakta tersebut terungkap dalam peringatan Hari Anti Tambang (Hantam) 2015 yang jatuh pada Jumat (29/05/2015). Dalam peringatan yang digelar di Kantor KONTRAS, Jakarta, itu terungkap bahwa keterlibatan Negara dalam kasus tambang yang terjadi di Tanah Air tidak pernah ada. Fakta tersebut berbeda saat Jokowi masih melakukan kampanye untuk mencalonkan diri menjadi presiden.

Fakta itu bertentangan dengan kampanye pilpresnya di hadapan masyarakat korban Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2014, bahwa Negara harus hadir dalam kasus tambang sebagai representasi kedaulatan rakyat.

Berbagai elemen masyarakat melakukan aksi memperingati Hari Anti Tambang (Hantam) 2015 di depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (29/05/2015) siang. Foto : M Ambari

Berbagai elemen masyarakat melakukan aksi memperingati Hari Anti Tambang (Hantam) 2015 di depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (29/05/2015) siang. Foto : M Ambari

“Namun, ungkapan tersebut langsung berubah begitu Jokowi dilantik menjadi Presiden. Dengan lantang, dia mengatakan dalam pidato di KTT APEC 2014, bahwa Indonesia mengundang secara terbuka investor tambang untuk berinvestasi di Indonesia,” ujar Manager Emergency Response Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Ki Bagus Hadi Kusuma.

Ajakan Jokowi untuk investor di sektor tambang itu, lanjut Bagus, akan mengeruk sumber daya alam yang masif dan itu berarti terjadi perusakan alam dan sekaligus ruang hidup masyarakat.

“Bukan hanya itu, pemerintahan Jokowi juga mendukung eksplorasi tambang dengan dibangunnya akses transportasi menuju kesana. Itu memudahkan para investor untuk mengeruk tambang dari Indonesia. Ini sangat disayangkan sekali,” ungkapnya.

Bagi JATAM, apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah tidak berusaha menghentikan kejahatan tambang yang sudah berlangsung lama.”Ini yang disesalkan oleh kami sebagai rakyat. Padahal, jika eksplorasi tambang terus dilakukan, sudah jelas alam akan jadi taruhannya,” tegas Bagus lagi.

Kejahatan Korporasi yang Terstruktur Rapi

Menurut Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Edo Rahman, pembiaran eksplorasi tambang oleh Jokowi, menegaskan bahwa dia mendukung terjadinya kejahatan korporasi yang sudah terstruktur sangat rapi.

“Presiden sudah mengkampanyekan program Nawa Cita yang bertujuan menegakanna kedaulatan pangan dan reformasi agraria. Namun, kenyataannya itu bertolak belakang karena konversi lahan masih terus terjadi dan tidak terbendung sama sekali,” ungkap Edo kepada Mongabay.

Kasus yang paling hangat terjadi dan mengekspresikan Negara tidak peduli, adalah saat PT Semen Indonesia masuk ke kawasan pegunungan Kendeng Utara yang ada di di sebagian wilayah Kabupaten Pati, Rembang dan Blora di Jawa Tengah. Perusahaan tersebut masuk ke sana untuk mengeksplorasi tambang di kawasan resapan air itu.

“itu sudah tidak terbendung walaupun jika itu dilakukan ekosistem di sekitar pegunungan akan rusak. Status daerah resapan air juga akan terancam karena akan rusak nantinya. Dalam kasus ini, Negara sama sekali tidak muncul dan terkesan absen,” tegas dia.

Eksplorasi Energi Picu Perubahan Iklim

Dengan mendorong banyak eksplorasi di berbagai daerah, maka Indonesia mendorong terjadinya perubahan iklim lebih cepat lagi. Hal itu, karena eksplorasi energi yang sedang dilakukan saat ini berpotensi mempercepat perubahan iklim.

Padahal, dalam Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of The Parties (COP 19) UNFCCC, Indonesia sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26% pada 2020. Komitmen tersebut harusnya diwujudkan dengan terus menjaga kelestarian hutan Indonesia dari berbagai bentuk eksplorasi.

“Namun yang terjadi saat ini sebaliknya. Pemerintahan Jokowi justru mendorong terwujudnya program penyediaan pembangkit listrik tenaga batubara berkapasitas 35.000 MW. Program ini pasti akan mempercepat proses eksploitasi hutan dan memicu percepatan kerusakan hutan dan mengancam emisi gas rumah kaca semakin tinggi,” papar Muhammad Reza Shahib dari Koalisi Rakyat Hak Atas Air (Kruha).

Tari Soya-soya untuk Lumpur Lapindo

Peringatan Hari Anti Tambang 2015 juga dilakukan di depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (29/05/2015) siang. Dalam peringatan tersebut, massa dari berbagai elemen berkumpul untuk menyuarakan keprihatinan atas apa yang terjadi dalam sektor pertambangan di Indonesia saat ini.

Aksi keprihatinan itu diperlihatkan dengan melakukan orasi dari sejumlah organisasi massa dan juga melakukan aksi teatrikal yang dibawakan sejumlah mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta dan STT Nusantara, Tangerang Selatan.

Tarian Soya-soya dari Ternate, Maluku Utara menghiasi peringatan Hari Anti Tambang (Hantam)2015 di depan Istana Merdeka Jakarta pada Jumat (29/05/2015). Foto : M Ambari

Tarian Soya-soya dari Ternate, Maluku Utara menghiasi peringatan Hari Anti Tambang (Hantam)2015 di depan Istana Merdeka Jakarta pada Jumat (29/05/2015). Foto : M Ambari

Selain itu, peringatan Hantam juga diselipi dengan tarian Soya-soya yang berasal dari Ternate, Maluku Utara. Tarian tersebut mengisahkan tentang patriotisme pasukan Maloko Kieraha dalam upaya mengusir penjajah dari Maloko Kieraha.

Pementasan tarian itu menjadi simbol perlawanan yang dilakukan masyarakat peduli tambang terhadap penjajahan era baru dari sektor pertambangan.

“Kami disini karena kami tidak merasa didampingi oleh Negara dalam kasus eksplorasi tambang di Pulau Bangka. Kami ingin keadilan. Izin tambang sebenarnya sudah lama dicabut, namun kenapa eksplorasi masih terus terjadi. Pemerintah tolong hentikan ini,” ungkap orator yang berasal dari Pulau Bangka, Sulawesi Utara, Jull Takaliuang.


Kenapa Kejahatan Tambang Masih Terus Terjadi di Indonesia? was first posted on May 30, 2015 at 3:32 am.

9 Tahun Lumpur Lapindo, Negara Masih Absen

$
0
0

Banyak orang terlihat berkumpul di sekitar kolam penampungan lumpur Lapindo yang mulai mengering. Berbagai aktivitas dilakukan orang-orang tersebut, dari membawa poster, ogoh-ogoh sampai dengan berjualan.

Inilah aktivitas “Pulang Kampung” yang dilakukan warga korban lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim, memperingati 9 Tahun Tragedi Luapan Lumpur Panas, pada Jumat (29/05/2015) lalu. Juru bicara aksi, Rere Christanto mengatakan kegiatan Festival Pulang Kampung merupakan penanda bahwa sebelum lumpur menyembur, kawasan ini merupakan wilayah permukiman warga yang ramai dan terdapat kehidupan.

 

Anak-anak korban lumpur Lapindo bertopeng wajah Aburizal  Bakrie dengan spanduk dan poster peringatan 9 tahun lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Anak-anak korban lumpur Lapindo bertopeng wajah Aburizal Bakrie dengan spanduk dan poster peringatan 9 tahun lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

 

Namun akibat semburan lumpur panas dari sumur pengeboran Banjar Panji 1 milik PT. Lapindo Brantas, masyarakat belasan desa di 3 Kecamatan yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon, harus tercerai berai dan meninggalkan kampung halamannya sendiri.

“Peristiwa itu juga yang merusak sendi-sendi sosial masyarakat, kekerabatan, serta hubungan tetangga. Festival Pulang Kampung ini mengajak mereka untuk melihat kembali, setidaknya sekali lagi mereka bisa berkumpul, saling bertemu dengan tetangga yang lama, menjalin ikatan sosial yang dulu pernah ada,” ujar Rere.

Seorang korban lumpur dari Desa Siring, Umi Salami, mengatakan “Pulang Kampung” mengingatkan kehidupannya sebelum tenggelamnya rumah pekarangannya seluas 126 meter persegi hasil dia bekerja di Singapura, sawah, pekerjaan atau sumber penghidupan, serta kehidupan sosial budaya warga.

“Dulu kami hidup dari berjualan, ada juga teman-teman yang bekerja di pabrik, di sawah. Setelah semua terkena lumpur panas, kami mengungsi dan pindah ke tempat yang aman. Sekarang ini pekerjaan tidak tentu,” tutur Umi yang dulu biasa berjualan kue kering dan basah, dan sekarang terpaksa menjadi tukang ojek.

Umi belum menerima pelunasan sekitar Rp50 juta, dari nilai aset Rp290 juta. Dia berharap pemerintah segera menuntaskan dengan membayar tunai seluruh kerugian mereka. Sementara seorang korban lain, Munif, pasrah dengan ketidakpastian skema pembayaran ganti rugi, dan enggan mengambil uang muka 20 persen. Hingga kini Munif mengaku belum menerima sedikit pun uang ganti rugi dari Lapindo.

“Awalnya dijanjikan dibayar 20 persen dari total nilai aset Rp1,3 milyar, lalu 3 minggu kemudian dijanjikan 80 persen lunas. Tapi faktanya tidak ditepati janjinya,” ujar Munif warga Desa Siring yang rumahnya masih berdiri di pinggir jalan raya Porong meski kondisinya rusak parah.

Bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, menimbulkan kerugian tidak hanya material, namun juga kerugian di banyak aspek kehidupan masyarakat yang terdampak langsung maupun tidak langsung. Selain ribuan rumah, sawah dan kebun, terdapat 24 pabrik, 31.000 usaha mikro kecil dan menengah, serta 33 bangunan sekolah dan puluhan fasilitas umum tenggelam oleh lumpur.

Lumpur telah berimbas pada perekonomian seperti hilangnya tenaga kerja, pertanian dan tambak, serta berbagai bidang usaha. Tanpa kehadiran negara, kata Rere, para koraban justru mampu mengupayakan sendiri haknya yang hilang akibat semburan lumpur.

“Pemerintah sendiri tidak pernah hadir untuk warganya. Jadi selama 9 tahun ini seluruh hak warga yang hilang mulai ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Padahal seharusnya ini menjadi tanggungjawab dan beban pemerintah untuk memastikan hak warga negaranya itu tercukupi,” terang Rere dari Walhi Jatim.

 

Ogoh-ogoh Lapindo

Mengangkat tema “Rakyat Berdaya Meskipun Negara Alpa”, peringatan 9 Tahun Lumpur Lapindo ingin menggambarkan perjuangan korban lumpur, yang tidak kenal menyerah mengupayakan hak mereka dan tanpa menunggu aksi dari pemerintah.

 

Ogoh-ogoh wujud pemilik Lapindo Brantas, Aburizal Bakrie  diarak dan ditanam di kolam penampungan lumpur oleh warga korban lumpur  Lapindo dalam peringatan 9 tahun Luapan Lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Ogoh-ogoh wujud pemilik Lapindo Brantas, Aburizal Bakrie diarak dan ditanam di kolam penampungan lumpur oleh warga korban lumpur Lapindo dalam peringatan 9 tahun Luapan Lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

 

Peringatan 9 Tahun Lumpur Lapindo pada 29 Mei ditandai dengan diaraknya ogoh-ogoh raksasa berbaju kuning setinggi 5 meter berwujud pemilik Lapindo Brantas, yakni Aburizal Bakrie, dari bekas Pasar Porong menuju tanggul titik 21.

Boneka raksasa itu tampak terikat tangannya oleh rantai, dan dipasak di atas kolam penampungan lumpur. Beberapa warga melempari ogoh-ogoh itu dengan bunga tabur untuk makam, sambil mengeluarkan kalimat hujatan dan serapah. Musik patrol yang dibawakan anak-anak dari sanggar Al-Faz Desa Besuki, mengiringi prosesi arak-arakan itu.

“Kami akan selalu mengingat kejahatan yang dilakukan oleh keluarga Bakrie terhadap warga korban lumpur, kami akan terus berjuang dan menuntut apa yang menjadi hak kami,” teriak Abdul Rokhim, salah satu koordinator aksi warga korban lumpur.

Selain berorasi, anak-anak korban lumpur Lapindo juga membacakan puisi, yang berisi cerita kerusakan serta penderitaan yang dialami warga akibat lumpur panas.

“Dahulu damai kotaku, dahulu tenteram negeriku, tapi setelah peristiwa itu, hancur lebur lingkunganku, sawah-sawah yang dahulu hijau, alam indah yang memukau, kini semakin rusak,” lantun Hesti dalam puisi yang dibawakannya.

Peringatan juga diikuti Paguyuban Ojek Portal titik 21, Ibu-ibu Korban Lumpur Lapindo Ar-Rohma, serta ratusan korban lumpur dari berbagai desa yang terdampak.

Rere Christanto mendesak pemerintahan Jokowi mengambil langkah nyata menangani korban lumpur, melalui penyediaan layanan jaminan kesehatan, pendidikan, serta pemulihan lingkungan serta sosial budaya. Selama ini belum ada tindakan dari pemerintah selain mengurusi persoalan ganti rugi aset warga yang terdampak lumpur.

“Jadi jawabannya itu ada di jaminan pelayanan, jadi tidak harus berupa uang dalam bentuk cash, tapi dia berupa jaminan, misalnya untuk kesehatan pemberian layanan khusus BPJS untuk korban Lapindo, kemudian Kartu Indonesia Pintar untuk anak-anak, itu bisa jadi bagian dari solusi penyelesaian,” tuntutnya.

Sementara itu Bambang Catur Nusantara dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mendesak pemulihan kondisi lingkungan yang memburuk akibat lumpur Lapindo. Industri bisa kembali bila dampak dan hak korban lumpur belum tertangani.

“Dampak lumpur Lapindo multi dimensi, persoalan pemburukan lingkungan berdampak pada persoalan lain yang mengganggu hak dasar warga. Pemerintah harus membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo, dengan memasukkan pemulihak hak-hak korban lumpur menjadi perhatian utama,” tandasnya.

 

Manusia-Lumpur-di-tengah-kolam-penampungan-lumpur-sambil-membawa-bendera-Merah-Putih-dengan-latar-belakang-kepulan-asap-dari-pusat-semburan-lumpur

Manusia lumpur di tegah kolam penampungan lumpur membawa bendera Merah Putih dengan latar belakang kepulan asap dari pusat semburan. Foto: Petrus Riski 

 

Aksi Manusia Lumpur

Seminggu sebelumnya,  9 orang melakukan aksi teatrikal melumuri sekujur tubuhnya dengan lumpur hangat Lapindo, sambil berjalan beriringan membawa sebatang tongkat berbendera Merah Putih, yang kemudian ditancapkan di suatu titik di kolam penampungan lumpur.

Seniman dan penggagas aksi, Dadang Christanto mengatakan 9 manusia lumpur itu menandakan 9 tahun persoalan lumpur Lapindo yang belum tuntas, dengan penderitaan masyarakat korban lumpur.

“Peringatan Lapindo ke 9 tahun ini yang utama adalah ziarah ke makam keluarga, dan barusan kita lakukan. Dan ini koordinat dimana titik makam (desa) Siring berada,” ujar Dadang yang pada peringatan ke 8 tahun lumpur Lapindo membuat patung Survivor.

 

Setelah memanjatkan doa, warga bersama-sama menaburkan  bunga pada titik yang diyakini sebagai lokasi makam desa yang telah  tenggelam oleh lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Setelah memanjatkan doa, warga bersama-sama menaburkan bunga pada titik yang diyakini sebagai lokasi makam desa yang telah tenggelam oleh lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

 

Panasnya sinar matahari pada Minggu (24/5) dan bau menyengat dari pusat semburan lumpur Lapindo, tidak menjadi penghalang bagi sebagian warga untuk melakukan ziarah ke makam leluhur, menaburkan bunga dan berdoa di titik yang telah ditandai dengan bendera Merah Putih.

Sutrisno, korban lumpur dari Desa Kedungbendo, Tanggulangin, Sidoarjo mengatakan ada sedikitnya 9 kuburan warga dari 8 desa di 3 kecamatan di areal 800 hektar kolam penampungan lumpur.

Mereka juga berharap proses ganti rugi cepat diselesaikan sebelum lebaran, sesuai pernyataan Presiden Jokowi. “Kalau nanti molor lagi sampai 10 tahun, bagaimana jadinya warga korban Lapindo ini. Sekarang ini saja banyak korban Lapindo yang meninggal, yang sakit-sakitan, karena terlalu mikir pembayaran yang belum juga lunas,” tukas Sutrisno.

 

 

 


9 Tahun Lumpur Lapindo, Negara Masih Absen was first posted on May 30, 2015 at 6:03 am.

Inilah 10 Spesies Baru Terpopuler 2015

$
0
0

Setiap tahun, sebuah tim internasional ahli taksonomi dari Ilmu Lingkungan dan Kehutanan (Environmental Science and Forestry/ESF) SUNY dari Institut Internasional untuk Eksplorasi Spesies (International Institute for Species Exploration/IISE) memilih 10 spesies paling populer diantara sekitar 18.000 spesies tumbuhan maupun hewan temuan baru yang telah diberi nama, selama setahun sebelumnya.

Untuk 2015, tim tersebut telah mengumumkan 10 spesies populer, salah satunya adalah katak dari Indonesia.

Pemilihan 10 spesies baru terpopuler ini dilakukan sejak 2008, dan dirilis setiap tanggal 23 Mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Carolus Linnaeus, bapak taksonomi modern. Metode penamaan taksonomi Linnaeus yang dipublikasikan pada pertengahan abad ke-18 menjadi titik awal ‘modern’ penamaan dan klasifikasi tumbuhan dan hewan.

Presiden ESF dan Direktur Pendiri IISE, Dr Quentin Wheeler mengatakan inventarisasi tumbuhan dan hewan dimulai sejak abad ke-18, dan terus berlanjut sampai ditemukannya sekitar 18.000 spesies tambahan setiap tahun.

“Hampir 2 juta spesies yang telah dinamai sampai saat ini mewakili sebagian kecil dari sekitar 12 juta makhluk hidup. 10 juta sisanya, merupakan spesies yang tak tergantikan yang menunjukkan asal-usul kita, cetak biru rinci tentang bagaimana terbentuknya biosfer, dan menjadi petunjuk berharga untuk lebih baik, lebih efisien, dan lebih berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia sambil melestarikan makhluk hidup liar. 10 spesies populer adalah pengingat dari keajaiban yang menunggu kita,” kata Quentin.

Para ilmuwan berpikir bahwa kita masih memiliki 10 juta spesies untuk ditemukan, atau lima kali lebih banyak dari yang sudah kita ketahui. Hal itu menjadi pemikiran mendalam yang perlu direnungkan. Padahal pada kenyataanya, lebih banyak lagi makhluk hidup di bumi ini, dan seharusnya hal itu menjadikan kita lebih arif dan bijaksana memikirkan keberadaan kita sebagai manusia.

Berikut adalah 10 spesies baru terpopuler 2015 diurutkan berdasarkan abjad, versi ESF IISE

 

1.  Anzu wyliei (Dinosaurus berbulu, Amerika)

Anzu wyliei adalah kelompok hewan seperti burung, merupakan dinosaurus yang hidup di Amerika Utara. Spesies yang menyerupai Triceratops atau T-rex ini membuat sarang dan mengerami telurnya sampai menetas. Bentuk badannya seperti burung, dengan bulu, tulang berongga, moncong pendek dengan paruh seperti burung beo.  Omnivora ini hidup di dataran berawa, yang makan tumbuhan, hewan kecil dan mungkin telur.

 

Gambar rekonstruksi dari Anzu Wyliei yang hidup 66 juta tahun lalu di sebelah selatan Amerika Utara. Ilustrasi : Mark A Klingler/ Carnegie Museum of Natural History/ESF

Gambar rekonstruksi dari Anzu Wyliei yang hidup 66 juta tahun lalu di sebelah selatan Amerika Utara. Ilustrasi : Mark A Klingler/ Carnegie Museum of Natural History/ESF

 

Tiga kerangka tidak utuh ditemukan dalam kondisi baik di sebelah utara dan selatan Dakota, di Hell Creek Formation. Karena beberapa spesies famili caenagnathids, dimana Anzu wyliei dikategorikan, berukuran seperti ayam, maka dinosaurus berbulu ini dijuluki ‘ayam dari neraka’. Namun dengan ukuran badan 3,5 m, tinggi 1,5 m dan berat  200-300 kg, dinosaurus berbulu ini bukanlah ayam.

