Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2588 articles
Browse latest View live

Merekayasa Resapan Air Hujan dan Mencegah Banjir di Kota Semarang. Seperti Apa?

$
0
0

Perubahan tata guna lahan untuk permukiman dan industri, khususnya di kawasan resapan air tanah serta pemompaan air tanah yang tidak terkendali menyebabkan rusaknya potensi persediaan air tanah. Hal ini menyebabkan tanah kehilangan daya resap sehingga air hujan tidak dapat masuk, dan mengalir bebas di permukaan tanah menuju selokan atau sungai yang kemudian mengalir ke laut.

Nur Qudus dalam penelitiannya berjudul “Penerapan Sistem Resapan Air Hujan di Kawasan Permukiman Kota Semarang” menjelaskan, bahwa kondisi perubahan tata guna lahan di kawasan resapan air berlangsung lama hingga menyebabkan terganggunya sistem daur hidrologi berakibat menurunnya kualitas dan kuantitas air tanah.

“Pertumbuhan kota yang antara lain ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk, tidak seimbang dengan ketersediaan lahan yang ada,” kata Nur Qudus dalam ujian terbuka doktor Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta pada Selasa (14/04/2015).

Dampak banjir rob di Desa-Timbul-Seloko, Demak, Jateng karena kerusakan pesisir pantai utara Jawa. Foto : Wetlands International/Nanang Sujana

Dampak banjir rob di Desa-Timbul-Seloko, Demak, Jateng karena kerusakan pesisir pantai utara Jawa. Foto : Wetlands International/Nanang Sujana

Ia menambahkan, konversi dari lahan terbuka hijau menjadi lahan permukiman dan industri di Kota Semarang setiap tahun terus terjadi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Semarang tahun 2012 menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk permukiman menempati urutan pertama sebesar 33,12% atau sekitar 12.355,96 Ha dari luas lahan 37.360 Ha.

“Kepadatan dan perluasan kawasan permukiman mengakibatkan penurunan kualitas kenyamanan hidup baik di perkotaan maupun pedesaan. Berkurangnya kawasan resapan bisa menyebabkan banjir, longsor, erosi dan sedimentasi,” katanya kepada Mongabay.

Upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya air khususnya air tanah dapat dilakukan dengan menggunakan sistem drainase air hujan yang berwawasan lingkungan, yaitu dengan rekayasa teknis resapan air hujan. Rekayasa ini berfungsi untuk menampung air hujan dari bangunan dan limpasan selanjutnya diresapkan ke dalam tanah.

“Rekayasa sistem resapan air hujan juga untuk mengurangi debit aliran permukaan dan menambah pengimbuhan air tanah yang dapat dilakukan dengan pembuatan sistem resapan,”kata Nur.

Hasil penelitian yang telah dilakukannya di 88 lokasi permukiman di Kota Semarang yang tersebar di 16 kecamatan menunjukkan bahwa 30 lokasi memenuhi syarat menggunakan sistem resapan vertikal dengan sumur resapan dan tiga lokasi memenuhi syarat menggunakan sistem resapan horizontal dengan parit resapan.

Hasil penelitiannya menunjukkan masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang sistem resapan air hujan dan memiliki sikap yang sangat baik untuk menerapkan dalam kehidupan masyarakat.

“Ke depan perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang beberapa daerah yang tidak layak sebagai resapan. Hal ini sebagai antisipasi agar masyarakat tidak melakukan peresapan air di daerah itu karena memungkinkan longsor,” tambahnya.

Mencegah Banjir di Semarang

Di kota Semarang, banjir terjadi karena meluapnya air dari saluran drainase akibat curah hujan yang tinggi, banjir rob terjadi akibat pasang air laut dan banjir bandang.

Dosen jurusan Geografi Universitas Negeri Semarang, Purwadi Suhandini, dalam penelitiannya pada 2012, menjelaskan banjir bandang besar di kota Semarang, telah terjadi lima kali di daerah aliran sungai (DAS) Garang yaitu pada 1963, 1990, 2000, 2002 dan 2008.

“Tidak menutup kemungkinan terjadi lagi banjir bandang besar pada masa yang akan datang, seiring meningkatkan curah hujan di daerah hulu DAS Garang,” kata Purwadi,

Dari penelitiannya, faktor utama penyebab banjir bandang di DAS Garang adalah curah hujan yang tinggi melebihi 100 mm/hari, yang terjadi dalam waktu bersamaan. Sementara perubahan penggunaan lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap banjir bandang.

“Banjir bandang di DAS Garang cenderung makin berbahaya karena debit puncak cenderung meningkat dan waktu mencapai flash cenderung semakin pendek,”katanya.

Menurutnya, saat ini kapasitas tanggul masih mampu menampung debit puncak banjir bandang besar periode 15 tahunan, tetapi tidak mampu menampung debit puncak banjir bandang sangat besar periode 50 tahunan.

Untuk mengantisipasi banjir bandang besar dan sangat besar, dia menyarankan pemerintah perlu untuk membuat waduk pengendali banjir di sungai Kreo dan sungai Kripik . Pasalnya, curah hujan yang signifikan berpengaruh terhadap banjir bandang di DAS Garang. Dia juga mengusulkan, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas alur sungai bagian hilir karena kapasitas alur yang sekarang hanya mampu menanggulangi banjir bandang periode 15 tahunan.

“Peningkatan kapasitas saluran dapat dilakukan dengan peninggian tanggul pengaman banjir sekurang-kurangnya 15-25 cm,” kata Purwadi.

Sedangkan hasil penelitian Dosen Jurusan Geografi, Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor Setyowati menunjukkan dinamika spasial penggunaan lahan pada sistem daerah aliran sungai (DAS) mempengaruhi kondisi limpasan dan aliran sungai yang menimbulkan ancaman banjir dan longsor.

Dari penelitian yang dilakukannya di DAS Kreo, wilayah Kota Semarang, Kabupaten Ungaran, dan Kabupaten Kendal memperlihatkan perubahan penggunaan lahan di DAS Kreo diikuti dengan peningkatan aliran permukaan sehingga terjadi peningkatan debit maksimum aliran sungai, yang terjadi pada 1993, 2001, 2003, dan 2006.

DAS Kreo berpotensi menyuplai aliran Kali Garang sebesar 40%. “Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan pada lahan dengan mempertahankan luas tutupan vegetasi dan keberadaan seresah di permukaan tanah sehingga lahan mampu meresapkan air ke dalam tanah,” kata Dewi.

Dia menyarankan agar perumahan didesain sebagai permukiman perdesaan, bukan bangunan perkotaan, yang tetap mempertahankan penanaman pohon dengan tutupan vegetasi luas, sistem perakaran dalam, dan pembuatan sumur resapan pada setiap rumah.

“Karenanya kompleks perumahan perlu dilengkapi dengan fasilitas taman dengan pohon besar berupa hutan kecil dan embung,” kata Dewi.


Merekayasa Resapan Air Hujan dan Mencegah Banjir di Kota Semarang. Seperti Apa? was first posted on April 21, 2015 at 1:00 am.

Sudah Saatnya Indonesia Fokus Bangun Sektor Perikanan Budidaya

$
0
0

Potensi Indonesia untuk menjadi negara maju dalam sektor perikanan terbuka lebar karena garis pantai yang ada mencapai panjang 95.181 ribu km atau terpanjang kedua di dunia setelah garis pantai di Kanada. Namun, untuk bisa mencapai itu dibutuhkan keseriusan Pemerintah dalam menjalankannya. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo, saat ini tinggal bagaimana Indonesia memfokuskan proyeksi sektor perikanannya.

“Dalam perikanan, ada dua yang menjadi fokus di dunia ini, yatu perikanan tangkap dan budi daya perikanan. Keduanya memiliki keunggulan dan kekurangan. Indonesia sudah menjalankan keduanya sejak lama,” demikian ungkap Indroyono di Jakarta, pada Sabtu (19/04/2015).

Ikan nila dalam sistem pertanian mina padi di sawah milik Toto. Foto : Tommy Apriando

Ikan nila dalam sistem pertanian mina padi di sawah milik Toto. Foto : Tommy Apriando

Untuk kondisi sekarang, Indroyono memaparkan, sektor yang berpeluang untuk bisa berkembang lebih baik adalah perikanan budidaya. Karena, sektor tersebut dalam sepuluh tahun terakhir terus menunjukkan grafik peningkatan dan itu kondisinya sama di seluruh dunia.

“Ini berbeda dengan perikanan tangkap. Di seluruh dunia, utamanya di negara-negara kelautan, perikanan tangkap perkembangannya off dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal, semua negara sudah melakukan berbagai upaya untuk bisa menaikkan produksi perikanan tangkapnya,” tuturnya.

Indroyono menyebutkan, tren perikanan tangkap di dunia saat ini mencapai produksi 85 juta ton per tahun atau mengalami penurunan hingga 43 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang bisa mencapai produksi 150 juta ton per tahun. Tren tersebut, ungkapnya, terus memperlihatkan penurunan dari waktu ke waktu.

Kondisi tersebut harus diwaspadai karena jika dibiarkan maka produksi perikanan nasional akan tenggelam. Padahal, dengan bentang garis pantai yang sangat panjang, potensinya sangat besar.”Satu-satunya cara agar bisa tetap bertahan, adalah dengan mengembangkan perikanan budi daya,” tandasnya.

Fokus Pengembangan Perikanan Budidaya

Indroyono menjelaskan, untuk bisa mengembangkan perikanan budidaya, maka diperlukan penataaan enam hal yang menjadi inti dari sektor tersebut. Keenamnya adalah, penataan lokasi atau zonasi sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah; ketersediaan benih perikanan; ketersediaan pakan perikanan; obat antivirus; teknologi perikanan budidaya seperti keramba apung atau keramba tancap; dan pemasaran.

“Kalau pakan perikanan saat ini 70 persen diketahui berasal dari impor, maka sudah saatnya Indonesia menggunakan pakan lokal yang kualitasnya juga tak kalah dengan produk impor seperti eceng gondok dan lain-lain,” papar Indroyono.

Setelah enam hal inti tersebut berhasil diinvetarisir dengan baik, maka langkah berikut yang harus dilakukan adalah dengan mencari fokus pengembangan jenis produk perikanan yang akan dibudidayakan. Kata Indroyono, produk yang bisa dibudidayakan di air laut dan air tawar berbeda.

Di air laut, kata dia, produk yang  bisa dibudidayakan adalah udang, ikan kerapu, rumput laut dan ikan hias. Sementara di air tawar, produk yang bisa dibudidayakan adalah ikan lele, ikan nila, ikan hias dan udang galah.

“Setelah itu semua diketahui, maka langkah berikut yang harus dilakukan adalah pencarian lokasi untuk budidaya. Ini tugas pemerintah untuk membagi wilayah zonasinya sesuai UU No 23 Tahun 2014,” urai Indroyono lagi.

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

Kalau itu semua sudah bisa ditata, mantan pejabat di organisasi pangan dunia (FAO) tersebut mengungkapkan, langkah terakhir yang bisa ditempuh adalah dengan mencari pendanaan untuk budidayanya. Namun dia optimis, pendanaan akan lebih mudah karena perikanan budidaya memiliki lahan yang jelas di daratan dan bisa diukur oleh perbankan.

Pusat dan Provinsi Harus Bersinergi

Sementara itu menurut Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan Intitut Pertanian Bogor Rokhmin Dahuri, agar semua rencana pembangunan kelautan dan perikanan bisa bersinergi dengan baik, maka saat ini harus ada pembagian tugas yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia.

“Sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014, maka pengelolaan wilayah laut ada dua hirarki, yaitu dari pusat langsung ke daerah atau dari pusat langsung ke daerah. Karenanya, harus ada sinergi dan koordinasi jelas antara pusat dan provinsi,” ucap Rokhimin.

Dengan pembagian tugas tersebut, maka pengembangan sektor perikanan dan kelautan bisa terjadi lebih baik lagi dan diharapkan itu bisa menjadi langkah signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan atau pembudidaya perikanan di pesisir pantai.

“Kenyataannya saat ini kemiskinan masih menjadi masalah yang sulit diatasi di kehidupan nelayan. Pemerintah harus bisa memecahkan persoalan ini dan salah satunya melalui undang-undang sekarang ini,” tandas dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi IV DPR RI Herman Khaeron. Dia menyatakan, Pemerintah harus bisa menerapkan dengan bijak karena UU No 23 Tahun 2014 akan mengubah sektor perikanan dan kelautan secara fundamental. Melalui UU tersebut, maka yang berperan adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi saja.

Menurut Herman, dengan pemberlakuan UU tersebut, maka sektor perikanan dan kelautan akan bisa digenjot lebih baik lagi. Namun dengan syarat, sistem penganggaran segera dilakukan perubahan dan penyesuaian.”Kalau memang mau mengambangkan perikanan budidaya juga ini sangat mendukung, begitu juga dengan perikanan tangkap. Yang penting sistemnya harus dibenahi saja,” tegasnya.


Sudah Saatnya Indonesia Fokus Bangun Sektor Perikanan Budidaya was first posted on April 21, 2015 at 2:40 am.

Bersih Sampah Plastik di Hutan Mangrove Pamurbaya Tandai Peringatan Hari Bumi

$
0
0

Dalam rangka memperingati Hari Bumi 22 April, Komunitas Nol Sampah, Petani Tambak Truno Djoyo Wonorejo, mahasiswa serta pemerhati lingkungan melakukan kegiatan bersih pantai timur Surabaya (pamurbaya) dari sampah plastik yang mengancam ekosistem hutan mangrove di kawasan Wonorejo, Surabaya.

Sampah plastik menjadi ancaman serius kawasan Pamurbaya, terutama mangrove karena sampah melilit atau menutup akar, batang serta daun mangrove, khususnya anak mangrove yang baru ditanam.

“Sampah plastik ini menjadi ancaman pertumbuhan mangrove serta biota laut lainnya, maka dari itu dalam rangka Hari Bumi 2015 kami melakukan aksi bersih-bersih sampah plastik,” kata Hermawan Some, Koordinator Komunitas Nol Sampah, pada Minggu (19/04/2015).

Aktivis lingkungan memunguti sampah plastik yang berada di  sekitar akar mangrove di pantai timur Surabaya. Foto : Petrus Riski

Aktivis lingkungan memunguti sampah plastik yang berada di sekitar akar mangrove di pantai timur Surabaya. Foto : Petrus Riski

Upaya rehabilitasi mangrove di Pamurbaya menjadi sia-sia, karena ratusan ribu bibit mangrove yang ditanam mati tertutup sampah plastik.

“Sampah plastik perlu mendapat perhatian semua pihak, karena faktanya dari tahun ke tahun sampah plastik di Surabaya terus meningkat. Pada tahun 1988 sampah plastik hanya 5,6%, dan pada tahun 2010 sampah plastik meningkat menjadi 12,4% dari 4.000 ton sampah di Surabaya per hari. Komposisi sampah plastik di Surabaya dan kota-kota di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun,” ujar Hermawan.

Melalui aksi bersih sungai dan mangrove dari sampah plastik, Hermawan berharap masyarakat menyadari bahaya sampah plastik bagi lingkungan. Sejauh ini sampah plastik belum dianggap permasalahan serius, padahal dampak negatifnya sudah dapat dilihat secara langsung, terutama di hutan mangrove Pamurbaya.

“Dengan begini kita dapat menyaksikan secara langsung dampak dari sampah plastik, sehingga diharapkan bisa menyadarkan masyarakat agar mau mengubah gaya hidupnya untuk semakin sedikit menghasilkan sampah plastik,” lanjut Hermawan yang bersama komunitasnya terus mengkampayekan diet tas kresek kepada masyarakat.

Komunitas Nol Sampah bersama petani tambak dan masyarakat pemerhati lingkungan juga menanam 500 bibit pohon mangrove, seperti jenis lindur (Bruguiera gymnorizha) dan bakau (Rhizophora mucronata).

Rehabilitasi Pamurbaya menjadi sangat penting, karena mangrove berfungsi ekologis seperti mencegah intrusi air laut, abrasi pantai, menyerap polutan, serta habitat bagi biota air maupun daratan (nursery ground) bagi kawasan kota Surabaya.

“Vegetasi mangrove juga memiliki fungsi ekonomis yang bisa diolah menjadi bahan makanan dan minuman, seperti buah bogem menjadi sirup mangrove, buah lindur menjadi dawet mangrove, pucuk jeruju untuk teh mangrove dan masih banyak lagi,” ungkap Hanie Ismail, aktivis Komunitas Nol Sampah.

Hutan mangrove di Pamurbaya, juga memiliki fungsi penting sebagai habitat hidup satwa liar. Dari kajian Nol Sampah pada 2012, tercatat ada 20 jenis tumbuhan mangrove sejati dan 17 mangrove ikutan (asosiasi) yang sangat disukai satwa liar sebagai habitat ratusan jenis burung, 53 spesies serangga, 7 spesies mamalia diantaranya monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan musang (Paradoxurus sp), 18 spesies ikan, dan 7 spesies crustaceae, serta beragam jenis reptil.

Tercatat ada 148 jenis burung yang pernah dilihat di hutan mangrove Pamurbaya, , 84 spesies burung merupakan penghuni tetap, dan 12 spesies diantara termasuk jenis yang dilindungi. Juga ada 44 jenis burung migran yang singgah Pamurbaya

Di hutan mangrove Pamurbaya juga ditemukan satu jenis burung yang termasuk langka dan hampir punah yaitu bubut jawa  (Centropus nigrorufus). Menurut lembaga konservasi internasional IUCN, bubut jawa termasuk dalam salah satu burung langka yang diperkirakan mengalami kepunahan dalam jangka waktu 10 tahun mendatang.

Lembaga Birdlife Internasional juga menetapkan Pamurbaya salah satu dari 53 kawasan penting bagi burung (import bird area) di pulau Jawa. 15 kawasan diantaranya berada di Jawa Timur. Daerah penting bagi burung merupakan daerah yang secara internasional penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati, baik pada tingkat global, regional maupun sub-regional, serta merupakan alat yang praktis untuk pelestarian keanakeragaman hayati.

Sampah plastik menumpuk menutupi mangrove di pantai timur  Surabaya. Foto : Petrus Riski

Sampah plastik menumpuk menutupi mangrove di pantai timur Surabaya. Foto : Petrus Riski

Kondisi hutan mangrove di Pamurbaya, menurut Hermawan masuk kategori kondisi kritis, karena sebagian besar ketebalannya tidak sampai 100 meter, padahal di sisi selatan Surabaya ketebalan hutan mangrovenya lebih dari 200 meter.

“Ada hitungannya mengenai kerusakan mangrove, dan di Pamurbaya sudah mengkhawatirkan. Makanya kita mendorong pemerintah lebih memperhatikan hutan mangrove di Pamurbaya, terlebih banyak kawasan yang sudah mengalami alih fungsi,” tandas Hermawan.

Sumber:  *Trihadiningrum, 1988;  **Trihadiningrum, 2006; ***Anonim, 2010
Sumber: *Trihadiningrum, 1988; **Trihadiningrum, 2006; ***Anonim, 2010

 


Bersih Sampah Plastik di Hutan Mangrove Pamurbaya Tandai Peringatan Hari Bumi was first posted on April 22, 2015 at 2:57 am.

Tertangkap Kamera, Harimau Sumatera Saling Bercumbu

$
0
0

Kamera jebak WWF yang dipasang di Lampung, Sumatera, menangkap momen langka di mana sepasang harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) sedang saling bercumbu. Adegan yang terekam pada pertengahan Desember 2014 itu menunjukkan seekor harimau jantan sedang mencoba mendekati harimau betina dan seolah-olah mengajak bercumbu. Dari rekaman video yang dirilis dalam website WWF, nampak kedua harimau tersebut masih malu-malu. Diindikasikan bahwa sepasang harimau ini baru saja bertemu.

screenshot video kamera jebak WWF - Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Video ini merekam sepasang harimau sumatera yang sedang bercumbu. Sumber : WWF - TNBBS

screenshot video kamera jebak WWF – Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Video ini merekam sepasang harimau sumatera yang sedang bercumbu. Sumber : WWF – TNBBS

Pakar Harimau WWF, Joseph Vattakayen, mengatakan harimau betina memberikan sinyal pada harimau jantan dengan postur dan sinyal yang menandakan kegembiraan. Perilaku ini, seperti mengeluarkan suara khusus merupakan sinyal positif untuk mengundang interaksi lebih lanjut.

“Menyadari adanya kesempatan, harimau jantan tersebut memberikan respon dengan melakukan flehmen, yaitu menjulurkan lidahnya dan memamerkan giginya dengan wajah lucu sambil mengendus-endus  harimau betina,” jelas Joseph lebih lanjut.

Harimau jantan yang terekam ini sebelumnya sudah pernah tertangkap kamera WWF – Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TN BBS), dan diberi nama Riko oleh Tim Gabungan WWF-TNBBS. Riko dapat dikenali dari pola loreng harimau yang berbeda satu individu dengan individu lainnya, seperti halnya sidik jari pada manusia. Pola loreng inilah yang digunakan oleh para peneliti harimau untuk mengidentifikasi individu.

Sejak dipasang tahun 2013, kamera jebak WWF-TN BBS telah merekam dan mengidentifikasi lima harimau sumatera. Kelima individu harimau itu terdiri atas dua jantan dan tiga betina, termasuk satu harimau betina yang dalam rekaman ini.

Aktifitas Perburuan Masih Sangat Tinggi

Perburuan masih menjadi masalah utama yang mengancam kelestarian populasi sub spesies harimau terakhir yang dimiliki Indonesia ini. Dalam kurun 2014 saja, Tim Gabungan WWF-TN BBS, telah menyapu 80 jerat harimau dan dua pucuk senjata api ilegal di dalam wilayah TN BBS.

Yob Charles, Project Leader WWF Program Bukit Barisan Selatan mengatakan, “Ini merupakan pengingat bagi pemerintah untuk menjaga dan meningkatkan perlindungan yang lebih komprehensif di wilayah Taman Nasional dan sekitarnya untuk menjamin populasi harimau tetap stabil di wilayah ini.

Mengenai penegakan hukum, Bambang Dahono Aji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen PHKA KLHK) menyatakan bahwa Pemerintah Pusat akan selalu memberikan dukungan dalam proses penegakan hukum di daerah melalui pendampingan kepada aparat penegak hukum dalam kasus-kasus perburuan dan perdagangan harimau sumatera. Hal ini disampaikannya dalam Lokakarya Monitoring Harimau Sumatera, 30 Maret 2015 yang lalu di Bogor.

“Selain pemerintah, seluruh mitra PHKA juga akan turut berupaya meningkatkan dukungan publik terhadap proses penegakan hukum melalui publikasi di media massa,” imbuhnya.

