Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

Air Danau Buyan Mulai Menyusut, Warga Keluarkan Uang Ekstra. Kenapa?

$
0
0

Musim kemarau panjang yang terjadi tahun ini membuat petani  di kawasan Danau Buyan di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali ‘resah’. Pasalnya memasuki musim kemarau kawasan danau yang merupakan resapan air terus mengalami penyusutan sejak akhir Agustus 2015 lalu. Untuk  mengairi tanaman mereka, para petani harus mengeluarkan uang ekstra cukup tinggi.

Nyoman Lantur, petani stroberi di Desa Pancasari menjelaskan menyusutnya volume air danau sangat berdampak langsung kepada petani disekitarnya. Dampak yang sangat terlihat adalah penambahan pembiayaan atau modal membeli berupa mesin pompa dan pipa panjang untuk mempermudah penyedotan air dari danau ke areal perkebunan. Jika dihitung modal tambahan yang dikeluarkan mencapai Rp4 Juta hingga lebih.

Kawasan Danau Buyan, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, tempat diadakannya Twin Lake Festival. Foto : Wikipedia

Kawasan Danau Buyan, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, tempat diadakannya Twin Lake Festival. Foto : Wikipedia

“Ini mau bagaimana lagi, air danau sudah menyusut lama pak. Jadi biar tanaman stroberi tidak mati, saya beli mesin air agar tanaman tetap hidup,” ujarnya.

TIdak itu saja, kekeringan itu juga  mengakibatkan sumur warga mengalami penyusutan dan juga air berubah warna menjadi keruh. Jika dilihat  jarak antara danau dan pemukiman warga tidak terlalu jauh, berkisar mencapai satu sampai dua kilometer. Mereka menilai jika mencari air bersih sangat sulit, dan harus mencari ke beberapa rumah warga lainnya. Warga berharap hujan segera turun dan air kembali normal baik di sumur dan di danau Buyan.

“Ini air di sumur malah ikut surut. Ya kami tetap gunakan saja, karena tidak ada pilihan lain. Mudah-mudahan sumur tidak sampai mengering, kalau kering saya mesti beli air galon di warung,” ucap Ni Putu Merta.

Penyusutan air danau ini, konon bukan kali pertama terjadi melainkan setiap memasuki musim kemarau. Kondisi berkurangnya air hampir mencapai seperempat danau, dan praktis hanya meninggalkan lumpur tersisa.

Sejumlah penelitian menunjukan air Danau Buyan, bukan hanya sebatas sebagai sumber penghidupan melainkan digunakan sebagai kawasan daerah resapan air di Bali. Petani di sekitar danau tidak ketinggalan ikut menjaga kelestarian air, baik dari sampah dan pencemaran pihak tidak bertanggungjawab.

Sementara itu, Dosen Pertanian Universitas Udayana, Dr. Kartini kepada wartawan,  menuturkan kejadian penyusutan air danau Buyan telah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Fenomena alam tersebut diakibatkan kondisi kekeringan yang belakangan menerpa sejumlah wilayah di Bali. “Penurunan air diperkirakan terjadi akhir Agustus lalu. Diduga karena kekeringan dan fenomena alam ini akibat sedimen sangat tinggi. Selain itu gulma mulai banyak, apalagi tanah di sekitar danau sudah sangat kering. Ini harus menjadi perhatian berbagai pihak,” tandasnya.

 


Air Danau Buyan Mulai Menyusut, Warga Keluarkan Uang Ekstra. Kenapa? was first posted on October 13, 2015 at 4:30 am.

Kurangi Ketergantungan Impor, Indonesia Produksi Pakan Ikan Murah Berkualitas

$
0
0

Dominasi produk pakan ikan impor di pasaran Indonesia yang harganya cukup terjangkau, diharapkan bisa segera berkurang. Hal itu, karena pakan ikan murah dengan kualitas bagus siap diluncurkan ke pasaran Indonesia. Produk tersebut diharapkan bisa memecah dominasi produk impor.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan, pembuatan pakan ikan murah dimaksudkan untuk memasok kebutuhan pakan ikan yang dibutuhkan pembudidaya ikan air tawar yang ada. Selama ini, kebutuhan tersebut harus dipenuhi oleh produk impor, karena tidak ada produk lokal yang memenuhi standar nasional indonesia (SNI).

“Sekarang akan segera hadir produk pakan ikan murah dengan kualitas bagus. Kualitasnya sudah SNI ya. Produk tersebut dikhususkan untuk ikan lele dan mujair,” ucap Susi di Jakarta, akhir pekan lalu.

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

Diungkapkan dia, produk pakan ikan murah tersebut akan dijual di pasaran dengan harga Rp5.000 dan produksinya dilakukan oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Harga tersebut, dinilainya sangat terjangkau karena harga di pasaran saat ini untuk pakan ikan berkisar antara Rp9.500 hingga Rp10.000.

“Dari hasil (penelitian) laboratorium juga, pakan ikan yang akan diluncurkan itu sudah sesuai SNI. Makanya, itu terobosan yang bagus dari Jafpa. Saya mengapresiasi apa yang dilakukan Jafpa ini yang bekerjasama dengan Asosiasi Gabungan Pakan Ternak,” cetus dia.

Untuk mendukung kelancaran produk tersebut, Susi mengaku akan membantu proses analisa pakan hingga tetap dalam standar SNI dan sekaligus memberikan nomor pendaftaran produk tersebut tanpa dikenaka biaya alias gratis.

‘’KKP mendukung produksi pakan murah melalui Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI), yang memanfaatkan bahan baku lokal,’’ kata Susi.

Dia menyebutkan, dengan kondisi harga pakan ikan saat ini cukup mahal, sebenarnya para pembudidaya diuntungkan dengan kenaikan harga ikan. Tetapi, kenaikan tersebut nyatanya tetap tidak mampu menutupi ongkos produksi yang besarnya bisa mencapai 70 persen dari keseluruhan.

Turun Rp1.000

Saat harga di pasaran sedang tinggi, para pengusaha pakan ternak ikan sepakat untuk menurunkan harga sebesar Rp1.000. Kesepakatan tersebut dilakukan bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto mengatakan, penurunan harga pakan ternak ikan menjadi kabar bagus untuk pelaku usaha di industri perikanan budidaya. Adapun, pakan yang mengalami penurunan itu bervariasi, tapi total penurunannya mencapai Rp1.000.

Menurut dia, dengan penurunan harga tersebut, diharapkan bisa memberi angin segar untuk semua pembudidaya ikan. Pasalnya, selama ini margin pakan ternak ikan selalu diambil oleh pasar dan itu tidak berdampak baik untuk harga di pasaran.

“Jadi sekarang ini harganya yang rata-rata Rp9.500 akan turun jadi Rp8.500 dan begitu pula dengan harga di atas atau dibawahnya,” tutur dia.

Terkait dengan ketergantungan pada produk impor, Slamet mengungkapkan bahwa itu karena produksi dalam negeri masih belum bisa memenuhi kebutuhan nasional. Akibatnya, produk untuk pakan ikan dan bahan baku pakan terpaksa harus diimpor dari negara lain.

“Pakan kita kebanyakan masih impor memang. Untuk pakan benih saja 80 persen masih impor. Pakan ikan hias juga 50 persen impor. Begitu juga dengan bahan baku seperti tepung ikan, kedelai dan jagung masih harus diimpor,” tandas dia.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor, Slamet mendorong industri pakan dan bahan baku dalam negeri untuk meningkatkan produktivitasnya hingga bisa memenuhi kebutuhan pasar nasional.

“Dengan menambah produksi dalam negeri, ini bisa menambah suplai kebutuhan nasional. Dengan demikian, nantinya secara bertahap kuota untuk impor akan dikurangi,” tambah dia.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Nilanto Perbowo, dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, kehadiran produk pakan ikan murah yang diproduksi PT Jafpa Comfeed Indonesia Tbk diharapkan bisa memicu daya saing produk dalam negeri.

“Bagaimanapun, sudah selayaknya jika produk dalam negeri bisa berjaya. Sehingga, ketergantungan pada produk impor bisa berkurang,” tutur dia.


Kurangi Ketergantungan Impor, Indonesia Produksi Pakan Ikan Murah Berkualitas was first posted on October 14, 2015 at 2:00 am.

Beginillah Kondisi Sektor Pertanian Di Jabar

$
0
0

Kemandirian pangan merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kemajuan di  sektor pertanian.  Akan tetapi penyusutan lahan pertanian akibat modernisasi dan alih fungsi lahan menjadi properti ataupun industri, masih terjadi. Tidak terkecuali di Jawa Barat, yang digadang – gadang sebagai wilayah lumbung padi terbesar nasional.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Jawa Barat pada 2013, pertanian di bumi Parahyangan ini menghasilkan 12,083 juta ton padi dengan luasan lahan sekitar 2 juta hektar sawah dan ladang. Dari 26 kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat yang merupakan daerah sentral produsen padi terbesar dihasilkan oleh  Kabupaten Indramayu 12 persen, Karawang 9 persen,  Subang 8 persen.

Provinsi Jawa Barat yang berpenduduk sekitar 46 juta jiwa membutuhan komsumsi beras rata – rata mencapai 89,6 per kapita dalam satu tahun.

“Tahun 2013 Jawa Barat mengalami surplus dan menjadi provinsi yang menghasilkan panen tertinggi se-Indonesia. Kebutuhan beras Jawa Barat mencukupi bahkan kita kelebihan dan bisa menyuplai ke Jakarta dengan jumlah penduduk 11 juta jiwa untuk kebutuhan komsumsi berasnya dari Jawa Barat sebanyak 60 persen.” kata Uneef Primadi, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Pemprov Jabar, di kantornya di Bandung pada dua minggu yang lalu.

Seorang petani mencangkul lahan garapan miliknya untuk mempersiapan panen selanjutnya setelah musim penghujan tiba di Desa cilengkrang, Bandung, Jawa Barat pada Senin (05/10/2015). Diperkirakan hujan akan mulai pada sekitar Februari akibat El Nino yang terjadi di Indonesia saat ini. Foto : Donny Iqbal

Seorang petani mencangkul lahan garapan miliknya untuk mempersiapan panen selanjutnya setelah musim penghujan tiba di Desa cilengkrang, Bandung, Jawa Barat pada Senin (05/10/2015). Diperkirakan hujan akan mulai pada sekitar Februari akibat El Nino yang terjadi di Indonesia saat ini. Foto : Donny Iqbal

Pemprov melakukan upaya peningkatan produksi padi, melalui kerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan dinas terkait berupaya menerapakan teknologi untuk pertanian. Salah satunya penerapan sistem panen legowo (meningkatkan populasi tanaman dengan cara mengatur jarak tanam dan memanipulasi lokasi dari tanaman) yang bisa meningkatkan produktifitas 20 – 30 persen.

Pemprov juga telah mengalokasikan Rp100 miliar dari APBD dan APBN untuk meningkatkan produktifitas pertanian, salah satunya dengan program cetak sawah sebanyak 100 ribu hektar hingga 2018 mendatang. Kemudian akan dilakukan secara swadaya maupun oleh pemerintah.

Uneef memaparkan pemerintah memfasilitasi  alat pertanian modern kepada kelompok petani yang akan diberikan ketika sebelum dan sesudah panen. Pengkondisian sebelum panen pemerintah menyediakan bantuan berupa 2700 unit traktor roda dua,  40 unit traktor roda empat,  kultivator untuk lahan kering, lahan tanam.

Selain itu juga ada 70 unit rice transplanter (mesin penanam padi) mempercepat, dan mengeringkan padi, 1300 unit pompa air dan perbaikan jaringan irigasi untuk 220 ribu hektar.

Sedangkan alat pasca panen, pemerintah menyediakan combine harvester (mesin memanen) 324 unit, rice milling (penggiling padi) 73 unit, vertical grain dryer (pengering padi) 4 unit dan power flasher untuk padi yang rontok 17 unit

“Bantuan tersebut nantinya akan disebar ke kelompok tani yang ada di Jawa Barat khususnya. Tetapi untuk menerima bantuan alat tadi, kelompok tani yang menerima hibah itu harus kelompok petani yang berbadan hukum sesuai Kemenkumham dan disahkan oleh notaris,” kata Uneef.

Sedangkan data Badan Pusat Statitik (BPS) tahun 2013 terdapat 507.933  kelompok tani yang dibagi menjadi kelompok tani dewasa, wanita dan pemuda dari 26 kabupaten/kota  terdiri dari 236 kecamatan se-Jabar.

Uneef menerangkan pemerintah tidak hanya berperan teknisnya, tetapi juga mengembangkan benih dengan menggandeng beberapa universitas untuk melakukan observasi. Upaya tersebut dilakukan dengan mengebangkan inpari benih 14, 15, 16 yang tahan terhadap hama, kualitas rasa yang enak dan bisa meningkatkan produktivas lahan di Jabar.

Penyusutan lahan

“Penyusutan lahan pasti ada tapi kami melakukan antisipasi dengan indek penanam dan cetak sawah 100 ribu hektar yang dilakuakan secara swadaya maupun pemerintah sampai 2018. Kita juga ada harapan dari bendungan Jatigede membuka lahan yang bisa diairi sebanyak 98 ribu hektar jika sudah terisi dan itu rencana tahun 2016,” ujar Uneef.

Dia mengatakan untuk penyusutan lahan pertanian setiap tahun selalu terjadi karena berbagai faktor salah satunya faktor lonjakan penduduk. Kendati demikian dia menyebutkan selalu ada upaya untuk tetap meningkatkan hasil produktivitas  padi.

Uneef menuturkan  kendala banjir, kekeringan dan organisme pengganggu tanaman sering kali menyebabkan pasang surut peningkatan provitas padi. Tahun 2014 produktivitas padi mengalami penurunan sebesar 11,566 juta dan penyusutan lahan sebanyak  3.000 hektar.

Seorang petani mencangkul lahan garapan miliknya untuk mempersiapan panen selanjutnya setelah musim penghujan tiba di Desa cilengkrang, Bandung, Jawa Barat pada Senin (05/10/2015). Diperkirakan hujan akan mulai pada sekitar Februari akibat El Nino yang terjadi di Indonesia saat ini. Foto : Donny Iqbal

Seorang petani mencangkul lahan garapan miliknya untuk mempersiapan panen selanjutnya setelah musim penghujan tiba di Desa cilengkrang, Bandung, Jawa Barat pada Senin (05/10/2015). Diperkirakan hujan akan mulai pada sekitar Februari akibat El Nino yang terjadi di Indonesia saat ini. Foto : Donny Iqbal

Penurunan tersebut akibat sawah di kawasan pantura (pantai utara)  mengalami kebanjiran pada Desember – Januari 2014 seluas 96 ribu hektare. Ditambah 51.000 hektar puso di Indramayu  .

“Panen tahun 2015 kembali mengalami penurunan akibat dari musim kemarau yang berkepanjangan. Sebanyak 112 ribu hektar terkena dampak kekeringan, 42 ribu hektar mengalami puso dan daerah terparah terjadi di Indramayu yang memeliki luas sawah sekitar 17 ribu hektare,” tuturnya.

Perijinan harus diperketat     

Dedi Widayat , Dosen Budidaya Tanaman Universitas Padjajaran Bandung menyesalkan fenomena alih fungsi lahan di pertanian produktif. Seharusnya ada kebijakan yang tegas terkait alih fungsi lahan misalnya  lahan sawah tidak boleh dijadikan lahan yang  non pertanian.

“Harusnya dipelajari betul kondisi lahan agro ekologis di kabupaten/ kota di Jawa Barat itu bagusnya berapa, misalnya RTH nya berapa , lahan sawahnya berapa dan itu harus dipegang teguh, jangan sampe perizinannya itu sembarangan. Setiap ada ijin pembangunan bangunan properti dan industri dilahan produktif pertanian diijinkan , intinya harus diperketat perijinannya,” ujarnya.

Sedangkan Uneef memaparkan sudah aturan dan SK oleh Bappeda masing – masing kota/kabupaten dan perijinan dari RT/RW untuk mengatur pengalihfungsian lahan, tetapi masih bisa dilaksanakan menyeluruh. Pengalih fungsi lahan juga disebabkan dengan adanya sistem adat yakni warisan.  Untuk menyelamatkan lahan pertanian, pemerintah hanya mampu  membakukan lahan 600 ribu hektare.

Dedi menyinggung program pemerintah membangun bendungan untuk irigasi pertanian belum berpengaruh signifikan. Harus ada kepastian ketersediaan air pada daerah tangkapan air. “Jangan membangun bendungan apabila catcment area-nya tidak diperhatikan. Hal tersebut hanya akan menghamburkan biaya saja. Jangan ketika musim hujan kebanjiran  dan musim kemarau kekeringan itu  yang harus dipelajri dengan baik,” keluhnya.

Dia mengatakan bendungan Jatigede pun tidak hanya melakukan pengisian air dan dibiarkan penuh begitu saja tanpa ada perhatian terhadap catcment area di sekitar sungai Cimanuk yang berhulu di Kabupaten Garut. Harus diperhatikan pula aspek kelestarian lingkungan agar ketersedian air ada jika banyak daerah resapan airnya.

Dedi menjelaskan salah satu upaya meningkatkan produktivitas dengan jalan intensifikasi yaitu suatu usaha meningkatkan hasil pertanian dengan cara mengoptimalkan lahan yang sudah ada.

“Semua praktek budidaya pertanian yang berkaitan dengan peningkatan produksi harus  melihat kelanjutan pertanian dan keseimbangan lingkungan, tidak bisa memaksa tanah ini dibikin produksinya tinggi  tapi hanya sesaat. Namun, harus lestari jika tahun ini hasilnya segini ya tahun depannya juga harus segini jangan menurun,” ucapnya saat ditemui di Fakultas Pertanian Unpad.

Dedi memaparkan perlunya pemahaman teknologi yang betul kepada petani , tidak melulu menggembor – gemborkan misalnya petanian organik tanpa adanya  pemahaman yang benar, yang ternyata juga masih banyak yang keliru.

“Karena yang penting bagi kita  adalah keseimbangan. Bagaimana organik  itu digunakan tetapi harus diimbangi oleh kondisi sekarang ini. Untuk  meningkatakan produksi  tidak bisa hanya bergantung pada organic farming jadi harus diimbangi oleh teknologi yang ada. Bohong kalau kita bisa hidup hanya bergantung dengan organic farming,” katanya.

Dia mengungkapkan kadang para petani itu meninginkan hal yang instan dan cepat. Padahal keseimbangan menggunakan  pestisida ,pupuk organik atau non organik mesti dilakukan secara baik, benar dan bijaksana.

Perlu ada mekanisasi

Dedi mengatakan petani di kota  dianggap  miskin, padahal sebaliknya bila pertanian dilakukan dengan cara yang benar.  “Perlu pemahaman dan inovasi kepada petani karena sangat minimnya regenerasi. Sekarang kebanyakab petani yang tua ketimbang yang muda,” ujarnya.