 

2.  Balanophora coralliformis (Filipina)

Tumbuhan ini merupakan parasit akar dari Filipina, berbentuk seperti terumbu karang yang berongga, memanjang dan bercabang, berbeda dengan tumbuhan umbi-umbian serumpun yang tumbuh di atas tanah.  Karena tidak berkorofil sehingga tidak bisa melakukan fotosintesis, tumbuhan ini bersifat parasit yang menyedot nutrisi dari tumbuhan inangnya.

 

Bentuk cabang dan dan perumbian dari  Balanophora coralliformis, tumbuhan yang ditemukan di Gunung Minga, Luzon, Filipina. Foto : P.B Pelser dan J.F Barcelona /ESF

Bentuk cabang dan dan perumbian dari Balanophora coralliformis, tumbuhan yang ditemukan di Gunung Minga, Luzon, Filipina. Foto : P.B Pelser dan J.F Barcelona /ESF

 

Tumbuhan ini diketahui berjumlah kurang dari 50 spesies, yang semuanya ditemukan hutan berlumut di ketinggian 1.465 – 1.735 mdpl di lereng barat daya Gunung Mingan, Luzon, Filipina. Karena begitu sedikit tanaman ini diketahui, dan ditemukan di daerah sempit yang tidak terlindungi, para ilmuwan yang mengidentifikasnya segera mengkategorikan tumbuhan ini terancam punah (critically endangered).

 

3.  Laba-laba Cebrennus rechenbergi (Maroko)

Laba-laba yang hidup di padang pasir Er Rachidia, Meknès-Tafilalet, Maroko ini bertingkah laku seperti pesenam yaitu berjungkir balik dan berputar cepat melarikan diri ketika dalam keadaan bahaya.

 

Perilaku berputar dan melarikan diri secara cepat dari laba-laba Cebrennus rechenbergi. Foto : Ingo Rechenberg/Technical University Berlin/ESF

Perilaku berputar dan melarikan diri secara cepat dari laba-laba Cebrennus rechenbergi. Foto : Ingo Rechenberg/Technical University Berlin/ESF

 

Tetapi hidup di padang pasir, melarikan diri bisa menjadi sia-sia karena tidak ada tempat bersembunyi. Sehingga daripada melarikan diri, laba-laba ini lebih memilih maju ke sumber ancaman, layaknya teori menyerang adalah pertahanan yang terbaik.

Suhu tinggi di padang pasir, bisa berakibat fatal bagi laba-laba jika berperilaku memboroskan energi. Sehingga melarikan diri ala pesenam, diduga merupakan usaha terakhir melarikan diri dari bahaya.

 

4.  Dendrogramma enigmatica (Australia)

Dendrogramma enigmatica dan spesies baru kedua yaitu D. discoids, adalah hewan multisel sangat kecil yang terlihat agak seperti jamur, dengan mulut didasar ‘batang’ dan ujung lainnya dalam bentuk cakram pipih.

 

Bentuk lateral dan aboral dari Dendrogramma Enigamatica. Foto : Jorgen Olesen/ESF

Bentuk lateral dan aboral dari Dendrogramma Enigamatica. Foto : Jorgen Olesen/ESF

 

Identifikasi terbaik menunjukkan bahwa hewan itu terkait dengan filum Cnidaria (ubur-ubur, karang, anemon laut dan hydra) atau Ctenophora (ubur-ubur sisir) atau keduanya. Tapi bentuk evolusi uniknya berbeda dengan filum Cnidaria dan Cthenophora, sehingga bisa dikategorikan sebagai filum yang sama sekali baru. Hewan ini menyerupai fosil dari masa Prakambrium, sehingga mungkin merupakan fosil hidup.

Hewan masih misterius karena sampel spesiesnya masih dikumpulkan untuk dianalisis DNA-nya. Hewan berukuran tangkai  sekitar 8 mm dan tudung berukuran 11mm, ditemukan di dasar laut, pada kedalaman sekitar 1.000 meter di perairan selatan Point Hicks, Victoria, Australia.

 

5.  Tawon Deuteragenia ossarium (China)

Tawon berukuran sekitar 15 mm ini ditemukan di Cagar Alam Gutianshan, China timur. Serangg ini mempunyai cara unik untuk melindungi keturunannya, yaitu dengan membangun beberapa sel sarang di rongga batang tumbuhan, yang dipisahkan dinding tanah. Tawon ini membunuh seekor laba-laba yang diletakkan di setiap sel sarang sebagai makanan bagi tawon-tawon mudanya.

 

Seekor tawon Deuteragenia ossarium betina di habitat aslinya di tenggara China. Foto : Michael Staab/ESF

Seekor tawon Deuteragenia ossarium betina di habitat aslinya di tenggara China. Foto : Michael Staab/ESF

 

Setiap kali tawon ini bertelur, kemudian diletakkan di satu sel sarang yang segera ditutup dengan tanah, dan berburu laba-laba untuk sel berikutnya. Tawon ini menjadi hewan pertama yang diketahui menggunakan cara bersarang seperti itu.

 

Sarang tawon Deuteragenia ossarium dengan laba dan semut mati di dalam sarangnya. Foto : Michael Staab/ESF

Sarang tawon Deuteragenia ossarium dengan laba dan semut mati di dalam sarangnya. Foto : Michael Staab/ESF

 

Tawon ini memiliki tingkat parasitisme signifikan lebih rendah daripada tawon rongga-bersarang serupa. Kamuflase sarang terbuat dari lapisan bahan kimia yang mudah menguap dari semut mati, sehingga menghindarkan dari pemangsa larva tawon itu karena aromanya.

 

6.  Katak Limnonectes larvaepartus (Indonesia)

Ada satu keunikan tersendiri dari katak Limnonectes larvaepartus yang masuk kategori katak bertaring ini,yaitu melahirkan berudu yang disimpan dalam kolam air.

 

Katak Limnonectes larvaepartus jantan (kiri) dan betina (kanan) di habitatnya di Gorontalo, Sulawesi. Foto : Jimmy Mcguire/ESF

Katak Limnonectes larvaepartus jantan (kiri) dan betina (kanan) di habitatnya di Gorontalo, Sulawesi. Foto : Jimmy Mcguire/ESF

 

Sekitar 6455 spesies katak di dunia membuahi telurnya didalam rahim katak betina, kecuali 12 spesies katak diantaranya, termasuk katak L. larvaepartus ini, yang membuahi telurnya diluar alias melahirkan.

 

Katak Limnonectes larvaepartus jantan memanggil katak betina di sebuah kolam di Gorontalo, Sulawesi. Terdapat berudu katak sejenis di sebelah katak jantan tersebut. Foto : : Jimmy Mcguire/ESF

Katak Limnonectes larvaepartus jantan memanggil katak betina di sebuah kolam di Gorontalo, Sulawesi. Terdapat berudu katak sejenis di sebelah katak jantan tersebut. Foto : : Jimmy Mcguire/ESF

 

Spesies dengan ukuaran sekitar 40 mm, ditemukan di Gorontalo, Sulawesi yang belum dieksplorasi jenis katak sepenuhnya untuk. Katak yang hidup hutan alam, sering ditemukan bersamaan 1-5 spesies katak dari genus yang sama. Katak  ini ditemukan di atas serasah daun, rerumputan dan substrat berbatu di sungai yang mengalir.

 

7.  Serangga Phryganistria tamdaoensis (Vietnam)

Meskipun bukan serangga terpanjang, Phryganistria tamdaeoensis berukuran sekitar 23 cm ini menjadi bukti kuat bahwa serangga jenis lain mungkin berukuran lebih panjang. Serangga tongkat terpanjang sampai saat ini, masih dipegang  oleh Phobaeticus chani, dengan ukuaran sekitar 56 cm yang ditemukan di Kalimantan pada 2008.

 

Ukuran serangga Phryganistria tamdaoensis dibandingkan lengan seorang pria. Foto : Jonatahan Brecko/ESF

Ukuran serangga Phryganistria tamdaoensis dibandingkan lengan seorang pria. Foto : Jonatahan Brecko/ESF

 

Serangga tongkat raksasa ini umum ditemukan di kota kota Tam Dao, Vietnam yang sering dikunjungi oleh banyak ahli entomologi, tetapi ternyata luput dari perhatian sampai sekarang.  Serangga ini dinamai sesuai daerah ditemukannya yaitu Taman Nasional Tam Dao di pegunungan di barat laut Vietnam.

 

8.  Siput laut Phyllodesmium acanthorhinum (Jepang)

Siput ini merupakan missing link antara siput laut yang memakan hidroid dan siput laut yang hidup di terumbu karang. Siput laut eksotis dengan warna warni cerah seperti biru, merah dan emas, memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai simbiosis antar spesies dalam genus siput laut tersebut.

 

Spesies siput laut baru Phyllpdesmium acanthorhinum. Foto : Robert Bolland/ESF

Spesies siput laut baru Phyllpdesmium acanthorhinum. Foto : Robert Bolland/ESF

 

Siput laut ini memiliki banyak tangkai, yang dalam ganggang disebut zooanthellae. Ganggang ini memiliki hubungan simbiosis utama dengan karang yang memberi makan siput laut ini.  Siput laut berukuran sekitar 17-28 mm, ditemukan di perairan di pulau-pulau di Jepang.

 

9.  Tillandsia religiosa (Meksiko)

Tumbuhan ini sering dipakai oleh masyarakat di desa Sierra de Tepoztlán, Tlayacapan, San José de los Laureles, dan Tepoztlán di Moreles, Meksiko dalam hiasan altar natal atau nacimientos.

 

Tumbuhan Tillandsia religiosa di habitat aslinya. Foto : A Espejo/ESF

Tumbuhan Tillandsia religiosa di habitat aslinya. Foto : A Espejo/ESF

 

Tillandsia religiosa ini mempunyai tangkai daun berwarna hijau dan kuncup berwarna merah muda, tumbuh dengan tinggi 1,5 meter di di habitat berbatu di wilayah utara Morelos, Meksiko.

Tumbuhan tidak berbatang dan soliter, serta berbunga pada Desember hingga Maret setiap tahunnya. Tumbuhan ini ditemukan di tebing dan dinding vertikal, atau sekitar pohon berdaun jarum dan pohon ek di hutan dengan ketinggaian 1.800 – 2.100 mdpl.

 

10.   Ikan buntal Torquigener albomaculosus (Jepang)

Para ilmuwan baru-baru ini memecahkan misteri 20 tahun tentang crop circle yang ada di bawah laut dasar dekat Pulau Amami Oshima, Jepang. Lingkaran rumit dengan desain geometris dengan diameter sekitar 2 meter, ternyata dibuat oleh spesies baru ikan buntal, Torquigener albomaculosus.

 

Seekor ikan buntal jantan Torquigener albomaculosus (kanan) menggigit betinanya (kiri)ketika mereka bereproduksi. Foto : Yoji Okata/ESF

Seekor ikan buntal jantan Torquigener albomaculosus (kanan) menggigit betinanya (kiri)ketika mereka bereproduksi. Foto : Yoji Okata/ESF

 

Ikan buntal jantan Torquigener albomaculosus membangun ini sebagai menarik perhatian ikan buntal betina dan sebagai sarang pemijahan, dengan berenang dan menggeliat di pasir dasar laut.  Para ilmuwan menemukan pola ganda geometris lingkaran sarang itu berfungsi sebagai perlindungan telur dari predator dan arus laut.

 

Seekor ikan buntal jantan Torquigener albomaculosus sedang membuat crop circles dari pecahan kerang sebagai tempat pemijahan dan menarik perhatian betinanya.Foto : Yoji Okata/ESF

Seekor ikan buntal jantan Torquigener albomaculosus sedang membuat crop circles dari pecahan kerang sebagai tempat pemijahan dan menarik perhatian betinanya.Foto : Yoji Okata/ESF

Pola lingkaran geometris yang dibuat ikan buntal jantan Torquigener albomaculosus jantan. Foto : Yoji Okata/ESF

Pola lingkaran geometris yang dibuat ikan buntal jantan Torquigener albomaculosus jantan. Foto : Yoji Okata/ESF

 

Fotografer bawah laut, Yoji Okata, yang pertama kali menemukan hal itu. Selanjutnya, tim ahli hewan laut dan kru televisi melakukan ekspedisi untuk merekam fenomena tersebut.

 

 

 


Inilah 10 Spesies Baru Terpopuler 2015 was first posted on May 31, 2015 at 10:03 am.

Petani Sawit Pelindung Hutan Danau Naga Sakti

$
0
0

Sebuah pohon sawit berusia sekitar enam tahun tampak tak terawat di pinggir Danau Naga Sakti, Kecamatan Pusako, Siak, Riau. Rumput liar dan ilalang setinggi satu meter telah membalut batangnya yang tak terawat. Pohon akasia liar tumbang tepat di sampingnya menutupi jalan setapak menuju danau.

Sementara itu puluhan burung tampak melayang-layang di permukaan air yang tenang. Sesekali menukik menyambar serangga air yang ada di permukaan danau sehingga membentuk riak kecil. Matahari belum naik sempurna. Langit timur masih memerah lalu lambat laun menguning setengah jam kemudian. Segarnya udara hutan pagi itu begitu terasa.

Lansekap dari udara Danau Naga Sakti yang dikelilingi hutan di Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia. Foto : Greenpeace

Lansekap dari udara Danau Naga Sakti yang dikelilingi hutan di Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia. Foto : Greenpeace

“Inilah hutan di sekitar danau yang ingin kami lindungi. Pohon sawit itu dulunya ditanam warga. Tapi setelah ada perdes (peraturan desa) untuk melindungi sisa hutan di desa, pohon sawit ini dibiarkan saja begitu,” ujar Dahlan (53), warga Desa Dosan, Kecamatan Pusako, Siak, Riau kepada Mongabay pada pertengahan April 2015.

Dahlan bisa dikatakan sebagai salah satu sosok yang turut melahirkan kebijakan perlindungan hutan di desa itu.

Namun jauh sebelum mendorong terbitnya perdes, dulunya Dahlan justru bekerja sebagai pembalak liar. Dia membalak kayu Bentangur, Balam dan lainnya yang bernilai jual tinggi di Sungai Mandau, Kabupaten Bengkalis. Dia bersama rombongan  biasanya berdelapan orang menebang tiga pohon sehari berdiameter lebih dari 30 sentimeter. Satu bulan 20 meter kubik kayu.

“Itu pekerjaan yang pernah saya sesali. Karenanya sudah dapat modal dikit-dikit lalu saya ke (Desa) Lubuk Dalam (untuk) daftar sisipan transmigrasi tahun 1988-1995. Lalu balik ke Dosan untuk bangun desa,” kata Dahlan mengenang perjalanan hidupnya.

Saat di transmigrasi Dahlan banyak belajar bagaimana bercocok tanam terutama perkebunan sawit dan karet. Ia sangat antusias karena bercocok tanam tidaklah ada dalam kehidupan masyarakat di Desa Dosan. Mata pencaharian utama warganya adalah nelayan.

“Di (program) transmigrasi, saya dapat lahan dua hektar. Terpikirkan oleh saya, masa lahan yang jelek seperti ini saya pertahankan. Sementara di belakang rumah di kampung saya yang belukar saya tinggalkan, padahal masih lebih bagus. Tahun 2000 saya coba mengusulkan ke pemerintahan desa karena saya sudah melihat contoh kesejahteraan dari Lubuk Dalam memang sejahtera mereka,” kenang Dahlan.

Usahanya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperkenalkan sawit mendapat reaksi beragam. Umumnya ditertawakan orang karena jika pun ada pemanenan akan percuma tidak bisa dijual, karena belum ada akses jalan darat kecuali lewat Sungai Siak.

Namun demikian dia terus berusaha melobi pemerintah agar mau membangun kebun sawit. Program itu pun akhirnya disetujui dengan pembangunan jalan akses sebagai tahap awalnya. Tapi hambatan yang dihadapi Dahlan semakin besar. Tidak ada masyarakat yang mau menyerahkan tanahnya untuk pembangunan jalan desa.

“Di situlah saya merasa sedih. Waktu itu saya diancam senjata tajam jangan sampai jalan itu menyentuh tanah warga yang menolak. Pada tahun 2002 sosialisasi program sawit di seluruh desa banyak yang menolak. Ada sekitar 32 KK tidak setuju karena belum paham sawit,” tambah Dahlan.

Kini, setelah berjuang beberapa tahun untuk meyakinkan masyarakatnya, manfaat dari program sawit itu pun sudah dirasakan bukan hanya seorang Dahlan, tapi hampir seluruh warga Dosan telah menikmatinya. Dahlan sendiri kemudian membentuk KUD (Koperasi Unit Desa) Bungo Tanjung bersama tiga ratusan petani sawit mandiri lainnya.

Program sawit pemda ini sendiri dibangun pada kurun waktu 2003-2004 dengan total kebunnya mencapai 3.500 hektar untuk tujuh desa. Desa Dosan mendapat jatah 723 hektar. Hampir semua lahan itu dulunya hutan.

Aktivitas petani sawit mandiri Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia, Sabtu (16/04/2015). Petani sawit mandiri Dosan bersama pemerintah desa berkomitmen melindungi hutan tersisa di sekitar Danau Naga Sakti dan tertulis dalam Perdes (peraturan desa) perlindungan hutan. Foto: Zamzami

Aktivitas petani sawit mandiri Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia, Sabtu (16/04/2015). Petani sawit mandiri Dosan bersama pemerintah desa berkomitmen melindungi hutan tersisa di sekitar Danau Naga Sakti dan tertulis dalam Perdes (peraturan desa) perlindungan hutan. Foto: Zamzami

Firdaus, Kepala Desa Dosan mengatakan bahwa program sawit pemda itu adalah titik balik kemajuan desanya. Satu dekade lalu masyarakatnya sangatlah miskin. Dalam laporan pemerintah, Dosan termasuk kategori desa tertinggal atau IDT (Inpres Desa Tertinggal). Ini dibuktikan hampir semua penduduknya berstatus sebagai penerima zakat.

“Tapi itu dulu. Sekarang boleh ditanya ke masyarakat, Alhamdulillah sudah sebagai pemberi zakat malahan,” katanya.

Pembangunan Desa Dosan memang cukup pesat terutama lima tahun terakhir ketika sawit sudah berumur lima tahun dan sudah mulai menghasilkan banyak buah. Jembatan kayu ringkih yang menghubungi Dosan dengan desa tetangga sudah disulap menjadi rangka beton dan aspal. Jalanan kerikil dan berlubang pun diubah menjadi aspal. Bahkan pada April lalu, sebuah pasar kabupaten yang akan melipatgandakan perputaran uang di desa tersebut baru saja diresmikan operasinya.

Peningkatan kesejahteraan kehidupan juga terlihat dari sektor pendidikan. “Dulu ekonominya rendah. Kalau lagi musim hujan, kebun karetnya tak menghasilkan. Untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sangat kecil sekali kemungkinannya. Kini setelah sawit pemda menghasilkan, hampir semua aspek itu mengalami peningkatan. Ekonomi, pola pikirnya juga. Kalau dulu anak tamat SD, SMP sudah (dirasa cukup) kini sekarang sudah mulai banyak yang sarjana,” kata Efendi seorang guru di SMA Negeri 1 Pusako Desa Dosan, April lalu.

Meski manisnya sawit telah dirasakan masyarakat, cuaca panas mulai melanda desa. Rindangnya hutan yang membawa kesejukkan tak lagi dirasakan. Ekspansi dan konversi lahan dan hutan di desa menjadi kebun sawit semakin menjadi-jadi. Hal itu diakui Firdaus,  Kepala Desa Dosan.

“Awalnya kami tidak terlalu sadar dampak ekspansi sawit. Tapi lama-lama kenapa terasa panas. Beda dengan sepuluh tahun lalu. Kalau lagi musim kemarau, selalu terjadi kebakaran hutan dan kabut asap telah mengganggu kami,” kata Firdaus.

Kesadaran itu yang membuat pemerintahannya bersama ratusan petani sawit KUD Bungo Tanjung pun membuat perjanjian untuk melindungi sisa hutan seluas sekitar 400 hektar di sekitar Danau Naga Sakti. Komitmen tersebut tertuang dalam Peraturan Desa No. VI/Perdes/VII/2011 tentang perlindungan hutan. Dalam peraturan itu juga tertulis bahwa masyarakat tidak akan lagi memperluas kebun sawit di kawasan yang berhutan.

Komitmen perlindungan hutan dari petani sawit mandiri Desa Dosan tidaklah datang dengan sendirinya. Ada banyak pihak yang mendorong terbitnya perdes dari dalam maupun pihak luar termasuk LSM seperti Perkumpulang Elang dan Greenpeace. Meski demikian keinginan kuat untuk perlindungan hutan itu datang dari masyarakat sendiri.

