Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2588 articles
Browse latest View live

Hari Nelayan, Diperingati Tapi (Hampir) Dilupakan

$
0
0

Indonesia merayakan hari nelayan yang ke-55 pada Kamis (06/04). Akan tetapi nasib nelayan masih belum mengalami perbaikan signifikan. Padahal, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sektor kemaritiman, termasuk nelayan menjadi prioritas pembangunan yang akan ditingkatkan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tidak melihat ada perubahan berarti dalam kurun waktu lima bulan terakhir sejak Jokowi resmi menjalankan roda pemerintahannya. Yang terjadi, nelayan masih tetap ada dalam kubangan kemiskinan struktural.

Padahal nelayan menjadi salah satu tulang punggung pembangunan sektor maritim nasionnal. “Kami melihat hingga sekarang nasib nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir nasibnya masih sama saja ada di lingkaran kemiskinan struktural,” kata Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim, seusai menggelar aksi peringatan Hari Nelayan Indonesia 2015 di Jakarta.

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Nelayan tradisional Sersang Bedagai mengeluhkan ikan mulai jarang hingga hasil tangkapan minim karena masih beroperasi pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Dia menganalisis, belum berubahnya nasib nelayan di bawah kepemimpinan Jokowi, disebabkan karena belum terpenuhinya lima hal pokok yang menjadi parameter perbaikan nasib nelayan.

Kelima hal pokok itu adalah, anggaran yang dialokasikan untuk bidang kelautan dan perikanan tidak diarahkan untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat pesisir skala kecil lintas profesi tersebut, meluasnya perampasan wilayah pesisir yang menjadi tempat tinggal dan ruang hidup masyarakat, minusnya ruang partisipasi masyarakat nelayan meski di lapangan sudah sangat signifikan kontribusinya, tidak dihubungkannya aktivitas perikanan skala kecil dari hulu ke hilir, dan tiadanya perhatian pemerintah terhadap relasi ABK dengan juragan/pemilik kapal.

Menurut Halim, kelima hal pokok tersebut harus segera dipenuhi oleh pemerintahan Jokowi, karena bisa membawa dampak signifikan untuk kehidupan nelayan. Momen untuk melakukan perbaikan itu, bisa dimulai dari sekarang bersamaan dengan peringatan hari nelayan nasional.

Kesejahteraan nelayan menjadi penting, karena nelayan memegang peranan penting dalam mengelola wilayah perairan nasional. Menurut catatan Badan Informasi Geospasial, dua pertiga wilayah laut Indonesia terdiri dari 13.466 pulau dan mencapai luas laut keseluruhan 5,8 juta km2. Dengan luas lautan sepert itu, potensi perikanan yang ada di dalamnya mencapai 6,5 juta ton.

Perampasan Pesisir

Perampasan pesisir yang meluas oleh sejumlah pihak, mempengaruhi kesejahteraan para nelayan. Kondisi iu ikut memengaruhi psikis para nelayan yang sangat bergantung pada wilayah lautan.

Pusat Data dan Informasi KIARA merilis fakta bahwa 25 kawasan pesisir di Indonesia yang direklamasi secara kumulatif telah menggusur sedikitnya 14.344 nelayan dan sekaligus 18.151 kepala keluarga. Akibatnya para nelayan tersebut harus mencari mata pencaharian yang baru setelah lahan utama untuk mencari nafkah dialihfungsikan menjadi daratan baru.

Ironisnya, dibalik tergusurnya lahan mata pencaharian para nelayan, ada peran pemerintah yang diketahui ikut mendukung program reklamasi tersebut. Di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat misalnya, pemerintah daerah setempat ikut menyokong program reklamasi melalui suntikan dana senilai Rp5 miliar. Kemudian, ada juga proyek serupa di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara yang merupakan proyek lanjutan senilai Rp731.850.000.

Data dalam Kertas Bersama menyebutkan bahwa perampasan wilayah pesisir/wilayah tangkap nelayan juga karena ada alokasi proyek pertambangan dan energi seperti pembangunan PLTU berkapasitas 35.000 megawatt di Batang dan Cilacap, Jawa Tengah.

Sejumlah fakta di atas menegaskan bahwa perampasan wilayah pesisir terus terjadi dari waktu ke waktu dan sulit untuk dibatasi karena ada dukungan secara tidak langsung dari pemerintah. Namun, aksi tersebut harus dihentikan karena akan berdampak buruk pada kehidupan nelayan yang mengandalkan kawasan pesisir sebagai wilayah tangkap mereka.

Tegakkan Nawa Cita

Halim mengatakan untuk bisa mencegah terjadinya aksi perampasan pesisir dan sekaligus memperbaiki kehidupan nelayan, cara yang bisa ditempuh adalah pemerintah segera menegakkan Nawa Cita, yaitu dengan (1) menghentikan seluruh proyek perampasan dan memastikan hak-hak konstitusional nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir terpenuhi terkait dengan pengakuan hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

(2) Pemberantasan praktik IUU Fishing patut dilakukan secaa komprehensif, dimulai dengan merevisi kebijakan yang lemah, memperkuat koordinasi antar lembaga dengan menghilangkan ego sektoral, dan melakukan penuntutan dengan dasar hukum yang kuat.

(3) Mitigasi dampak dari sebuah kebijakan patut menjadi perhatian ekstra dan dijalankan oleh pemerintah untuk menjamin nelayan dan ABK kapal perikanan yang terdampak merasakan hadirnya negara.

(4) Mengakui keberadaan dan peran perempuan nelayan melalui pendataan sebaran, program dan alokasi anggaran khusus, dan memberikan politik pengakuan.

(5) Bersungguh-sungguh memberikan pelayanan peningkatan kapasitas dan pemberitan akses terhadap sumber modal (melalui bank perikanan), sarana produksi, infrastruktur, teknologi dan pasar kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, pelestrari ekosistem pesisir dan petambak garam.

(6) Menyegerakan penyusunan peraturan pemerintah berkenaan dengan partisipasi masyarakat di dalam memerangi praktek IUU Fishing. (7) Mengoreksi penyusunan anggaran kelautan dan perikanan berbasis proyek dan mengevaluasinya secara terbuka bersama dengan masyarakat.

(8) Meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan melakukan harmonisasi kebijakan sektoral lainnya di tingkat nasional, dan (9) menindak tegas pelaku perbudakan di sektor perikanan di Indonesia.

 


Hari Nelayan, Diperingati Tapi (Hampir) Dilupakan was first posted on April 7, 2015 at 11:03 pm.

Walhi Jatim Buat Petisi Tolak Tambang Pasir di Banyuwangi

$
0
0

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengeluarkan Petisi Tolak Ijin Penambangan Pasir Laut oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) di Kawasan Pesisir Banyuwangi. Petisi itu ditujukan kepada Gubernur Jawa Timur Soekarwo, serta Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Petisi yang dibuat sejak 5 hari lalu (03/04/ 2015) di media sosial www.change.org telah ditandatangani oleh lebih dari 3.370 pendukung.

Poster Petisi Walhi Tolak Tambang Pasir di Banyuwangi. Sumber : Walhi

Poster Petisi Walhi Tolak Tambang Pasir di Banyuwangi. Sumber : Walhi

Rere Christanto dari Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim mengatakan, petisi ini dibuat untuk meminta gubernur tidak mengeluarkan ijin pertambangan yang diajukan PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), yang akan menambang pasir di 3 kecamatan di Banyuwangi, yakni Srono, Rogojampi dan Kabat.

“Ijin saat ini belum turun, mereka sedang menunggu untuk mengajukan ijin ke gubernur,  setelah di Kabupaten Banyuwangi tidak bisa mengeluarkan ijin karena kewenangannya di provinsi. Kita minta gubernur menolak permintaan ijin itu,” kata Rere.

PT. TWBI berencana melakukan reklamasi Teluk Benoa dengan menimbun pesisir laut seluas 700 hektar, dengan pasir yang diambil dari wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun usaha pengerukan itu telah ditolak oleh pemerintah daerah dan masyarakat di NTB. Gubernur NTB, M. Zainul Majdi menegaskan bahwa pengerukan pasir akan merusak ekosistem lingkungan di wilayahnya.

Pasca penolakan di NTB, pihak PT. TWBI memilih Banyuwangi sebagai tempat pengerukan pasir untuk reklamasi Benoa. Pantai Muncar yang selama ini dikenal sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia, terancam hancur bila pasir yang ada disana berhasil ditambang untuk reklamasi Teluk Benoa.

“Bagi Banyuwangi sendiri penambangan pasir itu pasti akan merusak seluruh ekosistem pantai dan laut yang ada disana. Jadi masyarakat disana sudah menganggap kalau reklamasi berjalan maka ada banyak hak-hak mayarakat terutama yang di pesisir yang akan hilang. Kalau pasir dibawa ke Benoa, maka itu juga akan menghancurkan struktur ekologi yang ada di Benoa,” terang Rere.

Pengerukan pasir laut di Banyuwangi dikhawatirkan akan mengancam kelestarian kawasan pantai dan laut di wilayah tersebut, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, serta sumber daya hayati yang terkandung didalamnya. Selain ancaman bencana abrasi dan banjir rob, kehancuran ekologi kawasan pantai dan pesisir dipastikan akan menimbulkan dampak yang luas bagi lingkungan seperti hilangnya biota laut, yang menjadi sumber pendapatan masyarakat pesisir.

Menurut data BPS tahun 2014, terdapat 12.714 jiwa yang berprofesi sebagai nelayan di Muncar. Di wilayah Srono, Rogojampi dan Kabat sendiri, setidaknya ada 1.488 warga yang bekerja di sektor perikanan.

“Itu belum termasuk tenaga kerja pada 309 Unit Pengolahan Ikan yang tumbuh di wilayah itu. Di Pelabuhan Muncar terdapat 27 industri penepungan ikan, 13 industri pengalengan ikan, dan 27 unit pembekuan ikan,” tambah Rere.

Pantai Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi yang diincar   sebagai lokasi pertambangan pasir laut. Foto : Petrus Riski

Pantai Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi yang diincar sebagai lokasi pertambangan pasir laut. Foto : Petrus Riski

Ancaman bahaya pertambangan lanjut Rere, dapat dilihat dari contoh nyata bencana ekologi yang terjadi pada sumur pengeboran milik PT. Lapindo Brantas di Porong Sidoarjo. Suatu wilayah harus mengalami bencana besar, hanya karena ketidakmampuan pemerintah untuk membuat tata kelola lingkungan hidup yang terjaga dengan benar.

“Hal-hal seperti ini yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik dan ancaman bencana ekologi dikemudian hari. Itu yang kami tolak di Banyuwangi, agar tidak menjadi pijakan pihak lain untuk membuat yang sama di daerah lain,” tandasnya.

Walhi Jawa Timur akan melakukan gugatan, bila Gubernur Jatim tidak menghiraukan petisi yang dibuat para aktivis lingkungan ini, dengan tetap mengeluarkan ijin penambangan pasir laut di Banyuwangi. Selain mengajukan gugatan, Walhi bersama jaringannya juga akan melakukan aksi untuk menekan pemerintah menolak pemberian ijin penambangan untuk PT. TWBI.

“Kita akan gugat kalau ijin jadi diberikan, kita juga akan terus melakukan aksi penolakan,” imbuh Rere.

Ancaman bencana ekologis akibat aktivitas pertambangan di Jatim menjadi kekhawatiran sendiri bagi Walhi, karena ijin yang diajukan perusahaan pertambangan sudah banyak yang masuk ke pemerintah daerah untuk diproses. Masyarakat diajak untuk menyadari bahwa pembiaran maupun persetujuan aktivitas pertambangan akan membawa dampak yang buruk serta kerugian di pihak masyarakat.

“Pengajuan ijin usaha pertambangan di Jatim cukup massif. Ada 370 lebih ijin usaha pertambangan yang hampir semuanya beririsan dengan ruang hidup rakyat, bahaya yang akan ditimbulkan ini harus diwaspadai masyarakat,” pungkasnya.


Walhi Jatim Buat Petisi Tolak Tambang Pasir di Banyuwangi was first posted on April 8, 2015 at 2:00 am.

Pemerintah Bentuk Tim Khusus Tangani Perbudakan di Benjina

$
0
0

Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membentuk tim khusus menangani kasus perbudakan yang melibatkan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Kepulauan Aru, Maluku. Hal tersebut sebagai hasil rapat terbatas membahas illegal fishing yang dipimpin Presiden dan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Selasa (07/04/2015).

“Semua sepakat, Presiden, Wapres, kita semua sepakat harus sudah saatnya kita menghentikan praktek illegal fishing apalagi Benjina sekarang ini berkaitan dengan isu perbudakan. Sudah menjadi bahan perbincangan internasional,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi seusai rapat terbatas di kantor Presiden, Jakarta, Selasa (07/04/2015) seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet.

Satgas Khusus Penegakan Hukum beranggotakan dari kejaksaan, kepolisian, panglima dan semua kementerian dan lembaga untuk saling membantu menyelesaikan kasus tersebut.“Nanti kejaksaan, kepolisian, bantu memberikan orang-orangnya. Jadi mirip Satgas yang ada tapi lebih ke penegakan hukumnya,” papar Susi.

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

“Setiap kapal ilegal melakukan kejahatan di Indonesia harus kita tindak,  tidak ada target waktu, orang juga nyurinya datang lagi datang lagi. Yang pasti dengan mereka ngumpet di negara tetangga kita, mereka akan lebih mudah masuk ke negara kita. Pasti mereka akan tetap nyuri di perairan kita, jadi tadi Pak Presiden menegaskan meminta Panglima, Kapolri, Kejaksaan untuk solid mendukung penenggelaman kapal adalah diskresi sebuah negara yang tidak bisa dipertanyakan, tidak harus dipikirkan,” jelas Susi.

Adanya Perbudakan

Dugaan pelanggaran usaha perikanan yang melibatkan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, terus berkembang luas. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapatkan fakta terbaru bahwa pelanggaran yang terjadi sudah meluas ke berbagai sektor.

Menurut Ketua Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa, pelanggaran yang terjadi tidak hanya mengarah pada ilegal fishing saja, tapi juga praktek suap, kolusi dan perbudakan. Fakta tersebut didapat setelah tim pencari fakta KKP terjun langsung ke Benjina.

“Update terkini, disana ada dugaan praktek perbudakan. Kita saat ini terus melakukan inventarisasi masalah dan mendata berapa jumlah ABK (anak buah kapal, Red) yang ada disana,” demikian dijelaskan Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota di Kantor KKP, Jakarta pada Selasa (07/04/2015).

Dugaan praktek perbudakan terjadi, jelas Ota, setelah tim melakukan pengumpulan data melalui wawancara kepada para ABK secara langsung di Benjina. Hasilnya, para ABK dengan caranya masing-masing mengungkapkan tindakan tak terpuji dalam praktek ketenagakerjaan yang dilakukan PT PBR.

Karenanya, setelah mendapatkan keterangan mengejutkan tersebut, KKP mengambil keputusan untuk memindahkan ABK ke Tual. Namun, saat hendak dipindahkan, tidak semua ABK mau dan hanya 322 orang saja yang berhasil dibawa ke Tual dan ditempatkan di tempat yang aman dan nyaman. Dari seluruh ABK yang dipindahkan tersebut, terdapat ABK dari Myanmar, Kamboja dan Thailand.

“Kita memindahkan mereka, karena tidak ada jaminan begitu tim kembali ke Jakarta, ABK mendapat perlakuan yang wajar. Kita sebisa mungkin memberikan perlindungan dini kepada para ABK,” ungkap Ota.

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

Dari keterangan para ABK, diketahui kalau dalam keseharian bekerja mereka mendapatkan perlakuan berupa penganiayaan dan praktek kerja paksa. Fakta tersebut, kata Ota, sangat memprihatinkan karena praktek kerja paksa merupakan kejahatan kemanusian dan termasuk dalam pelanggara hak azasi manusia (HAM) berat.

Selain itu, tim juga menemukan dugaan adanya penggunaan ABK asing tidak sesuai prosedur dan salah satunya melalui praktek pemalsuan dokumen ABK. Karenanya, sempat muncul perbedaan jumlah data ABK di dokumen dengan di lapangan langsung.

Sesuai data, jumlah ABK asing seluruhnya berjumlah 1.185 orang dan seluruhnya berkewarganegaraan Thailand. Namun, setelah tim Satgas KKP datang langsung ke Benjina, para ABK diketahui tidak hanya berasal dari Thailand saja dan bahkan ada juga dari Indonesia.

Fakta tersebut diperkuat dari keterangan Anggota Satgas IUU Fishing KKP, Harimuddin. Menurutnya, data yang ada di dokumen berbeda jauh dengan di lapangan. Meski masih belum menemukan data pasti, namun dipastikan jumlahnya menyusut dari jumlah di dokumen 1.185 orang.”Selain itu, di dokumen disebutkan itu semua berasal dari Thailand. Padahal, ada juga yang berasal dari Kamboja dan Myanmar,” ungkap dia.

Selain itu, tim juga mendapatkan fakta bahwa di Benjina ada 77 ABK yang meninggal dunia dan dimakamkan disana. Namun,  Harimuddin tidak berani memastikan apa penyebab kematian para ABK tersebut.”Penyebabnya beragam. Ada yang karena sakit, kecelakaan di laut dan ada juga yang ditemukan sudah meninggal,” jelas dia.

Aktivitas Berhenti Total

Saat ini, KKP memastikan bahwa aktivitas PT PBR sudah berhenti total dan tidak ada aktivitas pelayaran sama sekali setelah dugaan indikasi perbudakan dan praktek suap mengemuka. Namun, KKP akan terus memastikan kasus tersebut ditangani dengan tuntas melalui investigasi menyeluruh.

“Satgas sudah mulai melakukan penelusuran data dan mengkrosceknya supaya didapat validitasnya. Namun, setelah ditelusuri, praktek yang terjadi di Benjina diduga kuat meluas ke sektor lainnya. Tidak hanya perbudakan dan suap saja,” ujar Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja di Kantor KKP pada kesempatan yang sama.

Pembentukan Tim Investigasi

Untuk mengusut kasus dugaan praktek perbudakan dalam usaha perikanan di Benjina, KKP membentuk tim khusus yang bertugas untuk menginvestigasi kasus tersebut. Menurut Inspektur Jenderal KKP Anda Fauzi Miraza, tim tersebut akan langsung diterjunkan ke Tual untuk mencari tahu fakta dan data terbaru lebih lengkap dan akurat.

“Paling lambat Rabu (08/04/2015) sudah ada tim (yang berangkat) ke Tual untuk menginvestigasi. Hasilnya nanti akan dikonfirmasi dengan pihak ketiga untuk dicari validitas datanya,” papar Anda di Kantor KKP.

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

Anda mengatakan, karena kasus tersebut tidak hanya sebatas pada pelanggaran izin usaha perikanan saja, namun juga meluas pada praktek dugaan suap, kolusi dan perbudakan, maka pihaknya bekerja sama dengan pihak terkait untuk ikut menginvestigasi. KKP sudah mengirimkan surat ke Kepolisian RI, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial dan Komnas HAM.