Oleh karena itu dibutuhkannya mekanisasi pertanian, dengan penerapan teknologi yang mengoptimalkan hasil agar menarik minat petani muda. “Kedepan harapannya bisa mencari teknologi yang mudah, murah dan menghasilkan hasil yang tinggi untuk menekan biaya produksi petani yang tinggi karena tenaga kerja mahal,” pungkasnya.

 


Beginillah Kondisi Sektor Pertanian Di Jabar was first posted on October 15, 2015 at 2:12 am.

Siap-siap! Jokowi Bakal Digugat Warga Karena Asap Dan Karhutla

$
0
0

 

Pemerintah Indonesia dinilai gagal dalam menangani kabut asap yang sudah berlangsung selama lebih dari tiga bulan di pulau Sumatera dan Kalimantan. Tidak hanya itu, Pemerintah juga dinilai sudah lalai karena membiarkan pembakaran hutan dan lahan terjadi dengan sengaja di dua pulau tersebut.

Atas kejadian tersebut, masyarakat yang tergabung dalam Warga Negara Menggugat untuk Indonesia Bebas Asap mengirimkan notifikasi rencana Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) kepada Pemerintah Indonesia c/q  Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo sebagai tergugat.

Kekeringan panjang memicu kebakaran hutan dan lahan, terutama lahan gambut, sangat mudah terbakar, seperti yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini. Foto: Sapariah Saturi

Kekeringan panjang memicu kebakaran hutan dan lahan, terutama lahan gambut, sangat mudah terbakar, seperti yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini. Foto: Sapariah Saturi

Pengamat kehutanan, Elisa Ganda Togu Manurung, mewakili Warga Negara Menggugat untuk Indonesia Bebas Asap saat memberikan pernyataan kepada wartawan, di Jakarta, pada Jumat (16/10/2015) menjelaskan, notifikasi tersebut dimaksudkan untuk memberikan peringatan awal kepada Pemerintah agar bisa segera menyelesaikan persoalan kabut asap yang terjadi di dua pulau tersebut.

“Notifikasi tersebut dikirimkan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Sekretariat Jenderal. Semoga itu jadi jalan yang benar,” ungkap Togu yang juga dosen kehutanan IPB Bogor itu yang menandatangani notifikasi tersebut bersama dengan Azas Tigor Nainggolan selaku kuasa hukum para penggugat.

Menurut Togu, dalam lembar notifikasi yang dikirim itu, termuat 4 (empat) alasan kenapa Pemerintah Indonesia sudah lalai membiarkan kabut asap terjadi. Di antaranya:

  1. Tergugat tidak segera melakukan instruksi jelas untuk melaksanakan canal blocking;
  2. Tergugat tidak melanjutkan pemberlakuan Prosedur Operasi Standar Nasional penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (POSNAS KARHUTLA);
  3. Tergugat tidak segera menginstruksikan jajarannya untuk melakukan tindak lanjut atas Audit Kepatuhan yang telah diliakukan di tahun 2014;
  4. Tergugat tidak segera mengambil kebijakan yang diperlukan untuk penanganan masyarakat terdampak asap di Sumatera dan Kalimantan.

Empat gugatan tersebut, kata Togu, harus menjadi perhatian Pemerintah dan memperbaikinya sesegera mungkin. Karena bukan saja warga, tetapi alam juga saat ini sedang menjadi taruhan.

“Hari ini kita sudah mendaftarkan notifikasi tersebut. Yang dimaksud tergugat sebagaimana tertulis dalam lembar notifikasi, adalah Presiden RI Joko Widodo. Tujuannya, agar kabut asap bisa segera hilang dan tidak terulang lagi di tahun-tahun mendatang,” tutur dia.

Presiden Jokowi didampingi Abdul Manan dan masyarakat Desa Sei Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Riau. secara simbolis menutup dam kanal air untuk melindungi lahan gambut dari kebakaran hutan. Tebing Tinggi merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Foto : Ardiles rante / Greenpeace

Presiden Jokowi didampingi Abdul Manan dan masyarakat Desa Sei Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Riau. secara simbolis menutup dam kanal air untuk melindungi lahan gambut dari kebakaran hutan. Tebing Tinggi merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Foto : Ardiles rante / Greenpeace

Togu menerangkan, dari 4 alasan tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa ada 4 akar masalah yang hingga saat ini belum terselesaikan dalam kasus bencana kabut asap. Yaitu:

  1. Kabut asap muncul sebagai akibat dari pengelolaan hutan yang buruk. Terjadi pembukaan hutan yang masif mengakibatkan cahaya lebih cepat masuk dan itu memicu terjadinya kebakaran hutan. Setelah itu, deforestasi hutan menjadi dampak yang paling jelas.
  2. Tindakan pembakaran hutan dan lahan sengaja dibiarkan. Kondisi seperti itu terus terjadi dan berulang setiap tahun.
  3. Supremasi hukum yang lemah. Harus ada koreksi yang nyata kepada Pemerintah Indonesia. Karena, pembakaran hutan dan lahan dilakukan oleh korporasi dan warga biasa. Namun, hukumannya tidak memberi efek jera.
  4. Pemerintah telah sengaja melakukan abai dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan.

Sementara itu menurut Ari Moch Arif, anggota Warga Negara Menggugat untuk Indonesia Bebas Asap yang melakukan gugatan warga negara, mengatakan persoalan kabut asap yang sudah berulang kali terjadi di Indonesia sudah bukan lagi menjadi masalah sekelompok orang saja. Namun, itu juga menjadi masalah masyarakat pada umumnya di Indonesia.

“Kami sebagai concerned citizens berkewajiban untuk bertindak atas dasar kepedulian kami dan rasa solidaritas terhadap saudara/saudari kami yang terdampak asap di Kalimantan dan Sumatera,” tutur Ari.

Tujuh Kewajiban

Selain melampirkan 4 alasan kenapa Pemerintah Indonesia sengaja membiarkan kabut asap, dokumen Citizens Lawsuit juga melampirkan 7 (tujuh) kewajiban yang harus segera dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu:

  1. Segera memberikan instruksi secara jelas untuk melakukan blocking canal (sekat kanal) di seluruh wilayah ekosistem gambut yang telah terdapat kanal dan membuat embung/kolam untuk cadangan air.
  2. Segera memerintahkan jajaran instansi yang terkait untuk mengeluarkan LARANGAN PEMBUATAN KANAL di atas lahan gambut di wilayah Republik Indonesia tanpa kecuali.
  3. Segera memberikan instruksi kepada Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) untuk dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan bagi warga masyarakat yang terkena dampak asap dari kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera.
  4. Segera memberikan instruksi untuk seluruh jajaran Pemerintahan terkait untuk menindaklanjuti hasil dari audit kepatuhan yang telah dilakukan pada tahun 2014 di Provinsi Riau.
  5. Melakukan penyempurnaan dan pengesahan POSNAS KARHUTLA sebagai landasan utama tindakan penanganan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada masa yang akan datang.
  6. Menginstruksikan untuk mengeluarkan peta sebaran, lanskap dan topografi ekosistem gambut beserta pemanfaatannya d seluruh Wilayah Indonesia yang menjadi dasar pengelolaan ekosistem gambut secara resmi melalui Keputusan Presiden.
  7. Menginstruktsikan untuk membuat rencana komprehensif dan detail restorasi dan konservasi ekosistem gambut, termasuk di dalamnya partisipasi penuh masyarakat dalam transformasi ke arah bentuk-bentuk pertanian yang meminimalkan risiko kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.

Jika tujuh hal tersebut tidak bisa dilaksanakan setelah melewati 60 hari notifikasi, menurut praktisi lingkungan Jalal, maka pihaknya akan langsung mendaftarkan gugatan resmi. Namun, jika sebaliknya, atau jika Pemerintah melaksanakan tujuh hal tersebut, maka gugatan akan dibatalkan.


Siap-siap! Jokowi Bakal Digugat Warga Karena Asap Dan Karhutla was first posted on October 17, 2015 at 12:30 am.

Inilah Garam Es Krim Dari Amed Bali

$
0
0

Amed di ujung Timur pulau Bali adalah kawasan wisata yang sempurna menikmati mentari.

Jelang matahari terbenam, warga dan turis menyemut di Jemeluk, titik terbuka di atas tebing untuk menikmati laut dan menunggu mentari tergelincir di balik punggung Gunung Agung. Ini adalah gunung berapi tertinggi di Bali.

Jelang pagi sang Surya merangkak di horizon, batas laut dan langit. Menebarkan jingga yang hangat. Beberapa turis mengatupkan tangan, mengucapkan terima kasih. Sinar matahari memang harus disambut suka cita.

Wisatawan menikmati sunset di balik gunung agung di Jemeluk, Amed, Karangasem, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Wisatawan menikmati sunset di balik gunung agung di Jemeluk, Amed, Karangasem, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Demikian juga bagi petani garam tradisional di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali. Musim kemarau saat ini, bebukitan gersang. Petani tidak memelihara ternak karena sulit mencari rerumputan. Beberapa petani yang masih menjaga lahan garamnya kini bekerja di pinggir laut.

Petani di Amed mampu bersiasat dengan cuaca. Saat musim hujan menjadi peternak, dan  musim panas membuat garam. Itu jika masih memiliki lahan. Karena sangat sulit bersiasat soal lahan ini. Fasilitas pariwisata merangsek ke pinggir pantai. Membuat harga tanah melesat tiap tahun.

Sebagian petani sudah menjual lahan garamnya. Sisanya kini kurang dari 100 orang. Mereka setia bekerja di celah antara hotel-hotel, restoran, dan villa. Lahan garam yang membentang begitu indah di pesisir dengan pemandangan tinjungan dan bilah-bilah palungannya kini masa lalu. Para petani kini harus meliuk-liuk dan terjepit.

Sekitar pukul 5 pagi, beberapa petak lahan garam sudah mulai ramai. Mesin penarik air laut dihidupkan. Jika mesin mati, para petani mengambil timba tradisional untuk mengais air laut. Petani perempuan dan laki-laki hilir mudik dari pantai mengangkut air laut. Kaki-kaki telanjang mereka sudah kebal dari bebatuan yang menutupi sebagian pantai.

Sebagian mengurus petak-petak lahan. Membuat tanah sari. Petani garam Amed punya ciri khasnya sendiri. Jika biasanya garam diproduksi di atas tanah atau tambak, di sini dijemur di palungan. Palungan terbuat dari batang kelapa yang dibelah dua. Kemudian dibuat cekungan untuk wadah menjemur.

Namun sebelum air laut disiram ke palungan, ada proses yang lebih rumit dan berbeda lainnya. Inilah yang disebut membuat garam Amed istimewa, lebih kaya mineral dan tak terasa pahit asinnya di mulut. Sudah ada hasil laboratorium yang menganalisis ini karena itu didaftarkan untuk mendapat Sertifikat Indikasi Geografis halnya kopi Kintamani dan mente Kubu di Bali.

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani

Begini prosesnya. Petak-petak lahan dibersihkan dari batu dan sampah plastik. Digenangkan sedikit air laut, ditunggu sampai mengendap. Kemudian hari ke-2, tanah digemburkan dan dibiarkan sehari. Hari berikutnya tanah dipadatkan, dan hari keempat tanah sari ini dimasukkan dalam wadah penyaringan air laut yang disebut tinjungan.

Tinjungan terbuat dari anyaman bambu, dialasi daun lontar dan plastik. Wadah berbentuk prisma ini ditutup tanah sari sampai sepertiga. Diinjak-injak perlahan beberapa jam sampai padat. Setelah itu baru diguyur air laut. Tanah sari sebagai filter alami. Hasil filter dialirkan di bawah tinjungan ke bak penampungan air garam yang dibuat permanen dengan beton. Air laut bening ini yang siap dijemur di palungan untuk menghasilkan bunga dan bulir garam halus selama 4 hari jika terik.

Nyoman Patra Gunawan, salah satu petani yang masih bertahan menjaga lahannya. Ia hanya punya sekitar 2 are. Ini sudah cukup banyak dibanding petani garam lain.

Patra juga terhitung petani muda, kurang dari 40 tahun usianya. “Godaannya besar sekali untuk menjual lahan, sudah diminta Rp 200 juta per are,” pria ini tersenyum. Mengenakan capil dari daun lontar, ia sedang rehat di bawah pohon.

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali mengolah air laut menjadi garam. Petani garam di Amed makin terjepit lahannya oleh bangunan perkembangan industri pariwisata. Foto : Luh De Suriyani

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali mengolah air laut menjadi garam. Petani garam di Amed makin terjepit lahannya oleh bangunan perkembangan industri pariwisata. Foto : Luh De Suriyani

Jika hanya membuat garam, penghasilan tak cukup. Patra memulai harinya dini hari agar mendapat penghasilan tambahan. Mulai dini hari membuat garam sampai tengah hari. Kemudian setelah tengah hari mengurus ternak.

Jika tiap petani bisa mengolah 100 liter air laut hasil filter, maka hasilnya 50 kg garam jika punya cukup palungan untuk menjemur. Jika dibagi per hari, hasilnya sekitar Rp 60 ribu. Ini jika panen habis terjual.

Untungnya, kepastian terjual ini kini didapatkan petani garam Amed. Selama beberapa tahun ini mereka kompak membuat kelompok yang membeli semua panen dengan harga di atas pasar.

Kelompok Petani Garam

Adalah I Nengah Suanda, ketua atau Kelian Dusun Lebah, salah satu banjar di Desa Purwakerthi yang mengambil inisiatif perlindungan petani dan garam Amed yang termasyur di zaman Kerajaan Karangasem ini. Konon, raja kerap minta dibawakan garam Amed sebagai persembahan dari desa ini.

Suanda kini didapuk jadi Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali yang baru terbentuk Februari lalu. Ia berharap sertifikat ini segera turun untuk memantapkan upaya pemasaran, pengemasan, dan lainnya.

Ia berharap walau jumlah petani dan lahan terus berkurang, hasil penjualan makin tinggi. Salah satunya dengan mendafarkan indikasi geografis ini.

Ada lima kelompok yang tersebar di lahan kurang dari 1 km pesisir Amed. “Saya juga heran, kualitas air laut yang bagus itu panjangnya 750 meter di sini,” kata Suanda.

Petani diwajibkan menjual panen ke kelompok untuk proteksi harga dan persediaan. Garam dibeli Rp5000 per kg. Oleh kelompok, dijual dalam partai kecil ke restoran di sekitar mereka dengan merk Garam Amed.

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali mengolah air laut menjadi garam dengan memasukkan air laut masuk ke tinjungan (prisma) lalu difilter dan ditampung di bak depan. Foto : Luh De Suriyani

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali mengolah air laut menjadi garam dengan memasukkan air laut masuk ke tinjungan (prisma) lalu difilter dan ditampung di bak depan. Foto : Luh De Suriyani

Suanda dan rekannya baru belajar membuat kemasan plastik dan membuat partai-partai kecil ukuran 100-500 gram. Untuk distributor besar, garam yang belum dikemas dihargai Rp20 ribu per kg.

Produksi garam Amed terbatas terkait penyempitan lahan. Hanya sekitar 20 ton per tahun. Karena itu, kelompok petani ingin memaksimalkan harga jual untuk memastikan garam Amed masih ada di masa depan.

Pengetahuan soal indikasi geografis dan pengujian kualitas garam ini didapatkan ketika 2011 ada orang Prancis dan mahasiswa Indonesia yang mendatanginya untuk mendiskusikan soal garam.

“Mereka menyarankan harus buat kelompok untuk perlindungan dan mencegah makin banyak lahan dijual,” urai Suanda. Setelah itu, kelompok minta bantuan mesin genset untuk menarik air. Pada 2012, ada sekelompok orang dari lembaga semacam HAKI Swiss berkunjung dan meminta petani mendaftarkan paten indikasi geografis ini.

Sampai akhirnya warga terdiri dari kepala desa, petani, dan kelompok garam diundang ke Prancis untuk studi banding dan melihat produksi garam rakyat di sana. “Di Nantes, Perancis, tambaknya jauh dari laut. Mereka menangkap air laut saat pasang lalu dialirkan lewat tanggul ke tambak. Lahannya luas-luas hektaran,”  kisah Suanda.

Ia lalu belajar mengenai rasa dan bau garam. Ia kaget garam ternyata beda-beda rasanya. “Mereka lebih tahu bau garam Amed yang seperti es krim,” Suanda tertawa.

Wisatawan Prancis memang terlihat mendominasi di kawasan Amed. Mereka menyukai pedesaan yang dekat laut dan gunung selain panorama bawah laut Amed yang terkenal.

Suanda bergabung kini juga dipilih sebagai ketua tim pewarta Amed. Ia belajar membuat blog berjudul garamamed.wordpress.com untuk memperkenalkan potensi daerahnya. Juga membuat poster kampanye untuk menarik perhatian orang melindungi petani garam. Salah satunya mengajukan zona perlindungan petani garam tradisional ini dalam kawasan konservasi Karangasem.

Selain lahan, alat-alat tradisional dalam produksi garam Amed juga harus dilestarikan. Misalnya menyiapkan palungan-palungan baru bagi petani. Sebagian besar palungan berusia hampir 40 tahun dan sudah hampir rusak.

 

 


Inilah Garam Es Krim Dari Amed Bali was first posted on October 18, 2015 at 9:08 am.

Indonesia Didorong Percepat Pengembangan Energi Bersih. Kenapa?

$
0
0

 

Sejumlah pihak global mendorong Indonesia untuk mempercepat implementasi pengembangan energi baru terbarukan dalam forum tentang energi terbarukan atau Renewable Energy Forum di Nusa Dua, Bali, akhir pekan kemarin.

Acara ini dilaksanakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama World Agroforestry Centre (ICRAF) dan United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID).

Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Satya Tripathi, Director UNORCID menyebut Indonesia negara pertama yang menanggapi Sustainable Development Goals (SDGs) poin 7 tentang akses energi yang lestari melalui forum ini. “Masalah bauran energi terkait dengan kesehatan. Indonesia melakukan kemajuan. Masih banyak rumah tangga di negara berkembang tak bisa akses energi,” katanya membuka forum.

Menurutnya ratusan ribu kematian dini berhubungan dengan polusi dan menggunakan bahan bakar kotor seperti kayu yang mengakibatkan kanker paru dan jantung. Juga ada hubungan tingkat pendapatan dengan akses energi, warga dengan pendapatan rendah yaitu 1-2 dollar memiliki akses listrik rendah dan tergantung pada biomassa untuk masak.

Maritje Hutapea Direktur Konservasi Energi Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM memaparkan program peningkatan penggunaan energi terbarukan masuk dalam visi Nawacita Presiden Joko Widodo.