Harimau sumatera sendiri telah menjadi satwa prioritas nasional yang harus ditingkatkan populasinya di alam sebanyak 10% hingga tahun 2025. Hal ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 KLHK. Menurut data IUCN, saat ini populasi harimau sumatera diperkirakan berkisar antara 400-600 individu di alam dan dikatergorikan sebagai Critically Endangered atau satwa kritis terancam punah dalam IUCN RedList.


Tertangkap Kamera, Harimau Sumatera Saling Bercumbu was first posted on April 22, 2015 at 4:38 am.

Menuju Green Corporate Governance: Tata Kelola Perusahaan dalam Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

$
0
0
 *Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance  Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Mengapa banyak perusahaan yang tidak mempedulikan pengelolaan sosial dan lingkungan ketika mereka mencari keuntungan?  Mengapa pencarian keuntungan seakan menjadi satu-satunya tujuan yang sah bagi kebanyakan perusahaan, baik di Indonesia maupun di bagian dunia manapun?

Berbagai varian jawaban bisa diberikan—termasuk dengan kutipan seperti greed is good dari tokoh fiksi Gordon Gekko di film legendaris karya Oliver Stone, Wall Street—namun menurut hemat penulis yang akan paling memuaskan pastilah berasal dari penjelasan tentang tata cara pengambilan keputusan di perusahaan.

Tata cara pengambilan keputusan di dalam perusahaan, atau yang secara umum dikenal sebagai tata kelola perusahaan (corporate governance), adalah inti dari segala persoalan maupun solusi yang terkait dengan kinerja perusahaan.  Tata kelola perusahaan meringkas motivasi, visi dan misi, kebijakan, strategi, budaya, prosedur dan eksekusi yang terjadi di dalam perusahaan.

Bagaimana kinerja perusahaan itu di masa sekarang dan masa mendatang terutama adalah cerminan dari tata kelolanya.  Kalau ada yang menyatakan bahwa kinerja perusahaan terutama didorong ataau dihambat oleh kondisi eksternal, itu tidaklah tepat.  Yang benar, kinerjanya ditentukan oleh bagaimana perusahaan mengambil keputusan atas situasi eksternal itu.

Agency dan Stewardship, Dua Moda Utama Tata Kelola

Ketika situasi eksternal masuk ke dalam ranah perusahaan, bagaimana kemudian mereka bereaksi?  Tergantung dari moda tata kelolanya.  Kita perlu kembali kepada dua moda yang mendasari seluruh tata kelola yang kini berlaku di (hampir) seluruh perusahaan, yaitu moda agency dan stewardship.

Pembersihan lahan hutan oleh salah satu perusahaan penyuplai APP di Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Jambi. Greenpeace bersama perwakilan DPR, dan Kepolisian langsung menjadi saksi kerusakan besar hutan gambut Indonesia di Sumatera. Foto: Greenpeace

Pembersihan lahan hutan oleh salah satu perusahaan penyuplai APP di Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Jambi. Greenpeace bersama perwakilan DPR, dan Kepolisian langsung menjadi saksi kerusakan besar hutan gambut Indonesia di Sumatera. Foto: Greenpeace

Moda agency menyatakan bahwa sesungguhnya seluruh pengambilan keputusan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan disandarkan terutama kepada keuntungan pribadi yang bisa diperoleh si pengambil keputusan.  Motivasi ini bisa berarti baik dan buruk.  Bayangkan, bila seorang manajer dihadapkan pada sebuah sistem insentif di mana bonusnya dikaitkan dengan tingkat keuntungan perusahaan.  Maka, yang terjadi adalah bahwa si manajer akan dengan gigih mengejarnya, karena itu akan berdampak pada berapa yang akan ia terima sebagai bonus kinerja.

Di sisi lain, kalau kemudian si manajer tergoda untuk melakukan berbagai tindakan tak terpuji untuk mengejar target itu, atau bahkan tergoda untuk mengambil keuntungan yang haram dari situasi di dalam perusahaan, maka moda agency ini bisa membawa petaka bagi perusahaan.  Karenanya, para pakar tata kelola yang memegang teori ini berkutat pada cara agar motivasi si manajer bisa dimanfaatkan sepenuhnya bagi keuntungan perusahaan, dengan memberi rambu-rambu yang ketat dan sistem lainnya untuk memastikan tiadanya peluang kecurangan.

Moda yang kedua, stewardship, menyatakan bahwa sesungguhnya para pengambil keputusan terutama dimotivasi oleh keinginan untuk memastikan bahwa keuntungan perusahaan itu bisa optimal, bukan oleh keuntungan pribadinya. Keuntungan perusahaan yang optimal berarti pula maksimisasi return on investment bagi pemilik modalnya.  Moda ini memang yang kerap dinyatakan sebagai perwujudan dari paradigma shareholder primacy, di mana kepentingan pemilik modal adalah pihak yang paling diperhitungkan dalam setiap pengambilan keputusan.  Apakah pihak lain tidak dipertimbangkan?  Tentu juga dipertimbangkan, namun ketika kepentingan pihak lain itu berbenturan dengan kepentingan pemilik modal, maka kepentingan kepentingan pemilik modal lah yang akan diutamakan.

Pembangunan Berkelanjutan sebagai Tantangan Tata Kelola

Lalu apa yang akan terjadi ketika kedua moda tersebut dihadapkan kepada situasi eksternal yang bernama pembangunan berkelanjutan?  Pembangunan berkelanjutan memiliki pendirian bahwa setidaknya aspek ekonomi, sosial dan lingkungan diperhatikan secara seimbang.  Pada varian yang lebih baru dari paradigma ini, aspek ekonomi dilihat sebagai bagian dari aspek sosial, dan aspek sosial sebagai bagian dari aspek lingkungan.  Apakah paradigma ini bisa direspons secara memadai oleh kedua moda tata kelola perusahaan itu? Tampaknya tidak.

Pembukaan hutan gambut secara masif terjadi pada areal konsesi PT RAPP, anak perusahaan APRIL/Royal Golden Eagle, di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, pada Jumat (11/7/2014). Foto: Zamzami

Pembukaan hutan gambut secara masif terjadi pada areal konsesi PT RAPP, anak perusahaan APRIL/Royal Golden Eagle, di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, pada Jumat (11/7/2014). Foto: Zamzami

Dalam moda agency, aspek sosial dan lingkungan akan dipertimbangkan oleh pengambil keputusan ketika jelas menguntungkannya secara pribadi.  Bayangkan situasi di mana sebuah pencemaran lingkungan terjadi akibat ulah perusahaan dan sudah menimbulkan protes dari masyarakat.  Pilihannya adalah perusahaan menolak untuk bertanggung jawab atau melakukan sesuatu atas itu.  Dengan moda berpikir keuntungan pribadi, sangat boleh jadi pengambil keputusan memilih yang kedua.

Namun, alih-alih melakukan tindakan-tindakan merehabilitasi kerusakan yang timbul serta melakukan perbaikan internal untuk mencegah pengulangan di masa mendatang, pengambil keputusan mengambil jalan lain. Tindakan yang biasanya dilakukan adalah yang mendatangkan keuntungan pribadi berupa popularitas di mata masyarakat, misalnya langsung menawarkan kompensasi.

Kalau ada hubungan dengan pihak tertentu yang hendak dibangun, isu kompensasi juga akan bisa menjadi jalan yang bisa dipergunakan untuk kepentingan itu.  Bahkan, kalau ada kecenderungan koruptif, maka pengajuan anggaran kompensasi bisa jadi pintu masuk untuk mendapatkan keuntungan yang ilegal.

Tentu, bila perusahaan jeli, maka pembuat aturan tata kelolanya bisa saja membuat perhitungan untuk keuntungan pribadi itu tidak selalu merugikan. Misalnya, bisa saja dibuat aturan untuk mengaitkan antara jumlah kejadian pencemaran dengan bonus kinerja.  Semakin sedikit pencemaran, semakin tinggi bonusnya.  Maka, pengambil keputusan akan mengupayakan agar kejadian pencemaran menjadi sesedikit mungkin.

Di sisi lain, perusahaan yang menggunakan moda stewardship pada tata kelolanya akan menunjukkan reaksi berbeda.  Pengambil keputusannya akan menyelidiki dengan saksama sebesar apakah tanggung jawab perusahaan atas klaim pencemaran itu.  Pengambil keputusan tidak akan mau untuk menanggung beban yang lebih besar dari yang seharusnya.  Mereka juga akan memanfaatkan kejadian tersebut sebagai bahan pelajaran agar tidak terjadi lagi pencemaran di masa mendatang, karena pencemaran berarti biaya yang perlu dikeluarkan.

Namun, bila ternyata biaya yang timbul akibat pencemaran itu tidak sebesar investasi untuk mencegahnya, maka pengambil keputusan akan mengambil sikap untuk tidak melakukan perubahan internal apapun.  Dari sudut pandang biaya—yang berujung pada keuntungan pemilik modal—lebih menguntungkan membiarkan proses yang selama ini terjadi, dan hanya mengkompensasi pencemaran bila itu terjadi.

Bagaimana kalau perusahaan dihadapkan dengan situasi peluang dari aspek sosial dan lingkungan, bukan ancaman seperti di atas?  Sama saja.  Pada perusahaan yang cenderung pada agency, peluang yang timbul dari aspek sosial dan lingkungan akan ditimbang dari kemungkinan keuntungan individu pengambil keputusannya.  Kalau ada kemungkinan keuntungan popularitas, peningkatan karier dan manfaat ekonomi langsung bagi si pengambil keputusan, itu akan diambil; namun bila tidak ada maka peluang itu akan dilewatkan.

Kendaraan berat bermuatan adukan semen hilir mudik melewati tenda perjuangan warga warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan  Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang , Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando.

Kendaraan berat bermuatan adukan semen hilir mudik melewati tenda perjuangan warga warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang , Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando.

Pada perusahaan dengan moda tata kelola stewardship, seluruh peluang yang hadir akan ditimbang dengan apakah hal tersebut akan membawa keuntungan bagi perusahaan, dalam bentuk penghematan biaya atau peningkatan pendapatan.  Kalau memang jelas menguntungkan perusahaan, maka peluang tersebut diambil; namun bila tidak, maka pengambil keputusan akan membiarkan peluang itu begitu saja.

Melalui gambaran di atas,  dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang menggunakan moda agency akan berada pada titik paling jauh dari wacana dan praktik keberlanjutan lantaran beroperasi dengan motivasi self interest. Perusahaan yang cenderung pada moda stewardship akan lebih dekat kepada keberlanjutan karena beroperasi dengan motivasi enlightened self interest.  Tetapi bagaimanapun, perusahaan jenis terakhir ini tak bisa sepenuhnya kompatibel dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, karena keuntungan bagi pemilik modal selalu menjadi pertimbangan tertinggi.  Hanya inisiatif keberlanjutan yang menguntungkan perusahaan saja yang akan mereka laksanakan.

Social Stewardship: Sebuah Model Tata Kelola Baru

Untuk memecahkan kebuntuan dalam tata kelola perusahaan ini, Saurav Dutta—pakar manajemen dari State University of New York—bersama dua rekannya menulis sebuah artikel yang menjadi sangat berpengaruh. Dalam artikel bertajuk Paradigms for Sustainable Development: Implications of Management Theory (Dutta, Lawson, dan Marcinko, 2012),  mereka berargumentasi bahwa hingga kapanpun dua moda tata kelola yang dikenal secara luas, yaitu agency dan stewardship, tidak akan pernah bisa mengadopsi sepenuhnya paradigma pembangunan berkelanjutan ke dalam pengelolaan perusahaan.

Hutan rakyat lestari akan memberikan keuntungan secara ekonomis dan ekologis bagi masyarakat. Fptp : Tommy Apriando

Hutan rakyat lestari akan memberikan keuntungan secara ekonomis dan ekologis bagi masyarakat. Fptp : Tommy Apriando

Alasannya, kedua moda tersebut tidak menghadirkan pemangku kepentingan lain secara eksplisit. Keduanya hanya menimbang ‘diri’ dan ‘pemilik modal’, sementara berbagai pemangku kepentingan yang lain tidaklah dimunculkan seeksplisit keduanya.

Padahal, sejak Edward Freeman menuliskan Strategic Management: A Stakeholder Approach di tahun 1984, pandangan bahwa perusahaan hanya bertanggung jawab kepada pemilk modal sudah ditentang.  Perusahaan, menurut Freeman, seharusnya bertanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan—yaitu individu dan organisasi yang memiliki pengaruh dan/atau terpengaruh oleh pencapaian tujuan perusahaan.  Individu dan organisasi yang dimaksud itu, secara eksplisit dinyatakan, termasuk alam.

Dalam pendirian Freeman dan para pakar yang setuju dengannya, pemilik modal bukanlah satu-satunya pihak yang perlu diperhitungkan, karena ada banyak pemangku kepentingan lain.  Pemilik modal juga tidak bisa mengklaim dirinya sebagai pemangku kepentingan yang tertinggi, karena harus diuji terlebih dahulu dengan atribut pemangku kepentingan yang secara eksplisit ditemukan dalam teori identifikasi pemangku kepentingan (Mitchell, Agle dan Wood, 1997; Driscoll dan Starik, 2004).

Implikasinya sangat jelas, yaitu bahwa di samping ‘diri’ dan ‘pemilik modal’ perlu juga ditambahkan pertimbangan lain, yang oleh Dutta dkk dinyatakan sebagai ‘masyarakat’. Dengan mempertimbangkan adanya tiga kategori pemangku kepentingan itu, Dutta dkk bisa mengusulkan moda tata kelola yang baru, yang bisa konsisten dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yaitu social stewardship.

Pada moda tata kelola ini, yang menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan perusahaan adalah kemaslahatan tertinggi untuk masyarakat.  Pengambil keputusan di dalam perusahaan tidak akan mengorbankan kepentingan ‘masyarakat’—yang berarti pemangku kepentingan internal maupun eksternal perusahaan—dalam jangka pendek maupun panjang ketika misalnya terjadi perbedaan kepentingan dengan ‘diri’ dan ‘pemilik modal’.

Oleh karena itu, dalam moda tata kelola yang baru ini aspek sosial dan aspek lingkungan benar-benar bisa mendapatkan tempat yang proporsional.  Kita tahu bahwa merusak lingkungan bukanlah pilihan yang boleh diambil karena mengancam kehidupan masyarakat.  Perusahaan tidak akan berkelanjutan ketika alam menjadi rusak.  Karenanya, segala upaya untuk melakukan efisiensi materi dan energi pasti akan dilakukan bila perusahaan menggunakan moda social stewardship.

Lebih jauh daripada itu, perusahaan juga akan melakukan berbagai tindakan efikasi, dengan memilih beragam teknologi inovatif yang tersedia bagi keuntungan masyarakat dan lingkungan dalam jangka panjang.  Bahkan, perusahaan tidak ragu-ragu untuk ikut serta dalam beragam tindakan untuk merehabilitasi dan merestorasi kondisi sosial dan lingkungan, karena memang hal tersebut perlu untuk dilakukan bagi sintasan (survival) perusahaan dalam jangka panjang.

Warga mencoba menghentikan aktifitas PT RAPP yang menggali kanal gambut dan merusak hutan gambut di Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, 23 Maret 2014. Foto : Isnadi/JMGR

Warga mencoba menghentikan aktifitas PT RAPP yang menggali kanal gambut dan merusak hutan gambut di Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, 23 Maret 2014. Foto : Isnadi/JMGR

Mungkin akan banyak pihak yang ragu-ragu untuk masuk ke dalam bentuk tata kelola yang baru ini.  Apakah tidak akan terlampau banyak korbanan yang diberikan perusahaan bila lebih memperhatikan aspek lingkungan dan sosial dibandingkan aspek ekonomi?  Tidakkah perusahaan akan merugi kalau fokus perhatiannya digeser dari pemilik modal menjadi pemangku kepentingan yang lebih beragam?  Hasil-hasil penelitian mutakhir tentang keuntungan perusahaan menunjukkan hal yang ‘aneh’ di mata mereka yang belum cukup terbuka pikirannya.

Studi profesor George Serafeim dari Universitas Harvard yang dituangkan ke dalam artikel Turning a Profit While Doing Good: Aligning Sustainability with Corporate Performance (Serafeim, 2014) menunjukkan secara jelas bahwa perusahaan yang mengurusi keberlanjutannya dengan serius memiliki kinerja finansial yang jauh lebih baik. Bila seseorang menginvestasikan USD1 ke dalam perusahaan rata-rata pada tahun 1994, maka di tahun 2014 modal tersebut akan berkembang menjadi USD14,46.  Bagaimana kalau investasinya dilakukan terhadap perusahaan yang punya kinerja sosial dan lingkungan baik?  Hasilnya USD28,36. Hampir dua kali lipatnya.

Tetapi itu sesungguhnya hanya menunjukkan perbedaan antara perusahaan yang cenderung menganut moda agency (self interest) versus yang menganut stewardship (enlightened self interest).  Apakah ada jaminan bahwa bila moda social stewardship yang dianut maka keuntungannya akan lebih baik lagi, atau setidaknya menyamai yang menggunakan moda stewardship?

Studi bertajuk Firms of Endearment (Sisodia, Wolfe dan Sheth, 2014) mungkin bisa memberikan gambaran.  Raj Sisodia dkk memilih perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja sosial dan lingkungan yang tinggi karena tata kelolanya memang ditujukan untuk kepentingan itu.  Hasilnya?  Dalam 10 tahun perusahaan-perusahaan yang demikian memberikan return sebesar 410%, dan dalam 15 tahun sebesar 1.681%. Kita bisa menunggu empat tahun lagi dari sekarang untuk tahu berapa yang akan dihasilkan dalam periode investasi 20 tahun, tapi angka itu pastilah sangat besar, dan sangat jauh melampaui perusahaan yang bermoda agency.

Kini ada banyak bisnis yang sengaja dibuat untuk memecahkan masalah keberlanjutan di masyarakat.  Bisnis itu disebut bisnis sosial, organisasi yang menjalankannya disebut perusahaan sosial, dan tata kelolanya mengikuti moda social stewardship. Apakah ada data pertumbuhan pendapatan dan/atau keuntungan dari bisnis sosial itu?  William Eggers dan Paul MacMillan menyediakannya dalam karya mereka The Solution Revolution: How Business, Government, and Social Enterprises are Teaming Up to Solve Society’s Toughest Problems (Eggers dan MacMillan, 2013).

Mereka menemukan fakta bahwa bisnis sosial kini telah mencapai ukuran pendapatan USD2,1 triliun atau sekitar Rp27.300 triliun pertumbuhan 15,1% per tahun.  Kita tahu dari karya Thomas Piketty, Capital in the 21st Century (Piketty, 2014), bahwa rerata return on investment dalam seratus tahun terakhir adalah antara 4-5% per tahun.  Walaupun keduanya tidak bisa diperbandingkan secara langsung—karena yang pertama bicara pertumbuhan pendapatan perusahaan, dan yang kedua bicara perumbuhan keuntungan pemilik modal—kita bisa mendapatkan gambaran betapa dahsyatnya pertumbuhan bisnis yang menganut moda social stewardship pada tata kelolanya.

Tidakkah data di atas sangat menarik bagi siapapun, terutama yang hendak memperjuangkan keberlanjutan Bumi melalui sektor bisnis?  Selamat memperjuangkan perubahan moda tata kelola perusahaan. Selamat Hari Bumi 2015!


Menuju Green Corporate Governance: Tata Kelola Perusahaan dalam Paradigma Pembangunan Berkelanjutan was first posted on April 22, 2015 at 6:30 am.

Mencontoh Implementasi Program REDD+ di Sumatera Barat

$
0
0

Berdasarkan Strategi Nasional (Stranas) REDD+ 2010, Sumatera Barat merupakan satu dari sembilan propinsi prioritas untuk pelaksanaan program pengurangan emisi karbon, karena tingkat referensi emisi data historis laju deforestasi dan lahan gambut di Indonesia. Sumbar memlilki 2,3 juta hektar lebih kawasan hutan atau setara 55,40 persen dari luas dataran wilayah administrasinya.

Pemprov Sumbar berkomitmen untuk melakukan pembangunan rendah emisi guna mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang baik dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) Propinsi Sumbar 2005-2025.

Seorang anggota Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Nagari Kajai tengah memeluk salah satu pohon kayu yang ada dalam wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubout

Seorang anggota Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Nagari Kajai tengah memeluk salah satu pohon kayu yang ada dalam wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubout

Pengelolaan sumberdaya berbasis nagari merupakan upaya memposisikan masyarakat sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan. Pengalaman pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah membuktikan akan keberlanjutan kawasan hutan. Kearifan lokal menjadi pengikat model pengelolaan yang akan diterapkan, misalnya pengelolaan kawasan hutan melalui konsep parak, rimbo larangan, hutan nagari, rimbo ulayat dan sebagainya.

Hutan merupakan faktor penting secara ekonomi, sosial, politik, budaya dan religius. Hutan menyediakan lahan yang diperlukan untuk pertanian, pemukiman dan perkebunan. dan termasuk hasil hutan kayu maupun bukan kayu yang bernilai ekonomis. Praktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam berbasiskan nagari, salah satunya model pengelolaan dengan sistem “parak” di Nagari Koto Malintang dan Koto Gadang, di Kabupaten Agam, Rimbo Larangan di Paru Kabupaten Sijunjung, Hutan Nagari di Simanau Kabupaten Solok, serta Simancuang di Kabupaten Solok Selatan. Ini adalah praktik terbaik dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang direplikasi pada wilayah lain di seluruh Sumbar.

Potensi Hutan Untuk REDD+

Berdasarkan kajian Dinas Kehutanan Pemprov Sumbar dan KKI WARSI pada 2011, terdapat potensi sekitar 980.000 hektar yang bisa dikembangkan menjadi hutan nagari, hutan kemasyarakatan dan bentuk lainnya. Ini berpotensi membantu mitigasi perubahan iklim, dan berkontribusi terhadap pemenuhan target Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen secara mandiri serta 41 persen dengan dukungan International.

Pemprov Sumbar berkomitmen mendorong pengelolaan sumberdaya alam berbasis nagari, di sektor kehutanan, dengan telah menyusun peta jalan 500.000 hektar kawasan hutan dikelola bersama masyarakat dari tahun 2012-2017. Untuk memenuhi target tersebut, pemprov membuka layanan melalui pembentukan Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang difungsikan sebagai pusat data dan layanan fasilitasi masyarakat nagari dalam pengelolaan hutan.

