Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

INDC Indonesia Belum Jelaskan Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Yang Komprehensif

$
0
0

Pemerintah Indonesia telah mengirimkan submisi Intended Nationality Determined Contribution (INDC) kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).  Dalam INDC tersebut, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dari tahun dasar 2030.

Indonesia berkeinginan untuk mencapai ketahanan iklim sebagai hasil dari program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif dan strategi pengurangan resiko bencana, dengan melakukan pembangunan rendah emisi negeri ini akan fokus pada sektor energi, pangan dan sumber daya air serta memperhatikan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013

Staf pengajar Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Ari Muhammad mengatakan penjelasan mengenai ketahanan iklim, adaptasi dan mitigasi dalam INDC Indonesia masih bersifat umum dan belum memunculkan kebijakan, program dan aktivitas yang menjawab persoalan yang diungkapkan dalam dokumen tersebut.

Padahal gambaran kebijakan dan program adaptasi penting untuk menentukan prioritas pembangunan nasional dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut, seperti pendanaan yang diperlukan dan teknologi yang digunakan.

Prioritas pembangunan menjadi penting untuk membuat matriks program dan aktivitas yang menentukan kebutuhan pendanaan yang apakah cukup dipenuhi dari dalam negeri atau butuh bantuan pendanaan dari luar negeri.

“Juga perlu dibuat kajian kerentanan iklim yang komprehensif, yang kemudian menentukan program dan aktivitas sesuai kebutuhan suatu daerah.  Dalam konteks kajian kerentanan di level nasional dan di daerah, akan ditentukan tujuannya kajian, apakah untuk menyelamatkan ekonomi nasional atau atau ekonomi daerah,” jelas pendiri Green Voice Indonesia itu.

Menurutnya, basis pendekatan adaptasi Indonesia juga harus jelas apakah berdasarkan daratan atau pesisir. “Kalau dikaitkan dengan Nawacita, mestinya ketangguhan iklim dibangun berbasis pesisir. Karena sebagian besar ibukota propinsi berada di pesisir,” kata Penilik Thamrin School of Climate Change and Sustainability itu.

Sedangkan profesor Klimatologi khususnya Manajemen Resiko Iklim, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim IPB Bogor, Rizaldi Boer mengatakan  komitmen penurunan emisi Indonesia dalam INDC, harus disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan negara, serta tidak boleh mengorbankan kelanjutan pembangunan.

Senada dengan Ari, Rizaldi Boer juga menegaskan kebijakan dan program adaptasi serta mitigasi harus dijelaskan kebutuhannya sehingga kontribusinya dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan dukungan baik pendanaan maupun teknologi yang tersedia. Bila dukungan tersebut tidak tersedia, maka harus juga disebutkan bahwa penurunan emisi hanya bisa dilakukan pada level tertentu.

Kepala Pusat Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) itu mengatakan target penurunan emisi 29 persen dari tingkat emisi 2030 itu harus diterjemahkan bagaimana target itu bisa dicapai oleh masing-masing sektor dan harus dijelaskan rujukannya.

Selain itu tahun dasar (baseline) yang dipilih, harus dijelaskan secara transparan, dan bagaimana alasan pemilihan kebijakan program untuk penurunan emisi seperti kebijakan bauran energi dan pengelolaan limbah.

“Kalau tahuan dasar sudah ditetapkan, maka bisa dibuat modeling, teknologi, program dan implikasi untuk target penurunan emisi seperti apa,” kata Rizaldi.

Tetapi dia melihat kajian komprehensif terhadap penjelasan terperinci taregt 29 persen emisi karbon itu belum dilakukan. “Kita belum melakukan kajian sejauh itu. Kita belum tahu apa implikasinya. Apakah 29 persen itu bisa dicapai atau tidak? Apakah membebani ekonomi kita? Kajian belum sedalam itu. Sehingga memang angka 29 persen cukup bisa mengandung resiko buat kita,” katanya.

Rizaldi melihat kajian tersebut perlu dilakukan untuk menyusun strategi dan aksi dalam mencapai target penurunan tersebut.

“Dari sisi adaptasi, sejauh mana dampak dari perubahan iklim terhadap pembangunan kita. Apa yang sudah kita lakukan di dalam merespon dalam perubahan iklim dan perencanaan seperti apa. Dukungan apa yang kita perlukan untuk tangguh pembangunan. Berapa pendanaan untuk mencapai kondisi tangguh itu,” katanya.

Dia melihat masalah pendanaan perubahan iklim sangat penting bagi negara maju yang akan membantu negara berkembang dalam mengembangkan ketangguhan iklim yang membutuhkan biaya yang besar.

Dilihat dari trend global, emisi dari negara maju mulai menurun, tetapi emisi dari negara berkembang malah merangkak naik karena keberhasilan pembangunan/ “Kalau pola pembangunan business as usual, maka negara Asia berkontribusi 50 persen emisi global. Bagaimana itu bisa diubah? Harus ada leap frog (lompatan). Jadi teknologi rendah emisi harus diterapkan meski mahal. Tetapi negara maju harus mendukung dengan subsidi teknologi dan dukungan finansial sehingga orang mau beralih ke teknologi tersebut,” katanya.

Selain penjelasn mengeni komitmen dan strategi untuk mencapai target penurunan emisi 29 persen, dia melihat perlu juga diungkapkan tentang kebutuhan pendanaan dalam mencapai hal tersebut.

“Dalam INDC seharusnya disebutkan apa komitmen kita, bagaimana strateginya dan usaha apa yang telah dilakukan seperti RAN GRK. Support need perlu dituangkan dalam INDC dan bagaimana harapan kita terhadap komitmen internasional,” katanya.

Sehingga kontribusi nasional pengurangan emisi karbon yang telah ditetapkan dan diniatkan dengan sungguh-sungguh bisa dilaksanakan, karena apa yang telah dituangkan pasti akan diteliti secara global.

“Sehingga bagaimana komitmen itu tidak boleh mengorbankan kelanjutan pembangunan dan harus disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan kita,” tambahnya.


INDC Indonesia Belum Jelaskan Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Yang Komprehensif was first posted on September 30, 2015 at 2:47 am.

Nelayan Butuh Segera RUU Perlindungan dan Pembedayaan Nelayan

$
0
0

Pekerjaan rumah yang hingga saat ini masih belum terselesaikan adalah bagaimana menumbuhkan minat masyarakat untuk kembali menekuni profesi nelayan. Hal itu, karena profesi nelayan bisa menjadi tulang punggung kemajuan dari sektor kelautan dan kemaritiman.

Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (30/9/2015). Menurut dia, masalah utama yang saat ini ada, adalah profesi nelayan tidak mendapatkan perlindungan utuh,

“Karenanya, dari tahun ke tahun jumlah nelayan terus menyusut. Ini sangat berbahaya. Masa iya, nanti profesi nelayan diisi oleh orang-orang dari luar Indonesia. Nggak lucu ini,” tutur Susi.

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Susi menyebutkan, dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah nelayan pada 2003 mencapai 1,6 juta jiwa. Namun, sepuluh tahun kemudian atau pada 2013, jumlahnya menyusut hingga menyisakan 800 ribu nelayan saja.

“Itu sangat mengkhawatirkan sekali. Karenanya, dari KKP berinisiatif untuk menumbuhkan kembali minat masyarakat untuk menjadi nelayan. Selain itu, program yang akan diluncurkan pada 2016 juga sebagian besar untuk nelayan tradisional,” jelas dia.

Namun dari semua itu, menurut perempuan asal Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat itu, yang harus dilakukan oleh Pemerintah saat ini, adalah bagaimana memberikan perlindungan penuh kepada nelayan.

“Perlindungan tersebut bisa berupa asuransi, regulasi, dan juga profesi. Itu harus bisa diwujudkan segara,” cetus dia.

Bentuk perlindungan dari sisi regulasi, dijelaskan Susi, adalah Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sifatnya untuk memberikan perlindungan nelayan dalam menjalankan profesinya. Contohnya, perlindungan dengan memberantas aksi illegal fishing.

Kata Susi, dampak dari illegal fishing memang terasa hingga lapisan terbawah di masyarakat. Hal itu, karena sumber daya ikan di laut juga terus mengalami penyusutan. Dia mencontohkan, saat ini sudah tidak ditemui lagi penjual udang udang atau kepiting dalam ember di Cirebon, Jawa Barat.

“Padahal, dulu itu Cirebon dikenal luas sebagai kota penghasil udang yang sangat banyak. Tapi sekarang, itu sudah susah. Itu mengindikasikan bahwa produksi udang atau kepiting disana sudah semakin tipis,” tutur dia.

“Punahnya profesi seperti itu juga menjelaskan bahwa kita harus segera melakukan introspeksi segera. Ini agar masalahnya bisa selesai,” tandas dia.

Segera Wujudkan RUU Perlindungan Nelayan

Sementara itu menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim, permasalahan yang terjadi saat ini dalam profesi nelayan, bisa segera diatasi secara bertahap. Tetapi, syaratnya Pemerintah punya kemauan untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengeliminasi tumpang-tindihnya kebijakan di bidang kelautan dan perikanan,” ucap Abdul Halim.

Selain untuk mengatasi masalah tersebut, dia meyakini, kehadiran RUU juga bisa melindungi sektor lainnya yang mengancam hajat hidup masyarakat pesisir lintas profesi, seperti perlindungan terhadap wilayah tangkap nelayan dan lahan budidaya/tambak garam, dan lain-lain.

Dia menambahkan, sisa waktu tiga bulan di tahun 2015 ini harus sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Karena, kewajiban Negara adalah melindungi dan memberdayakan nelayan.

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Terkait dengan terus menyusutnya profesi nelayan di Cirebon, Ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon, Ribut Bachtiar, mengatakan bahwa kondisinya saat ini memang sudah sangat memprihatinkan. Namun, dia yakin jika RUU selesai dibuat, masalah tersebut perlahan akan hilang.

“RUU ini harus memberikan kepastian kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, khususnya terkait dengan harga produk yang dihasilkan, seperti ikan, udang, dan garam. Dengan kepastian harga, maka nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam akan termotivasi untuk memproduksi pangan khas pesisir tersebut,” sebut dia.

Nelayan Disudutkan

Kemunduran yang dialami nelayan juga diungkapkan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik. Menurut dia, masalah yang saat ini ada, Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terkesan tidak memperhatikan hak-hak yang dimilliki nelayan.

“Padahal, nelayan itu bagian dari sektor kelautan dan perikanan. Sektor tersebut saat ini sedang digenjot oleh Jokowi untuk dijadikan komoditas utama, sesuai dengan visi dia menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat,” ungkap dia.

Kondisi ironis tersebut, sangat disayangkan. Karena menurut Riza, nelayan dalam kondisi apapun seharusnya mendapatkan hak-hak yang diperlukannya. Tidak hanya hak perlindungan keselamatan kerja saja, tapi juga hak yang lain seperti kesejahteraan dan regulasi.

“Contohnya saja, ada nelayan yang harus kehilangan tempat tinggalnya karena ada proyek reklamasi pantai. Siapa yang harus disalahkan jika sudah demikian? Tetap saja nelayan yang susah kan? Nelayan pada akhirnya dikebiri hak-haknya,” papar dia.

Jadi, menurut Riza, jika memang Pemerintah peduli dengan nasib nelayan, maka mulai dari sekarang segera perhatikan keberadaan mereka dan lindungilah mereka melalui regulasi yang jelas. Jangan sampai, Indonesia berambisi menjadi negara maritim kuat, tapi nelayannya justru sangat lemah.

 


Nelayan Butuh Segera RUU Perlindungan dan Pembedayaan Nelayan was first posted on October 1, 2015 at 4:02 am.

Alun Alun Surya Kencana Gunung Gede Pangrango Terbakar. Kenapa?

$
0
0

Kemarau berkepanjangan kembali menghanguskan kawasan hutan di wilayah Jawa Barat. Kini Kebakaran hutan terjadi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Kota Bogor, Minggu pagi (27/09/2015). Kebakaran diduga berasal dari sisa api unggun masyarakat yang tengah berziarah di Alun Alun Surya Kencana. Saat ini telah diamankan 10 orang peziarah di kantor resort PTN Gunung Putri.

Kebakaran tersebut hanya menghanguskan rerumputan, kulit kering pepohonan, dan bagian bawah dari tumbuhan Edelweis.

“Jadi kebakaranya bukan tipe api. Kebakaran  itu hanya bara api kecil yang di rumput. Apabila terkena angin itu  menyebar bukan api besar. Pokoknya yang kering – kering dihabisi sama bara api itu. Jadi pemberitaan yang di beritakan media  bahwa terjadinya kebakaran hebat dan membakar seluas 30 hektare itu tidak benar. Ini hanya 5 hektar dengan panjang 500 meter dan lebar 100 meter” ujar Kepala Balai TNGGP melalui Kasi wilayah Cibodas, Ardi yang dihubungi Mongabay pada Rabu, (30/09/2015).