Dari penambahan 35.000 MW daya listrik yang ditargetkan selama 5 tahun kepemimpinan Jokowi, sebanyak 25% atau 8750 MW adalah pembangkit listrik energi terbarukan. Sebagian besar masih dari gas 25% dan batubara 50%.

Pertumbuhan pembangkit listrik dari energi terbarukan ini ditargetkan terdiri dari 20% geothermal, 28% mikrohidro, bioenergy 13%, panas, angin, gelombang laut dan lainnya 39%. Nilai investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 402 triliun.

Proporsi rencana bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional yang telah dicanangkan pemerintah melalui Kementerian ESDM. Sumber : Kementerian ESDM

Proporsi rencana bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional yang telah dicanangkan pemerintah melalui Kementerian ESDM. Sumber : Kementerian ESDM

“Kami akan terus tingkatkan rasio penggunaan energi terbarukan sampai 65% ditargetkan dicapai pada 2035,” kata perempuan yang sejak tahun 90-an berkecimpung dalam kebijakan konservasi energi ini.

Untuk itu sejumlah program telah disiapkan, diantaranya penetapan tarif energi terbarukan, perlahan mengganti diesel dengan bahan bakar terbarukan, melatih warga untuk mengoperasikan dan merawat sumber penyimpanan energi, dan mengembangkan sistem hibrid dalam pembangkit listrik.

“Potensi sangat tinggi tapi bagaimana menggunakannya? Ini bedanya karena bahan bakar fosil bisa ditransportasikan. Sementara energi terbarukan ini kita harus menggunakan di lokasi sumber energi,” paparnya.

Akses energi modern ke daerah terpencil diakuinya masih terhambat. Salah satu strateginya menurutnya pembentukan Energi Patriot, kelompok muda yang dikirim ke daerah terpencil untuk mengembangkan energi untuk mengoperasikan dan merawat. Sudah ada 80 orang di kelompok Energi Patriot ini.

Berbagai hambatan dalam pengembangan energi terbarukan ini, antara lain investor belum banyak yang masuk di daerah terpencil. “Bagaimana memberikan insentif pada investor untuk industri energi terbarukan. Perlu lembaga untuk mengembangkan untuk memfasilitasi energi ini karena selama ini dari anggaran pemerintah,” jelas Maritje.

Selain itu, ia mendorong pemanfaatan energi terbarukan tidak hanya untuk kegiatan domestik seperti memasak saja tapi untuk produksi. “Harusnya terintegrasi antara penyediaan listrik dan peningkatan penghasilan seperti penggunaan cold storage di daerah nelayan,” kata Maritje.

Gregory Long, Presiden Direktur PT Fluidic Indonesia memaparkan pengalamannya mendorong penyediaan teknologi penyimpanan energi surya di daerah-daerah kepulauan di Indonesia.

Tantangannya elektrifikasi pedesaan adalah bekerja dengan masyarakat setempat dan risiko penyalahgunaan serta bencana. Sementara di pemerintahan, kurang ada integrasi program antar departemen.

Tony Simmons, Directur ICRAF menegaskan polusi tak hanya terkait lingkungan, tetapi juga mata pencaharian. Ia mengajukan diskusi tentang kosakata bahan bakar atau bahan pangan. Bahan bakar disebut hidrokarbon. Kalau pangan disebut karbohidrat. Keduanya terdiri dari karbon kompleks. “Harga pangan dan energi sangat terkait,” katanya.

Ia memperingatkan risiko pengembangan energi agar tidak menambah degradasi lahan. “Kita lihat pengetahuan, khlorofil adalah molekul yang menjanjikan. Ini luar biasa mengubah sinar surya menjadi energi,” contohnya.

Pria ini juga meminta menghormati hak masyarakat lokal dan membantu investor memberdayakan pemangku kepentingan untuk memajukan energinya.

Gardu instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan solar panel di  Pulau Matutuang Kec. P. Maroro, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut. Pulau Matutuang merupakan salah satu pulau program PLTS di 25 pulau-pulau kecil/terluar berpenduduk dari Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP dan Ditjen. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM.  Foto : Agustinus Wijayanto

Gardu instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan solar panel di Pulau Matutuang Kec. P. Maroro, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut. Pulau Matutuang merupakan salah satu pulau program PLTS di 25 pulau-pulau kecil/terluar berpenduduk dari Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP dan Ditjen. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM. Foto : Agustinus Wijayanto

Ravi Prabhu, Deputi Dirjen ICRAF juga mengharapkan penggantian energi tanpa jejak karbon. Tiap ibu yang masak harus mengakses energi bersih tanpa polusi. Ia juga mencontohkan tradisi pengurangan energi seperti Bali yang merayakan tahun baru Saka dengan pengurangan energi tiap tahunnya. “Saya menemukan pulau hening semua orang di rumah dan mati lampu,” katanya.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menyebut kedaulatan energi adalah program Nawacita Presiden Joko Widodo. Misalnya dibuat Rumah Kedaulatan Energi. Rumah Energi memberikan pesan untuk mewujudkan kedaulatan energi juga menyangkut pengembangan teknologi, perbaikan tata kelola sektor energi.

“Sebanyak 26% target penurunan gas rumah kaca pada 2030, 4-5% dari energi terbarukan. Kami berusaha mengganti mindset untuk mengarusutamakan energi terbarukan di masa depan,” paparnya saat presentasi. Saat ini Ia mengakui Indonesia terlena dengan ketersediaan energi fosil.

Saat rehat, Rida memberikan sejumlah penjelasan saat ditanya Mongabay Indonesia. Target 23% penggunaan energi terbarukan 10 tahun mendatang disebut cukup ambisius karena perlu uang, pasar dan teknologi sementara semuanya saat ini masih mengimpor. “Ambisius 23% karena sekarang baru 6%. Dalam 10 tahun harus empat kali lipat. Kita masih senang fosil. Kebijakan akan didorong ke sana,” sebutnya.

Ia mengatakan 94% pembangkit listrik dari fosil, karena ongkos produksi yang masih murah dan ada barangnya. “World Bank tak lagi mau biayai PLTU.  Masih ada dari Jepang dan China. Kita butuh dan adanya itu. Kalau tidak PLTU, bantu dong saya, teknologinya, sumber dayanya. Indonesia butuh 35 ribu MW,” tukas Rida soal tudingan masih dominannya pengembangan pembangkit listrik dari solar dan batubara.

Saat ini pihaknya sedang merancang Center of Excellent di Bali, tempat pengembangan teknologi, sumber daya manusia, dan transfer pengetahuan soal energi baru dan terbarukan. “Bali sudah dicanangkan pulau percontohan yang menggunakan clean energy. Pusat pengembangan dan implementasi renewable energy, nanti di Indonesia pusatnya di Bali,” sebut Rida.

Selain itu ada Dana Ketahanan Energi, wacana yang digodok internal Kementerian ESDM. “Misal solar harganya Rp 1000, turun naik terus. Kalau tergantung APBN akan rigid karena setahun sekali ditetapkan. Agar Pertamina sehat diambil dana dari sini tanpa nunggu APBN. Mirip dana perkebunan sawit,” paparnya.

Dana bisa dari APBN, hibah, dan pinjaman.  Norwegia, Arab Saudi sudah mengembangkan energi terbarukan dan menjadikan fosil cadangan. “Norwegia bangga sekali 2/3 energinya dari renewable, kebanyakan PLTA,” tambah Rida.

Selain itu ia menganggap pentingnya investasi, iklim yang kondusif untuk mereka. “Investor mencari untung. Menjamin politik dan stabilitas keamanan, upah pekerja, dan masalah tarif,” lanjutnya.

Menteri ESDM Sudirman Said menyebut target 100% energi bersih untuk Bali pada tahun 2018. Pada bulan Juli lalu, Kementerian ESDM telah menandatangani nota kesepahaman dengan Gubernur Bali untuk membentuk langkah-langkah sistematis dalam rangka mencapai 100% energi bersih pada tahun 2018.


Indonesia Didorong Percepat Pengembangan Energi Bersih. Kenapa? was first posted on October 19, 2015 at 8:23 am.

KNTI : Poros Maritim, Masih Belum Jelas Hingga Sekarang

$
0
0

Kritikan tajam kembali dilontarkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyoroti kinerja Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan Indonesia menjadi negara poros maritim. Menurut KNTI, meski sudah setahun berjalan, namun hingga sekarang belum ada kejelasan tentang kerangka prioritas, strategi maupun regulasi untuk mendukung Indonesia menjadi poros maritim dunia.

“Itu catatan khusus yang kami punya untuk evaluasi setahun berjalan ini. Catatan khusus itu dalam hal kinerja ekonomi dan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam,” ungkap Ketua Umum KNTI Riza Damanik di Jakarta, Senin (19/10/2015).

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Selain belum ada kejelasan kerangka, Riza menyebutkan, pemerintah juga belum memperlihatkan keberpihakan dalam penyediaan infrastruktur perikanan rakyat. Sehingga, fasilitas infrastruktur yang ada pun, terlihat tidak dipelihara sama sekali.

“Ada 40 sentra garam yang belum dibenahi, begitu juga dengan sarana prasarana pelabuhan, kondisinya juga sama. Belum lagi UPI (unit pengolahan ikan) yang tidak bertumbuh dalam setahun ini. Hanya 1.300 sertifikat saja yang diberikan dari 60 ribu yang mendaftar,” jelas Riza.

Dengan tidak banyaknya UPI, menurut Riza, armada yang tidak melaut juga semakin banyak. Kondisi itu, sangat tidak baik karena tidak membuat nyaman para pelaku usaha yang ada di industri perikanan dan kelautan.

“Kondisi itu diperparah dengan kenyataan bahwa hingga sekarang belum ada pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor perikanan,” tambah dia.

Tidak hanya itu, konsep poros maritim juga semakin tidak jelas karena janji pemerintah untuk menggenjot kinerja perikanan tidak terwujud nyata. Hal itu, karena janji untuk menghadirkan kontribusi sebesar Rp2-2,3 triliun dalam setahun tidak terwujud.

“Bahkan, hingga sekarang kontribusinya hanya sebesar Rp300 miliar saja. Kondisi itu juga memperlihatkan bahwa janji tak sejalan dengan pelaksanaan di lapangan. Tingkat kesejahteraan nelayan juga tidak mengalami perbaikan signifikan,” tandas dia.

Selesaikan RUU Perlindungan Nelayan

Agar kejadian serupa tidak terulang lagi di periode tahun kedua, KNTI meminta kepada pemerintah untuk segera memperbaiki berbagai kelemahan yang ada. Termasuk, dengan menuntaskan dan mengesahkan rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“Juga harus diselesaikan PP turunan dari UU Kelautan, termasuk terkait anggaran untuk provinsi, kabupaten/kota kepulauan. Selain itu harus selesaikan juga Dokumen Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean Policy) yang bisa jadi rujukan arah pembangunan Poros Maritim,” papar Riza.

Belum ada jaminan asuransi bagi nelayan menjadi bagian pokok bahasan dalam RUU PPN. Foto: Tommy Apriando

Belum ada jaminan asuransi bagi nelayan menjadi bagian pokok bahasan dalam RUU PPN. Foto: Tommy Apriando

Di luar masalah regulasi, KNTI juga menyoroti prioritas strategi yang harus diterapkan oleh Pemerintah Indonesia memasuki tahun kedua, antara lain memperluas keterlibatan masyarakat nelayan dalam inisiasi program, pelaksanaan, dan pengawasan. Pemerintah diharapkan tidak lagi asal mengeluarkan kebijakan tanpa menyiapkan skenario antisipatif.

Pemerintah juga diminta memperjelas arah kebijakan pasca moratorium. Dan melanjutkan pemberantasan pencurian ikan dengan 3 langkah lanjutan: menagih dan mengembalikan kerugian Negara selama ini, meningkatkan kapasitas armada perikanan rakyat untuk beroperasi di seluruh perairan Indonesia, dan memperkuat revisi UU Perikanan.

Sementara itu menurut ekonom muda Dani Setiawan, di tahun kedua pemerintahan Jokowi, sebaiknya konsep poros maritim harus diperkuat melalui regulasi fiskal dan moneter. Pasalnya, dengan cara tersebut nelayan akan mendapat perlindungan untuk mengembangkan usahanya.

“Kita dihinggapi masalah krusial. Desa-desa di pesisir pantai itu sebagian besar adalah desa tertinggal. Harus ada intervensi dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi itu. Ekonomi masyarakat disana harus bisa diperbaiki,” tandas dia.

 

 


KNTI : Poros Maritim, Masih Belum Jelas Hingga Sekarang was first posted on October 20, 2015 at 12:48 am.

Produksi Udang Turun Karena El Nino, Rumput Laut Justru Sebaliknya

$
0
0

 

Fenomena El Nino yang kini sedang terjadi di Indonesia rupanya tak hanya  memberi dampak positif untuk sektor perikanan budidaya di Indonesia. Tapi, El Nino juga memberi dampak negatif untuk sektor tersebut yang berimbas pada turunnya produksi perikanan budidaya.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebijakto di Jakarta, Selasa (20/10/2015). Menurut dia, produksi yang sangat terpengaruh dengan El Nino dan terkena dampak negatifnya adalah udang.

“Udang ini sangat unik. Produksinya dipengaruhi oleh berbagai hal. Tidak hanya oleh suhu air saja, tapi juga oleh mineral yang terkandung di dalam air. Ini yang membuat produksi udang menurun selama El NIno berlangsung,” ungkap Slamet.

Udang hasil tambak warga Gresik, Jatim, mati terkena limbah  smelter. Foto : Petrus Riski

Udang hasil tambak warga Gresik, Jatim, mati terkena limbah smelter. Foto : Petrus Riski

Dia menjelaskan, karena dua faktor tersebut, produksi udang mengalami perbedaan dengan produk perikanan yang lain. Kata dia, produk perikanan yang lain produksinya bisa stabil selama suhu air tetap terjaga.

“Sementara udang (produksinya) tidak. Selama El Nino ini saja, karena air mengalami perubahan kimiawi sebagai dampak dari fenomena alam tersebut, maka kandungan mineral yang ada di dalam air juga ikut berubah. Itu mengapa udang juga ikut tersendat produksinya,” tutur dia.

Menurut Slamet, penurunan produksi udang selama El Nino berlangsung terjadi hingga rata-rata 30-40 persen. Penurunan itu sangat terasa karena pasokan air juga ikut mengalami penurunan dan fluktuasi suhu yang sangat ekstrem terjadi dengan cepat.

“Tahun 2015 ini, target produksi udang mencapai 690 ribu ton. Tetapi, sepertinya target tersebut akan sulit dicapai karena El Nino,” tambah dia.

Akan tetapi, walau produksi udang menurun akibat El Nino, namun secara keseluruhan produksi perikanan budidaya mengalami peningkatan pada tahun ini. Hingga Triwulan III 2015, produksi sudah mencapai 10,074 juta ton atau 56,24% dari target produksi 2015 sebesar 17,9 juta ton.

“Pada periode yang sama 2014, produksi perikanan budidaya itu hanya mencapai 9,6 juta ton saja. Jadi tahun ini mengalami kenaikan. Untuk sisa target yang belum tercapai, kita optimis dalam dua bulan ke depan bisa terpenuhi,” ungkap Slamet.

Slamet memaparkan, raihan total produksi yang dicapai pada Triwulan III ini adalah berasal dari udang (3,2%), rumput laut (73,7%) dan fin fish (23,04%).”Jadi, secara keseluruhan itu yang paling banyak menyumbang adalah rumput laut,” tandas dia.

Rumput Laut

Saat produksi udang mengalami penurunan akibat El Nino, perikanan budidaya pada saat bersamaan juga mendapatkan dampak positif dari fenomena El Nino. Adalah rumput laut yang mendapatkan anugerah tersebut.

Menurut Direktur Produksi Perikanan Budidaya Coco Kokarkin Soetrisno, rumput laut menjadi produks perikanan budidaya paling bagus produksinya selama El Nino berlangsung. Hal itu, karena rumput laut bisa bersinergi dengan dampak alam yang dikeluarkan El Nino.

“Biasanya, El Nino itu membuat cuaca semakin panas dan pasokan air semakin sedikit. Tetapi, justru itu menjadi nilai tambah buat produksi rumput laut. Karena memang, kondisi yang paling baik untuk rumput laut adalah kering dan sedikit air,” papar dia.

Tidak hanya itu, kondisi negatif yang berdampak positif untuk rumput laut tersebut biasanya terjadi di kawasan yang penduduknya mayoritas miskin. Dan, secara tidak langsung mereka mendapat anugerah dari rumput laut.

“Jadi Tuhan YME itu memang sudah mengatur sedemikian rupa. Walau alam di sekitarnya sangat tidak nyaman, tapi masyarakatnya diberi keleluasaan untuk bisa tetap mendapatkan uang, yaitu dari rumput laut,” cetus dia.

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Karena itu, berpijak kepada hal di atas, Dirjen Perikanan Budidaya KKP akan menggenjot produksi rumput laut di kawasan-kawasan yang tersebut.

Pulau Terluar

Untuk mengembangkan produksi perikanan budidaya, Dirjen Perikanan Budidaya sudah mengalokasikan dana sebesar Rp22,98 miliar. Dana tersebut digunakan untuk mengembangkan perikanan budidaya di Kabupaten Simelue, Kabupaten Saumlaki, Kabupaten Sangihe, Kabupaten Natuna, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Merauke.

“Tujuannya adalah untuk mengembangkan perikanan budidaya air tawar. Daerah-daerah tersebut dinilai sangat cocok untuk dikembangkan,” Sekretaris Dirjen Perikanan Budidaya KKP Tri Haryanto.


Produksi Udang Turun Karena El Nino, Rumput Laut Justru Sebaliknya was first posted on October 21, 2015 at 12:23 am.

Setahun Jokowi-JK, Menteri Pertanian Klaim Tidak Impor Beras

$
0
0

 

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaeman, mengklaim dalam satu tahun kinerja pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla, kementerian yang dipimpinnya berhasil untuk tidak melakukan impor beras.

“Terhitung 20 Oktober tahun lalu hingga 20 Oktober 2015, kami belum ada impor beras,”  ucapnya dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kabupaten Subang,  Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015).

Dia menegaskan komitmennya untuk memberdayakan hasil komoditas pangan dalam negeri untuk swasembada  nasional. “Kami sedang berupaya untuk menekan impor pangan. Malah justru kami  sedang berusaha untuk melakukan ekspor,” jelasnya.

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaeman memanen padi menggunakan mesin combain harvester sebagai langkah memodernisasi pertanian dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada pangan nasional. Foto : Donny Iqbal

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaeman (kiri) memanen padi menggunakan mesin combain harvester sebagai langkah memodernisasi pertanian dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada pangan nasional. Foto : Donny Iqbal

Amran mengatakan  pihaknya melakukan  perbaikan kebijakan regulasi di sektor pertanian, mulai dari penyediaan benih dan pupuk sebagai penunjang kebutuhan petani sampai dengan pendistribusian pasca panen. Untuk pembenahan infrastruktur, pemerintah pusat sudah menganggarkan  dana sebesar Rp16,9 triliun untuk perbaikan 51 persen saluran irigasi yang rusak.