Pemprov mendorong percepatan program pengurangan emisi GRK melalui nota kesepahaman bersama pemerintah kabupaten/kota yang memiliki kawasan hutan, diantaranya; Kabupaten Solok Selatan, Solok, Sijunjung, Padang Pariaman, Pasaman Barat, Pasaman, Pesisir Selatan, dan Kota Padang. Nota kesepahaman tersebut sebagai landasan bagi para pihak dalam pelaksanaan program dan kegiatan dalam rangka mendukung keberhasilan program REDD+.

Pemprov Sumbar juga telah mengalokasikan dana untuk pembinaan inisiatif di 102 hutan. Semua itu diharapkan mendorong pemerintah Pemprov Sumbar menjadi yang terdepan dalam mengelola hutan dengan skema REDD+.

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Untuk implementasinya, telah dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) REDD+ yang terdiri dari perwakilan pemerintah, organisasi pendamping masyarakat, ahli/pakar dan berbagai komponen lainnya. Melalui kelompok ini kemudian disusun dokumen Strategi dan Rencana Aksi Propinis (SRAP) REDD+ yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola, kelembagaan, dan tata ruang untuk mendukung komitmen Indonesia dalam penurunan emisi dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Pelibatan Penuh Masyarakat

Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Sumbar, Hendri Oktavia kepada Mongabay pada awal April 2015 mengatakan kesuksesan pelaksanaan program REDD+ karena dilakukan berbasis masyarakat. Masyarakat sebagai pengelola hutan mendapatkan manfaat langsung dari kekayaan sumberdaya alam yang mereka miliki.

“Kita membuka akses terhadap masyarakat seluas-luasnya untuk mengelola hutan dan tentunya dengan skema yang telah tersedia, baik dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Nagari maupun Hutan Tanaman Rakyat. Setidaknya saat ini seluas 32.700 hektar kawasan hutan yang telah dikeluakan Surat Keputusan (SK)  Penetapan Areal Kerja (PAK) oleh Menteri Kehutanan (kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk dikelola menjadi Hutan Nagari dan seluas 36.800 hektar dikelola menjadi Hutan Kemasyarakatan,” kata Hendri.

Sekitar 76.000 hektar sedang dalam proses penetapan areal kerja atau yang sedang berproses di kementerian dan yang sedang berproses di tingkat tapak/di masyarakat sekitar 80.000 hektar. Sehingga total berjumlah lebih dari 230.500 hektar yang telah diproses Pemprov Sumbar.

“Kami telah mengajak semua dinas-dinas terkait di kabupaten/kota untuk turut serta membantu dan mendukung pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat ini, baik dalam bentuk Hutan Kemasyarakat maupun Hutan Nagari. Di tingkat tapak, pengelolaan hutan akan memberikan manfaat jika didukung oleh SKPD-SKPD terkait melalui program-program yang telah disusun,” lanjut Hendri.

Dinas Perkebunan dapat mengembangkan budidaya karet, kopi dan coklat dalam kawasan hutan pengelolaan masyarakat. Dinas Peternakan bisa masuk melakukan pengembangbiakkan sapi bersama masyarakat dan banyak lainnya. Integrasi pengelolaan hutan dengan berbagai program dari dinas-dinas tersebut akan memberikan manfaat yang nyata, tambahnya.

Implementasi REDD+ di Sumbar dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kapasitas, kelembagaan, perluasan dan penguatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat nagari, data dasar dan peta kadastral, Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik, sekolah hijau, skema hibah kecil, penataan batas dan penguatan petak ukur permanen perhitungan karbon dan lainnya.

Mahasiswa sebagai calon intelektual masa depan, dipandang memiliki peranan strategis untuk pendekatana kepada masyarakat. Para mahasiswa bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan persiapan-persiapan yang dibutuhkan bagi lokasinya untuk dapat mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Dimana masyarakat dapat mengelola hutan lindung dan hutan produksi untuk mendapatkan manfaat ekonomi, ekologi, sosial dan budaya yang  berbasis keberlanjutan dengan skema hutan nagari, hutan kemasyarakatan maupun bentuk lainnya.

Propinsi Paling Siap

“Sumatera Barat merupakan propinsi terakhir yang mengajukan diri untuk terlibat dalam program pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Walau masuk paling akhir, propinsi ini merupakan yang terbaik dalam pelaksanaan program REDD+ dibandingkan propinsi-propinsi lainnya., Peranan Adat merupakan kunci dari keberhasilan ini, sebab adat menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam pengelolaan hutan. Sangat banyak pembelajaran-pembelajaran tentang model pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang dimilki masyarakatnya, model seperti ini masih melekat dan tetap menjadi pedoman pada saat melakukan pengelolaan kawasan hutan,” ucap Heru Prasetyo, mantan Kepala Badan Pelaksana REDD+.

Mantan Kepala BP REDD+ (tengah, berkacamata) Heru Prasetyo didampingi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasaman saat mengunjungi kelompok pengelola hutan kemasyarakatn Karya Setia di Kabupaten Pasaman, Sumbar. Foto: Riko Coubut

Mantan Kepala BP REDD+ (tengah, berkacamata) Heru Prasetyo didampingi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasaman saat mengunjungi kelompok pengelola hutan kemasyarakatn Karya Setia di Kabupaten Pasaman, Sumbar. Foto: Riko Coubut

Heru menambahkan bahwa kearifan lokal menjadi modal utama propinsi ini untuk terlibat dalam program REDD+ dan ditambah dengan dukungan penuh dari pemerintah propinsi dan kabupaten/kota untuk pelaksanaannya di lapangan. Dari 500.000 hektar yang ditargetkan oleh Dinas Kehutanan Pemprov Sumbar, maka setidaknya telah ikut membantu program pendistribusian akses kelola hutan oleh masyarakat sebagaimana yang sedang digerakkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Sementara itu, Wiratno selaku Direktur Bina Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan Presiden telah membuat program percepatan akses hutan kelola perhutanan sosial untuk mendukung pembangunan rendah karbon seluas 12,7 juta hektar yang akan diserahkan kepada masyarakat. Untuk mencapai target itu, maka setidak-tidaknya seluas 2,5 juta hektar setiap tahunnya harus didistribusikan di seluruh Indonesia.

KLHK sendiri baru mampu mendistribuskan sekitar 100 ribu hektar pertahun. Sehingga Menteri KLHK telah membentuk Satgas guna mencapai target tersebut. Lokasi hutan yang bakal didistribusikan sudah teridentifikasi dan sudah diploting dan diharapkan segera dibagikan kepada masyarakat.

Kawasan hutan yang diajukan pengelolaannya di Sumbar umumnya merupakan kawasan hutan lindung, maka pengelolaannya harus diprioritaskan pada pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK), jasa lingkungan dan ekowisata. Sumbar juga kaya dengan potensi sumberdaya airnya, yang dapat dimanfaatkan untuk energi terbarukan seperti mikrohidro dan minihidro, yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

 


Mencontoh Implementasi Program REDD+ di Sumatera Barat was first posted on April 23, 2015 at 4:41 am.

Kekayaan Laut Dunia Mencapai US$ 24 Triliun, Tetapi Cepat Terkuras Habis

$
0
0

Nilai aset kekayaan laut dunia diperkirakan secara konservatif  mencapai US$ 24 triliun. Jika dibandingkan dengan 10 negara dengan tingkat ekonomi tertinggi di dunia, sumber daya laut akan menempati peringkat ketujuh dengan nilai sumber daya dan jasa hingga US$ 2,5 triliun per tahunnya. Hal itu terungkap dari hasil laporan berjudul Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 yang diluncurkan WWF pada Kamis (23/04/2015).

Laporan yang disusun atas hasil kerjasama dengan The Global Change Institute di University of Queensland dan The Boston Consulting Group (BCG) ini merupakan kajian yang paling fokus tentang laut berdasarkan nilai asetnya. Reviving the Ocean Economy mengungkap kekayaan laut yang berlimpah melalui kajian terhadap nilai sumber daya dan jasa yang mencakup perikanan hingga perlindungan dari badai laut. Laporan itu juga menjelaskan tekanan terhadap sumber daya laut yang terus menerus karena eksploitasi yang berlebihan, penyalahgunaannya, dan perubahan iklim.

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

“Laut mampu menyaingi kekayaan negara-negara terkaya di dunia, namun dibiarkan tenggelam menuju kegagalan ekonomi. Sebagai pihak yang bertanggung jawab, kita tidak mungkin berharap untuk terus mengeruk aset berharga laut dengan tidak serius memikirkan dampaknya dan tanpa berinvestasi untuk masa depan,” ujar Marco Lambertini, Direktur Jenderal WWF Internasional dalam siaran pers yang diterima Mongabay.

Menurut laporan tersebut, lebih dari dua per tiga nilai ekonomi tahunan dari kelautan bergantung pada  kondisi kesehatan laut untuk menjaga nilai pendapatan ekonomi per tahun yang dapat dihasilkan. Melemahnya sektor perikanan, deforestasi mangrove serta hilangnya terumbu karang dan padang lamun merupakan ancaman bagi  roda penggerak ekonomi kelautan yang menjadi penopang kehidupan dan sumber kehidupan di seluruh dunia.

Nilai ekonomis laut global. Sumber : Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 WWF Internasional

Nilai ekonomis laut global. Sumber : Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 WWF Internasional

“Dengan menghitung nilai ekonomi tahunan dan nilai aset dari laut dunia menunjukkan kepada kita apa yang sebenarnya yang dipertaruhkan dalam angka perhitungan yang jelas – secara ekonomi dan lingkungan. Kami berharap laporan ini menjadi seruan bagi para pimpinan di dunia usaha dan pembuat kebijakan untuk membuat keputusan yang lebih bijak dan berdasarkan perhitungan matang dalam mewujudkan masa depan ekonomi dari laut kita bersama,” ucap Douglas Beal, Partner and Managing Director dari The Boston Consulting Group.

Penelitian yang dipaparkan dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa kondisi laut dewasa ini berubah lebih cepat dibanding pada masa-masa lain selama periode jutaan tahun. Pada saat yang sama, pertumbuhan populasi manusia dan ketergantungan akan laut membuat pemulihan ekonomi kelautan dan aset utamanya menjadi sebuah desakan global.

“Kini laut dihadapkan pada risiko yang lebih besar dibandingkan masa-masa sebelumnya dalam catatan sejarah. Kita mengeruk terlalu banyak ikan, membuang terlalu banyak limbah, dan meningkatkan suhu serta keasaman laut sampai titik dimana sistem alami tidak lagi bisa berfungsi,” kata Ove Hoegh-Guldberg, penulis utama laporan tersebut dan Direktur Global Change Institute di University of Queensland yang berpusat di Australia.

Perubahan iklim merupakan penyebab utama menurunnya kondisi kesehatan laut. Penelitian dalam laporan ini juga menunjukkan dengan laju peningkatan suhu saat ini, pada tahun 2050, terumbu karang yang menyediakan makanan, pekerjaan dan melindungi  ratusan juta manusia dari badai akan punah. Bukan hanya meningkatnya suhu permukaan air laut, perubahan iklim juga meningkatkan keasaman air laut yang membutuhkan ratusan generasi untuk pulih.

 Eksploitasi berlebih merupakan penyebab utama lain dari penurunan kondisi kesehatan laut, dengan sekitar 90 persen dari ketersediaan perikanan dunia telah tereksploitasi berlebihan atau sepenuhnya tereksploitasi. Populasi Pacific Bluefin Tuna sendiri telah turun sebanyak 96 persen.

Belum terlambat untuk memutarbalikkan kecenderungan yang merusak ini dan memastikan kesehatan laut yang bermanfaat bagi manusia, bisnis dan alam. Reviving the Ocean Economy mendorong delapan butir rencana aksi untuk perbaikan sumber daya laut sesuai potensinya.

Kondisi ancaman laut secara global. Sumber : Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 WWF Internasional

Kondisi ancaman laut secara global. Sumber : Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 WWF Internasional

Salah satu solusi mendesak yang diusulkan adalah memasukkan upaya pemulihan laut dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) PBB, mendorong tindakan global terhadap perubahan iklim, dan memperkuat komitmen untuk melindungi kawasan pesisir dan laut.

“Laut memberi kita makan, penghidupan, dan menopang kesehatan serta kesejahteraan kita, namun kita membiarkan laut hancur di depan mata kita. Bila kisah buruknya kesehatan laut tidak menginspirasi para pemimpin kita, mungkin sebuah analisa ekonomi akan membuka mata mereka. Kita memiliki pekerjaan serius untuk melindungi laut, dimulai dengan komitmenglobal yang sungguh-sungguh untuk iklim dan pembangunan berkelanjutan,” tambah Dr. Lambertini.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Nilai ekonomi maritim Indonesia menurut Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2013 berpotensi mencapai sebesar 171 miliar dollar AS per tahun. Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, mengatakan kehebatan bangsa bahari tidak tergantung pada seberapa banyak kekayaan lautnya, tetapi tergantung bagaimana mengelolanya. “Karena itu, laut harus dikelola dengan mengacu pada prinsip-prinsip kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Prinsip-prinsip ini harus menjadi pegangan seluruh pemangku kepentingan kelautan, dan kemudian diterjemahkan ke dalam program aksi secara sistematis,” katanya.

Arif menegaskan kembali pentingnya peran laut dan perhatian pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan, “Laut harus berkontribusi terhadap ketahanan pangan. Karena itu agar ketersediaan ikan terjaga kesinambungannya, maka produksinya pun harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia adalah membuat Rencana Pengelolaan Perikanan dan Kawasan Konservasi Laut yang berfungsi secara efektif dan didukung oleh seluruh pemangku kepentingan. Karena itu, perlu melibatkan para pihak dalam proses perencanaan, implementasi, hingga evaluasinya,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan dirinya akan mengeluarkan berbagai kebijakan agar pengelolaan perikanan di Indonesia ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable fisheries).

Berbagai kebijakan tersebut antara lain adalah pemberlakuan penangkapan ikan berdasarkan zonasi kondisi dan jenis ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia. Dengan zonasi tersebut, jumlah kapal yang beroperasi akan dibatasi, diberlakukan kuota penangkapan ikan, pembatasan jenis ikan yang ditangkap sampai dengan pengaturan jenis alat tangkap.

“Saya bakal berlakukan zonasi penangkapan berdasarkan stok. Ada daerah yagn akan ditutup, dan ada tempat yang boleh dan bisa ditangkap. Akan ada kuota masa tangkap, bulan tangkap. Penangkapan tidak bisa sepanjang tahun,” kata Susi dalam jumpa pers di Kantor KKP di Jakarta, pada Senin (05/01/2014).

Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo mengatakan pemerintah akan fokus untuk mengembangkan perikanan budidaya karena sektor tersebut dalam sepuluh tahun terakhir terus menunjukkan grafik peningkatan dan itu kondisinya sama di seluruh dunia.

“Dalam perikanan, ada dua yang menjadi fokus di dunia ini, yatu perikanan tangkap dan budi daya perikanan. Keduanya memiliki keunggulan dan kekurangan. Indonesia sudah menjalankan keduanya sejak lama,” demikian ungkap Indroyono di Jakarta, pada Sabtu (19/04/2015).

“Ini berbeda dengan perikanan tangkap. Di seluruh dunia, utamanya di negara-negara kelautan, perikanan tangkap perkembangannya off dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal, semua negara sudah melakukan berbagai upaya untuk bisa menaikkan produksi perikanan tangkapnya,” tambahnya.


Kekayaan Laut Dunia Mencapai US$ 24 Triliun, Tetapi Cepat Terkuras Habis was first posted on April 23, 2015 at 2:26 pm.

Hasil Kajian KKP, Stok Ikan Nasional Tinggal 7,305 Juta Ton

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan stok ikan saat ini mencapai 7,305 juta ton yang tersebar di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Jumlah tersebut berasal dari hasil kajian perikanan yang dilakukan pada tahun 2013 dan dilakukan melalui beberapa metode penelitian.

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan KKP Achmad Poernomo menjelaskan, stok ikan yang sudah terdata sejak 2013 merupakan jumlah terbaik sejak riset stok ikan dilakukan pertama kali oleh Balitbang KP.

“Kita sudah melakukan kajian sejak lama. Namun baru (tahun) 2013 stok ikan mengalami peningkatan. Ini menunjukkan bahwa potensi kelautan di Indonesia masih cukup bagus,” ujar Achmad di Jakarta, Kamis (23/04/2015).

Kelompok kakap bergaris coklat ( Xenocys jessiae ), Kepulauan Galapagos, Ekuador. Foto : WWF Internasional

Kelompok kakap bergaris coklat ( Xenocys jessiae ), Kepulauan Galapagos, Ekuador. Foto : WWF Internasional

Namun, walau sudah dilakukan kajian sejak 2013, stok ikan paling mutakhir itu hingga kini masih belum menjadi data resmi Indonesia. Pasalnya, hingga sekarang data tersebut belum disahkan melaui peraturan menteri (Permen).

Oleh karenanya, Achmad berharap tahun ini Menteri KKP Susi Pudjiastuti bisa mengeluarkan permen untuk mensahkan data 2013 sebagai data resmi nasional.

Sebelum ada data 2013, KKP sudah memiliki data yang berasal dari hasil kajian stok ikan antara 1997 hingga 2011. Rinciannya, pada 1997, kajian meyimpulkan stok ikan nasional mencapai 6,190 juta ton; 1999 mencapai 6,4 juta ton; 2001 mencapai 6,409 juta ton; 2011 mencapai 6,502 juta ton.

“Sementara pada 2005 dilakukan kajian di 9 WPP terhadap 4 kelompok komoditas, yaitu pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan udang. Kemudian pada 2008 dilakukan kaji ulang kuantitatif dengan metode surplus produksi,” ungkapnya.

Tentang jumlah stok ikan yang lebih banyak pada hasil kajian 2013, Achmad menerangkan bahwa itu bisa didapat karena metode kajian yang digunakan lebih lengkap. Kata dia, pada 2013, kajian stok dilakukan dengan menggunakan kualitas data lebih baik dan melakukan kajian yang lebih detil terhadap kelompok ikan.

Walau data 2013 belum disahkan dan belum menjadi data resmi nasional, Achmad memastikan data tersebut akan diperbarui tahun ini setelah timnya melakukan kajian stok ikan di seluruh Indonesia. Untuk tahun ini, kajian akan menggunakan metode analitik dan holistik, yakni mencakup metode sapuan, akustik dan statistik perikanan.

“Tahun ini kami pastikan datanya lebih baik dan kemungkinan besar lebih banyak lagi. Dengan metode kajian yang komprehensif, ditambah dengan dukungan armada kapal yang berjumlah 5 unit, kajian tahun ini menjadi puncak penelitian perikanan selama ini,” ungkap Achmad.

Salah satu terminal perahu penduduk di Desa Ujung Alang,   Kecamatan Kampung Laut Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan

Salah satu terminal perahu penduduk di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan

Kapal yang akan digunakan mencakup kapal milik KKP, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Southeast Asia Fishery Development Center (SEAFDEC) dan didukung oleh ilmuwan dari Balitbang KP, Institut Pertanian Bogor, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Pattimura Maluku, Universitas Sumatera Utara Medan dan LIPI.

“Anggaran untuk Balitbang KP tahun ini juga besar mencapai Rp44,4 miliar. Sehingga, dana untuk kajian juga mengalami peningkatan. Ini akan membantu  tim di lapangan untuk bekerja lebih baik lagi dan tahun ini untuk pertama kali dilakukan di 219 enumerator,” tandas dia.

Wilayah Tangkapan Semakin Berkurang

Meski dari segi jumlah stok ikan mengalami peningkatan, namun Balitbang KP memastikan wilayah tangkap setiap tahunnya terus mengalami penyusutan. Dengan demikian, wilayah tersebut dinyatakan tidak boleh lagi dieksplorasi.

“Kawasan yang sudah tidak boleh diambil ikannya lagi, adalah kawasan yang dikategorikan sebagai kawasan merah. Kawasan seperti ini tidak tergantung pada lokasi dan lebih tergantung pada kelompok ikannya,” ujar Kepala Balai Penelitian Perikanan Laut Balitbang KP KKP Prof Dr Ali Suman.

Menurut Ali, kawasan merah saat ini berada di sejumlah titik di perairan Indonesia. Lokasinya sangat bergantung pada populasi ikan yang ada. Dengan demikian, kawasan merah bisa saja berpindah lokasi dari waktu ke waktu.

“Karenanya, walau di gambar yang menjadi area merah ada di laut Samudra Hindia lepas Pulau Jawa, namun itu tidak berarti disana semuanya merah. Karena sekali lagi, kawasan merah yang sebenarnya itu tergantung pada populasi ikan,” tutur dia.

Selain kawasan merah, ada juga kawasan hijau dan kuning yang berarti masih bisa dieksplorasi dan harus mulai berhati-hati. Untuk kawasan kuning, ini memang peringatan karena artinya ikannya mulai menyusut jumlahnya.

Untuk ikan yang mengalami penyusutan, kata Ali, adalah ikan pelagis yang biasa bergerombol di permukaan air hingga ke kedalaman sekitar 200 meter. Selain itu, udang juga menjadi ikan yang paling cepat penyusutannya dalam beberapa tahun ini. Penyebabnya, karena udang hidup di laut cukup dalam dan menetap.

“Karena menetap, udang tidak bisa bertahan saat menghadapi tekanan. Mereka tidak akan berpindah tempat. Karenanya, udang penyusutannya termasuk cepat,” tandas dia.

250 Hari Kajian Stok Ikan

Sementara itu menurut Sekretaris Komnas Pengkajian Stok Ikan Prof Dr Wudianto, untuk tahun ini kajian yang dilakukan termasuk lengkap karena didukung biaya yang memadai dari Pemerintah. Namun, berbeda dengan negara kelautan besar di Eropa seperti Norwegia dan Islandia, kajian ikan yang ada di Indonesia sifatnya lebih lengkap dan menyeluruh.

“Karena di Indonesia itu wilayah tropis, maka ikannya banyak. Sementara di Eropa itu sub tropis, maka jumlah ikannya paling banyak ada 10 jenis saja,” tutur dia.

Di tempat terpisah, Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Alan Koropitan mengatakan sesuai dengan amanat UU No. 31/2004 tentang Perikanan, dan UU No 45/2009 tentang Perubahan atas UU No 32/2004,  KKP bertugas untuk menetapkan potensi dan alokasi sumber daya ikan di WPP Indonesia.

“Apa yang dilakukan oleh KKP untuk survey hitung stok ikan sudah tepat. Bahwa sesuai mandat UU Perikanan, maka setiap 2 tahun kegiatan update stok ikan harus dilakukan oleh Menteri KP,” kata Alan kepada Mongabay.