Petugas dibantu relawan memadamkan kebakaran di areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Api diduga berasal dari api unggu dari peziarah. Foto : TNGGP

Petugas dibantu relawan memadamkan kebakaran di areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Api diduga berasal dari api unggu dari peziarah. Foto : TNGGP

Ia menjelaskan sejak tahun 1999 belum pernah terjadi kebakaran karena setiap musim kering tiba  sekitar bulan Agustus selalu dilakukan penutupan untuk pendakian. “Apabila musim kering berkepanjangan kami juga akan ditambah penutupannya. Karena dari tahun ke tahun serasah (daun kering) semakin banyak kadang bisa juga menyebabkan kebakaran, diatas tidak ada api tetapi kalau dibawah kami tidak tahu apakah ada api atau tidak,” katanya.

Ardi menambahkan  pada Senin (28/09/2015) sampai Rabu (30/09/2015) terdapat 20 orang yang melakukan penjagaan termasuk dari petugas, relawan dan masyarakat. Bahkan ada pemain sepak bola kampung setempat yang ikut membantu.

“Tersiar  kabar bahwa banyak pendakian ilegal yang masuk TNGGP via calo. Tetapi itu sudah kami berantas bersama kepolisian. Jadi sudah tidak ada lagi pendaki ilegal yang masuk via calo,” ujarnya.

Para peziarah yang diduga karena api unggun yang mereka buat, membakar areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Mereka kemudian diamankan petugas TNGGP. Foto : TNGGP

Para peziarah yang diduga karena api unggun yang mereka buat, membakar areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Mereka kemudian diamankan petugas TNGGP. Foto : TNGGP

Ia mengatakan  biasanya mereka memanfaatkan kelengahan petugas dan kadang kucing – kucingan bersama petugas. Kadang calo nya mengantar pendaki liar tersebut ke jalur – jalur liar. Setidaknya ada 23 jalur liar yang sudah diketahui berdasarkan data.  Ia memaparkan bahwa sudah mengamankan 100 orang yang terindikasi sebagai pendaki liar kemudian melakukan operasi tangkap tangan dan para calo yang tertangkap  sudah diserahkan ke kepolisian.

Masalah Baru

Ardi mengungkapakan banyaknya santri yang datang untuk berziarah dari berbagai pesantren baik disekitaran TNGGP maupun diluar kawasan tersebut  ke Alun – Alun Surya Kencana dengan tujuan mendekatkan diri. Ia menjelaskan bahwa ada diantara mereka yang berziarah ke tempat – tempat seperti Gua Gunung Gumuruh dan di batu Dongdang.

“Masalahnya mereka datang ke gunung itu sesuai wangsit dari gurunya. Apabila guru menyuruhnya sekarang berangkat ya berangkat. Kalau tidak ya tidak. Maka dari itu perlu adanya sosialisasi ke pesantren – pesantren bahwa gunung sedang ditutup,” katanya

Ia melanjutkan bahwa biasanya mereka berkemah disana selama 1 hingga 7 hari tergantung keperluanya. Namun, ia menyesalkan bahwa minimnya peralatan yang mereka bawa tidak sesuai dengan prosedur yang dianjurkan. Mereka hanya membawa tenda kain, sarung dan bekal alakadarnya, kemudian mereka membawa gas 3 kg untuk keperluan memasaknya dan membawa kastrol lalu membuat api unggun padahal itu dilarang.

Ardi menuturkan tahun 2012 silam pernah ada santri yang meninggal akibat hipotermia karena minimnya perlengkapan yang mereka bawa. Tradisi berziarah ini sudah berlangsung cukup lama dan telah banyak juga korban meninggal. “Cuma tidak terekspose saja karena setiap ada yang meninggal mereka cepat membawa turun,” katanya.

Para peziarah yang diduga karena api unggun yang mereka buat, membakar areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Mereka kemudian diamankan petugas TNGGP. Foto : TNGGP

Para peziarah yang diduga karena api unggun yang mereka buat, membakar areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Mereka kemudian diamankan petugas TNGGP. Foto : TNGGP

Untuk mencegah pendaki liar, petugas selalu melakukan patroli di gunung untuk memantau kondisi.

“Pada saat terjadi kebakaran hari Minggu (27/09/2015) pukul 10.00 WIB, itu pertama yang mengetahui adalah pihak kami yang sedang melakukan patroli  selanjutnya petugas TNGGP beserta masyarakat sekitar Gunung Putri dan Gunung Batu Cianjur berhasil memadamkannya pada pukul 18.00 WIB.  Guna memastkan bahwa kebakaran telah berhenti total,  petugas dan masyarakat menginap di Alun-alun Suryakencana, dan dilanjutkan pengecekan pada hari Senin (28/9) yang dibantu oleh masyarakat dan volunteer,” kata Ardi .

Dia menambahkan pada Sabtu (26/09/2015) belum terjadi kebakaran karena ada pengecekan dari tim patroli. Namun, keesokan harinya terjadi kebakaran dan saat bersamaan ada 3 kelompok peziarah yang sedang berada di lokasi. Peziaran tersebut langsung diamankan.

Perbaikan Kawasan Terbakar

Ia mengatakan beberapa bulan ke depan sampai musim penghujan tiba  akan melakukan tahapan perbaikan kawasan tersebut dengan identifikasi dan pembatasan/penutupan wilayah.

Ardi menegaskan untuk tahap trakhir pihak TNGGP akan melakukan pemulihan tanaman apa saja yang bisa ditanam dikawasan yang terkena kebakaran agar bisa normal kembali.

Ardi memaparkan luasan TNGGP berkisar 24.000 hektar yang didalamnya banyak dihuni spesies yang dilindungi seperti 27 ekor macan tutul, 400 ekor owa jawa dan 60 ekor elang jawa. Sampai berita ini di turunkan belum ada hewan dilindungi yang mati akibat kebakaran  tersebut.

 


Alun Alun Surya Kencana Gunung Gede Pangrango Terbakar. Kenapa? was first posted on October 1, 2015 at 8:59 am.

Proyek 3.500 Kapal Nelayan Akan Bangkitkan Industri Galangan Kapal

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan program hibah kapal sebanyak 3.500 unit bisa dibagikan kepada nelayan mulai pertengahan 2016 mendatang. Untuk itu, pada Januari 2016 diharapkan proses tender untuk memilih perusahaan galangan kapal bisa selesai dilakukan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (30/9/2015) mengatakan, program pemberian kapal untuk nelayan di seluruh Indonesia, dilakukan sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan nelayan. Menurutnya, dengan diperbarui kapal nelayan, produksi tangkapan ikan di laut bisa meningkat lebih baik.

“Kita ingin meningkatkan taraf hidup nelayan lebih baik lagi. Untuk itu, mereka harus didukung dari peralatannya, yaitu kapal,” ucap Susi.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal-kapal yang akan dibagikan tersebut, kata dia, akan diproduksi di dalam negeri dengan melibatkan industri galangan kapal yang sudah ada. Adapun, perusahaan yang dilibatkan untuk ikut dalam tender jumlahnya ada 250.

“Perusahaan-perusahaan ini adalah perusahaan yang memiliki pengalaman dan kapabilitas dalam industri galangan kapal. Saya ingin membangkitkan dan memperkuat industri ini,” cetus dia.

Untuk mewujudkan 3.500 kapal yang akan dibagikan kepada nelayan, Susi menyebutkan, ada anggaran sebesar Rp4,7 triliun yang sudah dialokasikan. Dana tersebut, diharapkan bisa memenuhi kebutuhan anggaran untuk pembuatan kapal yang dibutuhkan.

Sebagai pelaksana di lapangan, KKP menggandeng PT PAL Indonesia (Persero) sebagai pimpinan pelaksana atau project management officer (PMO). Diharapkan, kehadiran PT PAL bisa mengawal pelaksanaan pembuatan dan penyaluran 3.500 kapal ke nelayan di seluruh Indonesia.

“Dengan dimulainya pembuatan kapal ini, maka kita berharap industri galangan kapal dan lain-lain bisa terus berkembang. Karena, program ini akan dilaksanakan setiap tahun,” tandas dia.

Pembuatan Secara Bertahap

Sementara itu Direktur Utama PT PAL M Firmansyah Arifin, dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, sebagai pimpinan pelaksana, pihaknya mendapat amanat pembuatan kapal dalam waktu setahun.

“Perhitungannya, dimulai sejak Januari dan berakhir pada Desember 2016 mendatang. Itu sudah sesuai dengan keinginan dari KKP,” jelas Firmansyah.

Waktu pelaksanaan tersebut, menurut Firmansyah, termasuk singkat jika melihat jumlah kapal yang harus dibuat. Tetapi, dengan bantuan perusahaan galangan kapal, dia optimis target waktu yang ditetapkan bisa tercapai.

“Kalau sekarang yang ikut tender saja ada 250 (perusahaan), katakanlah yang lolos verifikasi itu hanya 200, maka nanti akan dibagi saja pembuatannya. Artinya, 3500 kapal dibagi merata untuk 200 perusahaan tersebut,” jelas dia.

Karena kapal yang akan dibuat itu bervariasi ukurannya, Firmansyah mengatakan, pihaknya akan memprioritaskan dulu pembuatan kecil dengan ukuran 5 gross tonnage (GT) dan kemudian bertahap ke ukuran berikutnya hingga yang terbesar 30 GT.

“Cara tersebut memang dirasa paling masuk akal jika melihat waktu yang cukup pendek tersedia. Jika kita prioritaskan pembuatan untuk 5 GT dulu, kita optimis pada pertengahan 2016 nanti sudah bisa dibagikan kepada nelayan,” tutur dia.

Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Akan tetapi, Firmansyah mengungkapkan, sebelum rencana itu terwujud, pihaknya akan fokus dulu pada tahap-tahap yang akan dilalui, yaitu tahap desain, procurement, assesment, dan penetapan harga serta jumlah kapal.

“Untuk tahap desain saja itu kan ada tim khusus. Nah, tim tersebut akan mencari desain yang pas dan cocok disesuaikan dengan karaketeristik masing-masing daerah. Karena, kan nelayan itu memiliki kapal yang berbeda-beda. Kapal sama saja, belum tentu alat tangkapnya sama,” papar dia.

Material Fiber

Untuk bahan yang akan digunakan dalam pembuatan 3.500 kapal, Firmansyah menuturkan, disepakati akan menggunakan material fiber (fibre). Bahan tersebut dipilih, karena selain harganya lebih murah, juga memiliki kualitas lebih baik dari kayu.

“Fiber ini memang sekarang jadi pilihan utama. Kekuatannya juga bagus. Tapi saya belum bisa mengetahui berapa tahun kekuatannya. Tapi, sekuat-kuatnya material, tetap ada batasnya juga,” jelas dia.

Selain menggunakan fiber, Firmansyah menyebutkan, pembuatan kapal juga akan menggunakan komponen-komponen yang didatangkan dari luar negeri seperti Jepang dan Korea Selatan. Komponen-komponen yang terpaksa diimpor itu, di antaranya mesin kapal dan jaring.

“Indonesia belum punya produksi sendiri untuk mesin dan jaring. Kita harus mengimpornya. Tapi, dengan adanya pembebasan PPN 10% untuk impor industri galangan kapal, kita optimis semuanya tidak ada masalah. Apalagi, komponen yang dibeli juga banyak. Ada harga khusus pastinya,” lanjut dia.

Akan tetapi, walau harus mengimpor, Firmansyah tetap merasa optimis di tahun mendatang, komponen kapal bisa diproduksi di dalam negeri. Optimisme itu muncul, karena pembuatan kapal akan dilaksanakan minimal selama 4 tahun mendatang.

“Dari 3.500 kapal ini, muncul dorongan kepada pengusaha untuk memproduksi komponen kapal. Pengusaha juga pasti akan mau melakukannya, karena ini akan berlangsung lama. Istilahnya, pengusaha itu akan berpikir ulang jika produksi hanya dilakukan sekali saja,” tandas dia.

 


Proyek 3.500 Kapal Nelayan Akan Bangkitkan Industri Galangan Kapal was first posted on October 2, 2015 at 2:10 am.

Regulasi Penindakan Pelaku IUU Fishing di Lautan Masih Tumpang Tindih

$
0
0

Tertangkapnya kapal asal Thailand Silver Sea 2 di perairan Sabang, Aceh, beberapa waktu lalu, menjadi penegas bahwa aktivitas penangkapan ikan dengan cara tidak sah (illegal, unreported, unregulated / IUU Fishing) masih berjalan di Indonesia. Kondisi itu sangat memprihatinkan dan harus diihilangkan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berpendapat, kasus Silver Sea 2 harus menjadi perhatian semua pihak yang ada di Indonesia. Karena, kapal tersebut sudah jelas terbukti melakukan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia.

“Jangan sampai, kejadian kaburnya kapal asal Tiongkok, Hai Fa, kembali terulang. Sekarang semua elemen harus sama-sama bergerak. Kita harus kawal proses hukum kapal Silver Sea 2 ini,” ucap Susi di Jakarta, Jumat (02/10/2015).