Dia juga menghimbau kepada  bupati dari berbagai daerah yang hadir di acara tersebut supaya meningkatkan produktivitas padi  untuk menyumbang cadangan beras tahun 2015. “Kepada para bupati seluruh Indonesia, barang siapa tahun 2015 produksinya menurun, tapi anggaran daerah untuk pertanian naik sampai Rp100 miliar atau naik 20 persen sampe 100 persen, minta maaf anggaran tidak akan diberikan tahun depan, tetapi akan diberikan tahun 2017. Anggarannya minimal nol atau dikurangi sekecil – kecilnya,” ujar Amran.

Pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi menargetkan agar Indonesia bisa mandiri dibidang pangan. Amran mengungkapkan meski kemarau berkepanjangan menyebabkan lahan sawah di sejumlah daerah mengalami kekeringan, sehingga produktivitas menurun hingga mengalami puso dan gagal panen, tetapi produksi padi nasional tahun 2015 mengalami peningkatan.

Berdasarkan data Ara I BPS produksi padi Indonesia tahun 2015 meningkat 6 persen dibanding tahun 2014 lalu. Apabila tahun lalu produksi padi nasional mencapai 70,84 juta ton GKG, tahun ini naik menjadi 75,6 juta ton GKG.

“El Nino yang terjadi sekarang lebih keras dibandingkan El Nino yang terjadi saat tahun 1998. Berkat bantuan dari semua pihak, dari mulai Pangdam TNI hingga ke Babinsa, dosen, penyuluh dan mahasiswa, Alhamdulilah kita ada peningkatan 5 juta ton gabah tahun ini” ujarnya.

Amran mengungkapkan terjadinya peningkatan yang signifikan, akibat adanya peningkatan luas tanam dari sekitar 11,9 juta hektar pada 2014, menjadi 14,3 hektar pada 2015. Kemudian modernisasi pertanian dan penggunaan teknologi juga menjadi faktor penentu keberhasilan tersebut.

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaeman (kanan) memanen padi menggunakan mesin combain harvester sebagai langkah memodernisasi pertanian dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada pangan nasional. Foto : Donny Iqbal

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaeman (kanan) memanen padi menggunakan mesin combain harvester sebagai langkah memodernisasi pertanian dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada pangan nasional. Foto : Donny Iqbal

Dia mengatakan produksi padi bisa meningkat ditengah-tengah Elnino ini berkat program yang dijalankan secara efisien, seperti rehabilitasi jaringan irigasi tersier, optimalisasi lahan, pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), gerakan penerapan pengelolaan tanaman terpadu dan sistem intensifikasi padi.

“ Untuk tahun 2016 pemerintah akan ada penambahan alsintan kisaran 80.000 sampai 100.000 unit yang akan disebarkan di daerah – daerah sentral produksi di 17 provinsi se-Indonesia,” tuturnya. Dia melanjutkan penyediaan  alat tersebut diharapkan bisa menekan biaya produksi 30 –  40 persen. Selain itu, adanya modernisasi alat pertanian agar generasi muda tertarik menekuni pertanian modern yang menjadi harapan dimasa depan.

Dia menuturkan meskipun Indonesia belum bisa mengekspor beras,sekarang Indonesia sudah mampu mengekspor komuditas pangan lain diantaranya 1500 ton bawang merah, 60.000 ton kacang ijo dan 4000 ton jagung, bahkan mampu ngekspor ayam ke Myamar pada dua pekan lalu.

Peran TNI Membantu

Acara yang juga dihadiri oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Mulyono menegaskan bahwa kesiapan TNI-AD untuk ikut berpartisipasi langsung membantu petani, menertibkan distribusi pasca panen dan memberantas mafia impor.

“Kehadiran TNI di sawah harus menjadi bagian dari solusi memecahkan masalah yang selama ini terjadi di masyarakat. Selama menyangkut kepentingan yang bersinggungan dengan rakyat TNI pasti terjun sepenuh hati,” katanya.

Dia juga mengatakan TNI turun bersama petani itu bukan mencari popularitas, tetapi merupakan panggilan tugas diluar perang yang diminta langsung oleh Presiden. Dia menambahkan kehadiran TNI diharapkan mampu mengawasi serta menertibkan jalur pemasaran yang sering dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Menteri pertanian juga mengungkapan bahwa tata niaga pertanian harus segera dibenahi. “Waktu itu terjadi kelangkaan bawang, saya survey ke lapangan di Brebes (Jateng) ternyata harga bawang di petani Rp6 ribu – Rp8 ribu, tapi di kota ditingkat konsumen bisa naik hingga 600 persen,” ujarnya.

Faktor pendukung

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan yang akrab disapa Aher mengemukakan pendapatnya bahwa Indonesia akan mampu mewujudkan swasembada pangan dan ekspor beras. Mengingat Jabar merupakan salah satu daerah lumbung padi terbesar nasional.

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan (depan) dan Bupati Subang Ojang Sopandi (kiri) merasakan sensasi panen yang berbeda dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada pangan nasional. Foto : Donny Iqbal

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan (depan) dan Bupati Subang Ojang Sopandi (kiri) merasakan sensasi panen yang berbeda dalam acara Gelar Teknologi Pertanian Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada pangan nasional. Foto : Donny Iqbal

Disamping itu, Aher mengatakan faktor pendukung meningkatkan produktivitas yaitu dengan diairinya waduk Jatigede, Sumedang dapat memecahkan permasalahan kekeringan dan banjir di daerah Kabupaten Indramayu,  Kabupaten Majalengka, Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon.

Dia mengatakan ketika optimalisasi waduk Jati Gede sudah dilakukan, maka 90 ribu hektare akan terairi dan tidak menutup kemungkinan dapat membuka lahan pertanian baru.

 


Setahun Jokowi-JK, Menteri Pertanian Klaim Tidak Impor Beras was first posted on October 21, 2015 at 5:52 am.

Presiden Keluarkan Perpres Satgas IUU Fishing

$
0
0

Penegakan hukum terhadap pelaku aksi Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di wilayah perairan Indonesia dipastikan akan semakin tegas lagi. Hal itu, menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Illegal Fishing pada Rabu (21/10/2015).

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebutkan, kepastian terbitnya Perpres tersebut, setelah Presiden RI Joko Widodo setuju untuk menandatangani payung hukum yang memperkuat kinerja Satgas IUU Fishing.

“Ini memang sejarah. Dengan adanya perpres ini, maka pelaku IUU Fishing bisa ditindak langsung di atas laut. Saya merasa sangat senang sekali,” ungkap perempuan asli Pangandaran, Jawa Barat itu sembari terus tersenyum mengekspresikan kebahagiaannya.

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan     Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto:  Ayat S  Karokaro

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto: Ayat S Karokaro

Menurut Susi, dengan adanya perpres tersebut, nantinya kerja satgas bisa lebih leluasa untuk menindak setiap kapal asing yang masuk tanpa izin ke wilayah teritorial Indonesia. Dengan demikian, nantinya, kapal-kapal yang terbukti melanggar tidak perlu diproses hukum melalui pengadilan.

“Buat apa ke pengadilan lagi? Dengan pepres ini Satgas menjadi berkuasa. Bisa lebih simpel, efisien dan memberi efek jera,” tutur Susi.

Secara keseluruhan, satgas IUU Fishing dibentuk sebagai upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran dan kejahatan di bidang perikanan, khususnya illegal fishing. Satgas tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.

Adapun, tim Satgas IUU Fishing yang dibentuk terdiri dari dari Menteri Kelautan dan Perikanan (Komandan Satgas), Wakil Kasal TNI AL (Kepala Pelaksana Harian), Kepala Badan Keamanan Laut / BAKAMLA (Wakil Kepala Pelaksana Harian 1), Kepala Badan Pemelihara Keamanan / BAHARKAM Polri (Wakil Kepala Pelaksana Harian 2), dan Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI (Wakil Kepala Pelaksana Harian 3).

“Dengan adanya anggota dari lintas instansi, maka penegakan hukum di wilayah perairan bisa lebih cepat. Tidak perlu lagi ada birokrasi rumit yang panjang. Ini juga sangat bagus untuk memberi efek jera kepada pelanggar,” tandas dia.

Kapal asing berbendera  Malaysia ini  diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto:  Ayat S Karokaro

Kapal asing berbendera Malaysia ini diledakkan di Perairan Belawan pada Rabu pagi. Foto: Ayat S Karokaro

Bukan saja menindak langsung, menurut Susi, dengan adanya Perpres tersebut, Satgas bisa langsung menenggelamkan kapal yang terbukti masuk tanpa izin ke wilayah perairan Indonesia. Langkah tersebut menjadi terobosan, karena sebelumnya untuk bisa menenggelamkan langsung kapal pelanggar harus menunggu waktu berbulan-bulan.

“Dengan Perpres juga, manfaatnya sangat baik karena koordinasi antar instansi bisa semakin baik dan terstruktur. Dengan kata lain, Satgas akan mengoptimalkan pemanfaatan personil dan peralatan operasi, meliputi kapal, pesawat udara dan teknologi,” papar dia.

Satgas IUU Fishing KKP

Meski Presiden sudah mengeluarkan Perpres tentang  Satgas IUU Fishing, namun KKP dipastikan akan tetap mempertahankan keberadaan Satgas IUU Fishing yang dibentuk sendiri. Menurut Wakil Ketua Satgas IUU Fishing KKP Yunus Husen, timnya dipertahankan oleh KKP karena dinilai sudah berpengalaman dan memiliki analisa sangat baik serta memahami persoalan administrasi yang berhubungan dengan kapal-kapal pelanggar.

“Satgas yang dibentuk oleh KKP ini tidak memiliki kewenangan penuh seperti yang dibentuk Presiden. Kita hanya bisa menyentuh administrasinya saja. Namun, kita dipertahankan karena memang dinilai sudah berpengalaman,” cetus Yunus.

Walau berbeda, namun dia memastikan bahwa Satgas IUU Fishing KKP akan bekerjasama dengan Satgas IUU Fishing bentukan Presiden. Hal itu, karena posisi KKP sebagai komandan Satgas dan pasti memerlukan pandangan lebih luas terkait IUU Fishing.

Untuk mendukung operasional tim bentukan Presiden tersebut, Yunus menyebutkan, sudah ada anggaran sebesar Rp1 triliun yang dikucurkan dalam dua tahap per enam bulan. Anggaran tersebut, akan digunakan untuk melaksanakan kewenangan penegakan hukum di atas wilayah perairan Indonesia.

“Ini menjadi sejarah untuk kita. Karena dengan adanya Perpres dan Satgas, maka kita bisa melindungi sumber daya laut yang saat ini ada. Ini jadi bekal buat anak cucu kita nanti,” pungkas Yunus.

 


Presiden Keluarkan Perpres Satgas IUU Fishing was first posted on October 22, 2015 at 12:30 am.

Konflik PLTA Singkarak Capai Kesepakatan

$
0
0

Masyarakat Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, dapat menghela nafas panjang sebab jalan panjang penyelesaian konflik antara mereka dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Singkarak kini menemui titik terang.

Hal itu sebagai hasil pertemuan antara PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi selaku pengelola PLTA Singkarak dengan Walinagari Guguak Malalo, Kerapatan Adat Nagari (KAN) Guguak Malalo, Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN), Lembaga Peduli Ulayat Nagari (LPUN), Masyarakat Nagari Guguak Malalo masyarakat Nagari Guguak Malalo (Wali Nagari, KAN, BPRN dan LPUN) serta pendamping masyarakat dari Perkumpulan Qbar. Pertemuan pada 9 Oktober 2015 tersebut membahas penyelesaian sengketa yang telah berlarut-larut.

Konflik masyarakat Nagari Guguak Malalo bermula akibat pembangunan terowongan intake air PLTA Singkarak yang menyisakan banyak persoalan, diantaranya mengenai hilangnya sumber mata air yang berakibat pada banyaknya areal persawahan masyarakat yang tidak dapat diolah akibat tidak dialiri air.

Pemandangan Danau Singkarak ditepian Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Foto: Ihsan/Qbar

Pemandangan Danau Singkarak ditepian Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Foto: Ihsan/Qbar

Sekitar tahun 2013, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Sumatera Barat telah mengupayakan penyelesaian sengketa yang terjadi. Bapedalda telah melakukan pertemuan dengan kedua-belah pihak guna mendapatkan informasi mengenai persoalan yang disengketakan.

Setelah pertemuan tersebut Gubernur Sumatera Barat meminta untuk dilakukannya Audit Lingkungan secara sukarela yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Andalas bersama masyarakat, pendamping dan dari Pihak PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi.

Agar kegiatan Audit Lingkungan dapat menyentuh pada pokok persoalan yang dihadapi, PSLH Universitas Andalas, PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi, Masyarakat Nagari Guguak Malalo serta Lembaga Pendamping Masyarakat melakukan pertemuan guna menyatukan pemahaman bersama mengenai tujuan serta ruang lingkup kegiatan Audit Lingkungan tersebut. Lalu dituangkanlah dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh para pihak dan kegiatan Audit pun dilaksanakan.

Audit Lingkungan dilakukan, kondisi hidrogeologi sekitar PLTA Singkarak, termasuk menelaah pola aliran air, kondisi air tanah dan air permukaan. Termasuk pemantauan terhadap kualitas air Danau Singkarak disekitar Nagari Guguk Malalo, kondisi perikanan Danau Singkarak sekitar Nagari Guguk Malalo dan lain-lain.

Hasilnya, bahwa salah satu penyebab kehilangan debit aliran air pada beberapa sungai di Malalo karena adanya sesar yang memotong beberapa aliran sungai yang menyebabkan sebagian atau seuruh aliran air masuk kedalam zona sesar yang melewatinya. Hasil itu didapatkan setelah dilakukan penelitian dengan cara melakukan pengeboran sebanyak 25 titik diareal sekitar Nagari Guguk Malalo, dimana hanya 12 titik yang ditemukan muka air tanah sedangkan untuk 13 titik lainnya tidak ditemukan muka air tanah.

Perjalanan Panjang Penyelesaian Sengketa

Pembangunan PLTA Singkarak menyisakan berbagai dampak lingkungan yang berpengaruh pada kondisi sosial, penurunan ekonomi karena lahan-lahan pertanian tidak dapat dialiri oleh air hingga timbulnya retakan-retakan tanah yang berujung pada putusnya tali banda (aliran air), penurunan sedimen tanah dan menimbulkan tanah amblas dan berujung pada bencana galodo di Nagari Guguak Malalo.

Akhirnya sekitar tahun 2011, masyarakat beserta niniak mamak di Nagari Guguak Malalo membentuk Lembaga Peduli Ulayat Nagari (LPUN), untuk dapat bekerja melakukan penyelamatan ulayat nagari akibat pembangunan PLTA Singkarak, serta melakukan langkah-langkah penyelesaian sengketa.

Pada saat itu, PLTA Singkarak berencana akan melakukan penggantian saringan intake PLTA Singkarak namun dihadang oleh masyarakat Nagari Guguk Malalo sehingga kegiatan tersebut terkendala di lapangan. Kemudian pada 9 Agustus 2011, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar turun tangan menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara memfasilitasi pertemuan dengan masyarakat Nagari Guguak Malalo guna membicarakan penyelesaian sengketa yang terjadi.

Saringan Intake PLTA Singkarak yang terdapat di Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.  Foto: Ihsan/Qbar

Saringan Intake PLTA Singkarak yang terdapat di Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Foto: Ihsan/Qbar

Dalam pertemuan itu tercapai kesepakatan dimana Pihak PLTA Singkarak dapat melakukan penantian terhadap saringan intake dengan ketentuan syarat; 1) dilakukannya audit lingkungan oleh instansi terkait sebagai melihat kerusakan lingkungan yang dikeluhkan oleh masyarakat, 2) Dilakukannya pemeriksaan terhadap terowongan PLTA Singkarak oleh ahli hidrologi dan geologi, 3) Peninjauan kembali terhadap besaran pajak pajak air permukaan.

Pada 12 Februari 2013, Gubernur Sumatera Barat melalui Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Propinsi Sumatera Barat memfasilitasi pertemuan antara Lembaga Peduli Ulayat Nagari (LPUN), Bupati Tanah Datar, PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi, Lembaga Pendamping dari Perkumpulan Qbar, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat dan Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Andalas serta Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait lainnya.

Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk dilakukannya kegiatan Audit Lingkungan Sukarela yang independen guna mengetahui dampak-dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan terowongan PLTA Singkarak yang berujung pada kerugian masyarakat Nagari Guguak Malalo dan disepakati pada saat itu tim yang akan melakukan Audit Lingkungan yang dilaksanakan oleh PSLH Universitas Andalas, namun dibantu oleh lembaga pendamping masyarakat dalam melakukan penjaringan pendapat mengenai riwayat pembangunan terowongan PLTA Singkarak serta dampak yang dirasakan oleh masyarakat. Kegiatan ini berlangsung selama enam bulan terhitung semenjak bulan Juni-November 2013.

Pada tanggal 12 Februari 2014, Bapedalda Propinsi Sumatera Barat memfasilitasi pertemuan dengan para pihak dalam kegiatan pemaparan hasil audit lingkungan yang telah dilakukan. Tim Audit Lingkungan dari PSLH Universtitas Andalas menjelaskan bahwa salah satu penyebab kehilangan mata air di Nagari Guguak Malalo dikarenakan faktor alam dimana di Nagari Guguak Malalo terdapat sesar (retakan dalam bumi) yang lazim disebut dengan patahan semangka. Saat terjadi gempa bumi, sesar ini bergerak sehingga besar kemungkinan aliran air bawah tanah terpotong dan aliran air permukaan menjadi hilang.

Sementara itu penggunaan bahan peledak dalam pembangunan terowongan PLTA Singkarak dahulunya mengakibatkan terjadi getaran-getaran disekitar lokasi terowongan. Sehingga geteran itu juga dapat mengakibatkan terjadinya retakan-retakan dalam tanah. Akhirnya berbagai rekomendasi lahir dalam penyelesaian sengketa tersebut.

Perwakilan PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittinggi berjabat tangan dengan Wali Nagari Guguak Malalo setelah selesai menandatangani kesepakatan bersama. Foto: Ihsan/Qbar

Perwakilan PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittinggi berjabat tangan dengan Wali Nagari Guguak Malalo setelah selesai menandatangani kesepakatan bersama. Foto: Ihsan/Qbar

Direktur Perkumpulan Qbar, Mora Dingin saat dihubungi Mongabay pada Senin (19/10/2015) mengatakan bahwa kesepakatan ini merupakan hasil dari proses panjang dari penyelesaian sengketa yang terjadi antara masyarakat Nagari Guguak Malao dengan PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi. Berkat kegigihan dan kebutana tekad dari masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak mereka atas sumber daya air yang hilang akibat aktivitas PLTA Singkarak.