Namun, dia mengatakan ada komponen lain yang juga penting, yaitu data pendaratan ikan di pelabuhan. “Ini harus benar dilakukan, berapa sebetulnya data hasil tangkapan di seluruh WPP? Data pendaratan ikan berupa pencatatan di seluruh TPI (tempat pelelangan ikan), pelabuhan Samudra serta pendaratan tradisional,” kata Pengamat Isu Kemaritiman Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Kemudian, kapal-kapal berbobot diatas 30 GT (gross tonnage) perlu melaporkan log book perikanan yang benar. “Ini perlu dicocokkan dengan data pendaratan ikan dan hasil survey 5 kapal riset tersebut. Dengan demikian, stok ikan bisa akurat serta penentuan overfishing dan total allowable catch per WPP bisa tepat sasaran,” tambahnya.

 


Hasil Kajian KKP, Stok Ikan Nasional Tinggal 7,305 Juta Ton was first posted on April 24, 2015 at 2:00 am.

KNTI: KAA Momen Tepat kedepankan Aspek Keadilan Pengelolaan Laut

$
0
0

Indonesia menjadi tuan rumah peringatan 60 tahun Konferensi Tinggi Tinggi (KTT) Asia Afrika dengan rangkaian kegiatan bertema “penguatan kerjasama negara Selatan-Selatan” di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April 2014.

Melihat momentum penting tersebut Ketua umum Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik kepada Mongabay mengatakan, Indonesia memiliki kontribusi besar dalam memperbaiki ketidakadilan tata kelola laut dunia. Salah satu yang memuluskan langkah diplomasi tersebut adanya “Bandung Spirit” yang lahir dari konferensi Asia Afrika 60 tahun silam. Para pemimpin negara-negara di Asia dan Afrika dituntut memastikan tujuan akhir dari pengelolaan laut yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan kepada warga bangsa.

“Kerja sama Selatan-Selatan harus mempercepat terwujudnya perlindungan dan kesejahteraan bagi keluarga nelayan skala kecil dan tradisional,” kata Riza.

Kesibukan petani rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Kesibukan petani rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Seperti diketahui, melalui Deklarasi Djuanda 1957,  Indonesia mengklaim kedaulatan perairan di antara pulau-pulau nusantara yang mendapati perlawanan dari banyak negara, khususnya mereka yang menguasai armada dan teknologi laut pada masa itu. Baru 1982, konsep negara kepulauan diakomodir ke dalam perubahan konvensi PBB tentang hukum laut dan UNCLOS 1982. Bisa jadi tingkat kepentingan bangsa-bang di Asia dan Afrika terhadap laut berbeda-beda kala itu.

Namun kerja keras dan cerdas dari diplomat Indonesia dan Afrika yang mengedepankan “Bandung Spirit” telah mewujudkan cita-cita pendiri bangsa Indonesia menjadi lebih berdaulat atas laut diantara pulau-pulau nusantara.

“Hasilnya masih terasa hingga saat ini. Jika sebelum 1982 sekitar 70 persen sumber daya ikan dunia dikuasi oleh negara-negara utara karena memiliki armada dan modal besar. Secara berangsur dari 1982 hingga kini, penguasaan sekitar 80 persen kekayaan sumberdaya ikan bergeser ke Selatan, termasuk Indonesia,” kata Riza.

Dia juga menyoroti praktik perbudakan di sektor perikanan harus diakhiri. Begitupun penanganan pencurian ikan harus menerapkan prinsip ETO (Extra Territorial Obligation), dimana negara asal pelaku pencuri ikan harus berperan aktif menghukum pelaku pencuri ikan sesuai undang-undang berlaku di negara asal maupun internasional demi tegaknya keadilan global.

Pulau-Pulau Kecil dan Investasi Asing

KNTI juga menyayangkan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melanjutkan pelibatan asing dalam pengusahaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Menurut Riza kebijakan tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materil UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan visi-misi maupun 9 janji perubahan (Nawacita) Jokowi dan Jusuf Kalla.

“Investasi asing di pulau kecil itu ibarat narkoba, sekali di mulai akan terus ketagihan hingga meluas keseluruh kepulauan  Indonesia,” katanya.

Riza menambahkan, berawal dari empat pulau di akhir 2015 direncanakan dibuka 100 pulau lagi, berikutnya ditambah 300 pulau, terus berlanjut sampai tak ada ruang tersisa bagi tumbuh kembangnya ekonomi rakyat. Kebijakan itu hanya ilusi pembangunan, dimana dalam jangka pendek rezim ini akan terlihat berhasil membangun, tapi dalam jangka panjang hanya akan merugikan bangsa.

Saatnya BUMN/BUMD/koperasi maupun unit usaha nasional lain menjadi tuan rumah dalam pengusaan pulau-pulau kecil. “Kebutuhan investasi di pulau-pulau kecil tidak selalu besar dan masih mungkin dibiayai oleh modal domestik,” kata Riza.

Dalam catatan KNTI ada tiga indikasi tidak relevannya keterlibatan investasi asing  dalam pengusahaan pulau-pulau kecil di Indonesia saat ini. Pertama, fakta bahwa instrumen pengawasan laut Indonesia belum berjalan efektif. Kasus Benjina menjadi pembelajaran bahwa investasi asing di daerah terpencil  merupakan ancaman serius terhadap pertahanan, keamanan, maupun kedaulatan.

Kedua, belum sinkronnya prioritas pengaturan ruang laut antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, nelayan, masyarakat adat maupun masyarakat lokal. Ketiga,  investasi domestik masih mampu membiayai investasi perikanan, peternakan, konservasi dan lainnya di pulau kecil bukanlah ongkos yang teramat besar.

“Butuh terobosan pemerintah untuk memberi kemudahan pembiayaan di sektor kemaritiman. Membuka sedari awal keterlibatan asing akan mempersempit kesempatan usaha rakyat,” kata Riza.

Sedangkan kepala bidang penggalangan partisipasi publik KNTI Misbahul Munir mengatakan penyelenggaraan KAA memberikan peluang bagi pemerintah Indonesia berkongkalingkong untuk menawarkan investasi asing dalam pengusahaan pulau-pulau kecil.  Meski pelibatan investasi asing sudah ada sejak November 2014 lalu.

Untuk itu, KNTI mendesak pemerintah dan DPR untuk bersama-sama mengoptimalkan Program Legislasi Nasional 2015-2019 untuk memperluas substansi revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan mengoreksi pasal 26A terkait keterlibatan investasi asing dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni.

“Segera merevisi Peraturan Presiden No 39 tahun 2014 tentang daftar bidang usaha  yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal untuk memasukkan usaha penangkapan ikan ke dalam daftar negatif investasi asing,” kata Munir

Untuk itu, KNTI menyerukan kepada organisasi nelayan, masyarakat pesisir, dan penyelenggara negara di seluruh tingkatan untuk bersama-sama mewujudkan demokratisasi pengelolaan laut, dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia.

 


KNTI: KAA Momen Tepat kedepankan Aspek Keadilan Pengelolaan Laut was first posted on April 24, 2015 at 4:10 am.

Inilah Cara Perempuan Kendeng Peringati Hari Kartini

$
0
0

Tepat pada Hari Kartini, Selasa (21/04/2015), sudah 310 hari perempuan Rembang, Jawa Tengah bertenda menolak pembangunan pabrik dan penambangan oleh PT. Semen Indonesia. Panas, kedinginan, kehujanan dan hembusan angin kencang mereka hadapi. Mereka juga diteror, diintimidasi, dipukul dan menjadi korban kekerasan.

Sukinah, warga Tegaldowo, Rembang, memilih untuk datang ke makan RA. Kartini. Di depan makam, ia menabur bunga dan berdoa seraya memohon agar perjuangan perempuan Kendeng yang terus mempertahankan kelestarian alam khususnya Pegunungan Kendeng dikabulkan. Warga Kendenga telah berjuang sesuai saran Gubernur Jateng yakni untuk menggugat ijin lingkungan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun gugatan kami tidak diterima.

Sukinah, warga Tegaldowo Rembang Jateng berziarah di makam RA Kartini tepat pada Hari Kartini , untuk berdoa dan memohon kesuksesan perjuangan perempuan Kendeng mempertahankan kelestarian lingkungan. Foto : JMPPK

Sukinah, warga Tegaldowo Rembang Jateng berziarah di makam RA Kartini tepat pada Hari Kartini , untuk berdoa dan memohon kesuksesan perjuangan perempuan Kendeng mempertahankan kelestarian lingkungan. Foto : JMPPK

“Sampai kapanpun kami tidak akan mundur dan lelah. Perjuangan kami untuk alam adalah suatu keharusan. Sumber air dari Pegunungan Kendeng kami gunakan untuk lahan pertanian, ternak dan kehidupan sehari-hari. Kami tidak ingin itu semua hilang karena pertambangan,” kata Sukinah.

Sementara itu di Kabupaten Pati, puluhan perempuan Pegunungan Kendeng punya cara tersendiri memperingati hari Kartini. Mereka memakai baju kebaya dan bercaping bertuliskan “Tolak Pabrik Semen” berbondong-bondong ke sawah,  mencabuti rumput-rumput liar sembari bernyanyi lagu Ibu Kita Kartini.

Tokoh perempuan Sedulur Sikep Gunarti mengatakan mereka berharap ingin hidup sejahtera yang tidak diukur dengan uang, yaitu hidup tentram dan tanpa ancaman.

Ia mengatakan negara kuat karena kedaulatan pangan dan tentu karena petani, sehingga pertanian harus tetap ada, dan para perempuan juga bertugas mendidik anak mereka untuk bertani secara merdeka.

Puluhan perempuan Pegunungan Kendeng, Pati, Jateng turun ke sawah memperingati Hari Kartini 2015. Foto : JMPPK

Puluhan perempuan Pegunungan Kendeng, Pati, Jateng turun ke sawah memperingati Hari Kartini 2015. Foto : JMPPK

Di sawah itu, para perempuan Pegunungan Kendeng juga membacakan surat yang mareka tulis :

Kami Kartini Pegunungan Kendeng tak ingin tunduk kepada pabrik semen yang akan merebut tanah leluhur kami, yang akan merusak persaudaraan kami.

Kami ingin bangun dan memperjuangkan kemerdekaan sejati sebagai rakyat Indonesia bebas dari rasa takut, bebas dari ancaman kelaparan dan kemiskinan.

Kami tidak sendiri dalam memperjuangkan apa yang kami yakini bahwa Petani, Buruh, Mahasiswa dan semua rakyat Indonesia yang mencintai Indonesia akan bersama kami. Dan juga seluruh isi alam semesta, hewan, tumbuhan, sungai, batu dan gua di seluruh dunia akan bersama kai, karena mereka juga ingin merdeka seperti kami.

Mari kita bersatu untuk kemerdekaan rakyat Indonesia yang sejati. Lestari Kendengku, Lestari Indonesiaku.

Sementara itu, Muhnur Satyaprabu,  kuasa hukum warga Kendenga dari Walhi mengatakan perjuangan perempuan adalah  mengambilalih kepemimpinan atas sumberdaya lingkungan yang semakin terancam.

Sedangkan aktivis perempuan dan pimpinan redaksi Jurnal Perempuan, Dewi Candraningrum mengatakan ada hubungan genetis Kartini dengan perempuan Kendeng yaitu kepemimpinan perempuan dan kepekaan yang dalam terhadap keadilan.

Ia menambahkan negara banyak melanggar hak selama perempuan itu bertenda menduduki tapak pabrik semen, antara lain hak pangan, air, hak kesehatan repoduksi,  hak atas perlindungan dan hak atas pertisipasi. Perempuan-perempuan adalah warga negara, mereka tidak boleh ditinggalkan, perempuan harus diajak bicara dan diajak memutuskan bersama.

Kawasan Pegunungan Kendeng di Kabupaten Blora, Grobogan, Pati dan Rembang  terancam rusak karena hadirnya pertambangan karst. Di Pati PT Sahabat Mulia Sakti (SMS) sebagai anak perusahaan PT. Indocement akan melakukan penambangan di dua kecamatan yakni Kayen dan Tambakromo dengan luas lahan 2025 hektar. Di Grobogan sejak tahun 2013 dua pabrik semen yakni PT. Vanda Prima lIsti dan PT Semen Merah Putih (Thailand) akan melakukan penambangan dengan luas wilayah 5125 hektar.  Di Kabupaten Blora perusahaan semen akan memakai wilayah dan menambang karst seluas 5700 hektar yakni PT. Alam Blora Lestari dan PT. Artha Parama Indonesia yang merupakan bagian dari Tomy Winata Group. Sedangkan di Kabupetan Rembang PT Semen Indonesia akan melakukan penambangan karst seluas 900 hektar.

 


Inilah Cara Perempuan Kendeng Peringati Hari Kartini was first posted on April 25, 2015 at 1:00 am.

Ayo, Selamatkan Pulau Bangka dari Sekarang!

$
0
0

Keberadaan Pulau Bangka di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara saat ini kondisinya terus mengalami degradasi lingkungan, sehingga  mengancam kehidupan masyarakatnya. Penyebabnya diduga kuat karena beroperasinya sebuah perusahaan energi yang bergerak dalam pertambangan bijih besi. Perusahaan tersebut sudah melaksanakan operasinya dalam beberapa tahun terakhir ini.

Hal itu tersebut diungkapkan Rihunu, salah seorang warga disana yang melakukan advokasi ke Jakarta. Menurutnya, masyarakat setempat merasa tidak nyaman dengan kehadiran PT Mikgro Metal Perdana (MMP) yang berasal dari Tiongkok tersebut, karena dalam operasinya memangkas kawasan hijau dan mengubahnya menjadi kawasan pertambangan yang tandus.

‘’Kami merasa itu sangat mengganggu kami. Karena ekosistem yang sedang kami tempati keberadaannya sangat terancam. Padahal, disitulah kami setiap hari tinggal dan mencari nafkah. Apa jadinya kalau semua itu dibiarkan saja,’’ ujar Rihunu di Jakarta, Jumat (24/04/2015).

Kala alat berat perusahaan tambang mulai menebangi mangrove di tepian pantai untuk reklamasi dan membangun fasilitas perusahaan, beberapa waktu lalu. Gugatan warga penolak tambang yang dimenangkan sampai Mahkamah Agung pun tak digubris pemerintah daerah. Izin tambang tetap tak dicabut, malah Bupati Minut mengeluarkan izin 'perpanjangan' lagi. Foto: Save Bangka Island

Kala alat berat perusahaan tambang mulai menebangi mangrove di tepian pantai untuk reklamasi dan membangun fasilitas perusahaan, beberapa waktu lalu. Gugatan warga penolak tambang yang dimenangkan sampai Mahkamah Agung pun tak digubris pemerintah daerah. Izin tambang tetap tak dicabut, malah Bupati Minut mengeluarkan izin ‘perpanjangan’ lagi. Foto: Save Bangka Island

Karena dirasa sudah mengganggu, warga di Pulau Bangka yang mendapat pendampingan hukum, memutuskan untuk menggugat secara hukum keberadaan perusahaan ke Pengadilan Tata Usaha Niaga (PTUN) Manado.

Namun, meski PTUN mengabulkan gugatan warga, perusahaan tersebut menyatakan banding ke Mahkamah Agung (MA). Namun, sekali lagi, hukum berpihak pada warga dan MA menyatakan bahwa perusahaan tersebut salah dan tidak boleh melakukan operasional perusahaan lagi di Pulau Bangka.

‘’Keputusan inkrach keluar pada 24 September 2013 atau hampir dua tahun yang lalu. Namun, setelah itu, bupati (Minahasa Utara) tetap memberi izin pelaksanaan pertambangan. Itu yang hingga saat ini tidak masuk diakal kami,’’ ucap Rihunu.

Kerusakan Pulau Tak Bisa Dihentikan

Selain merusak lingkungan, operasi pertambangan itu juga menyalahi aturan. Menurut Direktur Yayasan Nurani Minahasa, Jull Takaliuang, Pulau Bangka sebenarnya dikategorikan sebagai pulau kecil di Indonesia. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

‘’Sesuai UU tersebut, Pulau Bangka harusnya dimanfaatkan sebagai kegiatan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan/atau pertahanan dan keamanan negara,’’ ujar Jull.

Karena menyalahi peruntukkan, Jull menjelaskan, dampak yang sudah terlihat saat ini adalah sangat tidak baik dirasakan oleh masyarakat sekitar. Salah satunya, karena mulai ada penggundulan hutan dan penimbunan bakau serta sungai yang berlokasinya di area operasional PT MMP.

Meski belum dilakukan ke seluruh pulau, namun kata Jull, itu sudah cukup membuat masyarakat resah karena dikhawatirkan ke depannya bisa lebih buruk lagi.’’Padahal, warga juga tahu kalau di sekitar Pulau Bangka itu ada perairan yang sangat diidolakan oleh penyelam dari seluruh dunia. Potensi alam itu juga akan terancam kalau Pulau Bangka mengalami kerusakan,’’ tutur dia.

‘’Sebenarnya itu sudah ada teguran secara tertulis dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), namun tetap tak digubris. Ini membuat kami semakin bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya di balik kasus ini,” ucap Jull.

Selain dari KKP, ada juga surat dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang meminta PT MMP untuk menunda kegiatan pertambangan dikarenakan belum ada keputusan zonasi dari Kabupaten Minahasa Utara.

Kerugian Negara Rp200 triliun

Sementara itu menurut Tama S Langkun dari Aliansi Menolak Limbah Tambang (AMMALTA), akibat penambangan yang masih dilakukan, negara mengalami kerugian sangat banyak. Jika tidak dihentikan, maka kerugian akan terus bertambah besar lagi. Padahal, sesuai dengan UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 100, pemegang ijin usaha penambangan wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang.

“Kenyataannya itu tidak dilakukan. Ini jelas pelanggaran lagi. Sudah operasionalnya melanggar, mereka juga melanggar yang lain. Belum lagi pelanggaran pemanfaatan lahan yang tidak boleh untuk pertambangan. Banyak sekali pelanggarannya,” ungkap Tama.

Namun, Tama memastikan bahwa kepentingan masyarakat bukan semata untuk meraih materi uang, namun bagaimana bisa memperjuangkan Pulau Bangka bisa kembali seperti semula, tanpa kerusakan. ”Warga sudah tidak peduli uang, mereka hanya ingin Pulau Bangka kembali hijau saja,” tandas dia.

Kaka Slank, menyerukan penyelamatan Pulau Bangka, lewat petisi di change.org. Kaka khawatir keindahan pulau ini akan hilang jika tambang masuk. Foto: Save Bangka Island

Kaka Slank, menyerukan penyelamatan Pulau Bangka, lewat petisi di change.org. Kaka khawatir keindahan pulau ini akan hilang jika tambang masuk. Foto: Save Bangka Island

Seruan penyelamatan Pulau Bangka juga diungkapkan musisi pentolan grup Slank, Kaka, yang terbiasa melakukan penyelaman di perairan sekitar Pulau Bangka. Menurut Kaka, sebelum ada pertambangan, Pulau Bangka sangat indah dan tenteram.”Namun sekarang, kondisinya sudah berbeda. Warganya masih ramah, tapi mereka tidak bisa menutup mata ada kerusakan alam di pulau. Itu yang dikhawatirkan warga,” ujar dia.

Pulau Bangka secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Likupang Timur Kabupaten Minahasa Utara. Luasnya mencapai 4.800 hektare. Di dalamnya ada empat desa, termasuk Desa Kahuku yang selama ini menjadi lokasi pertambangan bijih besi.

 


Ayo, Selamatkan Pulau Bangka dari Sekarang! was first posted on April 25, 2015 at 12:48 pm.

Duyung, Mamalia Laut Yang Perlu Perhatian

$
0
0
*Agustinus Wijayanto, Kontributor Mongabay Indonessia.
**Akbar A. Digdo ,  Direktur Program Pesisir & Penelitian-YAPEKA.
Tulisan ini merupakan opini penulis.

Ada berbagai jenis satwa yang hidup di laut, salah satunya adalah duyung. Duyung (Dugong dugon Müller, 1776) merupakan mamalia laut herbivora yang menjelajah perairan tropis di kawasan Indo-Pasifik, yang terbentang antara 26° LU dan 26° LS, dari Afrika Timur hingga Vanuatu.

Dugong dilaporkan keberadaannya dari Sumatra hingga Papua, dan dari Sulawesi Utara hingga Bali Selatan. Namun demikian dugong dikabarkan menghilang dari observasi di beberapa negara di Samudera Hindia dan Pasifik.

Menurut sejumlah observasi, dugong umumnya berenang sendiri atau dalam kelompok kecil, sekitar 2-10 individu (Salm dan Halim, 1984; Marsh dkk., 1984; De Iongh dan Persoon, 1991; CRC Reef, 2002; De Iongh dkk., 2007).

 

Distribusi dugong dibandingkan binatang sejenis (manate). Sumber : sirenian.org

Distribusi dugong dibandingkan binatang sejenis (manate). Sumber : sirenian.org

Dugong dapat hidup hingga 70 tahun. Dugong betina diperkirakan dewasa sekitar 10 tahun dan telah mampu bereproduksi dengan periode buntingnya sekitar 13-15 bulan serta melahirkan seekor anak.  Anak dugong ini akan bersama induknya selama 14-18 bulan menyusui. Marsh et al., (1984) menyatakan bahwa mamalia ini memiliki reproduksi yang lambat dan rata-rata mortalitasnya 1-2% per tahun.

Kehidupan dugong

Sebagai herbivora, dugong sangat tergantung pada kehadiran lamun sebagai pakan alami dan kondisi laut yang sehat. Dugong mengkonsumsi sekitar 28-40 kg lamun tiap hari sebagai makanan utama secara normal, namun beberapa peneliti memiliki pandangan bahwa dugong secara tidak sengaja memakan invertebrate (Preen,1995). Hilangnya padang lamun merupakan ancaman utama bagi dugong.

Mardiastuti, dkk (2008) melaporkan dugong menempati habitat di perairan dangkal tropis dan sub-tropis antara lain di Indonesia yang dapat di jumpai di perairan Bangka, Belitung, dan perairan Kawasan Timur Indonesia.

Di alam liar, tidak semua jenis lamun menjadi makanan utama dugong. Pada umumnya memakan spesies lamun yang halus dan tidak terlalu rimbun, seperti lamun dari genus Halodule dan Halophila. Dugong beradaptasi dengan baik untuk memakan makanan yang berserat.

 

Dugong di perairan Sulawesi Utara. Foto : Toar Pantouw

Dugong di perairan Sulawesi Utara. Foto : Toar Pantouw

Dugong adalah hewan yang tergolong hindgut fermenter, atau hewan yang pencernaan anaerobik makanannya oleh mikroba terjadi di caecum atau bagian belakang usus besar. Makanan diproses dalam saluran pencernaan untuk waktu yang cukup lama. Lanyon dan Marsh (1995) menemukan bahwa waktu retensi dari mulut hingga anus dapat berkisar antara 146 hingga 166 jam, jauh lebih lama apabila dibandingkan dengan kebanyakan mamalia herbivor lainnya.

