Pemerintah saat ini sedang giat mengkampanyekan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang direncanakan akan dibangun di Provinsi Bangka Belitung (Babel) atau di Jepara, Jawa Tengah. Berbagai pihak menilai Indonesia belum perlu dan sama sekali belum siap untuk membangun dan menangani PLTN yang mempunyai resiko besar dan berjangka panjang itu.
Oleh karena itu, masyarakat dan semua elemen yang ada di Indonesia harus berani bersikap tegas menyikapi rencana pembangunan PLTN oleh pemerintah di Babel. Pembangunan PLTN, hanya akan melahirkan masalah baru yang kompleks dan akan terus bertahan sepanjang masa.
PLTN Cattenom di Kota Lorraine, Perancis. Foto : Wikipedia
- Walau dinilai sudah mendesak di mata pemerintah, namun kenyataannya pembangunan PLTN masih bisa dikesampingkan untuk saat ini. Hal itu, menurut Wakil Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) Sonny Keraf, karena potensi energi di Indonesia saat ini masih bisa dipasok dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Ide membangun PLTN di Indonesia saat ini sangat tidak masuk akal. “Kalau mau mengukur kapan Indonesia layak untuk membangun PLTN? Jawabannya adalah sekitar tahun 2100. Itu juga kalau masyarakat Indonesia sudah siap secara mental dan budaya. Sehingga, kalau dibangun nanti sudah bisa dikelola sendiri teknologinya,” ujar Keraf pada acara Dialog Publik: “PLTN Mendesakkah bagi Indonesia?” yang diselenggarakan Thamrin School, Institute for Essential Service Reform (IESR) dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPPB), di Jakarta, Jumat (22/05/2015).
Karenanya, saat ini pemerintah hanya perlu memaksimal potensi dan pemanfaatan EBT yang sudah jelas berlimpah di nusantara. “Tidak masuk akal jika alasan pembangunan PLTN tersebut karena dinilai sudah mendesak di Indonesia. Padahal, sumber energi lain seperti EBT masih ada dan tersedia dengan cukup. Selama EBT masih ada, harusnya siapapun bisa berpikir untuk mengesampingkan PLTN,” tegas dia.
Keamanaan PLTN Masih Dipertanyakan
Walau dinilai sudah mendesak oleh Pemerintah, namun belum ada garansi keamanan jika pembangunan PLTN jadi dilaksanakan di Babel dan konsekuensi biayanya pun mahal. Karena, dalam PLTN itu terdapat reaktor nuklir yang memiliki efek berbahaya untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, keamanan dari PLTN hingga saat ini masih dipertanyakan. Walaupun, di negara-negara maju yang sudah menerapkan teknologi nuklir seperti di Rusia, Tiongkok, Jepang, keamanan PLTN dilakukan hingga berlapis-lapis dari mulai teknologinya hingga pengamanannya.
“PLTN itu bisa bertahan pemakaiannya antara 40-60 tahun saja. Lebih dari itu tidak akan bisa dipakai lagi. Tapi, dampaknya akan terus bertahan dalam jangka waktu lama. Ini yang sangat merugikan bagi masyarakat di sekitar PLTN,” ungkap Fabby yang juga pemerhati isu energi Thamrin School.
Karena dampaknya sangat panjang, Fabby memperkirakan, kalau PLTN jadi dibangun di Indonesia, generasi berikutnya akan mendapatkan dampak negatifnya
“Walau sudah tidak berproduksi, tapi anak cucu kita nanti yang akan menanggung dampaknya. Reaktor nuklirnya itu masih aktif walau PLTN sudah tidak beroperasi,” tandas dia.
Selain keamanan dari dampak sesudahnya, Fabby menilai, saat beroperasi pun keamanaan PLTN tetap masih dipertanyakan. Karena, jangankan di Indonesia, di negara maju yang sudah lebih baik keamanannya, PLTN tetap tidak aman.
“Apalagi di Indonesia, keamanan masih belum ada jaminan. Kemudian, ditambah lagi dengan ancaman teroris yang hingga kapanpun masih akan ada. Mau seperti apa pengamanan PLTN nanti jika sudah dibangun, dengan resiko-resiko seperti itu? Berapa biayanya?” jelas Fabby mempertanyakan.
Resiko Faktor Sosial Budaya
Sementara itu mantan Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Megawati, Nabiel Makarim, mengingatkan bahwa pembangunan PLTN itu bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan enegri listrik di suatu negara, tetapi juga akan membangun sosial budaya baru di sekitarnya.
“Karena, untuk memelihara dan menjaga PLTN itu dibutuhkan kerja sama dan kerja keras dari semua elemen. Ada negara, swasta dan masyarakat. Kalau salah satunya nggak siap, maka PLTN juga tidak siap,” ujar Nabiel.
PLTN Grafenrheinfeld di Bavaria, Jerman. Foto : Wikipedia
Karena itu, dia mempertanyakan pemerintah atau siapapun pihak yang ikut terlibat dalam rencana pembangunan PLTN di Babel, apakah sudah dipertimbangkan dengan matang faktor sosial budaya dalam proyek tersebut atau belum. Jangan sampai, masalah sosial budaya ini baru mengemuka setelah menjadi masalah pasca berdiri dan beroperasi PLTN.
”Pembangunan dan pengoperasian PLTN menuntut ketelitian tinggi setiap saat dengan resiko sangat tinggi dan luas. Karenanya, etos erja manusia Indonesia berperan penting di dalamnya. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah siap?” tanya Nabiel lagi.