“Bagi kami terjaganya hutan di sekitar danau itu sangat penting. Itu sumber air utama yang menjaga lahan (kebun) agar tidak kering pas kemarau. Selain itu untuk menahan pemanasan global seperti kata orang-orang itu,” ujar Firdaus.

Desa Dosan terletak di sebelah timur Riau sekitar 3 jam perjalanan darat dari Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Desa ini berada di lingkar luar hamparan gambut kaya karbon Semenanjung Kampar. Hamparan gambut merupakan lansekap utuh yang di dalamnya terdapat kekayaan hayati penting dan juga tempat di mana puluhan ribu masyarakat hidup bergantung pada kelestariannya.

Luas semenanjung Kampar sendiri sekitar 700 ribu hektar yang terbentang di dua kabupaten yakni Siak dan Pelalawan. Keanekaragamannya sangat tinggi yang juga menunjukkan hutan ini tempat penting bagi satwa dilindungi seperti harimau sumatra. Survei cepat yang pernah dilakukan LSM WWF menyimpulkan bawah rata-rata foto harimau yang diperoleh dari kamera perangkap di Semenanjung Kampar ini merupakan yang tertinggi dibandingkan studi-studi lainnya yang pernah dipublikasikan di Indonesia.

Masih menurut WWF, pada tahun 2002, kondisi hutan di lansekap ini cukup bagus karena hampir seluruh kawasan dirimbuni pepohonan tua. Namun lima tahun berikutnya pada 2007 hanya tinggal 400 ribu hektar. Sekitar 300 ribu hektar lainnya telah dibagi oleh pemerintah yang memberikan izin ke dua perusahaan kayu kertas, yaitu Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) untuk mengubah hutan rindang menjadi kebun akasia. Selain itu juga terdapat konsesi perkebunan sawit namun jumlahnya sedikit.

Ekosistem unik gambut yang telah dihancurkan menyebabkan kerusakan di bagian lain hamparan itu. Menurut Susanto Kurniawan, Direktur Perkumpulan Elang, LSM yang berbasis di Riau mengatakan bagian hutan yang tersisa di Semenanjung Kampar terus mendapat tekanan oleh ekspansi kelapa sawit baik oleh perusahaan maupun masyarakat sejak beberapa tahun lalu. Karenanya penyelamatannya harus dimulai dengan mengamankan kawasan hutan yang tersisa.

“Komitmen perlindungan hutan seperti di Desa Dosan menjadi sangat penting perannya bagi lansekap Semenanjung Kampar. Apalagi sekarang ini sudah ada niat dari Pemerintah Kabupaten Siak untuk mereplikasi model ini di desa lainnya,” kata Susanto, pada Rabu (07/05/2015).

Menurut dia, petani mandiri Dosan bukan saja berhasil berkomitmen tapi juga telah menerapkan sejumlah praktik pengelolaan lahan yang baik dan ramah lingkungan. Ini terlihat dari upaya masyarakat yang menyekat kanal-kanal di kebun mereka agar tidak kering pada masa kemarau dan untuk menjaga ketinggian air gambut.

Kini inisiatif perlindungan hutan dari para petani Dosan telah diakui oleh asosiasi kelapa sawit berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO) dengan memberikan keanggotaan bagi KUD Bungo Tanjung pada Maret 2015.

Desi Kusumadewi, jurubicara RSPO Indonesia mengatakan, RSPO melihat bahwa KUD Bungo Pusako telah menunjukkan komitmen untuk produksi sawit berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian keluarga mereka dan perlindungan lingkungan melalui pelestarian hutan.

“Dengan menjadi bagian dari organisasi, mereka bisa meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam praktik bertani, dan memiliki akses yang lebih baik ke pasar, bantuan pendanaan, fasilitas produksi dan bahan-bahan untuk mengembangkan perkebunan mereka, termasuk posisi tawar yang lebih baik dalam memasarkan tandan buah segarnya,” tulis Desi menjelaskan lewat surat elektronik kepada Mongabay.

Dahlan (53), petani sawit mandiri Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia berdiri di tepi Danau Naga Sakti dekat desanya, Sabtu (16/4/2015). Petani sawit mandiri Dosan bersama pemerintah desa berkomitmen melindungi hutan tersisa di sekitar danau dan tertulis dalam Perdes (peraturan desa) perlindungan hutan. Foto: Zamzami

Dahlan (53), petani sawit mandiri Desa Dosan, Kabupaten Siak, Riau, Indonesia berdiri di tepi Danau Naga Sakti dekat desanya, Sabtu (16/4/2015). Petani sawit mandiri Dosan bersama pemerintah desa berkomitmen melindungi hutan tersisa di sekitar danau dan tertulis dalam Perdes (peraturan desa) perlindungan hutan. Foto: Zamzami

Dahlan, dan sejumlah petani memang berharap dengan bergabungnya mereka dalam RSPO akan membawa dampak nyata dalam penentuan harga yang saat ini dikuasai oleh para tengkulak atau agen.

Dahlan mengakui bahwa keanggotaan RSPO yang telah diterima petani adalah kemajuan kecil. Ada banyak tahapan lagi yang harus dilaluinya beserta petani Dosan untuk memperoleh sertifikat kebun keberlanjutan.

“Tantangannya adalah persatuan kelompok petani dan manajemen koperasi. Sejauh ini praktik pengelolaan yang baik yang dilakukan petani sudah mengundang sejumlah perusahaan produsen. Tapi ya baru sekadar melihat-lihat. Kita berharapa kalau sudah dapat sertifikat, kita sendiri yang menentukan ke mana kita akan jual buah ini dengan harga yang kita tetapkan sendiri,” ujarnya.

Meski perjalanan memperoleh sertifikasi masih panjang, bagi Dahlan, komitmen petani dan masyarakatnya untuk melindungi hutan di sekitar Danau Naga Sakti adalah sebuah pencapaian yang cukup besar.

“Kami tidak mau kalau nanti ditanya anak cucu mana hutan sementara kami habiskan semuanya sekarang apakah itu untuk meningkatkan ekonomi atau kesejahteraan. Uang pasti akan habis. Tapi ini (hutan) titipan dari mereka,” ujarnya.


Petani Sawit Pelindung Hutan Danau Naga Sakti was first posted on June 1, 2015 at 4:32 am.

Jamaludin Latif, Aktivis Sepeda Penggagas Ijolan Sampah Dari Yogyakarta

$
0
0

Jamaludin Latif berambut gondrong dan beberapa helai rambut sudah memutih. Di rumahnya di Jalan Sugeng Jeroni, Gang Kartini, Suryowijawayan, Yogyakarta terparkir berbagai macam sepeda. Ada jenis BMX, Citybike dan Sepeda Post dari Jepang. Kemanapun pergi ia selalu bersepeda. Berkendaraan sepeda motor hanya selingan. Dari aktivitas itulah, ia jadikan sebagai mata pencarian yakni berjualan sepeda.

Pada tahun 1994, dari kampungnya di Pekalongan, Jawa Tengah, ia datang ke Jogja. Ia kuliah di kampus Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi). Setiap hari ia melihat banyak orang bersepeda, mulai dari pedagang, siswa sekolah, mahasiswa bahkan pekerja. Udara masih asri dan segar. Bangunan seperti mal, apartemen dan hotel sangat jarang dan tidak pernah ada persoalan krisis air.

Akan tetapi, saat ini hal itu tidak lagi dijumpainya. Persoalan lingkungan dan tata kota Jogja menurutnta semakin berantakan. Berbagai hal ia lakukan untuk menyuarakan berbagai persoalan lingkungan di Jogja, mulai dari menggagas ijolan sampah (bertukar sampah), mengajak masyarakat kembali bersepeda untuk sekolah dan bekerja, serta setiap aktivitas seni teater yang ia buat selalu bersinggungan dengan persoalan lingkungan.

Jamaludin, pemuda penggagas ijolan sampah dan gerakan bersepeda dari Yogyakarta. Foto : Tommy Apriando

Jamaludin, pemuda penggagas ijolan sampah dan gerakan bersepeda dari Yogyakarta. Foto : Tommy Apriando

Mongabay berkesempatan mewawancarai Jamaludin, berikut petikan wawancarnya:

Mongabay     : Apa yang membuat anda tertarik bersepeda dan aktif menyuarakan lingkungan di Yogyakarta?

Jamaludin     : Saya melihat Jogja secara geografis kotanya cocok untuk bersepeda dan sejarahnya. Kota Jogja didesain Belanda bukan untuk roda mesin karena cenderung lebih banyak dataran. Lalu alasan bersepeda itu harusnya jelas karena lebih ramah lingkungan. Tidak menggunakan bahan bakar yang menghasilkan polusi udara dan sudah tentu sehat. Saya punya komunitas pesepada dari berbagi jenis sepeda namanya Hub for Cycles. Komunitas ini punya konsen pada lingkungan. Awalnya kami berpikir alasan kami bersepeda itu harusnya otomatis karena cinta lingkungan, namun juga harus ada manfaatnya. Seperti ketika kami bersepeda lalu menemukan tempat pembuangan sampah liar, kami membersihkannya.

Lalu kami berfikir lebih jauh, jika hanya membersihkan sampah efeknya tidak begitu signifikan. Akhirnya kami membuat kegiatan bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jogja yakni ijolan sampah. Orang membuang sampah sembaranga semakin banyak dan edukasi pemilahan organik dan anorganik sampah masih kurang.

Ijolan sampah konsepnya adalah kami membuat publikasi ke masyarakat untuk mengumpulkan barang-barang bekas yang menurut mereka dianggap sampah, namun sesungguhnya masih layak dipakai. Seperti baju, sepatu, mainan anak, celana, buku, peralatan dapur dan barang lainnya yang semua barang tersebut bentuknya sumbangan.

Kami tanpa modal mengumpulkan barang tersebut. Kemudian kami buat pasar bernama ijolan sampah. Bentuknya seperti pasar, namun harga barang yang dijual lebih murah dibandingkan harga di pasar loak (barang bekas).

Setiap orang yang membeli barang tersebut tidak memakai uang, namun dengan membawa sampah plastik. Sampah ditimbang lalu dikonversi dari berat sampah tersebut dengan poin. Seumpama membawa sampah plastik 5 kilogram dikonversi poin senilai 50 ribu. Lalu dari poin itulah membeli barang-barang yang ada di pasar.

Sedangkan bentuk edukasinya yakni jika poin sudah habis mereka bisa isi ulang dengan belajar. Dan kami membuatkan permainan balapan sepeda di rimbunan sampah. Sepedanya berkeranjang, jadi balapan sambil mengumpulkan sampah. Ada treknya, sampai di finish peserta masih harus memilah sampah organik dan anorganik. Setelah itu dijumlah dan dihitung poinnya untuk bisa dibelanjakan lagi di pasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap dua bulan sekali.

Mongabay     : Bagaimana tata ruang kota Jogja saat ini, apakah telah memberikan akses baik untuk pengguna sepeda dan sudah tertata secara baik?

Jamaludin     :  Masih jauh dari harapan sebenarnya dan banyak persoalan di tata ruang Kota Jogja. Seperti gerakan para aktivis pesepeda yang dimulai sejak pergantian Walikota Jogja yakni Herry Zudianto berganti Haryadi Suyuti. Kebijakannya tidak ramah lingkunga. Contoh ketika kawan-kawan pesepeda ramai ketika menentang kebijakan “Sego Segawe” (Sepeda untuk Sekolah dan Bekerja) dihapuskan dan kawan-kawan yang tergabung di Jogja Last Friday Ride (JLFR) bikin lagu dan video klip “Rak Masalah Har”. Lalu muncul gerakan “Jogja Ora Didol” karena semakin banyak bangunan hotel yang merusak citra dan budaya Jogja sendiri tanpa ada kebijakan tegas dari pemimpin Kota Jogja.     

Kami dari lintas komunitas seperti Warga Berdaya, JLRF, Walhi, Komunitas Street Art dan lainnya mendatangi pemerintah yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Jogja dan instansi lainnya untuk memberikan konsep tata ruang kota yang ramah lingkungan dan mengedepankan nilai-nilai kebudayaan Jogja. Kami mendesak mereka untuk melakukan perubahan dan perbaikan.

Untuk akses sepeda, jalur sepeda sendiri masih tidak aman. Di Kota Baru yang awalnya menjadi desakan kami untuk menjadi percontohan tata kota dan akses yang baik untuk jalur sepeda-pun masih jauh dari harapan. Keberpihakan pemerintah Jogja tidak ada untuk berbagai hal yang ramah lingkungan. Artinya jika mereka berpihak pada lingkungan harusnya kebijakannya tegas untuk mengedepankan lingkungan. Ketika saya masuk Jogja motor dan mobil itu sangat sedikit, isinya para pesepeda. Namun atas nama pembangunan dan ekonomi, saat ini kredit kendaraan begitu murah dan bangunan hotel, apartemen dan mal bertebaran.

Pemerintah tidak berani untuk melakukan pembatasan kendaraan bermotor. Jika berani melakukan tindakan tersebut, kemacetan bisa dihindari. Lalu, jika bicara standar jalur sepeda yang baik, jalur sepeda di Jogja membahayakan dan salah. Tidak boleh ada jalur ruang tunggu sepeda di depan pemberhentian kendaraan bermotor.

 

Mongabay     : Anda membuat gerakan “Kota Untuk Manusia”. Seperti apa gerakan itu?

Jamaludin     : Gerakan ini sifatnya untuk memberitahu dan mengajak publik tahu bahwa di Jogja saat ini banyak persoalan lewat sosial media. Contohnya seperti pembangunan hotel, mal dan apartemen yang telah memberikan dampak seperti di konflik masyarakat, hilang dan berkurangnya air sumur warga, berkurangnya resapan air sehingga ketika hujan timbul banjir, dan persoalan lingkungan lainnya. Harapan dari informasi yang di sebarkan lewat gerakan ini masyarakat ikut kritis dan mau bergerak bersama untuk menyelamatkan lingkungan Jogja yang katanya istimewa ini.

Mongabay     : Sebagai seniman teater, apakah pernah membuat karya seni pementasan yang bersinggungan langsung dengan persoalan lingkungan?

Jamaludin     : Saat ini sering. Seperti pementasan teater berjudul “Trotoar” yang bercerita tentang tata kota Jogja yang tidak ramah bagi para pejalan kaki. Persoalan pelik tersebut menjadi lengkap karena Jogja juga tidak punya banyak taman kota dan ruang terbuka hijau. Saya pribadi membuat karya seni harus mempunyai nilai dan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Walau secara langsung tidak bisa membantu lahirnya suatu perubahan, tapi paling tidak pesannya sampai ke publik yang menyaksikan karya seni tersebut. Bahkan ada dampak lainnya, setelah karya seni pementasan terserbut sekitar enam bulan masyarakat di Jogja ramai membicarakan persoalan trotoar dan tata ruang kota Jogja. Banyak masyarakat yang menyampaikan persoalan trotoar di sekitaran rumahnya atau ketika mereka melihat sesuatu persoalan di jalanan. Paling tidak kepedulian masyarakat muncul.

Mongabay     : Bagaimana tanggapan anda terkait pembangunan hotel, mal dan apartemen di Jogja yang begitu masif?

Jamaludin     : Tentu ini berkaitan dengan kebijakan dan niat pemerintahnya. Selama ini alasannya selalu untuk meningkatkan pendapatan daerah. Saat ini ratusan hotel sudah mendapatkan ijin untuk dibangun dan ada yang dalam proses pembangunan. Namun hasil riset dari beberapa kampus, hotel di Jogja hanya ramai disaat liburan saja, dihari biasa sepi. Harusnya hal tersebut jadi tolak ukur dan pemerintah punya data kuat terkait kebutuhan hotel dan kamar untuk wisatawan yang datang ke Jogja. Model desa wisata yang lebih ramah lingkungan dan mengedepankan kultural Jogja seharusnya bisa dioptimalkan. Dampaknya lebih bermanfaat untuk masyarakat asli Jogja.

Di tahun 2000-an, seniman di Jogja ramai-ramai membuat karya seni menolak pembangunan mal. Saat ini persoalannya pembangunan hotel dan apartemen. Beberapa kali dikritisi namun pemerintah tetap diam. Setelah dampak riil-nya terlihat, yakni kekeringan air sumur disekitar bangunan hotel dan apartemen, barulah pemerintah bertindak. Mirisnya lagi BLH Jogja mengatakan kekeringan karena musim kemarau panjang, butkinya setelah ketahuan hotel mencuri air (tidak ada ijin pemanfaatan air tanah), disegel dan di stop, air sumur warga perlahan membaik.

Beruntung masyarakat sudah mulai sadar bahwa pembangunan terebut berdampak pada lingkungan khususnya air. Gerakan warga menolak pembangunan tersebut mulai ramai belajar dari kasus yang terjadi.

Mongabay     : Bagaimana seharusnya tata ruang dan tata kelola Jogja yang lebih ramah lingkungan menurut anda?

Jamaludin     : Seharusnya pemerintah mulai berbenah, seperti memaksimalkan pemanfaatan dan pengelolaan transportasi publik. Memberikan akses dan jalur sepeda yang lebih aman dan tertata secara baik. Perlu pembatasan sepeda motor dan harga pembeliannya mahal atau pajaknya tinggi, sehingga masyarakat akan lebih tertarik menggunakan transportasi umum atau bersepeda. Bangunan hotel, mal dan apartemen dihentikan, jika perlu dicabut bahkan dihukum jika terbukti pembangunannya melanggar. Tentunya hal ini semua ditopang dengan kebijakan hukum yang jelas dan tegas.

Mongabay     : Apa harapan anda terhadap pemerintah dalam pengelolaan tata kota yang lebih ramah lingkungan?

Jamaludin     : Jogja itu perlu pemimpin yang benar-benar berani melakukan perubahan secara serius menata kota dan tata kelola serta berani membuat kebijakan tegas dan pro lingkungan. Perubahan membutuhkan waktu, namun jika tidak di mulai oleh pemimpin yang mau bersikap lewat tindakan maupun kebijakan hukum tentu tidak akan pernah terjadi. Terhadap ijin-ijin hotel, apartemen dan mal, saya menduga kuat tentu ada transaksi atau korupsinya, sehingga perlu diusut dan KPK bisa mencoba memeriksanya.

Jika Jogja ingin menujukkan keistimewaanya maka perubahan harus dimulai dari pemimpinnya untuk membuat kebijakan yang mengedepankan nilai-nilai yang turun berdasarkan kebudayaan atau nilai luhur Jawa atau prinsip “Memayu Hayuning Bawana” yang secara arti manusia harus melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin serta manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungannya. Karena manusia hidup tidak bisa lepas dari lingkungannya, berbuat arif, tidak merusak dan tidak semena-sema terhadap lingkungan.


Jamaludin Latif, Aktivis Sepeda Penggagas Ijolan Sampah Dari Yogyakarta was first posted on June 2, 2015 at 3:00 am.

Opini : Menghitung Ikan di Laut

$
0
0
*Rony Megawanto, Pengamat dan Pekerja Konservasi Kelautan. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Kementerian Kelautan dan Perikanan meluncurkan program kajian stok ikan nasional tanggal 21 Mei 2015 lalu.  Program kajian stok tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya sebab dilakukan di semua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), sehingga  menjadi yang terlengkap sejak Indonesia merdeka.

Kondisi stok ikan di perairan Indonesia sejatinya memang perlu dipahami secara lebih serius sebab informasi tentang stok ikan menentukan apakah perikanan Indonesia berada pada level dibawah Maximum Sustainable Yield (MSY), tepat pada level MSY, sudah melampaui MSY, atau bahkan telah mengalami keruntuhan (collapse).

Informasi kondisi stok ikan ini selanjutnya menentukan kebijakan yang mesti diambil pemerintah agar perikanan Indonesai tidak collapse.  Beberapa negara pernah mengalami keruntuhan perikanan yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap kondisi stok ikan, seperti perikanan cod di Kanada, perikanan anchoveta di Peru, dan perikanan hering di Laut Utara.

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

Untuk menghindari perikanan dunia mengalami collapse, Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) tahun 1982 telah memberi mandat kepada negara pantai untuk melakukan kajian stok ikan.   Pasal-Pasal dalam UNCLOS terkait Zona Ekonomi Eksklusif dan laut lepas (high seas) mengharuskan negara pantai untuk mengambil tindakan pengelolaan  berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence available) untuk memastikan agar stok ikan berada pada posisi yang tidak melampaui Maximum Sustainable Yield (MSY).

Demikian juga dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Tata Laksana Perikanan yang Bertanggungjawab yang yang disetujui oleh seluruh peserta Konferensi FAO tahun 1995 menyebutkan bahwa semua negara harus mengerahkan segala upaya untuk mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan untuk kegiatan kajian stok ikan.

Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan diberi kewenangan untuk menetapkan potensi, alokasi sumber daya ikan, dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.  Dalam pelaksanaanya, menteri mendapat rekomendasi dari  komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.