Mereka juga menemukan bahwa dugong adalah hindgut fermenter yang atipikal, karena dugong memakan sedikit makanan rendah serat, yang hampir seluruhnya tercerna sewaktu pencernaan berlangsung dalam waktu yang lama. Daun, rhizoma dan bagian-bagian akar lamun dikonsumsi, hingga meninggalkan jejak makan (grazing track) yang khas.

Dugong lebih menyukai spesies lamun dengan kadar nitrogen yang tinggi (Lanyon, 1991), rendah serat dan berkalori tinggi (De Iongh, 1996a). Ketika isi lambung seekor dugong betina dari Kepulauan Spermonde (Sulawesi Selatan) diinvestigasi, sekitar 99% isinya adalah lamun yang terdiri dari genera Halophila, Halodule dan Cymodocea (Erftemeijer dkk., 1993).

Analisis inframerah yang dilakukan pada perut dugong (Andre dan Lawler 2003) memperlihatkan bahwa pakan utama dugong adalah Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis, H. spinulosa, dan Halodule uninervis. Sementara itu Enhalus, Halodule, Halophila dan Thalassodendron hanya berjumlah tidak lebih dari 5% dari keseluruhan isi perut dugong.

 

Dimana saja tempat hidup dugong?

Padang lamun merupakan kawasan strategis bagi tempat hidup/habitat dugong, dan ditemukan di beberapa tempat di Indonesia Tengah dan Timur antara lain di Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, hingga Papua.  Beberapa tempat di Sulawesi Utara seperti di Mantehage, Nain, Blongko dan Bunaken memiliki beberapa jenis lamun.

Jenis lamun meliputi Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan Cymodocea sp., Enhalus acoroides (Marsh et al., 2002). Observasi dan hasi interview terkini oleh penulis memperkuat indikasi bahwa dugong menggemari perairan sepanjang kepulauan di Bunaken, Minasa Utara, hingga Kepulauan Siau dan Kepulauan Sangihe.

Bisa jadi, rangkaian pulau-pulau di Nusa Utara ini berperan sebagai “koridor migrasi” antara Kawasan Wallacea dengan Kepulauan Filipina. Sehingga, keberadaan lamun di kepulauan ini menjadi bermakna signifikan bagi keberlangsungan hidup dugong dan proses migrasinya. Walaupun, asumsi ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Beberapa peneliti melaporkan adanya temuan dugong di wilayah Indonesia Tengah, seperti di Bali, dijumpai oleh surfer di wilayah pantai Uluwatu, serta Bukit Peninsular.

 

Sebaran dugong di Indo-Pasifik. Tingkat intensitas warna menunjukkan kerapatan rata-rata indivisu dugong di area tersebut. Sumber : NAILSMA 2006.

Sebaran dugong di Indo-Pasifik. Tingkat intensitas warna menunjukkan kerapatan rata-rata indivisu dugong di area tersebut. Sumber : NAILSMA 2006.

 

Marsh et al (2002) mengatakan keberadaan dugong didukung oleh ketersediaan pakan yaitu lamun. Jenis lamun yang dijumpai meliputi Enhalus acoroides dan Thalassodendron mengandung tanin, dan umumnya dihindari. Namun demikian jenis-jenis ini bisa berperan bagi pembentukan habitat bagi jenis-jenis yang disukai oleh dugong.

Selain itu, Marsh et al (2002) melaporkan keberadaan dugong di Nusa Tenggara Timur yaitu di Taman Nasional Komodo antara Selat Lintah dan, Flores, dan Sumbawa. Hal ini diperkuat oleh peneliti lainnya yaitu McKenzie et al., (2006) and De Iongh (1997)  wilayah yang penting di sekitar Taman Nasional Komodo adalah Pulau Seraya Kecil dan berdasarkan data dari The Seagrass Watch Organization, lamun yang mendomimasi  kawasan tersebut adalah Enhalus acoroides Thalassia hemprichii serta beberapa jenis lamun lain yaitu Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule sp dan Cymodocea sp.

Sedangkan daerah Maluku seperti yang dilaporkan oleh Marsh et al. (2002) dan De Iongh (1997; 1996) terdapat di Pulau Aru, Pulau Lease, serta Pulau Haraku. Dan di paling ujung Indonesia Timur yaitu di Papua, keberadaan dugong dilaporkan oleh Marsh dan De Iong di wilayah Pulau Biak-Pulau Padaido, Sorong, Fakfak, Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan Taman Nasional Wasur. Sementara itu habitat dugong berupa padang lamun juga ditemukan di kawasan-kawasan tersebut.

 

Apa ancaman terhadap kehidupan dugong?

Walaupun pada umumnya dogong tidak diburu karena asosiasinya dengan legenda duyung, beberapa kasus perburuan telah dilaporkan atau diamati. Ada informasi bahwa dugong ditangkap dan di manfaatkan oleh masyarakat untuk di konsumsi (De Iongh dan Per­soon, 1991; Hendrokusumo dkk., 1976).

Saat ini dugong menghilang dari observasi di Mauritius, Taiwan, Sri Lanka bagian barat, Maldives, Japan’s Sakishima Shoto di Jepang, muara Pearl River (Hong Kong), beberapa pulau di Filipina dan beberapa bagian Kamboja dan Vietnam.

 

800px-Dugong_Marsa_Alam

 

Diperkirakan populasi dugong di sejumlah daerah di Indonesia seperti perairan Kepulauan Aru telah turun secara dramatis akibat hilangnya dan menyusutnya habitat padang lamun, tekanan akibat industri perikanan, perburuan, dan pencemaran perairan pesisir (De Iongh, 1996b; De Iongh, 1997).

Sejumlah indikasi juga menunjukkan bahwa populasi dugong di bagian lain Indonesia juga menurun, namun tidak ada dasar yang kuat untuk mendukung pernyataan tersebut, karena ketiadaan data mengenai distribusi dugong yang mendetail dari masa lalu hingga masa kini. Informasi yang didapatkan kebanyakan berdasarkan pernyataan dari masyarakat lokal (Hutomo dkk, 2011).

Penggunaan alat tangkap perikanan di habitat dugong agaknya juga berperan dalam kondisi ini. Dugong yang terperangkap oleh jaring atau sero (alat tangkap pasif yang biasa dipasang nelayan di daerah pasang surut berpasir / berlumpur) sebagai bycatch mungkin saja mati tenggelam akibat ketidaktahuan si nelayan pemasang alat tangkap.

 

Upaya Pelestarian

Populasi dugong di Indonesia diperkirakan sekitar 10.000 di tahun 1970-an; tahun 1994 turun menjadi sekitar 1.000 (de Ióngh 1996). Laporan terbaru pada distribusi dugong dan status mereka di Indonesia adalah dari de Lóngh et al. (2009a) dan Kiswara et al. (2011).

Dugong di Indonesia telah dimasukkan dalam status perlindungan dalam PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dugong juga telah masuk dalam daftar satwa rentan (vulnerable) oleh IUCN dan terdaftar dalam CITES Appendix I yang berarti jenis satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Untuk mengurangi tekanan terhadap dugong, beberapa ahli telah melakukan serangkaian pertemuan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi ancaman terhadap dugong ini. Kegiatan di lapangan langsung maupun lewat forum-forum diskusi/ lokakarya.  Beberapa waktu yang lalu, yaitu pada 2008 telah dilakukan Lokakarya untuk Strategi Konservasi dan Rencana Aksi Dugong Indonesia.  Lokakarya ini diselenggarakan bersama oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Lingkungan Hidup dari Universitas Leiden, Belanda.

Pertemuan ini adalah yang ketiga setelah sebelumnya di lakukan di Jakarta pada bulan April 2007 dan di Sanur Bali pada bulan November 2007. Pada pertemuan Rencana Aksi tersebut yang di bicarakan adalah Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Dugong di Indonesia, dan database dugong nasional.

Berdasarkan hasil pertemuan tersebut disepakati adanya lokasi contoh untuk pengembangan sebagai bagian untuk melakukan upaya lebih nyata dalam melindungi dugong ini dengan serius.  Saat ini sangat diperlukan untuk mendorong terjadinya peningkatan pengetahuan di kalangan nelayan di habitat-habitat dugong untuk menurunkan angka kejadian penangkapan yang tidak disengaja (bycatch).

 

Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Dugong di Indonesia. Sumber : Hutomo, dkk (2011)

Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Dugong di Indonesia. Sumber : Hutomo, dkk (2011)

Sayangnya, saat ini nampaknya sangat kurang upaya sistematis dan terkoordinasi untuk menangani masalah penyadartahuan dugong di masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Selain juga memerangi penangkapan dugong, diperlukan juga upaya melindungi habitatnya yaitu padang lamun.
Keberlangsungan hidup dugong tergantung dengan kondisi habitat dan laut yang sehat. Oleh karena selain melindungi kepunahan dugong perlu tetap memperhatikan kondisi habitat mereka agar tetap terjaga pula.  Menjadi penting bahwa strategi dan rencana aksi tersebut terimplementasi di lapangan sehingga dapat dikaji lebih lanjut tingkat efektifitas strategi dan rencana aksi yang dijalankan untuk melindungi dugong tersebut.

Duyung, Mamalia Laut Yang Perlu Perhatian was first posted on April 26, 2015 at 3:26 am.

Tujuh Pendaki Indonesia Belum Diketahui Kabarnya Pasca Gempa Nepal

$
0
0

Pada Sabtu (25/04/2015) pukul 06:11:26 waktu setempat,  Nepal dilanda gempa hebat berkekuatan 7,8 Skala Richter (SR). Pusat gempa berada di sekitar Kota Pokhara,  atau 34 km timur-tenggara dari Lamjung, Nepal, dengan hiposenter pada kedalaman sekitar 15 km.

Dari keterangan Wikipedia,  gempa tersebut merupakan gempa terkuat setelah gempa pada 1934 di Nepal-Bihar. Gempa susulan terus terjadi di seluruh Nepal, dengan guncangan mencapai besaran hingga 6,7 SR

Gempa tersebut telah meluluhlantakkan berbagai wilayah dan kota di Nepal, termasuk Kathmandu, ibukota Nepal. Di Kathmandu, menara bersejarah Dharahara atau Menara Bhimsen roboh karena gempa tersebut.  Bangunan di Situs Warisan Dunia UNESCO Kathmandu Durbar Square juga ikut runtuh.

Seperti dikutip dari Wikipedia, juru bicara kepolisian Nepal Kamal Singh Bam, mengatakan setidaknya 1.953 orang tewas dan 4.629 terluka di Nepal sendiri karena gempa tersebut.

Sedangkan dari berbagai informasi yang dihimpun, korban meninggal telah mencapai 2.026 orang yang terdiri dari korban meninggal 1.953 orang di Nepal, 53 orang di India, 18 orang di Tiongkok dan 4 orang di Bangladesh. Sedangkan korban luka mencapai 4.629 orang di Nepal dan 55 orang di Tiongkok.

 

Longsoran salju (avalanche) di sisi selatan Gunung Everest saat terjadi gempa di Nepal pada Sabtu (25/04/2015). Foto : Northmen PK

Longsoran salju (avalanche) di sisi selatan Gunung Everest saat terjadi gempa di Nepal pada Sabtu (25/04/2015). Foto : Northmen PK

 

Gempa tersebut juga memicu longsoran di Gunung Everest, menewaskan sedikitnya 17 orang di Base Camp Selatan. Tim gunung Angkatan Darat India dikabarkan mendapati 18 jenazah. Diperkirakan ada lebih dari 1.000 pendaki yang berada di Gunung Everest ketika gempa tersejadi, dengan setidaknya 61 orang luka-luka dan sejumlah hilang atau terjebak di kamp-kamp di ketinggian yang lebih tinggi. Gunung Everest berada 220 kilometer timur pusat gempa.

 

Tujuh Pendaki Indonesia Belum Ada Kabar

Dari informasi yang dihimpun, ada tujuh pendaki dari Indonesia yang berada di Nepal yaitu Tessy Ananditya dan Sapta Hudaya yang mendaki gunung Annapurna, Virgo Dirgantara, Handri Ramdhani, Nicko Ronny dengan pemandu dari Himalaya Guides yang diperkirakan berada di Lobuche, dan tiga pendaki dari Taruna Hiking Club Bandung yaitu Jeroen Hehuwat, Kadek Andana dan Alma Parahita. Ketujuh pendaki tersebut belum diketahui kabarnya pasca gempa yang melanda Nepal.

Tiga pendaki dari Taruna Hiking Club Bandung ada di Hotel Lama, Langtang, Nepal. Ketika gempa terjadi, mereka dijadwalkan menuju ke Khyanjing Gompa.

Hernawan Baskoro Abid, dari Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) Kemlu, mengatakan pihaknya memang belum mendapatkan informasi ketujuh pendaki tersebut.“Tessy Ananditya dan Sapta Hudaya sampai saat ini belum ada kabar. Baik dari tim pendakian mereka disana maupun yang ada di Indonesia.  Sedangkan pendaki dari Taruna Hiking Club Bandung yaitu Jeroen Hehuwat, Kadek Andana dan Alma Parahita, ketiga-tiganya belum diketahui kabarnya karena belum bisa dihubungi. Sesuai jadwal perjalanan, mereka ada di puncak Yala,” kata Hernawan yang dihubungi Mongabay pada Minggu malam (26/04/2015).

Sedangkan Virgo Dirgantara, Handri Ramdhani, Nicko Ronny, menurut keterangan dari Himalaya Guides dan operator yang ada di Indonesia, kata Hernawa, juga belum ada kabarnya. “Sesuai jadwal perjalanan, mereka diperkirakan berada di Lobuche,” katanya.

Sementara informasi terakhir dari Kementerian Luar Negeri pada Minggu (26/04/2015) pukul 14.25 WIB, ada 32 orang warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Nepal, 18 orang diantaranya WNI yang menetap di Nepal. Pihak Kemlu telah menghubungi dan mendapatkan kabar  dari beberapa orang tersebut.

WNI yang telah dihubungi Kemlu, atau telah dikonfirmasi dan dalam kondisi baik yaitu Diah Ismaya, Winarti Karyono, Samini, Evi Nurlaila Ana, Fitri Rosdiana (tinggal di jalan bersama suaminya), Aprieri Dwi (mengungsi di kantor GIZ), Ariani Hasanah, Ni Putu Purniawati (berada di Dubai), Wayan Kushle, Ahmad Taufan Damanik (ASEAN ACWC), Esther Indriani (World Vision),  Laura Hukom (World Vision), Dhiana Anggraeni (World Vision), dan Emmy Lucy (World Vision).

Sedangkan WNI yang belum didapat kabarnya yaitu Ari Isyanawati, Freddy Lawrens, Grace Tarigan, Maria E. Putuhena, Toyibah, Maya Apriyani, Parsiah Majudi, Purwanti, Samini, Tessy Ananditya, Sapta Hudaya, Alma Parahita, Kadek Andana, Jeroen Hehuwat, Virgo Dirgantara, Handri Ramdhani, Nicko Ronny, Ong Kim Han, dan Yanti.

“Kondisnya sangat dinamis, karena kita selalu mencari kabar, dan update terakhir kita ada 47 WNI yang ada di Nepal. 18 orang diantaranya tinggal menetap di Nepal,” tambah Hernawan.


Tujuh Pendaki Indonesia Belum Diketahui Kabarnya Pasca Gempa Nepal was first posted on April 26, 2015 at 1:07 pm.

Telaah Semen Rembang : Antara Ramah Lingkungan Dan Kenyataan Sebenarnya

$
0
0
*A.B. Rodhial Falah, Indonesian Caver Society.
**Cahyo Rahmadi, Indonesian Caver Society dan Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Tulisan ini merupakan opini penulis.

Kawasan karst Indonesia khususnya Jawa saat ini keberadaannya semakin terpinggirkan. Potensi besar yang ada di dalamnya selain potensi tambang hingga saat ini tidak banyak dikelola dengan baik. Rentetan rencana pembangunan pabrik semen lima tahun terakhir ini bukti bahwa pemanfaatan jangka pendek yang masih dikedepankan. Krisis dan ancaman kawasan karst di Jawa sudah didepan mata. Jatam dalam rilisnya mencatat hingga tahun 2013 ada 76 ijin pendirian pabrik semen di 23 kabupaten di Jawa dengan total konsesi mencapai 34.944,90 hektar (PME Indonesia, 04/11/2013).

Hal ini sangat bertolak belakang dengan Tiongkok yang secara besar-besaran menutup pabrik-pabrik salah satunya pabrik semen yang jumlahnya mencapai 762 pabrik.

 

Penutupan pabrik di Tiongkok. Sumber : Bradsher 2010 di NY Times, 9 Agustus 2010

Penutupan pabrik di Tiongkok. Sumber : Bradsher 2010 di NY Times, 9 Agustus 2010

Berbagai rencana pendirian pabrik semen banyak menimbulkan permasalahan. Pada tahun 2007, PT Semen Indonesia (PT Semen Gresik) berencana mendirikan pabrik semen di Pati.  Namun, pada tahun 2010, PT SI gagal mendirikan pabriknya di Kecamatan Sukolilo, Pati setelah menempuh perjuangan yang cukup panjang. Masyarakat setempat bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat akhirnya berhasil membatalkan rencana pendirian pabrik semen melalui jalur hukum yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 103/K/TUN/2010.

Kegagalan PT SI di Kabupaten Pati ternyata tidak menyurutkan langkah perusahaan itu untuk berekspansi ke wilayah lain. Awal tahun 2013, masyarakat dikejutkan dengan beredarnya isu rencana pendirian pabrik semen oleh Semen di Kabupaten Rembang. Proses perijinan ternyata telah berjalan secara sejak tahun 2010 dengan dikeluarkannya Wilayah Izin Usaha Pertambangan oleh Bupati Rembang bernomor 545/68/2010. Saat ini, rencana pendirian pabrik semen oleh PT Semen Indonesia di Rembang semakin mencuri perhatian.

Kali ini PT SI menggelontorkan dana investasi mencapai Rp3,7 triliun untuk kapasitas 3 juta ton per tahun. Kawasan yang  diincar adalah kawasan perbukitan batukapur yang dikenal masyarakat setempat sebagai Gunung Watuputih. Ironisnya, kawasan ini secara hukum telah ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Geologi melalui Perda Tata Ruang Kabupaten Rembang nomor 14/2011. Selain itu, Gunung Watuputih juga telah dinaungi oleh Keputusan Presiden RI nomor 26/2011 sebagai salah satu Cekungan Air Tanah (CAT) yang seharusnya dilindungi.

Aksi petani Rembang menolak pabrik semen Indonesia dan meminta pemerintah mendengarkan keluhan mereka.Foto:  Aan Hidayah.

Aksi petani Rembang menolak pabrik semen Indonesia dan meminta pemerintah mendengarkan keluhan mereka.Foto: Aan Hidayah.

Terlepas dari gelombang penolakan warga terhadap rencana pendirian pabrik semen di kawasan Kabupaten Rembang, faktanya PT SI telah mengantongi sejumlah ijin yang diperlukan dari pemerintah setempat berdasarkan kajian AMDAL yang telah disusun oleh PT Kuala Biru Utama Baru yang bertempat di Batam, Kepulauan Riau dengan sejumlah narasumber dari berbagai keahlian dan universitas ternama. Masyarakat Rembang diwakili oleh kuasa hukumnya pun menggugat melalui jalur hukum. Pengajuan pembatalan ijin ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Semarang oleh sejumlah warga Rembang semakin membuat rencana pendirian pabrik semen ini menyisakan kontroversi baik dari para ahli, mahasiswa, LSM maupun akademisi.

Ramah Lingkungan 

Kepada masyarakat luas, PT SI ingin menunjukkan sebagai industri semen ramah lingkungan. Propaganda industri semen “ramah lingkungan” mulai digaungkan oleh PT. Semen Gresik (SG) pada saat perusahaan tersebut berencana membangun pabrik semen di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati pada tahun 2008 silam. Menjelang putusan PTUN Semarang terkait gugatan Rembang, PT SI kian gencar membuat propaganda “Semen Ramah Lingkungan” melalui media massa dan berbagai forum diskusi.

General Manager of Corporate Secretary PT SI, Agung Wiharto menyampaikan bahwa isu kerusakan lingkungan dan kekurangan air menjadi senjata pihak yang menentang, namun pihak PT SI sudah memiliki jawaban, solusinya serta teknologinya untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Hal tersebut sebagaimana aturan pemerintah soal eksplorasi dan eksploitasi di mana area tambang minimal 200 meter menjauhi sumber mata air dan gua.” (Agung Wiharto, Republika Online)

Dokumen ANDAL dianggap sebagai rujukan yang paling “shahih” secara legal terkait rencana pendirian pabrik semen di Rembang. Namun faktanya kajian-kajian di dalamnya tidak berjalan lurus dengan propaganda yang selama ini dilakukan. Hal ini cukup aneh mengingat dokumen tersebut diklaim disusun oleh para ahli yang kompeten di bidangnya.

Beberapa hal yang patut dikritisi terkait propaganda semen ramah lingkungan antara lain :

1)      Penambangan batugamping tidak akan merusak lingkungan karena menerapkan desain tambang dengan dukungan teknologi mutakhir. Penambangan yang dilakukan tidak akan mencapai zona jenuh air (saturated zone) hanya dilakukan di zona kering (vadose zone) sehingga tidak mengganggu siklus hidrologi lingkungan sekitar. 

Tanggapan :

Gunung Watuputih tersusun oleh batugamping yang telah mengalami proses karstifikasi, proses pelarutan lebih lanjut oleh air hujan selama ribuan tahun, menjadi kawasan karst (ANDAL PT SI, Hal. III-21). Batugamping yang telah berproses menjadi kawasan karst memiliki fungsi sebagai kawasan resapan air dan akuifer/penyimpan air. Air hujan yang turun ke wilayah tersebut akan lebih banyak terserap oleh batugamping daripada menjadi aliran permukaan. Wilayah calon tambang PT SI di Rembang mampu menyerap air hujan sebesar 40-80 % nilai ini merupakan indikasi bahwa proses karstifikasi kawasan tersebut bernilai sedang-tinggi (ANDAL PT SI, Hal. III-20).

Sebagai kawasan resapan air, calon lokasi tambang SI di Gunung Watuputih memberikan kontribusi yang signifikan bagi dua mata air terbesar di kawasan tersebut, yaitu mata air Brubulan (635 l/dtk) dan mata air Sumber Semen (100 l/dtk) (Andal PT SI Hal. III-20). Dalam dokumen juga disebut bahwa IUP merupakan 40% dari tangkapan mata air Brubulan (Andal PT SI Hal. III-30). Jika daerah tangkapan 40% nya dikupas dan dipotong, tentu hal ini akan mempengaruhi debit mata air Brubulan yang merupakan mata air vital bagi masyarakat untuk mandi, mencuci dan irigasi meskipun lokasi penambangan jaraknya lebih dari 200 m sesuai peraturan pemerintah.