Selanjutnya persoalan ini juga telah dibuktikan secara ilmiah melalui kajian dan penelitian yang dilakukan dalam kegiatan audit lingkungan oleh ahli-ahli lingkungan yang tergabung dalam tim PSLH Universitas Andalas.

Mora menambahkan hilangnya mata air masyarakat juga diakibatkan oleh pembangunan terowongan PLTA Singkarak dahulunya. Maka sepantasnyalah PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi selaku pengelola PLTA Singkarak bertanggungjawab, walaupun begitu realisasi dari isi kesepakatan yang telah ditandatangani harus dikawal pelaksanaannya.

Kedepan, Perkumpulan Qbar bersama masyarakat Nagari Guguak Malalo akan tetap bekerjasama dalam menyusun perencanaan-perencanaan dalam pengembangan Nagari serta mendorong kemajuan dalam pengelolaan sumberdaya alam milik Nagari Guguak Malalo.

Capai Kata Mufakat

Hasil Audit lingkungan menjadi pedoman dalam merumuskan berbagai program dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat dan mengupayakan agar lahan-lahan pertanian masyarakat kembali produktif dan dialiri air melalui sistem pipanisasi. Lantas masyarakat Nagari pun melakukan komunikasi yang intens dengan PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi guna membahas tindak lanjut dari hasil audit lingkungan.

Hingga akhirnya komunikasi itu berujung pada penandatanganan kesepakatan yang dilaksanakan pada tanggal 9 Oktober 2015 di Bukittinggi. Adapun isi kepakatan tersebut, diantaranya bahwa Pihak PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi berkewajiban untuk; melakukan pencarian sumber mata air baru untuk menjamin ketersediaan air bagi masyarakat. Melakukan penghijauan pada cathment area, dan lain-lain.

Mulyadi selaku Wali Nagari Guguak Malalo saat diwawancarai Mongabay pada Senin (19/10/2015) mengatakan bahwa kesepakatan yang terjalin antara PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bukittingi wujud dari keseriusan perusahaan dalam melakukan upaya penyelesaian sengketa yang selama ini terjadi. Keberadaan PLTA Singkarak di Nagari Guguak Malalo semestinya mampu memberikan kontribusi terhadap kemajuan masyarakat Nagari.

Kedepan, masyarakat bersama dan pihak PLN akan melakukan pencarian sumber mata air baru yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi areal pertanian masyarakat serta untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga masyarakat. Disamping itu Pihak PLN juga sepakat untuk melakukan pengembangan-pengembangan Nagari Guguak Malalo dan ikut membangun berbagai fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan masyarakat Nagari.

“Ini langkah awal dari penyelesaian sengketa yang terjadi selama ini, semoga setelah ini masyarakat dan PLN dapat saling berkerjasama dalam membangun sinergi membangun nagari sehingga masyarakat dapat merasakan kehadiran PLTA Singkarak membawa perusabahan yang positif terhadap kemajuan Nagari” ucapnya.

Disamping itu, Pihak PLN akan melakukan kegiatan penghijauan kembali di kawasan hutan adat Nagari Guguk Malalo. Komoditi yang akan ditanam merupakan komoditi yang dapat memberikan dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat kemudian hari. Sehingga dapat memberikan keuntungan kepada alam dan memberikan dampak positif bagi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan bukan kayu di kawasan hutan adat nagari Guguak Malalo nantinya.

 


Konflik PLTA Singkarak Capai Kesepakatan was first posted on October 22, 2015 at 4:00 am.

Yuk, Selamatkan Penyu dari Kepunahan!

$
0
0

 

Keberadaan penyu di dunia saat ini sudah semakin langka. Tidak saja spesiesnya yang terus menyusut, populasi penyu dari spesies yang tersisa juga dewasa ini terus berkurang jumlahnya. Sebelum tersisa hanya 7 spesies saat ini, jumlah spesies penyu di dunia mencapai 30. Penyusutan itu terjadi karena perubahan zaman dan berbagai faktor lainnya.

Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia Dwi Suprapti menjelaskan, penyusutan jumlah spesies penyu yang sekarang terjadi menjadi fenomena menyedihkan dan harus dicegah agar tidak berkurang lagi.

“Tugas itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Terutama, karena Indonesia menjadi rumah bagi 6 penyu dari total 7 spesies yang tersisa di dunia ini. Ini pekerjaan rumah yang berat,” ungkap Dwi Suprapti di Jakarta, Kamis (22/10/2015).

penyu sisik hidup diantara terumbu karang. Foto : Arkive.org

penyu sisik hidup diantara terumbu karang. Foto : Arkive.org

Dia mengungkapkan, 6 (enam) spesies penyu yang ada di Indonesia adalah penyu hijau (chelonia mydas), penyu sisik (eretmochelys imbricata), penyu lekang (lepidochelys olivacea), penyu belimbing (dermochelys coriacea), penyu tempayan (caretta caretta), dan penyu pipih (natator depressus).

Dari 6 spesies tersebut, Dwi menyebutkan, saat ini 3 spesies statusnya sangat memprihatinkan. Terutama, spesies penyu sisik dan penyu hijau. Kedua penyu tersebut saat ini sudah bersatus hampir punah. Sementara, penyu belimbing kondisinya tak jauh berbeda, namun sudah lebih baik dari kedua saudaranya tersebut.

Penyebab utama terus menyusutnya populasi penyu di dunia, dan khususnya di Indonesia, adalah karena terjadinya alih fungsi lahan di pesisir pantai dan juga perubahan gaya hidup di masyarakat yang mendorong berlangsungnya perburuan terhadap penyu-penyu yang statusnya adalah satwa langka.

“Ini memang memprihatinkan. Kita harus bisa menyelamatkan penyu dari ancaman kepunahan. Mereka juga makhluk hidup yang harus diberi kesempatan untuk hidup,” tandas dia.

Penyu, masih diyakini memiliki khasiat khusus untuk manusia, yang membuat harganya tinggi di pasar satwa ilegal. Foto: Dhenok Hastuti

Penyu, masih diyakini memiliki khasiat khusus untuk manusia, yang membuat harganya tinggi di pasar satwa ilegal. Foto: Dhenok Hastuti

Secara spesifik, Dwi mengatakan, WWF Indonesia sudah berupaya melakukan penyelamatan terhadap penyu. Dan dia sendiri mengaku sudah terlibat aktif dalam penyelamatan penyu belimbing yang habitatnya masih terbatas di Pantai Jamursba Medi di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat dan di sepanjang pesisir barat Pulau Sumatera.

“Penyu belimbing itu populasinya sekarang sudah di bawah 2000-an ekor. Itu berbeda dengan beberapa dekade lalu yang massih diatas 8.000 an ekor. Kami berupaya untuk menjaga populasi yang ada sekarang,” papar dia.

Semakin langkanya penyu belimbing yang merupakan spesies penyu terbesar saat ini, menurut Dwi, diakibatkan karena masih terjadinya perburuan telur penyu oleh masyarakat sekitar pesisir pantai dan atau terjadinya ketidaksengajaan tertangkap oleh alat tangkap kapal.

“Penyu belimbing itu kan tidak memiliki karapas dan dia bernafas dengan paru-paru. Jadi setiap lima jam harus naik ke permukaan untuk bernafas. Namun, jika dia terperangkap dalam alat tangkap seperti jaring, maka dia terancam tidak bisa bernafas lagi karena terjebak di dalam air,” cetus dia.

Sulawesi Utara

Terus menyusutnya populasi penyu juga diakui oleh Simon Purser, Wildlife Rescue Center dari Tasikoki, lembaga yang fokus menyelamatkan populasi penyu di dunia. Menurut dia, salah satu penyebab terus menyusutnya penyu, karena perilaku manusia yang sembarangan membuang sampah ke laut.

“Meski sumbangan sampah hanya 5 persen saja untuk total penyebab penyusutan populasi, namun sampah memang berpengaruh banyak. Dengan menelan sampah, terutama sampah plastik, maka ancaman hidup penyu semakin nyata,” jelas dia.

Ihwal berpengaruhnya sampah dalam penyebab penyusutan penyu, menurut Simon, karena penyu itu makanan utamanya adalah ubur-ubur. Sifat hewan laut tersebut yang ringan di dalam air saat bergerak, selintas wujudnya seperti plastik.

“Karenanya, kalau ada plastik yang mengapung di laut, karena terbawa gelombang atau ombak, maka gerakannya seperti ubur-ubur. Dan itu biasanya langsung dimakan oleh penyu,” tandas dia.

Oleh itu, baik Simon maupun Dwi sama-sama sepakat dan menghimbau kepada masyarakat dunia dan khususnya di Indonesia, untuk bisa menjaga perilaku hidup keseharian untuk tidak membuang sampah sembarangan. Selain itu, keduanya juga meminta masyarakat untuk menjaga penyu karena sudah berstatus satwa langka.

Seorang wisatawan melepaskan tukik di Kampung Penyu Desa Barugaia, Bonto Manai, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Operasional Kampung Penyu, selain berupa bantuan langsung pemerintah dan swasta juga dengan paket wisata berupa pelepasan tukik ke pantai. Bagi wisatawan asing dikenakan biaya Rp50 ribu dan Rp25 ribu untuk wisatawan domestik. Foto : Wahyu Chandra

Seorang wisatawan melepaskan tukik di Kampung Penyu Desa Barugaia, Bonto Manai, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Operasional Kampung Penyu, selain berupa bantuan langsung pemerintah dan swasta juga dengan paket wisata berupa pelepasan tukik ke pantai. Bagi wisatawan asing dikenakan biaya Rp50 ribu dan Rp25 ribu untuk wisatawan domestik. Foto : Wahyu Chandra

Semua jenis penyu tersebut, kecuali penyu pipih,  dimasukkan dalam hewan yang dilindungi baik oleh peraturan nasional maupun internasional. Badan konservasi dunia (IUCN) memasukkan penyu belimbing, penyu kemp’s ridley dan penyu sisik sebagai satwa sangat terancam punah (critically endangered). Sementara penyu hijau, penyu lekang dan penyu tempayan digolongkan sebagai terancam punah (endangered).

Sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), memasukkan semua jenis penyu dalam appendix I, yang artinya dilarang perdagangkan untuk tujuan komersial.

Di Indonesia, semua jenis penyu dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang berarti perdagangan penyu dalam keadaan hidup, mati maupun bagian tubuhnya dilarang. Menurut UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,  pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu itu bisa dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta. Pemanfaatan jenis satwa dilindungi hanya diperbolehkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan.

Papua Barat Jadi Provinsi Konservasi

Keseriusan Provinsi Papua Barat terhadap konservasi semakin nyata dengan ditetapkan provinsi tersebut sebagai provinsi konservasi pada 19 Oktober lalu atau bertepatan dengan ulang tahun ke 16 provinsi Papua Barat.

Dengan menjadi provinsi konservasi, menurut Gubernur Abrahama O. Atuturi, pihaknya bersama masyarakat akan berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam. Selain itu, untuk memperkuat status, Pokja Provinsi Konservasi saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Ranperdasus) sebagai dasar pengimplementasiannya di Provinsi Papua Barat.

“Deklarasi Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi ini adalah momentum kita bersama untuk selalu menjaga dan mengelola sumber daya alam Papua Barat secara bijak, lestari, dan berkelanjutan, sehingga senantiasa terpelihara untuk kehidupan kita pada saat ini maupun generasi nanti,” kata Abraham.

Di Papua Barat, WWF Indonesia – Program Papua saat ini bekerja di dua lokasi, yaitu di Kabupaten Teluk Wondama yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan di Abun, Kabupaten Tambrauw. Selain itu, WWF Indonesia juga tergabung dalam program konservasi Bentang Laut Kepala Burung (Bird Head Seascape) bersama Conservation International (CI) dan The Nature Conservacy (TNC).

Papua Barat memiliki wilayah Bentang Laut Kepala Burung yang kaya akan keanekaragaman hayati laut dan 90% luas kawasan Papua Barat merupakan kawasan hutan alam.


Yuk, Selamatkan Penyu dari Kepunahan! was first posted on October 23, 2015 at 7:26 am.

Menikmati Ekowisata Ala Pulau Talise Sulawesi Utara. Seperti Apa?

$
0
0

 

Sebuah perahu merapat dan bersandar di dermaga Desa Tambun, Pulau Talise, pada Jumat siang di pertengahan Oktober 2015.  Dari kapal, turun penumpang yang berisi tim dari Manengkel Solidaritas dan Yapeka. Ada juga dua pakar ekowisata asal Universitas Wegeningen, Belanda, yaitu Rene Henkens dan Lawrence Jones Walters, yang berniat menyaksikan keindahan alam di sana.

Talise merupakan salah satu dari banyak pulau kecil di Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Diperkirakan, pulau ini memiliki luas sekitar 200 hektar, dengan panjang 6 km dan lebar 2 km.

Begitu menginjakkan kaki di dermaga Desa Tambun, siapapun bisa menyaksikan pemandangan yang didominasi pasir putih, hijau pepohonan dan jajaran perahu. Ke arah laut, selain bening air, terlihat juga penampakan pulau-pulau kecil, seperti Kinabohutan, Bangka dan Tindila.

Keindahan pesisir pantai Desa Tambun, Pulau Talise, Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pulau Talise cocok dikembangkan sebagai ekowisata bahari Sulut. Foto : Themmy Doaly

Keindahan pesisir pantai Desa Tambun, Pulau Talise, Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pulau Talise cocok dikembangkan sebagai ekowisata bahari Sulut. Foto : Themmy Doaly

“Di sini, ada 8 jenis mangrove, yang didominasi Rhizopora. Lamun ada 7 jenis, kebanyakan Enhalus acoroides. Ada juga, Halophila ovalis, Thalasia hemprichii dan beberapa jenis lainnya. Untuk karang dan ikan, masih dalam pengolahan data. Nanti seluruhnya akan dijadikan satu,” kata Rio Noval Puasa, koordinator konservasi wilayah pesisir dan laut Manengkel Solidaritas menjelaskan hasil survey mereka.

Survey yang merupakan hasil kerjasama antara Manengkel Solidaritas, Yapeka dan sebuah lembaga internasional, GoodPlanet, dilakukan  tiap enam bulan sekali. “Yang saya lihat, masyarakat di sini sudah mengetahui bahwa jika lingkungan rusak, mereka akan sulit menangkap ikan di situ.”

Di bagian dalam pulau, nyaris tiap rumah memiliki tanaman pohon dan bunga, yang membuat rumah-rumah warga terlihat semakin indah. Bonus lainnya, pengunjung bisa merasakan suasana asri dan sejuk. Tambun jelaslah sebuah desa yang dipenuhi bunga, tanpa perlu mencitrakan dirinya dengan gelaran berbudget internasional.

Menanam dan merawat bunga sudah jadi semacam kebiasaan warga setempat, jelas Hortinatus Masambe, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Tambun saat datang menyambut.  Ketika musim panas berkepanjangan seperti sekarang, warga semakin sering menyiram tanaman agar tidak mengalami kekeringan.

Jalan dan pekarangan yang asri dan sejuk di pemukiman Desa Tambun, Pulau Talise, Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pulau Talise cocok dikembangkan sebagai ekowisata bahari Sulut. Foto : Themmy Doaly

Jalan dan pekarangan yang asri dan sejuk di pemukiman Desa Tambun, Pulau Talise, Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pulau Talise cocok dikembangkan sebagai ekowisata bahari Sulut. Foto : Themmy Doaly

Ada berbagai bunga dan pohon yang ditanam di sana. Warga percaya, tanaman-tanaman tersebut, selain membuat pemandangan menjadi indah dan asri, dapat berfungsi sebagai ‘apotek’ dan ‘dapur’.

“Tanaman dapat berfungsi sebagai dapur hidup, ia bisa menjadi bahan pangan warga setempat, misalnya cabai dan kunyit,” kata Hotrinatus. “Sedangkan, apotek hidup itu berguna bagi obat-obatan, contohnya lidah buaya dan kunyit.”

Konservasi Laut

Sebagaimana daerah kepulauan, warga desa Tambun umumnya berprofesi sebagai nelayan. Uniknya, sejak tahun 2011, pemerintah desa telah menetapkan Peraturan Desa (Perdes) tentang Daerah Perlindungan Laut (DPL).

Luas perairan yang masuk dalam DPL sekitar 1 hektar. Kabarnya, aturan dalam perdes tadi, mengikat warga di tiga pulau, yakni Bangka, Gangga dan Talise. “Kalau kedapatan menangkap ikan di kawasan DPL, alat tangkap milik nelayan tersebut akan disita. Tapi, tentu ada tahapan dalam pemberian sanksi, misalnya dimulai dari teguran,” tutur Hortinatus.

Perdes DPL dibuat dari pengalaman sulitnya mendapatkan ikan di perairan sekitar, ketika nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bom, racun atau jaring yang merusak ekosistem karang.

“Perdes DPL berupaya menjaga agar tidak terjadi perusakan di wilayah-wilayah penting,” jelasnya.

DPL diyakini bisa menjadi semacam bank ikan. Kelak, diharapkan, akan banyak ikan berkembang biak di daerah yang sudah dilindungi. Sehingga, nelayan bisa mendapat banyak ikan, bahkan di luar kawasan DPL. “Seluruh masyarakat menyepakati peraturan ini. Sebab, hasilnya juga akan dimanfaatkan bersama.”

Keindahan pesisir pantai Desa Tambun, Pulau Talise, Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Keindahan pesisir pantai Desa Tambun, Pulau Talise, Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Berdasarkan informasi warga setempat, di hutan Talise terdapat sejumlah satwa seperti yaki (Macaca nigra), tarsius serta rusa. Beberapa warga meyakinkan bahwa monyet yang dilihatnya berpantat merah. Diceritakan, yaki sering turun ke kebun warga dan memakan hasil kebun. Akibatnya, tidak sedikit warga yang marah lalu mengusir satwa endemik Sulawesi Utara ini.

Sementara, untuk tarsius, diketahui ada seorang akademisi dari luar negeri pernah melakukan penelitian di pulau Talise. Akademisi tadi diketahui merekam suara tarsius sebagai bahan penelitian.

Kami penasaran, lalu meminta Hortinatus untuk mengantar ke hutan. Jaraknya sekitar 2 km dari pemukiman warga. Di sana, kurang lebih 2 jam kami menunggu kemunculan yaki. Dalam suatu kesempatan, saya bertanya kepada Hortinatus, apakah yaki di pulau Talise juga diburu untuk dikonsumsi. “Ya, ada. Di desa sebelah sana,” jawab dia sambil menunjuk ke arah barat.