Komnas Kajiskan

Komnas Kajiskan atau Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan adalah lembaga nonstruktural yang bersifat mandiri dan berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.  Jumlah anggota Komnas Kajiskan sebanyak 23 orang yang terdiri dari beberapa bidang keahlian, seperti biologi perikanan, pengkajian stok ikan, teknologi/kapasitas penangkapan ikan, bio-ekonomi perikanan, pengelolaan perikanan, biologi laut, ekologi perairan, limnologi, oseanografi, dinamika populasi, akustik perikanan, penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan statistik perikanan.

Sebelum memberikan rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Komnas Kajiskan melakukan penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian mengenai sumber daya ikan dari berbagai sumber. Penggunaan kata penghimpunan dan penelaahan menunjukkan bahwa komisi ini tidak melakukan kegiatan penelitian sendiri.

Penelitian stok ikan dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian perikanan, seperti Balitbang Kelautan dan Perikanan, LIPI, perguruan tinggi, dan lembaga lainnya.  Lembaga-lembaga inilah yang mensuplai hasil penelitian kepada Komnas Kajiskan

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan rekomendasi dari Komnas Kajiskan adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 45/MEN/2011tentang estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.  Kepmen ini menyebutkan bahwa estimasi potensi sumber daya ikan di Indonesia adalah sebesar 6,5 juta ton per tahun yang dikelompokkan ke dalam 11 Wilayah Pengelolaah Perikanan (WPP).

(c) Sari, ikan lais, watermark

(c) Sari, ikan lais, watermark

Selain menyajikan potensi sumber daya ikan di semua WPP RI, Kepmen ini juga menyajikan status tingkat eksploitasi sumber daya ikan di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan.  Terdapat empat tingkatan status eksploitasi, yaitu 1) Over-exploited (warna merah), yaitu tingkat eksploitasi telah melewati level MSY, 2) Fully exploited (warna kuning), yaitu tingkat eksploitasi berada pada level MSY, 3) Moderate (warna hijau), yaitu tingkat exploitasi dibawah level MSY, dan 4) Moderate to fully-exploited (warna jingga), yaitu tingkat eksploitasi berada antara level moderate dengan fully-exploited.

Debat Metodologi

Menghitung ikan di laut memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibandingkan, misalnya, dengan menghitung tegakan pohon di hutan sebab ikan tidak terlihat secara langsung dan terus bergerak.  Beberapa jenis ikan memulai siklus hidupnya di laut lalu bermigrasi ke perairan sungai saat dewasa.  Jenis ikan lainnya memiliki siklus hidup sebaliknya, yaitu mulai di sungai atau estuaria lalu berpindah ke wilayah laut saat dewasa.  Ada juga beberapa jenis ikan yang memiliki kemampuan bermigrasi yang sangat jauh, melintasi batas-batas negara.  Tingkat kerumitan perikanan Indonesia semakin besar dengan tingginya keragaman jenis ikan.

Karena itu para pakar kajian stok ikan menggunakan teori, model matematika, dan data statistik untuk menentukan status kekinian stok ikan, tren dalam biomassa, dan kecenderungan trend dengan pilihan-pilihan strategi pengelolaan.

Terdapat beberapa mazhab dalam metodologi kajian stok ikan, namun menurut Widodo dan Suadi (2008), kajian stok ikan secara tradisional dapat digolongkan kedalam dua kelompok besar, yaitu model produksi surplus (surplus production model) dan model dinamika kolam renang (dynamic pool model).  Model pertama dipelopori oleh Schaefer (1954) dan model kedua oleh Beverton dan Holt (1957).

Konsep produksi surplus merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan yang didasarkan pada pemikiran bahwa peningkatan populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedangkan penurunan dari populasi tersebut merupakan akibat dari mortalitas, baik karena faktor alam maupun oleh eksploitasi manusia.  Model ini hanya memerlukan data catch (hasil tangkapan) dan effort (upaya penangkapan), dua jenis data yang selama ini dikumpulkan dan dipublikasikan dalam statistik perikanan.  Sementara dalam model dynamic pool, parameter-parameter penyusun populasi ikan dipilah dan dihitung satu per satu, sehingga model ini juga sering disebut sebagai model analitik.

Menurut Ketua Komnas Kajiskan dalam sebuah pertemuan komunitas EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) di kampus IPB beberapa waktu yang lalu, kajian stok ikan nasional yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) mengkombinasikan antara metode analitik dan holistik (produksi surplus, sapuan, dan akustik).

Tindakan Pengelolaan Perikanan

Tujuan dari kajian stok ikan adalah menyajikan rekomendasi teknis kepada pengambil kebijakan dalam rangka mempertahankan produktifitas stok ikan.  Dengan memahami kondisi stok ikan yang terdapat di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), maka salah satu kebijakan yang bisa diambil adalah menentukan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC).

JTB di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, menurut Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.15/1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEE Indonesia, setinggi-tingginya 90% dari jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY).  Sementara JTB menurut Kepmentan No. 995/Kpts/lK210/9/99 tentang Potensi Sumber Daya Ikan dan JTB di Wilayah Perairan Indonesia adalah sebesar 80%.  Berdasarkan ketentuan ini, angka JTB yang sering digunakan adalah 80% dari potensi sumber daya ikan lestari (MSY).

Tuna, salah satu produk perikanan andalan Indonesia di pasar global. Mirisnya, penangkapan tuna masih banyak dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Para nelayan di daerah ini banyak menangkap tuna dengan bom. Foto: WWF Indonesia

Tuna, salah satu produk perikanan andalan Indonesia di pasar global. Mirisnya, penangkapan tuna masih banyak dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Para nelayan di daerah ini banyak menangkap tuna dengan bom. Foto: WWF Indonesia

Hasil kajian stok ikan nasional tahun 2013 dilaporkan sebanyak 7,305 juta ton per tahun, meskipun belum menjadi data resmi sebab belum disahkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Dengan demikian, estimasi JTB adalah sebesar 6 juta ton per tahun yaitu 80% dari 7,305 juta ton.

Untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari JTB, beberapa negara telah menerapkan kebijakan kuota individual yaitu batasan jumlah tangkapan dari setiap unit penangkapan ikan dalam suatu periode tertentu.  Jika total kuota individual telah mencapai JTB, maka pemerintah menghentikan semua kegiatan perikanan pada kurun waktu tersebut.  Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada stok ikan melakukan reproduksi. Namun hingga saat ini, Indonesia belum menerapkan kebijakan kuota individual ini.

Kebijakan perikanan lain yang bisa diambil berdasarkan informasi stok ikan adalah pembatasan jumlah kapal, pembatasan alat tangkap, selektifitas alat tangkap, pemilihan ukuran ikan, pemilihan jenis kelamin, pengaturan waktu tangkap, dan pengaturan jalur penangkapan ikan. Pilihan-pilihan kebijakan perikanan ini termasuk dalam kategori input control dan technical measure.  Pemerintah Indonesia sudah cukup banyak mengeluarkan kebijakan kategori ini.

Kebijakan perikanan Indonesia hingga saat ini lebih menitikberatkan pada input control dan technical measures ketimbang kebijakan output control.  Dengan momentum kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan output control, yaitu membatasi jumlah tangkapan kapal-kapal ikan secara keseluruhan sedemikian hingga tidak melampaui JTB.  Dengan kebijakan ini, didukung oleh penegakan hukum, sumber daya ikan yang sudah berada pada level merah (Over-exploited) dan kuning (Fully exploited) dapat segera terpulihkan.

Semakin banyak stok ikan di laut, semakin mudah dan murah nelayan kita menangkap ikan.  Inilah ujung dari kegiatan menghitung ikan di laut: kesejahteraan nelayan!


Opini : Menghitung Ikan di Laut was first posted on June 3, 2015 at 5:14 am.

Ayo, Manfaatkan Pendanaan Konservasi di Sangihe, Talaud dan Koridor Laut Sulut

$
0
0

Kepulauan Sangihe, Talaud dan koridor perairan Sulawesi Utara merupakan suatu kawasan di Wallacea yang memilki berbagai jenis spesies endemik, namun terancam oleh berbagai faktor. Permasalahan ini, mendorong Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) untuk memberi hibah bagi organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu-isu konservasi.

CEPF atau Dana Kemitraan Ekosistem Kritis adalah program kemitraan global antara Bank Dunia, Global Environment Facility (GEF) , MacArthur Foundation, Pemerintah Jepang, Badan Pembangunan Perancis (AFD), Conservation International dan Uni Eropa.

Kemitraan ini dibentuk sebagai dukungan pada organisasi masyarakat sipil di pusat keragaman hayati untuk melindungi ekosistem penting.

Gunung Tamata di kepulauan Siau. Foto :  Hanom Bashari/Burung Indonesia

Gunung Tamata di kepulauan Siau. Foto : Hanom Bashari/Burung Indonesia

Adi Widyanto, Team Leader Regional Implementation Team (RIT) CEPF di Wallacea, mengatakan, pengajuan proposal untuk area pendanaan prioritas Sangihe, Talaud dan koridor laut Sulawesi Utara dibuka pada 25 Mei 2015 dan ditutup pada 25 Juni 2015.

“Organisasi masyarakat sipil berkesempatan menerima hibah yang mencapai USD 20.000. Informasi selengkapnya dapat dilihat di www.wallacea.org,” kata dia kepada Mongabay di Manado, Kamis (28/05/2015).

Tiga lokasi tadi dikategorikan sebagai area pendanaan prioritas karena teridentifikasi sebagai Key Biodiversity Area (KBA) di kawasan Wallacea. Sesuai definisi CEPF, lanjut Adi, KBA adalah suatu daerah yang memiliki populasi jenis flora dan fauna terancam punah secara global (Globally Threatened Species-GTS), populasi jenis-jenis sebaran terbatas atau yang hidup berkelompok dalam jumlah besar.

Gunung Karangetang-Tamata di kepulauan Siau. Foto. Hanom Bashar/Burung Indonesiai

Gunung Karangetang-Tamata di kepulauan Siau. Foto. Hanom Bashar/Burung Indonesiai

Isu-isu strategis yang disasar CEPF lewat program ini, dikelompokkan menjadi 6 tujuan strategis, mulai dari konservasi jenis, perlindungan tapak, pengelolaan sumberdaya alam darat berbasis masyarakat, pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut berbasis masyarakat, pelibatan sektor swasta dalam pelestarian keanekaragaman hayati serta penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam konservasi keanekaragaman hayati.

“Itu menjadi pilihan organisasi masyarakat sipil. Jadi, mereka bisa mengambil peran masing-masing yang selama ini sudah dijalankan. Silahkan organisasi masyarakat berperan di mana, bagaimana, ingin mencapai target yang mana.”

“Mungkin ada organisasi yang ingin berperan melakukan intervensi dalam meredam perdagangan satwa liar yang dilindungi. Atau, ada juga kelompok masyarakat yang ingin melakukan aksi lokal terkait mekanisme, tradisi, kebiasaan-kebiasaan dalam menggunakan sumberdaya secara arif. Harapannya, ada pengakuan dari para pihak, mulai dari pemerintah, hingga masyarakat umum,” katanya.

Ia melihat, perlunya variasi pendekatan dalam aksi-aksi konservasi. Dasar dari semua itu adalah pengakuan atau kesadaran bahwa manusia tidak bisa lepas dari keragaman hayati.

“Karena keragaman hayati adalah solusi dasar bagi kehidupan itu sendiri. Tanpa keragaman hayati siklus alam tidak bisa berjalan. Keragaman hayati juga menyediakan sumber-sumber daya yang bisa langsung dinikmati manusia. Karena manfaat-manfaat tadi, manusia harus mengelolanya secara arif,” katanya.

Adi berharap, masyarakat dan pemerintah dapat bekerjasama dalam menyusun kesepakatan terkait pengelolaan sumber daya alam. Sebab, sebagian besar masalah lingkungan melibatkan konflik pemanfaatan sumberdaya, baik konflik antara manusia dengan keragaman hayati, maupun konflik antara pihak satu dengan pihak lain, yang memanfaatkan suatu kawasan.

Diperkirakan, pada tahun-tahun mendatang, permasalahan tersebut akan semakin meningkat. Sebabnya, jumlah populasi manusia semakin banyak, namun sumberdaya hayati tetap berada pada posisi terancam. Sehingga, penting bagi para pihak menyusun atau menyepakati pemanfaatan sumberdaya.

“Masyarakat bisa terlibat dalam proses itu. Pemerintah menjadi fasilitator, atau mewadahi partisipasi masyarakat. LSM dapat berperan menjadi katalisator juga memfasilitasi proses kerjanya. Semua pihak dapat berperan,” tambah Adi.

Ancaman Keragaman Hayati di kepulauan Siau, Sangihe dan Talaud

Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulut merupakan pusat keragaman hayati unik yang terancam kelestariannya. Sangihe, misalnya, merupakan pulau seluas 58.200 hektar yang menjadi rumah bagi tujuh jenis burung endemis. Sebut saja celepuk sangihe (Otus collari), serindit sangihe (Loricullus catamene), udang-merah sangihe (Ceyx sangirensis), anis-bentet sangihe (Sangihe Shrike-thrush), seriwang sangihe (Colluricincla sanghirensis), kacamata sangihe (Zosterops nehrkorni) serta burung-madu sangihe (Aethopyga duyvenbodei).

“Lima jenis yang disebut terakhir merupakan jenis terancam punah dalam daftar IUCN,” kata Hanom Bashari, Biodiversity Specialist Burung Indonesia, Senin (01/06/2015).

Hutan Sahendaruman. Foto : Hanom Bashari/Burung Indonesia

Hutan Sahendaruman. Foto : Hanom Bashari/Burung Indonesia

Menurut Hanom, ancaman utama burung-burung di pegunungan Sahendaruman adalah habitat yang terbatas, dengan luas diperkirakan tidak sampai 500 hektar. Padahal, burung-burung tadi hanya bisa ditemukan di pegunungan Sahendaruman dan tidak ada di tempat lain di dunia. Artinya, jika habitatnya rusak atau burung tersebut diburu maka akan punah.

Selain terbatasnya habitat, ancaman juga hadir lewat perluasan area pertanian yang tidak cocok sebagai habitat burung-burung tersebut. Tak hanya burung, capung-jarum sangihe (Protosticta rozendalorum) saat ini juga berstatus kritis.

Sahendaruman merupakan hutan lindung yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 452/Kpts-II/1999, dengan luas awal 3.549 hektar. Namun, dalam perkembangannya, satwa terancam tadi hanya menghuni habitat tidak sampai 500 hektar.

Penetapan suatu hutan lindung ini, demikian Hanom menjelaskan, bukan berdasarkan nilai keragaman hayatinya, namun lebih pada fungsi di alam, yaitu daerah-daerah yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, baik itu daerah tangkapan air, serta pencegah erosi karena kondisi tanah dan geologinya yang labil.

“Sehingga, kadangkala, daerah hutan lindung bukanlah hutan. Namun, secara fungsinya daerah tersebut seharusnya berhutan,” katanya.

Ia menduga, ketika ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun 1999, kemungkinan besar daerah itu tidaklah seluruhnya hutan. Sehingga, tidak tepat jika dikatakan terjadi penyusutan kawasan di Sahendaruman. Sebab, tidak ada data pembanding terkait luas hutan yang ada sebelumnya dengan hutan yang ada saat ini.

“Hanya saja ada fakta saat ini bahwa hutan alami di pegunungan Sahendaruman kurang dari 500 hektar,” kata Hanom.

Sementara itu, di kepulauan Talaud penangkapan dan perdagangan merupakan ancaman terbesar bagi keragaman hayati. Jenis burung yang paling banyak ditangkap dan diperdagangkan dari kepulauan ini yaitu nuri talaud (Eos histrio). Akibatnya, jenis burung berbulu merah dan biru menyala itu, masuk genting.

Jenis lain di Talaud yang terancam punah karena aktivitas penangkapan dan perdagangan adalah kupu-kupu bernama talaud black-birdwing (Troides dohertyi). Sementara, kuskus-beruang talaud (Ailurops melanotis) yang ada di Pulau Salibabu diperkirakan sudah punah.

Pegunungan Sahendaruman di kepulauan Sangihe. Foto : Hanom Bashari/ Burung Indonesia

Pegunungan Sahendaruman di kepulauan Sangihe. Foto : Hanom Bashari/ Burung Indonesia

Di Siau, keragaman hayati terancam oleh bencana alam. Sebab, gunung Karangetang di bagian utara Siau merupakan gunung aktif, seperti tarsius siau (Tarsius tumpara) dan celepuk siau (Otus siaoensis).

“Alam pasti akan menemukan caranya untuk dapat mencapai keseimbangan secara ekologis, menyesuaikan dengan kondisi alam. Bagaimanapun, ini juga suatu ancaman yang bersifat alami.”

“Solusi terbaik tentulah dengan menyisakan dan jika memungkinkan menambah luasan hutan yang ada sebagai habitat terbaik jenis-jenis endemis di pulau Siau,” tutur Hanom.

Selain Kepulauan Sangihe dan Talaud, hibah CEPF periode ini juga diberikan untuk kegiatan di koridor laut Sulawesi Utara. Perairan Sulawesi Utara merupakan habitat penting bagi ratusan jenis terumbu karang, penyu dan ikan raja laut atau coelacanth yang terancam punah.


Ayo, Manfaatkan Pendanaan Konservasi di Sangihe, Talaud dan Koridor Laut Sulut was first posted on June 4, 2015 at 8:11 am.

Greenpeace: Jokowi, Pilihlah Energi Bersih Untuk Atasi Perubahan Iklim

$
0
0

Presiden Joko Widodo kembali diingatkan tentang komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen atau 41 persen dengan bantuan internasional.

Salah satu yang telah ditetapkan pemerintah sendiri, adalah dengan pengembangan energi terbarukan dan memperkuat kebijakan moratorium kehutanan. Oleh karena itu, Greenpeace menyerukan kembali, agar Jokowi mulai serius mengembangkan energi bersih tersebut.

“Jika pemerintah gagal mengurangi emisi karbon dari dua sumber emisi terbesar tersebut, maka bisa dipastikan Indonesia tidak bisa memenuhi komitmen penurunan emisi yang telah disampaikan pemerintah kepada dunia,” kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Greenpeace melakukan aksi flash mob di Tugu Yogyakarta, menuntut pemerintahan Jokowi untuk serius mengembangkan energi bersih. Foto : Tommy Apriando

Greenpeace melakukan aksi flash mob di Tugu Yogyakarta, menuntut pemerintahan Jokowi untuk serius mengembangkan energi bersih. Foto : Tommy Apriando

Menurutnya, saat ini pemerintah bermaksud mengembangkan program nasional energi sebesar 35.000 Mega Watt untuk Indonesia, dimana 60 persen energinya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara. Hal ini menujukkan bahwa sampai 20 tahun ke depan Indonesia masih akan bergantung pada batubara sebagai sumber energi.

Padahal, energi batubara adalah salah satu sumber energi fosil paling kotor, salah satu penyebab perubahan iklim dan berdampak sangat merugikan. Cadangan geothermal di Indonesia mencapai 40 persen dari total cadangan dunia. Sayang sekali pemerintah tidak mengembangkan potensi energi terbarukan yang lebih bersih seperti geothermal, panas matahari dan angin.

Tuntutan soal energi bersih ini merupakan aksi Greenpeace sebagai bagian dari Global Day of Action yang merupakan mobilisasi lebih dari 30 negara di seluruh dunia untuk menyerukan tindakan mengatasi perubahan iklim.  Aktivis greenpeace melakukan aksi flash mob atau aksi seni kreatif di tengah keramaian beberapa kota di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Padang, Yogyakarta, Purwokerto dan Pekanbaru, pada Sabtu (30/05/2015).

“Aksi ini juga membawa pesan untuk menyoroti rencana pembangunan PLTU Batang yang diklaim terbesar se-Asia Tenggara. Kami mendesak Presiden Jokowi membatalkan PLTU Batang yang akan merugikan ribuan nelayan dan petani karena kehilangan mata pencahariannya,” tambah Hindun.

Selama ini, sudah empat tahun lebih warga Batang yang tergabung dalam UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban) melakukan berbagai cara untuk menolak pembangunan proyek kotor ini. Lebih dari 25 aksi warga lakukan dan beraudiensi dengan Kementerian Perekonomian, Kementerian Kelautan dn Perikanan, Komnas HAM, DPR RI hingga ke Jepang untuk bertemu langsung investor.

Hindun menambahkan, hingga saat ini warga bersih mempertahankan 25,4 hektar lahan dari 336 hektar lahan yang akan dipakai untuk membangun PLTU. Adapun sebagian besar lahan tersebut meliputi persawahan produktif dan wilayah perikanan tangkap produktif.