Selang-selang di pasang untuk mengambil air yang bersumber dari Goa untuk kebutuhan rumah tangga dari kawasan Pegunungan Kendeng.. Foto by Tommy Apriando

Selang-selang di pasang untuk mengambil air yang bersumber dari Goa untuk kebutuhan rumah tangga dari kawasan Pegunungan Kendeng.. Foto by Tommy Apriando

Ahli hidrologi karst, Mangin (1973) menyebutkan bahwa lapisan batugamping yang ada di dekat permukaan karst memiliki kemampuan menyimpan air dalam kurun waktu yang lama. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Alexander Klimchouk (1979, 1981) bahwa zona di dekat permukaan karst merupakan zona utama pengisi sistem hidrologi karst melalui proses infiltrasi diffuse dan aliran celah (fissure flow). Ahli hidrologi lain, Chernyshev (1983) memperkirakan bahwa zona epikarst ini terletak pada kedalaman 30 – 50 meter di bawah permukaan karst dengan ketebalan bervariasi. Ketebalan epikart biasanya 10-15 meter (Klimchouk, 2003).

Rencana penambangan batugamping yang akan dilakukan hingga kedalaman 270-350 meter oleh PT SI dapat dipastikan menghilangkan lapisan epikarst yang merupakan simpanan air terbesar di kawasan karst. Hasil uji bahan perunut (water tracing) yang dilepaskan di lokasi calon tambang batugamping SI menjelaskan bahwa ada keterkaitan sistem hidrologi mata Brubulan dengan lokasi tambang yang berjarak 4 kilometer (ANDAL PT SI, Hal. V-53).

Kegiatan PT SI akan memberikan dampak pada dua mata air yaitu Sumber Semen dan Brubulan meskipun aktifitas penambangan akan lebih berpengaruh pada mata air Sumber Semen daripada Brubulan. Selain itu mata air Brubulan akan terkena dampak karena sistem lorong (conduit) mempunyai jaringan hingga ke areal IUP. Di lokasi juga terbukti permeabilitas mencapai 1 km per hari. Keberadaan konduit diketahui dari keberadaan gua pada titik bor 3 (ANDAL PT SI Hal. V-49).

Sistem hidrologi yang berkembang di kawasan Gunung Watu Putih terdiri dari dua tipe : tipe diffuse (resapan melalui butir-butir batugamping) dan tipe conduit (retakan/lorong). tipe conduit ini yang menyembabkan saling keterkaitan daerah resapan dengan mata air-mata air meskipun berjarak sangat jauh.

Fakta ini dengan sendirinya membantah klaim PT SI yang akan melindungi mata air dengan tidak menambang hingga 200 meter dari mata air tertentu dan gua seperti yang disampaikan Agung Wiharto.

Pernyataan Agung Wiharto seakan mengecilkan sebuah proses dan siklus hidrologi. Padahal mata air hanyalah sebuah bagian kecil dari siklus tersebut. Meskipun penambangan sejauh 200 meter dari mata air dan gua, namun sistem hidrologinya tidak bisa disamakan dengan kawasan non karst.

2)        Pasca penambangan batugamping, akan dilakukan reklamasi lahan, dengan melakukan penanaman pohon dan pembangunan embung. Setelah ditambang, justru mata air akan menjadi semakin banyak. Lahan-lahan yang telah ditambang menjadi lebih subur dan bisa dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian atau lokasi wisata.

 Tanggapan

Aktivitas pengupasan batugamping yang dekat dengan permukaan akan menghilangkan lubang-lubang pelarutan oleh air hujan yang menjadi jalan masuk air permukaan ke bawah permukaan. Batugamping yang tersisa paska penambangan adalah batugamping yang baru tersingkap oleh aktivitas pengerukan, sehingga belum cukup waktu untuk membentuk lubang-lubang pelarutan sebagaimana kondisi asli batugamping sebelum ditambang.

Koordinator aksi, Gunretno bersama dengan ratusan Warga Pati yang menggugat Surat Keputusan Bupati Pati yang memberikan izin pertambangan dan pabrik semen di PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Koordinator aksi, Gunretno bersama dengan ratusan Warga Pati yang menggugat Surat Keputusan Bupati Pati yang memberikan izin pertambangan dan pabrik semen di PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Aktivitas pengupasan menggunakan bahan peledak dan alat-alat berat menjadikan batugamping mengalami pemadatan secara fisik dan penyumbatan saluran-saluran kapiler, penghubung antara permukaan dan bawah permukaan. Hal ini yang membuat air yang tadinya terserap dengan baik akan menjadi aliran permukaan. Fakta bahwa air hujan akan menjadi aliran permukaan sudah diantisipasi dalam kajian AMDAL PT SI dengan tindakan pembuatan saluran-saluran pengendali. Hal ini menegaskan bahwa air hujan yang awalnya terserap dengan baik dan menjadi pensuplai bagi mata air di sekitar lokasi tambang, berubah menjadi air limpasan permukaan.

Akibatnya, dipastikan mata air-mata air akan mengalami penurunan suplai dari daerah resapan atau bahkan hilang pada saat musim kemarau. Pada musim hujan, karena tidak ada proses penyaringan oleh daerah resapan, mata air akan menjadi keruh dan mengalami penurunan kualitas sebagai air baku.

Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di areal pertambangan batugamping untuk industri semen di kawasan Cibinong menyajikan data yang cukup menarik untuk dijadikan pembanding. Batugamping asli yang belum mengalami aktivitas penambangan memiliki laju infiltrasi 54mm/jam, batugamping yang sudah ditambang dan direklamasi dan ditanami dengan tanaman yang tumbuh dengan baik memiliki laju infiltrasi 12mm/jam, sedangkan batugamping yang ditambang dan tidak direklamasi memiliki laju infiltrasi 1mm/jam (Djakamihardja & Mulyadi, 2013). Dampaknya, banyak mata air hilang di kawasan tersebut, sehingga masyarakat sekitar harus menampung air hujan di musim penghujan dan harus membeli air pada musim kemarau.

Reklamasi pada batugamping yang telah ditambang hampir pasti tidak bisa dilakukan, karena unsur-unsur utama batugamping yang menjadi bagian dari proses ekologis sudah hilang karena pertambangan. Beberapa syarat batugamping untuk berproses menjadi kawasan karst seperti ketebalan batugamping, tutupan lahan dan waktu pelarutan sudah tidak lagi terpenuhi.

3)      Debu-debu dari aktivitas pabrik akan ditanggulangi dengan membangun green belt (sabuk hijau) di sekitar areal pertambangan dan pabrik. Perusahaan juga akan menerapkan teknologi terbaru untuk mekanisme pengangkutan bahan galian ke pabrik sehingga menghemat bahan bakar, mengurangi debu dan tidak bising.

 Tanggapan :

Partikel debu yang berpotensi mengganggu kesehatan umumnya adalah partikel berukuran 10 mikrogram untuk kondisi di luar ruang (PM10) dan 2,5 mikrogram di dalam rumah (PM2,5). Ambang batas yang diperbolehkan menurut  PP No.41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara adalah 150 mikrogram/meter kubik untuk PM10 dan 65 mikrogram/meter kubik untuk PM2,5.

Sumber debu dalam aktivitas industri semen berasal dari berbagai macam aktivitas, mulai dari penggunaan bahan peledak, proses pengangkutan bahan galian ke lokasi pengolahan dan proses pembakaran dan penggilingan. Green belt  atau sabuk hijau adalah penanaman pepohonan di areal aktivitas industri semen, fungsinya adalah untuk mengurangi kadar debu bukan menghilangkan. Artinya, tetap akan partikel debu yang keluar area industri.

Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di kawasan industri semen, partikel debu ini bisa terdistribusikan hingga radius 3 kilometer dari salah satu cerobong pabrik dengan ambang batas di atas baku mutu yang diperkenankan, pada level tidak sehat – berbahaya (dalam Suhariyono, 2003). Di Kabupaten Tuban sendiri, di mana SI memiliki empat lokasi pabrik semen, masyarakat sekitar masih mengeluhkan dampak debu akibat aktivitas peledakan batugamping (Kompas, 01/08/2008).

Kebutuhan alat angkut untuk proses penambangan batu gamping dan tanah liat. Sumber : Dokumen Andal PT Semen Indonesia

Kebutuhan alat angkut untuk proses penambangan batu gamping dan tanah liat. Sumber : Dokumen Andal PT Semen Indonesia

Klaim bahwa SI akan menggunakan non mobile transport equipment seperti yang dirilis SI melalui Republika Online (9/4/2015) untuk mengurangi penggunaan bahan bakar dan meminimalkan debu bertentangan dengan fakta kajian AMDAL SI yang jelas mencantumkan penggunaan alat-alat angkutan berat seperti backhoe dan truk-truk berkapasitas angkut 20 ton (tabel 2.4). Untuk keperluan ini PT SI akan membuat jalan selebar 50 meter untuk mobilisasi berbagai alat angkut tersebut (AMDAL hal II/19-20).

4)      Aktivitas penambangan dan operasional pabrik tidak akan menggunakan air dalam jumlah yang banyak, sehingga tidak akan mengganggu aktivitas penggunaan air masyarakat sekitar.

Selain itu, menurut Agung Wiharto, gaya penambangan tidak akan menggunakan air, sehingga tidak akan ada penyedotan air yang berpotensi menyebabkan kekeringan.

Tanggapan

Pernyataan yang disampaikan tersebut seperti sebuah bentuk misleading information yang tidak perlu diungkapkan. Proses penambangan memang tidak memerlukan banyak air namun proses dalam pabrik semen itulah yang memerlukan banyak air.

Hal ini jelas ditampilkan di dokumen Andal bahwa penyediaan air berasal dari sumber air tanah (Hal. II-77). Air tanah tentu diambil dengan proses penyedotan air sehingga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air sanitasi maupun air proses.

Dalam dokumen juga disebutkan bahwa neraca kebutuhan air untuk pabrik semen di Rembang mencapai 2000 m3/hari setara dengan 23 liter per detik.

Neraca kebutuhan air. Sumber : dokumen Andal PT Semen Indonesia

Neraca kebutuhan air. Sumber : dokumen Andal PT Semen Indonesia

Adapun penggunaan air di pabrik meliputi: (1) air sanitasi dan (2) air proses. Jumlah ini tergolong besar untuk ukuran sebuah industri. Penggunaan air tanah dalam jumlah yang banyak tentu saja akan berdampak terhadap kondisi hidrologi di lingkungan sekitarnya.

 5)      Pengolahan batugamping menjadi semen akan menggunakan bahan bakar dari limbah industri, sehingga memenuhi prinsip-prinsip pemanfaatan limbah berbahaya dan termasuk kategori ramah lingkungan.

 Tanggapan

Kebutuhan batubara untuk kegiatan operasional pabrik SI di Rembang diperkirakan sebesar ± 360.000 ton/tahun atau  ± 1.200 ton/hari, sedangkan kebutuhan solar sebagai bahan bakar tambahan diperkirakan 416.700 liter per tahun (Hal. II-78).

Environment Protection Agency (EPA) merilis bahan-bahan berbahaya yang dilepas ke udara yang disebabkan pembakaran bersuhu tinggi hingga 1400 dengan menggunakan batubara, antara lain :

Nitrogen Oksida (NO2), menyebakan kerusakan lapisan ozon, memicu hujan asam, rusaknya kualitas air dan gangguan penglihatan.

Sulfur Dioksida (SO2), menyebabkan gangguan pernafasan, memperparah penderita asma dan infeksi bronchitis, memicu penyakit kardiovaskular (jantung koroner, stroke, kelainan jantung pada bayi, gagal jantung dan berbagai macam penyakit kardiovaskular lainnya).

Emisi Merkuri, pada manusia emisi merkuri membahayakan kesehatan otak, jantung, paru-paru dan sistem kekebalan tubuh pada manusia di segala usia. Bahan ini juga meracuni janin sehingga menyebabkan penurunan kecerdasan dan mengganggu tumbuh kembang anak. Merkuri juga membawa dampak pada ekologi, memicu kematian binatang, mengurangi tingkat reproduksi, mengubah perilaku binatang, memperlambat perkembangan dan pertumbuhan.

Dalam dokumen ANDAL PT SI di Rembang, tidak dijelaskan penanganan emisi-emisi bahan-bahan tersebut di atas, padahal dalam catatan-catatan beberapa media internasional emisi-emisi tersebut terbukti nyata dalam pencemaran udara dan lingkungan sekitar.

Dampak nyata yang telah terjadi akibat emisi Nitrogen Oksida dan Sulfur Oksida sebenarnya juga telah terekam dalam kajian ilmiah yang dilakukan di kawasan industri semen di Cibinong. Di kawasan industri Cibinong terindikasi terjadi hujan asam dengan meningkatnya kadar nitrat yang cukup siginifikan dalam sumur-sumur warga dari rata-rata 0,405 mg/L pada tahun 1999 menjadi 5,284mg/L pada tahun 2009 (Sutanto & Iryani, 2011).

Hujan asam menurunkan kualitas air yang dikonsumsi oleh warga. Banyak penelitian yang menghubungkan bahan berbahaya yang terkandung dalam hujan asam (SOx dan NOx) dengan meningkatnya berbagai penyakit berupa gangguan paru, jantung dan kematian dini pada bayi yang sering dikenal dengan istilah blue baby syndrom akibat meningkatnya kadar nitrat dalam air minum.

“Jika pernyataan PT SI sudah tidak selaras dengan dokumen yang dijadikan dasar keluarnya ijin lingkungan  mengenai keramahan lingkungannya, lantas dasar apa yang bisa meyakinkan pihak-pihak yang menentang untuk bisa menerima bahwa proses yang akan dilakukan adalah proses yang sangat ramah lingkungan dan tidak akan mengancam lingkungan.” (Cahyo Rahmadi, www.biotagua.org)

Referensi:

Anonim. 2012. Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Penambangan dam pembangunan Pabrik Semen PT Semen Gresik Persero di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tenah.

Bradsher, Keith. 2010. In Crackdown on Energy Use, China to Shut 2,000 Factories. New York Times. 9 Agustus 2010, http://www.nytimes.com/2010/08/10/business/energy-environment/10yuan.html?_r=0

Djakamihardja, Achmad Subardja, & Dedi Mulyadi. “Implikasi Penambangan Batugamping Terhadap Kondisi Hidrologi di Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.” Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan [Online], 23.1 (2013): 53-65. Web. 14 Apr. 2015

 


Telaah Semen Rembang : Antara Ramah Lingkungan Dan Kenyataan Sebenarnya was first posted on April 27, 2015 at 2:42 am.

WALHI dan Warga Ajukan Banding Atas Putusan PTUN Semarang Terkait Pabrik Semen

$
0
0

Lali opo lali hakim e Susilowati, Lalu opo lali sidange wis pitung sasi. Lali  opo lali dupeh kuwoso mutusno kedaluwarso. Abot semen opo abot sego. Yen ora panen mesti sengsoro. (Lupa apa lupa itu hakim Susilowati, lupa apa lupa sidangnya sudah tujuh bulan.  Lupa apa lupa punya kuasa memutuskan kadaluarsa. Berat ke semen atau berat ke nasi. Kalau tidak panen pasti sengsara.

Petikan kalimat tersebut dinyanyikan puluhan  ibu-ibu  yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK)  yang datang pada Senin, (27/04/2015) di halaman Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah untuk mengajukan upaya hukum  banding atas putusan majelis hakim yang menolak gugatan warga Rembang terkait ijin lingkungan pendirian pabrik dan penambangan kawasan karst oleh PT. Semen Indonesia (SI) yang dikeluarkan oleh gubernur Jawa Tengah.

Warga yang tergabung dalam JMPPK melakukan aksi lesungan di depan PTUN Semarang pada Senin (27/04/2015) mengawal upaya banding atas putusan PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Warga yang tergabung dalam JMPPK melakukan aksi lesungan di depan PTUN Semarang pada Senin (27/04/2015) mengawal upaya banding atas putusan PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Joko Prianto sebagai salah satu penggugat kepada Mongabay mengatakan mereka masih sangat solid dan bersemangat berjuang menolak tambang semen di wilayahnya, karena tambang jelas mengancam kehidupan kami mereka sebagai petani dan kehilangan sumber mata air pegunungan Kendeng.

“Jika ditambang, kami akan kehilangan jatidiri sebagai petani dan perlu diingat bahwa pertanian terbukti bisa menghidupi kami,” kata Joko Prianto.

Mereka bersama Walhi sebagai kuasa hukumnya, secara resmi mengajukan banding atas putusan sidang yang tidak pro lingkungan dan tidak mencerminkan keadilan.

Joko menambahkan, fakta persidangan menujukkan bagaimana intimdasi terhadap warga yang menolak pabrik semen terjadi. Terjadi pula menipulasi data oleh para penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan tidak benarnya prinsip-prinsip Amdal seperti yang dijelaskan oleh Prof. Suryo Adi Wibowo dari Institut Pertanian Bogor pada sidang kesaksian ahli.  Mereka juga meragukan kesaksian ahli UGM yang diajukan oleh PT. SI, yang ternyata kedua saksi tersebut belum pernah melakukan penelitian di Rembang.

“Keterangan-keterangan penting dalam persidangan ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi majelis hakim, apalagi majelis hakim diketuai oleh seorang hakim lingkungan. Namun PTUN Semarang menggambarkan dengan jelas bagaimana hal substantial dikalahkan oleh majelis hakim dengan dalih telah kedaluarsa,” tambah Joko.

Putusan hakim juga belum masuk pada hal-hal substansial yang telah dipaparkan dalam persidangan dan pengajuan banding warga merupakan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan keadilan.

Sementara itu, Abetnego selaku Direktur Eksekutif Nasional WALHI kepada Mongabay menyesalkan putusan PTUN Semarang yang menyatakan bahwa gugatan Walhi dan warga sama sekali tidak pernah mengetahui adanya ijin lingkungan PT. SI tersebut.

Dan upaya banding Walhi dan warga ditempuh karena putusan hakim terkesan mencari aman dan belum memeriksa pokok perkara tentang apakah pertambangan di kawasan fungsi karst merusak atau tidak.

Walhi menduga bahwa putusan pengadilan itu menjadi jalan untuk meloloskan industri ekstraktif yang akan merusak  pegunungan Kendeng dan akan mengancam keberadaan wilayah karst di tempat lain di Pulau Jawa.

Walhi mengapresiasi adanya hakim bersertifikasi lingkungan tetapi fakta selama ini menujukkan bahwa pengadilan masih menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi pelaku perusak lingkungan, untuk itu tidak cukup mendidik hakim bersertifikat lingkungan.

“Negara harus serius memfasilitasi terbentuknya peradilan lingkungan yang khusus menyelesaikan perkara-perkara lingkungan hidup,” tamhah Abetnego.

Sementara itu, salah satu kuasa hukum warga dari Walhi, Muhnur Satyahaprabu mengatakan upaya banding menjadi salah satu cara selain mengajak masyarakat untuk kritis terhadap kebijakan yang akan mengancam keberlangsungan lingkungan.

“Kami koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam tim advokasi peduli lingkungan yakni LBH Semarang, Walhi, JMPPK, Elsam, Pilinet, KontraS, HuMA, YLBHI dan Jatam terus berupaya melakukan kampanye penyelamatan lingkungan atas ancaman industri pertambangan di Pulau Jawa. Aktifitas pertambangan jelas mengubah rona lingkungan dan masyarakat yang akan terkena dampaknya,” kata Muhnur.

Izin lingkungan di atas kawasan karst jelas bertentangan dengan UU diatasnya karena penambangan tersebut membahayakan kelestarian lingkungan hidup dan akan mengancam pertanian, pangan dan akan mengancam pertanian, pangan dan sumber air masyarakat sekitar.

“Putusan PTUN selain menyalahi prinsip kahati-hatian (precautionary principle) dan juga telah menyalahi prinsip partisipasi yang helas diatur dalam undang-undang,” kata Muhnur.

Adapun dalam akta permohonan banding, Muhnur dan perwakilan warga menghadap dan telah diterima oleh Ilham Hamir selaku panitera PTUN Semarang.

 


WALHI dan Warga Ajukan Banding Atas Putusan PTUN Semarang Terkait Pabrik Semen was first posted on April 28, 2015 at 5:03 am.

KKP Susun RTRLN untuk Petakan Wilayah Laut Nasional

$
0
0

Untuk mensinergikan pengembangan wilayah laut nasional dengan pembangunan poros maritim yang tengah dilaksanakan pemerintahan Joko Widodo, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan pemetaan kembali wilayah laut yang ada. Salah satu langkahnya, adalah dengan menyusun Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN) yang menjadi manifestasi konsep pengembangan wilayah kelautan Indonesia yang menyeluruh dan terpadu.

RTRLN sendiri merupakan amanat dari pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dengan disusun RTRLN, diharapkan wilayah laut nasional bisa dipetakan lebih baik dari sebelumnya. Sehingga, program ataupun kebijakan pembangunan Indonesia yang dibuat Presiden Joko Widodo beserta kabinetnya bisa selaras.

Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi

Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, melalui RTRLN nantinya pembangunan dan pengembangan wilayah laut nasional bisa menjadi lebih baik karena dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Terutama, karena di dalamnya ada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi kelautan.

‘’Kemudian juga memuat sistem konektivitas kemaritiman, kawasan-kawasan laut strategis, serta arahan zonasi peruntukkan penggunaan ruang laut pada skala nasional sesuai potensi dan daya dukung lingkungannya,’’ ujar Susi di Jakarta, Selasa (28/04/2015).

Menurut Susi, penyusunan RTRLN saat ini dinilai sebagai langkah yang tepat karena momennya sangat pas bersamaan dengan pelaksanaan pembangunan poros maritim oleh Presiden Jokowi. Dengan kata lain, RTRLN selaras dengan kebijakan pemerintahan sekarang yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

‘’Hal ini sangat penting bagi Indonesia dalam rangka mendukung terwujudnya visi pembangunan kelautan dan perikanan yang mengandung tiga esensi, yakni kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan,’’ ungkap Susi.

Tidak hanya itu, menurut Susi, dengan RTRLN, Indonesia bisa lebh fokus mengembangkan wilayah laut nasional karena akan ada kombinasi yang selaras antara kebijakan dan strategi pembangunan kelautan, berpadu dengan kebijakan yang ada dalam sektor kelautan, termasuk di kawasan perbatasan yang menjadi area pertahanan Indonesia.

Sementara itu menurut Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo, dengan RTRLN, ke depan pengembangan dan pembangunan wilayah laut nasional bisa lebih dinamis tapi tetap memperhatikan norma-norma yang berlaku di masig-masing sektor.