Kapal Silver Sea 2 asal Thailand ini ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8/2015) dini hari. Foto : Junaidi Hanafiah

Kapal Silver Sea 2 asal Thailand ini ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8/2015) dini hari. Foto : Junaidi Hanafiah

Menurut Susi, agar kasus Hai Fa tidak terjadi pada Silver Sea 2, harus ada pembenahan dari segi regulasi hukum. Dalam artian, harus ada kesepakatan antara penegak hukum saat menindak pelaku IUU Fishing di perairan Indonesia.

“Sekarang ini, penanganan pelaku IUU Fishing itu harus melalui jalur hukum seperti pengadilan. Padahal, dengan kondisi sekarang, ada kesempatan untuk melawan bagi si pelanggar,” tutur dia.

Dengan kondisi yang terjadi sekarang, Susi berpendapat, penindakan paling tepat terhadap para pelaku IUU Fishing adalah dengan membakar langsung kapalnya. Cara tersebut bisa dilakukan sebelum ada keputusan untuk menenggelamkan kapal pelanggar.

“Lebih baik memang seperti itu. Begitu tahu ada kapal asing yang masuk (wilayah) perairan Indonesia dan terbukti mencuri ikan, maka langsung saja bakar kapalnya. Kalau masuk ke ke pengadilan dulu, nanti kapalnya akan melawan,” tegas dia.

Namun, untuk bisa melangkah kesana, Susi meminta ada kesepakatan antara penegak hukum seperti KKP, Kepolisian Air dan Udara (Polairud) serta TNI Angkatan Laut. ”Iya harus ada kesepakatan dulu ya dengan mereka,” tandas dia.

Merujuk pada regulasi hukum seperti Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, KKP sebenarnya memiliki kewenangan untuk membakar atau menenggelamkan kapal yang melakukan IUU Fishing. Tetapi, kewenangan tersebut masih tumpang tindih karena penegak hukum lain di wilayah perairan juga memiliki regulasi sendiri.

Kondisi tersebut, menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Asep Burhanudin, menjadi polemik yang sulit dipecahkan. Padahal, jika merujuk pada UU Perikanan saja, KKP ada kewenangan jelas selama memiliki minimal dua alat bukti.

Direktur Pol Air Sukajadi, dalam kesempatan yang sama menjelaskan, kesepakatan menindak pelaku IUU Fishing memang harus dibuat untuk menyesuaikan kondisi terkini. Namun, untuk bisa mencapai kesepakatan tersebut, prosesnya pasti tidak mudah dan butuh perjuangan panjang.

“Melaksanakan proses hukum seperti itu dengan menindak di atas air adalah tindakan yang sangat berisiko dan harus dilakukan dengan hati-hati. Karena, tindakan itu harus dilakukan dengan disertai alat bukti yang jelas,” ungkap dia.

Silver Sea 2 Melawan

Seperti sudah diduga sebelumya, kapal asal Thailand, Silver Sea 2 mengajukan gugatan pra peradilan kepada TNI Angkatan Laut yang menangkap kapal tersebut di perairan Sabang. Gugatan tersebut dilakukan oleh pemilik kapal, Supachai Singkalvanch dan dijadwalkan akan diputuskan pada Senin 0(5/10/2015) mendatang bertepatan dengan peringatan HUT TNI yang ke-70.

Kapal Silver Sea 2 ini tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI) dan bukan kapal penangkap ikan. Kapal ini juga mengibarkan bendera Indonesia untuk mengelabui petugas. Foto: Junaidi Hanafiah

Kapal Silver Sea 2 ini tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI) dan bukan kapal penangkap ikan. Kapal ini juga mengibarkan bendera Indonesia untuk mengelabui petugas. Foto: Junaidi Hanafiah

Dirjen PSDKP Asep Burhanudin menjelaskan, pihaknya siap dan tidak merasa takut dengan dengan gugatan yang dilayangkan Silver Sea 2. Tetapi, dengan gugatan tersebut, KKP beserta TNI AL justru semakin termotivasi untuk mengumpulkan bukti lebih atas pelanggaran yang dilakukan SS2.

“Kita menduga, SS2 ini ada afiliasi dengan perusahaan yang  sudah dibekukan karena terlibat kasus IUU Fishing di Maluku, PT Pusaka Benjina Resources (PBR),” tutur Asep.

Pernyataan Asep tersebut kemudian dibenarkan Wakil Ketua Satuan Tugas IUU Fishing Yunus Husen. Menurut dia, dugaan keterlibatan kapal SS2 dengan PBR masih terus diselidiki. Bisa saja, keterlibatannya hanya sebatas memasok ikan atau bisa juga lebih.

“Kita masih terus melakukan penyelidikan melalui penggunaan scientific evidences sebagai bukti tindak pidana perikanan, yaitu analisis morfologi dan DNA ikan hasil tangkap,” ungkap Yunus. Dengan menggunakan metode tersebut, dia berharap bisa didapat kejelasan ikan hasil tangkapan Silver Sea 2 diambil di perairan Indonesia atau tidak.

Seperti diketahui, kapal SS-2 ditangkap oleh KRI Teuku Umar sekitar 80 mil dari perairan Sabang, Aceh pada Kamis (13/8/2015) lalu. Kapal tersebut diketahui memiliki bobot 2.285 ton dan terdaftar atas nama Silver Sea Reefer Co.Ltd yang berbasis di Bangkok, Thailand.

Ukuran kapal tersebut panjangnya mencapai 81,73 meter dengan kapasitas 2.200 ton untuk mengangkut ikan. Saat TNI AL menangkap SS2, diketahui ada barang bukti ikan curian sebanyak 1.930 ton.


Regulasi Penindakan Pelaku IUU Fishing di Lautan Masih Tumpang Tindih was first posted on October 3, 2015 at 4:09 am.

Inilah Sistem Informasi Yang Dukung Ranperda Masyarakat Adat Enrekang

$
0
0

Proses pengesahan rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kabupaten Enrekang terus mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Tidak hanya pihak Pemda, DPRD dan masyarakat adat, yang terus menggenjot mempercepat pengesahannya, dukungan juga datang dari Badan Regsitrasi Wilayah Adat (BRWA), yang memperkenalkan Sistem Informasi Wilayah Adat (SIWA).

Menurut Kasmita Widodo, Kepala BRWA, keberadaan SIWA ini haruslah dilihat sebagai bentuk dukungan upaya penyusunan peraturan daerah tentang masyarakat adat di Enrekang.

“Perda merupakan landasan bagi kedaulatan masyarakat adat. Melalui Perda pengakuan dan perlindungan hak masyarakat maka pemerintah dapat mempercepat pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35 Tahun 2012 untuk mengembalikan status hutan adat kepada masyarakat adat dan bukan menjadi hutan negara,” kata Kasmita dalam dialog publik di Gedung Muhammadiyah, Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (21/9/2015).

Dialog yang digagas BRWA bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel tersebut dihadiri oleh 18 komunitas masyarakat adat di Enrekang, pemerintah daerah, SKPD dan LSM setempat.

Salah satu informasi penting terkait masyarakat adat adalah keberadaan sistem pemerintahan adat, termasuk rumah adat sebagai simbol keberadaan pemerintahan adat. Foto : Wahyu Chandra

Salah satu informasi penting terkait masyarakat adat adalah keberadaan sistem pemerintahan adat, termasuk rumah adat sebagai simbol keberadaan pemerintahan adat. Foto : Wahyu Chandra

Ia menjelaskan bahwa dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak mensyaratkan adanya Perda atau Surat Keputusan Kepala Daerah sebagai instrumen pengakuan keberadaan masyarakat adat dalam wilayahnya sebelum akhirnya mendapatkan pengakuan atas hutan adat.

Permen ini sendiri merupakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 (MK35) yang mengakui keberadaan hutan adat di dalam wilayah masyarakat adat.

Aturan lain adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mensyaratkan lima hal untuk identifikasi keberadaan masyarakat adat, yaitu sejarah masyarakat adat; wilayah adat; hukum adat; harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

“Untuk diketahui bersama bahwa kejelasan wilayah adat dan informasi sosial mengenai keberadaan dan pelaksanaan aturan adat pada masyarakat merupakan salah satu syarat bagi pembuatan peraturan daerah untuk pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat,” tambahnya.

Menurut Kasmita, sejak tahun 2010, BRWA telah melakukan pengumpulan informasi terkait wilayah adat melalui sistem registrasi wilayah adat (SRWA) berbasis daring (onlinewww.brwa.or.id) dan luring (offline).

“BRWA yang terdiri dari lima lembaga ini dimandatkan untuk membangun SIWA yang bisa diakses oleh publik secara online berdasarkan registrasi yang dilakukan oleh komunitas adat maupun oleh organisasi pendukung gerakan masyarakat adat,” tambahnya.

Kelima organisasi yang membentuk dan mendukung BRWA yang dimaksud adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI) dan Sawit Watch (SW)

Paundanan Embong Bulan, Ketua AMAN Enrekang, menyambut baik adanya dukungan dari BRWA yang disebutnya sebagai ‘tambahan amunisi’ dalam mempercepat pengesahan Perda yang ditargetkan disahkan pada akhir tahun 2015 ini.

“Selama ini kita memang masih sangat lemah dalam hal pendataan informasi komunitas. Padahal itu adalah elemen penting dalam pengesahan sebuah komunitas adat agar diakui sebagai diamantkan undang-undang. Kita selama ini telah melakukan identifikasi dan pendokumentasian tersendiri juga. Adanya SIWA tentu sangat membantu upaya ini,” katanya.

Paundanan optimis dengan semakin banyaknya dukungan akan semakin meyakinkan pemerintah dan DPRD akan pentingnya Perda ini sehingga bisa menjadi motivasi tersendiri dalam pengesahannya.

Menurut Paundanan, di Kabupaten Enrekang sendiri saat ini telah teridendifikasi sebanyak 18 Komunitas adat yang sesuai dengan kriteria atau prasyarat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Tetapi, tidak menutup kemungkinan akan ada pertambahan jumlah komunitas adat yang tersebar di wilayah kabupaten Enrekang.

“Apalagi pihak Pemda sendiri bahkan mengklaim sekitar 40-an komunitas. Kita tunggu saja prosesnya dan pastinya akan bisa diketahui secara pasti setelah lahirnya Perda ini,” ungkapnya.

Upaya pengumpulan informasi masyarakat adat apat dikumpulkan oleh masyarakat adat sendiri sebagai pihak yang paling memahami kondisi yang ada. Tidak hanya pendokumentasian, AMAN juga mendorong dan mendukung pelaksanaan pemetaaan wilayah adat partsipatif yang melibatkan secara aktif masyarakat adat yang bersangkutan. Foto : Wahyu Chandra

Upaya pengumpulan informasi masyarakat adat apat dikumpulkan oleh masyarakat adat sendiri sebagai pihak yang paling memahami kondisi yang ada. Tidak hanya pendokumentasian, AMAN juga mendorong dan mendukung pelaksanaan pemetaaan wilayah adat partsipatif yang melibatkan secara aktif masyarakat adat yang bersangkutan. Foto : Wahyu Chandra

Mustam Arif, Direktur Jurnal Celebes, lembaga yang selama ini banyak memberi dukungan pada perjuangan masyarakat adat melalui publikasi media, juga mengapresiasi adanya dukungan dari BRWA. Diakuinya, kelemahan utama komunitas adat selama ini banyak pada ketersediaan informasi dan dokumentasi, bahkan dalam pemberitaan media pun masyarakat adat jarang terekspos.

“Dengan adanya system informasi berbasis online pasti akan banyak membantu. Dan itu bisa dilakukan tanpa menunggu Perda itu disahkan, namun bisa saling beriringan dengan proses yang sedang berlangsung,” tambahnya.

Menurut Sardi, pelaksanaan dialog publik bisa juga dilihat sebagai rangkaian upaya untuk pengawalan proses dan subtansi pembahasan Ranperda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Enrekang.

“Kita apresiasi dukungan BRWA ini dan ini sejalan dengan pengawalan yang kita lakukan selama ini. Semakin banyak pihak yang terlibat justru akan semakin bagus dalam memperkaya Perda yang akan kita hasilkan ini.”

Terkait progres Perda ini sendiri, menurut Sardi, sebenarnya sudah sangat maju dibanding daerah-daerah lain yang sedang berproses hal yang sama. Beberapa daerah bahkan butuh bertahun-tahun untuk proses Perda ini, sementara di Enrekang sendiri justru jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.

Menurut Kasmita bahwa pada Agustus 2015, BRWA, AMAN dan JKPP menyerahkan data 604 profll dan peta wilayah adat seluas 6,8 juta ha kepada Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Penyerahan peta ini bertujuan agar peta dan informasi mengenai wilayah adat dapat diintegrasikan dalam peta indikatif arahan perhutanan sosial (PIAPS) yang dibuat oleh Direktorat Perhutanan Sosial di KLHK. Profil dan Peta Wilayah adat ini disajikan dalam SIWA untuk mendukung proses penyusunan kebijakan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.


Inilah Sistem Informasi Yang Dukung Ranperda Masyarakat Adat Enrekang was first posted on October 3, 2015 at 6:00 am.