Sayang sekali, hingga menjelang sore, yaki tak kunjung datang. “Ada beberapa tempat yang biasa jadi lokasi yaki untuk cari makan. Di sini salah satunya. Yang pasti, sampai sekarang, masyarakat masih belum tahu tepatnya tempat tinggal yaki di hutan ini.”

Potensi Wisata Pulau Talise

Rene Henkens, pakar ekowisata dari Universitas Wegeningen, mangatakan, pulau Talise memiliki syarat yang cukup untuk menjadi desa ekowisata. Dia yakin, pengunjung bisa menyaksikan keindahan alam, orisinalitas desa serta budaya. Bagi Rene, unsur-unsur tersebut sangat penting, sebab pembangunan untuk ekowisata baiknya tidak merubah bentang alam.

Ia berharap, jika kedepannya pulau Talise menjadi kawasan ekowisata, pemerintah bisa mengontrol jumlah pengunjung ke daerah ini. “Karena, wisata massal akan berpengaruh pada ekologi dan sosial,” kata Rene.

Senada, Akbar A Digdo, Direktur Program Pesisir Yapeka, menilai, pulau Talise memiliki potensi wisata yang cukup besar. Penilaiannya berdasarkan aksesbilitas yang mudah dan kondisi alam yang masih terjaga.

Konsep ekowisata yang ditawarkannya adalah berbasis masyarakat, yang berdampak pada tingginya partisipasi warga setempat dalam pengelolaan wisata. “Artinya, kalaupun kita kembangkan, secukupnya saja. Nggak harus ada hotel. Wisata yang sangat efisien. Sehingga, uang yang diberikan wisatawan langsung diterima masyarakat. Uangnya habis di situ. Lain halnya, kalau kita menginap di hotel berbintang ‘10’, uangnya nggak habis di lokasi, tapi di investor.”

Karena itu, pihaknya berupaya mencari terobosan dalam ekowisata dengan membuat masyarakat setempat menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Mereka harus di depan dan menjadi aktor utama. “Kami coba mencari terobosan dalam ekowisata. Nggak cuma gitu-gitu aja. Sebab, selama ini, kalau ada resort besar, kebanyakan investasi asing. Akhirnya, warga hanya melihat, syukur-syukur bisa terlibat.”

Dua pakar ekowisata Universitas Wegeningen, Belanda, Rene Henkens dan Lawrence Jones Walters usai menyelam di perairan Desa Tambun, Pulau Talise, Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pulau Talise cocok dikembangkan sebagai ekowisata bahari Sulut. Foto : Themmy Doaly

Dua pakar ekowisata Universitas Wegeningen, Belanda, Rene Henkens dan Lawrence Jones Walters usai menyelam di perairan Desa Tambun, Pulau Talise, Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pulau Talise cocok dikembangkan sebagai ekowisata bahari Sulut. Foto : Themmy Doaly

Dari pemaparan tadi, Akbar menyatakan, daerah ekowisata mesti memiliki syarat-syarat yang terdiri dari, pertama, berdampak rendah pada lingkungan dan harus mendatangkan manfaat bagi lingkungan. Kedua, mendatangkan manfaat untuk masyarakatnya. Ketiga, memajukan sosial-budaya masyarakat di sana.

“Selama ini, dalam banyak kasus, ekowisata hanya buka plang, pasang karcis lalu kasih tempat parkir. Tidak ada edukasi buat masyarakat dan wisatawan. Harusnya, Pemda melihat alam sebagai aset. Artinya, bisa dipakai, tapi juga harus pelihara. Asetnya apa? Terumbu karang, lamun, mangrove, kemudian masyarakatnya,” jelas Akbar.

Masyarakat desa, kata dia, akan maju kalau alamnya lestari dan tidak terlampau bergantung dengan uang. Mereka dinilai menjadi ujung tombak pemanfaatan sumber daya alam. Contohnya, saat orang butuh makan, butuh lauk, hanya perlu ke laut. “Jadi, ekowisata di desa jangan dinilai dari uang, tapi bagaimana masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam sebagai penopang hidupnya.”

Hortinatus menjelaskan di sekitar perairan pulau Talise, terdapat spot diving mirip di perairan Bunaken. Sejumlah wisatawan, dalam waktu tertentu, sering dibawa ke lokasi tersebut jika perairan Bunaken sedang dalam cuaca buruk.

Hanya saja, diakui Hortinatus, jumlah wisatawan di pulau Talise, setidaknya di desa Tambun, belum terbilang banyak. Pengunjung dari luar kawasan umumnya datang untuk melakukan penelitian maupun peliputan berita. “Itupun jumlahnya tidak seberapa. Data pastinya ada di kantor Desa. Ada di buku tamu,” kata dia.

Hortinatus menyampaikan kegembiraannya kala dikunjungi tim Manengkel Solidaritas, Yapeka serta dua pakar ekowisata asal Universitas Wegeningen, Belanda, Rene Henkens dan Lawrence Jones Walters.

Menurut dia, informasi yang didapatinya sangat berguna untuk menjaga dan memajukan sumber daya alam di desa Tambun. “Dari masukan mereka, kami bisa mendapat informasi baru dan dapat kesempatan belajar.  Semoga, kedepannya, komunikasi ini masih bisa berlanjut, sehingga pulau Talise bisa menjadi lokasi wisata yang baik,” harap Hortinatus.

 


Menikmati Ekowisata Ala Pulau Talise Sulawesi Utara. Seperti Apa? was first posted on October 24, 2015 at 4:54 am.

Ini Dia Si Udang Seksi Dari Ambon

$
0
0

Anda pasti baru mendengar nama udang ini bukan ? ini bukanlah nama rekaan atau khayalan saja, melainkan ini nama sesungguhnya yang diberikan kepada para ahli kepada seekor udang laut.

Nama latinnya adalah Thor amboinensis, atau umumnya dikenal sebagai udang jongkok atau udang seksi, adalah spesies udang yang ditemukan di Pasifik Indo-Barat dan di bagian Samudra Atlantik. Ia hidup bersimbiosis pada karang, anemon laut dan invertebrata laut lainnya di dalam komunitas karang dangkal.

Thor amboinensis atau udang seksi atau udang jongkok, merupakan spesies udang yang ditemukan di lautan Pasifik Indo-Barat. Foto : Wisuda

Thor amboinensis atau udang seksi atau udang jongkok, merupakan spesies udang yang ditemukan di lautan Pasifik Indo-Barat. Foto : Wisuda

Dinamakan sexy shrimp, karena ia selalu bergerak seakan menari dengan menggoyangkan ekornya  seperti penari yang seksi dengan gaya tariannya.

T. amboinensis adalah udang kecil yang tumbuh dengan panjang sekitar 13 milimeter Ini berwarna coklat zaitun dengan bercak putih seperti mata dengan garis biru tipis. Dari kepala ke atas perutnya, melengkung hingga ke ekornya yang terletak di atas kepalanya.

Thor amboinensis atau udang seksi bertubuh mungi, dengan ukuran sekitar 13 mm. Foto : Wisuda

Thor amboinensis atau udang seksi bertubuh mungil dengan ukuran sekitar 13 mm. Foto : Wisuda

Meskipun bernama Ambon yang diambil dari pulau ambon, salah satu dari Kepulauan Maluku di Indonesia, tetapi T. amboinensis tersebar di beberapa wilayah pan tropical, seperti di Laut Merah, Samudera Hindia, Samudera Pasifik, Laut Karibia, Teluk Meksiko, Madeira dan Kepulauan Canary.

T. amboinensis membentuk simbiosis komensalisme –hubungan di mana satu pihak diuntungkan, sedangkan pihak yang lain tidak diuntungkan ataupun dirugikan, dengan invertebrata lain– biasanya dengan anemon air laut dangkal atau bisa juga dengan karang jamur.

Thor amboinensis atau udang seksi dari perairan Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : Wisuda

Thor amboinensis atau udang seksi dari perairan Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : Wisuda

Spesies yang paling sering digunakan sebagai tuan rumah adalah anemon karpet (Stichodactyla haddoni), anemon penyengat (Lebrunia danae) dan anemon perekat (Cryptodendrum adhaesivum). Satu atau beberapa udang hidup di antara tentakel tuan rumah atau inang mereka. Dan mereka makan pada jaringan tentakel.

Di daerah Bahama, T. amboinensis adalah bentuk bagian dari himpunan invertebrata simbiosis terkait dengan anemon penyengat. T. amboinensis ditemukan tersembunyi dalam tentakelnya.

Si udang seksi Thor amboinensis. Foto : Wisuda

Si udang seksi Thor amboinensis. Foto : Wisuda

Udang seksi betina membawa telur yang telah dibuahi di bawah perutnya, sampai mereka siap untuk menetas. Larva zoea melewati beberapa tahap dan, sebelum menjalani metamorfosis, mereka akan menetap di dekat anemon yang dipandang dapat dipakai sebagai  tuan rumah atau inang yang potensial.

Pada anemon penyengat mereka berlindung dari para predator yang akan memangsa mereka , seperti ikan, cumi-umi ataupun sotong. Udang jenis ini termasuk udang favorit di kalangan pehobi ikan hias air laut. Walaupun jumlahnya masih sangat berlimpah, tetapi regulasi untuk pembatasan eksplorasinya tetap harus diadakan. Ini penting untuk menjaga keberlangsungan ekosistem di laut.


Ini Dia Si Udang Seksi Dari Ambon was first posted on October 25, 2015 at 1:00 am.

Harga Rumput Laut Anjlok, Perekonomian di Pulau Kaledupa Terancam

$
0
0

Dahi Haslan berkerut. Tak ada keceriaan di wajahnya ketika memasukkan rumput laut yang telah dikeringkan ke dalam karung plastik. Sebagian rumput laut itu malah terlihat masih basah, namun sepertinya ia tak peduli. Dengan nada suara sedikit putus asa ia menceritakan kegundahannya.

“Harga rumput laut lagi anjlok total,” katanya putus asa ketika Mongabay mengunjunginya di Desa Ollo Selatan, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada awal Oktober 2015.

Sejak beberapa bulan terakhir harga rumput laut memang anjlok total. Khusus rumput laut jenis Spinosum (Sp), dari dulunya seharga Rp 8.000/kg, kini hanya diharga Rp 1.500. Bahkan, sejak Agustus lalu mekanisme penjualan rumput laut juga berubah.

“Dulu pembeli membeli semua seragam. Sekarang mereka pisah yang halus dan kasar,” tambahnya.

Meski harga rumput laut turun, Haslan tetap bertahan untuk budidaya karena telah menjadi sumber penghasilan utama sejak beberapa tahun terakhir. Ia berharap harga rumput laut segera membaik di Pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto : Wahyu Chandra

Meski harga rumput laut turun, Haslan tetap bertahan untuk budidaya karena telah menjadi sumber penghasilan utama sejak beberapa tahun terakhir. Ia berharap harga rumput laut segera membaik di Pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto : Wahyu Chandra

Rumput laut yang lebih lembut sebenarnya dihargai masih lebih mahal, yaitu Rp 4000/kg. Tetapi karena perairan di sekitar Pulau Kaledupa yang agak keruh membuat sebagian besar rumput laut yang dihasilkan kasar.

Juwita, warga Desa Ollo Selatan juga merasakannya. Ketika harga rumput laut masih stabil, ia bisa menghasilkan Rp16 juta sekali panen dari ratusan bentangan tali rumput laut. Kini hanya mengantongi Rp3 juta, belum dipotong biaya pembelian bibit dan ongkos tenaga kerja.

“Sekarang penghasilan sedikit sekali, belum lagi kalau rumput lautnya ditolak,” ujarnya.

Ketika harga rumput laut masih tinggi Juwita mengakui menjual langsung ke Bau-Bau agar bisa mendapat selisih harga yang lebih baik. Dengan anjloknya harga, kini ia terpaksa menjual di pengumpul lokal dengan harga rendah.

“Sekarang jual ke Bau-bau ongkosnya justru rugi, karena harus bayar transportasi, upah buruh angkut, di Kaledupa dan di Bau-bau.”

Harga rumput laut yang tinggi dirasakan hingga Maret 2015 lalu, dan kemudian perlahan menurun. Pada bulan Juli lalu harga masih di kisaran Rp 5.000/kg.

Permainan harga

Mereka tidak tahu penyebab turunnya harga, tetapi mencurigai karena permainan pedagang pengumpul di Kota Bau-bau. “Kita kan tidak pernah tahu harga yang sebenarnya. Katanya ini memang dari harga dari Bau-bau,” tambah Juwita.

Masrika, aktivis Forum Kahedupa Toudani (Forkani), mendukung dugaan tersebut. Analisisnya, persoalan dari pedagang pengumpul di Bau-bau. “Selama ini memang tak pernah ada transparansi tentang harga dan terkesan pedagang pengumpul seenaknya menurunkan harga,” katanya.

Salah satu komponen pembiayaan rumput laut adalah menggaji orang yang mengikat bibit rumput laut di tali sepanjang 20-25 meter, dengan ongkos Rp 2000 – Rp 3000 per bentangan tali. Harga rumput laut sedang turun di Pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto : Wahyu Chandra

Salah satu komponen pembiayaan rumput laut adalah menggaji orang yang mengikat bibit rumput laut di tali sepanjang 20-25 meter, dengan ongkos Rp 2000 – Rp 3000 per bentangan tali. Harga rumput laut sedang turun di Pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto : Wahyu Chandra

Dampak turunnya harga ini, mematikan perekonomian masyarakat 16 desa di Kecamatan Kaledupan dan Kaledupan Selatan, Pulau Kaledupa. Apalagi, 8 desa diantaranya bergantung hidup sepenuhnya dari budidaya rumput laut.

“Sekitar 80 persen penduduk Kaledupa menggantungkan hidup dari rumput laut. Kini roda ekonomi di Kaledupa hampir berhenti berputar sejak tiga bulan terakhir. Dengan turunnya harga rumput laut otomatis daya beli masyarakat menurun dan berdampak pada usaha-usaha lain sekitarnya,” kata Masrika.

Jika harga rumput laut tidak segera membaik, dikhawatirkan warga kembali menangkap ikan dengan cara buruk karena tergiur hasil yang lebih cepat dan banyak.

“Tidak menutup kemungkinan aktivitas pengeboman, pembiusan ikan ataupun eksploitasi mangrove besar-besaran, akan kembali marak seperti dulu karena kini tuntutan ekonomi yang semakin besar dan mereka sebelumnya telah terbiasa dengan penghasilan yang besar dari rumput laut, sementara dengan cara pemancingan biasa hasilnya tak seberapa.”

Ini terlihat dengan adanya kasus penebangan ilegal kawasan mangrove di Kaledupa, yang termasuk dalam kawasan konservasi, pada Agustus 2015 lalu. Untungnya, aparat kepolisian segera bertindak, dengan mengamankan pelaku puluhan nelayan dari Suku Bajo.

“Ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat mulai terdesak oleh tuntutan ekonomi maka cara apapun bisa dilakukan meski itu melanggar hukum karena ini adalah menyangkut masalah keberlanjutan hidup,” ungkap Mariska.

Sedangkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Najib Prasyad, mengatakan turunnya harga juga terjadi di daerah sekitar Kaledupa. Ia juga menduga penyebabnya berasal dari permainan harga para pedagang. “Kita tak bisa tangani itu karena memang ada permainan harga,” katanya.

Untuk mengatasinya, pemerintah telah membangun gudang penyimpanan rumput laut, dengan harapan pemerintah akan tetap membeli rumput laut dari petani dengan sistem pembayaran bertahap, yaitu hanya membayar setengah dari harga normal ketika kondisi harga turun drastis. Pembayaran selajutnya baru diberikan ketika harga normal kembali.

Meski telah berdiri, gudang ternyata belum berfungsi. “Ini kan harus disiapkan segala sesuatunya, dari perlu dibangun dulu sistem kerjanya dan sumberdayanya. Dari pusat sendiri belum ada kelanjutannya,” ungkap Najib.

Dinas terus berkomunikasi dengan kementerian terkait tentang masalah ini. “Saya sekarang di Jakarta. Kami selalu sampaikan hal-hal seperti ini di kementerian.”

Hamper 80 persen warga di Kepulauan Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menggantungkan hidup dari budidaya rumput laut. Kini perekonomian pulau ini terancam dengan anjolknya harga rumput laut dalam beberapa bulan terakhir. Foto : Wahyu Chandra

Hamper 80 persen warga di Kepulauan Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menggantungkan hidup dari budidaya rumput laut. Kini perekonomian pulau ini terancam dengan anjolknya harga rumput laut dalam beberapa bulan terakhir. Foto : Wahyu Chandra

Menurut Boedi Sardjana Julianto, dari Jaringan Sumber Daya (Jasuda), harga rumput laut untuk jenis Spinosum memang sedang turun drastic, berkisar Rp1500 – Rp2500 per kg, tergantung kualitasnya, yaitu kadar air 36-38%, kotoran ˂ 5% dan umur panen 45 hari. “Kalau harga di pengumpul saja kini hanya Rp3000 dan di Makassar Rp4000,” tambahnya.

Menurutnya, krisis harga rumput laut ini antara lain karena melimpahnya produksi rumput laut dari Indonesia, Filipina dan Tanzania.

“Kalau tahun lalu sempat harga tinggi karena kurangnya produksi dari Filipina dan Tanzania. Kini mereka melimpah. Penyebab lain saya kira tak terlepas dari krisis yang terjadi di Tiongkok,” katanya.

Menurutnya, selama ini ekspor rumput laut kering dari Indonesia sekitar 60 persen ditujukan ke Tiongkok. Sementara dalam tiga bulan terakhir permintaan pembelian rumput laut dari negeri tirai bambu ini tidak begitu aktif.

“Tidak hanya petani, pabrik pengolahan rumput laut pun banyak yang terkena imbasnya karena kurangnya permintaan.”

Mengenai transparasi atau informasi harga rumput laut, harus menjadi menjadi perhatian pemerintah.  “Petani memang selama ini tidak memiliki sumber informasi yang jelas akan harga rumput yang berlaku, akibatnya muncul banyak spekulasi-spekulasi permainan harga. Mereka biasa berpikir kalau dolar menguat maka harga rumput laut akan otomatis naik juga. Padahal ada faktor-faktor lain juga yang berpengaruh, seperti kondisi global yang terjadi seperi saat ini,” tambahnya.

Boedi juga tidak yakin realisasi usulan penetapan harga dasar rumput laut, karena selama ini harga mengikuti pasar.

“Ada yang bisa mengatur harga? Penetapan harga rumput laut bisa berlaku kalau industri rumput laut Indonesia kuat dan kita banyak mengkonsumsi rumput laut, seperti halnya pada beras. Apakah pemerintah mau membantu dengan membuat instansi seperti Bulog? Jika harga rumput laut jatuh, membeli semua produksi petani dengan harga dasar?”