Namun, Indroyono menjelaskan, karena pembangunan dan pengembangan wilayah laut nasional mencakup juga kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, maka dia berkepentingan untuk mengaturnya secara baik. Sehingga, tidak ada tumpang tindih dan salah paham di antara stakeholder terkait.

‘’Karena itu saya berperan sebagai pengambil kebijakan jika ada masalah seperti itu. Saya akan berkoordinasi dengan sektor terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM dan atau kementerian lainnya yang terkait,” ujar dia.

Perkuat Kawasan Perbatasan

Sebagai negara kepulauan yang wilayahnya didominasi oleh lautan, Indonesia dinilai harus terus memperkuat wilayah lautnya sehingga bisa menjadi andalan untuk generasi mendatang. Karena, dengan luas laut mencapai 5,8 juta km2 atau 2/3 dari total luas wilayah Indonesia, kawasan laut mengandung potensi sangat banyak dari berbagai sektor.

Menurut Dijen Kelautan, Pesisir dan Pulau Kecil KKP Sudirman Saad, agar wilayah laut tetap terjaga dengan baik, maka penyusunan RTRLN menjadi salah satu langkah yang tepat. RTRLN, katanya, akan berperan banyak untuk menjaga wilayah maritim Tanah Air.

“Namun yang paling penting adalah bagaimana menjaga wilayah perbatasan. Kita makanya alokasikan anggaran Rp770 miliar untuk menjaga 31 pulau kecil terluar. Diharapkan dari situ pulau-pulau yang berstatus kecil dan terpencil bisa tetap terjaga dengan baik,” ungkap Sudirman.

Dana yang dialokasikan tersebut, menurut Sudirman, digelontorkan untuk membangun beragam fasilitas. Keseluruh pulau terluar yang akan dikembangkan itu letaknya berbatasan langsung dengan 10 negara , yaitu Australia, Malaysia, Singapura, India, Thailand, Vietnam, Fillipina, Palau, Papua Nugini dan Timor Leste.

Pembatasan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Laut

Selain menjaga wilayah laut perbatasan, Sudirman Saad juga mengungkapkan bahwa KKP saat ini sedang berusaha membuat peraturan tentang zonasi pengembangan kawasan laut dengan jangkauan 0-200 mil. Menurut dia, dengan jangkauan seperti itu diharapkan ke depan pengembangan dan pengelolaan wilayah laut bisa lebih baik lagi.

Dengan adanya peraturan, Sudirman menjelaskan, ke depan diharapkan akan ada peruntukkan yang jelas dari sebuah kawasan laut. Pasalnya, kawasan di laut itu tidak hanya dimiliki oleh KKP tapi juga oleh sektor lain seperti Kementerian ESDM dan yang lainnya.

“Jangan sampai, kawasan yang diklaim masuk wilayah KKP dan bisa dikelola, tapi pada saat yang sama juga sebenarnya itu dimiliki oleh sektor lain. Makanya, harus ada koordinasi dan sinkronisasi yang jelas biar tidak ada tumpang tindih,” tandas dia.

Secara keseluruhan, dengan dibuatnya Tata Ruang Laut Nasional, Sudirman menegaskan itu akan mendukung terwujudnya kedaulatan, sustainability, dan kesejahteraan. Tiga faktor tersebut menjadi penting karena bisa saling mendukung dalam menjaga kedaulatan wilayah laut.

 


KKP Susun RTRLN untuk Petakan Wilayah Laut Nasional was first posted on April 29, 2015 at 12:48 am.

Pembangunan Hotel Dan Mal di Yogyakarta Merusak Lingkungan. Mengapa?

$
0
0

Pembangunan hotel dan mal yang semakin marak dalam beberapa tahun terakhir di Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata membawa dampak buruk bagi lingkungan. Dalam diskusi Jogja Sold Out di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada, Rabu, (22/04/2015), warga Miliran, Kota Yogyakarta, Dodok Putra Bangsa mencontohkan sejak pendirian Fave Hotel, sumur warga Miliran mengering.

“Sumur-sumur warga mengalami kekeringan sejak muncul hotel tersebut. Kami jadi korban pembangunan Fave Hotel. Sejak beroperasi 2012 silam sumur warga jadi kering. Padahal sejak saya hidup disini dan kecil sumur tidak pernah kering meski musim kemarau,” kata aktivis gerakan Jogja Asat itu.

Setelah protes mereka tidak direspon manajemen hotel Fave, Dodo dan warga Miliran menyambangi pemerintah Kota Yogyakarta untuk meminta dilakukan pengawasan penggunaan sumur dalam Fave Hotel.

“Ironisnya pemerintah Kota Yogyakarta melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) malah beragumen membenarkan operasional hotel karena dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yag tidak akan menganggu air sumber air dangkal masyarakat. Padahal jelas-jelas sumur warga terdampak menjadi kering,” tambahnya.

Mural karya seniman street art Jogja menyikapi maraknya pembangunan Hotel, Mall dan Apartmen di Yogyakarta yang berdampak pada rusaknya lingkungan. Foto : Tommy Apriando

Mural karya seniman street art Jogja menyikapi maraknya pembangunan Hotel, Mall dan Apartmen di Yogyakarta yang berdampak pada rusaknya lingkungan. Foto : Tommy Apriando

Dodok mengajak masyarakat dan kaum muda bersama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah kehilangan kebutuhan dasar yakni air. Salah satunya dengan melakukan riset terkait dokumen Amdal pembangunan hotel dan mal di Yogyakarta.

“Saya takut Jogja nantinya benar-benar kering. Jadi ayo siapa yang mau membantu melakukan riset Amdal dan IMB mal dan hotel di Yogyakarta,” ajaknya.

Sementara itu, aktivis lingkungan RM. Aji Kusumo menilai bahwa pembangunan hotel maupun mal lebih banyak memunculkan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. “Pembangunan hotel dam mal dengan modal investor tidak menguntungkan warga karena keuntungan hanya masuk ke kantong mereka sendiri (investor),” kata Aji.

Meski merugikan masyarakat, pembangunan gedung komersil tetap berjalan karena ada dukungan dari aparat kepolisian. Bahkan tidak jarang mendapat dukungan ilmiah dari kalangan akademisi yang luput dari fokus pembangunan yang berkeadilan.

“Sekarang ini pengusaha, negara dan kaum intelektual bekerja sama menyengsarakan rakyat,” kata Aji yang sempat ditahan dan divonis 3,5 bulan karena melakukan aksi solidaritas terhadap pembangunan apartemen Uttara The Icon di Jalan Kaliurang, Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman.

Direktur Center for Integrated Development and Rural Studies, Francis Wahono mengatakan, maraknya pembangunan hotel dan mall telah merusak keistimewaan Yogyakarta, karena menggusur warga kampung dan menyebabkan kerusakan lingkungan.

“Mal-mal dan superblok menjadi tontonan tak elok di tengah rakyat yang setia mengawal keistimewaan penguasa,” kata Wahono.

Dalam pandangan Wahono, tidak ada hal yang khas di Yogyakarta. Seharusnya kondisi Yogyakarta akan berjalan secara harmonis dan lestari apabila jagad pekeliran geo ekologis dijadikan sebagai acuan pertumbuhan, penghidupan dan pembangunan Yogyakarta. Karena ciri khas yang istimewa  dari Yogyakarta ini hanya terletak pada bentuk pemerintahan dan inisiatif rakyatnya. “Hanya dengan itu ‘Jogja Sold Out’ tidak terjadi,” kata Wahyono.

Seruan Front Nahdliyin

Kepala Biro Penelitian Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Bosman Batubara kepada Mongabay mengatakan, berdasarkan penelitian terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, politik, dan institusional sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dengan kerangka Driving Force-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR), menyerukan untuk menghentikan pembangunan hotel, mal, apartemen, dan bangunan komersial lainnya di Yogyakarta.

Hasil penelitian FNKSDA menunjukkan driver berasal dari sektor populasi, turisme, industri batik, perubahan iklim, kapasitas lembaga dan individu, serta manajemen data. Faktor driver itu memberikan tekanan (pressure) terhadap sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya berupa debit konsumsi dan buangan air yang dihasilkan dari populasi terkait yang menunjukkan tingginya beban terhadap sumber daya air.

Beban dari arah populasi ini diperparah oleh kondisi lingkungan global berupa perubahan iklim yang ditandai dengan semakin menurunnya curah hujan secara suksesif dalam beberapa tahun. Sementara respons kebijakan dari pemerintah daerah justru kontraproduktif karena memicu mobilisasi permohonan izin pendirian hotel yang baru.

“Hal ini berarti penambahan pressure terhadap sumber daya air. Tekanan ini masih ditambah dengan permasalahan kapasitas lembaga dan individu di sektor ini yang lemah,” kata Bosman.

Tekanan tersebut pada gilirannya menghasilkan kondisi (state) berupa penurunan muka air tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta kontaminasi nitrat dan bakteri e-coli. Di bidang institusi, terlihat bahwa tidak ada badan otoritas yang melakukan monitoring dan mengelola akuifer Merapi sebagai sumber air tanah bagi daerah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Tekanan dari sistem tata kelola ini menyebabkan tidak adanya manajemen data hidrologi yang baik. Dalam hal pelayanan publik, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di ketiga daerah ini juga sangat lemah.

Tekanan-tekanan itu pada akhirnya menghasilkan dampak (impact) terhadap kondisi sumber daya air dimana harga air menjadi mahal bagi populasi dan buruknya kuantitas dan kualitas air di daerah ini. Sebagai ilustrasi, untuk kasus Sleman, hasil simulasi 10 tahun menunjukkan angka ekstraksi yang “terterima” adalah 28.968 liter/hari, sementara kebutuhan air minum (saja) untuk 1.114.833 orang warga Sleman mencapai 3.344.499 sampai dengan 4.459.332 liter/hari. Selisih angka ekstraksi air tanah terterima dan kebutuhan ini sangat jauh.

Dampak dari lemahnya database hidrometereologi adalah susahnya membangun model sumber daya air yang meyakinkan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan berdasarkan asumsi,” tambahnya.

Tanggapan (response) kreatif terhadap kondisi di atas sudah muncul dari kalangan akar rumput berupa penolakan terhadap pendirian mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta dan sekitarnya.

“Dalam scope lingkungan dan perubahan iklim yang lebih luas, tanggapan terlihat dari gerakan pertanian perkotaan dan praktik adaptif petani lahan pasir di sekitar Yogyakarta,” kata Bosman.

Penghentian Pembangunan Hotel

Sedangkan Kepala Badan Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Istijab  kepada Mongabay pada September 2013 mereka telah menemui Walikota Yogyakarta untuk membahas persoalan pembangunan hotel yang masif dan berdampak pada pendapatan hotel kecil dan non bintang.

Adanya Peraturan Walikota No. 77/2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel yang berisi penghentian penerbitan ijin pembangunan hotel baru dari Januari 2014 sampai 2016.  Sehingga permohonan ijin yang masuk sebelum tahun 2014 akan diproses bila memenuhi syarat. Pada 31 Desember 2013 ada sekitar 110 perijinan yang memenuhi syarat. Hingga September 2014 sudah ada 70 Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sudah keluar dan 35 hotel diantaran sedang dibangun.

“Terkait dengan pengambilan air bawah tanah, seharusnya memang sudah ada perijinan yang baku/ketat, seperti UKL-UPL, AMDAL,” kata Istijab.

Sesuai Peraturan Walikota No.3/2014 tentang Penyediaan Air Baku Usaha Perhotelan di Kota Yogyakarta, setiap usaha perhotelan yang terjangkau jaringan PDAM harus menyediakan air baku yang bersumber dari PDAM. Jika melanggar akan diberikan sanksi hingga pencabutan ijin usahanya.

Tetapi debit air PDAM ternyata tidak mencukupi, sehingga sehingga pengusaha hotel kembali mengambil air tanah dalam. Hotel yang belum punya jaringan PDAM juga mengambil air tanah dalam.

Dinas Energi dan Sumber Daya Alam mengatur pengambilan air tanah minimal berkedalaman 40 – 60 meter, sehingga tidak mengganggu air dangkal warga.

“Jika hotel ada persoalan atau penolakan, mungkin pada saat mengurus ijin HO (lingkungan) tidak terbuka kepada masyarakat sekitarnya. Seharusnya saat sosialisasi pihak hotel melakukannya secara tuntas. Semua kalangan masyarakat diundang,” tambah Istijab.

Berdasar data PHRI, ada 68 hotel berbintang dengan 7500 kamar,  ada 1010 hotel non bintang/melati berjumlah 13.000 kamar, sehingga total ada 20.500 kamar. Pembangunan hotel membawa dampak ekonomi berupa peluang pekerjaan dan mendukung pariwisata.

“PHRI ada kewenangan untuk memonitor hotel-hotel terkait. Menegur dan memperingatkan dan rata-rata hotel yang bersertifikat sudah memiliki manajemen air yang baik,” kata Istijab.

Zonasi Hotel 

Sedangkan Dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan masyarakat terancam resiko pembangunan hotel yaitu hilangnya akses air, karena kehilangan atau kerusakan.

“Artinya operasi hotel berpotensi pada masyarakat disekitarnya kehilangan akses dan kontrol terhadap hak atas air, karena kualitas dan jumlah,” kata Eko Teguh.

Manajemen air yang tidak baik di hotel akan berpotensi mengurangi kualitas air dari minum jadi air bersih.  Pengelolaan limbah hotel yaitu limbah air, sampah, tinja, juga perlu dicek apakah sesuai dengan kebutuhannya.

Eko mengatakan dalam konteks bencana, tidak membangun hotel adalah pencegahan yang paling sempurna. Dalam konteks konservasi, apakah lahan hotel sudah dipastikan bukan lahan konservasi, cagar budaya atau sempadan sungai.

“Pemerintah seharunsya mmebuat kesepatakan dari perspektif ini dipahami beriko bencana atau tidak. Memastikan kembali sumber airnya dari mana,” katanya.

Untuk itu, pemerintah harus menata ulang tata ruang hotel, dengan lokasi bukan di kawasan padat penduduk, sehingga tidak terjadi perebutan akses, ruang, air dan udara.  Pemerintah juga perlu memastukan data-data yang berhubungan jumlah air, sistem sanitasi, kualitas udaya, serta melakukan kajian kualitas lingkungan bersiko bencana di setiap tempat yang berpotensi.

Eko menambahkan pemerintah bisa membuat zonasi hotel dalam tata ruang perkotaan, dengan batasan jumlah hotel yang dibangun, serta sesuai dengan nilai dan kebudayaan masyarakat.

 


Pembangunan Hotel Dan Mal di Yogyakarta Merusak Lingkungan. Mengapa? was first posted on April 29, 2015 at 12:00 pm.

Kebijakan Moratorium Kapal Asing, Positif Tapi Negatif. Maksudnya?

$
0
0

Kebijakan moratorium kapal asing dan transhipment yang diberlakukan Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) pada Oktober 2014 dinilai memberi pengaruh positif pada dunia perikanan di Indonesia. Namun, dari sisi kesejahteraan nelayan, kebijakan tersebut belum dirasakan signifikan oleh nelayan di Tanah Air saat ini.

Menurut Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan dan Peradaban Maritim dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Suhana, kebijakan yang diatur dalam Permen KP No 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI, memang tidak dirasakan secara langsung pada saat ini. Namun diharapan dalam beberapa waktu ke depan itu sudah bisa dirasakan.

“Kebijakan ini kan bagus, seharusnya berdampak bagus. Saat ini pun sudah mulai terasa manfaatnya, tapi memang kalau dibilang signifikan juga belum, karena dari sisi kesejahteraan nelayan pada kenyataannya masih belum membaik,” ujar Suhana di Jakarta, Rabu (29/04/2015).

Suasan di Kampung Nelayan Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Foto : Petrus Riski

Suasan di Kampung Nelayan Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Foto : Petrus Riski

Suhana mengatakan, salah satu dampak yang terlihat cukup jelas adalah perkembangan kapasitas produksi terpakai sektor perikanan. Seperti dirilis oleh Bank Indonesia pada akhir 2014, pada triwulan IV 2014 atau setelah aturan moratorium resmi diberlakukan, kapasitas produksi meningkat tajam hingga mencapai diatas 81 persen.

“Fakta tersebut cukup mengagetkan karena tahun sebelumnya kapasitas produksi paling tinggi di triwulan empat itu maksimal 73,63 persen. Itu menunjukkan bahwa ada peningkatan produksi di sektor perikanan nasional karena kapal asing tidak berlayar lagi,” cetus Suhana.

Kesejahteraan Nelayan Masih Tersendat

Walau dampak moratorium sudah terasa dari kapasitas jumlah produksi perikanan, namun dari sisi kesejahteraan nelayan hingga saat ini kondisinya masih sama saja. Menurut Suhana, kondisi itu bisa dimaklumi karena kebijakan moratorium tidak bisa instan dirasakan langsung oleh para nelayan.

“Ini sebenarnya sudah bagus. Tapi, sekali lagi, semua berproses. Sekarang nelayan masih begitu saja dan bahkan masih ada nelayan yang penghasilannya di bawah Rp500 ribu per bulan. Itu jauh di bawah UMR (upah minimum regional),” jelas Suhana.

Namun Suhana mengingatkan kepada Pemerintah, khususnya KKP terkait kebijakan moratorium tersebut. Pasalnya, walau tujuan dari moratorium itu bagus untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun ada fakta lain yang harus diperhatikan.

“Karena nelayan sekarang banyak yang tidak bekerja pada kapal-kapal asing, maka sudah semestinya mereka saat ini kehilangan mata pencaharian. Ini bisa menyebabkan munculnya pengangguran. Jika hal itu terjadi, gejolak sosial akan semakin tinggi di tingkat nelayan.

Dikonfirmasi terpisah, Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengakui kalau moratorium memberi dampak positif untuk dunia perikanan Tanah Air. Namun, dia mengaku tidak mengetahui apakah dampak dari moratorium belum bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan.

“Iya, pasti ada peningkatan. Tapi seberapa besar peningkatannya saya tidak tahu. Itu lebih teknis persoalannya,” ujar Susi.

Pengawasan Perikanan Harus Terus Ditingkatkan

Terkait dengan pemberlakukan moratorium, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Asep Burhanuddin menjelaskan, setelah kapal-kapal asing dilarang berlayar, pihaknya semakin meningkatkan tugas pengawasan perairan di seluruh Indonesia.

Namun, tugas tersebut hingga saat ini masih terkendala sejumlah masalah teknis yang belum terpecahkan. Di antaranya, sumber daya manusia (SDM) dan juga fasilitas kapal yang tersedia.”Kita masih perlu tambahan kapal lagi untuk mobilitas di laut. Kalau dengan jumlah sekarang masih sangat kurang,”  ujar Asep.

Selain kapal, dia menyebutkan bahwa pihaknya juga saat ini masih menghadapi kendala terbatasnya pos pengawas perikanan yang tersebar di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI dan satuan kerja (satker) lain. Jumlah pos pengawas yang ada saat ini, diketahui berjumlah 194 UPT Pangkalan/Stasiun/Satker/Pos.

Seharusnya, dengan luasnya perairan Indonesia, menurut Asep, jumlah tersebut harusnya ditambah lagi. “Kondisi ini masih dirasakan belum memadai, idelanya diperlukan 817 Pos dan Satker Pengawasan di tempat-tempat lokasi pendaratan ikan dan pelabuhan perikanan,” imbuh Asep.

“Kemudian, jumlah personil juga masih sangat minim, dimana di beberapa Satker dan Pos PSDKP hanya memiliki dua atau tiga orang bahkan terkadang hanya satu orang personil Pengawas Perikanan,” tambah dia.

Kondisi tersebut, menurut Asep, ikut memengaruhi kinerja petugas pengawasan perikanan di seluruh Indonesia. Walaupun kinerja masing-masing petugas sudah dilaksanakan hingga maksimal, kata dia, namun itu belum maksimal karena masih banyak celah yang tidak terpantau.

“Selain itu masih terjadi resistensi pelaksanaan pengawasan di lapangan, seperti penggunaan VMS (Vessel Monitoring System) lebih dari 30 GT (Gross Tonnage) di Karangsong dan Kapal-kapal Inka tanpa dokumen,” tandas Asep.

Namun, di luar itu, Asep mengatakan bahwa dengan keterbatasan tersebut, pihaknya berhasil memproses 62 pelaku illegal fishing  yang terdiri dari 28 kapal perikanan Indonesia dan 34 kapal perikanan asing (KIA). Dari jumlah kapal asing tersebut didominasi Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia.


Kebijakan Moratorium Kapal Asing, Positif Tapi Negatif. Maksudnya? was first posted on April 30, 2015 at 2:43 am.

Belajar Konservasi Hutan dan Mata Air Di Wonosalam

$
0
0

Berbekal pemahaman sederhana bahwa hutan gundul akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dapat merugikan masyarakat, Wagisan bersama warga Dusun Mendiro, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, melakukan upaya penanaman kembali hutan yang gundul seluas lebih dari 50 hektar.

Awal mulanya hutan di kawasan Dusun Mendiro ditumbuhi banyak tanaman kayu, serta tanaman buah-buahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Hutan seluas 50 hektar yang masuk dalam wilayah penguasaan Perhutani ini mengalami kerusakan dan menjadi gundul, akibat penebangan kayu hutan secara ilegal pada tahun 1998-1999. Tidak hanya oleh warga masyarakat sekitar, penebangan kayu juga banyak dilakukan oleh oknum aparat.

Hutan adi lereng gunung Argopuro yang dihijaukan kelompok  Kepuh bersama warga Mendiro tampak semakin lebat. Foto : Petrus Riski

Hutan adi lereng gunung Argopuro yang dihijaukan kelompok Kepuh bersama warga Mendiro tampak semakin lebat. Foto : Petrus Riski

Melalui inisiatif dan swadaya sendiri, Wagisan bersama 10 orang yang menamakan diri sebagai kelompok Kepuh (Kelompok Pelindung Hutan dan Pelestari Mata Air), kelompok masyarakat yang peduli terhadap hutan melakukan penanaman bibit pohon buah-buahan, pada lahan yang gundul. Wagisan beranggapan bila kondisi ini dibiarkan, maka tidak hanya akan berakibat pada bencana lingkungan, namun juga mempengaruhi perekonomian warga yang semula sangat bergantung pada hutan.

“Dulu jaman saya kecil tanaman duriannya berbuah lebat, tapi kemudian semuanya dijarah orang, ditebangi sampai habis total dan gundul. Kemudian saya bersama warga yang lain mulai lagi menanami, selain durian ada juga nangka, kemiri, jengkol, dan masih banyak lagi,” ujar Wagisan, ditemui di rumahnya di Dusun Mendiro, Sabtu (18/04/2015).