“Pembangunan PLTU bertenaga batubara ini bertentangan dengan salah satu Nawacita Presiden Jokowi yakni kedaulatan pangan. Sudah saatnya presiden memimpin revolusi energi baik, aman, bersih, hijau dan berkelanjutan,” kata Hindun.

Adaptasi Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan. Berbagai peristiwa seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang semakin sering terjadi banyak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian ekonomi dan ekologi. Karenanya upaya adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim perlu menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan.

Prof. Gabriel R. Kassenga, ahli lingkungan Ardhi University, Tanzania, pada  Senin (25/05/2015) di Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada (UGM) saat International Guest Lecture menyampaikan salah satu langkah adaptasi perubahan iklim yang dilakukan penduduk Dar es Salaam di Tanzani contohnya adalah dengan melakukan pencarian sumber-sumber air bersih. Selain itu juga tidak sedikit masyarakat yang melakukan diversifikasi pertanian untuk meminimalisir risiko kegagalan panen karena banjir, kekeringan, dan faktor lainnya.

“Masyarakat juga ada yang merubah aktivitas mata pencaharian dan melakukan penyesuaian kegiatan lain untuk menemukan sumber pendapatan yang berbeda,” kata Kasengga.

Ia mengatakan, kapasitas adaptasi rumah tangga di wilayah pinggiran kota terkait dengan  keanekaragaman sumber pendapatan, modalitas dalam mengakses air, tanah dan sumber daya lainnya. Kebanyakan dari strategi adaptasi mandiri yang dilakukan masyarakat tergantung pada kehadiran karakteristik perkotaan dan pedesaan di daerah pinggiran kota. Adanya campuran karakteristik desa dan kota tersebut memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan strategi mata pencaharian campuran.

Akses terhadap tanah dan air memainkan peran penting dalam pembentukan praktik adaptasi rumah tangga peri-urban. Sebagian besar masyarakat berupaya memenuhi kebutuhan air secara mandiri guna memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian.

Kassenga mengatakan berbagai upaya adaptasi semestinya dilakukan oleh seluruh masyarakat dunia yang memiliki kerentanan terhadap bencana akibat perubahan iklim.

“Langkah adaptasi yang dilakukan disesuaikan dengan kondisi dan tantangan masing-masing wilayah. Dengan pengembangan adaptasi tersebut diharapkan masyarakat akan lebih siap saat menghadapi bencana,” tambahnya.

 

 


Greenpeace: Jokowi, Pilihlah Energi Bersih Untuk Atasi Perubahan Iklim was first posted on June 5, 2015 at 3:43 am.

Setelah Transshipment, Indonesia Terapkan Monitoring Kapal

$
0
0

Pasca pelaksanaan moratorium eks kapal asing dan pelarangan transshipment, Pemerintah akan fokus melaksanakan pengawasan terhadap pergerakan kapal-kapal yang ada di perairan di seluruh Indonesia. Pengawasan dilakukan dari pelabuhan yang menjadi port perikanan di Indonesia.

Plt Dirjen Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Narmoko Prasmadji, mengaku persiapan untuk pelaksanaan monitoring kapal sudah dilakukan di sejumlah pelabuhan perikanan. Namun, dari semuanya, pelabuhan yang dinilai paling siap baru Pelabuhan Benoa di Bali.

“Walau di Benoa sudah siap dari segi infrastruktur dan fasilitasnya, namun kita belum tentukan pelaksanaan akan dimulai dari sana. Kita akan tentukan lebih teliti lagi di pelabuhan mana saja,” ungkap Narmoko di Jakarta, Kamis (04/06/2015).

Beberapa kapal berbobot besar bersandar di salah satu pelabuhan di Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Beberapa kapal berbobot besar bersandar di salah satu pelabuhan di Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Menurut Narmoko, Pelabuhan Benoa dinilai siap karena fasilitas perikannya sudah bagus dan itu akan mendukung pelaksanaan monitoring nantinya. Karena itu, jika sudah siap tenaga observer dan nemunerator, pelaksanaan monitoring di Benoa bisa segera dimulai.

Narmoko menjelaskan, dalam pelaksanaan monitoring, pemerintah akan menggunakan kapal dari dalam negeri dengan muatan tidak lebih dari 200 gross tonnage (GT). Penentuan syarat penggunaan kapal untuk monitoring tersebut, dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di lapangan.

“Kita monitor menggunakan VMS (vessel monitoring system) plus yang bersifat visual, yang baru ini kita menyebut CCTV (close circuit television) dan kita akan menentukan mana alat yang kita pakai secepatnya,” tutur dia.

Untuk pemilihan kapal operasional monitoring, Narmoko mengungkapkan, akan dilakukan dengan memilih kapal-kapal terbaik yang berukuran maksimal 200 GT dan status kepemilikannya jelas. Kapal-kapal tersebut akan dipilih dari mana saja, termasuk  dari kapal pengusaha seperti milik Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI).

“Walau mereka akan dilibatkan nantinya, tapi tetap kita akan berlakukan aturan dan syarat yang sama. Kapal mereka tidak bisa jalan begitu saja dan harus dilakukan pengukuran ulang agar bisa sesuai dengan kriteria yang ditetapkan,” tandasnya.

Narmoko menambahkan, setelah pemberlakukan moratorium berjalan, pihaknya juga akan fokus memberikan akses besar kepada masyarakat untuk bisa memanfaatkan sumber daya laut sebaik mungkin. Karena, meski sudah diketahui prediksi potensi kerugian yang bisa diselamatkan sekitar Rp300 triliun, namun kekayaan ikan di lautan harus bisa dimanfaatkan bersama.

Pelarangan Transshipment Tetap Diberlakukan

Selain fokus untuk melaksanak monitoring, KKP juga menegaskan bahwa pelarangan transshipment akan tetap diberlakukan. Hal itu diungkapkan Narmoko Prasmadji dalam kesempatan yang sama. Namun, pelarangan tersebut dinilai harus segera diperjelas karena bisa mengganggu aktivitas perikanan di Tanah Air.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Penilaian tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra. Menurut dia, saat ini pihaknya harus bisa bekerja sebaik mungkin setelah pelarangan transshipment diberlakukan oleh KKP sejak November 2014 lalu.

“Terjadi gejolak saat ini karena transshipment terlalu lama diberlakukan. Kita minta dari menteri (KKP) untuk segera dibuat juklak dan juknisnya. Karena, dengan cara demikian persoalan transshipment bisa diatasi,” ujar Dwi yang akrab disapa Black ini.

Sejak pemberlakuan pelarangan transshipment, Black mengakui kalau sebanyak 57 kapal angkut sudah diberhentikan operasionalnya sejak November 2014. Karena berhenti beroperasi, kru yang ada di kapal-kapal tersebut otomatis berhenti dan langsung dialihkan ke operasional kapal tangkap yang saat ini beroperasi.

“Padahal kalau ada kapal angkut yang beroperasi, kebutuhan kerja juga menjadi lebih nyaman di lautan. Karena, jika hanya mengandalkan kapal tangkap saja untuk operasional di lautan, biayanya terlalu tinggi,” tutur dia.

Untuk sekali jalan kapal tangkap saat ini, dijelaskan Black, dibutuhkan solar 250-300 liter. Padahal, dalam setiap pelayaran itu prosesnya sangat panjang dan bisa membutuhkan berkali-kali untuk mendapatkan spot mencari ikan yang bagus.

Produksi Menurun Tajam

Sementara itu, walau kebijakan moratorium kapal eks asing dan pelarangan transshipment dirasakan manfaatnya oleh nelayan kecil, namun tidak demikian dengan pengusaha perikanan yang ada di Bitung, Sulawesi Utara.

Menurut Ketua Asosiasi Kapal Perikanan Nasional Sulawesi Utara Rudi Waluko, hasil tangkapan ikan saat ini menurun antara 70 hingga 80 persen. Kondisi tersebut mulai dirasakan setelah transshipment mulai diberlakukan.

“Memang dirasakan sekali oleh kami di Bitung dan Sulut umumnya. Kita berharap ada perubahan aturan karena kalau seperti ini terus tangkapan ikan akan terus menyusut,” tutur Rudi.

Dia menjelaskan, di Sulut hasil tangkapan ikan masih didominasi oleh ikan cakalang dan sudah ada pabrik pengalengan ikan cakalang sejak lama yang jumlahnya ada 7 pabrik. Namun, sejak transshipment diberlakukan, pabrik-pabrik mulai kesulitan mendapatkan pasokan ikan dan itu terus berlangsung hingga sekarang.

“Ikan cakalang itu dalam sehari butuh 800 ton. Namun, dengan berkurangnya kapal angkut setelah transshipment diberlakukan, maka sekarang pasokan berkurang jadi hanya 300 ton saja,” tandas dia.

Ikan-ikan tersebut, kata Rudi, didapat dari laut Pasifik, laut Sulawesi, laut Maluku dan Pangkalan Bintung.

 


Setelah Transshipment, Indonesia Terapkan Monitoring Kapal was first posted on June 5, 2015 at 7:21 am.

Nasib Petani Rumput Laut di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida

$
0
0

Pemerintah Indonesia mencanangkan 20 juta hektar Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sampai 2020 nanti. Apakah bermanfaat untuk penduduk pesisir seperti nelayan dan petani rumput laut?

Warga tiga pulau di Bali, yakni Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di Kabupaten Klungkung terus memikirkan upaya perlindungan wilayahnya yang sudah ditetapkan sebagai KKP oleh pemerintah. Pengelolaan tata ruang laut ini diharapkan berdampak bagi warga, tak hanya pengusaha pariwisata saja.

Sebagian warga Pulau Nusa Lembongan adalah petani rumput laut yang sukses, dengan rumah megah, pura dan balai banjar yang gemerlap. Namun, warga mengeluh akan kehilangan generasi petani rumput laut berikutnya.

Alasannya, karena anak mudanya lebih memilih bekerja di industri pariwisata. Kedua, cuaca yang makin tak menentu, jika air terlalu hangat atau terlalu dingin, rumput laut akan rapuh atau membusuk. Berikutnya, ancaman limbah rumah tangga dan industri wisata. Yang memperparah, fluktuasi harga dan lambatnya usaha pengolahan menjadi produk lebih bernilai tinggi.

Zona budidaya rumput laut di Kawasan Konservasi Perairan (KKP)  Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Zona budidaya rumput laut di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Budidaya rumput laut di Lembongan dirintis almarhum Made Kawijaya alias Pan Tarsin Pria yang awalnya pemburu penyu ini, pada 1986, dianugerahi Kalpataru, penghargaan tertinggi pemerintah pada pelestari lingkungan.

Kalpataru bagi Wayan Tarzan, anak Pan Tarsin adalah suatu yang sangat mengejutkan. “Ayah saya bisa dibilang penjahat karena sebelum bertani, pekerjaannya memburu penyu dan karang laut yang dilarang,” ujar Tarzan.

Saat itu, sekitar tahun 80-an, Pan Tarsin adalah pemburu penyu disegani di desanya. Hantaman ombak dan angin laut adalah makanan sehari-harinya. Tidak ada mata pencaharian lain selain memburu penyu dan hasil laut lain yang bernilai tinggi seperti karang laut dan kima raksasa (giant clam). Kima berperan penting dalam ekosistem karena kemampuannya menyaring air.

Karena populasinya sangat sedikit, Kima raksasa ini dilindungi. Dagingnya berprotein tinggi dan sangat mahal, sementara cangkangnya jadi bahan baku ubin (keramik) kualitas tinggi. Waktu itu, cangkang seekor kima raksasa besar untuk pembuatan keramik, bisa menghidupi satu keluarga dalam sebulan.

Pada suatu ketika, seorang pegawai Dinas Pertanian Klungkung datang dan mengajak warga membudidayakan rumput laut. “Dia membawa dua jenis bibit rumput laut sebanyak 5 kilogram. Karena hasil penyu berkurang, petani mulai belajar bertani rumput laut,” tutur Tarzan, generasi kedua petani rumput laut di Nusa Lembongan.

Hasil panen pertama sangat tidak menguntungkan. Hal ini berlanjut sampai tahun kedua. Petani rumput laut masih belum mendapat uang tunai karena hasil panen dibarter dengan bahan pangan seperti beras.

Petani rumput laut di sela-sela hutan bakau di Lembongan, Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Petani rumput laut di sela-sela hutan bakau di Nusa, Lembongan, Klungkung, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Sampai akhirnya seorang pembeli besar dari Ujung Pandang datang dan membeli panen warga seharga Rp300 per kilogram. Tak hanya petani yang bergairah, pelancong pun mulai datang ke Nusa Lembongan. Kini harganya sekitar Rp5000-8000 per kg kering.

Selain bertani rumput laut, Pan Tarsin dan anaknya tertarik melihat peluang pariwisata di daerahnya dan mendirikan sebuah losmen, Johny Losmen, salah satu yang tertua di Nusa Lembongan. Saat ini losmen itu menurut Tarzan sedang direnovasi. Soal losmen ini, banyak cerita di internet dari para bacpacker yang pernah menikmati kesederhanaan losmen ini.

Nusa Lembongan pun kini menjadi tandingan Pulau Bali, karena dua daya tarik utama pulau ini, ladang-ladang rumput laut dan petualangan lautnya seperti diving dan snorkeling. Kegiatan petani berladang di laut dan ribuan perahu kecil petani terserak di pesisir pantai adalah pemandangan keseharian.

Nusa Lembongan, Nusa Penida, Bali  yang makin ramai dengan turis dan akomodasi wisata. Foto : Luh De Suriyani

Nusa Lembongan, Klungkung, Bali yang makin ramai dengan turis dan akomodasi wisata. Foto : Luh De Suriyani

Tarzan, anaknya kini beralih profesi menjadi kontraktor pembangunan hotel di desanya. Industri pariwisata lebih menarik bagi warga sekitar. “Semua anak saya saja sudah tidak mau jadi petani dan memilih belajar pariwisata di Pulau Bali. Saya juga bingung, bagaimana masa depan budi daya rumput laut ini nanti,” keluh Tarzan.

Rumput laut sebagai mitigasi bencana

Marthen Welly, Coral Triangle Center (CTC) salah satu inisiator KKP kawasan Nusa Penida ini menyebut laguna rumput laut dan terumbu karang bisa menghambat arus menghantam daratan, serta dapat mencegah 30 % abrasi pulau-pulau kecil. Ditambah adanya padang lamun akan mencegah 30% abrasi dan bakau juga 30%. Jika ketiganya ada, sekitar 90% menghambat arus.

Selain memperindah kawasan perairan, keanekaragaman hayati jelas berdampak untuk penduduknya. Di perairan Nusa Penida terdata sekitar 230 hektar hutan bakau dan 108 hektar padang lamun. Ia mencontohkan pulau Semeulue, Aceh yang tingkat kerusakannya kecil saat tsunami melanda.

KKP Nusa Penida meliputi kawasan seluas lebih 20 ribu hektar. Zona inti ditetapkan 120 ha, zona perikanan berkelanjutan hampir 17 ribu ha, dan zona budidaya rumput laut 464 ha. Serta zona pariwisata bahari sekitar 1200 ha.

Zona perlindungan ditentukan berdasarkan kondisi biofisik seperti terumbu karang dan faktor ekonomi warga. “Kalau dipaksa ditetapkan jadi zona inti, nanti terjadi konflik karena di zona ini sama sekali tidak bisa menangkap ikan termasuk menyelam kecuali untuk pendidikan,” jelas Marthen.

Diperlukan sedikitnya 26 kali pertemuan selama 2 tahun sebelum KKP disetujui di kawasan Nusa Penida. Di zona pemanfaatan terbatas bahari, digunakan untuk kawasan penyelaman di 18 titik, dan nelayan dilarang memancing.

Sedangkan zona wisata bahari khusus seluas 900 ha, digunakan sebagai zona perikanan tradisional setiap pukul 4 sore sampai 9 pagi, dan tempat diving diluar waktu tersebut. Juga ada zona suci disekitar kawasan pura yang tak boleh ada aktivitas.

Petak lahan rumput laut yang indah dan jadi pemandangan restoran di Nusa Lembongan, Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Petak lahan rumput laut yang indah dan jadi pemandangan restoran di Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Sub zona budidaya rumput laut berpotensi menghasilkan 40-50 ton tiap 35 hari, dari 2 jenis yang dibudidayakan. Daerah laguna rumput laut kini sudah penuh dengan petak ladang rumput laut. Dari kejauhan berwarna hijau atau kecokelatan sesuai jenis rumput lautnya, dengan keramba berbentuk kotak di perairan dangkal. Sampan-sampan petani makin mempercantik pemandangan disitu.

Upaya pengendalian

Pemkab Klungkung yang mewilayahi Nusa Penida sudah membuat perangkat hukum untuk penetapan entrance fee atau tiket masuk ke tiga kepulauan ini. Wisatawan yang berkunjung saat ini sekitar 200 ribu orang per tahun. Tiket masuk ini diklaim bisa membatasi jumlah turis yang cenderung merusak.

Sebelumnya sejumlah lembaga konservasi membuat survei willingness to pay, dan turis mau membayar 3,5-5 USD per orang. Jadi dihitung kasar, dari tiket masuk ini bisa terkumpul 1 juta USD per tahun. Saat ini, sesuai Perda Retribusi Tempat Wisata Klungkung, tiket masuk ditetapkan Rp 7000 per orang/hari.

Potensi pendapatan pariwisata tersebut sedang digodok implementasi perdanya “Dari survei, pengelola dari unsur pemerintah dipilih paling terakhir. Kita berharap transparan, akuntabel, dan diawasi semua pihak,” kata Marthen dalam workshop yang dihelat The Nature Conservacy (TNC) dan SIEJ di Denpasar. Skenarionya, jika masuk kas daerah akan dikelola melalui Dinas Pariwisata dan diharapkan 80% dikembalikan ke Nusa Penida.

Tiket masuk ini lebih murah dibandingkan di Raja Ampat, Papua, sebesar Rp1 juta untuk turis asing dan Rp500.000 turis domestik untuk periode satu tahun.

Dewa Kadek Wira Sanjaya, pengelola program KKP dari CTC mengatakan penetapan zonasi tersebut untuk kesehatan laut. Ia mengaku melakukan monitoring dengan menyelam di 13 titik. Selama dua tahun terakhir presentase karang dan biomasa ikan meningkat. Hal ini disebutnya akan berkorelasi dengan penghasilan nelayan dan wisata bahari.

I Wayan Suarbawa, salah satu koordinator kelompok tani rumput laut di Desa Lembongan mengatakan upaya perlindungan kawasan budidaya rumput laut harus dibarengi dengan dorongan meningkatkan nilai tambah hasil panennya.

“Pengusaha wisata harus mendorong petani rumput laut misalnya buat wisata trekking rumput laut. Hasil panen diolah untuk suguhan wisata. Jangan diekspor mentah,” usul Suarbawa. Pria peraih penghargaan Guardians of Nature dari TNC ini mengakui zonasi bisa melindungi lahan namun ada ancaman limbah wisata seperti zat klorin kolam renang dan sampah plastik. Dana pengelolaan KKP diharapkan bisa memperbaiki persoalan di darat seperti usaha pengolahan hasil rumput laut itu.

I Nyoman Darma, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung menyebut kawasan perairan yang luasnya 65% dari wilayah kabupaten ini terdiri dari 1400 hektar terumbu karang dengan 296 jenis. Namun tak sedikit ancamannya. “Makin banyak mencari penghasilan dan cenderung serakah, ada potensi ancaman seperti dari operator selam, nelayan, pengusaha akomodasi, aktivitas wisata yang tak bertanggung jawab,” serunya.

KKP ini dirintis sejak 2008, dan pada 2014 lalu diresmikan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan sebagai KKP Taman Wisata Perairan Nusa Penida. Secara kolektif, warga sedang meningkatkan sanksi bagi pelanggar lingkungan. Misalnya sanksi adat Desa Lembongan untuk penambang pasir dan perarem (peraturan adat) perlindungan zona inti.

Nusa Penida termasuk Kawasan Ekoregion Sunda Kecil yang terdiri dari 35 juta hektar laut di empat provinsi. Status kawasan konservasi laut saat ini sekitar 10 juta hektar dengan 6 status penetapan zonasi di Bali, NTB, NTT, dan Maluku.

TNC dan CTC menyebut sesuai mekanisme Pengukuran Efektivitas KKP dan Pulau-pulau Kecil, dari 131 KKP di Indonesia hanya 4 yang mendapat kode hijau yakni Raja Ampat, Sukabumi, Nusa Penida, dan Gili. Perangkat pengukur ini memberikan level merah, kuning, hijau yang artinya baru dikelola minimal, biru sudah dikelola optimal, selanjutnya tertinggi adalah emas yang artinya sudah mandiri dan berkelanjutan. Jadi baru ada 3% yang dikelola. Sejumlah indikator adalah adanya protokol penelitian, pengelolaan budidaya keramba, status kapal patroli, dan lainnya.