Mongabay Travel : Beginilah Surga Di Takabonerate

$
0
0

Fauzi tersenyum puas. Sekujur tubuhnya masih basah dengan pakaian selam yang dikenakannya. Beberapa saat sebelumnya ia menyelam (fun diving) berkeliling mengitari terumbu karang di sekeliling pantai Pulau Tinabo yang jernih.

Fauzi adalah satu dari puluhan orang dari berbagai profesi dan daerah di Indonesia, seperti Gorontalo, Surabaya, Malang, Palu dan sebagian besar berasal dari Makassar. Mereka merupakan peserta Takabonerate Island Expedition (TIE) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Selama lima hari (2-6 September) mereka dimanjakan oleh beragam pesona laut, baik di daratan maupun di bawah laut.

Peserta ekspedisi Takabonerate Island Expedition (TIE) ketujuh dari berbagai profesi mengeksplorasi keindahan bawah laut Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, Sulawesi Selatan. TIE merupakan program pengenalan wisata daratan dan bawah laut di TNL Takabonerate. Foto : Wahyu Chandra

Peserta ekspedisi Takabonerate Island Expedition (TIE) ketujuh dari berbagai profesi mengeksplorasi keindahan bawah laut Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, Sulawesi Selatan. TIE merupakan program pengenalan wisata daratan dan bawah laut di TNL Takabonerate. Foto : Wahyu Chandra

TIE yang telah tujuh tahun diselenggarakan ini, bertujuan mengenalkan keindahan Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, dengan potensi wisata laut seperti Taman Laut Bunaken di Manado dan Raja Ampat di Papua Barat. Sebagian besar terumbu karang sepanjang perairan ini masih sangat alami tak terjamah dengan 17 titik penyelaman yang telah ditemukan.

Kegiatan utama di Takabonerate terbagi atas dua, yaitu land tour dan diving di tiga titik yang telah disiapkan oleh panitia dari TNL Takabonerate.

Kelompok land tour diajak berkunjung ke Pulau Rajuni Kecil, berbincang dengan masyarakat pulau yang terdiri dari orang Bajo dan Bugis. Sementara kelompok diving menuju ke titik selam yang telah ditetapkan oleh panitia, di Tinabo dan Tarupa.

Pada sore harinya, semua peserta diajak ke sebuah gosong, yang mengingatkan kita pada film Pirates of the Caribbean. Di lokasi ini para peserta, beserta sejumlah wisatawan dari Australia melakukan aksi pelepasan tukik.

Di Pulau Tonabo sendiri, pemandangan alam di sore hari tak kalah menakjuban. Setiap sore kita dimanjakan oleh panorama sunset. Beberapa peserta juga melakukan snorkling dan mengayuh kayak atau sekedar berfoto selfie dengan latar warna laut keemasan.

Hal lain yang bisa dinikmati adalah memberi makan kepada anak-anak hiu yang dengan mudah ditemui di tempat itu, cukup dengan memberi potongan ikan yang masih segar.

“Ikan hiu sangat sensitif dengan bau darah, jadi mereka akan datang kalau diberi potongan ikan yang masih segar-segar,” ungkap Yasri, salah seorang petugas patroli dari TN Takabonerate yang memandu para pesiar ini.

Di Pulau Tinabo, Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate,  tidak hanya keindahan daratan dan bawah laut yang memukau, Pengunjung bisa bercengkrama dengan anakan hiu yang jinak dengan memberi mereka makanan dar potongan ikan yang masih segar. Foto : Wahyu Chandra

Di Pulau Tinabo, Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, tidak hanya keindahan daratan dan bawah laut yang memukau, Pengunjung bisa bercengkrama dengan anakan hiu yang jinak dengan memberi mereka makanan dar potongan ikan yang masih segar. Foto : Wahyu Chandra

Beberapa peserta yang mengikuti kegiatan ini menyatakan kepuasan dan ketakjuban dengan keindahan yang disajikan oleh TNL Takabonerate ini.

Ariana Mayang, seorang dosen dari Gorontalo menilai perjalanan ekspedisi ini sangat seru meskipun ia tak sempat diving dan hanya berwisata land tour.

“Ini menakjubkan. Banyak hal yang bisa dinikmati, apalagi di sore hari. Semakin seru karena kita ramai-ramai dengan orang yang sebelumnya tak saling kenal,” katanya.

Meski puas dengan ekspedisi ini, namun ia juga mengeluhkan beberapa hal, seperti kegiatan yang terkesan kurang terkelola dan kurang informasi.

“Kita baru tahu seminggu lalu dan itupun dengan informasi yang terbatas, misalnya apa saja yang disiapkan oleh panitia, kondisi lapangan bagaimana dan sebagainya. Ini penting agar kami bisa memperkirakan dengan baik kebutuhan-kebutuhan di lapangan,” katanya.

Terumbu karang yang masih alami tak terjamah masih mudah ditemukan di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para penyelam. Hingga saat ini, terdapat 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal

Terumbu karang yang masih alami tak terjamah masih mudah ditemukan di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para penyelam. Hingga saat ini, terdapat 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal

Sementara Fauzi menyayangkan belum terkelolanya industri wisata di Takabonerate meskipun memiliki potensi keindahan yang sangat besar. “Sayang sekali dengan potensi wisata sebesar ini belum dikembangkan dengan baik,” ungkapnya.

Masalah lain adalah ketersediaan air bersih yang layak untuk mandi dan konsumsi. Selama ini warga hanya mengandalkan dari air hujan serta diangkut dari Selayar dengan jumlah yang terbatas.

Sebagai bagian dari promosi titik selam ini panitia juga menyelenggarakan lomba foto bawa air secara terbatas bagi peserta yang ikut dalam kelompok diving, yang sebagian besar adalah blogger dan jurnalis. Pemenangnya antara lain Iqbal dari Koran Tempo Makassar, Syahrul dan Dewi F dari Kantor Berita ANTARA Biro Makassar.

Kawasan Atol Terbesar

Kepulauan Takabonerate yang menjadi sasaran kunjungan para pesiar ini terletak di Laut Flores bagian utara, yang terdiri dari 21 pulau, yang membentuk lingkaran dan dikelilingi oleh terumbu karang.

Bintang laut, salah satu spesies yang tumbuh di terumbu karang yang masih alami di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan. Ada 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal

Bintang laut, salah satu spesies yang tumbuh di terumbu karang yang masih alami di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan. Ada 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal

Pulau-pulau berpenghuni antara lain Pulau Latondu, Rajuni Besar dan Rajuni Kecil, Tarupa, Jinato, Pasitallu Tengah dan Pasitallu Timur. Selebihnya berupa pulau kosong dan patch reef (gosong), yang muncul ke permukaan pada saat air surut.

Kepulauan ini memiliki luas sekitar 530.765 hektar dengan luas atol kurang lebih 220 ribu hektar. Bentuk karang berupa barrier reef (penghalang), fringing reef (terumbu karang tepi) dan atol (cincin lingkaran) yang dibentuk oleh 261 jenis karang.

Sejak tahun 1992, kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional. Takabonerate memiliki kawasan atol terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshal dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Pada tahun 2005 Takabonerate ini telah diusulkan ke UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia.

Menurut Ronald Yusuf, Staf Pengendali Ekosistem Hutan TN Takabonerate, musim kunjungan terbaik adalah antara April-Juni dan Oktober-Desember setiap tahunnya.

Ronald juga menjelaskan beberapa titik penyelaman antara lain Ibel Orange 1, yang berlokasi di Pulau Tinabo Besar. Topografi di titik selam ini berupa gundukan karang (pinnacle) dengan kedalaman 15-25 m dan visibility 5-10 meter.

“Kondisi karang bagus dengan tutupan 35-65 persen, dominan hard coral dan soft coral,” katanya.

Ada juga di Joan Garden, berlokasi di Pulau Tinabo Kecil, berupa taka tenggelam dengan kedalaman 10-25 meter dan visibility 10-15 meter. Kondisi karangnya juga dinilai sangat bagus dengan tutupan karang 45-80 persen, yang didominasi hard coral dan soft coral.

Spot lain adalah Spot Pinly Fish, yang berlokasi di Pulau Tarupa Kecil dengan topografi reef flat, memiliki kedalaman 5-8 meter dan visibility 12 meter. “Di sini ditumbuhi karang yang rapat dengan dominasi hard coral dan soft coral.”

Bagaimana mencapai Takabonerate?

Perjalanan menuju Pulau Tinabo cukup melelahkan. Dari Makassar kita harus berkendaraan mobil sejauh 200 km ke Kabupaten Bulukumba, tepatnya ke pelabuhan Bira Bulukumba, sebelum akhirnya menyeberang ke Pelabuhan Pamatata Selayar. Dari Makassar ke Dermaga Bulukumba butuh waktu hingga 5 jam. Sementara dari pelabuhan Bira ke Pamatata butuh waktu sekitar 2 jam. Dari Pamatata ke Kota Benteng, ibukota Selayar harus berkendaraan lagi sekitar 1 jam perjalanan.

Alternatif udara juga memungkinkan, yaitu melalui Bandara Hasanuddin Makassar ke Bandara Aroepala Selayar,  menggunakan Wings Air setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu, serta Avia Star tiap  Senin, Rabu dan Jumat.

Pulau Tinabo adalah pulau kecil posko TN Takabonerate, Sulawesi Selatan dengan keindahan alam dan pantai pasir putihnya. Di pulau ini terdapat sejumlah resort yang disewakan dengan harga murah, meskipun dengan fasilitas terbatas. Air bersih sulit diperoleh dan hanya mengandalkan dari air hujan serta air yang dibawa sendiri dai Pulau Selayar. Foto : Syamsu Rizal

Pulau Tinabo adalah pulau kecil posko TN Takabonerate, Sulawesi Selatan dengan keindahan alam dan pantai pasir putihnya. Di pulau ini terdapat sejumlah resort yang disewakan dengan harga murah, meskipun dengan fasilitas terbatas. Air bersih sulit diperoleh dan hanya mengandalkan dari air hujan serta air yang dibawa sendiri dai Pulau Selayar. Foto : Syamsu Rizal

Untuk menuju Pulau Tinabo, belum ada transportasi regular, sehingga harus menyewa speedboat dengan biaya sekitar Rp5 juta, untuk perjalanan selama 3 hari. Menurut Ronald, biaya sudah termasuk dengan ongkos penginapan tiga hari, restribusi ke TN Takabonerate, dan keliling ke spot-spot penyelaman yang diinginkan.

“Sebenarnya ada paket-paket juga, tergantung kita mau paket yang mana. Biaya minimal itu Rp5 juta per rombongan untuk beberapa orang,” ungkapnya.

Alternatif lain bisa menumpang ke kapal warga menuju Pulau Rajuni Kecil, meski untuk ini tak ada jadwal yang pasti.

Meski jualan wisata Pemkab Kepulauan Selayar selama ini adalah Takabonerate, namun sebenarnya di daerah ini terdapat tiga kawasan utama untuk tujuan wisata penyelaman, yaitu kawasan pantai timur dan pantai barat, serta kawasan TN Takabonerate sendiri, yang letaknya berada di bagian selatan Pulau Selayar, sebagai pulau induk.

Menurut Ronald, di Selayar sendiri hingga kini telah ditemukan puluhan titik penyelaman, yaitu 25 titik di sepanjang pantai timur, 11 titik di bagian barat, serta 17 titik di sejumlah pulau di kawasan TN Takabonerate.


Mongabay Travel : Beginilah Surga Di Takabonerate was first posted on October 4, 2015 at 1:22 am.

Seribu Penari Rejang Menari Untuk Menjaga Laut Nusa Penida

$
0
0

Sekitar 1000 orang perempuan warga Pulau Nusa Penida, Bali berkumpul di di kawasan pasang surut antara Pulau Nusa Lembongan dan Ceningan, Kabupaten Klungkung, Bali  menghaturkan tarian untuk semesta dan Dewa Baruna, pada Sabtu (03/10/2015) pagi.

Sesaat menjelang tarian sakral usai, seorang perempuan yang menari di barisan belakang berteriak memecah keheningan, rebah, dan segera dibopong seorang penjaga menjauh.

Sekitar 1000 perempuan warga Pulau Nusa Penida, Klungkung, Bali menghaturkan tarian Rejang untuk semesta dan Dewa Baruna, pada Sabtu (03/10/2015) pagi. Tarian itu sebagai bagian dari Nusa Penida Festival dengan salah satu tujuan untuk menjaga pesisir dan laut pulau tersebut. Foto : Luh De Suriyani

Sekitar 1000 perempuan warga Pulau Nusa Penida, Klungkung, Bali menghaturkan tarian Rejang untuk semesta dan Dewa Baruna, pada Sabtu (03/10/2015) pagi. Tarian itu sebagai bagian dari Nusa Penida Festival dengan salah satu tujuan untuk menjaga pesisir dan laut pulau tersebut. Foto : Luh De Suriyani

Beberapa detik kemudian diikuti seorang perempuan lain. Berteriak lebih kencang. “Dewa Baruna, Dewa Baruna, ampura,” suaranya bergetar sambil membanting tubuh dan memejamkan mata. Ia minta maaf pada sang penguasa laut.