Melalui gerakan menanami kembali hutan yang gundul, Wagisan beranggapan bahwa keberadaan pohon-pohon atau tanaman berkayu akan mampu menahan serta menyimpan air, mencegah bahaya longsor dan banjir bandang, dan mengembalikan debit air dari mata air yang sempat hilang atau mati.

Secara mandiri, mereka melakukan pembibitan tanaman buah aneka macam, melakukan penanaman dan penyiraman, hingga bergantian melakukan patroli untuk menjaga agar tidak ada lagi penebangan pohon secara ilegal. Pada awal mula kelompok Kepuh melakukan pembibitan hingga 10.000 bibit tanaman buah-buahan dari 40 jenis tanaman.

“Semua kami lakukan sendiri, tidak ada bantuan dari siapa pun, semua swadaya masyarakat,” tukas Wagisan.

Kerelaan menjadi penjaga hutan dan pelestari mata air juga diakui oleh Tumariono, warga Dusun Mendiro. Tumariono mengaku tidak dibayar untuk menjadi bagian dari kelompok Kepuh. Melalui upaya menjaga hutan dengan cara menanam pohon dan merawat mata air, bayarannya berupa air bersih gratis dirasa lebih dari cukup bagi Tumariono serta warga lainnya.

“Masyarakat disini tidak pakai pompa air, pompa airnya ya pohon yang ditanam. Dengan itu semua airnya bisa langsung disalurkan lewat pipa paralon ke masing-masing rumah warga. Kalau bayarannya ya gak ada,” tutur Tumariono yang mengaku pernah bertengkar antar warga, karena berebut sumber mata air saat debit air yang keluar masih sedikit.

Selama lebih dari 3 tahun, Tumariono mengaku tidak sampai mengalami kekurangan air, bahkan saat memasuki musim kemarau. Kebutuhan warga akan air bersih, serta air untuk berternak dan berladang, selalu tercukupi sejak reboisasi berhasil dilakukan di hutan Dusun Mendiro.

“Ini setelah warga sadar dan melakukan pembibitan, menanam di sebelah mata air, terutama di Petung Pecut dan Sumber Gintung. Warga menanam aneka tanaman kayu, seperti kayu bendho, durian, kemiri, trembesi, gondang, pucung, juga bambu apus dan bambu petung,” jabar Tumariono.

Pohon durian di dalam kawasan hutan Wonosala, Jombang, Jatim, dengan buahnya yang  siap dipanen. Masyarakat Desa Mendiro secara mandiri melakukan reboisasi hutan dengan pohon buah. Foto : Petrus Riski

Pohon durian di dalam kawasan hutan Wonosala, Jombang, Jatim, dengan buahnya yang siap dipanen. Masyarakat Desa Mendiro secara mandiri melakukan reboisasi hutan dengan pohon buah. Foto : Petrus Riski

Kondisi seperti ini diharapkan Wagisan tidak sampai menimbulkan perusakan dan pembabatan hutan kembali, setelah masyarakat merasakan manfaat hutan secara ekonomis.

“Sekarang sudah menjadi hutan, ada durian dan jengkol yang sudah berbuah, alpukat, nangka, kemiri, juga ada manggis, langsep. Kami menjadikan lahan yang gundul sebagai hutan beraneka ragam buah. Harapan kami hutan lestari, masyarakat banyak rejeki, dan tidak lagi merusak hutan,” harap Wagisan.

Melalui upaya konservasi yang dilakukan kelompok Kepuh bersama masyarakat setempat, tidak hanya mengembalikan kondisi hutan seperti semula, tapi juga ikut menjaga satwa serta ekosistem yang ada sebelumnya.

“Kita juga melindungi satwa jangan sampai diburu. Sekarang kita sudah mulai menemui lutung, kancil, kijang, berbagai jenis burung, bahkan masih terlihat macan kumbang,” imbuh Wagisan yang merupakan mantan Kepala Dusun Mendiro ini.

Meski telah berupaya melakukan penanaman kembali hutan yang gundul, ternyata masih ada juga masyarakat serta oknum aparat yang melakukan penebangan pohon. Sekitar 50 pohon kemiri yang telah ditanam kelompok Kepuh bersama warga didapati ditebang oleh orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga sempat menimbulkan ketegangan antara warga dengan Perhutani.

“Setelah pohon kemiri jadi dan banyak, sekitar 50 pohon ditebangi pada Mei 2010, sejak saat itu kelompok Kepuh sudah siaga semuanya. Kalau ada yang menebang atau mencuri, ramai-ramai akan diambil tindakan dan dilaporkan pihak berwajib. Kalau pencurian ini dibiarkan, kasihan anak cucu kita nanti kalau hutannya rusak kembali,” tegas Wagisan.

Wagisan berharap konservasi hutan yang telah dilakukan warga yang dimotori kelompok Kepuh ini, tidak sampai dirusak oleh pihak yang kurang bertanggungjawab dan ingin mencari keuntungan sendiri. pemerintah diminta turun tangan dan terlibat secara langsung dalam mendukung upaya konservasi yang telah digalakkan oleh kelompok Kepuh bersama masyarakat.

“Jangan sampai hutan konservasi yang sudah jadi seperti ini dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, kalau pemerintah tidak turun tangan ya tidak menutup kemungkinan bisa rusak lagi,” serunya.

Wagisan Ketua Kelompok Kepuh menunjukkan piala Kalpataru  tingkap provinsi Jawa Timur yang didapatkannya karena memelopori pengutanan  kembali hutan Mbeji Dusun Mendiro. Foto : Petrus Riski

Wagisan Ketua Kelompok Kepuh menunjukkan piala Kalpataru tingkap provinsi Jawa Timur yang didapatkannya karena memelopori pengutanan kembali hutan Mbeji Dusun Mendiro. Foto : Petrus Riski

Selain meminta dukungan pemerintah daerah Kabupaten Jombang dan Pemprov Jatim, kelompok Kepuh berharap potensi sumber daya alam khususnya di hutan Wonosalam dapat dikembangkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi masyarakat secara maksimal.

“Kalau pas panen durian, ini jadi hutan durian. Ini yang bisa mendatangkan pemasukan ekonomi warga, juga tanaman dengan buah yang lain. Sejauh ini kami menjual sendiri, belum ada yang menampung hasil panen warga. Selain itu akses jalan yang kurang baik jadi hambatan kami,” ucap Wagisan.

Pada waktu panen durian, hampir seluruh area yang dihijaukan menghasilkan buah durian. Rata-rata 1 pohon menghasilkan 10 hingga 20 buah durian. Bila dijual seharga Rp30.000, masyarakat memperoleh pemasukan Rp300.000- Rp600.000 per pohon. Padahal dalam sebidang lahan yang digarap warga bisa ada lebih dari 10 pohon durian.

Sedangkan dari panen kemiri, setiap 100 butir kemiri dihargai Rp7.000, sedangkan setiap pohonnya bisa menghasilkan antara 500 hingga 1.000 butir kemiri. Pohon kemiri di hutan Mendiro merupakan salah satu jenis pohon yang paling banyak ditanam di lahan seluas 50 hektar, karena pohonnya yang merupakan jenis tegakan.

“Bisa dihitung sendiri berapa hasil yang diperoleh sekali panen untuk kemiri dan durian. Belum lagi jengkol, nangka, dan hasil pohon buah lainnya. Intinya masyarakat semakin sejahtera setelah upaya penghijauan ini berhasil,” ungkap Wagisan.

Partisipasi Masyarakat

Aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) Amiruddin Muttaqin mengungkapkan, keberadaan kelompok Kepuh merupakan salah satu contoh partisipasi yang dilakukan masyarakat, dalam menjaga dan melindungi hutan terutama hutan-hutan lindung yang ada di perbatasan desa-desa paling ujung.

“Seharusnya memang di hampir semua hutan itu ada kelompok-kelompok seperti yang dilakukan kelompok Kepuh ini, yang sudah menjadikan hutan ini lebih bagus, terjaga, terawat, mata airnya terus mengalir dan bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat yang ada di hulu maupun di hilir,” katanya.

Amiruddin menilai bahwa sangat penting melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan, karena masyarakatlah yang setiap hari berinteraksi di hutan dengan berbagai ikatan emosional dan ekonomi yang terkandung di dalamnya. Fungsi hutan baik secara ekologi maupun ekonomi inilah, yang menjadikan hutan sebagai ekosistem yang harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat.

“Mau tidak mau masyarakat harus menjaga hutan dan melindunginya, karena ini untuk tujuan peningkatan ekonomi dan juga melindungi mata air yang ada,” kata Amir yang sudah mendampingi kelompok Kepuh sejak 2010.

Sudah selayaknya, lanjutnya, pemerintah harus berterimakasih dan memberikan apresiasi bagi masyarakat di hulu yang sudah menjaga hutan dan mata air.

Keberhasilan kelompok Kepuh ini perlu didukung oleh semua pihak, karena upaya menjaga serta melestarikan hutan serta mata air tidak dapat dilakukan sendiri, khususnya masyarakat yang berdekatan dengan kawasan hutan yang kritis.

“Sebenarnya masih ada kawasan yang gundul di sekitar gua Sigolo-golo seluas 5-10 hektar, itu di wilayah Perhutani. Tidak tahu kenapa petugasnya kurang antusias. Masyarakat sebenarnya bisa saja melakukan penghijauan di situ, tapi ternyata hanya menanam tanaman palawija,” tukas Wagisan.

Saat ini hutan di Dusun Mendiro yang hijau dan lebat menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara, baik untuk tujuan rekreasi maupun studi lingkungan. Bahkan tidak sedikit kelompok pelajar dan mahasiswa yang melakukan studi mengenai kehutanan, sekaligus melakukan aksi menanam pohon di hutan Desa Mendiro.

“Sekarang ini banyak kelompok masyarakat seperti pramuka, kelompok pemuda yang datang dan menanam disana, ditempat yang masih jarang pohonnya. Setiap kunjungan rata-rata kami siapkan 50-100 bibit untuk ditanam, dan tiap bulan selalu ada yang datang berkunjung,” pungkasnya.

Dengan banyaknya perhatian dari masyarakat di luar Wonosalam, Wagisan berharap ekosistem hutan Mendiro tetap terjaga, dan tetap menjadi sumber penghidupan masyarakat yang ikut menjaga kelestarian hutan dan mata air.

Mengajarkan Cinta Hutan Sejak Dini

Kesadaran untuk mau menjaga serta melestarikan hutan serta mata air, merupakan kunci mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan hutan beserta ekosistem di dalamnya. Melalui pendidikan dapat diberikan pemahaman serta pengetahuan mengenai pentingnya hutan bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Berawal dari kekhawatiran terhadap kondisi hutan yang semakin rusak oleh ulah orang yang tidak bertanggungjawab, Mukhlas Bassa menjadi pelopor untuk mengajarkan pentingnya menjaga hutan dan mata air kepada para pelajar.

Mukhlas menyiapkan materi pembelajaran hutan dan mata  air. Foto : Petrus Riski

Mukhlas menyiapkan materi pembelajaran hutan dan mata air. Foto : Petrus Riski

Guru Madrasah Aliyah (MA) Fasser, Kecamatan Wonosalam ini, akhirnya terjun total mengajarkan pentingnya melestarikan hutan kepada siswa-siswi didiknya. Dibantu LSM Ecoton, Mukhlas mengawali membentuk kelas khusus yang mengajarkan mengenai pelajaran hutan dan mata air. Mata pelajaran ini mungkin menjadi satu-satunya mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa di tingkat SMA sederajat.

“Hutan kami rusak sekitar tahun 1998-2002. Malah pada tahun 2002 terjadi banjir bandang di wilayah Mojokerto akibat hutan di sekitar kita gundul. Kekhawatiran terhadap hutan yang semakin rusak, serta terhadap mata air yang pada 2007 semakin banyak yang mati atau hilang, menjadi awal kegiatan kami di bidang lingkungan,” kisah Mukhlas.

Berawal dari kebosanan para siswa saat belajar di dalam kelas, memunculkan ide bagi Mukhlas untuk mengajak para siswa belajar mengenai lingkungan di luar kelas. Pelajaran di luar kelas itulah yang semakin menunjukkan bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari dari lingkungan, selain pelajaran teori mengenai ilmu pengetahuan alam.

Meski pada awal mula para siswa tampak kebingungan dengan metode yang baru ini, akhirnya lambat laun siswa didiknya dapat menikmati dan menyukai pelajaran baru yang diberikan tiap hari Sabtu, dengan sistem pengajaran lebih banyak di dalam hutan dan sekitar mata air.

“Kami mengajarkan tentang morfologi tumbuhan, pelestariannya, hidrologinya, kesehatan sungai, pembibitan, dan kemudian wirausaha sosial di bidang lingkungan. Awalnya siswa kami kebingungan karena banyak yang jurusan sosial, bukan IPA. Tapi lama-lama mereka semakin tertarik,” terangnya.

Tidak hanya semakin banyak siswa yang berminat mengikuti pelajaran hutan dan mata air, Madrasah Aliyah Fasser Wonosalam mulai menggandeng sekolah lain untuk bekerjasama melakukan penyelamatan hutan serta mata air bagi kehidupan manusia.

“Kalau kita belajar mengenai pembibitan tanaman hutan, kita juga mengundang teman-teman dari luar kota, seperti Surabaya, Gresik, Mojokerto, dan Jombang sendiri. Kita juga belajar tentang kondisi sungai-sungai kita dengan melakukan biomonitoring, inventarisasi tanaman-tanaman yang masih ada di hutan lindung, juga patroli,” jabar Mukhlas yang menyadari masih banyak anggota keluarga para siswa yang belum peduli terhadap kondisi hutan.

Murid MA Fasser sedang belajar di dalam hutan. Foto : Petrus Riski

Murid MA Fasser sedang belajar di dalam hutan. Foto : Petrus Riski

Selain belajar bersama di hutan, para siswa juga diajarkan untuk memberikan pengajaran mengenai hutan dan mata air kepada pelajar lain dibawahnya, baik tingkat SMP maupun SD. Pengajaran dan penyadaran mengenai pentingnya menjaga serta melestarikan hutan dan mata air menurut Mukhlas, merupakan upaya dasar untuk menanamkan kecintaan terhadap lingkungan sejak usia dini.

“Harapan kami memang ada pengaruh yang cukup besar walaupun tidak sekarang, karena sebagian besar anak-anak kami ini rata-rata orang tua mereka hidupnya juga tergantung dari hutan di sekitarnya. Dengan mereka kita sadarkan tentang pengetahuan hutan dan mata air, lambat laun mereka lebih arif lagi terhadap hutannya dan ikut menjaga hutannya,” tutur Mukhlas.

Melalui kegiatan belajar mengajar di hutan, sekaligus patroli hutan dan mata air yang dilakukan setiap Sabtu, membuat aktivitas penebangan kayu hutan serta perburuan liar menjadi jauh berkurang. Mukhlas berharap upaya kecilnya dalam menyelamatkan hutan dan mata air membuahkan hasil, berupa tersebarnya pemahaman baru yang positif mengenai kecintaan masyarakat akan hutan, sehingga dapat mencegah kerusakan yang terjadi.

“Dampaknya mungkin orang-orang yang merusak hutan mulai berkurang, dan keterlibatan kita menanam pohon dihutan menjadikan mereka ikut sadar dan ikut menanam tanaman hutan. Jadi kesadaran masyarakat tentang hutan sangat perlu diberikan sejak dini, khususnya melalui dunia pendidikan,” pungkas Mukhlas yang berharap ada materi khusus mengenai hutan yang dimasukkan pada kurikulum pendidikan.


Belajar Konservasi Hutan dan Mata Air Di Wonosalam was first posted on April 30, 2015 at 8:57 am.

Demi Menerangi 25 Pulau Terluar, Pemerintah Bangun 11 PLTS

$
0
0

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang memiliki setidaknya 17.000 pulau besar dan kecil, garis pantai sepanjang 95.181 km dan 3,1 juta km2 wilayah laut territorial, memiliki potensi sumberdaya kelautan yang besar. Salah satunya potensi kelautan tersebut adalah sumber energi yang berasal dari pasang surut, angin, gelombang, dan ocean thermal energy conversion (OTEC).

Oleh karena itu, pemerintah mengembangkan energi terbarukan untuk mengurangi penggunaan energi fosil. Pembangunan listrik pedesaan, termasuk di pulau-pulau terdepan menggunakan sumber energi terbarukan telah menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan di daerah pedesaan.  Salah satu program listrik pedesaan adalah dengan program pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Pelatihan fasilitator program PLTS di 25 pulau terluar, yang diselenggarakan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Ditjen KP3K KKP, GIZ- Endev Indonesia, dan DFW di Jakarta. Foto : Agustinus Wijayanto

Pelatihan fasilitator program PLTS di 25 pulau terluar, yang diselenggarakan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Ditjen KP3K KKP, GIZ- Endev Indonesia, dan DFW di Jakarta. Foto : Agustinus Wijayanto

Ditjen. Energi Baru Terbarukan dan Konsevasi Energi (EBTKE)-Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ditjen. Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K)-Kementerian Kelautan dan Perikanan, GIZ-Energizing Development (Endev) Indonesia, Destructive Fishing Watch/DFW membutuhkan keberadaan fasilitator untuk menfasilitasi program PLTS di pulau-pulau terluar.

Untuk memperkuat kemampuan fasilitator untuk pengembangan PLTS di 25 lokasi pulau-pulau kecil terluar, maka diadakan pelatihan yang didukung oleh GiZ, KKP, DFW, YAPEKA, AE Consult.  Pelatihan ini dihadiri 25 fasilitator dan staf UPT KKP dan staf EBTKE di Jakarta pada 20-25 April 2015 kemarin.

Robert Schultz dari GIZ- Energizing Development (Endev) Indonesia dalam pelatihan tersebut menyampaikan bahwa GIZ melalui Endev mendukung akses energi berkelanjutan di 24 negara termasuk di Indonesia. Dari pengalaman di 24 negara tersebut, Indonesia paling bagus performa programnya. Endev Indonesia telah mendukung pengembangan lebih dari 500 PLTMH, PLTS minigrid selama 4 tahun terakhir.

“Semangat kerjasama yang tinggi memungkinkan pencapaian program yang bagus di Indonesia yang didukung oleh dua kementerian yaitu Kementerian ESDM Ditjen EBTKE dan Kementerian KKP yang tentu saja banyak menghadapi tantangan dalam pelaksanaannya.  Endev juga bekerjasama dengan DFW sebagai pihak ketiga dan juga donor internasional sebagai pihak keempat dalam mendukung energy berkelanjutan di pulau-pulau terluar Indonesia ini”, ungkap Robert.

Pelatihan yang terbagi dalam, kunjungan lapangan, dan pelatihan lanjutan menjadi rangkaian kegiatan yang panjang bagi fasilitator dalam rangka peningkatan kapasitas terkait energi terbarukan dan pemberdayaan masyarakat. “Perlu tiga hal dalam pemberdayaan masyarakat ke depannya yaitu pikiran, tangan, dan hati ketika mengimplementasikan kegiatan di lapangan,” tambah Robert.

Sedangkan Agus Triawan Tri mewakili Dirjen EBTKE-Kementerian ESDM mengatakan bahwa energi telah menjadi kebutuhan dasar, dimana dengan pertumbuhan perekonomian 5-6 % per tahun, konsumsi energi tumbuh 8% per tahun.

Agus mengatakan ketergantungan energi fosil tinggi dengan 90% berasal dari energi tidak terbarukan padahal cadangan terbatas. Sementara sumber energi baru terbarukan belum dioptimalkan. Peningkatan konsumsi energi harus diimbangi oleh suplai energi yang memadai sehingga perlu diversifikasi energi.

Ditjen EBTKE merupakan unit di bawah Kementerian ESDM yang memiliki peran dan fungsi antara lain menambah ketersediaan akses terhadap energi modern untuk daerah terisolir aliran PLN khususnya daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau kecil.

“Pulau-pulau terluar masih banyak yang belum terlistriki oleh PLN sehingga Kementerian ESDM sesuai tupoksinya mengambil langkah untuk mengembangkan PLTS, PLTMH, PLT Hybrid Energi Baru Terbarukan pada wilayah2 yang belum terlistriki oleh PLN seperti kawasan perdesaan, kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar.  Dengan cara bangun infrastruktur energy baru terbarukan,” katanya.

Ditjen EBTKE menjadi penanggungjawab dalam pengembangan PLTS terpusat di pulau terluar yang didukung Kementerian Kelautan dan Perikanan.  Tahun 2014 Ditjen EBTKE  telah membangun PLTS dengan total kapasitas 1,1 Mega Watt Peak (MWP) yang tersebar di 25 lokasi. Pada tahun 2015 direncanakan akan dibangun PLTS sebanyak 11 unit dengan kapasitas 525 KWP.

“PLTS sumber penerangan penduduk setempat, padahal juga dapat dikembangkan untuk usaha ekonomi produktif lainnya.  Kendala masih dihadapi salah satunya terbatasnya SDM dalam operasional dan pemeliharaan PLTS.  Sinergi diperlukan untuk keberlanjutan program yang telah dilaksanakan,” tambah Agus.

Rido M. mewakili Dirjen-KP3K Kementerian Kelautan Perikanan menyampaikan rasa salut atas terpilihnya 25 fasilitator yang dibantu seleksinya oleh DFW dan fasilitator tersebut berasal dari lulusan 12 perguruan tinggi serta 12 fasilitator wanita.  Salut atas kegigihan wanita yang mau terlibat kegiatan ini di lokasi yang sulit untuk mendedikasi pembangunan pulau-pulau kecil terluar.

Rido menjelaskan program diawali kerjasama Dirjen KP3K-KKP dengan Dirjen EBTKE ESDM, dengan menurunkan tim untuk feasible study pada   Desember 2013 dan 2014, kemudian pada Mei 2014 sudah mulai pembangunan PLTS di 25 pulau-pulau terkecil terluar.

“Anggaran yang dikeluarkan pada tahun 2014 sekitar Rp147 miliar. Tahun 2015 pulau-pulau kecil terluar sudah terang. Dan tahun ini akan dikeluarkan anggaran sekitar Rp.73miliar – Rp75 miliar untuk tujuh lokasi. Saat sekarang ini di pulau-pulau kecil juga akan menginisiasi pembangunan BTS 5 titik (Lirat, Liki, Bepondi, Maratua) dan jika berhasil akan dibangun diseluruh pulau-pulau terluar” tambah Rido.

 


Demi Menerangi 25 Pulau Terluar, Pemerintah Bangun 11 PLTS was first posted on May 1, 2015 at 3:43 am.
Viewing all 2588 articles
Browse latest View live