Terkait keterlibatan pegawai KKP yang diduga ikut menerima suap, Anda menegaskan pihaknya akan menindak tegas oknum tersebut. Namun, karena belum ada data dan fakta mutakhir, pihaknya belum memastikana apakah keterlibatan mereka akan dibawa ke jalur hukum pidana atau hanya terbatas di penegakan disiplin kepegawaian di lingkungan kerja KKP.

“Untuk pegawai yang menerima aliran dana, akan dicek lebih jauh lagi keterlibatannya seperti apa. Nantinya, kalau memang oknum tersebut sudah dihukum, maka dia terancam bisa kehilangan jabatan dan status PNS-nya,” tandas Anda.

Sebelumnya, Direktur PT PBR Hermanwir Martino mengungkapkan telah menyuap semua petugas pengawas di Benjina dengan nilai mencapai Rp37 juta. Uang tersebut digunakan untuk memuluskan izin berlayar bagi perusahaan.

 

 


Pemerintah Bentuk Tim Khusus Tangani Perbudakan di Benjina was first posted on April 8, 2015 at 2:29 pm.

Di Indonesia, Harga BBM Masih Tak Cerminkan Kualitas

$
0
0

Sejak Presiden Joko Widodo menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pengguna kendaraan bermotor banyak yang mengalihkan konsumsi BBM ke Pertamax, Pertamax plus, atau BBM impor yang banyak dijual di Jakarta dan kota besar lain.

Namun, pada saat yang sama, masih ada juga yang bertahan dengan tetap menggunakan BBM bersubsidi, salah satunya jenis premium. Harga yang berlaku untuk BBM yang sudah tidak bersubsidi tersebut sepenuhnya mengikuti harga pasar minyak dunia.

Karenanya, walau premium termasuk BBM dengan harga termurah yang dijual Pertamina, tetapi harganya bergerak dinamis setiap hari mengikuti harga minyak dunia. Pengguna BBM premium adalah mereka yang sebelumnya sudah menjadi pengguna premium bersubsidi.

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar

Namun, walau termurah untuk harga BBM produksi Pertamina, kualitas premium masih jauh dari standar yang berlaku di dunia internasional. Saat ini, dengan harga Rp7.400 per liter per Rabu (08/04/2015), kualitas premium masih belum memenuhi standar Euro 1 sesuai World Wide Fuels Charter (WWFC).

Seperti data yang dirilis Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), semakin tinggi level kategori euro, maka semakin bagus kualitasnya. Ada lima tingkatan kualitas BBM. Di Australia, salah satu negara maju yang geografisnya berdekatan dengan Indonesia, BBM yang dijual untuk publik seharga Rp 9.400 per liter, namun kualitasnya sangat baik karena masuk kategori Euro 4.

“Kenapa harga yang berlaku sekarang tidak mencerminkan dari kualitas yang sesungguhnya? Harusnya, Indonesia sudah mengikuti jejak negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam yang sudah menerapkan standar kualitas produksi BBM untuk konsumsi warganya,” kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safruddin, di kantornya di Jakarta pada Rabu (08/04/2015).

Melihat kenyataan itu, Ahmad yang lebih akrab dipanggil Puput mengatakan pemerintah Indonesia sudah seharusnya cepat tanggap karena saat ini Indonesia termasuk negara yang lambat dalam memberlakukan standar kualitas BBM. Bandingkan dengan Thailand yang sudah menerapkan standar kualitas BBM sejak 2012 dan Malaysia memberlakukannya sejak 2014.

Puput menjelaskan penetapan harga BBM bersubsidi di Indonesia selama ini mengacu pada Mild Oil Plats Singapore (MOPS), yaitu penetapan harga dengan mengacu pada harga minyak mentah dunia yang ditambah dengan alpha sebagai profit margin bagi Pertamina. Detilnya, per Maret 2015, harga minyak mentah dunia di level USD 60-70/BBL, maka harga menurut MOPS adalah USD60 sen per liter. Dengan rincian, harga tersebut mencakup bensin kualitas RON 95, kadar benzene maksimal 2,5%, kadar aromatic maksimal 40%, kadar olefin maksimal 20%, dan kadar belerang maksimal 50 ppm. Ringkasnya, BBM dengan acuan MOPS tersebut kualitasnya di atas Pertamax Plus saat ini.

“Namun kenyataannya, acuan tersebut juga tidak sepenuhnya diikuti dalam penerapan harga premium bersubsidi. Karena, premium bersubsidi kualitasnya hanya RON 88, kadar benzene 5%, kadar aromatic 50% dan kadar olein 35%,” papar Puput.

10 Tahun Masih Tetap Sama

Walau saat ini Indonesia dinilai sebagai negara yang lambat dalam mengikuti irama kebijakan BBM berkualitas, namun kenyataannya Indonesia pernah dimasukkan dalam kategori negara yang baik penerapan BBM berkualitas. Pada 1994, Indonesia masih mengungguli negara lain di Asia Tenggara dan bahkan di Afrika untuk kualitas penggunaan BBM. Namun, 10 tahun kemudian, Indonesia sudah disalip oleh negara-negara tersebut karena BBM yang digunakan negara-negara tersebut sudah sangat baik dan mendekati kualitas sempurna.

“Tidak ada perbaikan sama sekali. Yang ada, bahkan terus menurun. Kadar belerang yang ada dalam BBM juga masih tinggi dan itu seharusnya segera diturunkan,” jelasnya. Saat ini, kadar belerang yang ada dalam kandungan BBM di Indonesia masih di kisaran 500-2000 ppm atau jauh dari batas maksimal standar WWFC 50 ppm.

Penerapan Kebijakan Economic Fuels

Untuk bisa mengejar ketertinggalan dari negara lain, Indonesia bisa menerapkan kebijakan Economic Fuels yang sepenuhnya dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Dalam kebijakan tersebut, Indonesia dituntut untuk bisa menerapkan Vehicle Emission Standard dengan level Euro 4 atau lebih tinggi, dan penerapan Fuel Economic Standard.

“Jika Indonesia tidak berani menerapkan kebijakan tersebut, maka pada 2019 konsumsi BBM di Indonesia akan meningkat tajam. Untuk bensin diprediksi bisa mencapai 33 juta kilo liter dan solar mencapai 19 juta kilo liter,” tutur Puput.

Namun, dia menegaskan, jika sebaliknya Indonesia berani menerapkan kebijakan Economic Fuels, maka akan ada manfaat yang didapat, yaitu penurunan emisi local air pollution dan global green house gas. Selain manfaat tersebut, Indonesia juga akan mendapatkan keuntungan lain dari penerapan kebijakan Economic Fuels melalui Vehicle Emission Standard, yaitu adanya penghematan anggaran hingga mencapai Rp3.973 triliun yang diprediksi bisa tercapai pada 2030. Sementara, untuk penerapan 10% efisiensi BBM, Indonesia akan mendapatkan manfaat ekonomi hingga Rp4.400 triliun pada 2030.

“Tentunya dengan penerapan kebijakan ini, daya saing industri otomotif di pasar Asia Tenggara akan meningkat tajam,” tandas Puput.

Dengan penerapan kebijakan Economic Fuels, pemerintah bisa memaksa industri otomotif untuk mengikuti aturan yang ada, sehingga nantinya setiap produk otomotif yang ada akan sesuai dengan standar kualitas BBM yang berlaku.”Ini akan menguntungkan masyarakat sebagai pengguna produk otomotif dan juga menguntungkan lingkungan. Di samping itu, secara ekonomi juga Indonesia mendapatkan keuntungan,” ungkapnya.


Di Indonesia, Harga BBM Masih Tak Cerminkan Kualitas was first posted on April 9, 2015 at 2:36 am.

EkoHidraulik, Metode Penelitian Kesehatan Air Sungai Yang Komprehensif

$
0
0

 

Kerusakan perairan sungai di Indonesia terjadi karena tekanan penggunaan yang berlebih. Sementara pengelolaan sungai dilakukan secara parsial dan sektoral. Lemahnya integrasi pengelolaan sungai serta fragmentasi koordinasi antar lembaga dapat mengancam kelestarian ekosistem sungai. Kepunahan ikan sidat di Kali Progo, kematian ribuan ikan di Kali Surabaya pada November 2013, di Krueng Teunom pada Agustus 2014, dan di Sungai Pangkajane pada November 2014 merupakan contoh dampak pengelolaan sungai yang masih parsial tersebut.

“Ini terkadang masih diperparah dengan adanya peraturan di tingkat kebijakan dan pelaksanaan  teknis yang tidak selaras,” papar Sri Puji Saraswati saat ujian terbuka program doktor Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Senin (30/03/2015) dalam rilis yang diterima Mongabay.

Kondisi salah satu sungai di Yogyakarta. Foto : Tommy Apriando

Kondisi Sungai Progo di Yogyakarta. Foto : Tommy Apriando

Dalam disertasinya berjudul “Pengembangan Metode Penetapan Status Kesehatan Perairan Sungai di Daerah Tropis Berbasis Eko-Hidraulik”, Sri menjelaskan prinsip konservasi oleh para ahli lingkungan cenderung mengarah pada preservasi berlebih. Akibatnya, sungai tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan lain. Sementara dari kaca mata pemanfaatan air, pengelola sungai cenderung menggolongkan sungai berdasar peruntukannya, seperti untuk air baku air minum, air irigasi, dan air industri.

Sri menilai, saat ini lebih komprehensif karena pendekatannya dengan eko-hidraulika yang berprinsip pada vitalisme lingkungan dengan menekankan harmoni, antara pemanfaatan untuk kemaslahatan manusia maupun menjaga lingkungan lestari.

Lebih lanjut, menurut Sri, untuk mendukung pendekatan ekohidraulik, kesehatan sungai harus dipantau secara rutin. Pemantauan perairan sungai umumnya dilakukan dengan mengukur parameter kimia, fisika, dan bakteriologi air sungai. Selain itu, diperlukan Indeks Kualitas Air (IKA) yang komprehensif untuk menggambarkan kesehatan perairan sungai agar pemantauan secara baku dapat dilakukan.

Melalui penelitian selama lebih dari lima tahun di perairan Sungai Gajah Wong, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Sri berhasil mengembangkan IKAs (indeks kualitas air sungai). Indeks itu didasarkan pada sejumlah parameter kualitas air yang relatif sedikit menjadi indeks tunggal kesehatan perairan sungai.

“Dari 34 kualitas air yang dipantau dalam program air bersih, dipilih 18 yang paling lengkap dan sahih datanya,” kata Sri.

Selain IKAs, peneliti juga mengembangkan indeks biomonitoring ex-situ untuk mengukur tingkat toksisitas air sungai. Analisa ini menggunakan teknik AOD (aquatic organism environmental diagnostic) yang telah diadaptasi untuk diterapkan di Indonesia. Dua metode ini saling melengkapi dalam menentukan kesehatan sungai.

“Melalui IKAs yang komprehensif ini, pengendalian air di sumber polusi dan pengelolaan kualitas air sungai bagi kesehatan biota air dapat dilakukan lebih baik,” kata Sri.

Bersihkan Air Sungai Lewat” Mapak Toya”

Di Bantul, DI Yogyakarta ribuan petani asal Timbulharjo punya cara sendiri menjaga kelestarian sungai. Mereka melakukan kirab budaya ‘Mapak Toya’. Mereka mengenakan busana tradisional dan melakukan pawai seraya membawa 17 gunungan hasil bumi sebagai simbol persembahan hasil panen yang mereka dapatkan pada tahun ini menuju bendungan irigasi kemiri.

“Kegiatan kirab kali ini melibatkan 16 dusun diantaranya Dusun Mriyan, Kowen, Bibis, Gatak, Ngasem, Kepek, Ngentak, Dagan, dan Tembi,” kata Sunardi Wiro selaku ketua Gerakan Irigasi Bersih, pada Mongabay.

Ia menambahkan, kirab mapak toya atau menjemput air sebagai bagian dari gerakan irigasi bersih yang diprakarsai oleh Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Namun demikian, kirab budaya ini sesungguhnya untuk pertama kali dilaksanakan di Desa Timbulharjo melibatkan 2000-an petani dari 16 dusun.

“Kita akan melakukan kirab seperti bergiliran di seluruh desa di Bantul untuk mensukseskan gerakan irigasi bersih ini,” katanya.

Sunardi menambahkan, tujuan kirab mapak toyo ini untuk menyadarkan masyarakat tentangnya pentingnya budaya membersihkan irigasi dari sampah dengan tidak membuang sampah sembarangan ke sungai karena air yang ada di kali ini juga diperuntukan untuk pertanian.

Sementara itu, Kepala Desa Timbulharjo Iskandar, mengatakan ada sekitar 500-an hektar sawah yang ada di Desa Timbulharjo. Saat ini produksinya padi mencapai 7,5 ton per hektar. Oleh karena itu, lewat gerakan irigasi bersih ini diharapkan produksi padi bisa terus meningkat.

Peneliti Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Dede Sulaeman, mengatakan pihaknya memang menggalakkan gerakan irigasi bersih sebagai bentuk ajakan untuk membersihkan sampah di saluran irigasi. Soalnya, rata-rata sampah yang ada di Indonesia, sekitar 10 persennya berada di badan sungai. “Sisanya dibakar dan dibuang ke tempat pembuangan sampah,” katanya.

Dede menambahkan, pemerintah diketahui hanya mampu menangani sekitar 30-40 persen sampah secara keseluruhan. Sedangkan di daerah Bantul, kata Dede, sekitar 4-5 persen sampah yang bisa ditangani oleh pemerintah. Selebihnya sampah berada di badan sungai sehingga menyumbat saluran irigasi.

“FTP UGM mendorong masyarakat untuk bisa menyelesaikan masalah sendiri melalui gerakan irigasi bersih,” katanya.

Ia menambahkan, apabila sampah di badan sungai dan di saluran irigasi ini tidak dibersihkan justru sangat membahayakan karena sampah akan menupuk di lahan sawah pertanian. Bahkan sampah-sampah seperti kantong plastik yang berada di areal persawahan bisa menyebabkan lahan menjadi kurang subur serta mengandung bahan non organik dan itu bahan yang tidak diperlukan oleh tanah.


EkoHidraulik, Metode Penelitian Kesehatan Air Sungai Yang Komprehensif was first posted on April 10, 2015 at 4:02 am.

Gubernur Jatim Tolak Ijin Penambangan Pasir Banyuwangi

$
0
0

Gubernur Jawa Timur Soekarwo menegaskan tidak akan memberikan ijin usaha pengerukan pasir laut di Banyuwangi, bila itu akan berdampak pada kerusakan ekologi dan terganggunya kelestarian lingkungan.

Soekarwo mengaku tidak sependapat dengan adanya penambangan pasir laut di Banyuwangi, yang akan digunakan untuk mereklamasi Teluk Benoa di Bali.

“Prinsipnya saya tidak sependapat dengan bahan pasir untuk menjaga pantai itu, terus dikeruk dan dibawa ke Benoa. Itu prinsip dasarnya tidak pas. Jadi tebing pantai yang jaga ya pasir itu,” kata Soekarwo di Surabaya, pada Kamis (09/04/2015).

Pantai Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi yang diincar   sebagai lokasi pertambangan pasir laut. Foto : Petrus Riski

Pantai Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi yang diincar sebagai lokasi pertambangan pasir laut. Foto : Petrus Riski

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jatim kata Soekarwo, saat ini sedang melakukan pengecekan ke lokasi yang diincar PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) selaku perusahaan yang akan menambang pasir laut di Banyuwangi.

“Masih dicek bu Dewi Putriatni (Kepala Dinas ESDM Jatim), (hari ini) masih kesana untuk melihat apakah lokasi itu termasuk dalam kawasan ijin usaha penambangan,” tambah Soekarwo.

Sejauh ini Pemprov Jatim belum menerima pengajuan ijin usaha penambangan pasir dari PT. TWBI, selaku pengembang yang akan mereklamasi Teluk Benoa di Bali. PT. TWBI telah melakukan survey lokasi pada seminggu yang lalu, dan menjajaki pengajuan ijin ke Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Soekarwo menegaskan penambangan pasir belum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), sehingga penambangan yang telah lama harus dihentikan dan yang baru tidak diperbolehkan.

“Ini kan belum ada PP-nya, meskipun belum ada PP-nya kami akan membuat surat bahwa itu jangan dilakukan. Prinsip dasarnya penambangan pasir di pinggir pantai itu akan merusak lingkungan,” lanjut Soekarwo menanggapi pula Petisi yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur.

Sebelumnya belasan aktivis lingkungan di Jawa Timur menggelar aksi penolakan terhadap rencana penambangan pasir laut di Banyuwangi, di depan gedung negara Grahadi, Surabaya, pada Rabu (8/4). Aksi itu untuk menekan Gubernur Jawa Timur agar tidak mengeluarkan ijin penambangan pasir laut oleh PT. TWBI.

Aktivis lingkungan hidup Jawa Timur aksi di depan gedung  negara Grahadi di Surabaya serukan penolakan penambangan pasir laut  Banyuwangi untuk reklamasi Teluk Benoa. Foto : Petrus Riski

Aktivis lingkungan hidup Jawa Timur aksi di depan gedung negara Grahadi di Surabaya serukan penolakan penambangan pasir laut Banyuwangi untuk reklamasi Teluk Benoa. Foto : Petrus Riski

Rere Christanto dari Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim mengatakan, penambangan pasir di pesisir 3 Kecamatan di Banyuwangi yakni Srono, Rogojampi dan Kabat, diyakini akan berakibat pada rusaknya lingkungan hidup di Banyuwangi. Selain itu kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut akan berpengaruh terhadap perekonomian nelayan yang sangat bergantung pada usaha mencari ikan.

“Bagi Banyuwangi sendiri penambangan pasir itu pasti akan merusak seluruh ekosistem pantai dan lautan yang ada di sana, padahal kita tahu bahwa wilayah yang akan ditambang ini pasirnya ada di dekat Muncar, yang selama ini dikenal sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia,” terang Rere.

Selain menolak penambangan pasir laut di Banyuwangi, Walhi Jawa Timur juga menolak reklamasi Teluk Benoa yang dapat dipastikan akan merusak ekologi di kawasan Benoa, Bali.

“Kalau kemudian pasir ini dibawa ke Benoa dan dipakai untuk menguruk Teluk Benoa, maka itu juga akan menghancurkan struktur ekologi yang ada disana,” imbuh Rere.

Nelayan Banyuwangi juga meresahkan rencana penambangan pasir laut di Banyuwangi, yang akan memangkas wilayah tangkapan ikan nelayan tradisional. Misbachul Munir dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jatim mengatakan, ribuan nelayan dipastikan akan kehilangan mata pencaharian dari menangkap ikan, bila penambangan pasir laut mendapat ijin dari pemerintah,

“Sudah jelas pengurukan pasir di laut tentunya akan merusak lingkungan hidup atau merusak biota laut, dan menghacurkan ekosistem di daerah area tangkapan ikan. Nah ini otomatis selain terjadi abrasi maka yang sangat dirugikan adalah masyarakat pesisir 3 kecamatan tersebut dan sekitarnya, karena potensi di Banyuwangi itu di tingkat perikanan itu cukup tinggi. Disana ada Muncar yang masih mengandalkan nelayan-nelayan yang setiap harinya tangkapannya melebihi 100 ton setiap hari,” kata Misbachul.