Wanita itu, Made Wati, mengalami kerasukan (trance) atau kerauhan dalam bahasa Bali. Seorang yang kerauhan diyakini mendapat energi atau spirit dari dewa-dewa untuk menyampaikan sesuatu pada masyarakat. Kali ini mengingatkan tentang laut.

Upacara Mulang Pakelem atau melarung sesaji ke laut ini dilengkapi dengan persembahan Tari Rejang oleh 1000 anak-anak, remaja, dan ibu-ibu dari seluruh desa di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Rejang biasanya hanya ditarikan remaja untuk menyambut kehadiran dewa-dewi dalam perhelatan ritual.

Upacara yang bertepatan dengan Tumpek Kandang, upacara penghormatan pada binatang dalam agama Hindu di Bali ini bagian dari rangkaian Nusa Penida Festival yang dilaksanakan pemerintah dan warga setempat.

Seribuan perempuan mengikuti persembahan Tari Rejang di Pulau Nusa Penida, Klungkng, Bali untuk semesta dan Dewa Baruna, pada Sabtu (03/10/2015) pagi. Foto : Luh De Suriyani

Seribuan perempuan mengikuti persembahan Tari Rejang di Pulau Nusa Penida, Klungkng, Bali untuk semesta dan Dewa Baruna, pada Sabtu (03/10/2015) pagi. Foto : Luh De Suriyani

Setelah Wati, satu demi satu penari lain kerauhan. Menyebar di tiap barisan yang ditata seperti sembilan penjuru mata angin mengarah ke lingkaran penari di tengah-tengah. Jadilah terdengar teriakan di tiap penjuru. Tak hanya penari, juga penonton perempuan lain.

Suasana mencekam. Panitia meminta semua penari duduk tenang sembari menunggu pemangku atau pemimpin upacara memercikkan tirta atau air suci ke mereka yang kerauhan. Beberapa harus dibopong mendekati pusat ritual karena mereka ingin menari dalam kondisi trance dan menyampaikan pesan-pesan sang Baruna.

Salah seorang penari mengalami kerasukan (trance) saat dilakukan Tari Rejang Tari Rejang di Pulau Nusa Penida, Klungkng, Bali untuk semesta dan Dewa Baruna, pada Sabtu (03/10/2015) pagi. Foto : Luh De Suriyani

Salah seorang penari mengalami kerasukan (trance) saat dilakukan Tari Rejang Tari Rejang di Pulau Nusa Penida, Klungkng, Bali untuk semesta dan Dewa Baruna, pada Sabtu (03/10/2015) pagi. Foto : Luh De Suriyani

Beberapa saat setelah sebagian penari sudah agak tenang, Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengambil pengeras suara. Ia barangkali terpengaruh dengan apa yang disampaikan oleh penari ketika kerauhan.

“Momentum Mulang Pakelem dan Rejang ini mengingatkan kita. Jangan memainkan laut sewenang-wenang, mari jaga. Nusa Penida itu blue paradise, sumber kehidupan yang harus dijaga,” katanya bersemangat.

Ia mengaku merasakan bentang alam berubah cepat. “Di masa kecil, tempat bermain tak seorisinal dulu. Mari tancapkan komitmen menjaga laut jangan sampai rusak dan menyesal seumur hidup,” Suwirta berkata di ujung pengeras suara.

Pria asal Nusa Lembongan ini meyakini laut karena sumber kehidupan dan andalan wisata. Laut rusak maka wisatawan akan minggat tak lagi mengunjungi.

Festival ini perhelatan kedua setelah pernah diselenggarakan di Pulau Nusa Penida. Di kawasan ini ada tiga gugusan pulau yang berada di tenggara Pulau Bali. Kawasan ini sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP) pada tahun lalu.

Perairan Nusa Penida yang juga meliputi Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan ini memiliki keanekaragaman hayati tinggi dengan hampir 150 hektar terumbu karang dengan 296 jenis karang.

Anak-anak mengangkat ogoh-ogoh dalam Nusa Penida Festival yang digelar di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali pada Sabtu (03/10/2015) pagi. Nusa Penida Festival dengan salah satu tujuan untuk menjaga pesisir dan laut pulau tersebut. Foto : Luh De Suriyani

Anak-anak mengangkat ogoh-ogoh dalam Nusa Penida Festival yang digelar di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali pada Sabtu (03/10/2015) pagi. Nusa Penida Festival dengan salah satu tujuan untuk menjaga pesisir dan laut pulau tersebut. Foto : Luh De Suriyani

Kawasan ini termasuk global triangle center dengan 576 jenis ikan, 5 di antaranya jenis baru. Area ini menjadi cleaning station ikan mola-mola atau sunfish. Penetapan ini bagian dari target 20 juta kawasan konservasi laut nasional sampai 2020.

Penetapan KKP ini melalui proses panjang hingga keluar Keputusan Bupati Klungkung tentang pengesahan dokumen rencana pengelolaan jangka panjang 20 tahun dan zonasi KKP Nusa Penida.

Meliputi kawasan seluas lebih 20 ribu hektar. Zona inti ditetapkan hampir 500 ha, zona perikanan berkelanjutan hampir 17 ribu ha, dan zona budidaya rumput laut 464 ha. Juga ada zona pariwisata bahari sekitar 1200 ha, dan lainnya.

Menteri Pariwisata Arif Yahya yang membuka festival tahun ini mendukung slogan blue paradise yang digagas warga dan  Pemkab Klungkung. Menurutnya surga biru relevan dengan jargon blue economy untuk mendorong potensi bahari.

“Pengembangan ekonomi budaya dan alam bisa menyejahterakan jika dilestarikan. Terumbu karang paling gampang dibom lalu dijual tapi harganya murah. Kalau dibiarkan di laut nilainya 10 kali lipat,” ia mencontohkan.

Nusa Penida Festival bertema bahari ini memperlihatkan bagaimana warga mendokumentasikan pesisir dan potensi lautnya melalui foto, lomba kapal layar, lomba mengikat rumput laut bagi petani, transplantasi karang, penanaman bakau, dan lainnya.

Selain itu, memadukannya dengan kesenian tua di Nusa Penida yang sangat banyak memiliki kesenian sakral yang khas. Misalnya ada Sanghyang Jaran dan Baris Jangkang yang juga lekat dengan spirit bahari di masa lalu.

Untuk mendekatkan isu konservasi lingkungan ini pada generasi kini, ada parade ogoh-ogoh (boneka raksasa dari kain atau bahan lain) berbentuk fauna dilindungi dan menjadi daya tarik di Nusa Penida. Misalnya Mola-mola, Pari Manta, Penyu, dan lainnya. Setelah diarak remaja saat parade, ogoh-ogoh ini juga menarik perhatian bayi dan anak-anak yang memainkannya dan berusaha ikut mengangkat sambil bersorak.


Seribu Penari Rejang Menari Untuk Menjaga Laut Nusa Penida was first posted on October 5, 2015 at 12:16 am.

Benahi Sektor Kelautan untuk Kedaulatan Pangan Nasional

$
0
0

Perubahan iklim yang terjadi d dunia saat ini menjadi masalah serius yang dialami negara-negara di seluruh benua. Tak terkecuali, bagi Indonesia yang letaknya tepat di ekuator. Perubahan iklim, tak hanya mengancam keberlangsungan alam saja, tapi juga ikut mengancam keberlangsungan manusia dan makhluk hidup lain yang ada diatas bumi.

Demikian kesimpulan yang muncul dalam lokakarya “Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan di Indonesia” yang dilaksanakan Senin (5/10/2015) di Hotel Aryaduta, Jakarta. Hadir dalam lokakarya tersebut, Guru Besar Fakultas Ilmu Pertanian IPB Prof Dwi Andreas Santoso; Dodo Gunawan Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG; Alan Koropitan Pakar Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB; dan Perdinan Pakar Ekonomi Penilaian Informasi Iklim IPB.

Kapal-kapal nelayan di Roban, Kabupaten Batang, Jateng terparkir tak bisa melaut karena musim ekstrem. Foto : Tommy Apriando

Kapal-kapal nelayan di Roban, Kabupaten Batang, Jateng terparkir tak bisa melaut karena musim ekstrem. Foto : Tommy Apriando

Salah satu panelis, Alan Koropitan, menyoroti bagaimana perubahan iklim ikut mempengaruhi peta kelautan dan perikanan di Indonesia, serta dunia pada umumnya. Menurutnya, semua itu berawal dari kurangnya validitas informasi tentang perubahan iklim.

“Kita siap-siap saja dengan kondisi yang semakin memburuk dan siap-siap saja untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut,” ungkap Alan.

Dia menerangkan, di antara dampak buruk yang dirasakan Indonesia akiibat perubahan iklim, adalah saat badai tropis terjadi. Walau badai tersebut secara resmi tidak akan pernah muncul di Tanah Air, tetapi ekor dari badai tersebut akan terasa di Indonesia.

“Beberapa waktu lalu, perairan di sekitar selat Sunda merasakannya. Itu harus diwaspadai,” tutur dia. Perlunya peningkatan kewaspadaan, karena itu berdampak buruk pada kehidupan nelayan di sekitar perairan tersebut.

Tidak hanya itu, Alan menyebutkan, perubahan iklim yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ikut mengubah peta wilayah perikanan di Indonesia. Saat ini,  wilayah perairan di selatan Pulau Kalimantan dan selatan Pulau Jawa menjadi wilayah perairan yang paliang banyak mengalami kerusakan.

Penyebabnya, karena hutan mangrove di dua wilayah perairan itu sudah semakin menyusut dan pada saat bersamaan ikan terus diburu untuk ditangkap.”Sementara, rekrutmen ikan-ikan baru dari pesisir juga tidak banyak. Kondisi itu semakin parah karena ada pembukaan lahan gambut di wilayah selatan Pulau Kalimantan,” papar dia.

El Nino

Salah satu bukti bahwa perubahan iklim sedang terjadi, adalah munculnya femonena cuaca El Nino. Di Indonesia, El Nino diprediksi akan berakhir pada awal November mendatang atau sekitar sebulan lagi dari sekarang.

“Tetapi, ada kesalahan informasi yang beredar di Indonesia sekarang. Hampir semua orang mengetahui kalau El Nino itu akan meningkatkan produksi ikan hingga berlipat-lipat. Itu benar, tapi faktanya tidak terjadi di semua wilayah peraira Indonesia,” jelas Alan.

Selain faktor El Nino, fakta lain yang ikut mengubah peta wilayah perikanan Indonesia, adalah munculnya konflik yang melibatkan pengusaha dan masyarakat. Konflik tersebut muncul karena memperebutkan wilayah perairan yang menjadi sumber perikanan.

“Itu faktonya saja. Semua intinya harus diliakukan perubahan, salah satunya dengan restorasi ekosistem pesisir. Jadi walau ada perubahan iklim, pesisir tetap bisa menjadi tempat rekrutmen ikan-ikan baru,” tandas dia.

Sementara itu Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Dodo Gunawan menungkapkan, perubahan iklim yang terjadi saat ini memang sudah semakin meningkat. Kondisi itu, salah satunya diperlihatkan dengan hadirnya El Nino.

“El Nino ini untuk ketahanan pangan akan sangat mengganggu sekali, khususnya untuk beras. El Nino akan menyebabkan kekeringan lahan pertanian dan itu akan menghambat produksi beras. Belum lagi yang lainnya,”cetus dia.

 El-Nino telah menyebabkan  kekeringan hingga  warga gagal panen atau tak bisa menanam di Cilacap, Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando

El-Nino telah menyebabkan kekeringan hingga warga gagal panen atau tak bisa menanam di Cilacap, Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando

Menurut Dodo, mempertahankan ketahanan pangan di tengah peningkatan perubahan iklim memang menjadi perhatian utama Pemerintah Indonesia saat ini. Untuk itu, dikeluarkan regulasi untuk melindungi ketersediaan pangan, khususnya beras.

“Seperti Inpres Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional. Memang, perubahan iklim sudah terjadi dan manusia harus melakukan adaptasi. Inilah salah satu bentuk adaptasi itu,” papar dia.

Pendapat yang sama juga diungkapkan Prof Dwi Andreas Santoso. Menurutnya, perubahan iklim yang terjadi sekarang harus bisa disikapi dengan sangat bijak oleh semua pihak. Dia memandang, perubahan iklim jangan sampai membuat Indonesia terpuruk.

“Ketahanan pangan itu penting. Bagaimana Indonesia bisa bertahan di tengah iklim yang berubah ini. Itu langkah yang harus dipikirkan oleh semua pihak,” tandas dia.


Benahi Sektor Kelautan untuk Kedaulatan Pangan Nasional was first posted on October 6, 2015 at 2:19 am.

Mulai Pekan Depan, Kapal Pelaku IUU Fishing Akan Langsung Ditenggelamkan

$
0
0

Sebanyak 16 kapal perikanan ilegal (illegal, unreported, unregulated / IUU fishing) yang ditangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama TNI Angkatan Laut dipastikan akan ditenggelamkan pekan depan. Walaupun, ke-16 kapal tersebut proses hukumnya masih terus berjalan.