Nasib Petani Rumput Laut di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida was first posted on June 6, 2015 at 4:01 am.

Opini : Mencermati Peran Multinational Corporation dalam Isu Lingkungan Hidup dan Demokrasi

$
0
0
 *Ari Mochamad, Penilik Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Setiap tanggal 5 Juni, umat manusia di seluruh dunia merayakan hari lingkungan hidup. Sejak awal dan perkembangannya, isu dan agenda lingkungan tidak dapat dilepaskan dari bingkai kepentingan dan konflik politik dan ekonomi. Oleh karenanya untuk memperjuangkan lingkungan yang lebih baik, kedua aspek tersebut harus menjadi landasan berpikir dalam merumuskan solusi yang berjangka panjang.

Tulisan yang saya sampaikan terbagi dalam 2 (dua) bagian. Kontektualisasi dengan kondisi saat ini, rasanya masih valid jika kita berbicara dan berdiskusi mengenai diskursus perjuangan dan ideologi lingkungan.

Karakteristik konflik dan sengketa lingkungan hidup umumnya menempatkan masyarakat yang tidak berdaya (powerless) dalam posisi sebagai masyarakat korban dari perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Pada tataran praktikal penyebab dari ketidakberdayaan adalah karena mereka tidak memiliki akses terhadap ekonomi, politik dan hukum. Sebaliknya pihak yang “dituduh” penyebab perusakan dan pencemaran lingkungan adalah  justru pihak yang memiliki semua akses tadi.

Kala alat berat perusahaan tambang mulai menebangi mangrove di tepian pantai untuk reklamasi dan membangun fasilitas perusahaan, beberapa waktu lalu. Gugatan warga penolak tambang yang dimenangkan sampai Mahkamah Agung pun tak digubris pemerintah daerah. Izin tambang tetap tak dicabut, malah Bupati Minut mengeluarkan izin 'perpanjangan' lagi. Foto: Save Bangka Island

Kala alat berat perusahaan tambang mulai menebangi mangrove di tepian pantai untuk reklamasi dan membangun fasilitas perusahaan, beberapa waktu lalu. Gugatan warga penolak tambang yang dimenangkan sampai Mahkamah Agung pun tak digubris pemerintah daerah. Izin tambang tetap tak dicabut, malah Bupati Minut mengeluarkan izin ‘perpanjangan’ lagi. Foto: Save Bangka Island

Adanya kepentingan berbeda dilatarbelakangi cara pandang yang berbeda  dalam memahami persoalan lingkungan. Robbins (1993) menyebut konflik sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya pihak lainnya.

Isu lingkungan hidup memiliki  keterkaitan dan implikasi kepada ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dalam satu  wilayah tertentu. Oleh karena itu faktor yang melandasi perbedaan cara pandang pemerintah dan masyarakat terhadap  konflik dan sengketa lingkungan hidup  selalu terkandung tiga aspek tadi. Isu ekonomi, sosial serta budaya lahir sebagai revitalisasi pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini diasumsikan memisahkan lingkungan dengan aspek kepentingan masyarakat setempat.   Dengan demikian paradigma penyelesaian sengketa lingkungan hidup dibangun berdasarkan kepentingan ketiga aspek tersebut.

Sengketa dan Konflik Sumber Daya Alam

Konflik sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat kita kategorikan asal-muasalnya menjadi; a) konflik yang diakibatkan perebutan hasil sumberdaya alam, b) konflik yang diakibatkan perubahan fungsi kawasan, c) konflik akibat tertutupnya akses masyarakat terhadap kawasan sumber daya alam dan d) konflik akibat perusakan dan pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri dan aktivitas manusia lainnya.

Konflik di kawasan hutan hanya salah satu contoh konflik yang timbul dalam lingkungan dan kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi hutan. Sebagian besar masyarakat mencari dan menggantungkan hidupnya pada hasil hutan. Bahkan hutan   berfungsi sebagai media kehidupan  sosial dan budaya serta memiliki nilai-nilai spiritualitas yang menempatkannya sebagai wilayah yang harus dijaga dan dihormati oleh generasi selanjutnya.

Adanya perubahan fungsi dan pemilikan yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek yang dapat menjadi ancaman keberadaan hutan itu sendiri oleh Negara melahirkan banyak  konflik dan pelanggaran hak asasi manusia. Ironisnya pelanggaran ini tidak saja dilakukan oleh negara sebagai pemangku kepentingan yang kehadirannya jauh sebelum masyarakat setempat menempati dan memiliki kawasan tersebut, namun juga melibatkan perusahaan asing khususnya (TNC/TransNasional Corporations) bahkan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan lainnya.

Seorang anggota Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Nagari Kajai tengah memeluk salah satu pohon kayu yang ada dalam wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubout

Seorang anggota Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Nagari Kajai tengah memeluk salah satu pohon kayu yang ada dalam wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubout

Masyarakat adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan  yang disepakati bersama oleh kelompok yang bersangkutan.  Berdasarkan  pada  tipologinya,  masyarakat  desa  hutan  adalah  masyarakat  yang  mendiami wilayah  yang berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan.

Perubahan fungsi dan pemilikan dapat terjadi karena mereka menjual lahannya kepada pembeli, atau terjadi perampasan lahan mereka karena tidak ada bukti pemilikan dan perubahan tersebut memiliki dampak sosial, ekonomi dan lingkungan kepada wilayahnya. Apabila kita kaji (berdasarkan asumsi tersebut), maka dapat disimpulkan  bahwa konflik-konflik itu bermuara pada: 1) Belum adanya ketentuan pelaksana dalam memberikan pengakuan  hak ulayat pada masyarakat adat dan lokal (setempat), walau undang-undang telah secara jelas mengakuinya, dan 2) kebijakan yang cenderung memihak kepada kepentingan pemodal.

Gambaran kecil diatas ini merupakan kasus konflik sumber daya alam di sektor kehutanan ini yang juga banyak dialami oleh khususnya negara-negara berkembang. Ironisnya gerakan konservasi lingkungan awalnya diletakkan sebagai upaya melindungi kawasan dan peruntukkan hutan sebagai bagian penyelamatan dan perlindungan bumi dari kerusakan yang terjadi akibat eksploitasi manusia namun dalam prakteknya seringkali meminggirkan masyarakat yang mendiaminya sejak lama.

Sejarah gerakan konservasi dan lingkungan sebagai elemen arus utama pembangunan oleh Ton Dierz (1996) dikelompokkan ke dalam; pertama, paradigma kebijakan yang menempatkan lingkungan dan sumber-sumber alam dengan objek eksploitasi (Ecodevelopmentalism). Kedua, kebijakan yang membuat isolasi tertentu terhadap suatu kawasan agar bebas dari intervensi manusia sama sekali (ecototalism atau ecofasism) dan ketiga, kebijakan yang menempatkan rakyat di sekitar suatu kawasan sumber daya sebagai subjek utama (eco-populism).

Namun demikian, bukti-yang disampaikan dalam  tulisan ini (yang terbagi dalam dua bagian) juga menunjukkan bahwa peran perusahaan (corporates)  dan lembaga keuangan Internasional memainkan peran sangat penting, terutama dalam membawakan agenda Neo liberalisme. Pada bagian 1 ini akan difoksukan pada tulisan yang dibuat oleh Nosheen Ali mengenai Development; Biodiversity Conservation and Pastoral Visions in the Nothern Areas, Pakistan dan analisis analisis dan ulasan  tambahan dari penulis  yang subjektif dan interpretatif dengan tetap mengacu pada isu yang menjadi fokus bahasan.

Penebangan liar di Suaka Margasatwa Dangku dampak masyarakat makin terdesak karena ruang hidup mereka sudah menjadi 'milik' perusahaan. Foto: Taufik Wijaya

Penebangan liar di Suaka Margasatwa Dangku dampak masyarakat makin terdesak karena ruang hidup mereka sudah menjadi ‘milik’ perusahaan. Foto: Taufik Wijaya

Dalam sebuah tulisan yang dibuat oleh Nosheen Ali yang menggambarkan kasus yang terjadi di kawasan utara Pakistan menjadi potret gambaran gerakan konservasi sebagai upaya untuk mewujudkan yang oleh  Ton Dierz disebutnya sebagai ecofasism. Dalam uraian yang cukup cermat, Nosheen Ali mengatakan bahwa gerakan konservasi ini merupakan bentuk ‘penebusan dosa’ dunia barat terhadap kerusakan yang dibuatnya dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan industrinya melalui mekanisme bantuan yang dianggapnya sebagai kepedulian negara barat.

Model atau bentuk yang bertahan hampir lebih 30 tahun ini dinilai menegasikan kehadiran dan peran masyarakat setempat (lokal). Sebaliknya mereka ditempatkan sebagai pihak yang akan mengancam keberadaan kawasan konservasi. Hampir 40%  kawasan utara Pakistan dikonversi ke dalam area  kawasan lindung, seperti menjadi taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa dan kawasan berburu oleh pemerintahnya. Dengan kata lain,  mereka menginginkan kekayaan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut menjadi museum hidup untuk kehidupan margasatwa.

Gesekan mulai muncul saat masyarakat setempat (pastorals) merasakan adanya persoalan dalam konsep/gagasan proyek konservasi yang mengancam nilai dan hak masyarakat setempat. Gagasan proyek ini mereka nilai hanya hanya mengedepankan ‘ecological sovereignty’ daripada  ‘community participation’. Tentu bagi masyarakat, kondisi ini menimbulkan  pertentangan  khususnya terhadap praktek konservasi yang telah mereka yakini dan berjalan dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat meyakini memiliki nilai sendiri dalam memandang dan memperlakukan kawasan hutan. Keyakinan dan perlakukan yang ada bahkan dinilai melebihi batas-batas kepentingan material semata. Oleh karenanya justru mereka mempertanyakan  kembali argumentasi yang dipakai oleh pemerintah dan lembaga-lembaga internasional yang mendukung penetapan kawasan ini. Bagi masyarakat, nilai-nilai yang ada dan dipelihara merupakan kristalisasi dari perlakuan hormat (respect) mereka terhadap alam dan lingkungannya.

Bagi masyarakat, nilai yang paling tepat dalam menyokong kegiatan konservasi kawasan tersebut adalah nilai yang selama ini mereka praktekkan. Sebaliknya mereka meragukan nilai kegiatan konservasi keanekaragaman hayati yang menjadi landasan ditetapkannya kawasan-kawasan ini oleh pemerintah setempat. Nilai apa yang yang paling tepat untuk menjadi penyokong (yang dicita-citakan) dari kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di kawasan utara tersebut serta bagaimana dan mengapa masyarakat lokal di kawasan tersebut mengkritik dan menentang praktek konservasi global tersebut dilemparkan oleh penulis sebagai ‘tantangan’ bagi para pihak yang selama ini mengklaim mengetahui apa yang seharusnya masyarakat lakukan.

Masyarakat justru menilai bahwa penetapan kawasan ini berakibat tanah dan mata pencaharian masyarakat menjadi terancam hilang. Ketegasan mereka dalam menentang ide penetapan kawasan sangat mereka pahami dan sadari karena bagi mereka alam telah menjadi bagian dari hubungan sosial masyarakat  dan tidak dapat dilindungi tanpa pengakuan terhadap nilai, hak dan kepemilikan adat/masyarakat asli. Penegasan ini sekaligus untuk menjawab pandangan dan asumsi bahwa praktek yang dijalankan masyarakat menjadi sumber ancaman terhadap alam.

Hutan Kalimantan akibat ekspansi kelapa sawit. Foto: Greenpeace

Hutan Kalimantan akibat ekspansi kelapa sawit. Foto: Greenpeace

Justru gambaran sebaliknya menunjukkan bahwa atas nama pengelolaan sebuah kawasan konservasi dalam prakteknya ditempatkan atau ‘diperkenalkan’ sebagai aset untuk mendatangkan devisa/uang dengan meletakkannya menjadi ‘barang dagangan’ untuk para wisatawan (terutama dari negara-negara Barat). Sehingga Nosheen Ali berpendapat bahwa walau proyek-poyek itu atas nama Pembangunan Berkelanjutan (framed as initiative for sustainable development), namun justru memperkuat kekuasaan negara dan pemodal. Dalam sebuah tulisannya, Cronon (1995) melihat fenomena ini menunjukkan bahwa alam dilihat hanya sebagai keaslian (kemurnian) dari hutan belantara (yang terpisahkan dari manusia) daripada melihatnya sebagai a lived social landscape.

Bahkan Nosheen Ali balik menuding barat dengan mengatakan bahwa  terjadinya ‘social alienation’ dan ‘environmental degradation’ adalah hasil proses dari pembangunan negara maju/barat (kapitalis) itu sendiri. Sehingga perhatian  mereka terhadap isu perlindungan lingkungan, khususnya konservasi kawasan hutan merupakan pemikiran dan gagasan untuk mengembalikan romantisme mereka dengan mengatakan bahwa ’alam’ harus dilindungi, khususnya dari aktifitas kapital (pembangunan ekonomi).

Sejak konsepsi ini dikembangkan, maka sejak itu hegemoni relasi  alam dengan masyarakat telah mengalami perubahan yang signifikan dibawah  kondisi saat itu yang kental dengan neo liberal capitalism yang artinya  perubahan peran alam dari faktor produksi menjadi komoditas yang menguntungkan dibeli dan dijual sesuai keuntungannya (O’Connor, 1994). Konsekuensi dari konsep diatas, maka dunia selatan, khususnya masyarakat adat (pribumi) cenderung untuk kehilangan hak dan nilai-nilai utama mereka. Nilai-nilai neo liberal ini telah melanggar batas-batas dan hak milik mereka dan bahkan menjadi  dominan dalam rentang waktu lebih dari 30 tahun terakhir sejak dimulai tahun 1970-an

Memang dimulainya konflik ini pada tahun 1970-an saat pemerintah lokal mereka menetapkan kawasan lindung  yang dipisahkan dari masyarakatnya (baik yang ada dalam kawasan konservasi maupun masyarakat pedesaan) yang berlanjut pada era 1990-an, walau wacana tentang konservasi keanekaragaman hayati mengalami perubahan dengan cara atau pola pengelolaan sebelumnya. Hal ini terpengaruh dengan dilaksanakannya Konferensi Dunia tentang Taman Nasional dan Konservasi Lindung (World Conference on National Park and Protected Area/WCNPPA) dan Earth Summit pada tahun 1992. Pada saat itu pengelolaan bercirikan antara konservasi dengan ide/gagasan dari konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sejalan dengan kecenderungan politik pembangunan saat itu yang mulai memikirkan lingkungan hidup dan konservasi serta perlindungan terhadap ekosistem bumi, kemudian diterjemahkan oleh kelompok lembaga swadaya masyarakat dan lembaga bantuan internasional lainnya seperti Conservation International (CI), World Wild Fund (WWF) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) untuk merancang bagaimana target  target dari konservasi dapat dicapai dengan menggabungkan antara partisipasi masyarakat dengan benefit sharing atau pembagian keuntungan khususnya terhadap masyarakat lokal dan adat .

Pemakaian kawasan lindung untuk mempromosikan bisnis/usaha pariwisata, trophy hunting dan bioprospecting yang akan menjadikan alam sebagai dagangan untuk melayani konsumen negara barat tetapi juga membagi keuntungan terhadap masyarakat lokal (Breunig, 2006). Namun pendekatan ini masih diragukan kesungguhannya dalam konteks konservasi sesungguhnya. Banyak orang masih berpikir bahwa mereka  menyelamatkan alam dalam kerangka ‘menjualnya’ untuk kepentingan pengelola yang notabene adalah perusahaan yang menjalankan roda bisnis untuk meraup keuntungan besar. Tercatat bahwa  antara tahun 1986 sampai 1996 terdapat 60% pertambahan jumlah kawasan lindung di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin.

Mengkoreksi Konsepsi Konservasi Konvensional

Melihat kecenderungan pendekatan konservasi yang konvensional  kemudian memunculkan gagasan untuk mengoreksi pendekatan atau strategi konservasi. Adanya gagasan ini setidaknya memberikan positioning sangat jelas bahwa konservasi secara konsep sangat dipahami dan didukung oleh masyarakat sebagai modal keberlanjutan ekonomi mereka.

Gagasan yang ditawarkan adalah bahwa pengertian atau definisi dari ‘nature and conservation’ yang sesuai dengan praktek gerakan lingkungan hidup global harus dapat mencerminkan kepentingan dan karakteristik setiap nilai-nilai yang berkembang pada lokal atau negara atau wilayah. Dan pemahaman pengetahuan yang diterima secara global harus mencerminkan pula keahlian yang berasal dari pengetahuan lokal/asli dan merancang ulang konsepsi pembangunan yang ideal yang diterima secara global.

Masyarakat sekitar perkebunan sawit yang dirugikan akibat hilangnya fungsi ekologis hutan. Foto: Aji Wihardandi

Masyarakat sekitar perkebunan sawit yang dirugikan akibat hilangnya fungsi ekologis hutan. Foto: Aji Wihardandi

Di sisi lain, istilah definisi partisipasi masyarakat yang telah menjadi komitmen dan keputusan yang diterima dalam Earth Summit sebagai sebuah pendekatan yang mutlak dilakukan dalam setiap pembuatan kebijakan  sepatutnya dilaksanakan dengan kesungguhan dengan tidak  memanipulasi masyarakat sebagai pelengkap saja untuk menjustifikasi sebuah proyek.

Terkait dengan kasus ini langkah yang dilakukan adalah mempromosikan kepemilikan tanah beserta ekologinya kepada masyarakat pribumi atau adat (Jean Franco menyebutnya dengan ‘Struggle for Interpretative Power (1999)). Pratt (1999) dan Cornwall, Harison and Whitehead (2007) menyebutnya sebagai keterlibatan masyarakat- yang termarginalkan- dalam upaya melepaskan  upaya  diri dari paradigma (cara berpikir) yang mendominasi.

Menghadirkan strategi dan posisi mereka sendiri dalam hubungannya dengan konservasi dalam memperjuangkan suara dan nilai dan cara hidup sederhana mereka. Dengan demikian keberlanjutan dari the Natural World dan equitable access diposisikan sebagai capaian yang ideal.

Hal mendesak lainnya adalah bahwa ‘bahasa’ yang terdapat dalam konservasi lingkungan harus diarahkan secara kuat  untuk menggantikan  secara kuat konsumerisme –yang merusak tatanan sosial dan ekologi- . dengan demikian ke depannya Etika Lingkungan harus melekat pada setiap kegiatan/praktek konservasi (menggantikan ideologi pasar bebas).

Namun di sisi lain mendorong keterlibatan  masyarakat secara baik, tepat dan benar (genuine participation) dan memberikan alternatif sumber pendapatan ekonomi mereka. William Friedmann menyebutkan bahwa budaya hukum (law culture) masyarakat menjadi faktor penting terhadap perubahan kebijakan.  Demikian pula halnya dengan  Willian N. Dunn yang mempercayai bahwa masyarakat sebagai bagian dari pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus yang mempunyai andil di dalam mengaruhi suatu kebijakan (Public Policy Analysis: An Introduction Second Edition).

Demikian pentingnya keterlibatan publik dalam pembuatan dan perumusan kebijakan menyebabkan isu keterlibatan masyarakat menjadi isu penting dalam penerapan prinsip-prinsip negara demokratis. Terakhir, alternatif sumber kehidupan harus decara ideal dikaitkan dengan program dan implementasi dari kawasan karena pada dasarnya mereka atau masyarakat menyadari bahwa konservasi dapat menjadi sumber pembangunan/ekonomi mereka.


Opini : Mencermati Peran Multinational Corporation dalam Isu Lingkungan Hidup dan Demokrasi was first posted on June 6, 2015 at 11:17 am.

Perdagangan Satwa Liar Online Makin Mengkhawatirkan

$
0
0

Perdagangan satwa liar yang berstatus langka kini semakin mengkhawatirkan, dalam beberapa tahun terakhir. Diduga, satwa-satwa yang berstatus endemik dari berbagai pulau di Indonesia kini sudah semakin mudah menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia.

Penyebaran satwa liar tersebut terjadi melalui jaringan sosial media yang semakin masif perkembangannya dalam 10 tahun terakhir ini. Fakta tersebut kini sudah semakin mengkhawatirkan, karena kekuatan sosial media dewasa ini sudah diakui sangat besar oleh semua kalangan d dunia.

Foto: Petrus Riski

Foto: Petrus Riski

Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit/Wildlife Conservatory Society (WCU/WCS) menilai bahwa peredaran satwa liar berstatus langka saat ini sudah semakin tak terbendung. Karenanya, harus dicari cara bagaimana untuk menghentikan perdagangan satwa liar melalui sosial media.

“Sekarang ini satwa liar memang sudah semakin gawat. Sudah banyak yang menawarkan perdagangan satwa liar melalui sosial media. Ini harus dihentikan segera,” tutur Irma di Jakarta, Kamis (05/06/2015).