Munir mengungkapkan, aktivitas penambangan pasir laut merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang siapa pun orang atau perusahaan melakukan pengerukan pasir di perairan pesisir.

“Disenagaja atau tidak, pengerukan pasir laut itu melanggar Undang-undang, selain itu dapat mengakibatkan abrasi dan bencana lingkungan lainnya,” tegasnya.

Selama ini di Jawa Timur memiliki Peraturan daerah (Perda) nomor 6 tahun 2012, yang mengatur mengenai rencana kawasan zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, yang memuat kesempatan dilakukannya reklamsi dengan dalih untuk kepentingan umum.

“Di Perda itu tidak pernah mengakui ruang hidup nelayan, daerah tangkapan nelayan tidak ada, yang paling dibuka lebar adalah terkait rencana reklamasi-reklamasi di seluruh Jawa Timur,” tutur Munir.

Fitra Jaya Purnama selaku warga Surabaya yang memiliki kampung halaman di pesisir Banyuwangi juga menyerukan penolakan terhadap rencana penambangan pasir laut banyuwangi.  Fitra mendesak pemerintah menolak atau meniadakan ijin usaha penambangan pasir, yang dapat mengancam kawasan pesisir lainnya di Jawa Timur.

Walhi Jawa Timur lanjut Rere, akan mengajukan gugatan bila akhirnya pemerintah meloloskan ijin usaha penambangan yang diajukan PT. TWBI.

“Kami akan melakukan gugatan terkait pengeluaran ijin ini bila ijin akhirnya dikeluarkan, karena kami memandang bahwa wilayah yang sedang diincar untuk dilakukan penambangan itu menjadi wilayah penting untuk keselamatan ruang hidup nelayang yang ada di sana,” pungkas Rere.


Gubernur Jatim Tolak Ijin Penambangan Pasir Banyuwangi was first posted on April 10, 2015 at 4:22 am.

Gubernur Jateng Harus Cabut SK Izin Pembangunan Pabrik Semen di Rembang

$
0
0

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo didesak untuk segera mencabut Surat Keputusan Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Desakan itu menjadi tindak lanjut sikap dari Organisasi Masyarakat Sipil yang menolak rencana pembangunan pabrik dan penambangan kapur oleh PT Semen Gresik atau sekarang menjadi PT Semen Indonesia di pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Penolakan dari gabungan organisasi sosial tersebut, karena rencana pembangunan diprediksi akan merusak ekosistem di sekitar pegunungan Kendeng Utara yang selama ini diketahui ada kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Karenanya, selama ini warga sekitar sangat bergantung pada pegunungan Kendeng Utara karena sudah menjadi sumber penghidupan.

Dosen Manajemen Bencana Universitas “UPN” Yogyakarta Eko Teguh Paripurno, berpendapat bahwa izin pembangunan dan penambangan yang dikeluarkan Gubernur Jateng dinilai sangat bertentangan dengan UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air jo Keppres No.26/2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah.

“Ini yang salah dalam konsep pembangunan di Indonesia. Harusnya, pembangunan itu akan mengurangi risiko bencana, tapi sebaliknya disini pembangunan akan memicu terjadinya bencana,” kata Eko saat menghadiri briefing media di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (09/04/2015).

Kendaraan berat bermuatan adukan semen hilir mudik melewati tenda perjuangan warga warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan  Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang , Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando.

Kendaraan berat bermuatan adukan semen hilir mudik melewati tenda perjuangan warga warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang , Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando.

Menurut Eko, risiko bencana yang muncul dari sebuah pembangunan bisa terjadi karena perusahaan atau investor yang menggulirkan pembangunan mengabaikan semua aspek lingkungan yang sudah ada. Walaupun, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sudah dilakukan oleh mereka.

“Yang terjadi kan Amdal dalam proyek di Rembang ini dibuat dengan terburu-buru. Ini yang mengkhawatirkan. Walau ada Amdal, tidak menjamin ekosistem lingkungan di Pegunungan Kendeng bisa terjaga,” ujarnya.

Karena tidak ada jaminan pula, Eko mengungkapkan, keberadaan CAT Watuputih yang seharusnya dilindungi, justru menjadi terancam. Kondisi itu yang sangat ditakutkan oleh masyarakat setempat karena selama ini masyarakat sudah bergantung pada pegunungan Kendeng sebagai sumber kehidupan.

Selain untuk bertani, kata Eko, warga memanfaatkan CAT Watuputih untuk kebutuhan air bersih. Karenanya, sangat berbahaya jika pembangunan pabrik dan penambangan batu kapur yang dilakukan PT Semen Indonesia menimbulkan kerusakan ekosistem.”Yang terjadi, produksi air di CAT Watuputih akan berkurang dan itu berdampak besar pada sistem kehidupan yang adai kawasan tersebut dan sekitarnya,” tandas dia.

Di kawasan pegunungan Kendeng sendiri, Eko menuturkan, terdapat 49 gua, 4 sungai bawah air dan 109 mata air. Semuanya sangat berpengaruh untuk lingkungan sekitar dan masing-masing akan saling memengaruhi dan sangat bergantung satu sama lain.

“Meski demikian, hingga saat ini belum diketahui berapa hitungan pasti dari kerugian material maupun non material yang diakibatkan dari pembangunan ini. Yang jelas, kita harus sama-sama berjuang untuk membatalkan rencana pembangunan tersebut,” jelas Eko.

Pulau Jawa Menuju Kolaps

Rencana pembangunan pabrik dan penambangan batu kapur oleh PT Semen Indonesia menggambarkan bagaimana eksploitasi Pulau Jawa untuk kepentingan industri masih saja terus dilakukan. Walaupun, pada kenyataannya Pulau Jawa masa kini sudah tidak sanggup lagi untuk dieksploitasi.

Dalam pandangan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, jika pembangunan masih terus dilakukan, maka risiko kerusakan alam akan cepat terjadi. Tanpa eksploitasi saja, kerusakan alam saat ini sudah berlangsung lama terjadi.

“Walhi Nasional sudah melakukan riset sejak 2006 dan sudah menuju kesimpulan bahwa Pulau Jawa saat ini menuju kolaps. Harus ada perhatian dari Pemerintah dan tindakan nyata untuk menyelamatkannya,” kata Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kajian dan Pengembangan WALHI Nasional pada kesempatan yang sama.

Khalisah menjelaskan, indikator kuat bahwa Pulau Jawa sudah tidak sanggup menanggung beban eksploitasi pembangunan, adalah karena bencana alam dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Bahkan, dari hasil riset yang dilakukan pada 2013, bencana alam yang terjadi di Indonesia sudah mencapai 1.392 kali atau meningkat  239 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Kondisi itu, kata Khalisah, patut untuk direnungi bersama karena akan berdampak signifikan untuk kehidupan selanjutnya. Bukan tidak mungkin, di masa mendatang generasi selanjutnya tak akan bisa lagi menikmati kenyamanan lingkungan hidup khas negara tropis di Indonesia.

“Pembangunan apapun saat ini harus dikaji ulang dan kalaupun dilakukan harus dilakukan dengan mempertimbangkan risiko bencana. Presiden Jokowi juga harus memberikan jaminan tersebut karena di bawah kepemimpinannya, Indonesia akan secara masif menggelar berbagai pembangunan fisik,” tutur Khalisah.

Warga Sekitar Tetap Menolak

Joko Priyanto, salah satu warga yang tinggal di kawasan sekitar pegunungan Kendeng mengaku sudah tak mau lagi berkompromi dengan investor maupun pemerintah terkait rencana pembanguunan pabrik dan penambangan batu kapur oleh PT Semen Indonesia. Menurutnya, pembangunan tersebut akan merugikan dia dan warga di sana yang sudah sangat bergantung dan menjadikan pegunungan Kendeng sebagai sumber penghidupan.

Aksi seni kemerdekaan perempuan warga Rembang menolak keberadaan pabrik Semen Indonesia. Foto : Tommy Apriando

Aksi seni kemerdekaan perempuan warga Rembang menolak keberadaan pabrik Semen Indonesia. Foto : Tommy Apriando

“Walau janjinya kami akan disejahterakan, namun bagi kami tetap tidak bisa dimengerti karena konsep sejahtera yang dimaksud mereka dan kami itu tidak sama. Bagi mereka, kami akan sejahtera jika pabrik dibangun, sementara bagi kami sebaliknya karena kami sudah merasa nyaman dengan mata pencaharian bertani,”ungkap Joko.

Meski sebagian besar berprofesi sebagai petani, namun Joko memastikan, warga di sana sudah merasa bahagia dan sejahtera, baik dari material maupun non material. Dia mencontohkan, produksi pertanian yang dihasilkan dari kawasan sekitar pegunungan Kendeng sudah dirasakan manfaatnya karena bisa menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) untuk Kabupaten Rembang.

“Dari Desa Gundem saja, setiap tahunnya PAD yang disumbangkan untuk kabupaten mencapai Rp2 miliar. Itu bagi kami sudah lebih dari cukup menggambarkan bahwa pertanian memang mata pencaharian warga yang mensejahterakan,” tandas dia.

Rekomendasi Komunitas Bersama

Selain mendesak Gubernur Jateng untuk mencabut SK penambangan, komunitas bersama yang terdiri dari gabungan beberapa organisasi itu juga merekomendasikan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengawasi langsung PT Semen Indonesia. Karena, Pemprov Jateng dan Pemkab Rembang terbukti sudah tidak bisa menjalankan amanat untuk menjaga ekosistem.

Kemudian, Mahkamah Agung RI juga harus mengawasi kinerja majelis hakim yang sedang menangani perkara laporan masyarakat terkait pembangunan di Kendeng dan saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Niaga (PTUN) Semarang. Dan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beserta Kepolisian RI dan TNI didesak untuk ikut terlibat dalam pengawasan renana pembangunan tersebut.


Gubernur Jateng Harus Cabut SK Izin Pembangunan Pabrik Semen di Rembang was first posted on April 11, 2015 at 2:00 am.

Perdagangan dan Konsumsi Daging Anjing Ancam Indonesia Gagal Bebas Rabies 2020

$
0
0

Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Animal Friends Jogja (AFJ) meluncurkan laporan investigasi mereka pada Maret 2015, berjudul “Pedagangan Anjing Untuk Konsumsi di Indonesia dan Resiko Penyebaran Rabies.” Laporan berjumlah 23 halaman menyebutkan perdagangan daging anjing untuk konsumsi  bukan hal wajar, karena ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties / OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC), anjing tidak termasuk hewan potong untuk dikonsumsi manusia. Anjing sebagai makhluk sosial, hewan kesayangan atau pendamping manusia, apabila dikonsumsi manusia, menurut OIE dan CAC dianggap melanggar prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare).

“Jika anjing tidak terdaftar sebagai ‘hewan potong untuk dikonsumsi manusia’, sudah jelas bahwa tempat-tempat penjagalan anjing beroperasi secara Ilegal,” kata Anggelina Pane kepada Mongabay, saat aksi  ”Global Day of Action: International March to End Dog & Cat Meat Trade” di Nol Kilometer, Yogyakarta, Sabtu (04/04/2015).

Ajakan para pecinta Anjing dan lingkungan di Yogyakarta untuk stop makan daging anjing. Foto : Tommy Apriando

Ajakan para pecinta Anjing dan lingkungan di Yogyakarta untuk stop makan daging anjing. Foto : Tommy Apriando

Laporan itu menyebutkan dalam lima tahun terakhir, tiap hari mereka mendapatkan laporan dari masyarakat tentang pencurian anjing oleh orang bermotor,  pengangkutan dan pembantaian anjing secara keji, warga yang tinggal dekat pejagalan tidak nyaman mendengar suara lolongan anjing, dan meningkatnya jumlah lapo/warung makan dengan menu daging anjing.

Dari laporan itu, masyarakat meminta JAAN dan AFJ untuk membantu menghentikan praktik-praktik kekejaman tersebut. Penyelidikan AFJ dan JAAN mendapati seluruh proses dari cara anjing-anjing itu dicuri, diangkut, disekap, dibantai dan tidak adanya standar higiene.

Tahun 2008, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti perdagangan anjing untuk konsumsi manusia berkontribusi terhadap penyebaran rabies di Indonesia terutama di Bali karena perdagangan tersebut mendorong anjing diangkut antar pulau. Hal ini juga dikaitkan dengan berjangkitnya rabies di Tiongkok dan Vietnam.

“Di Yogyakarta saja diperkirakan 360 ekor anjing dibunuh tiap minggunya. Kemudian kita harus mempertimbangkan bahwa Yogyakarta bukanlah daerah utama untuk perdagangan daging anjing,” kata Ina.

Di Manado dan Sumatera, di mana daging anjing dianggap ‘wajar’ untuk disajikan, mereka memperkirakan ada 1800 ekor anjing per minggu dikalikan lima, menjadi 3600 ekor anjing dikorbankan.  Sedangkan di Jakarta, paling sedikit 2x jumlahnya dibanding Yogyakarta, yang berarti 720 ekor per minggu. Sehingga total ada ada sekitar 4680 anjing per minggu, 18.720 per bulan dan 224.640 per tahun  dikorbankan hanya dari di 4 daerah di Indonesia.

Risiko Penyebaran Rabies lewat Daging Anjing

Mengkonsumsi daging anjing memperbesar terkena rabies. Di seluruh Asia, anjing untuk dikonsumsi biasanya diperoleh dari jalanan maupun lingkungan perumahan, yaitu anjing peliharaan yang dicuri atau terlantar dan tak bertuan, atau dipasok dari peternakan anjing. Di sebagian besar negara di Asia termasuk Indonesia, rabies bersifat endemik di kalangan populasi anjing dan anjing yang dikumpulkan dari jalanan yang tidak diketahui penyakit dan status vaksinasinya.

“Riset menunjukkan bahwa memasok, menernakkan, mengangkut, memotong, dan mengonsumsi anjing-anjing dalam skala besar memungkinkan pemencaran yang cepat dan luasnya kisaran rabies dan penyakit-penyakit lainnya, seperti kolera dan trikinelosis,” kata Ina.

Selama proses penjagalan, rabies dapat ditularkan ke manusia melalui beberapa cara, seperti cakaran dan gigitan, kontaminasi sayatan atau lecet-lecet di kulit, dan sentuhan mata dan bibir penjagal anjing sendiri yang terpercik cairan anjing.

Diketahui pada 2007, Departemen Kesehatan Hewan tingkat Distrik melaporkan 70 persen kematian wabah rabies di Ba Vi, Vietnam, karena gigitan anjing, dan 30% akibat terpapar pada waktu penjagalan.

Dalam laporan dijelaskan manajemen dan higienis yang buruk dari peternakan anjing skala besar di Korea Selatan dan di Tiongkok, mengkondisikan anjing rentan terinfeksi mikroba.  Perkelahian anjing dalam peternakan itu juga meningkatkan penularan penyakit.

Hasil Invetigasi di Tiga Wilayah

Tim melakukan investigasi pada 12-23 restoran di Jakarta untuk mengetahui asal dan bagaimana anjing yang dijagal, jalur distribusi daging anjing, situasi keseluruhan di rumah jagal anjing. Karena semakin sulit mendapatkan anjing untuk dijagal, restoran itu lebih banyak mendapatkan suplai daging anjing dari penyuplai yang sama yaitu yang berlokasi di Jl. Letjen. Sutoyo, Gg. Bersama, RT.008/RW 08 Cililitan, Mayasari, Jakarta Timur dan dari Pasar Senen.

Dalam laporan disebutkan pasokan daging anjing berasal dari luar Jakarta seperti Bandung, Sukabumi, dan Cianjur. Bahkan kadang mendapatkan 40 anjing dari Bali.

Di Yogyakarta,  lebih dari 50 warung penjaja menu daging anjing yang tersebar di wilayah Bantul hingga Sleman. Daging anjing dari penyuplai berasal dari Jawa Barat dan sekitar Yogyakarta.

“Investigasi mendalam kami lakukan ke penyuplai anjing hidup dan daging anjing terbesar di Yogyakarta dengan mengikuti perjalanan dari Yogyakarta ke Jawa Barat dan kembali ke Yogyakarta,” kata Ina.

Dalam laporan tersebut JAAN dan AFJ merekomendasikan kepada pemerintah daerah dan pusat untuk memberlakukan pelarangan perdagangan, penjagalan dan transportasi anjing untuk konsumsi di seluruh Indonesia. Masyarakat juga perlu diedukasi tentang risiko kesehatan dan penyebaran rabies dari perdagangan dan konsumsi daging anjing.

“Menegakkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di praktik perdagangan anjing untuk dikonsumsi dan Menyusun rencana efektif untuk memberantas rabies dan menciptakan Indonesia Bebas Rabies di tahun 2020 sesuai komitmen Kementerian Kesehatan Indonesia yang disampaikan pada ajang International One Health Congress dalam laporan mengenai Zoonosis di Indonesia,” tambah Ina.

Pemerintah perlu mengedukasi tentang ketidakefektifan metode pemusnahan masal untuk memberantas rabies, menggalakan program vaksinasi rabies yang berkelanjutan sebagai satu-satunya metode pemberantasan rabies yang efektif dan pada akhirnya akan dapat meniadakan rabies di Indonesia.

Aksi Serentak di Beberapa Kota

JAAN dan AFJ menggelar aksi nasional menghentikan perdagangan daging anjing di seluruh Indonesia sebagai bagian dari “Global Day of Action: International March to End Dog & Cat Meat Trade” pada Sabtu (04/04/2015). Aksi di Yogyakarta diiringi aksi teatrikal dan penyerahan berkas laporan investigasi perdagangan daging anjing di Indonesia & DVD kampanye terbaru dari AFJ dan JAAN kepada Pemprov dan Dinas Peternakan DIY.

Aksi teatrikal sebagai bentuk kekejaman terhadap anjing sebelum diolah menjadi makanan. Foto : Tommy Apriando

Aksi teatrikal sebagai bentuk kekejaman terhadap anjing sebelum diolah menjadi makanan. Foto : Tommy Apriando

Aksi simpatik didukung Jogja Domestic  Cat Lovers  (JDCL), Animal Lovers Indonesia, Klub Siberian Husky Indonesia, seniman pertunjukan dari Kebelet Teater, Fajar Merah (musisi dan putra dari Wiji Thukul) dan K9 Polda DIY, serta para penggemar band Shaggydog yang sejak tahun 2013 telah aktif bersuara sebagai duta kampanye “Anjing Bukan Makanan”. 

Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian DI Yogyakarta, Suparno kepada Mongabay mengatakan Yogyakarta sudah bebas rabies sejak tahun 1997 hingga saat ini. Mereka mendukung aksi tersebut sebagai edukasi kepada masyarakat tentang konsumsi daging anjing berpotensi terkena penyakit rabies. Mereka juga mengkaji laporan AFJ sebagai bahan penyiapan peraturan daerah. “Kita terus mengkampanyekan bahwa anjing bukan untuk di konsumsi,” kata Suparno.

Ia menambahkan, pemprov punya pos lalu lintas pengendalian hewan untuk memantau distribusi anjing ke Yogyakarta. Secara aturan pemerintah bahwa hewan yang masuk ke suatu daerah harus ada ijin dari pemerintah yang mengirim maupun daerah yang dituju. “Karena masuknya lewat jalur tikus atau ilegal, sehingga ini menjadi kesulitan kami dalam penegakan hukumnya,” tambahnya.

Selain itu, pemerintah Yogyakarta belum bisa melarang perdagangan makanan anjing yang ada saat ini dan tidak bisa melakukan penyitaaan karena belum ada aturan. Mereka hanya melakukan penyampaian informasi adanya dampak penyakit rabies dan lainnya lewat konsumsi anjing.


Perdagangan dan Konsumsi Daging Anjing Ancam Indonesia Gagal Bebas Rabies 2020 was first posted on April 12, 2015 at 3:12 pm.

Terampasnya Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Interaksi Sosial Publik

$
0
0
 *Ari Mochamad, anggota Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Mantan Sekretaris Pokja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Kota Jakarta, sebagai ibukota dan pusat bisnis, terus membangun. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak gedung-gedung bertingkat dibangun. Proyek jalan dan flyover pun dilanjutkan. Akan tetapi, pembangunan itu, juga mengambil ruang terbuka hijau dan ruang sosial yang ada.

Terampasnya ruang terbuka hijau dan ruang interaksi sosial publik serta tergusurnya kawasan pejalan kaki (trotoar) merupakan nilai eksternalitas yang hilang akibat perluasan dan pembangunan jalan baru. Ironisnya semua itu dilakukan untuk mengakomodasi pergerakan kendaraan bermotor yang didominasi oleh kendaraan bermotor pribadi.

Nilai eksternalitas yang hilang tersebut merupakan nilai atau bagian dari daya dukung lingkungan yang seharusnya pula menjadi perhitungan dari kebijakan tata ruang wilayah dan kota serta kebijakan pengelolaan transportasi yang kemudian dirumuskan menjadi kebijakan pengelolaan kualitas udara di Perkotaan. Sebaliknya berkurangnya nilai eksternalitas tersebut menjadi beban masyarakat melalui berkurangnya kualitas hidup akibat rendahnya kualitas udara bersih, hilangnya daya perekat sosial antar masyarakat seiring hilangnya kawasan terbuka publik dan berkurangnya jumlah pepohonan dibanding yang ditanam.

Salah satu ruas jalan di Tomang, Jakarta Barat, yang menghilangkan trotoar untuk pelebaran jalan. Pejalan kaki menjadi riskan ketika melewati jalan tersebut. Foto : Alfred Sitorus / KPBB

Salah satu ruas jalan di Tomang, Jakarta Barat, yang menghilangkan trotoar untuk pelebaran jalan. Pejalan kaki menjadi riskan ketika melewati jalan tersebut. Foto : Alfred Sitorus / KPBB

Efektifitas dan efesiensi ekonomi masyarakat pun dirugikan melalui hilangnya waktu produktif kerja karena kemacetan, pemborosan bahan bakar dan daya tahan dari kendaraan bermotor yang dipergunakan. Perencanaan tata ruang dan pengelolaan sistem transportasi yang tidak terkonsep dengan baik serta pelanggaran terhadap kedua kebijakan yang telah ditetapkan memberikan sumbangan terhadap pencemaran udara perkotaan.

Dalam sistem ekonomi saat ini, bahasa angka dan nilai merupakan bahasa yang paling mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan. Ketika dampak pencemaran terhadap sosial, ekonomi dan lingkungan  ‘nampak’ lebih kecil dibanding keuntungan dari perubahan kawasan hijau dan publik menjadi kawasan/areal bisnis atau jauh lebih kecil dibanding membangun infrastruktur jalan di dalam kota yang tidak layak serta penjualan kendaraan bermotor yang meningkat dari tahun ke tahun. Maka kebijakan akan lebih mengakamodasi kepentingan penggusuran ruang terbuka hijau/publik bagi aktifitas bisnis dan pembangunan jalan-jalan guna memberi tempat pada kendaraan bermotor pribadi.

Pembangunan  tempat dan kawasan bisnis atau perubahan peruntukan menjadi tempat bisnis dan pembangunan serta pelebaran jalan yang diluar perencanaan tata kota, menjadi sumber dari meningkatnya titik-titik kemacetan yang disertai memburuknya kualitas udara. Dari aspek kehidupan sosial, dituding juga menjadi penyebab tumbuhnya kerawanan sosial.

Tidaklah mengherankan apabila laporan yang disampaikan beragam lembaga seperti Bank Dunia, ADB, perguruan tinggi dan lembaga penelitian serta LSM  bahkan oleh kementerian yang terkait dengan persoalan ini, bahwa publik dan pemerintah harus menanggung kerugian riil berupa pengobatan dan mengatasi dampak pencemaran karena lingkungan dan kesehatan akibat ketidakkonsistenan kebijakan tata ruang dan manajemen transportasi. Tidak kurang kampanye dilakukan berbagai pihak yang peduli dan memberikan perhatian, menyampaikan fakta terhadap dampak-dampak biaya sosial yang tinggi yang akan menjadi beban publik, dan berpotensi menurunkan kualitas hidup mereka.

Koalisi pejalan kaki melakukan aksi mempertanyakan trotoar jalan yang dihilangkan di salah satu ruas jalan di Tomang, Jakarta Barat.    Pelebaran jalan yang menghilangkan trotoar tidak memperhatikan hak pejalan kaki. Foto : Alfred Sitorus / KPBB

Koalisi pejalan kaki melakukan aksi mempertanyakan trotoar jalan yang dihilangkan di salah satu ruas jalan di Tomang, Jakarta Barat. Pelebaran jalan yang menghilangkan trotoar tidak memperhatikan hak pejalan kaki. Foto : Alfred Sitorus / KPBB

Melirik kasus pembangunan enam ruas jalan tol di Jakarta yang meliputi ruas Kemayoran – Kampung Melayu,  Rawa Buaya – Sunter,  Kampung Melayu – Tanah abang – Pulo Duri, Sunter – Pulo Gebang, Pasar Minggu–Cassablanca,  dan Ulujami–Tanah Abang, seharusnya menjadi pembelajaran bersama dari kegagalan jalan tol sebagai  solusi kemacetan.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pembangunan jalan tol. Masalahnya, apakah jalan tol tersebut memang dibutuhkan? Penilaian adanya kebutuhan harus didasarkan kepada beberapa pertimbangan. Misalnya, apakah ruas jalan tol tersebut merupakan bagian dari solusi dari sistem transportasi di Jakarta? Apakah ruas jalan tol tersebut sudah memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan? Apakah ruas jalan tol tersebut sudah menjadi prioritas masyarakat dalam upaya memperbaiki pelayanan transportasi?

Terdapat dua paham dalam pengambilan kebijakan transportasi yang memberikan gambaran tarik menarik antara kebutuhan untuk mengedepankan paradigma pembangunan yang mengakomodir kepentingan para pemilik kendaraan pribadi (highway advocates). Penganut paham ini setuju bahwa pajak bahan bakar dan pajak lainnya yang dibebankan kepada kendaraan bermotror harus didedikasikan pada perbaikan  jalan raya.

Di sisi lain, paham dengan  paradigma  yang mengedepankan kebijakan dan pembangunan prasarana dan sarana angkutan umum yang baik, kawasan pedestrian dan area untuk memberikan akses kepada pengguna angkutan tidak bermotor serta mendorong lahirnya kebijakan yang dapat menghambat pertumbuhan kendaraan pribadi (Transportation Demand Management/TDM advocates). Pembela  TDM ini  berpendapat bahwa  pajak bahan bakar dan pajak kendaraan lainnya sepatutnya dialokasikan kepada penambahan dan perbaikan angkutan umum atau pembangunan sarana pedestrian dan angkutan non bermotor atau angkutan alternatif lainnya.

Rencana pembangunan enam ruas jalan tol dengan alasan mengurangi kemacetan merupakan ciri berpikir konvensional yang telah lama ditinggalkan oleh para pemikir dan pengambil kebijakan dalam mengatasi kemacetan. Pengalaman di California menunjukkan bahwa setiap 1 persen peningkatan jalan dalam setiap mil akan menghasilkan peningkatan kendaraan yang lewat sebesar 0,9 persen dalam waktu lima tahun (Hanson, 1995). Dan kiranya sangat mudah kita temukan kondisi ril tersebut di jalan tol dalam kota Jakarta — waktu kemacetan semakin panjang. Kemacetan yang terjadi terdistribusikan pada persimpangan-persimpangan yang lokasinya dekat dengan pintu-pintu keluar jalan tol tersebut. Bukti lainnya adalah bahwa flyover dan underpass tidak menjawab masalah kemacetan. Sebaliknya malah menjadi tempat kemacetan baru. Dengan demikian,  kebijakan ini tidak akan menjawab usaha penghematan energi dan mengefisiensikan waktu bepergian.

Sebaliknya pembangunan infrastruktur transportasi kota yang bertumpu pada pembangunan jalan  semakin mendorong  hasrat  kepemilikan kendaraan pribadi. Dengan kata lain, pembangunan jalan akan mendatangkan jumlah lalu lintas tambahan dalam jangka pendek dan jangka panjang (A. Rahman, Paul Barter and  Tamim Raad). Mahalnya ‘efesiensi dan efektifitas’ angkutan umum yang berbasis angkutan massal menjustifikaksi peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi.  Berdasarkan prediksi Polda Metro Jaya, pada tahun 2015 jumlah total kendaraan bermotor di Jabotabek akan mencapai 11,37 juta yang didominasi oleh kendaraan bermotor (59 persen) dan mobil pribadi (31 persen).

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar

Disisi lain, rencana pembangunan enam ruas jalan tol di dalam kota sepanjang 85 kilometer dan membutuhkan biaya sekitar Rp 23 triliun tersebut dikhawatirkan menambah persoalan pelanggaran tata guna tanah yang berakibat pada persoalan-persoalan perkotaan lainnya seperti hilang dan berubahnya ruang publik, kawasan ruang terbuka hijau, penggusuran dan perkembangan permukiman ke daerah pinggiran kota.

Dari sisi lain, rencana pembangunan jalan tol tersebut merupakan kemunduran karena tidak sejalan dengan kebijakan transportasi DKI Jakarta yang saat ini dipetakan melalui Pola Transportasi Makro. Kebijakan ini bertujuan mengurangi penggunaan kendaraan  pribadi dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan angkutan umum yang berbasis massal. Disamping itu, rencana pembangunan jalan tol ini — yang sebelumnya tidak terdapat dalam Pola Transportasi Makro Provinsi DKI Jakarta – akan menambah titik-titik pemberhentian yang berpotensi besar menjadi ruang baru kemacetan.

Pembangunan dan pelaksanaan 15 koridor busway yang telah berjalan perlu ditingkatkan dari sisi pelayanan dan ketersediaan bus serta feeder. Keberanian Gubernur saat itu, Joko Widodo untuk merealisasikan pembangunan MRT merupakan modal baik, disaat pembangunannya akan menjadi bahan kritikan karena menimbulkan kemacetan.

Saat awal kehadiran transjakarta pun demikian, namun sejalan dengan waktu mendapat apresiasi masyarakat karena dianggap  sebagai jawaban untuk mengurangi kemacetan dan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi. Pembenahan kebijakan transportasi harus diikuti dengan pembongkaran perilaku birokrasi yang menghambat terwujudnya pengelolaan transportasi yang berpihak kepada publik dan lingkungan.

Pola transportasi makro di Jakarta yang masih mementingkan kendaraan pribadi, membuat jumlah kendaraaan pribadi meningkat dan tidak seimbang dengan rasio panjang jalan di Jakarta. Akibatnya, trotoar pun seringkali digunakan pemotor dan membahayakan pejalan kaki. Foto : Alfred Sitorus / KPBB

Pola transportasi makro di Jakarta yang masih mementingkan kendaraan pribadi, membuat jumlah kendaraaan pribadi meningkat dan tidak seimbang dengan rasio panjang jalan di Jakarta. Akibatnya, trotoar pun seringkali digunakan pemotor dan membahayakan pejalan kaki. Foto : Alfred Sitorus / KPBB

Oleh sebab itu untuk memperbaiki daya dukung lingkungan, khususnya di kawasan perkotaan, dibutuhkan upaya cepat dan terpadu yang meliputi;

-          Kebijakan tata ruang yang dilandasi oleh daya dukung lingkungan, yang mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Upaya ini dapat disentuh melalui pendekatan ekonomi lingkungan.

-          Kebijakan transportasi yang dilandasi oleh kapasitas ruang dan wilayah perkotaan. Artinya dengan kapasitas yang terbatas, sistem transportasi apa yang seharusnya dikembangkan untuk memfasilitasi kegiatan transportasi publik Jakarta. Berapa jumlah kendaraan bermotor yang layak beroperasi di sebuah wilayah perkotaan, mengingat kapasitas udara ambien akibat  akumulasi emisi dari gas buang kendaraan bermotor.

-          Diintegrasikannya luas wilayah kawasan hijau dan ruang publik sebagai penilaian sebuah kota yang manusiawi. Misalnya yang paling nyata adalah bagaimana kriteria Adipura memasukan angka perubahan tata ruang, penurunan dan perusakan yang memberi kontribusi pada pencemaran perkotaan sebagai angka terbesar terburuk dalam penilaiannya. Sebaliknya bukan kepada jumlah anggaran pemeliharaan/perawatan dan operasionalisasi/program yang dikhawatirkan justru berasal dari sumber yang menyebabkan menipisnya kawasan hijau dan publik.

-          Membangun dan memperluas kawasan hijau dan ruang publik sebagai bagian dari pengelolaan kualitas udara yang memiliki fungsi sosial dan lingkungan, tidak semata-mata fungsi estetika saja. Khusus untuk isu ini, pemerintah sudah seharusnya mendorong peran dunia usaha/bisnis untuk mau membeli kawasan-kawasan yang menjadi sengketa (dan tidak mampu dibeli pemerintah), kawasan-kawasan lainnya sebagai tindak dan peran social responsibility-nya serta public image. Kawasan tersebut kemudian harus difungsikan sebagai kawasan hijau dan ruang publik. Biaya perawatannya dapat menjadi beban instansi terkait dan perusahaan tersebut.

Terakhir, penulis mengkhawatirkan bahwa pada saat kita sudah tidak lagi memiliki ruang untuk menjalankan fungsi kemanusiaan kita, maka pada saat itu kita menjadi sekelompok masyarakat yang terasing bagi sesamanya. Semoga tidak terjadi

 


Terampasnya Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Interaksi Sosial Publik was first posted on April 13, 2015 at 12:27 pm.

Pengamat : Pembenahan Tata Kelola Perikanan Laut Lebih Penting Dari Pelarangan Cantrang. Kenapa?

$
0
0

Dalam rapat terbatas (ratas) kabinet di Kantor Kepresidenan di Jakarta, Selasa (13/04/2015), Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas hasil pertemuannya dengan perwakilan nelayan dari Batang, Pekalongan, Tegal, dan Rembang, Jateng beberapa waktu yang lalu.

Hasilnya ratas tersebut, seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Jokowi mengharapkan dibentuknya gugus tugas (task force) untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang dikeluhkan para nelayan, seperti pelarangan alat tangkap ikan cantrang sesuai Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI, yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan nelayan.

Cantrang sendiri merupakan salah satu jenis alat penangkapan ikan yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).

Nelayan tradisional yang kesulitan karena dampak pencemaran laut, pesisir pantai maupun konversi hutan mangrove ke perkebunan. Foto: Andreas Harsono

Nelayan tradisional yang kesulitan karena dampak pencemaran laut, pesisir pantai maupun konversi hutan mangrove ke perkebunan. Foto: Andreas Harsono

Usai ratas tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan tim khusus tersebut dikoordinatori Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dibantu Kepolisian RI dan TNI Angkatan Laut yang bekerja untuk menyelesaikan kasus penangkapan ikan ilegal.

“Satgasnya itu dipimpin kepolisian. Illegal fishing leading-nya di KKP. Dengan adanya satgas ini kami sudah bisa melakukan tindakan-tindakan langsung di lapangan,” imbuh Susi.

Sebelumnya, perwakilan nelayan dari Rembang dan Brebes yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) bersitegang dengan Menteri Susi dihadapan Presiden Jokowi dalam pertemuan tertutup di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (08/04/2015) yang membahas masalah Permen KP No.2/2015 pelarangan alat tangkap.

Usai pertemuan itu, Koordinator FNB Bambang Wicaksana mengatakan mereka bertemu dengan Jokowi sebagai langkah akhir setelah berupaya ke Ombudsman dan DPR RI. FNB hanya meminta solusi dan masa transisi selama tiga tahun, karena nelayan telah mengeluarkan modal besar untuk mengadakan cantrang.

”Alat cantrang antara Rp300 jutaan harganya. Kalau ganti alat tangkap lain bisa (keluar modal) Rp1 miliar. Ini nggak sesederhana mengganti alat A menjadi alat B. Tapi kapalnya juga harus menyesuaikannya. Keahliannya. Dan ini butuh waktu cukup lama penyesuaiannya,” jelas Bambang. Karena aturan pelarangan tersebut, membuat nelayan tidak melaut karena takut ditangkap petugas.

Menanggapi hal tersebut, Pemerhati Isu Kemaritiman Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Alan F Koropitan mengatakan polemik itu terjadi karena pemerintahan terdahulu tidak tegas dalam pelarangan alat tangkap tidak ramah lingkungan, seperti cantrang.

“Sejak 2005, pemerintah sudah bersiap melarang cantrang, tetapi tidak tegas. Karena ada pembiaran, nelayan banyak menggunakan cantrang. Industri pengolahan ikan pun tumbuh dan maju, sehingga penggunaan cantrang oleh nelayan pun berkembang, karena usaha ini paling laris,” kata Alan yang dihubungi Mongabay pada Selasa (13/04/2015).

Karena berkembang, Alan yang juga Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor mengatakan nelayan kemudian memperbesar modal dengan meminjam kredit ke bank untuk penambahan cantrang dan memperbesar kapalnya.

Kemudian pada awal 2015, Menteri Susi mengeluarkan Permen No.5/2015 yang terkesan mendadak, tanpa ada masa sosialisasi dan masa transisi peralihan alat tangkap bagi nelayan. Hal ini sangat memukul perekonomian nelayan tradisional, dan berpengaruh terhadap industri pengolahan ikan di berbagai tempat di Indonesia, seperti di pantura Jawa dan di Bitung, Sulawesi Utara. Penerapan Permen No.5/2015 yang terkesan mendadak itu, membuat nelayan mengeluh dan protes kepada pemerintah.