Kepastian itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kepada wartawan, Selasa (06/10/2015). Menurutnya, meski saat ini belum ada kepastian jadwal penenggelaman kapal-kapal tersebut, namun dia meminta maksimal pada pekan depan sudah dilaksanakan.

“Kita memang tidak mau menunggu proses hukum lagi. Sekarang sudah saatnya setiap kapal yang masuk teritori kita tanpa izin dan atau melakukan penangkapan ikan secara tidak sah, maka itu akan ditenggelamkan,” ujar Susi.

Kapal yang mencuri ikan diledakkan di  Perairan Belawan pada Selasa, 18 Agustus 2015. Foto:  Ayat S Karokaro

Kapal yang mencuri ikan diledakkan di Perairan Belawan pada Selasa, 18 Agustus 2015. Foto: Ayat S Karokaro

Dasar hukum untuk melaksanakan penenggelaman sendiri, menurut dia, adalah Undang-Undang Nomor 45/2009 tentang Perikanan. Merujuk pada UU tersebut, KKP bersama TNI AL bisa langsung melaksanakan eksekusi penenggelaman kapal jika minimal sudah memiliki dua bukti yang kuat.

“Bukti ini kan sudah jelas dan kuat. Mereka melanggar aturan teritori kita dan mereka juga terbukti sudah mengambil ikan di wilayah perairan kita. Itu juga sudah jelas karena saat ini nelayan asing dilarang untuk mengambil ikan di Indonesia,” tutur Susi.

Karena sudah memiliki dasar hukum yang kuat, perempuan pemilik maskapai perintis Susi Air itu memutuskan untuk langsung memotong kompas birokasi. Sebelumnya, penenggelaman kapal harus dilakukan setelah keluar keputusan pengadilan, tapi sekarang itu tidak berlaku lagi.

“Ya tidak apa-apa kalau memang pemilik kapal-kapal tersebut mengajukan gugatan hukum, toh kapalnya kan sudah ditenggelamkan,” sambung Susi.

Adapun, 16 kapal yang akan ditenggelamkan pekan depan, di antaranya terdiri dari 7 (tujuh) kapal berasal dari Vietnam, yakni KG 9352 TS, KG 91490 TS, KG 9387 TS, KG 93577 TS, KM. BV 9980 TS, KM. BV 9952 TS, KM. BV9261 TS. Kapal-kapal tersebut berukuran 88 gross tonnage (GT) hingga 139 GT.

Kemudian, ada dua kapal berbendera Indonesia, yaitu KM Ethan Gofir-02 dan KM Bintang Terang. Keduanya berukuran 23 GT dan 11 GT. Menurut Susi, walau ukuran dua kapal Indonesia lebih kecil, tapi tetap ditangkap karena terbukti melakukan pencurian ikan.

Selain itu, kapal yang akan ditenggelamkan juga termasuk 4 (empat) kapal asal Filipina yang ditangkap TNI AL. Keempatnya adalah KM. F/B RELL-RENN-8, KM. F/B RELL/RENN-6, KM. F/B LB C-N-C dan KM. F/B RR-8A. Keempatnya memiliki ukuran dari 14 GT hingga 54 GT.

“Selain itu ada tiga kapal yang bendera Indonesia, diantaranya KM. Berkat Anugerah 01 ukuran 195 GT, KM. Mitra Bahari 11 ukutan 102 GT dan KM. Tenggiri 15 ukuran 33 GT. Jadi 4 kapal ini masih berbendera Filipina, dan 3 sudah berbendera Indonesia namun benderanya ya bendera abal-abal saja,” tandas Susi.

PN Sabang Tolak Silver Sea 2

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Asep Burhanudin mengungkapkan, Pengadilan Negeri (PN) Sabang, Provinsi Aceh pada Senin (05/10/2015) resmi menolak gugatan praperadilan yang diajukan kapal asal Thailand Silver Sea 2 (SS2).

Kapal Silver Sea 2 asal Thailand ini ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8/2015) dini hari. Foto : Junaidi Hanafiah

Kapal Silver Sea 2 asal Thailand ini ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8/2015) dini hari. Foto : Junaidi Hanafiah

Asep menjelaskan, dalam amar putusan yang dikeluarkan tersebut, PN Sabang menolak permohonan Supachai Singkalvanch, kuasa hukum Direktur Silver Sea Reefer Co.Ltd, Mr Venus Pomprarest yang ditujukan kepada Pemerintah RI cq. Mabes AL RI cq.Panglima Armabar cq. Danlanal Sabang.

“Gugatan diajukan karena kita dianggap telah melakukan penangkapan, penahanan dan penyitaan dokumen kapal tidak sesuai koridor hukum,” ungkap Asep.

Selain putusan praperadilan yang ditolak, PN Sabang juga masih memproses gugatan praperadilan yang diajukan kapal SS2 terhadap Kementerian Kelautan dan Perikanan cq. Dirjen PSDKP cq. Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan.

Sementara itu Deputi Kedaulatan Maritim dan Sumber Daya Kementerian Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegrogeseno mengungkapkan, gugatan praperadilan yang dilakukan kapal SS2 merupakan hal yang wajar. Namun, gugatan tersebut tetap tak mempengaruhi proses hukum yang sedang dilaksanakan kapal tersebut karena melakukan pelanggaran.

“Tidak ada masalah kalau memang ada gugatan. Namun, mereka sudah bersalah. Karenanya, kalau nanti ada kasus serupa, langkah yang bisa ditempuh yang kirim saja dulu kapalnya ke dasar laut alias ditenggelamkan,” papar dia.


Mulai Pekan Depan, Kapal Pelaku IUU Fishing Akan Langsung Ditenggelamkan was first posted on October 7, 2015 at 12:07 am.

Miris… Satwa Dilindungi Makin Habis Karena Dikonsumsi

$
0
0

Indonesia dilimpahi keanekaragaman hayati flora dan faunanya. Banyak sekali jenis hewan dan tumbuhan eksotis yang hanya ada di negara khatulistiwa ini. Tetapi makin banyak pula yang terancam punah. Tidak terkecuali satwa eksotis dan endemik di Sulawesi Utara, seperti monyet hitam Sulawesi (yaki/Macaca nigra), tarsius, kuskus dan ular piton.

Satwa-satwa tersebut masih banyak diburu untuk dijadikan satwa peliharaan. Tetapi tidak hanya itu, ternyata ada satu kebiasaan khas masyarakat di Sulut yang menyebabkan tingginya perburuan tersebut, yaitu perilaku mengkonsumsi satwa liar.

Daging yaki siap dimasak untuk konsusmi. Foto : Facebook PPST

Daging yaki siap dimasak untuk konsusmi. Foto : Facebook PPST

Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) Sulut menyebutkan populasi yaki menurun 80 persen dalam 30 tahun terakhir. Diyakini, penyebabnya adalah pengrusakan habitat serta tingginya tingkat konsumsi. Intervensi manusia tadi berdampak pula kepunahan populasi anoa dan babirusa di Sulawesi Utara.

“Terakhir anoa dan babirussa masih bisa dijumpai sekitar tahun 1990-an. Kepunahan anoa dan babirusa di Sulawesi Utara ini akibat tinginya tingkat perburuan. Anoa dan babirusa masih dapat ditemui di area hutan Nantu, Gorontalo, namun di sana mereka masih terancam perburuan untuk dibawa dan di jual di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara,” tulis Billy Gustafianto, Staff Education and Information dalam rilis yang diterima Mongabay pada Senin (5/10/2015).

“Salah satu satwa endemik Sulawesi Utara yaitu tarsius siau bahkan masuk dalam daftar 25 primata paling terancam di dunia, akibat tingginya tingkat perburuan untuk dikonsumsi sebagai cemilan sambil minum minuman keras,” tambah dia.

Satwa lainnya yang juga sering diburu untuk dikonsumsi memang belum dilindungi oleh hukum Indonesia. Tetapi, masih dikatakan Billy, menangkap satwa liar di alam secara terus menerus juga merupakan ancaman serius.

Ia khawatir, penurunan populasi satwa liar turut berdampak pada kehidupan manusia. Sebab, setiap jenis satwa liar diketahui memiliki peran ekologis untuk menjaga keseimbangan alam.

Daging yaki dijual di Pasar Tondano, Sulawesi Utara. Foto: dari Facebook PPST

Daging yaki dijual di Pasar Tondano, Sulawesi Utara. Foto: dari Facebook PPST

Padahal, menurut Billy, perilaku konsumsi satwa liar sebenarnya membahayakan bagi masyarakat. Karena, daging satwa liar mengandung berbagai bakteri dan parasit yang dapat membahayakan kesehatan. Ia menyebut sejumlah penyakit zoonosis yang dapat ditularkan pada manusia, seperti hepatitis, rabies, infeksi cacing, dan lain sebagainya.

“Ada banyak jenis satwa liar yang populasinya menyusut drastis dan semakin terancam punah, sehingga negara pun memberlakukan sejumlah peraturan untuk melindungi mereka. UU No 5 Tahun 1990, pasal 22, memaparkan larangan berburu, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam PP No 7 tahun 1999. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui adanya peraturan-peraturan ini.”

Kampanye cinta satwa dalam rangka peringatan Hari Satwa Sedunia di Tondano, Minahasa, Sulut pada Minggu (04/10/2015) yang dilakukan aktivis pecinta satwa Sulut. Kampanye bertema “Mari Torang Sayang Deng Peduli: Jaga Bae-Bae Kong Jang Makang”. Foto : PPST

Kampanye cinta satwa dalam rangka peringatan Hari Satwa Sedunia di Tondano, Minahasa, Sulut pada Minggu (04/10/2015) yang dilakukan aktivis pecinta satwa Sulut. Kampanye bertema “Mari Torang Sayang Deng Peduli: Jaga Bae-Bae Kong Jang Makang”. Foto : PPST

Oleh karena itu, PPST bersama dengan aktivis pecinta satwa di Sulut seperti Animal Friends Manado Indonesia (AFMI), JAR Entertain, Komunitas Toudano Minahasa mengadakan kampanye cinta satwa.

Kampanye dalam rangka peringatan Hari Satwa Sedunia digelar pada Minggu (04/10/2015) dilakukan dalam bentuk pawai, teatrikal hingga pertunjukan musik yang menyuarakan rasa cinta pada satwa. Kampanye yang dipusatkan di Tondano, kabupaten Minahasa ini, mengusung tema “Mari Torang Sayang Deng Peduli: Jaga Bae-Bae Kong Jang Makang”.

JAR Entertain turut mengisi kegiatan teatrikal, sementara pertunjukan musik dipentaskan oleh band-band lokal, seperti Banana Split dan Lamb of Bottle.

Aksi teatrikal dari Komunitas Tondano Minahasa pada kampanye cinta satwa dalam rangka peringatan Hari Satwa Sedunia di Tondano, Minahasa, Sulut pada Minggu (04/10/2015) yang dilakukan aktivis pecinta satwa Sulut. Foto : PPST

Aksi teatrikal dari Komunitas Tondano Minahasa pada kampanye cinta satwa dalam rangka peringatan Hari Satwa Sedunia di Tondano, Minahasa, Sulut pada Minggu (04/10/2015) yang dilakukan aktivis pecinta satwa Sulut. Foto : PPST

Stop Makan Anjing dan Kucing

Tak hanya menyerukan stop konsumsi satwa liar, dalam peringatan Hari Satwa Sedunia, aktivis pecinta satwa juga mengajak masyarakat di Sulawesi Utara untuk tidak lagi makan daging anjing dan kucing. Mereka menilai, kedua hewan ini adalah hewan peliharaan, bukannya ternak untuk kepentingan konsumsi.

Bahkan, sejak Juni 2015 silam, AFMI telah membuat petisi di change.org yang mengajak masyarakat untuk menghentikan penyelundupan, perdagangan dan konsumsi daging anjing dan kucing di Indonesia.

Dalam petisi yang kini sudah mendapat dukungan sebanyak 8.872 tandatangan, dikatakan, mengkonsumsi daging anjing dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti rabies, kolera, toxocariasis hingga kandungan racun akibat penggunaan racun untuk menangkap kedua hewan tersebut.

“Hewan ternak selalu diawasi oleh tim kesehatan. Anjing dan kucing tidak sama sekali,” demikian tertulis dalam petisi yang ditujukan pada Menteri Pertanian dan Peternakan, Menteri Kesehatan serta Menteri Pariwisata.

Selain berbahaya untuk kesehatan, AFMI menyatakan, perdagangan, penyelundupan, pembunuhan anjing dan kucing dilakukan dengan cara yang kejam. “Diracun, dimasukkan dalam karung lalu dipukul sampai mati, bahkan dibakar, dikuliti dan dimasak secara hidup-hidup. Sungguh kejam. Sangat kejam,” seru AFMI.

Mereka berharap, pemerintah menerapkan larangan lengkap tentang penjualan, penyelundupan, perdagangan dan konsumsi anjing dan kucing di seluruh Indonesia, dengan menegakkan KUHP 302 dan UU Perlindungan Hewan.