Menurut Irma, motif perdagangan melalui jaringan dalam jaringan (daring) tersebut rata-rata berujung pada keuntungan materi. Hampir semua transaksi perdagangan melalui daring dilakukan oleh para pedagang lama yang biasa berjualan satwa. Di antara mereka, terdapat para pedagang hewan di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.

WCS mencatat, sepanjang 2014 terjadi transaksi perdagangan melalui daring sebanyak 26 kali. Hampir sebagian besar dari transaksi tersebut dilakukan melalui pembayaran di muka (cash on delivery/COD).

Duapuluh satu kakatua jambul kuning dalam botol plastik minuman air mineral ini berhasil disita petugas di Surabaya, setelah coba diselundupkan dari Maluku ke Jakarta. Foto: Petrus Ridzki

Duapuluh satu kakatua jambul kuning dalam botol plastik minuman air mineral ini berhasil disita petugas di Surabaya, setelah coba diselundupkan dari Maluku ke Jakarta. Foto: Petrus Ridzki

“Namun, selain para pedagang lama, dalam modus perdagangan melalui daring ini, kini mulai terdapat para pedagang baru. Mereka ini adalah para pedagang muda yang mengerti dunia daring, terutama sosial media,” jelas Irma.

Tidak hanya itu, meski dilakukan melalui jaringan daring, namun Irma memastikan bahwa modus baru tersebut sudah memiliki jaringan tetap dan kuat. Dia mencontohkan, untuk burung elang, calon pembelinya hampir dipastikan adalah konsumen dari Jepang. Sementara, untuk burung kakatua, konsumennya berasal dari negara Timur Tengah.

“Harus ada tindakan tegas dari aparat hukum untuk menghentikan aksi perdagangan ilegal melalui daring ini. Karena, bagaimanapun ini sudah mengancam populasi satwa langka tersebut. Saya yakin aparat bissa melacak siapa saja pelaku perdagangan ilegal melalui daring tersebut karena sudah jelas,” papar dia.

Satwa Indonesia, Satwa‘Penakut’ di Dunia

Terus berlangsungnya perburuan liar satwa langka di Indonesia dan kemudian dijual melalui jaringan online maupun offline, menurut Ahli Spesies dari World Wildlife Foundation (WWF), Sunarto, berdampak pada perilaku satwa yang ada di alam liar.

“Satwa Indonesia di alam liar termasuk penakut jika dibandingkan dengan satwa serupa di negara lain. Ini tak lepas dari perilaku posesif masyarakat Indonesia yang agresif melakukan perburuan liar. Ini memang sangat menyedihkan,” ungkap Sunarto.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, dia meyakini melalui penelitian yang dilakukan, satwa liar berstatus langka di Indonesia akan terkena dampak ekologis yang berat. Dan itu, sudah jelas akan semakin mengancam populasi mereka yang sudah sedikit saat ini.

Kuskus beruang yang langka dan dilindungi, salah satu dari 14 jenis satwa yang dievakuasi dari lokasi penggerebegan di Garut, Jawa Barat. Foto : Dok COP

Kuskus beruang yang langka dan dilindungi, salah satu dari 14 jenis satwa yang dievakuasi dari lokasi penggerebegan di Garut, Jawa Barat. Foto : Dok COP

Selain perburuan yang terus dilakukan pada satwa liar, Sunarto menuturkan, perilaku masyarakat Indonesia sejak lama terbiasa untuk memelihara satwa langka di tempat tinggalnya masing-masing. Namun, adopsi aksi tersebut ternyata tidak diikuti dengan keseriusan dalam merawatnya dan bahkan cenderung mengabaikannya.

“Biasanya, saat satwa baru diterima dan masih segar bugar, si pemelihara akan senang. Tapi, karena perawatan yang tidak benar, satwa kemudian jadi cepat sakit dan kemudian diserahkan ke lembaga konservasi satwa,” cetusnya.

Karena itu, Sunarto memberi saran, jika memang masyarakat merasa tidak siap untuk memelihara satwa, sebaiknya jangan memaksakan diri. Pasalnya, jika satwa sudah sakit karena salah pemeliharaan, yang akan terkena imbasnya adalah lembaga konservasi satwa.

Rekayasa Kultur Harus Dilakukan

Untuk mencegah terus meluasnya aksi perdagangan ilegal melalui jaringan daring, Sunarto mengusulkan agar dilakukan rekayasa kultur oleh Pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan satwa di Indonesia.

“Sudah saatnya dilakukan rekayasa kultur di sejumlah tempat yang menjadi populasi satwa tersebut. Dengan rekayasa kultur, masyarakat diharapkan bisa semakin paham bagaimana untuk menyikapi keberadaan satwa liar langka,” tandasnya.

Sementara itu, menurut Samedi, Program Director Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) KEHATI, selain harus ada perubahan paradigma dan kultur di masyarakat, harus juga ada perubahan di tingkat regulasi terkait keberadaan satwa liar di Indonesia.

“Harus ada sanksi hukum untuk pelanggarannya. Kemudian harus ada juga perlindungan menyeluruh di semua level. Terutama, harus ada perlindungan di habitat, selain perlindungan hewan secara langsung,” tegasnya.

Menurut Samedi, pada dekade 90-an, Indonesia biasa mengekspor burung ke berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, seiring berjalannya waktu, saat ini ekspor tidak bisa dilakukan lagi karena pemberlakuan aturan yang sangat ketat dari negara-negara tersebut.

“Ini juga ada kaitannya dengan perilaku satwa. Bisa jadi karena memang dipengaruhi oleh perilaku posesif dari masyarakat yang melakukan perburuan liar. Karenanya, harus ada tindakan tegas dari semua kalangan menyikapi hal ini. terutama harus ada perubahan paradigma dan kultur,” pungkas dia.


Perdagangan Satwa Liar Online Makin Mengkhawatirkan was first posted on June 7, 2015 at 4:56 am.

World Oceans Day: Sejahterakan Nelayan dan Jaga Lautan dari Plastik

$
0
0

Program pembangunan Poros Maritim yang diusung kepemimpinan Presiden Joko Widodo menasbihkan kawasan maritim Nusantara menjadi primadona baru sekaligus pusat dari seluruh pembangunan fisik di Indonesia. Gong dari program tersebut dimulai sejak 2014 atau setelah Jokowi dilantik menjadi presiden.

Inti dari program tersebut adalah mengembangkan kawasan maritim Indonesia sebagai pusat maritim di dunia. Porgram tersebut menjadi program besar karena melibatkan semua sektor kehidupan dan seluruh stakeholder yang ada di Indonesia.

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo merasa bangga karena sektor maritim kini mendapat prioritas di Indonesia. Namun, dia merasa sektor tersebut harus terus dipantau karena begitu banyak potensi yang ada di dalamnya.

“Potensi yang ada di wilayah maritim Tanah Air sangat banyak. Dari sumber energi, kelautan, pangan, dan lainnya. Ini menjadi modal yang bagus untuk pengembangan sektor tersebut saat ini,” ungkap Indroyono.

Untuk sektor kelautan misalnya, Indroyono menjelaskan, potensi yang bisa digali sudah jelas dari perikanan, baik perikanan tangkap maupun budi daya perikanan. Kedua sektor tersebut sangat mungkin untuk dikembangkan lebih jauh lagi.

Tegakkan Kedaulatan Laut

Sementara menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, posisi Indonesia sebagai negara maritim harus bisa dimanfaatkan dengan baik. Potensi kelautan yang ada di dalamnya juga harus bisa dijaga sebaik mungkin karena itu untuk kelangsungan masa depan bangsa.

“Indonesia harus bisa menjaga kawasan lautnya dengan baik dan harus bisa membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu menjaganya. Kita harus bisa memanfaatkan kekayaan maritim untuk kesejahteraan bangsa Indonesia,” ujar Susi.

Untuk keperluan itu, Susi bersama tim memutuskan untuk memulai kembali pemetaan wilayah laut Nusantara melalui penyusunan Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTLN). Penyusunan tersebut akan mempertegas pengembangan wilayah kelautan Indonesia dengan konsep yang terpadu.

“RTLN sendiri merupakan amanat dari pasal 43 ayat (1) Undang-undang No.32/2014 tentang Kelautan. Saya berharap dengan RTLN, nantinya wilayah kelautan bisa dipetakan lebih detil lagi dan mempertegas pembagiannya secara jelas,” tutur dia.

“Saya ingin, melalui RTLN, cita-cita menegakkan kedaulatan laut yang penuh bisa ikut terwujud. Saat ini, langkah kesana terus dirintis oleh kami. Salah satunya, dengan memberantas aksi illegal fishing,” jelasnya.

Hari Samudra, Hari untuk Nelayan

Pelaksanaan hari samudra internasional yang jatuh pada Senin (08/06/2015) ini, menjadi hari istimewa bagi seluruh pelaku di dunia kelautan di Indonesia. Namun, orang yang seharusnya bisa menikmati perayaan hari tersebut adalah nelayan yang tersebar di seluruh pesisir pantai di Indonesia.

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Nelayan di Pantai Gesing, Gunungkidul, Yogyakarta, sedang menyiapkan jaring lobster. Foto : Melati Kaye

Menurut Dosen Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan Koropitan, nelayan Indonesia hingga saat ini masih belum bisa merasakan kesejahteraan secara ekonomi maupun regulasi. Padahal, dengan kondisi saat ini di bawah pemerintahan Jokowi, nelayan seharusnya mendapat keuntungan karena program poros maritim jadi perhatian utama.

“Saya bingung sama nasib nelayan sekarang. Mereka itu nasibnya tidak juga berubah padahal negara sudah memberi fasilitas untuk berubah. Apakah memang negara yang masih belum peduli atau nelayan yang memang tidak bisa memanfaatkannya?” jelas Alan.

Namun, Alan berpendapat, satu-satunya alasan kenapa nelayan masih belum sejahtera, adalah karena negara masih belum berpihak kepada mereka. Padahal, nelayan di tanah air memiliki kemampuan yang mumpuni di lautan dan samudera luas.

“Ini yang sepertinya tidak disadari oleh Pemerintah. Mereka hanya fokus mengembangkan para pengusaha saja. Ini bisa dimengerti, karena akan lebih gampang mengatur satu pengusaha daripada mengatur banyak nelayan. Tapi, itu juga menjadi langkah keliru,” tandasnya.

Karena itu, Alan berharap sekali pemerintah bisa meningkatkan aksesibilitasnya untuk nelayan yang ada di seluruh pesisir Nusantara. Sehingga, kesejahteraan mereka bisa secara berkala meningkat.

Bebaskan Samudera dari Sampah Plastik

Lain Alan, lain pula Sri Bebassari. Menurut  Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (Inswa) tersebut, selain perlu pengembangan menyeluruh, perairan Nusantara juga perlu perhatian khusus dari Pemerintah dan semua stakeholder terkait.

“Jangan hanya terus dieksplorasi, lautan di Indonesia juga harus dijaga ekosistemnya supaya tidak rusak dan tidak mengalami degradasi lingkungan. Karenanya, mulai dari sekarang ayo kita bersama menjaga lautan dengan bersama-sama menerapkan perilaku tepat,” paparnya.

sSalah satunya bisa dilakukan dengan menjaga laut dari sampah plastik. Sampah jenis tersebut, khususnya di Indonesia, hingga saat ini terbukti masih belum ramah lingkungan.

“Indonesia itu masuk dalam jajaran negara di dunia yang memproduksi sampah plastik. Indonesia menduduki urutan dua setelah Tiongkok. Sampah plastik juga tentunya ada di laut dan ini menjadi tugas bersama kita semua untuk bisa menjaga dan membesihkannya,” harap dia.

Peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, Jenna Jembeck, mengungkap dalam penelitiannya, hampir setiap tahun di 192 negara, terdapat 275 juta metrik ton sampah plastik yang berhasil dikumpulkan di pesisir pantai di masing-masing negara.

Jika tidak ada tindakan nyata dari kita semua, jumlah sampah plastik akan terus meningkat. Di Indonesia, peluang tersebut semakin jelas terlihat karena perilaku masyarakat juga masih belum cerdas. Belum ada kesadaran untuk memilah sampah plastik dan bukan. Menjadi tugas kita bersama untuk bisa menguranginya. Setuju?


World Oceans Day: Sejahterakan Nelayan dan Jaga Lautan dari Plastik was first posted on June 8, 2015 at 2:11 am.

Satgas : Pelanggaran Peraturan Kapal Tertinggi Ada Di Maluku

$
0
0

Deputi Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Yunus Husein,  dalam rapat koordinasi dengan jajaran aparat penegak hukum dalam bidang tindak pidana penangkapan ikan ilegal di Ambon Kamis pekan lalu (04/06/2015) menjelaskan bahwa Maluku menempati urutan pertama jumlah pelanggaran kepatuhan kapal.

“Perairan Maluku merupakan wilayah dengan angka pelanggaran tertinggi di Indonesia yang melibatkan 350 kapal bermasalah. Mayoritas pelanggaran terjadi di sekitar kepulauan Aru,” kata Yunus dalam siaran pers yang diterima Mongabay pada Senin (08/06/2015).

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

Satgas menemukan bahwa 95 persen kapal-kapal bermasalah di perairan Maluku tersebut mempekerjakan nahkoda dan ABK asing tanpa surat-surat lengkap, memiliki banyak bendera, VMS yang tidak aktif sehingga posisi kapal tidak dapat diketahui.

Kapal-kapal tersebut juga kerap melakukan transshipment ilegal dan membawa bahan bakar ilegal. Dalam kasus Benjina, terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, imigrasi, perdagangan manusia dan kerja paksa.

Dalam upaya pemetaan kepatuhan kapal, tim Satgas juga menemukan 200-an pelanggaran di Sulawesi Utara, 150 di Bali, 140 di Papua, 90 di Papua Barat, dan 60 pelanggaran di Kepulauan Riau. Sama halnya dengan pelanggaran di perairan Maluku, dengan tambahan pelanggaran seperti penangkapan dan ekspor ikan yang dilindungi, impor barang illegal, badan hukum fiktif serta mark-down ukuran berat  kapal.

“Sesuai dengan strategi kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebanyak 62 kapal bermasalah telah ditenggelamkan guna memberikan efek gentar,” ujar Yunus.

Dia menjelaskan satu kapal Malaysia ditenggelamkan di perairan Aceh; 28 kapal dari Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia di tenggelamkan di perairan Kepulauan Riau; satu kapal Malaysia di Sumatera Utara, 6 kapal dari Vietnam, Thailand dan Cina ditenggelamkan di Kalimantan; 9 kapal Indonesia ditenggelamkan di Papua, dan 17 kapal dari Filipina dan Indonesia di tenggelamkan di perairan Sulawesi Utara.

Kapal asing berbendera  Malaysia ini  diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto:  Ayat S Karokaro

Kapal asing berbendera Malaysia ini diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto: Ayat S Karokaro

Sedangkan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan ditemukannya laporan kapal ikan yang melanggar ketentuan Undang-undang No.45/2009 tentang Perikanan menunjukkan bahwa pencurian ikan (illegal, unreported and unregulated/IUU fishing) telah merugikan bangsa Indonesia dalam jumlah yang cukup besar.

“KIARA menyebut sedikitnya Rp30 triliun dari ikan yang dicuri dan Rp80 triliun dari potensi pajak dan PNBP yang hilang,” kata Halim yang dihubungi Mongabay pada Senin (08/06/2015).

‎Dia melanjutkan laporan Satgas Illegal Fishing tersebut harus ditindaklanjuti dengan pengumuman kepada publik, perbaikan/penguatan kebijakan dan penindakan hukum secara tegas kepada kapal ikan, baik korporasi maupun perorangan

‎Mengenai penegakan hukumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan harus ambil peran aktif untuk melakukan dialog secara intensif dengan para penegak hukum, seperti Kepolisian RI, Panglima TNI (membawahi TNI AL), Bakamla, Jaksa Agung dan Hakim Pengadilan Perikanan

Indonesia juga perlu meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam memerangi IUU Fishing. “Dalam konteks inilah, peran Pemerintah Indonesia harus lebih aktif, terutama menyediakan ruang dan insentif bagi masyarakat pelaku perikanan skala kecil dalam mengamankan perairan nasional dari ancaman kedaulatan, keberlanjutan sumber daya laut bagi kesejahteraan masyarakat,” lanjutnya.

Halim melihat koordinasi penegakan hukum yang telah dilakukan oleh Menteri Kelautan belum cukup maksimal dan belum terkoordinasi dengan aparat penegakan hukum yang lain. Bahkan belum sepehaman. “‎Belum menusuk jantung pemahaman mereka,” tambahnya.

Penguatan pengadilan perikanan

Terkait penegakan hukum kasus kelautan dan perikanan, Mahkamah Agung (MA) didukung Uni Eropa dan United Nations Development Programme (UNDP) melakukan penguatan koordinasi dan penanganan perkara-perkara kelautan dan perikanan di Maluku.

MA bekerja sama instansi terkait seperti KKP, Kejaksaan Tinggi, Kepolisian Daerah, Pengadilan Tinggi Maluku dan Pengadilan Negeri Ambon, menggagas upaya-upaya pembentukan tim ahli, perumusan modul pelatihan dan Panduan Teknis Lapangan serta pembentukan satuan pelatih, yang direncanakan rampung sebelum akhir 2015.

“Upaya penegakan hukum bidang perikanan dan kelautan memiliki ruang lingkup yang sangat luas sehingga nomenklatur pengadilan perikanan mempersempit cakupan penanganan masalah ini karena terdapat banyak isu lain dalam penanganan perkara  perikanan dan kelautan.” jelas Kepala Bagian Program Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA, Abdullah dalam rapat tim ahli di Ambon.

Abdullah mengungkapkan bahwa kondisi penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan saat ini masih terhalang oleh penerapan pasal-pasal hukum yang sangat lemah, keterbatasan keterampilan dan pengetahuan penegak hukum dalam menerapkan dakwaan yang non-konvensional/korporasi, minimnya koordinasi antar penyidik dan antar kementerian-lembaga, dan penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi hasil putusan pengadilan. Selain itu, ada keterbatasan sumberdaya dan anggaran pemerintah dalam menangani perkara-perkara perikanan dan kelautan.

Minimnya hakim dan jaksa yang telah bersertifikasi perikanan juga merupakan hambatan penanganan dan penyelesaian perkara. Untuk jaksa, selama ini belum ada penunjukan jaksa khusus perikanan, tetapi masih harus ditangani oleh jaksa umum yang juga menangangi kasus lain seperti tipikor. Selain itu, kemampuan Badiklat masih sangat terbatas dan tergantung dengan permintaan untuk pelatihan sertifikasi jaksa perikanan.  Hal ini mempengaruhi proses penyusunan tuntutan, dakwaan dan pembuktian yang dilakukan oleh kejaksaan.

Sedangkan pakar peradilan UNDP, Bobby Rahman, menjelaskan bahwa kejahatan sektor kelautan dan perikanan merupakan kejahatan lintas sektor. Sehingga perlu perlu undang-undang lain untuk menjerat pelaku.

“Ada begitu banyak pelanggaran terkait lainnya dalam perkara perikanan dan kelautan seperti pelanggaran undang-undang TPPU, suap, gratifikasi dan penghindaran pajak,” jelas Bobby. “Selain itu, banyak pula pelanggaran undang-undang pelayaran, pajak, imigrasi, perikanan, ekspor-impor, PMA, migas, kepabean, hayati, dan masih banyak lagi sehingga penguatan koordinasi jajaran penegak hukum dan pengadilan khusus perikanan harus bersifat mutlak.”

Terkait pendekatan multidoor dalam penanganan perkara perikanan dan kelautan, Bobby menilai masih minim sekali koordinasi dan  pengetahuan tentang UU diluar bidang perikanan sehingga perlu merangkul pihak terkait lainnya serta mengintensifkan upaya-upaya pelatihan  teknis melibatkan Kepolisian (Reskrimsus dan Polair), KKP, PSDKP, TNI AL – Danlantamal, Kejaksaan, Pengadilan Perikanan, Bea Cukai, Imigrasi, Syahbandar Perikanan dan Syahbandar Umum dan Karantina.

Oleh karena itu, MA dan KKP akan mengembangkan modul pelatihan yang mencakup isu-isu tata kelola perikanan (bentuk fisik kapal, bentuk perijinan), tipologi tindak pidana di laut, tindak pidana korporasi, hukum acara dan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan/TP di laut, sistem pembuktian, persamaan persepsi tentang surat dakwaan, eksekusi (barang bukti dan denda), dan integrasi sistem penelusuran perkara. Berbagai pelatihan terpadu ini diharapkan bisa diberikan pada November 2015.


Satgas : Pelanggaran Peraturan Kapal Tertinggi Ada Di Maluku was first posted on June 8, 2015 at 8:44 am.