“Dampak (penerapan Permen No.5/2015) paling besar di Bitung. Disana ada industri pengolahan tuna, pengalengan, pengirisan, pengasapan ikan. Begitu ada aturan larangan yang tanpa pandang bulu, kapal bersandar rapi di pelabuhan. Sehingga saya harus mengatakan sebagian keluhan kawan-kawan nelayan bahwa Bu Susi berhasil mengandangkan kapal-kapal perikanan,” kata Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya itu.

Penggunaan cantrang sendiri masih diperdebatkan apakah merusak lingkungan atau tidak, karena ada sekelompok nelayan yang yakin bahwa alat tangkap itu ramah lingkungan.

“Ketika saya ke lapangan, ada sekelompok nelayan yang berani mengatakan cantrang tidak merusak. Karena mereka menggunakan cantrang dengan tali yang gampang putus dan dioperasikan di dasar perairan yang datar dan berpasir, sehingga tidak mungkin digunakan di perairan dengan terumbu karang,” jelas Alan.

Pada intinya, dia menjelaskan nelayan perlu diberi bantuan alih tehnologi dan waktu untuk peralihan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan, sehingga dampak bagi perekonomian nelayan dan industri perikanan bisa diminimalkan.

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Senada dengan itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan perlu ada masa transisi pengalihan alat tangkap perikanan dari cantrang guna  memastikan efektivitas pengelolaan perikanan, yang diawasi penuh oleh pemerintah.

Sedangkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan selain masa transisi pengalihan cantrang, KKP agar  memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil dengan APBN-P 2015,  berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan. Pilihan ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Presiden c.q Menteri Keuangan Republik Indonesia.

KKP juga perlu berkoordinasi dengan perbankan nasional agar menyiapkan skema kredit kelautan dan perikanan yang bisa diakses oleh pelaku perikanan untuk penggantian alat tangkap.

Pembenahan Tata Kelola Perikanan Lebih Penting

Masalah alat tangkap ikan cantrang, merupakan salah satu permasalahan kompleks yang terjadi di perairan Indonesia, seperti pencurian ikan, Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing, alat tangkap ikan, perizinan kapal, eks kapal asing, kapal berbendera ganda, transhipment, data perikanan, data nelayan sampai dengan data stok perikanan Indonesia.

“Semua masalah tersebut, termasuk soal IUU fishing adalah masalah tata kelola perikanan Indonesia. Untuk itu, FAO (badan pangan dunia) merekomendasikan pembangunan sistem MCS, monitoring, controlling and surveillance,” kata Alan.

(MCS) meliputi log book perikanan, database perikanan yang terkomputerisasi, sistem monitoring sosial, vessel monitoring system (VMS), kapal patroli laut dan radar, serta sistem komunikasi.

Log book perikanan memuat data mengenai jenis dan ukuran kapal, alat tangkap ikan yang digunakan, wilayah penangkapan, waktu penangkapan dan jenis ikan yang ditangkap. Sedangkan sistem monitoring sosial merupakan data tentang nelayan yaitu perilaku nelayan dan preferensi penggunaan alat tangkap ikan.

Alan menjelaskan upaya monitoring dan kontrol terhadap penangkapan ikan dilakukan berdasarkan log book dan sistem monitoring sosial. Hal ini untuk menjaga perikanan berkelanjutan sesuai dengan potensi wilayah pengelolaan perairan (WPP) setempat.

“Pengecekan (oleh petugas pengawas perikanan) biasanya dilakukan acak, random observer. Kalau kekurangan tenaga, bisa bekerjasama dengan universitas yang memiliki fakultas perikanan dan kelautan.Mahasiswa yang mau lulus dan KKN, itu bisa jadi observer untuk validasi data,” katanya.

Sementara VMS merupakan sistem pelacak keberadaan kapal yang menggunakan satelit yang digunakan oleh kapal-kapal besar. “Untuk kapal nelayan kecil, kita sempat ujicoba di kampus dengan menggunakan sistem GSM (ponsel) android dan dengan gelombang radio. Data itu itu masuk ke pengamat di darat,” lanjutnya.

Setelah sistem MCS ini lengkap dan dijalankan, Alan mengatakan baru masuk pada tahap penataan regulasi yang tepat sesuai dengan kondisi nelayan. “Jangan seperti sekarang (penerapan Permen No.2/2015). Regulasi ini seperti membunuh tikus dengan membakar lumbung padinya. Sehingga terjadi keresahan dimana-mana,” tegasnya.

Permasalahan cantrang ini menjadi momentum untuk pembenahan tata kelola perikanan secara menyeluruh. “Kalau ingin menyelesaikan masalah, jangan tanggung-tanggung. Ini menjadi momentum membenahi tata kelola sesuai rekomendasi FAO yaitu MCS,” tambah Alan.

Dengan penerapan MCS dalam tata kelola perikanan, maka keinginan Susi Pudjiastuti untuk mengelola kemaritiman secara lestari dan berkelanjutan yang memakmurkan nelayan.


Pengamat : Pembenahan Tata Kelola Perikanan Laut Lebih Penting Dari Pelarangan Cantrang. Kenapa? was first posted on April 14, 2015 at 6:28 pm.

Ternyata Norwegia Ekspor Seafood Ke Indonesia. Kok Bisa?

$
0
0

Norwegia merupakan sebagai negara kepulauan mengembangkan sumber daya laut sebagai tulang punggung pendapatan negara. Karena kondisi tersebut sama dengan Indonesia, maka pemerintah Norwegia melakukan kerja sama di bidang kemaritiman dan energi dengan Pemerintah Indonesia.

Kerja sama tersebut ditegaskan melalui penandatanganan nota kesepahaman antara kedua negara di Hote Shang Ri-La, Jakarta, Selassa (14/04). Dari Norwegia diwakili langsung oleh Perdana Menteri Erna Solberg dan Indonesia melalui Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

“Kita sudah melihat bagaimana Indonesia begitu dikenal baik sebagai negara kepulauan sejak dulu. Norwegian sangat menghormati reputasi itu dan kita ingin bekerjasama lebih baik lagi,” ujar Erna Solberg dalam acara tersebut.

Melalui kerja sama tersebut, masing-masing negara berharap sektor maritim dan energi bisa bersinergi sehingga memberikan kontribusi signifikan untuk Norwegia maupun Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti  memotong ikan salmon disaksikan Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg sebagai simbol peningkatan kerjasama Norwegia - Indonesia di Jakarta, Rabu (14/04/2015). Foto : M Ambari

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memotong ikan salmon disaksikan Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg sebagai simbol peningkatan kerjasama Norwegia – Indonesia di Jakarta, Rabu (14/04/2015). Foto : M Ambari

Dia menyebutkan saat ini ada 35 perusahaan asal Norwegia yang sudah beroperasi atau bekerja sama dengan Indonesia dan diharapkan ke depannya bisa ditingkatkan lagi. Potensi kelautan yang besar menjadi  sektor yang ingin ditingkatkan kerjasamanya.

Erna mengungkapkan, Norwegia saat ini juga fokus mengembangkan sektor kelautan sebagai sektor utama. Pada 2013, nilai ekspor dari industri tersebut melampaui USD7 miliar dan untuk tangkapan perikanan liar yang mencakup ikan, udang dan kerang-kerangan, nilai ekspornya sudah mencapai USD2 miliar di tahun 2013.

“Kami merasa sangat bangga dengan pencapaian tersebut. Kami melihat potensi itu bisa ditingkatkan lagi melalui kerja sama dengan Indonesia yang memiliki reputasi baik sebagai negara maritim,” ungkap Erna.

Dengan keberhasilan saat ini, Erna menyebutkan, Norwegia sudah masuk dalam 10 besar negara eskportir seafood terbesar di dunia. Prestasi itu bisa diraih setelah Norwegia menerapkan bisnis tersebut dengan menciptakan dan mengembangkan rantai nilai industri termasuk produksi, logistik kelautan, pengolahan dan pemasaran.

Berkat sistem yang baik tersebut, Erna menjelaskan, saat ini beberapa perusahaan Norwegia di sektor aquafarming sudah mendekati pasar Indonesia dengan menyediakan transfer teknologi dan pengetahuan.

Selain sektor perikanan, di bidang kelautan Norwegia juga memiliki perusahaan desain, kapal dan anjungan, pemilik kapal dan produsen peralatan kapal. Mereka semua memiliki pegawai hingga 22.500 orang dan armada modern serta armada pedagang berkelas dunia.

Seafood Norwegia di Indonesia

Salah satu upaya kerja sama di bidang perikanan yang dilakukan Norwegia dengan Indonesia, adalah ekspor seafood. Dalam beberapa tahun terakhir, ekspor ke Indonesia terus tumbuh dengan pesat dan stabil. Secara keseluruhan, tercatat Norwegia sudah melakuan eksport 6.500 ton ikan salmon senilai USD20 juta.

Pemilihan salmon sebagai salah satu produk andalan ke Indonesia, karena dalam beberapa tahun terakhir permintaan Indonesia terhadap makanan seafood tumbuh pesat. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh makanan Jepang yang sudah populer lebih dulu melalui sushi dan sashimi. Karenanya, jumlah warga yang menjadi peminat makanan seafood juga terus tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Selain Salmon, Norwegia juga mengekspor ikan trout segar yang juga menjadi produk andalan karena memiliki kualitas rasa dan juga kesegaran dan keamanan. Menurut Erna, produk seafood menjadi andalan dan terbukti sudah diekspor hingga 2800 ton dalam beberapa tahun ini.

Pengembangan di Indonesia

Sejak 2010 Norwegia ikut membantu pengembangan potensi kelautan Indonesia melalui pengembangan kapasitas untuk perikanan dan akuakultur. Program bantuan itu diberikan, karena Norwegia ingin melihat Indonesia bisa tumbuh menjadi negara penghasil produk laut berkualitas dan diperhitungkan di dunia.

Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudiastuti yang ikut hadir dalam penandatanganan kerja sama tersebut mengungkapkan apresiasinya kepada Norwegia yang tak berhenti memberi bantuan untuk pengembangan sektor kelautan di Nusantara.

“Saya sangat bahagia dengan kerja sama ini. Indonesia adalah salah satu negara penghasil produk laut terbesar di Asia. Ini menjadi catatan khusus bagi kami sebagai Pemerintah. Ke depan, kami akan terus meningkatkan sumber daya manusia untuk bisa meningkatkan produksi dan kualitas,” ujar Susi.

Susi sendiri menyinggung tentang kualitas dan kuantitas produksi kelautan di Indonesia yang saat ini masih sangat terbatas. Kata dia, penyebabnya karena hingga saat ini aksi perikanan iliegal (illegal fishihng) masih terus berlangsung.

“Saat ini kami sedang berkonsentrasi untuk menata hal tersebut. Kami berusaha untuk memberantas aksi illegal fishing. Karena itu berdampak besar untuk peningkatan produk perikanan ke depannya,” tutur dia.

 


Ternyata Norwegia Ekspor Seafood Ke Indonesia. Kok Bisa? was first posted on April 15, 2015 at 2:00 am.

Susi Akan Terus Berantas Illegal Fishing Sampai Kapanpun

$
0
0

Tekad Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk memberantas illegal fishing nampaknya tidak akan pernah mengendur. Dia berjanji akan terus melakukannya hingga aksi tersebut tidak ada lagi di lautan Indonesia.

Janji Susi tersebut diungkapkan karena dia melihat illegal fishing saat ini sudah mengganggu kenyamanan di perairan Nusantara. Secara keseluruhan, aksi tersebut sudah merugikan negara dengan jumlah material yang tidak bisa dihitung lagi dengan jelas.

Illegal fishing,  kenapa menjadi kerugian besar? Karena memang selama ini Indonesia sudah mengalami kerugian sangat besar dari segi material. Ini harusnya diberantas tanpa menunggu waktu lagi,” ujar Susi di kantornya, di Jakarta, Selasa (14/04/2015).

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

Menurut perempuan asli Pangandaran, Jawa Barat itu, Indonesia harus bisa mengeluarkan sikap tegas terkait aksi illegal fishing. Kalau Indonesia ingin terus memperbaiki diri, maka sekarang saat yang tepat untuk menerapkan aturan dalam Undang-Undang Perikanan, dimana setiap aksi illegal fishing bisa ditindak dengan hukum diskresi langsung di lapangan.

Susi kemudian mencontohkan kapal MV Hai Fa yang diketahui berasal dari Tiongkok namun namun berbendera Indonesia saat berlayar di perairan Indonesia dan kemudian berganti bendera Panama setelah berhasil mengangkut hasil laut Indonesia. Menurutnya, apa yang dilakukan Hai Fa menjelaskan bahwa mereka sudah melakukan aksi illegal fishing.

“Kapal berbendera ganda (double flagging) sudah menjelaskan bahwa itu suatu pelanggaran. Bahkan, menurut PBB, siapapun yang berbendera ganda itu menjelaskan tidak memiliki kewarganegaraan,” jelasnya.

Karena sudah melanggar, Susi menegaskan pihaknya bisa langsung menerapkan hukum diskresi di tengah laut, termasuk dengan menenggelamkan atau menembak kapal yang sudah melanggar tersebut. Cara tersebut merupakan cara yang tepat untuk menindak setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perikanan Indonesia.

Pencurian Terorganisir

Meski sudah dilakukan tindakan tegas sejak memimpin di Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun Susi mengakui pemberantasan yang sedang dilakukan masih memerlukan waktu sangat panjang. Cara tersebut harus dilakukan karena produksi kelautan terancam akan terus dicuri oleh kapal-kapal ilegal.

Bukan hanya itu, Susi melihat, aksi illegal fishing yang terjadi di wilayah perairan Indonesia juga dilakukan dengan sangat terencana. Hal itu bisa dilihat dengan rapinya aksi kapal-kapal yang masuk ke wilayah perairan Indonesia dengan menggunakan bendera Indonesia.

“Padahal, mereka sebenarnya bukan dari Indonesia. Mereka juga menggunakan bendera yang berbeda saat masuk ke wilayah perairan di negara lain. Mereka melakukannya bisa dikira sebagai kapal lokal,” ujar Susi.

Akibat aksi illegal fishing tersebut, negara dirugikan sangat banyak karena masing-masing kapal bisa mengeruk sumber daya kelautan dengan jumlah sangat banyak. Ikan-ikan seperti tongkol, kakap merah, atau lobster selalu menjadi incaran dari setiap kapal ilegal yang berlayar di Indonesia.

“Bayangkan berapa kerugian negara dari pencurian ikan-ikan tersebut. Padahal, tidak hanya ikan-ikan tersebut, ada juga tangkapan seperti cumi, udang yang harganya bisa mencapai USD50,. Jika satu kapal kapasitasnya 100 ton per bulan, berarti setahun bisa 1.200 ton, berapa kerugian yang harus ditanggung Indonesia?” ungkap Susi.

Satgas dan Force Task

Karena dinilai sudah menjadi kasus negara, kasus illegal fishing saat ini sudah masuk dalam masalah negara. Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk segera dibentuk tim khusus Task Force yang bertugas untuk mengawal kasus tersebut hingga ke jalur hukum sejak penyidikan hingga ke meja pengadilan.

“Kemarin itu ada rapat Presiden, KKP ditunjuk sebagai lead untuk penegakkan UU Perikanan, keberadaan Task Force juga diharapkan bisa mendukung penanganan illegal fishing bisa menjadi lebih ketat lagi,” jelas dia.

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan     Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto:  Ayat S  Karokaro

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto: Ayat S Karokaro

Susi mengatakan, melalui Task Force, KKP juga akan semakin fokus memberantas illegal fishing hingga ke tahap tertinggi. Karena, gugus tim tersebut dipimpin langsung oleh Kepolisian RI dan beranggotakan TNI.

“Gugus tim ini jelas berbeda dengan tim Satgas yang sudah ada di KKP. Task Force ini lebih komprehensif,” tutur dia.

Dengan keberadaan Task Force tersebut, Susi berharap penerapan UU Perikanan bisa lebih baik lagi. Sehingga, ke depannya tidak ada lagi kasus illegal fishing. Saat ini, KKP sedang berusaha mengawal UU Perikanan sehingga bisa sesuai dengan program pemerintah yang sedang dijalankan.

“Kan Pemerintah sudah menyiapkan sejumlah wilayah untuk dijadikan kawasan khusus. Ada Sorong, Merauke juga. Ke depan, saya harapkan pengusaha tidak lagi membuka di kawasan-kawasan terpencil yang penduduknya jarang. Mending di kawasan yang sudah dikembangkan saja,” papar Susi sembari mencontohkan salah satu perusahaan yang beroperasi di daerah terpencil adalah PT Pusaka Benjina Resources di Benjina, Maluku.

Di Benjiina, jumlah penduduk lokal lebih sedikit dibandingkan penduduk pendatang yang semuanya berkewarganegaraan asing. Karena itu, Pemerintah juga pada awalnya tidak memprioritaskan untuk dibangun pos pemantau di kawasan tersebut.

“Karena tidak ada pengawasan, peurusahaan yang beroperasi juga sangat mungkin melakukan pelanggaran. Untuk itu, kita akan arahkan perusahaan untuk beroperasi di kawasan yang sudah dikembangkan saja,” tandas dia.

 


Susi Akan Terus Berantas Illegal Fishing Sampai Kapanpun was first posted on April 16, 2015 at 2:25 am.

UGM: Kerusakan Akibat Penambangan Karst Pasti Terjadi, Dua Dosennya Akan Dikenai Sanksi

$
0
0

Bertempat di ruang sidang pimpinan gedung pusat Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (25/04/2015), tim kajian independen menyampaikan sikapnya sebagai respon atas aduan masyarakat Rembang dan Sedulur Sikep tentang kasus rencana penambangan pegunungan Kendeng dan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.

Tim yang diketuai Dr. Pujo Semedi, terdiri atas para pakar dan mahasiswa dari berbagai bidang ilmu yakni bidang karst, air tanah, hukun lingkungan, kehutanan, ekonomi dan antropologi.

“Tim independen bertugas memberikan kajian tentang pengalihan fungsi sumber daya publik untuk kepentingan industri serta melakukan kajian atas kesaksian dosen UGM dalam persidangan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Semarang beberapa waktu lalu,” kata Paripurna, Wakil Rektor Bidang Kerjasama UGM dalam acara tersebut.

Tim inpenden UGM  Yogyakarta, pada Rabu (15/04/2015) memaparkan hasil kajian kesaksian dua dosen UGM di persidangan PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Tim inpenden UGM Yogyakarta, pada Rabu (15/04/2015) memaparkan hasil kajian kesaksian dua dosen UGM di persidangan PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Paripurna menyampaikan kajian menyimpulkan saat ini tidak ada keperluan mendesak bagi industri semen di Indonesia untuk meningkatkan produksi. Bila memang produksi semen akan ditingkatkan, maka harus dilakukan dengan mengikuti pertimbangan bahwa kerusakan lingkungan akibat penambangan karst pasti terjadi dengan konsekuensi hidrologis, flora, fauna dan sosial yang secara akademik belum dapat diidentifikasi dengan tuntas.