Idealnya memang ada penetapan harga dasar rumput laut di tingkat petani, misalnya  Rp4-5 ribu per kg untuk jenis Spinosum dan Rp 8-10 ribu untuk jenis Cottoni. Sementara di tingkat eksportir harga maksimal 1 US Dollar untuk Cottoni dan 0,5 US Dollar untuk Spinosum.

“Ini agar petani tertarik melakukan budidaya rumput laut dan pihak pabrik atau industri bisa berkompetisi dengan produsen utama rumput laut dunia seperti Tiongkok dan Filipina.”

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, menilai turunnya harga terdampak krisis di Tiongkok sebagai pembeli utama rumput laut dari Indonesia, sehingga munculnya permainan di pasar. Kran pembelian ditutup, sehingga praktis harganya turun.

“Tiongkok sengaja memainkan hal ini dikarenakan tingginya ongkos produksi,” katanya.

Halim menilai penetapan harga dasar rumput laut tak akan menyelesaikan persoalan.  “Itu takkan menyelesaikan persoalan, karena problem mendasarnya adalah tidak tersambungnya hulu ke hilir atau dari pra produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran.”

Pemerintah justru bisa menyusun roadmap jangka panjang hilirisasi budidaya rumput laut, menambah nilai tambah, dan tidak hanya berkutat pada persoalan peningkatan produksi.

“Kita bisa masuk ke pengolahannya tidak lagi semata pada peningkatan hasil produksi rumput laut semata.”


Harga Rumput Laut Anjlok, Perekonomian di Pulau Kaledupa Terancam was first posted on October 26, 2015 at 2:31 am.

Siswa Kuala Lumpur Belajar Terumbu Karang Di Teluk Pemuteran. Ada Apa?

$
0
0

 

Ada yang berkulit oriental, sedikit gelap dan juga berkulit putih. Mereka adalah siswa-siswi sebuah sekolah International di Kuala Lumpur, Malaysia yang datang secara setiap tahun ke Teluk Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali.  Kedatangan mereka pada Jumat (23/10/2015) bertepatan pada pembukaan Buleleng Bali Dive Festival untuk mengenal lingkungan bawah laut, sekaligus mengenal secara dekat tehnologi BioRock.

Menurut Karin Van Beek dari Bali Dive Academy, siswa-siswa tersebet datang bukan hanya ingin menyaksikan Buleleng Bali Dive Festival, tetapi kedatangannya sudah terjadwal sebelumnya. ‘’ Mereka sudah memiliki jadwal tetap. Setiap tahun Sekolah Kuala Lumpur Internasional School ini mengirim siswa-siswinya ke sini,” ujarnya.

Para siswi sebuah sekolah International di Kuala Lumpur, Malaysia bersembahyang dahulu sebelum melakukan kegiatan bawah laut di Teluk Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng – Bali.  Kedatangan mereka pada Jumat (23/10/2015). Mereka datang untuk belajar mengenai  lingkungan laut seperti terumbu karang. Foto : Alit Kertaraharja

Para siswi sebuah sekolah International di Kuala Lumpur, Malaysia bersembahyang dahulu sebelum melakukan kegiatan bawah laut di Teluk Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng – Bali. Kedatangan mereka pada Jumat (23/10/2015). Mereka datang untuk belajar mengenai lingkungan laut seperti terumbu karang. Foto : Bali Dive Academy

Mereka tidak hanya berwisata tetapi sambil belajar tentang lingkungan laut, seperti ingin mengetahui tentang terumbu karang dan biota laut di dalamnya.

Para siswa tersebut bakal ikut menurunkan struktur besi untuk terumbu karang di kawasan taman laut Teluk Pemuteran selama enam hari.Tapi sebelumnya sebagaimana tradisi yang ada, sebelum melakukan kegiatan di bawah air mereka melakukan persembahyangan sesuai dengan agamanya masing-masing, untuk memohon keselamatan selama pengerjaan struktur atuapun selama berada di dalam air.

‘’Mereka datang melhat langsung cara membuat struktur, istilahnya hanya membantu bukan bekerja secara keseluruhan. Dan mereka sangat suka, setelah itu mereka akan menaruh di kawasan taman laut,’’tambah Karin.

Sejak dikembangkannya kawasan Teluk Pemuteran sebagai kawasan wisata, pengusaha wisata hotel dan travel, I Gusti Agung Prana berinisiatif membuat Yayasan Karang Lestari yang bergerak di bidang pelestarian terumbu karang.

Melalui yayasan tersebut, Prana berhasil menggandeng dua orang peneliti  berkebangsaan Amerika dan German, yaitu Thomas J. Goreau dan Wolf Hibertz  yang meneliti dan memperkenalkan Teluk Pemuteran. Apalagi dengan adanya kegiatan transplantasi terumbu karang dengan menggunakan tehnologi Biorock.

Transplantasi terumbu karang, salah satu kegiatan konservasi laut di Teluk Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng – Bali.  Berbagai kegiatan konservasi di Teluk Pemuteran tersebut sehingga mendapat penghargaaan Kalpataru dan The Equator Prize. Foto : Bali Dive Academy

Transplantasi terumbu karang, salah satu kegiatan konservasi laut di Teluk Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng – Bali. Berbagai kegiatan konservasi di Teluk Pemuteran tersebut sehingga mendapat penghargaaan Kalpataru dan The Equator Prize. Foto : Bali Dive Academy

Karena kegiatan tersebut, Yayasan Karang Lestari mendapat penghargaan The Equator Prize dari UNDP (United Nation Development Programme). Kawasan Teluk Pemuteran juga pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru pada 2005.

Perairan Teluk Pemuteran dikenal sebagai salah satu kawasan selam dunia. Kawasan sepanjang 6 km ini memiliki 30 tempat selam, diantaranya Canyon Wreck, Midle Reef, Deep Reef, Tangkad Sepi, Tangkad Jaran, The Muze, Kebun Batu dan masih banyak lagi. Ada tempat selam yang unik, yaitu Site Jetty yang merupakan kawasan sampah yang sudah tertimbun puluhan tahun silam di dasar laut.


Siswa Kuala Lumpur Belajar Terumbu Karang Di Teluk Pemuteran. Ada Apa? was first posted on October 26, 2015 at 8:05 am.

Pengelolaan TN Laut Dialihkan Dari KLHK Ke KKP. Kenapa?

$
0
0

 

Sebanyak 7 (tujuh) taman nasional kelautan yang saat ini ada dipastikan akan beralih pengelolaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Peralihan itu, sebagian bagian dari ketertiban tata kelola ruang laut nasional.

Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Sjarief Widjaja di Jakarta, Senin (26/10/2015) mengungkapkan, selain taman nasional, akan ada juga peralihan tanggung jawab satwa langka yang sebelumnya ada di bawah KLHK.

“Juga ada cites-cites hewan atau satwa yang akan diserahterimakan kepada KKP,” ujar Sjarief yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal KKP ini.

Adapun, tujuh taman nasional yang akan dikelola KKP, adalah TN Kepulauan Seribu di Provinsi DKI Jakarta, TN Karimun Jawa di Provinsi Jawa Tengah, TN Bunaken di Provinsi Sulawesi Utara, TN Wakatobi di Provinsi Sulawesi Tenggara, TN Togean di Provinsi Sulawesi Tengah, TN Teluk Cendrawasih di Provinsi Papua Barat, dan TN Takabonerate di Provinsi Sulawesi Selatan.

Salah satu keindahan laut Wakatobi. Foto diberikan oleh The Nature Conservancy Indonesia

Salah satu keindahan laut Wakatobi. Foto diberikan oleh The Nature Conservancy Indonesia

“Dengan beralih ke KKP, pengelolaan dan pemanfaatan taman-taman nasional yang ada saat ini diharapkan bisa lebih baik lagi,” tutur dia.

Selain meningkatkan pengelolaan taman nasional kelautan, Sjarief menjelaskan, pihaknya juga fokus untuk melaksanakan perlindungan biota perairan yang statusnya terancam punah. Biota laut yang terancam punah itu, adalah terubuk, napoleon, hiu paus, pari manta, bambu laut, hiu koboi, dan hiu martil.

“Perlindungan biota perairan laut tersebut dilindungi melalui enam kepmen. Jadi, kita memang fokus untuk melindungi mereka,” jelas dia.

Selain melalui regulasi yang sudah diatur, saat ini KKP juga sudah membuat rencana aksi nasional (RAN) konservasi biota perairan yang dilindungi atau terancam punah. Dalam dokumen yang sudah dibuat, ada terubuk, hiu, sidat, napoleon, penyu, lola, kima, teripang, kuda laut, cetacea, pari manta, dan bambu laut.

Gugus Perlindungan

Untuk wilayah yang menjadi gugus penanganan biota perairan terancam punah atau dilindungi, Direktur Kawasan Konservasi dan Jenis-jenis Ikan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Agus Dermawan menyebutkan, ada 13 provinsi yang masuk ke dalamnya.

Provinsi-provinsi tersebut, adalah Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Lebih rinci, menurut Agus Dermawan, aksi penyelamatan biota perairan dilindungi meliputi penyelamatan dugong di 4 (empat) lokasi, yakni Kabupaten Morowali, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Bintan, dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Kemudian, penyelamatan hiu paus di Probolinggo dan Payton, Jawa Timur, serta penyelamatan 20 ekor penyu di 3 (tiga) lokasi.

“Selain itu, kita juga bersama PSDKP telah melakukan penanganan kasus perdagangan insang pari manta ilegal di lima lokasi rawan pelanggaran. Yakni di Indramayu, Denpasar, NTT, NTB, dan Surabaya,” tandas dia.

Penyidik PNS Perikanan sedang berdiskusi tentang perbedaan antara insang manta dan mobula ray setelah penangkapan Mr Big alias Suep pada 22 Agustus 2014 di Surabaya Indonesia. Dalam penangkapan itu, disita 50kg tulang saring insang, dimana 8kg merupakan insang pari manta dan 13 kg daging penyu. Foto : Paul Hilton/WCS

Penyidik PNS Perikanan sedang berdiskusi tentang perbedaan antara insang manta dan mobula ray setelah penangkapan Mr Big alias Suep pada 22 Agustus 2014 di Surabaya Indonesia. Dalam penangkapan itu, disita 50kg tulang saring insang, dimana 8kg merupakan insang pari manta dan 13 kg daging penyu. Foto : Paul Hilton/WCS

Penyelamatan Penyu

Sementara itu Sjarief Widjaja menjelaskan tentang aksi penyelamatan penyu yang saat ini sudah berstatus langka. Menurutnya, saat ini KKP bekerja sama dengan WWF Indonesia untuk melaksanakan program penyelamatan penyu.

Salah satu yang dilakukan, kata Sjarief, adalah dengan mengajak kerja sama kota California di AS untuk bersama menjaga dan melindungi penyu belimbing. Kerja sama tersebut dilakukan, karena penyu belimbing yang populasinya sudah sangat sedikit, setiap tahunnya bermigrasi ke pesisir California untuk mencari makan.

“Jadi ya, penyu belimbing itu bertelur dan melahirkan di pesisir pantai di Kabupaten Tambrauw, tapi kemudian mereka bermigrasi ke California hanya untuk mencari makan. Ini sangat unik dan harus dilindungi juga,” tutur Sjarief.

Terkait penyelamatan penyu belimbing tersebut, Agus Dermawan menjelaskan, saat ini KKP bersama Pemerintah Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, sudah melaksanakan konservasi kawasan di sekitar pesisir pantai hingga 170.426,4 hektare.

“Luas kawasan yang sudah berhasil dikonservasi tersebut merupakan terluas kedua saat ini. Pertama adalah di Kabupaten Kotawaringin Barat yang mencapai 171.679 hektare. Secara keseluruhan, luas kawasan yang sudah dikonservasi hingga sekarang mencapai 851 ribu hektare,” papar dia.

Tukik Penyu Lekang merayap di pesisir pantai Samas, Bantul untuk mencapai habitatnya di Laut Selatan Jawa. Foto : Tommy Apriando

Tukik Penyu Lekang merayap di pesisir pantai Samas, Bantul untuk mencapai habitatnya di Laut Selatan Jawa. Foto : Tommy Apriando

Selain di Papua, Agus mengatakan, secara keseluruhan KKP juga saat ini sedang melakukan penyelamatan penyu yang jumlahnya di Indonesia ada 6 spesies dari total 7 spesies di dunia. Selain penyu belimbing, dia mengakui, penyu hijau dan penyu sisik saat ini menjadi spesies yang harus mendapat perhatian utama.

 


Pengelolaan TN Laut Dialihkan Dari KLHK Ke KKP. Kenapa? was first posted on October 27, 2015 at 5:12 am.

Kebakaran Hutan Hancurkan Perekonomian Warga di Pulau Misool Raja Ampat

$
0
0

 

Ratusan hektar hutan, yang sebagian besar merupakan kebun warga di Pulau Misool tepatnya di sekitar Kampung Limalas Timur dan Barat, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, terbakar sejak sebulan lalu.

Berbagai upaya pemadaman yang dilakukan warga belum bisa memadamkan api secara keseluruhan. Akibatnya, kabut asap masih menyelimuti pulau ini sampai sekarang ini. Untungnya, kobaran api tidak sampai ke pemukiman warga yang berpenduduk cukup padat.

Ribuan pohon sagu yang merupakan kebun warga di Kampung Limalas terbakar sejak sebulan lalu dan baru bisa dipadamkan sebagian. Karena kurangnya sumber air, warga pasrah dengan kebakaran sampai api mati sendiri. Foto : Wahyu Chandra

Ribuan pohon sagu yang merupakan kebun warga di Kampung Limalas terbakar sejak sebulan lalu dan baru bisa dipadamkan sebagian. Karena kurangnya sumber air, warga pasrah dengan kebakaran sampai api mati sendiri. Foto : Wahyu Chandra

Ketika Mongabay berkunjung ke kampung pesisir ini, Rabu (21/10/2015) di kejauhan memang sudah terlihat asap menutupi hampir sebagian besar pulau, yang terlihat seperti kabut.

Frans Manggombrab, salah seorang warga, menemani saya memasuki kawasan hutan yang sebagian telah habis terbakar. Jaraknya tak sampai 1 km dari pemukiman warga. Terlihat hampir semua tanaman sagu yang mendominasi kawasan tersebut telah hitam habis terbakar.

“Ini berhasil kami padamkan sekitar dua minggu lalu. Sisa pembakaran yang beterbangan bahkan sempat sampai ke pemukiman,” ungkap Frans, sambil terus menuntun masuk ke bagian hutan yang lebih dalam lagi.

Hawa di kawasan tersebut memang masih terasa panas. Hampir tak ada tanda-tanda kehidupan, selain suara gagak di kejauhan.

Menurut Frans, hingga saat ini belum ada kepastian penyebab kebakaran ini.

“Diperkirakan akibat pergesekan kayu yang panas dan memercikkan api. Suhu udara di Misool Timur memang sangat terik dan sedang dalam musim kemarau panjang. Tapi bisa jadi memang sengaja dibakar.”

Untuk mengatasi kebakaran, warga Limalas dan sekitarnya melakukan upaya gotong royong, dengan cara mengangkut air dari sumber air terdekat atau dari pemukiman, diangkut dalam jerigen.

“Tapi tidak semua bisa dipadamkan karena semakin meluas, jadi kita biarkan saja terbakar dan mati sendiri nanti.”

Menurut Frans, kebakaran hutan ini mengancam perekonomian dan penghidupan masyarakat Liamalas dan sekitarnya, yang selama ini mengantungkan hidupnya dari sektor pertanian.

“Mungkin sekitar 80 persen penduduk di sini hidup dari kebun di hutan, kalau semua terbakar tidak tahu bagaimana lagi nanti ke depannya,” ungkapnya.

Tidak hanya menghabiskan kebun sagu, ratusan pohon Merbau miliki petuanan yang diperkirakan bernilai ratusan juta ini hangus terbakar. Beberapa di antaranya bahkan telah berumur ratusan tahun.

“Ini yang membuat hati saya bersedih sekali. Ketika saya tanya ke orang dari dinas kehutanan, katanya pertumbuhan pohon ini dalam setahun paling bisa tumbuh 1 cm. Butuh waktu puluhan tahun atau malah mungkin ratusan tahun agar pohon ini bisa tumbuh besar lagi,” ungkap Martin Fallon, pewaris petuanan Fallon, salah satu marga pemilik hak tanah ulayat di Misool.

Sebagian besar pohon yang terbakar di di Pulau Misool, Raja ampat, Papua Barat telah berumur ratusan tahun. Kondisi tanah yang bebatuan membuat tanaman butuh waktu yang lama tumbuh besar tumbuh. Foto : Wahyu Chandra

Sebagian besar pohon yang terbakar di di Pulau Misool, Raja ampat, Papua Barat telah berumur ratusan tahun. Kondisi tanah yang bebatuan membuat tanaman butuh waktu yang lama tumbuh besar tumbuh. Foto : Wahyu Chandra

Pohon Merbau sendiri dianggap sejenis pohon kelas satu yang umumnya banyak dijual ke luar daerah, bahkan lintas provinsi. Harganya sekitar  Rp 2 juta/kubik.

“Kita punya ratusan pohon semuanya hilang,” keluhnya.

Kebun sagu milik Martin juga tergolong luas, membentang sekitar 1 km selebar 50 meter dari pesisir ke dalam hutan. Ia memperkirakan hampir seluruh pohon sagu miliknya habis terbakar.

Sagu sendiri dihitung per rumpun pohon, dimana satu rumpun terdiri dari 5-10 pohon. Dalam satu pohon sagu terbagi lagi menjadi 10-15 tumang. Ada tumang kecil dan juga besar. Satu tumang kecil dijual dengan harga Rp 70 ribu, sementara tumang besar seharga Rp 150 ribu.

“Di sekitar jalan raya ini saja ada sekitar 270 rumpun, belum yang bagian dalam lagi. Sebagian besar habis terbakar, mungkin tinggal 1 persen saja yang tersisa sekarang,” ungkapnya.

Kebakaran hutan ini bukan pertama kali terjadi di Limalas, namun selama ini hanya dalam skala kecil, tidak sampai mencapai ratusan hektar seperti sekarang.

“Dulu juga sempat terbakar dan sebabnya karena gesekan kayu, cuma bisa cepat dipadamkan. Sekarang memang suhu udara panas sekali sehingga api cepat membakar semua kita punya hutan,” jelas Martin.

Martin menyayangkan belum adanya upaya dan perhatian dari pemerintah dalam memadamkan kobaran api tersebut, meski telah disampaikan ke pihak Pemda Raja Ampat.

“Belum ada perhatian sama sekali, semua warga yang padamkan.”

Cagar alam ikut terbakar

Menurut Yohanes Matubongs, Project Leader Misool-Kofiau The Nature Conservancy (TNC) Raja Ampat, kebakaran ini diperkirakan telah menjalar hingga 16 km ke bagian dalam, termasuk hutan cagar alam yang ada di wilayah tersebut.