Perlu UU Khusus Kemaritiman Untuk Jadikan Indonesia Negara Maritim

$
0
0

Peringatan Hari Samudera Dunia (World Oceans Day) pada Senin (08/06/2015) menjadi titik balik bagi Indonesia untuk bisa memperbaiki regulasi yang berkaitan dengan wilayah kemaritiman. Salah satu yang harus diperbaiki, adalah regulasi hukum yang hingga saat ini masih belum jelas.

Pendapat itu dikemukakan Pakar Hukum Kelautan Internasional Chandra Motik dalam sebuah sarasehan memperingati World Oceans Day 2015 di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Senin. Menurut dia, Indonesia adalah negara besar yang memiliki wilayah maritim luas. Fakta tersebut harus dijaga dengan baik oleh semua pihak.

“Kita ini harus bisa menjaga dengan baik wilayah maritim kita. Jangan sampai (bangsa) asing menguasainya,” ungkap Chandra dengan nada tegas.

Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi

Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi

Chandra menuturkan, sebagai negara maritim, masalah utama yang hingga kini belum tuntas adalah keberadaan regulasi hukum yang khusus mengatur tentang tata laksana kemaritiman alias Undang-Undang Maritim.

“Kita harus bisa melengkapinya dengan UU khusus Maritim. Karena saat ini Indonesia sedang membangun kawasan maritimnya,” jelas Chandra.

Menurut dia, dengan membuat regulasi khusus tentang kemaritiman, segala hal yang menyangkut tata laksana kemaritiman bisa dijalankan dengan baik dan benar. Sehingga, hal itu bisa sejalan dengan visi dan misi pemerintahan saat ini di bawah Presiden Joko Widodo yang ingin membawa Indonesia sebagai pusat maritim dunia.

Chandra mengatakan, walau UU khusus maritim hingga saat ini masih belum ada, namun Pemerintah sudah membuat Undang-Undang Kelautan yang disahkan pada 2014 lalu. Namun, bagi dia itu masih belum cukup. Karena, antara maritim dan kelautan itu memiliki bahasan yang berbeda dengan konteks yang berbeda pula.

“Kelautan dan kemaritiman itu beda. Laut itu ada di bawah (air) dan maritim itu ada di atas (air). Maritim adalah bagian dari kegiatan laut. Jadi jelas itu berbeda,” tandasnya.

Terkait keinginan Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, menurut Chandra konsep itu sudah lama terwujud. Namun, hingga saat ini kenyataannya Indonesia masih belum bisa menjadi negara maritim yang berdiri sendiri.

“Kalau poros maritim iya, karena Indonesia diapit dua samudera dan dua benua dan menjadi pusat pelayaran. Namun, hingga saat ini masih belum jadi negara maritim, karena memang Indonesia belum mengusahakannya,” bebernya.

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Salah satu usaha yang belum dilakukan dengan baik oleh Indonesia, katanya, adalah pengadaan fasilitas kemaritiman mencakup kapal pelayaran dan pelabuhan. Sejauh ini, dua fasilitas tersebut sudah ada tapi jumlahnya masih sangat terbatas. Untuk bisa menjadi negara maritim, dua fasilitas tersebut mutlak dihadirkan di setiap daerah.

“Sekarang Indonesia akan membangun 24 pelabuhan baru, itu bagus. Namun sayangnya, pembangunan tersebut ternyata diserahkan kepada Tiongkok. Selain belum ada aturannya tentang hal tersebut. Penyerahan tersebut terkesan Presiden (Jokowi) tidak mempercayai anak bangsa sendiri,” paparnya.

Pertegas Batas Wilayah Maritim Antarnegara

Pakar hukum laut internasional Hasyim Djalal berpendapat, pembangunan poros maritim yang dideklarasikan oleh Presiden Jokowi memang sangat baik karena Indonesia adalah negara kepulauan. Namun, Indonesia hingga saat ini masih belum membenahi infrastruktur kemaritiman, termasuk masalah batas laut antarnegara atau zona ekonomi ekslusif (ZEE).

“Hingga saat ini, Indonesia masih belum menyelesaikan batas lautnya dengan Malaysia. Padahal, prosesnya sudah dilakukan sejak lama dan hasilnya selalu nihil,” ucap Hasyim dalam kesempatan yang sama di Gedung KKP.

Selain dengan Malaysia, Hasyim menjelaskan, proses yang sama juga dilakukan Indonesia dengan negara tetangga lain, Filipina dan Australia. Namun, dari dua negara tersebut, baru Filipina yang sudah memperbarui batas lautnya dan itu dilakukan prosesnya selama 40 tahun. Sementara, dengan Australia hingga kini masih belum diperbarui perjanjian ratifikasinya.

Menurut Hasyim, jika Indonesia ingin diakui dunia sebagai negara maritim, maka perjanjian batas laut harus menjadi perhatian utama. Karena, melalui batas laut, kedaulatan maritim dan kelautan Indonesia bisa diakui.

Selain tiga negara tersebut, Indonesia juga memiliki perjanjian dengan negara tetangga lain seperti Singapura, Papua Nugini, Thailand, dan india. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, Indonesia hingga saat ini baru menyelesaikan 15 batas laut.

Lengkapi Fasilitas Pendidikan dan Teknologi

Selain melengkapi fasilitas berupa pelabuhan dan kapal serta penyelesaian batas wilayah laut, pembangunan menuju menjadi negara maritim juga harus dimulai dari fondasi pendidikan. Menurut Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik, Indonesia perlu membangun fasilitas sekolah khusus kemaritiman lebih banyak lagi.

“Saat ini, jumlahnya masih sangat terbatas. Hanya ada 780 sekolah kejuruan yang fokus di bidang kemaritiman. Selain itu, jumlah perguruan tinggi negeri juga masih sangat terbatas. Sejak tahun 1980, PTN ilmu kelautan baru ada enam,” papar Riza lebih detil.

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Dengan memperbarui dan menambah fasilitas pendidikan kemaritiman, Riza optimis kesejahteraan nelayan ke depannya akan bisa meningkat lebih baik lagi. Setidaknya, kata dia, penghasilan nelayan bisa ditingkatkan menjadi rata-rata Rp1,6 juta per bulan dari Rp800 ribu per bulan saat ini.

“Ada 2,7 juta nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sektor kemaritiman. Mereka harus terus dijaga mata pencahariannya. Caranya dengan memperkuat sektor kemaritiman dari berbagai lini yang ada tadi,” tegas Riza.

Jika sudah dilengkapi dan diperbaiki, Riza yakin Indonesia bisa berdiri dengan tegak sebagai negara maritim yang tangguh dan diakui oleh dunia. Sekarang, tinggal kemauan saja dari semua stakeholder yang ada untuk bisa mewujudkannya.


Perlu UU Khusus Kemaritiman Untuk Jadikan Indonesia Negara Maritim was first posted on June 9, 2015 at 12:48 am.

World Ocean Day, Momentum Perbaiki Data Dan Penelitian Kelautan Indonesia

$
0
0

Setiap tanggal 8 Juni, diperingati sebagai Hari Samudera Dunia atau World Oceans Day. Untuk tahun 2015, Hari Samudera Dunia mengambil tema healthy oceans, healthy planet.  Tema itu dimaksudkan bahwa laut diibaratkan seperti jantung bumi yang memompa darah kehidupan dan terhubung ke setiap makhluk hidup, termasuk manusia di bumi.

Laut berfungsi penting dalam kehidupan di bumi, seperti mengatur iklim, menghasilkan oksigen, menghidupi jutaan orang, menyediakan obat-obatan dan habitat bagi satwa-satwa yang mempesona. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjaga dan merawat kondisi laut dunia.

“Kita harus memastikan bahwa laut terus memenuhi kebutuhan kita tanpa mengorbankan orang-orang dari generasi yang akan datang. Laut mengatur iklim planet dan merupakan sumber nutrisi yang signifikan. Laut menjadi bagian penting perdagangan global, sementara isi dalam laut menjadi solusi kebutuhan energi manusia saat ini dan masa depan,” kata Sekjen PBB, Ban Ki-moon dalam laman World Oceans Day.

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Mengenai kondisi samudera dunia, Komisi Kelautan Dunia (Intergovernmental Oceanographic Commission/IOC) dari UNESCO mempunyai alat ukurnya, yaitu Ocean Health Index (OHI).

Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Alan Koropitan yang dihubungi Mongabay, Senin (08/06/2015) mengatakan ada beberapa indikator OHI, seperti produk alamiah laut, perikanan tangkap, perikanan budidaya, perlindungan kawasan pantai, tempat wisata dan pariwisata, dan kegiatan ekonomi dari laut.

“OHI sebagai gambaran umum untuk membantu kita mengetahui kondisi laut. Nilai OHI dari 0 – 100. Semakin tinggi nilai OHI, akan semakin baik,” kata Alan. Secara keseluruhan, nilai rata-rata OHI global adalah 60, yang berarti kurang baik. Sedangkan nilai OHI Indonesia adalah 62.

“Kita perlu mendetilkan kondisi setiap perairan kita sesuai parameter OHI. Itu akan menjadi dasar kebijakan pengelolaan laut kita. Misalnya bagaimana kebijakan pengelolaan untuk Laut Jawa yang sudah tercemar cukup tinggi,” jelas Alan yang juga Pengamat Isu Kemaritiman Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Dia mengibaratkan OHI sebagai ‘rem’ apabila pembangunan perikanan dan kelautan menjadi ‘gas’.  “Pembangunan itu harus menyesuikan kondisi laut kita. Implikasinya sangat luas, seperti penetapan tata ruang darat dan laut, pembatasan perikanan tangkap dan moratorium,” katanya.

Maka kualitas data perikanan dan kelautan,termasuk OHI menjadi sangat penting untuk menentukan kebijakan pengelolaan laut dan perikanan kita. “Bicara mengenai data, ini momentum untuk memperbaiki kualitas data perikanan dan kelautan kita. Sekarang data stok ikan saja kita belum ketahui pasti. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) baru meluncurkan penelitian stok ikan nasional. Data penangkapan ikan masih simpang siur dan tersebar. Ini momentum untuk merapikan data, sehingga bila parameter itu dimasukkan ke OHI, data yang keluar akan valid,” jelasnya.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Senada dengan data penangkapan, data mengenai perikanan budidaya laut juga sangat kurang. “Budidaya laut terkait dengan parameter ekonomi dan ketergantungan masyarakat terhadap sekitar sebagai mata pencaharian. Apakah perikanan budidaya sudah optimal? Tapi nelayan kita masih jauh dari sejahtera. Jangan bandingkan dengan nelayan di Jepang dan Korea. Bila kita bandingkan dengan Vietnam saja, keberpihakan terhadap nelayan masih kurang,” jelasnya.

Perikanan budidaya kita masih sangat rendah efisiensinya, sehingga pemerintah perlu membantu dengan peningkatan kemampuan, dan akses permodalan. “Meski sekarang OJK (otoritas jasa keuangan) dan KKP ada Program Jaring. Tapi masyarakat belum merasakan secara riil mengakses modal. Lagi-lagi ini bicara data, siapa yang berhak untuk akses data,” katanya.

Healthy dan wealthy ocean. Saya setuju dengan tema tahun ini. Percuma kalau laut kita sehat, tapi masyarakat belum sejahtera. Nelayan sudah sangat maju, tapi laut tidak berkelanjutan. Bagaimana supaya mensejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir,” katanya.

Sementara, Peneliti Kelautan pada Regional Climate Projections Consortium and Data Facility in Asia and the Pacific, Agus Supangat yang dihubungi Mongabay mengatakan Indonesia belum mempunyai roadmap pengembangan kelautan dan perikanan. Serta belum mempunyai database kelautan yang lengkap dan komprehensif.

“Kita tidak punya data tentang pengaruh pemanasan global di laut dan pengasaman laut. Kita hanya punya data dari modelling. Kita juga tidak punya cukup peneliti dan peralatan untuk mendapatkan data time series kelautan,” katanya.

Oleh karena itu, World Oceans Day menjadi momentum yang tepat untuk membuat roadmap pengembangan pengelolaan kelautan, termasuk lembaga yang terkait, peneliti dan peralatan penelitian. “Ini tugasnya Menteri Koordinator Kemaritiman, mengkoordinasikan lembaga terkait,” tambahnya.

Kapal penelitian Baruna Jaya milik LIPI. Foto : deepsea.lipi.go.id

Kapal penelitian Baruna Jaya milik LIPI. Foto : deepsea.lipi.go.id

Hal tersebut diakui oleh Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), Zainal Arifin. Banyak kendala untuk membangun database kelautan yang komprehensif, antara lain masalah anggaran penelitian yang kecil, sumber daya berupa peneliti dan peralatan yang kurang memadai.

“Dana riset kita kecil sekali. Kurang dari 1 persen dari PDB (produk domestik bruto). Meski sekarang trennya membaik karena Presiden Jokowi mencanangkan poros maritim,” kata Zainal.

Untuk SDM, peneliti kelautan terkonsentrasi di Jawa dan Bali. “Di beberapa universitas ada peneliti. Misal di Sulawesi ada di Universitas Hasanudin Makassar dan Universitas Sam Ratulangi Manado, dan Universitas Pattimura Maluku,” katanya.

Para peneliti tesebut juga banyak yang belum tersertifikasi, sehingga hasil penelitian bisa berbeda. “Misalnya pengecekan terumbu karang di Indonesia timur dan Indonesia barat. Karena berbeda skill, maka hasilnya bisa berbeda. Oleh karena itu LIPI membuat program Coremap untuk melakukan sertifikasi,” lanjut Zainal.

Sedangkan untuk peralatan penelitian, dia mengatakan Indonesia belum mempunyai peralatan untuk mendapatkan data real time. “Kita dalam proses untuk mendapatkan peralatan itu. Misal untuk melakukan monitoring suhu air laut. Selain data dari satelit, kita juga pasang buoy di beberapa staisun KKP dan LIPI. Tetapi peralatan kita untuk area pesisir, sudah oke,” katanya.

Zainal mengakui Indonesia belum mempunyai data series yang lengkap. Berbagai lembaga yang terkait dengan data kelautan seperti Balai Litbang KP KKP, BMKG, LAPAN dan LIPI.

Sedangkan untuk roadmap pengembangan kelautan Indonesia, Zainal juga belum mengetahui hal tersebut. “Saya kurang tahu (tentang roadmap kelautan). Roadmap mungkin ada. Harusnya tanya ke rekan-rekan di KKP,” tambahnya.


World Ocean Day, Momentum Perbaiki Data Dan Penelitian Kelautan Indonesia was first posted on June 9, 2015 at 12:04 pm.

Perairan Indonesia, Surga Harta Karun Dunia?

$
0
0

Sudah sejak berabad-abad silam, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan laut melimpah. Sumber daya yang ada di laut tidak hanya mencakup perikanan, tapi juga energi dan yang lainnya. Bahkan, dewasa ini, sumber daya di laut bertambah lagi karena di perairan Indonesia diperkirakan ada banyak harta karun yang tersimpan lama.

Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia (APPP BMKTI) mendeteksi adanya sejumlah benda muatan kapal tenggelam (BMKT) yang tersebar di seluruh perairan di Nusantara. Hingga saat ini, keberadaan BMKT masih ada di dasar perairan dan belum diangkat ke daratan.

Perairan laut Kabupaten Alor, kaya keragaman hayati juga indah sebagai obyek wisata. Foto: WWF

Perairan laut Kabupaten Alor, kaya keragaman hayati juga indah sebagai obyek wisata. Foto: WWF

Berdasarkan hasil survei, BMKT mendeteksi terdapat 464 lokasi kapal tenggelam yang menyebar di sejumlah wilayah perarian Tanah Air. Namun, dari jumlah tersebut, diketahui bahwa lokasi terbanyak ada di perairan Pelabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sisanya, menyebar di berbagai wilayah perairan.

“Selain di Pelabuhan Ratu, lokasi yang banyak ditemukan BMKT, juga ada di sekitar Selat Malaka di perairan Sumatera yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura,” ujar Sekretaris Jenderal APP BMKTI Harry Satrio di Jakarta, Senin (08/06/2015).

Harry menerangkan, berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), terdapat sedikitnya 134 lokasi kapal tenggelam di Pelabuhan Ratu dan dan 37 lokasi di Selat Malaka

Dari semua lokasi yang terdeteksi itu, Harry menyebutkan, diperkirakan terdapat harta karun yang nilainya mencapai sekitar USD12,7 miliar atau ekuivalen Rp127,6 triliun. Jumlah tersebut, kata dia, sangat banyak, namun hingga kini belum dimanfaatkan secara baik oleh Pemerintah Indonesia.

Menurut Harry, besarnya potensi ekonomi dari BMKT tersebut harusnya bisa disadari oleh Pemerintah. Karena, walau terkesan fatamorgana, namun BMKT memang ada di dasar lautan Nusantara. Untuk itu, dia menyarankan agar Pemerintah bisa segera menggarapnya dengan benar.

“Namun, sebelum akan memanfaatkan BMKT, Pemerintah harus membuat dulu aturan ataupun regulasi yang mendukung setiap kebijakan kesana. Jangan sampai, pemanfaatan BMKT akan berujung pada perselisihan baru,” jelas Harry.

Di setiap lokasi yang dideteksi ada kapal tenggelam, Harry mengatakan, potensi ekonomi yang ada di dalamnya bisa bernilai rata-rata USD27,5 juta atau antara USD15 juta hingga USD40 juta. Jumlah itu sangat fantastis karena itu didapatkan dengan cuma-cuma.

Untuk itu, menurut dia, perlu ada regulasi yang jelas dalam pemanfaatan BMKT di perairan Nusantara. Dengan maksud, jika Pemerintah ingin menggandeng investor swasta atau bukan, arah kebijakannya sudah jelas dan yang pasti akan ada transparansi di dalamnya.

Harry menjelaskan, saat ini terdapat 120 lokasi kapal tenggelam yang didalamnya diduga ada harta karun. Untuk menelusuri keberadaannya, sebanyak 70 titik lokasi sudah diajukan perizinannya kepada KKP dan diharapkan bisa segera dilakukan penelusuran.

 

Harga Mahal, Perawatan Juga Mahal

Meski BMKT sudah diakui Pemerintah dan menjadi potensi ekonomi yang bisa dikembangkan, namun KKP hingga saat ini mengaku masih belum berani memanfaatkannya dengan baik. Hal itu, karena BMKT ditengarai memerlukan perawatan ekstra dengan biaya sangat mahal.

Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP Sudirman Saad mengatakan, nilai ekonomis dari BMKT memang diakui sangat tinggi dan itu diminati oleh banyak orang. Namun, perawatan BMKT ternyata juga sama mahalnya dan itu masih belum bisa dilakukan di Indonesia.

“BMKT ini bernilai tinggi namun juga perawatannya bernilai mahal. Jadi cukup menyulitkan juga. Walau ada yang berhasil mengangkat BMKT ke daratan, namun perawatannya masih diragukan bisa dilakukan,” tutur Sudirman Saad.

Karena bernilai tinggi, Sudirman mengakui hingga saat ini banyak orang yang mengincar untuk mengeksplorasinya. Bahkan, walau tidak mendapatkan izin dari Pemerintah, kata dia, ada sejumlah orang yang berlaku curang dengan menjualbelikan barang dari BMKT.

“Saya tidak tahu apakah barang tersebut diambil dari bangkai kapal langsung atau dengan cara lain. Yang jelas, dengan memperdagangkan ke pihak lain tanpa izin, itu jelas sudah menjadi pencurian,” tegasnya.

Meski menurut APP BMKTI ada 646 titik lokasi kapal tenggelam, namun menurut Sudirman, jumlah tersebut diperkirakan jauh lebih banyak. Pasalnya, menurut hasil penelitian lembaga PBB, UNESCO, terdapat sekitar 20 ribu kapal dari berbagai negara di dunia pernah berlayar ke Selat Malaka dan diketahui tidak pernah kembali ke negara asalnya.

“Menurut UNESCO, kapal-kapal tersebut diduga kuat tenggelam di perairan Indonesia. Jika memang benar, itu sudah pasti jumlah kapal tenggelam dan BMKT yang ada bisa membengkak lagi. Ini memang potensial,” jelas dia.

Meskipun saat ini belum ada izin yang dikeluarkan untuk pengangkatan bangkai kapal, Sudirman mengungkapkan, pihaknya pernah mengeluarkan izin survei pengangkatan dan pemanfaatan BMKT di 75 lokasi. Izin tersebut dikeluarkan sepanjang 2000-2011.

“Sejak 2011 hingga 2014, moratorium diberlakukan untuk BMKT karena memang barangnya tidak laku. Namun, sekarang sudah dimulai lagi. Kita harapkan perkembangannya lebih bagus lagi,” pungkas Sudirman.


Perairan Indonesia, Surga Harta Karun Dunia? was first posted on June 10, 2015 at 3:38 am.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live