Oleh karena itu pengubahan lingkungan karst harus dilakukan secara konservatif, terlokalisir di wilayah yang kosong penduduk atau tidak padat penduduk guna meminimalkan akibat negatif.

“Di wilayah yang dihuni oleh warga, pengalihan lahan ke perusahaan dan pengubahan penggunaan lahan harus dengab rela (consent) warga yang diperoleh melalui proses tanpa tekanan (free), berdasar pemberian informasi yang terang (informed) mengenai potensi resiko dan hasil yang mungkin terjadi,” tambah Paripurna.

 

Terhadap kesaksian dua dosen UGM yaitu Dr. Eko Haryono dan Dr. Heru Hendrayana di PTUN Semarang beberapa waktu lalu,  tim menyimpulkan bahwa mereka merupakan utusan dari universitas yang menjadi saksi ahli atas permintaan pihak tergugat. Mereka saksi ahli yang sah dan telah memberikan paparan tentang bidang keahliannya secara profesional.

Akan tetapi dalam komunikasi selanjutnya muncul kesaksian yang tidak sesuai dengan asas kepatutan saksi ahli, antara lain dengan memberikan kesaksian yang dapat mengarahkan pada satu kesimpulan tertentu, padahal kedua pakar tidak melakukan penelitian langsung di wilayah Rembang.

“Menindaklanjuti hasil kajian ini maka UGM akan memberikan sanksi administratif sesuai aturan yang berlaku,” kata Paripurna.

Dosen dan ahli hukum lingkungan UGM, Hari Supriyono mengatakan saksi ataupun saksi ahli dalam hukum cara apapun termasuk hukum acara PTUN, harus netral dan tidak boleh menyimpulkan. Tim menyimpulkan dua dosen tersebut tidak pantas secara etika tim setelah melihat rekaman dan statemen kesaksian dua dosen tersebut di PTUN Semarang.

Yang pertama ketika saksi ahli bicara tentang karst sampai pada kesimpulan bahwa karst yang akan ditambang adalah karst muda yang berdasarkan klasifikasi menurut Kepmen No.1456 Tahun 2000 memang ada tiga klasifikasi. “Tetapi berdasarkan Permen nomor 17 tahun 2012 yang mengatur tentang karst tidak mengenal lagi klasifikasi karst,” kata Hari.

Penentuan kepastian karst harus berdasar penelitian geologi yang melibatkan unsur pemerintah yakni badan geologi, Kementerian ESDM, ahli dari perguruan tinggi dan termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), seperti penetapan bentang alam karst Gunungsewu dan karst Gombong.

“Kami menganggap tidak pantas dan patut karena saksi tidak pernah melakukan penelitian di lokasi yang akan ditambang,” tegas Hari.

Hari melanjutkan dua dosen itu harusnya hanya menjelaskan kesaksian berdasar keahliannya dengan menjawab pertanyaan umum seperti ciri-ciri, bentuk dan definisi karst. Ketika bicara inkonkreto atau wilayah yang spesifik terhadap kasus,  jika ahli tidak punya dasar ilmiah cukup maka tidak perlu menjawab atau penyatakan bahwa tidak bisa menjawab.

Terkait kesaksian Heru Hendrayana tentang Cekungan Air Tanah (CAT), Hari mengatakan sebagai Heru sebagai saksi ahli menyatakan tidak ada CAT di lokasi yang akan ditambang oleh PT. Semen Indonesia, tetapi belakangan mengakui ada CAT dilokasi penambangan sesuai Perpres No.16/2011 tentang penetapan CAT. Ada 31 CAT di Jateng, diantaranya ada di Rembang.

Dalam kesaksiannya di PTUN, Heru juga mengkritisi kelemahan Perpres yang berkaitan dengan penetapan CAT. “Sepatutnya saksi ahli tidak menyatakan hal demikian. Jika ingin mengkritik Perpres maka wilayahnya lain, yakni melakukan judicial review ke Mahkamah Agung,” tambah Hari.

Dari seluruh kesaksiannya, Hari menyimpulkan dua saksi ahli itu menjustifikasi dan mengarahkan bahwa seakan-akan penambangan tidak masalah di Rembang.

Terkait dengan sikap resmi UGM terhadap penambangan semen di Rembang, Ketua Tim Kajian Independen Pujo Semedi mengatakan bahwa UGM tidak pada posisi menerima atau menolak. Akan tetapi sebagai lembaga akademik, UGM berpandangan bahwa secara ekonomis saat ini tidak ada keperluan mendesak industri semen di Indonesia untuk meningkatkan produksi.

Apabila putusan hakim akhirnya menolak gugatan warga karena pertimbangan kedua dosen UGM di persidangan, Paripurna mengatakan bahwa perhatian UGM pada pemberian keterangan saksi kedua dosennya di PTUN Semarang. Yakni bahwa UGM berkewajiban mengijinkan atau menenuhi permintaan siapapun untuk hadir sebagai saksi ahli karena hal tersebut sebagai bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Namun kesaksian diberikan dibawah sumpah dan kesaksian yang diberikan bebas sesuai pengetahuan akademiknya secara netral dan objektif.

Kedua saksi yang bersaksi dalam pengadilan tersebut bukan satu-satunya saksi, artinya banyak saksi lainnya. Kesaksian ahli tidak harus dijadikan patokan oleh hakim, karena hakim bebas untuk menafsirkan kesusuaian keterangan saksi ahli.

Sedangkan saksi adminstrasi yang diberikan kepada kedua dosen tersebut berupa sanksi tertulis, dan tidak akan pada saksi terberat yakni pemberhentian.

Dampak Penambangan di kawasan hutan

Pada kesempatan yang sama, Dr. Satyawan Pudyatmoko, ahli kehutanan yang juga dekan Fakultas Kehutanan UGM mengatakan pertambangan, pabrik dan infrastruktur lainnya akan mengubah bentang lahan. Penambangan pasti akan mengubah dan memberikan dampak negatif terhadap hutan, ekosistemnya, flora dan fauna serta terhadap komponen lingkungan lain.

“Pasti ada dampak negatifnya dan tidak bisa dihindari. Agar dampak tidak meluas maka penambangan harus dilakukan secara terlokalisir agar tidak berdampak pada manusia dan non human,” kata Satyawan.

Hari menambahkan terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan diatur dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan, pada pasal 38 yang pada prinsipnya boleh menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan non hutan, tapi hanya boleh diberikan di hutan produksi dan hutan lindung. Untuk hutan lindung hanya untuk kegiatan bawah tanah atau tidak open mining. Sedangkan lokasi pertambangan di Rembang adalah hutan produksi.

Pada PP No.24/2010 dan perubahan PP No.61/2012 dan Permen No.16/2014 tentang prosedur penggunaan kawasan hutan untuk non hutan, ada prinsip persentase mininal dan ketentuanya. “Prinsipnya tidak boleh merubah fungsi kawasan hutan. Fungsi kawasan hutan harus tetap terjaga. Prosedur pengalihan kawasan hutan sangat ketat,” kata Hari.

Puluhan warga dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati menggeruduk ke Universitas Gajah Mada (UGM) pada Jumat (20/03/2015) menuntut dua dosen UGM untuk jujur member kesaksian dalam kasus sidang gugatan warga di PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Puluhan warga dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati menggeruduk ke Universitas Gajah Mada (UGM) pada Jumat (20/03/2015) menuntut dua dosen UGM untuk jujur member kesaksian dalam kasus sidang gugatan warga di PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Pada kesempatan terpisah, Muhnur Satyaprabu selaku kuasa hukum warga Rembang kepada Mongabay mengatakan,  kesaksian dari kedua saksi ahli dari UGM telah menyalahi etika karena seharusnya saksi berpihak pada kelestarian alam. Bahwa seharusnya keterangan saksi ahli harusnya berdasarkan bukti ilmiah, yakni memberikan keterangan berdasarkan keahlian dan background penelitian yang dilakukan oleh saksi.

“Namun terbukti saksi ahli tidak pernah melakukan penelitian dilokasi yang akan ditambang terhadap karst dan CAT,” kata Muhnur.

Sebelumnya, warga Rembang dan Sedulur Sikep melakukan aksi di kampus UGM pada 20 Maret 2015 yang memprotes dan menyayangkan kesaksian dua dosen yang tidak jujur sebagai saksi ahli pada persidangan gugatan warga Rembang di PTUN Semarang.


UGM: Kerusakan Akibat Penambangan Karst Pasti Terjadi, Dua Dosennya Akan Dikenai Sanksi was first posted on April 16, 2015 at 5:54 am.

Pemprov Harus Segera Ubah Perda Pengelolaan Kelautan. Kenapa?

$
0
0

Pemerintah Provinsi diminta untuk segera mengubah peraturan daerah yang mengatur tentang tata kelola wilayah kelautan di masing-masing provinsi, karena saat ini peraturan yang digunakan masih mengacu pada Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

“Seharusnya, sekarang sudah diubah, karena peraturan yang ada sekarang mengacu pada Undang-Undang No 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,” demikian diungkapkan Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono Diposaptono di Hotel Peninsula, Rabu (15/04).

Pantai Pandean yang akan berubah bila smelter nikel jadi dibangun. Foto : Petrus Riski

Pantai Pandean yang akan berubah bila smelter nikel jadi dibangun. Foto : Petrus Riski

Menurut Subandono, dalam UU No.32/2004 kewenangan yang diberikan pemprov dalam mengelola kawasan perairan hanya 4 sampai 12 mil saja. Sementara, menurut UU No.23/2007, Pemprov diberi kewenangan untuk mengelola dari 0 hingga 12 mil. Karena itu, pemprov di seluruh Indonesia harus segera mengubah peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang hal tersebut.

Namun demikian, Subandono menjelaskan, walau sudah ada desakan untuk segera mengubah perda, hingga saat ini baru lima pemprov yang secara resmi sudah menyusun perubahan perda. Mereka adalah Pemprov DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Maluku Utara.

“Memang baru lima yang sudah menyusun perubahan perda, selebihnya masih dalam proses. Kita meminta semuanya untuk segera menyelesaikan prosesnya karena itu terkait dengan pengelolaan wilayah laut di masing-masing provinsi. Saat ini, tinggal Papua saja yang belum menyusun sama sekali,” jelas Subandono.

Peraturan Pemerintah

Sementara itu menurut Dirjen KP3K KKP, Sudirman Saad, pengelolaan wilayah laut dan pulau-pulau terpencil memang harus diperhatikan lebih baik lagi oleh pemerintah dan semua stakeholder yang terlibat. Pasalnya, saat ini sudah semakin banyak investasi yang ditanamkan di kawasan tersebut.

“Harus ada kepastian hukum terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Karena ini menyangkut dengan investasi yang akan ditanamkan di kawasan tersebut nantinya,” ucap Sudirman.

Sudirman menjelaskan, karena kepastian hukum sangat penting, dia berharap peraturan pemerintah bisa segera disusun.”Mengingat izin lokasi dan izin pengelolaan WP3K sangat terkait dengan beberapa isu pokok yang terjadi di lapangan,” ungkap dia.

Terkait hal tersebut, Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil KKP, Ridho Batubara mengatakan, saat ini tanpa kepastian hukum, minat swasta untuk menanamkan investasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil masih sangat tinggi. Bahkan, saat ini sudah ada lima investor yang setuju untuk berinvestasi di kawasan tersebut.

“Memang saat ini ada lima kawasan yang akan dikembangkan oleh investor. Kita memang menargetkan tahun ini ada lima kawasan yang bisa dikerjasamakan ke pihak lain. Dan kita bersyukur tahun ini bisa terwujud,” tutur Ridho.

Lima kawasan yang akan dikembangkan itu adalah, Pulau Liungan di Pandeglang, Banten; Pulau Tengah di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; Pulau Bawah di Anambas, Pulau Gili Gede dan Pulau Gili Kondo di Lombok Timur.

“Ada yang dibangun resort, yacht, dan ada juga hotel villa. Total investasi yang akan ditanamkan di pulau-pulau tersebut mencapai Rp5 triliun,” ungkap Ridho di Hotel Peninsula.

Tanpa payung hukum yang jelas saat ini, Ridho mengatakan, pihaknya masih terus berupaya untuk menarik minat dan melayani permintaan pihak swasta yang ingin mengembangkan kawasan terpencil dan pulau-pulau kecil. Kata dia, saat ini masih ada beberapa investor yang harus mengantri untuk bisa berinvestasi.

Reklamasi Pantai

Selain pengembangan kawasan terpencil dan pulau-pulau kecil, saat ini kawasan pesisir juga dihadapkan pada pro dan kontra pembangunan kawasan lepas pantai menjadi daratan baru atau reklamasi. Karena, saat ini sejumlah kota besar sedang gencar mengkampanyekan rencana reklamasi wilayah pantai mereka untuk kepentingan perluasan wilayah.

“Dunia itu semakin padat penduduknya, sementara pada saat yang sama luas wilayah tidak mengalami penambahan. Ini yang menjadi dasar beberapa kota besar merencanakan program reklamasi. Karena dengan cara itu, masalah bisa teratasi,” tutur Subandono.

Selain DKI Jakarta yang masih terus diperdebatkan rencana reklamasinya, Subandono menjelaskan, ada juga beberapa kota lain yang juga memiliki rencana serupa, yaitu Balikpapan, Kalimantan Timur; Benoa, Bali; Cirebon, Jawa Barat; dan Makassar, Sulawesi Selatan. Rencana beberapa kota tersebut, dinilai Subandono merupakan hal yang wajar karena biaya untuk menambah wilayah di laut dan membeli lahan baru di darat jauh lebih murah.

Namun demikian, walau dianggap lebih ekonomis, reklamasi harus tetap memerhatikan pada tiga hal, yaitu segi lingkungan, ekonomi dan sosial.”Jika tidak ada salah satu aspek saja dari ketiga itu, maka tidak layak untuk dilakukan reklamasi.


Pemprov Harus Segera Ubah Perda Pengelolaan Kelautan. Kenapa? was first posted on April 17, 2015 at 1:54 am.

Hakim Menolak Gugatan Warga Rembang Terkait Pabrik Semen. Apa Alasannya?

$
0
0

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah pada Kamis (16/04/2015) kembali menggelar sidang gugatan warga Rembang dengan agenda pembacaan putusan terkait pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Jateng untuk penambangan dan pendirian pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.

Setelah lima jam membacakan putusan, majelis hakim memutuskan tidak menerima gugatan warga. Ketua majelis hakim Susilowati Siahaan dalam pertimbangannya menyatakan, berdasar pada asas keterbukaan informasi bahwa para penggugat sudah mendapatkan sosialisasi yang juga diberikan kepada tokoh masyarakat, yang pada intinya penggugat sudah mengetahui objek sengketa (izin lingkungan).

Suasana sidang pembacaan putusan gugatan warga Rembang terhadap pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Jateng kepada PT Semen Indonesia di PTUN Semarang, Kamis (16/04/2015). Foto : Tommy Apriando

Suasana sidang pembacaan putusan gugatan warga Rembang terhadap pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Jateng kepada PT Semen Indonesia di PTUN Semarang, Kamis (16/04/2015). Foto : Tommy Apriando

Pihak tergugat dan tergugat intervensi sudah melaksanakan asas keterbukaan informasi karena sudah diumumkan di Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Rembang, di media cetak dan online terkait dengan objek sengketa. Pihak penggugat bisa dikatakan telah mengetahui objek sengketa karena telah merasa dirugikan.

Majelis hakim juga menimbang bahwa menerima eksepsi tergugat dan tergugat intervensi bahwa gugatan warga telah kadaluarsa cukup beralasan hukum. “Menimbang bahwa gugatan penggugat sudah melewati tenggang waktu 90 hari sehingga kadaluarsa,” kata Susilowati menambahkan alasan putusan.

Karena gugatan warga tidak diterima, maka permohonan penundaan. “Dalam penundaan, menolak pemohonan penundaan dan menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima serta dikenakan biaya perkara sebesar Rp313.500,” kata Susilowati.

Susilowati melanjutkan, terhadap sikap majelis jika ada pihak yang tidak  puas maka bisa mengajukan upaya hukum terhitung sejak putusan dibacakan selama 14 hari.

Usai persidangan, Joko Prianto selaku penggugat kepada Mongabay mengatakan putusan pengadilan lebih mempertimbangkan hal administratif dan sama sekali tidak menyentuh pokok perkara yaitu keinginan warga melestarikan pegunungan Kendeng, dengan sumber mata air yang dibutuhkan bagi kehidupan warga yang terancam hilang karena penambangan dan pendirian pabrik semen.

Joko mengatakan warga juga tidak mengetahui pengumuman pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Jateng. Warga menggugat setelah adanya kepastian penambangan berupa masuknya alat berat ke lokasi pendirian pabrik dan rencana lokasi penambangan pada 16 Juni 2014.

Padahal warga Rembang siap mengajak pemerintah dan perusahaan semen untuk membuktikan kebenaran kondisi di lapangan dan dampak lingkungan pendirian pabrik semen.

Terhadap keputusan itu, warga akan terus berjuang. “Kami sepakat akan melakukan upaya hukum banding terhadap putusan hakim,” kata Joko.

Sementara itu, Walhi selaku penggugat juga menolak putusan hakim karena hakim terkesan mencari jalan aman dengan tidak memeriksa pokok perkara bahwa pertambangan akan berdampak pada kerusakan lingkungan khususnya kawasan karst dan sumber mata air di Cekungan Air Tanah (CAT) Watu putih.

“Putusan majelis hakim belum sama sekali menguji pokok perkara apakah penambangan di kawasan karst di Kabupaten Rembang akan merusak atau tidak. Oleh karenanya Walhi memastikan akan menempuh upaya hukum atas PTUN Semarang ini,” kata Abetnego.

Sementara itu, kuasa hukum warga dari Walhi, Muhnur Satyahaprabu mengatakan, putusan hakim ini memperjelas dugaan bahwa hakim yang bersertifikat lingkungan pun masih ragu menilai suatu produk hukum berpotensi merusak lingkungan. PTUN selain menyalahi prinsip kehati-hatian juga telah menyalahi prinsip partisipasi dalam pembuatan dokumen lingkungan hidup.

Dukungan Bambang Widjajanto

Pada persidangan tersebut, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bambang Widjojanto hadir ditengah warga yang menolak pertambangan PT. Semen Indonesia.

Dalam orasi diatas truk, Bambang memberikan dukungannya terhadap warga Rembang dan membenarkan cara mereka menggunakan jalur hukum untuk memperjuangkan keadilan.

KPK sendiri memprioritaskan penanganan korupsi dari sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan melakukan nota kesepahaman bersama 29 kementerian. Dan penambangan dan pembangunan pabrik semen sebagai bagian dari pengelolaan SDA, jangan sampai merugikan masyarakat dan lingkungan. KPK siap memeriksa kasus pertambangan dan pabrik semen ini bila terindikasi korupsi.