“Masyarakat yang modern butuh penegakkan UU Perlindungan Hewan. Kami juga mohon dukungan semua pecinta hewan dan suporter untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bisa membela diri sendiri,” ajak AFMI.


Miris… Satwa Dilindungi Makin Habis Karena Dikonsumsi was first posted on October 7, 2015 at 5:56 am.

Pengamat : Penurunan Emisi Dari Energi Dalam INDC Indonesia Belum Jelas. Kenapa?

$
0
0

Pemerintah Indonesia secara resmi telah menyampaikan komitmen untuk berkontribusi dalam penurunan emisi global pasca 2020 dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menjelang Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Paris, Perancis pada akhir November 2015 nanti.

Dalam INDC tersebut, Indonesia menyampaikan rencana penurunan emisi 29% dengan tahun dasar 2030 dari skenario business as usual (BAU) dan tambahan 12% dengan bantuan internasional.

Penurunan emisi tersebut ingin dicapai Indonesia dengan menekankan ketahanan iklim sebagai hasil dari program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif dan strategi pengurangan resiko bencana, dengan melakukan pembangunan rendah emisi negeri ini akan fokus pada sektor energi, pangan dan sumber daya air serta memperhatikan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Kincir angin menyuplai energi untuk kebutuhan energi listrik di daerah pesisir Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando

Kincir angin menyuplai energi untuk kebutuhan energi listrik di daerah pesisir Pantai Baru. Foto: Tommy Apriando

Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa melihat sebagai langkah awal, INDC Indonesia cukup baik. “Tetapi masih membutuhkan banyak perbaikan untuk menjadikan janji aksi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang jelas dan transparan,” kata.

IESR melihat dalam INDC Indonesia, ada beberapa kelemahan dalam aspek kejelasan dan transparansi dalam komponen mitigasi, antara lain mengenai prediksi emisi sesuai BAU yang disebutkan 2881 giga ton setara karbon (GtCO2-eq) pada 2030.

“Dokumen INDC tidak memberikan penjelasan proyeksi emisi dengan atau tanpa adanya INDC. Salah satu milestone yang perlu mendapatkan perhatian adalah keberhasilan Indonesia dalam menurunkan 26-41% emisi GRK dari BAU pada 2020 akan menentukan keberhasilan dalam menurunkan 29-41% emisi GRK pada 2030,” kata Fabby yang juga koordinator Climate Action Network South East Asia (CANSEA).

Pemerintah juga tidak menjelaskan bagaimaan niatan (intention) ini akan diterapkan/diimplementasikan untuk mencapai penurunan emisi yang ditargetkan pada tahun 2030.

“Naskah INDC Indonesia tidak memberikan informasi tentang jenis aksi mitigasi yang akan dilakukan dalam bentuk kebijakan atau proyek. Dalam draft INDC yang disiapkan oleh Bappenas, sejumlah aksi untuk ke-5 sektor (lahan, energi, industri, transportasi, dan limbah) dijabarkan dengan cukup rinci dalam bentuk skenario implementasi pada periode 2020-2030. Sayangnya, informasi ini tidak tercantum dalam naskah INDC Indonesia yang disampaikan kepada UNFCCC,” lanjutnya.

Khusus mengenai energi dalam sektor mitigasi di INDC, Fabby melihat ada dua hal yang ditekankan yaitu mendorong target pencapaian energi terbarukan (renewable energy) dalam rencana umum nasional Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan trajectory 23 persen dari bauran energi pada 2025 dan menjadi 25 persen pada 2030.

Selain energi bersih, INDC Indonesia juga menyebutkan mendorong konservasi dan efisiensi energi,  yang sudah dicanangkan pemerintah melalui KEN pada tahun 2025 – 2050.

“Akan tetapi pemerintah tidak menjelaskan dalam INDC, berapa persen dan bagaimana energi terbarukan serta konservasi dan efesiensi energi untuk mendukung pencapaian penurunan emisi. Target energi terbarukan didalam KEN harus dituangkan dalam implementasi rencana subsektor, misal penyediaan bahan bakar untuk pembangkitan listrik,” lanjut Fabby.

Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Pemerintah sendiri telah menargetkan untuk menambah kapasitas suplai energi sebesar 35.000 MW, termasuk pembangkitan listrik dari energi terbarukan.  Indonesia memang harus segera membangun pembangkit listrik dengan jumlah dan kapasitas besar, karena telah mengalami defisit energi listrik sekitar 15-18.000 MW dalam 10 tahun terakhir.

“Untuk mengejar kebutuhan energi sesuai RPJMN 2015-1019, konsumsi listrik diharapkan naik dari 700 kwh menjadi 1200 kwh per kapita per tahun. Ada kenaikan konsumsi listrik sekitar 50 persen dari saat ini, sehingga harus ada pembangunan pembangkitan listrik sekitar 50 persen dari kapasitas sekarang. Tapi apakah mungkin membangun itu dalam waktu 5 tahun ke depan,” tanya Fabby.

Ini menjadi tantangan berat pemerintah, karena dari pengalaman pembangunan pembangkis listrik dalam lima tahun terakhir hanya berkapasitas 12.000 MW.

“Sedangkan proyek listrik ini 35.000 MW, berarti dua kali lipat kapasitasnya. Ini tugas berat. Saya tidak terlalu yakin. Tetapi yang penting, dalam lima tahun ke depan adalah menyelesaikan berbagai PR yang selama ini mengganjal, seperti penyediaan lahan untuk pembangkitan dan transmisi. Karena lahan menjadi ganjalan utama dalam pembangunan infrastruktur,” kata Fabby yang juga Pemerhati Isu Energi Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Mengenai komitmen pemerintah untuk menggunakan sumber-sumber  energi terbarukan,  dia menegaskan pengembangan energi terbarukan menjadi keniscayaan, meski dalam RPJMN, target peningkatan bauran energi hanya 5 persen. Target pembangkitan listrik dari energi bersih tersebut setara dengan 45 Gigawatt,

“Kapasitas itu harus naik paling tidak lebih dari hampir 4 kali lipat dari kapasitas sekarang dalam 10 tahun mendatang termasuk setelah 2020. Pemerintah harus mendorong pengembangan energi terbarukan khususnya dari mikrohidro dan panas bumi,” pungkas Fabby.


Pengamat : Penurunan Emisi Dari Energi Dalam INDC Indonesia Belum Jelas. Kenapa? was first posted on October 7, 2015 at 8:04 am.

Penyelundupan Benih Lobster Bernilai Jutaan Dolar AS Berhasil Digagalkan

$
0
0

Upaya penyelundupan 320 ribu benih lobster berhasil digagalkan petugas bea cukai dan kepolisian Yogyakarta di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, Selasa (6/10/2015). Penyelundupan tersebut diperkirakan akan dikirim ke negara pengembangbiakan bibit lobster seperti Vietnam.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerangkan, 320 ribu bibit lobster tersebut bernilai sangat besar jika dikembangbiakan di alam dengan alami. Karenanya, sangat tepat jika penyelundupan itu digagalkan oleh petugas bea cukai dan kepolisian.

“Negara bisa mengalami kerugian besar dari penyelundupan ini. Kita tidak akan melarang ekspor lobster jika memang sudah layak untuk diekspor dan bernilai ekonomi tinggi. Kalau masih dalam bentuk bibit ya jangan lah,” tutur Susi.

Nelayan menunjukkan anakan lobster yang dibudidayakan di Pantai Sepanjang, Gunungkidul, Yogyakarta. Foto : Melati Kaye

Nelayan menunjukkan anakan lobster yang dibudidayakan di Pantai Sepanjang, Gunungkidul, Yogyakarta. Foto : Melati Kaye

Susi menyebutkan, dengan membiarkan bibit lobster diekspor, maka itu sama dengan membiarkan budidaya lobster akan terpuruk. Apalagi, negara seperti Vietnam memang sangat menunggu dikirimnya benih lobster untuk dikembangbiakan sendiri.

“Kalau Vietnam itu bisa mengembangbiakannya sendiri dan menjualnya kalau sudah siap. Nilainya akan berlipat-lipat. Kalau sudah besar, per ekor bisa mencapai Rp700 ribu sampai Rp1 juta,” sebut dia.

Susi membandingkan, jika 320 ribu ekor benih lobster tersebut diekspor, berapa kerugian negara yang akan muncul. Kata dia, dari 320 ribu ekor tersebut, 30 persen saja dikembalikan ke alam dan dibiarkan berkembang, maka nilainya akan mencapai sekitar USD6 juta.

“Ini yang tidak akan kita biarkan. Jangan sampai lobster jadi berharga sangat rendah. Penyelundupan-penyelundupan seperti ini akan terus terjadi dalam penerbangan-penerbangan yang transit di Singapura,” jelas dia.

Sementara, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Narmoko Prasmadji, mengungkapkan, aksi penyelundupan benih lobster dilakukan oleh eskportir nakal. Cara tersebut mirip seperti yang dilakukan di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

“Kita bersyukur penyelundupan ini berhasil digagalkan. Karena, memang akan sangat merugikan negara juga dan para petani lobster,” sebut dia.

Menurutnya, penyelundupan dari Yogyakarta tersebut diperkirakan akan dikirim ke negara-negara seperti Vietnam dan Hong Kong.”Tapi jelasnya masih belum tahu. Sekarang sedang didalami kasusnya lebih detil,” ungkap dia.

Karena tidak jadi diekspor, Narmoko menuturkan, benih lobster yang berjumlah 320 ribu ekor itu selanjutnya akan dikembalikan ke laut untuk dikembangbiakan dengan normal. Namun, dia enggan merinci dimana benih-benih lobster tersebut akan disebar di Yogyakarta.

Gaet Australia

Popularitas Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam memberantas pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, rupanya menarik perhatian Pemerintah Federal Australia. Negeri Kanguru itu sengaja datang ke Jakarta, Indonesia untuk menemui Susi Pudjiastuti.

Pertemuan yang digelar siang hari itu, membahas tentang penanganan pencurian ikan (illegal, unreported, unregulated/IUU Fishing) yang terjadi di wilayah perairan Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan kedua negara.

Menteri Susi Pudjiastuti seusai pertemuan mengatakan, kerja sama yang diresmikan dalam nota kesepahaman (MoU) itu dimaksudkan untuk meningkatkan pengawasan aksi IUU Fishing yang terjadi di wilayah perairan Indonesia, utamanya di kawasan timur yang berbatasan dengan Timor Leste dan Papua Nugini.

“Pertemuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama antara kedua negara dalam penanganan IUU Fishing. Kita menyadari bahwa aksi pencurian ikan akan terus ada selama pengawasan dan patroli tidak diilakukan,” ungkap Susi.

Secara keseluruhan, Susi mengungkapkan, kerja sama tersebut dilakukan untuk mengawasi aksi IUU Fishing di kawasan Asia Pasifik. Namun, karena Papua Nugini dan Timor Leste berbatasan langsung dengan Indonesia di bagian timur, maka pengawasan difokuskan disana.

Susi menjelaskan, kerja sama dengan Australia penting dilakukan, karena pengawasan kapal-kapal dan pelaku IUU Fishing tidak bisa dilakukan sendirian oleh Indonesia saja. Dengan melibatkan Australia, maka pengawasan di Indonesia bagian Timur, khususnya yang berbatasan dengan dua negara tersebut bisa lebih baik.

“Kerja sama ini sudah terbukti baik karena saat kita menangkap kapal Silver Sea, kita mendapat bantuan dari Australia berupa foto-foto. Tanpa mereka, kita tidak bisa melihat jelas seperti apa kapal tersebut,” ungkap dia.

“Kita ingin memastikan bahwa pencurian ikan tidak akan terjadi lagi di wilayah perairan Indonesia, khususnya yang berbatasan dengan Papua Nugini dan Timor Leste,” tambah dia.

Menteri Pertanian dan Sumber Daya Air Australia Barnaby Joyce MP mengaku sangat bangga bisa bekerja sama dengan Indonesia. Menurutnya, popularitas Susi Pudjiastuti di negaranya sangat tinggi dan itu membantunya untuk mengikat keja sama pengawalan patroli IUU Fishing di perairan perbatasan Timor Leste dan Papua Nugini.


Penyelundupan Benih Lobster Bernilai Jutaan Dolar AS Berhasil Digagalkan was first posted on October 8, 2015 at 3:00 am.