“Dalam PLTN itu ada reaktor nuklir dan itu butuh teknologi untuk pengelolaannya. Dan, teknologi itu butuh operator untuk menggerakknya. Dan, operator itu tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakatnya,” tambahnya.
Reaktor Nuklir di BATAN Serpong
Sebelumnya, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah mencanangkan pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) atau Reaktor Daya Eksperimental (RDE) di kompleks Puspiptek Serpong, Banten, pada 2015 dan diharapkan beroperasi sebelum 2019.
Berdasar kajian aspek peraturan-perundangan pada akhir 2014, BATAN menyimpulkan dan memutuskan memiliki kewenangan untuk membangun dan mengoperasikan RDNK/RDE sesuai dengan UU No.10 /1997 tentang Ketenaganukliran dan PP No.2/2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.
Penetapan rencana pembangunan RNDK/RDE sudah melalui serangkaian pembahasan pada tingkat menteri, yaitu Menteri Ristek Dikti, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Kepala BAPETEN dan Kepala BATAN.
“RDE merupakan suatu strategi pemerintah untuk mengenalkan reaktor nuklir yang menghasilkan listrik dan sekaligus dapat digunakan untuk eksperimen/riset. RDE yang dipilih adalah generasi ke 4 yang memiliki teknologi keselamatan lebih tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya. RDE merupakan PLTN mini yang dimasa depan dapat diaplikasikan di daerah yang tidak membutuhkan daya besar, terutama di wilayah Indonesia Bagian Tengah dan Timur,” kata Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto pada siaran pers dalam laman BATAN tersebut.
Lokasi pembangunan reaktor nuklir Reaktor Daya Eksperimental (RDE) BATAN di kawasan puspiptek Serpong. Foto : BATAN
Sedangkan pada acara dialog nuklir Thamrin School, IESR dan KPBB, Dian Abraham dari Masyarakat Antinuklir Indonesia (Manusia) menjelaskan sudah ada empat periode rencana PLTN di Indonesia yaitu periode 1 (1970-an) yang gagal karena PLTN dianggap mahal, periode ke-2 (1980-an – 11 Maret 1997) dengan alasan adanya krisis energi dan rencana itu dibatalkan Menristek BJ Habibie karena melihat tidak ada krisis energi, periode ke-3 (2000-an – 2014) ide pembangunan oleh Menristek Hatta Rajasa dengan alasan krisis energi, dan gagal dibangun karena Presiden yang berani memutuskan, dan periode ke-4 (2014 – sekarang) dimana keputusan pembangunan PLTN diambil sepihak di tingkat kementerian
Dian menjelaskan menurut undang-undang, BATAN tidak dapat membangun PLTN karena kewenangan ada di pemerintah. Presiden Indonesia termasuk Jokowi, belum pernah menyatakan akan membangun reaktor nuklir untuk menyuplai listrik (PLTN).
Tetapi sejak awal 2014, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan BATAN memutuskan rencana membangun PLTN sendiri dengan menyatakan bahwa reaktor nuklir yang dibangun di Kompleks Puspiptek BATAN Serpong, Banten, bukan bersifat komersial yang diberi istilah baru yaitu RDE (Reaktor Daya Eksperimental). Istilah RDE (Experimental Power Reactor) tidak dikenal dalam literatur nuklir, termasuk literatur yang ada dalam badan nuklir internasional (International Atomic Energy Agency /IAEA)
Dian menilai pembangunan RDE di kompleks BATAN Serpong untuk agar menyiasati perizinan soal tapak lokasi reaktor nuklir. Padahal teknologi reaktor nuklir yang dipakai di kompleks BATAN Serpong itu adalah adalah HTGR (high-temperature gascooled reactor), yang bukan jenis reaktor riset atau untuk eksperimen/ujicoba (Reaktor Daya Eksperimen), melainkan reaktor untuk menghasilkan listrik (PLTN). Dian melihat pengelompokan RDE menjadi reaktor non-komersial adalah siasat licik pemerintah untuk mencari celah hukum agar BATAN bisa mengurus rencana PLTN.
Tolak PLTN
Karena banyak dampak negatif yang ditimbulkan, berbagai pihak menolak pembangunan PLTN di Indonesia. Thamrin School, IESR dan KPBB sendiri mendesak pemerintah segera membuka ruang dialog yang sebesar-besarnya dengan pemangku kepentingan dan menyiapkan proses konsultasi publik terkait dengan rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
Mereka melihat PLTN merupakan teknologi yang memiliki tingkat resiko yang tinggi dan konsekuensi biaya yang mahal. Dengan membangun PLTN maka berbagai resiko dan konsekuensi tersebut tidak hanya ditanggung oleh generasi saat ini, tapi juga generasi masa depan.
Kepala Sekolah Thamrin School, Farhan Helmy melihat keputusan membangun PLTN tidak dapat hanya diputuskan oleh segelintir elite pemerintah dan pejabat publik di eksekutif dan legislatif, tetapi harus melalui konsensus nasional . Untuk itulah publik harus ikut terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang pembangunan PLTN, yang dimulai dengan akses terhadap informasi dan dokumen yang dijadikan rujukan untuk rencana pembangunan PLTN dan pengembangan RDE.
Langkah selanjutnya adalah merancang proses konsultasi yang melibatkan publik dengan prinsip padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau Free Prior Inform Concent / FPIC) yang telah terinformasi secara cukup untuk menyatakan pendapat dan/atau persetujuannya terhadap wacana pengembangan PLTN dan RDE. Langkah-langkah ini diperlukan sebelum pemerintah membuat keputusan politik tentang PLTN.
Ayo Tolak Pembangunan PLTN Dari Sekarang! was first posted on May 25, 2015 at 5:30 am.