Bambang juga prihatin dengan saksi ahli dari dosen Universitas Gajah Mada yang memberikan keterangan di pengadilan yang tidak netral dan memihak perusahaan.

Aksi Solidaritas

Mengetahui putusan hakim yang menolak gugatan mereka, perwakilan warga Rembang yang selama persidangan pembacaan putusan melakukan aksi di depan PTUN, kemudian pindah lokasi aksi menuju ke kantor Gubernur Jateng untuk berembug dengan Gubernur Ganjar Pranono.

Aksi warga Rembang dan berbagai elemen di luar gedung PTUN Semarang, Kamis (16/04/2015) saat sidang pembacaan putusan gugatan warga Rembang. Foto : Tommy Apriando

Aksi warga Rembang dan berbagai elemen di luar gedung PTUN Semarang, Kamis (16/04/2015) saat sidang pembacaan putusan gugatan warga Rembang. Foto : Tommy Apriando

Namun gubernur tidak ada di kantor, sehingga Asisten Pemerintahan Pemprov Jateng, Siswo Laksono menampung permohonan warga tersebut.

Aksi warga Rembang tersebut didukung oleh ratusan mahasiswa dari kampus UIN Walisongo, Universitas Semarang dan Universitas Diponegoro dan warga dari Kabupaten Blora, Rembang dan Pati.

Pada saat bersamaan, aksi solidaritas juga dilakukan di berbagai lokasi seperti di Yogyakarta, Medan, Bogor, Univseritas Indonesia Depok, dan juga di depan Istana Negara bersamaan dengan aksi rutin kamisan.


Hakim Menolak Gugatan Warga Rembang Terkait Pabrik Semen. Apa Alasannya? was first posted on April 17, 2015 at 5:59 pm.

Demi Swa Sembada Perikanan, Investor Asing Dibatasi di Seluruh Indonesia

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menolak untuk memberikan izin usaha kepada investor asing yang akan membangun usaha perikanan di Indonesia. KKP berkomitmen untuk memberikan kesempatan kepada investor dalam negeri. Cara tersebut diyakini bisa menyelamatkan industri perikanan yang saat ini dinodai oleh aksi illegal fishing.

Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengakui saat ini ada banyak investor asing yang menyatakan ketertarikannya berinvestasi di Indonesia. Salah satunya, adalah investor dari Vietnam yang tertarik berinvestasi budidaya lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

“Tapi saya menolak karena itu cuma akal-akalan mereka saja untuk berinvestasi disini. Karena kan mereka sudah tidak mendapatkan kiriman dari Indonesia lagi, makanya kemudian mereka mendirikan usaha di Lombok,” ujar Susi menjelaskan rencana investor Vietnam tersebut di ruang Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, di Jakarta, Kamis (16/04/2015).

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

Selain itu, jika izin diberikan, produksi lobster Vietnam juga akan semakin berkembang dan bisa menjadi yang terbesar di dunia. Padahal, dengan kapasitas produksi saat ini mencapai 3.000 ton saja, Vietnam harus mengimpor bibit lobster dari Indonesia.”Makanya mereka memilih berinvestasi di Indonesia karena bibitnya sudah tidak didapat lagi dari Indonesia,” tandasnya.

Menurut Susi, walau investor Vietnam kondisinya baik-baik saja, namun dia juga tetap mempertimbangkan untuk memberi izin kepada mereka. Karena, dia berkeinginan kalau pengembangan sektor perikanan di seluruh Indonesia harus dilakukan oleh orang atau instansi dari Indonesia.

“Kalau di Lombok akan dikembangkan lobster, kenapa harus bermitra dengan investor dari Vietnam. Lebih baik kan bermitra sama orang Lombok saja atau investor lain dari Indonesia,” ujar Susi.

Dengan bermitra langsung bersama orang lokal, Susi berharap penyelundupan lobster yang masih marak terjadi bisa terus dicegah dan dihilangkan. Sehingga, ke depannya lobster bisa menjadi andalan untuk mata pencaharian para nelayan di Tanah Air.

Selain di Lombok, Susi juga menolak memberikan izin impor ikan kepada sejumlah perusahaan asing dari Filipina yang berdiri di Bitung, Sulawesi Utara. Susi menolak, karena para investor asing tersebut akan mengimpor ikan segar dari Papua Nugini.

“Buat apa mereka seperti itu? Sementara kita tahu ikan dari Papua Nugini berasal dari perairan Indonesia yang diambil secara ilegal. Jadi, mereka mengambil ikan ilegal, diolah di Indonesia dan dijual di luar negeri,” ungkap Susi.

Jika izin pendirian usaha diberikan untuk investor asing dari Filipina, Susi meyakini, Indonesia akan dirugikan secara materi dan waktu. Karena, ikan yang dieskpor keluar nantinya bergaransi Indonesia dan itu menguntungkan investor dari Filipina yang negaranya sudah tidak dipercaya di dunia internasional untuk mengekspor ikan segar.

“Thailand dan Filipina itu sudah tidak memiliki kredibilitas lagi di dunia internasional, khususnya AS dan Eropa. Makanya, mereka memanfaatkan Indonesia untuk pengemasan ulang ikan dari Papua Nugini,” jelas dia.

Dengan pelarangan tersebut, Susi berharap para nelayan bisa terus mengembangkan diri hingga bisa berjaya di daerahnya masing-masing.”Saat ini lobster contohnya sedang menuju swa sembada. Kita ingin para nelayan bisa berdiri di kaki mereka sendiri. Tak perlu berdiri di kaki orang lain lagi,” tegasnya.

Pasokan dalam Negeri Terbatas

Sementara itu menurut Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut Parluhutan Hutagalung, dua dari lima investor penanaman modal asing (PMA) yang sudah mengajukan permohonan izin mendirikan usaha di Bitung, diketahui memang ingin mengimpor ikan dari Papua Nugini.

Alasannya, karena sumber daya perikanan dari Bitung sudah tidak bisa memenuhi lagi. Sementara, kapasitas produksi mereka dalam sehari cukup besar antara 80 hingga 100  ton per hari per perusahaan. Karena itu, PMA tersebut memilih untuk mengimpor dari Papua Nugini.

“Tapi kita tidak berikan izinnya, karena memang Papua Nugini itu kan negara tetangga dan wilayah perairannya juga berdekatan dengan kita. Kita mau ya PMA mendapatkan ikan dari wilayah Indonesia,” ujar Saut.

Penyebab turunnya pasokan ikan, menurut Saut karena saat ini mereka tidak bisa mengoperasikan kapal-kapal besar mereka untuk berlayar. Seluruh kapal mereka saat ini sedang masuk dalam proses evaluasi oleh KKP karena status kepemilikan kapal mereka adalah eks asing.

Perusahaan milik PMA di Bitung tersebut, kata Saut, mengajukan izin impor ikan selama enam bulan. Itu artinya, mereka meminta impor sekitar 18 ribu ton per perusahaan.”Itu jumlah yang banyak dan kita merasa itu tidak layak untuk dilakukan impor sebanyak itu,” ujar dia.

Alasan lain yang mendasari penolakan izin impor yang diajukan PMA di Bitung, menurut Saut, karena KKP saat ini sedang berusaha menerapkan pencegahan beredarnya ikan-ikan yang berasal aksi illegal fishing. Kata dia, ikan-ikan yang berasal dari dalam ataupun luar negeri akan diawasi dengan ketat legalitasnya.

“Kita tidak mau tangkapan laut dari praktek illegal fishing masuk ke pasar mana pun, termasuk Indonesia. Kita juga kan sedang menerapkan proses seritifikasi untuk semua hasil tangkapan laut,” tegas dia.

 


Demi Swa Sembada Perikanan, Investor Asing Dibatasi di Seluruh Indonesia was first posted on April 18, 2015 at 2:50 am.

Petugas Balai Taman Nasional Tertangkap Tangan Membawa Offset Harimau Di Jambi

$
0
0

Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi bekerja sama dengan Polda Jambi berhasil menangkap tangan pedagang kulit harimau di Jembatan Sungai Kumpe, Kabupaten Muaro Jambi pada Rabu (14/04/2015) dinihari. Dari dua tersangka yaitu Y (60) dan IK (44), disita offset seekor harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang akan dijual.

Setelah ditangkap kedua tersangka langsung digiring ke Polda Jambi. Dari keterangan yang diberikan, diketahui ternyata tersangka IK adalah staf Balai Taman Nasional Berbak (TNB), Jambi.

Barang bukti berupa offset harimau sumatera hasil dari tersangka Y (60) dan IK (44) dari operasi tangkap tangan Petugas BKSDA Jambi dan Polda Jambi di Jembatan Sungai Kumpe, Kabupaten Muaro Jambi pada Rabu (14/04/2015) dinihari.  Foto : Lili Rambe

Barang bukti berupa offset harimau sumatera hasil dari tersangka Y (60) dan IK (44) dari operasi tangkap tangan Petugas BKSDA Jambi dan Polda Jambi di Jembatan Sungai Kumpe, Kabupaten Muaro Jambi pada Rabu (14/04/2015) dinihari. Foto : Lili Rambe

Dari penelusuran yang dilakukan Mongabay, offset harimau sepanjang sekitar 1 meter tersebut adalah milik A (57),seorang guru sekolah dasar di Kabupaten Muaro Jambi. A kemudian meminta Y yang juga adalah kenalannya untuk mencarikan pembeli offset harimau yang dimilikinya. Karena Y sedang membutuhkan uang untuk berobat ia menyanggupi tawaran A dan meminta tolong pada IK, yang sering menginap di rumah Y untuk menemaninya membawa offset harimau tersebut. Pihak TNB memperkirakan usia offset harimau tersebut sekitar 30 tahun.

“Berkat komunikasi dan koordinasi dengan pihak Polda Jambi akhirnya operasi ini berhasil dilaksanakan dengan baik” ujar Krismanko Padang, ketua tim operasi dari BKSDA Jambi. Namun menurut Krismanko pada siang harinya penyidikan kasus ini diserahkan ke PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) TNB.

”Saat ini penyidikan telah diserahkan oleh Polda ke PPNS TNB” jelas Krismanko. Hal ini juga dibenarkan oleh Kepala Taman Nasional Berbak, Agustinus Rante Lembang. “Polda menyerahkan kasus ini ke kami. Dan kami telah melaporkan kasus ini ke Ditjen PHKA (Direktorat Jendral Perlindungan Hutan Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan / KLHK) dan Ditjen telah mengirimkan penyidiknya hari ini” ujar Agustinus ketika ditemui di kantornya, Jumat (17/04/2015).

Sementara itu Osmantri, koordinator Perlindungan Harimau WWF-Indonesia mengatakan bahwa kasus ini perlu terus dipantau oleh berbagai pihak agar dapat segera tuntas. “Kasus ini harus kita kawal terus agar tidak ‘masuk angin’ dan sampai ke tahap pemberian ” jelas Osmantri.

Ketua Forum Harimau Kita, Yoan Dinata juga mengungkapkan keprihatinannya atas kasus ini. “Disaat Dirjen PHKA berencana ini menambah populasi harimau justru salah satu staf nya terlibat perdagangan offset harimau” kata Yoan. Menurutnya Dirjen PHKA harus lebih ketat dalam mengawasi para stafnya dan memberikan sanksi yang tegas terhadap para stafnya yang melanggar hukum. Mulyana, PPNS Ditjen PHKA yang ditugaskan untuk menyidik kasus ini mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini.

Perburuan dan Perdagangan Kulit Harimau Terus Marak

Penangkapan tersebut adalah operasi tangkap tangan ketiga selama tahun 2015. Operasi tangkap tangan sebelumnya dilakukan di Kabupaten Kerinci pada pertengahan bulan Maret lalu. Dari operasi ini Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Polres Kerinci berhasil menggagalkan perdagangan kulit harimau dari 2 orang tersangka yaitu S (38) dan anaknya, RES(20) warga desa Pungut Mudik, Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci, Jambi.

Dari operasi tangkap tangan ini TNKS dan Polres Kerinci berhasil selembar kulit harimau dengan ukuran panjang 143 cm beserta tulangnya. Harimau ini berjenis kelamin betina dan diperkirakan berumur 6 – 7 tahun.

“Jika dilihat dari barang bukti, S adalah pemburu harimau spesialis racun yang sudah berpengalaman karena dia bekerja dengan sangat rapi” jelas Dian Risdianto, Kepala Seksi Pengelolaan TNKS Wilayah II. Dan hingga saat ini proses penyidikan kasus masih ditangani oleh Polres Kerinci.

Menurut Dian sejak Januari hingga awal Maret 2015 saja tim patroli Penyelamatan Harimau Sumatra Kerinci Seblat (PHSKS) telah berhasil memusnahkan 14 jerat harimau. Kondisi ini membuktikan bahwa ancaman terhadap populasi harimau sumatra di kawasan TNKS terus meningkat.

(Ilustrasi) Harimau Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

(Ilustrasi) Harimau Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Sementara itu kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019 Ditjen PHKA KLHK menargetkan untuk meningkatkan populasi harimau sumatra sebesar 10% dari populasi yang ada saat ini.

Sebuah target yang cukup ambisius dan membutuhkan komitmen besar dari pemerintah dan berbagai pihak, mengingat saat ini kondisi harimau sumatra di habitatnya menghadapi begitu banyak ancaman, mulai dari perburuan harimau dan satwa mangsanya hingga konversi habitat harimau menjadi pemukiman, pertambangan dan perkebunan.

Harimau sumatra adalah satu-satunya jenis harimau di Indonesia yang masih tersisa. Dari hasil survey populasi di TNKS diperkirakan terdapat sebanyak 160-an individu harimau sumatra. Sementara itu di TNB diperkirakan terdapat sekitar 35 invidu harimau sumatra yang 17 diantaranya telah terpantau melalui camera trap. Dan jumlah ini tentu saja akan terus menyusut jika perburuan terus terjadi.


Petugas Balai Taman Nasional Tertangkap Tangan Membawa Offset Harimau Di Jambi was first posted on April 18, 2015 at 3:36 pm.

PM Norwegia : Menjaga Hutan Tropis Tugas Bersama Masyarakat Dunia

$
0
0

Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berkunjung ke Dusun Senamat Ulu, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi pada Rabu (15/04/2015). Selain ke dusun, PM juga mengunjungi kelompok Orang Rimba yang bermukim di konsesi HTI PT Malaka Agro Perkasa (MAP), sekitar 40 menit berkendara dari Dusun Senamat Ulu.

Berdasarkan survei KKI WARSI, terdapat empat kelompok Orang Rimba yang hidup di dalam kawasan konsesi PT MAP seluas 24.485 hektar, yaitu Rombong Salim, Bujang Tampui, Badai dan Bujang Putih yang berjumlah 36 kepala rumah tangga dengan 137 jiwa.

Dalam kunjungan ini, PM Norwegia yang juga merupakan Duta Millenium Development Goals (MDGs)  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melihat kearifan lokal dan inisiatif masyarakat dalam mengelola hutan, sekaligus melihat kondisi masyarakat asli marginal yang hidup di hutan-hutan sekunder di Provinsi Jambi, yaitu Orang Rimba.

Dialog Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dengan kelompok Orang Rimba yang bermukim di konsesi HTI PT Malaka Agro Perkasa (MAP) di, Kabupaten Bungo, Jambi pada Rabu (15/04/2015).  Foto : Heriyadi Asyari / KKI WARSI

Dialog Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dengan kelompok Orang Rimba yang bermukim di konsesi HTI PT Malaka Agro Perkasa (MAP) di, Kabupaten Bungo, Jambi pada Rabu (15/04/2015). Foto : Heriyadi Asyari / KKI WARSI

Erna Solberg sempat berdiskusi dengan empat kelompok orang rimba tersebut, dan menyatakan menjaga hutan bukan saja menjadi kepentingan bagi Orang Rimba, tapi juga masyarakat dunia. “Hutan tropis ini penting untuk kehidupan orang rimba dan juga penting untuk kehidupan masyarakat dunia. Dan kita perlu mengajak para pihak untuk melindunginya,” sebutnya.

Badai yang merupakan salah satu ketua kelompok yang berdiskusi menyebutkan kalau saat ini kehidupan mereka  menjadi sulit dengan menyempitnya ruang jelajah dengan kehadiran perusahaan tersebut. “Dulu sebelum ada perusahaan ini, kami bisa mendapatkan hewan buruan. Sekarang untuk makan saja kami sulit, karena hewan buruan tidak ada lagi. Kalaupun ketemu pun tidak seberapa, kami juga harus menjual hewan itu untuk membeli beras,” katanya.

Pola pengelolaan sumber daya alam yang didominasi oleh pemegang modal, di antaranya adalah kelompok usaha Group Harum dengan anak perusahaannya PT Malaka Agro Perkasa (MAP), perusahaan hutan tanaman industri serta dua perusahaan perkebunan yaitu PT Sawit Harum Makmur (SHM) dan Citra Sawit Harum (CSH) yang lokasi konsesinya berada di dekat Desa Senamat Ulu.

Meski semuanya sudah mendapatkan legalisasi dari pemerintah, namun dalam pelaksanaannya diharapkan perusahaan mampu mengakomodir prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan dan mendorong pelibatan serta pengakuan masyarakat di dalam dan sekitarnya dalam pengelolaan kawasan konsesinya.

Sejauh ini memang keberadaan Orang Rimba di dalam kawasan relatif berjalan baik. Kebun-kebun Orang Rimba di dalam areal konsesi juga masih dibiarkan oleh perusahaan. “Namun untuk jangka panjangnya kita perlu mendorong supaya ada regulasi dan jaminan konkret dari para pihak untuk kelompok yang sudah sejak awal bermukim di sini. Ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah yang komit untuk perlindungan masyarakat adat. Bentuknya dapat berupa kerja sama yang jelas dan saling menguntungkan untuk kelompok Orang Rimba,” kata Direktur WARSI Diki Kurniawan.

Dipilihnya Kabupaten Bungo sebagai lokasi kunjungan kenegaraan ini karena kelompok masyarakat yang hidup di wilayah ini telah melakukan pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Ini merupakan salah satu kekuatan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Sebelum dunia sibuk berbicara efek rumah kaca, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan REDD +, masyarakat di sini telah berbuat untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut. Konsep pengelolaan sumber daya alam di Senamat dan desa-desa sekitarnya menerapkan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM).

Dengan pola ini, masyarakat telah mengatur pengelolaan kawasan sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Di bagian hulu ada Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kemudian di bagian bawah daerah penyangga dikelola dengan skema Hutan Adat dan Hutan Desa. Selanjutnya adalah pengelolaan kawasan agroforest karet yang secara fungsi mirip dengan hutan alam. Kemudian ada kebun-kebun masyarakat dengan tanaman campuran dan areal persawahan yang dikelola dengan intensif.

“Konsep pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat Batin III Ulu, secara umum sudah menerapkan pengelolaan sumber daya alam yang memberikan manfaat langsung pada masyarakat dari semua segi kehidupan. Secara ekonomi pengelolaan ini memberi manfaat ekonomi berlapis yang bisa diambil masyarakat dalam satu kurun waktu tertentu. Dari segi sosial, mampu mendukung kehidupan yang berkelanjutan, serta dari segi lingkungan sangat membantu untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” lanjut Diki.