Luas cagar alam yang berada di Pulau Misool ini sekitar 28.000 hektar, yang melingkupi seluruh dataran rendah dan perbukitan di Pulau Misool, dengan sekitar 13 kampung yang mengitarinya.

Yohannes menyesalkan terjadinya kebakaran karena kondisi tanah dan bebatuan Misool yang sangat sulit untuk pertumbuhan tanaman, sehingga butuh waktu yang lama hingga seluruh tanaman yang terbakar bisa tumbuh.

“Hutan di Misool ini selain kars juga merupakan hutan jarang, dimana butuh waktu yang lama untuk pertumbuhan sebuah pohon. Entah berapa lama pohon-pohon yang terbakar itu bisa tumbuh kembali,” katanya.

Tak kalah mengkhawatirkannya dampak dari kebakaran ini adalah potensi hilangnya satwa endemik di Misool ini, sebagai keterwakilan dari spesies di tanah Papua besar, dengan segala keunikannya.

Pada Mei 2015 lalu misalnya, di Misool ini telah ditemukan empat spesies burung Cendrawasih khas tanah Papua besar di Misool, seperti cendrawasih kuning-kecil (Paradise minor), cendrawasih raja (Cicinnurus regius), cendrawasih belah-rotan (Cicinnurus magnifucus) dan cendrawasih mati kawat (Seleucidis melanoleuca).

“Dulunya kan orang tahunya cuma ada Paradise minor, tapi ternyata keempat-empatnya ada di Misool ini.”

Burung-burung yang kehilangan habitat di Pulau Misool, Raja ampat, Papua Barat, akhirnya terbang ke wilayah pemukiman warga untuk mencari minuman, yang justru dijerat untuk diperdagangkan. Foto : Wahyu Chandra

Burung-burung yang kehilangan habitat di Pulau Misool, Raja ampat, Papua Barat, akhirnya terbang ke wilayah pemukiman warga untuk mencari minuman, yang justru dijerat untuk diperdagangkan. Foto : Wahyu Chandra

Spesies lain yang banyak ditemukan adalah beragam jenis burung nuri, kakatua dan kura-kura dada putih. Karena kondisi yang panas dan sumber air yang kurang, burung-burung ini kemudian banyak terbang ke pemukiman warga.

Sayangnya, burung-burung ini ditangkap dengan cara dijerat. Sebagian besar hasi tangkapan kemudian dijual ke karyawan perusahaan PT Yellu Mutiara.

Daerah subur

Kampung Limalas, sendiri adalah salah satu kampung di Raja Ampat yang didiami masyarakat dari berbagai suku dan marga. Dominan penduduk berdiam di kampung berasal dari suku besar Matbat, dengan enam marga utama antara lain Fallon, Fadimpo, Fam, Mjam, Moom dan Melui.

Tidak hanya berkebun sagu, masyarakat di daerah ini umumnya merupakan petani penghasil kopra, kakao, beraneka macam sayuran dan pisang.

“Tanah di sini subur. Di musim hujan kita bisa berharap dari tanaman jangka panjang, sementara di musim kering seperti sekarang kita bisa berharap pada tanaman sayuran jangka pendek,” ujar Martin.

Limalas bahkan dikenal sebagai daerah penyuplai utama bagi para karyawan PT Yellu Mutiara, sebuah perusahaan mutiara terbesar di Raja Ampat, yang berada tak jauh dari daerah tersebut.

Sementara untuk kopra sendiri, dalam sebulan daerah ini mampu menghasilkan kopra hingga 15 ton, yang kemudian dijual ke Bitung, Sulawesi Utara, melalui beberapa orang pengumpul yang ada di kampung tersebut.

“Kini sebagian besar kelapa juga habis terbakar, padahal tanaman ini juga sumber penghasilan utama warga di daerah ini,” tambah Martin.

 


Kebakaran Hutan Hancurkan Perekonomian Warga di Pulau Misool Raja Ampat was first posted on October 27, 2015 at 10:11 am.

Ada Kapal Tiongkok Kandas di Perairan Pulau Tambelan Kepri

$
0
0

Kandasnya kapal berbendera Tiongkok berbobot 250,48 gross tonnage (GT) pada 24 Oktober 2015 di perairan Pulau Mundaga, sebelah barat Pulau Tambelan, Kepulauan Riau, diduga kuat adalah kapal yang melanggar batas teritorial Indonesia. Hal itu, karena kapal tersebut tidak memiliki izin operasi di perairan Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam keterangan resmi kepada wartawan di Jakarta, Selasa (27/10/2015), mengatakan, kapal berbendera Tiongkok tersebut adalah kapal CM 64029 A yang ditemukan kandas dan atau terdampar sekitar 12 Nautical Mile (NM) sebelah barat Pulau Tambelan.

“Jadi begini, penemuan kapal tersebut berawal dari laporan nelayan setempat yang mengaku melihat ada kapal kandas di sekitar perairan Pulau Mundaga. Laporan tersebut diterima Pos TNI AL Tambelan,” ucap Susi.

Setelah mendapat laporan dari nelayan, perwira TNI AL beserta masyarakat langsung mengecek ke lokasi di sekitar perairan Pulau Mundaga. Hasilnya, memang ditemukan ada kapal berbendera Negeri Tirai Bambu yang sudah kandas.

Kapal yang mencuri ikan diledakkan di  Perairan Belawan pada Selasa, 18 Agustus 2015. Foto:  Ayat S Karokaro

Kapal yang mencuri ikan diledakkan di Perairan Belawan pada Selasa, 18 Agustus 2015. Foto: Ayat S Karokaro

Susi menyebutkan, saat kapal ditemukan, kondisinya sudah memprihatinkan karena ada bagian kapal yang bocor di haluan. Saat itu, posisi kapal sedang terjebak di antara karang yang ada di perairan tersebut.

“TNI AL langsung membebaskan kapal tersebut dan menariknya ke daratan bersama warga. Sementara, ABK (anak buah kapal) yang jumlahnya dua orang langsung diamankan untuk dimintai keterangan,” jelas dia.

Namun, kata Susi, selain membawa 2 ABK, saat itu ada seorang nakhoda dan 3 ABK yang tetap disuruh tinggal di dalam kapal untuk mengamankan kapal dan sekaligus memompa air laut keluar kapal.

“Dari hasil pemeriksaan kepada ABK, diketahui kalau kapal tersebut merupakan kapal pengangkut ikan. Selain berbendera Tiongkok, nakhoda dan 5 ABK-nya juga diketahui berstatus Warga Negara Tiongkok,” papar dia.

Meskipun sudah melanggar teritorial Indonesia, namun Susi enggan menduga bahwa kapal tersebut berniat untuk menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Kata dia, dugaan tersebut masih harus ditelusuri lagi secara mendalam.

“Yang jelas, kapal tersebut sudah melanggar teritorial. Saat ditemukan, kapal tersebut juga sudah mengalami kerusakan GPS. Kapal tersebut diketahui berangkat dari Hong Kong, Tiongkok,” tandas dia.

Penenggelaman Kapal

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Asep Burhanuddin, mengungkapkan, pihaknya berencana akan menenggelamkan kembali kapal asing yang terbukti melakukan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia.

“Ada 9 kapal yang akan ditenggelamkan. Mereka adalah kapal asing yang terbukti melakukan pelanggaran karena memasuki wilayah teritorial Indonesia tanpa izin atau pemberitahuan,” tutur Asep.

Adapun, menurut Asep, 9 kapal tersebut 6 diantaranya ditangkap di sekitar perairan Batam, Kepulauan Riau dan 3 kapal lagi ditangkap di perairan Laut Sulawesi dan perairan teritorial Karang Unarang.

Seluruh kapal tersebut, akan ditenggelamkan langsung karena sudah sesuai dalam amanat Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009. Karenanya, tidak dilakukan proses hukum ke pengadilan karena sudah sesuai dengan amanah Undang-Undang.

Dengan rencana penenggelaman tersebut, Asep memastikan, maka yang sedang dalam proses hukum tinggal 29 kapal. Total, sudah ada 91 kapal yang ditenggelamkan. Jadi, kata dia, kalau digabung dengan 6 kapal yang akan ditenggelamkan, maka total ada 97 kapal.

“Kita maunya 6 kapal ini ditenggelamkan cepat. Tapi kita ikuti aturan dulu sesuai perundang-undangan. Kalau kata bu Menteri, maunya ditenggelamkan besok (Rabu, 28 Oktober 2015) saja,” tutur dia.

Adapun, enam kapal tersebut adalah KM BV 95228 TS berbobot 35 gross ton; KM BV 95472 TS berbobot 32 gross ton; KM BV 95632 TS berbobot 36 gross ton; KM BV 75169 TS berbobot 32 gross ton; KM BV 95609 TS berbobot 36 gross ton; dan KM BV 95038 TS berbobot 35 gross ton.

Kapal-kapal tersebut ditangkap pada 1 Agustus lalu di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia Laut Cina Selatan. Rencananya, enam kapal tersebut akan ditenggelamkan d perairan sekitar Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (29/10/2015) mendatang.

Sementara, tiga kapal yang juga akan ditenggelamkan, adalah dua kapal asing asal Vietnam dan satu kapal asal Malaysia. Kapal asal Vietnam yaitu KM Boko-Boko berbobot 30 gross ton dan FB. Dave berbobot 35 grosston. Keduanya ditangkap di perairan Laut Sulawesi. Sedangkan satu kapal asal Malaysia yaitu KM Naga Mas/TW.1888/6/F berbobot 22 gross ton ditangkap di perairan Karang Unarang, Kalimantan Timur.


Ada Kapal Tiongkok Kandas di Perairan Pulau Tambelan Kepri was first posted on October 28, 2015 at 2:37 am.

Aksi Tolak Reklamasi dan Dorongan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci

$
0
0

Aksi menolak reklamasi Teluk Benoa telah dilakukan sejak tiga tahun. Bahkan makin banyak perempuan yang terlibat dalam aksi, seperti pada Sabtu sore (24/10/2015).

Peserta aksi yang mayoritas perempuan muda, membawa poster, mengenakan ikat kepala, bernyanyi Bali Tolak Reklamasi yang liriknya bisa jadi sudah dihapal luar kepala. “Bangun Bali, subsidi petani. Kita semua makan nasi, bukannya butuh reklamasi…”

Mereka juga beraksi di depan Kantor Gubernur Bali, karena Gubernur Bali lah yang memberikan izin awal pemanfaatan Teluk Benoa atas rekomendasi DPRD Bali saat itu.Ada dua kelompok remaja perempuan yang bergantian menari tradisional.

Aksi menolak reklamasi Teluk Benoa yang dilakukan oleh mayoritas perempuan yang pada Sabtu sore (24/10/2015). Aksi tersebut dilakukan dengan cara menari tradisional di depan Kantor Gubernur Bali, karena Gubernur Bali. Foto : Luh De Suriyani

Aksi menolak reklamasi Teluk Benoa yang dilakukan oleh mayoritas perempuan yang pada Sabtu sore (24/10/2015). Aksi tersebut dilakukan dengan cara menari tradisional di depan Kantor Gubernur Bali, karena Gubernur Bali. Foto : Luh De Suriyani

Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) sebelumnya menyebar poster online untuk mengajak siapa saja berkontribusi dalam aksi budaya ini secara sukarela.

Selain meneguhkan penolakan reklamasi (investor menggunakan istilah revitalisasi), peserta aksi juga memprotes sejumlah perobekan baliho-baliho yang terus terjadi selama tiga tahun ini.

Pekan ini, sekelompok pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Kedonganan – Kelan, diantaranya ST. Dharma Sentana, ST. Satria Budi Yowana dan ST. Sandhi Wigraha kembali mendirikan Baliho yang bertuliskan “Tolak Reklamasi Berkedok Revitalisasi Teluk Benoa.” Ini Baliho kesekian kali didirikan setelah sebelumnya dirobek, terutama ketika ada presiden atau wakil presiden lewat. Desa ini terletak di kawasan strategis, pasti dilewati dari dan ke bandara Ngurah Rai.

I Ketut Nevo Prayogi, Wakil Ketua ST. Dharma Sentana, Kedonganan mengatakan perobekan baliho tidak akan memadamkan semangat juang pemuda di desa Kedonganan dan Kelan untuk menolak rencana reklamasi seluas 700 ha di Teluk Benoa.

“Kami memasang baliho karena kami semua sudah tahu dampak dari reklamasi itu bisa menenggelamkan kawasan rendah terutama kawasan pesisir seperti Kedonganan, Kelan dan Jimbaran,” ungkapnya.

Seorang perempuan peserta aksi memegang poster Teluk Benoa sebagai wilayah konservasi. Foto : Luh De Suriyani

Seorang perempuan peserta aksi memegang poster Teluk Benoa sebagai wilayah konservasi. Foto : Luh De Suriyani

Rencana reklamasi seluas 700 ha mendapatkan penolakan dari sebagian besar masyarakat pesisir Teluk Benoa. Berdasarkan hasil survei dari peneliti Universitas Udayana pada 2014, 64 persen masyarakat Kabupaten Badung tidak setuju dengan reklamasi Teluk Benoa dan hanya 9 persen yang setuju, sementara 27 persennya tidak menjawab. Dalam survei tersebut, responden usia produktif yang notabene membutuhkan lapangan pekerjaan justru menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.

Angka tersebut didapatkan dari wawancara dengan 430 responden dalam penelitian kuantitatif metode multistage random sampling yang dilakukan Kadek Dwita Apriani, dosen muda perempuan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Udayana. Ia memberi catatan inisiatif survei ini bukan dari kampus, tapi diri sendiri.

Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci

Selain kawasan konservasi yang kemudian diubah Presiden SBY menjadi kawasan pemanfaatan lewat Perpres untuk melancarkan rencana reklamasi, sejumlah pihak terus mendorong para pemimpin agama dan tokoh adat meneguhkan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan suci.

Dirjen Bimas Hindu & Budha Kementrian Agama pada 1994 sudah mewanti-wanti ancaman perusakan lingkungan dengan menetapkan Bhisama Kesucian Pura.

“Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-weda telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci, gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai), pantai, laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu pura dan tempat- tempat suci umumnya didirikan di tempat tersebut, karena ditempat orang-orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu).” Demikian penjelasan soal kawasan suci ketika itu.

Tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran dengan ukuran Apeneleng Apenimpug, dan Apenyengker. Untuk Pura Sad Kahyangan dipakai ukuran Apeneleng Agung (minimal 5 km dari Pura), untuk Dang Kahyangan dipakai ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 km dari Pura), dan untuk Kahyangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran Apenimpug atau Apenyengker.

Peta kawasan suci di Bali yang disusun Sugi Lanus

Peta kawasan suci di Bali yang disusun Sugi Lanus

Disebutkan lagi, mengingat perkembangan pembangunan yang semakin pesat dan umat Hindu yang bersifat sosial keagamaan maka kegiatan pembangunan mengikutsertakan umat di sekitarnya, mulai dari perencanaan pelaksanaan dan pengawasan. Agama Hindu menjadikan umatnya menyatu dengan alam lingkungan, oleh karena itu konsepsi Tri Hita Karana wajib diterapkan dengan sebaik-baiknya. Untuk memelihara keseimbangan antara pembangunan dan tempat suci, maka tempat-tempat suci (pura) perlu dikembangkan untuk menjaga keserasian dengan lingkungannya.

Kemudian diaktualisasikan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009-2029 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang menyebutkan “Kawasan Suci adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu seperti kawasan gunung, perbukitan, danau, mata air, campuhan, laut, dan pantai.”

Para penolak reklamasi mengajukan hal ini untuk dibahas dalam pertemuan para tokoh agama Hindu, Pesamuhan Agung PHDI Pusat di Jakarta yang berakhir 25 Oktober kemarin.

Kajian Prof. Dr. I Ketut Rahyuda tentang Kawasan Suci Teluk Benoa atas nama Love Bali Forum (LBF).  Kelompok para akademisi ini menyampaikan kriteria pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan 5 hal pokok yakni tidak merusak bahkan membunuh keanekaragaman hayati, hendaknya menggunakan sumberdaya terbarukan, memperhatikan filosofi Tri Hita Karana sehingga tidak membunuh aktivitas sosial petani nelayan dan seharusnya peduli terhadap kualitas hidup masyarakat. Terakhir, program pembangunan berkelanjutan membutuhkan penyesuaian dari masyarakat, bukan penyesuaian untuk memenuhi kepentingan investor dan corporate-nya.

Sugi Lanus, peneliti sejarah dan budaya menyampaikan analisisnya tentang kesucian wilayah Teluk Benoa dan sekitarnya ini. “Saya buka naskah 2700 lontar yang bisa diakses dengan baik disimpan di pusat dokumentasi, 12 ribu salinannya ada di Leiden. Apa sebenarnya kosmologi Bali dalam Teluk Benoa ini dengan Pulau Sakenan,” ujarnya.

Ia menyusun secara detail lokasi-lokasi dan titik hubung kawasan suci di kawasan ini dan diserahkan ke PHDI Bali. “Hanya orang yang bebal saja tak memahami hal ini. Hanya satu tempat di Bali, laut bersambungan dengan teluk dan Gunung Agung. Saujana itu pemandangan spirit batiniah yang entah berapa nilainya yang akan dihancurkan jika direklamasi,” urainya.

Melalui siaran pers, disebutkan hasil pertemuan para pemimpin ritual ini di Jakarta. Pesamuhan Sabha Pandita merupakan musyawarah para Pandita Hindu guna merumuskan prinsip-prinsip dasar kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia, berlangsung 23-25 Oktober 2015 di Park Hotel Jakarta yang dibuka oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa.

Hasil-hasil Pesamuhan Sabha Pandita ditindaklanjuti dengan Pesamuhan Agung yang merupakan rapat kerja nasional Parisada Hindu Dharma seluruh Indonesia berlangsung di tempat yang sama untuk mengevaluasi pelaksanaan program kerja Parisada Pusat dan Daerah. Dr. Ketut Arnaya sebagai Ketua SC Panitia, keputusan Pesamuhan Sabha Pandita terkait kawasan suci Teluk Benoa adalah membentuk Tim 9 Pandita yang diketuai oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acaryananda yang akan mengkaji aspek kesucian Teluk Benoa.

“Masukan dan analisis soal kawasan suci akan jadi referensi oleh tim 9,” kata Arnaya, saat dikonfirmasi Mongabay.

Ia tak membantah ada tarik menarik kepentingan di dalam forum pemimpin agama Hindu ini. “Kita tak bisa memuaskan semua pihak,” tambahnya. Tidak ada keputusan kapan hasil kajian harus disampaikan ke publik.


Aksi Tolak Reklamasi dan Dorongan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci was first posted on October 28, 2015 at 8:19 am.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live