Dialog Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dengan kelompok Orang Rimba yang bermukim di konsesi HTI PT Malaka Agro Perkasa (MAP) di, Kabupaten Bungo, Jambi pada Rabu (15/04/2015).  Foto : Heriyadi Asyari / KKI WARSI

Dialog Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dengan kelompok Orang Rimba yang bermukim di konsesi HTI PT Malaka Agro Perkasa (MAP) di, Kabupaten Bungo, Jambi pada Rabu (15/04/2015). Foto : Heriyadi Asyari / KKI WARSI

Keberhasilan pengelolaan oleh Orang Rimba di konsesi PT MAP tersebut menjadi tujuan kunjungan kerja PM Norwegia yang di dampingi Menteri LHK Siti Nurbaya. “Beginilah realita kehidupan masyarakat kita, ada Orang Rimba yang sejak dulu mendiami kawasan tertentu, namun belum masuk dalam pengadministrasian pemerintah. Harapannya, dengan adanya komitmen besar dari pemerintah untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat akan melindungi dan menjamin keberlangsungan pengelolaan kawasan kelola Orang Rimba yang tersebar di dalam hutan-hutan sekunder yang ada di Provinsi Jambi, baik dalam kawasan hutan yang sudah diberikan hak kelola kepada pihak tertentu maupun yang yang belum. Intinya kawasan kelola dan hak hidup mereka diakui oleh pemerintah,” ujar Diki.

Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan dalam mendorong lahirnya jaminan bagi masyarakat ada. Menuru Diki, model kelola hutan yang sudah berlangsung di masyarakat, sudah selayaknya mendapat pengakuan para pihak termasuk dalam mendorongnya masuk dalam skema perdagangan karbon ataupun inisiatif lain yang menjadikan masyarakat sebagai aktor penerima manfaat dalam skema pengurangan emisi.

Norwegia yang sejak awal sudah memperlihatkan keberpihakannya pada pengelolaan hutan lestari ditunjukkan dengan adanya Letter of Intent (LoI)  pemerintah Indonesia dan Norwegia. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon dan pemerintah Norwegia akan membantu dalam hal pendanaannya.

Dikatakan Diki, PM Norwegia yang sejak 2013 telah ditunjuk oleh Sekjen PBB sebagai Co-Chair MDGs Advocacy Group, bertugas dengan salah satu ruang lingkupnya adalah mendorong percepatan pengentasan kemiskinan dan adanya kesetaraan hak antar semua pihak yang dimasukkan ke dalam program pembangunan di setiap negara, sebagaimana tujuan MDGs. Selain itu juga mendorong semua negara untuk terlibat aktif dalam penanggulangan dampak perubahan iklim dan memastikan kelompok rentan untuk mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi.

Perlu Mendorong Jaminan Hak Orang Rimba

Kelompok masyarakat marginal seperti Orang Rimba merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan pembangunan yang berlangsung. Penghidupan Orang Rimba masih meramu dan mengumpulkan hasil hutan, wilayah sebaran berdasarkan anak-anak sungai dengan ruang jelajah yang sudah tertentu dan belum ada konflik di antara sesama Orang Rimba dan masyarakat desa sekitarnya.

Keberadaan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan HTI skala besar di wilayah penghidupan Orang Rimba berpotensi berpotensi menimbulkan konflik bila pemerintah dan perusahaan tersebut tidak membantu penghidupan Orang Rimba dalam hal ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan layanan pokok lainnya.

Menteri LHK Siti Nurbaya menyebutkan pemerintah saat ini memang fokus pada hak-hak kaum adat. Dan dia berjanji akan mendapatkan solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada Orang Rimba belakangan ini. “Pemerintah saat ini memang sedang fokus pada masalah hak-hak masalah adat. Untuk saat ini kami sudah merumuskan solsui terhadap permasalahan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas. Dan yang di sini, kami tentu juga akan mencari jalan keluar atas permasalahan ini,” jelasnya.


PM Norwegia : Menjaga Hutan Tropis Tugas Bersama Masyarakat Dunia was first posted on April 19, 2015 at 6:00 am.

SVLK Dicabut, Sama Saja Hancurkan Industri Meubel Indonesia

$
0
0

Rencana Presiden Joko Widodo untuk menghapuskan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dinilai sebagai langkah yang salah. Pasalnya, kebijakan SVLK pada kenyataannya saat ini sangat membantu pertumbuhan industri kayu atau meubel yang ada di Indonesia. Karenanya, SVLK sudah sepantasnya untuk dipertahankan sebagai kebijakan yang mendukung industri meubeul.

Menurut anggota Jaringan Pemantau Independen (JIPK) Mardi Minangsari, jika Jokowi bersikukuh akan menghapus kebijakan SVLK, maka itu artinya Presiden sedang berusaha untuk menghancurkan sistem tata niaga meubel di Indonesia dan dunia internasional.

“Harusnya SVLK itu dipertahankan kebijakannya. Karena, kebijakan tersebut akan memberi dampak yang bagus untuk perkembangan industri meubel nasional. Jika dihapus, justru itu akan mengancam industri tersebut,” jelas perempuan yang biasa disapa Minang itu dalam diskusi yang digelar di Tjikini 17, Jakarta, pada Jumat (17/04/2015).

Kanopi hutan hujan tropis.  Foto: Rhett Butler

Kanopi hutan hujan tropis. Foto: Rhett Butler

Minang mengungkapkan, berkat SVLK, tata niaga meubel di Indonesia dinilai sangat baik di mata internasional. Sehingga, reputasi kayu dari Indonesia dalam perdagangan internasional bisa diterima dengan baik dan mendapat kepercayaan penuh. Kondisi tersebut, kata dia, seharusnya bisa dipertahankan dan bukan dihancurkan.

Berkat kepercayaan pasar internasional juga, Minang menjelaskan, industri meubel Tanah Air saat ini terus bergerak naik dan semakin membaik dari hari ke hari. “Jika dicabut kebijakannya, maka itu sama saja menjatuhkan kredibilitas Indonesia di pasar internasional. Daya saing meubel dari Indonesia akan melemah dengan cepat,” tutur dia.

Tidak hanya itu, Minang menilai, rencana pencabutan kebijakan SVLK juga pada akhirnya akan berdampak negatif untuk industri meubel nasional, karena pangsa pasarnya akan ikut mengerucut.”Dengan kondisi sekarang ada SVLK saja, pangsa pasar kecil, apalagi kalau nanti sudah dicabut, pasti akan semakin mengerucut lagi,” tandas dia.

“Sangat disayangkan saja jika Presiden merencanakan begitu. Saat negara lain seperti Vietnam, Myanmar dan bahkan Malaysia, membuat SVLK sendiri, Indonesia yang sudah ada malah akan dicabut. Kita akan semakin tertinggal saja,” tambah dia.

Perlindungan Industri Kecil dan Menengah

Menyikapi penilaian Presiden Jokowi yang menyebut kebijakan SVLK  mengganggu perajin kecil, Asosiasi Industri Permebeulan & Kerajinan Indonesia (Asmindo), berpendapat bahwa itu merupakan penilaian yang salah. Karena, yang dibebani untuk memiliki SVLK itu adalah perajin di hulu.

“Sementara, kalau perajin kecil ya tidak diharuskan memiliki SVLK. Mereka cukup mendapatkan surat rekomendasi saja. Jangan sampai ada salah arti tentang SVLK. Karena, kebijakan tersebut pada kenyataannya sangat membantu sekali untuk industri meubel di Indonesia,” ujar Widayati Soetrisno, anggota Asmindo.

Widayati menjelaskan, kalaupun perajin kecil akan menebang pohon untuk diambil kayu, itu juga tidak diwajibkan untuk memiliki SVLK, tapi cukup melengkapi dokumen konfirmasi saja.”Namun, untuk mendapatkan itu juga tidak gampang. Kalau mau gampang, ya perajin kecil bisa menebang, asalkan itu di lahan sendiri pohonnya,” tutur dia.

Menurut Widayati, kekhawatiran Presiden Jokowi sangat tidak beralasan jika memang yang jadi masalah adalah perajin kecil. Karena, pada kenyataannya ada solusi untuk dipecahkan secara bersama dan itu bersifat membantu.

“Kalau kebijakan SVLK benar akan dicabut, bagaimana dengan nasib meubel kita di pasar internasional seperti Eropa, AS dan Jepang? Untuk Eropa saja kita sudah mendapatkan 40 persen dari total 100 persen pasar ekspor Indonesia. Itu artinya, kita terancam kehilangan pemasukan hingga 40 persen dari Eropa saja,” papar dia.

Karena itu, Widayati menilai akan ada kontradiksi jika kebijakan SVLK benar dicabut. Pasalnya, beberapa waktu lalu Kementerian Perdagangan menargetkan nilai ekspor Indonesia dari meubel meningkat hingga USD5 miliar. ”Tahun 2013 realisasinya USD1,3 miliar. Walau tahun target dari Kemendag cukup sulit, namun bagi industri meubel nasional itu menjadi tantangan karena pasar internasional sedang bagus merespon produk meubel kita,” ungkap dia.

Telaah Kembali

Sebelum mencabut kebijakan SVLK, sebaiknya Presiden menelaah kembali seperti apa kebijakan SVLK dan apa manfaat serta negatifnya untuk industri meubel di Indonesia. Jika itu sudah dilakukan, maka Presiden boleh memutuskan apakah akan dicabut atau dipertahankan.

“Persoalan SVLK ini harus dikomunikasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pihak lain yang terkait. Harus diperjelas dulu bagian mana yang menghambat dan tidak boleh begitu saja dicabut,” demikian pendapat Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagyo.

“Presiden Jokowi harus punya visi yang lebih panjang, karena jika kebijakan ini dihapus, maka tujuan SVLK untuk menertibkan tata usaha kelola kayu hingga menekan illegal logging dan sekaligus meningkatkan daya saing usaha di tingkat internasional, sama sekali tidak akan tercapai,” tambah dia.

Oleh karena itu, sejumlah organisasi yang terdiri dari Asmindo, AMAN, FWI, ICEL, JPIK, PBH KEMITRAAN dan HUMA, mengeluarkan sikap bersama agar kebijakan SVLK dipertahankan.

Mereka juga menyerukan penguatan implementasi SVLK untuk mencapai tujuannya secara tepat dengan mereformasi sistem perizinan dan memperkuat sistem insentif dan disinsentif bagi dunia usaha kecil dan menengah, serta agar dibuat kebijakan terobosan yang pro perlindungan hutan dan lingkungan hidup melalui kebijakan pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan.

 


SVLK Dicabut, Sama Saja Hancurkan Industri Meubel Indonesia was first posted on April 20, 2015 at 3:50 am.

Kotoran Manusia Diubah Jadi Pupuk dan Energi Di Tempat Ini

$
0
0

Masyarakat seringkali tidak memperhatikan bagaimana membuang atau mengolah limbah rumah tangga yang tidak mengganggu lingkungan. Masyarakat menganggap pengelolaan lingkungan dianggap urusan yang memboroskan biaya dan tidak menguntungkan. Padahal limbah domestik seperti kotoran manusia ternyata masih bisa dimanfaatkan.

Direktur Pusat Studi Lingkungan Universitas Surabaya (PSL Ubaya), Yunus Fransiscus mengatakan sudah saatnya masyarakat diajak untuk memanfaatkan limbah domestiknya menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Oleh karena itu, Yunus bersama tim PSL Ubaya membuat proyek percontohan yang mengolah kotoran manusia menjadi pupuk organik dan biogas dengan teknologi yang sederhana.

“Sampah tidak selalu memiliki arti negatif. Seperti Kota Surabaya yang sudah bisa dikatakan berhasil ketika masyarakatnya mampu mengubah sebagian sampah organik menjadi organik kompos. Itu merupakan material yang bagus, berguna dan punya nilai ekonomi,” kata Yunus yang ditemui Mongabay pada minggu kemarin di Surabaya, Jawa Timur.

Yunus Fransiscus menunjukkan contoh pupuk organik dari  kotoran manusia kepada peserta Congres Blue Economy yang mengunjungi Ubaya Training Center. Foto : Petrus Riski

Yunus Fransiscus menunjukkan contoh pupuk organik dari kotoran manusia kepada peserta Congres Blue Economy yang mengunjungi Ubaya Training Center. Foto : Petrus Riski

Perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat menjadi tujuan utama, memanfaatkan sampah yang dihasilkan menjadi sesuatu yang lebih bernilai manfaat.

“Idenya adalah menstimulasi masyarakat dan dunia usaha untuk mulai berpikir apa yang bisa dipakai dari sampah,” ujar Yunus yang menyebut pendekatan ini sebagai bagian dari konsep Ekonomi Biru.

Dia mengilustrasikan kotoran dari 3,5 juta penduduk Surabaya bisa menjadi dikumpulkan menjadi bank pupuk organik dan biogas. “Indonesia itu negara agraris, kita sangat perlu pupuk untuk mensuplai para petani,” terangnya.

Dari hasil uji coba 10 kg kotoran yang terkumpul dalam kondisi relatif murni, akan dapat dihasilkan sekitar 4-6 kg pupuk atau sekitar 40 persen dari volume awal.

“Ada beberapa tahapan yang dilakukan, pertama pengumpulan, pengubahan atau pengalihan material kotoran menjadi bahan berguna, kemudian aplikasi penerapan dari hasil itu ke lahan pertanian,” lanjut Yunus yang mengaku tidak membutuhkan material tambahan untuk mengubah tinja menjadi pupuk organik.

Pada setiap toilet di Ubaya Training Center, Trawas, Mojokerto, Jatim, sudah dipasang pemisah feses dengan urin, yang masing-masing dapat digunakan untuk pupuk.

Model kloset duduk yang memisahkan antara feses dengan urine di Ubaya Training Center, Mojokerto, Jatim. Foto : Petrus Riski

Model kloset duduk yang memisahkan antara feses dengan urine di Ubaya Training Center, Mojokerto, Jatim. Foto : Petrus Riski

Pembuangan kotoran atau tinja manusia melalui pipa yang disalurkan langsung ke tempat pemampungan khusus yang telah dibuat sebelumnya. Sedangkan urine yang dibuang disalurkan ke tempat penampungan lain yang berbeda dengan tinja.

Yunus mengatakan bahwa kotoran manusia yang tidak banyak tercampur dengan air akan lebih bagus kualitasnya untuk dijadikan bahan pupuk organik.

“Proyek percontohan yang saya buat di Lumajang, pada salah satu keluarga petani disana, mereka berhasil memisahkan dua material yaitu tinja dan urine. Hasilnya pupuk organik yang dihasilkan sangat bagus dan hasil pertaniannya juga lebih bagus,” terangnya.

Mengubah paradigma

Masyarakat seringkali beranggapan pengelolaan lingkungan tidak menguntungkan. Padahal pengelolaan lingkungan ternyata bisa menguntungkan. Yunus melihat ini menjadi tantangan sekaligus peluang menjadikan kegiatan ekonomi dan pelestarian lingkungan berjalan seiring.

“Seringkali kita terhalang dengan pemikiran-pemikiran yang dianggap susah atau butuh banyak biaya, padahal biaya yang dikeluarkan akan kembali dan dapat dirasakan manfaatnya di kemudian hari,” tandas Yunus.

Edukasi dan penyadaran di kalangan masyarakat terutama pelaku usaha sangat penting dilakukan, karena hal tersebut menjadi kunci dasar perubahan perilaku masyarakat terkait pengelolaan dan pemanfaatan sampah.

Selain kotoran manusia, sampah limbah domestik juga berpotensi diolah menjadi barang ekonomis

“PR besar kita itu adalah edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Harapan kedepan adalah kita bisa mensejajarkan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan, sehingga upaya pengelolaan lingkungan dapat berjalan lebih efektif, karena orang bisa melihat nilai ekonominya disamping nilai pengelolaan lingkungannya,” tandasnya.

Yunus menegaskan bahwa masyarakat memiliki kesadaran yang sama untuk mengolah limbah rumah tangganya, maka selain lingkungan hidup tetap terjaga, pemasukan secara finansial akan juga didapatkan oleh masyarakat.

Peserta Konggres Blue Economy pun mengunjungi proyek percontohan pengolahan kotoran manusia di Ubaya Training Center sebagai contoh konkrit penerapan konsep ekonomi biru.

Youko Tomizuka, peserta kongres dari Jepang mengapresiasi proyek percontohan tersebut, dan berharap dapat diterapkan oleh masyarakat di negara lain.

“Ini adalah inisiatif dari akademisi di lembaga pendidikan. Mereka melakukan perubahan terhadap alam, dan saya pikir kegiatan ini bisa disampaikan kepada masyarakat,” ujar Youko.

Dia menambahkan proyek ini mendorong masyarakat untuk mengurangi limbah dengan mendaur ulangnya dan lebih menghargai alam.

Kongres Ekonomi Biru

Paradigma mengolah limbah produksi menjadi bernilai ekonomis bagi masyarakat terutama pengusaha merupakan bagian dari konsep ekonomi biru yang dibahas pada The 9th World Congress on Blue Economy, di Surabaya pada pertengahan April 2015.

Pembina Yayasan Ekonomi Biru, Sri Woro Harijono mengatakan konsep ini sebagai sarana transfer pengetahuan kepada masyarakat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat secara khusus.

Pendiri sekaligus peneliti Zero Emissions Research and Inititives (ZERI) Gunter Pauli mengutarakan, konsep ekonomi biru merupakan model ekonomi yang lebih mudah dan efisien untuk dijalankan, dibandingkan dengan ekonomi hijau yang dinilai membutuhkan lebih banyak biaya.

“Dalam blue economy kami melakukan inovasi, namun tidak hanya inovasi dan teknologi tetapi inovasi dan bagaimana melakukan bisnis,” ungkap Gunter. Dia mencontohkan cerita sukses pembuatan produk kertas berbahan baku batuan di Afrika Selatan.

Contoh sukses itu bakal ditiru pemprov Jatim.“Success story mengenai bekas gurun di South Africa yang batuan itu, bisa jadi kertas. Saya membayangkan di Pacitan, Trenggalek itu kan bisa juga, pabrik kertas berbasis batuan, namanya stone paper,” kata Asisten bidang Perekonomian, Sekretaris Daerah Pemprov Jatim Hadi Prasetyo,

Sementara itu Gubernur Jawa Timur Soekarwo menanggapi positif konsep ekonomi biru dalam penerapan pembangunan berkelanjutan, karena model itu akan menyerap banyak tenaga kerja, yang otomatis meningkatkan ekonomi masyarakat. Soekarwo meyakini konsep ekonomi biru dapat mensinergikan antara ekonomi serta lingkungan.

 


Kotoran Manusia Diubah Jadi Pupuk dan Energi Di Tempat Ini was first posted on April 20, 2015 at 6:41 am.
Viewing all 2588 articles
Browse latest View live