Wahh…. Ternyata Ada 16 Pulau Yang Sudah Dikelola Asing

$
0
0

Fakta mengejutkan terungkap ke publik tentang status kepemilikan 16 pulau beserta gugusannya yang ada di Indonesia saat ini. Ke-16 pulau tersebut, diketahui sudah dikuasai oleh orang asing sejak 2014. Fakta tersebut diungkap oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Adapun, 16 pulau yang kepemilikannya sudah berpindah tangan itu berlokasi di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat. Menurut KIARA, fakta tersebut sangat mengejutkan karena itu bertentangan dengan konstitusi, yakni Pasal 28 dan 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pulau Gee, Halmahera Timur, Maluku Utara. Pulau-pulau kecil ini dinaggap sebelah mata oleh pemerintah dan mungkin dianggap tak penting, hingga bisa begitu saja dieksploitasi hingga ludes, botak dan hancur lebur. Seakan, pulau ini hilang tak masalah yang penting sudah dikuras terlebih dahulu. Foto: AMAN Malut

Pulau Gee, Halmahera Timur, Maluku Utara. Pulau-pulau kecil ini dinaggap sebelah mata oleh pemerintah dan mungkin dianggap tak penting, hingga bisa begitu saja dieksploitasi hingga ludes, botak dan hancur lebur. Seakan, pulau ini hilang tak masalah yang penting sudah dikuras terlebih dahulu. Foto: AMAN Malut

Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim menjelaskan, dengan adanya fakta tersebut, semakin jelas bahwa praktek privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir pulau-pulau kecil masih terus berlangsung. Kondisi itu, sangat memprihatinkan jika melihat visi dan misi pemerintahan saat ini.

“Logika berpikir para pengambil kebijakan di Tanah Air tidak masuk akal. Menyandingkan penanaman modal asing dengan kepentingan nasional adalah bentuk kesesatan berpikir. Sebaliknya, kepentingan nasional akan dikebiri atas nama investasi,” ungkap Abdul Halim.

“Dalam konteks inilah, Menteri Kelautan dan Perikanan harus mengajukan upaya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di dalam Prolegnas 2016,” tambah dia menyebut nama Menteri KP Susi Pudjiastuti.

Menurut Abdul Halim, apa yang dilakukan Susi Pudjiastuti tersebut sudah tepat, karena pengelolaan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan sekitarnya harusnya mendapat izin dulu. Ketentuan tersebut, termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Di dalam UU tersebut, disebutkan kalau pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri dan itu tercantum dalam Pasal 26 A ayat 1.

“Ironisnya, juga disebutkan bahwa penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus mengutamakan kepentingan nasional,” demikian kata Abdul.

Dijelaskan dia, dari 16 pulau yang statusnya berpindah ke tangan orang asing, lima pulau kecil di antaranya sudah dikelola oleh investor sejak 2014 dengan nilai investasi totalnya mencapai Rp3,074 triliun. Kemudian, ada juga lima pulau yang akan direalisasikan pada 2015 dan 6 pulau lainnya dalam tahap penjajakan.

Pulau Potensial

Abdul Halim memaparkan, di dalam Nota Keuangan APBN 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan anggaran sebesar Rp6.726,0 miliar. Salah satu program kerja yang ingin dijalankan pada tahun 2015 adalah program pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

“Pengelolaan pulau kecil ini juga tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Menindaklanjuti mandat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mendaftar sekitar 100-300 pulau potensial dan ditawarkan kepada investor,” ungkap Abdul.

Pulau Pudut, pulau kecil di dekat Tanjung Benoa, yang menjadi incaran investor untuk direklamasi. Foto: Ni Komang Erviani

Pulau Pudut, pulau kecil di dekat Tanjung Benoa, yang menjadi incaran investor untuk direklamasi. Foto: Ni Komang Erviani

Pada tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp5 triliun atau sebesar Rp15.801,2 triliun. Salah satu program prioritas adalah pengembangan ekonomi di pulau-pulau kecil terluar. Indikator kinerja yang dipatok adalah jumlah pulau-pulau kecil terluar yang difasilitasi pengembangan ekonominya sebanyak 25 pulau.

“Munculnya Pasal 26A mempermudah penguasaan asing atas pulau-pulau kecil. Pasal 26A mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri,” papar Abdul.

Pada Pasal 26A ayat (4), terindikasi kuat adanya praktek jual-beli pulau oleh orang asing. Bahkan terdapat praktek di lapangan yang bertentangan, misalnya di Gili Sunut, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 109 keluarga tergusur karena investasi pulau kecil oleh PT Blue Ocean Resort asal Singapura. Sekali lagi, putusan hukum mengikat diabaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan

Bantahan Susi

Menteri Susi Pudjiastuti sempat memberikan bantahan terkait adanya pulau-pulau yang dikelola oleh pihak asing. Menurut pemilik maskapai perintis Susi Air itu, KKP sama sekali tidak berencana untuk menawarkan pengelolaan pulau-pulau kecil ke pihak asing.

“Namun, jika memang sudah ada (pulau-pulau) yang dikelola oleh orang asing, itu terjadi sebelum saya masuk ke KKP,” sebut Susi.

Menurut Susi, terjadinya pengelolaan oleh pihak asing, diharapkan tidak terjadi lagi di masa sekarang dan akan datang. Kendala utama yang masih terjadi, adalah karena KKP tidak memiliki wewenang untuk memiliki atau mengelola sebuah pulau.

“Pulau-pulau kecil itu milik pemerintah daerah. Jadi, kami tidak punya wewenang untuk menyewakan apalagi menjualnya,” pungkas dia.


Wahh…. Ternyata Ada 16 Pulau Yang Sudah Dikelola Asing was first posted on October 9, 2015 at 2:50 am.

Penggunaan Energi Indonesia Masih Boros, Perlu Roadmap Efisiensi Energi. Kenapa?

$
0
0

Pemerintah Indonesia berkeinginan serius untuk mengembangkan energi terbarukan dan energi bersih untuk pemenuhan kebutuhan energi nasional. Selain sudah ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), hal tersebut tertuang dalam dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang dikirimkan Pemerintah Indoensia kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menjelang Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Paris, Perancis pada akhir November 2015 nanti.

Dalam INDC itu, disebutkan Indonesia telah membuat KEN dengan target 23 persen energi dari energi terbarukan pada 2025 dan kebijakan pengembangan sumber energi bersih.

Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Pengamat energi Jon Respati mengatakan komitmen pemerintah tersebut perlu diperjelas dengan kebijakan dan peta jalan (roadmap) pengembangan sumber energi yang lebih terperinci. Meskipun sudah ada peta jalan pengembangan energi dalam KEN, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) bakal membuat peta jalan sumber energi yang lebih realistis.

“Banyak kalangan di METI dan masyarakat konservasi energi masih memperdebatkan target angka dalam KEN. Itu perlu penjabaran lebih detil. METI akan membuat semacam roadmap energi, bukan untuk menandingi KEN, tetapi berisi persentase energi yang bisa dicapai secara bottom up. Bagaimana target pencapaian 23 persen itu bisa dicapai,” kata Jon yang merupakan Dewan Pembina METI yang dihubungi Mongabay akhir minggu kemarin.

Roadmap Konsumsi Energi

Selain itu, Masyarakat Konservasi Dan Efisiensi Energi Indonesia (MASKEEI) akan membuat peta jalan kebutuhan (demand) pemakaian energi yang efisien dan optimal. Karena pemakaian energi di dalam negeri masih terkesan boros dan tidak efisien.

“MASKEEI akan membuat roadmap energi dari sisi demand, pemakaian energi yang efisien dan optimal terutama dari sumber energi konvensional, seperti fosil. Pemakaian energi efisien itu sangat penting, bahkan harus didahulukan sebelum melakukan investasi produksi energi,” kata Jon yang merupakan Ketua MASKEEI.

Peta jalan penggunaan energi tersebut menjadi penting apabila Indonesia ingin mengelola kebutuhan energi nasional, dan menuju negara yang efisien dalam menggunakan sumber-sumber energinya.

“Contoh sederhananya (dalam penggunaan energi yang efisien) kita mengganti lampu pijar menjadi lampu LED (light emitting diode). Itu sudah menghemat listrik. Dan menciptakan sumber dan suplai energi baru yang lebih efisien,” katanya.

Tidak hanya pola hidup yang sehat dan ramah lingkungan. Rumah pun ramah lingkungan, salah satu menggunakan kaca sebagai pencahayaan untuk meminimalisir penggunaan lampu. Foto: Tommy Apriando

Tidak hanya pola hidup yang sehat dan ramah lingkungan. Rumah pun ramah lingkungan, salah satu menggunakan kaca sebagai pencahayaan untuk meminimalisir penggunaan lampu. Foto: Tommy Apriando

Pola konsumsi energi di Indonesia memang belum efisien, karena belum didukung oleh standar peralatan elektronik dan perilaku masyarakat sebagai pengguna energi. Hal itu terlihat dari tiga segmen terbesar pengguna energi listrik yaitu industri, komersial (gedung, mall dan perkantoran), dan rumah tangga.

“Lampu bohlam pijar (yang boros listrik) masih banyak digunakan oleh masyarakat di daerah. Pemerintah punya data pengguna melalui asosiasi perlampuan. Minimal itu harus jadi baseline (penggunaan listrik rumah tangga). Juga peralatan elektronik, seperti pompa air,” kata Direktur Academy for Clean Energy and Sustainability (ACES) Universitas Surya itu.

Untuk meningkatkan penggunaan efisiensi energi, perlu digalakkan standar maximum energi performance (MEP) berbagai peralatan listrik. “MEP sudah diterapkan dalam produk televisi. MEP akan diterapkan dalam produk AC (mesin pengatur suhu). Sekarang sedang digodok MEP untuk elektro machine seperti pompa air,” katanya.

Sedangkan untuk industri, efisiensi energi listrik dilakukan dengan pendekatan model bisnis efisiensi konsumsi energi yang menghemat ongkos produksi.  Jon menjelaskan ada perusahaan konsultan ESCO, energy sources company yang datang ke pabrik pengguna energi besar. Mereka menawarkan penurunan pemakaian energi degan audit energi dan proyek untuk mengefisienkannya

Jon menjelaskan untuk menuju negara yang hemat energi, memang perlu mengkampanyekan perubahan perilaku masyarakat dalam menggunakan energi. Pemerintah sendiri bakal mengkampanyekan hal tersebut.

“Sebetulnya pemerintah akan mencanangkan (kampanye hemat energi) pada peringatan hari energi (hari ulang tahun Kementerian ESDM, 28 September). Tetapi rencana itu ditunda sampai November, karena jadwa Presiden Jokowi yang klop,” jelasnya.

Tetapi yang paling penting, tambah Jon, bagaimana pemerintah dapat mendorong dan meningkatkan animo masyarakat dalam melaksanakan budaya efisiensi energi secara nasional.


Penggunaan Energi Indonesia Masih Boros, Perlu Roadmap Efisiensi Energi. Kenapa? was first posted on October 9, 2015 at 6:14 am.

Diskanla, BPSPL dan LSM Buleleng Adakan Pelatihan Penanganan Mamalia laut Terdampar

$
0
0

Perairan Indonesia khususnya perairan laut Buleleng merupakan salah satu habitat dan jalur migrasi berbagai jenis spesies mamalia dari bangsa cetacea (paus dan lumba-lumba).

Dua jenis mamalia laut ini merupakan satwa dilindungi karena populasinya yang makin sedikit dan punah karena berbagai sebab seperti perburuan.  Dalam migrasinya, paus dan lumba-lumba sering terdampar di pesisir pantai, dan pernah terjadi di perairan Indonesia.

Untuk memberi pemahaman dan cara penanganan mamaliat laut yang terdampar di pesisir pantai, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali didukung Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kabupaten Buleleng dan Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, bekerjasama dengan Nusa Dua Reef Foundation (NDRF) melakukan kegiatan sosialisasi dan fasilitasi pemanfaatan spesies ikan terancam punah / pelatihan penanganan mamalia laut terdampar, pada 7 –  8 Oktober 2015.

Pelatihan mamalia laut terdampar yang diselenggarakan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali, Diskanla Kabupaten Buleleng dan BPSPL Denpasar, bekerjasama dengan Nusa Dua Reef Foundation (NDRF) di Buleleng, Bali, pada 7 -  8 Oktober 2015. Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan Bali

Pelatihan mamalia laut terdampar yang diselenggarakan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali, Diskanla Kabupaten Buleleng dan BPSPL Denpasar, bekerjasama dengan Nusa Dua Reef Foundation (NDRF) di Buleleng, Bali, pada 7 – 8 Oktober 2015. Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan Bali

Menurut Kepala dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, I Made Gunaja, kegiatan merupakan kegatan sebagai upaya bersama dalam memberikan sosialisasi tentang rencana pemanfaatan jenis ikan yang terancam punah, langka, endemik dan dilindungi di wilayah perairan Bali Utara.

‘’Melalui fasilitator lapangan akan memberikan cara-cara penanganan mamalia laut (lumba-lumba,red) yang merupakan salah satu jenis ikan yang terancam punah dan dilindungi di perairan ini,’’ jelasnya.

Karena itu, lanjutnya, untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi mamalia laut atau spesies ikan yang terancam punah lainnya untuk dapat hidup kembali di alam bebas dan menjaga kesinambungan spesies dimaksud, maka diperlukan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat, aparatur dan stakeholder terkait lainnya.

‘’Tentang  langkah-langkah apa yang harus mereka lakukan untuk mengurangi tingkat kematian spesies biota perairan atau mamalia laut terdampar jika terjadi di wilayah perairan laut mereka’’ kata Made.

Simulai dalam pelatihan mamalia laut terdampar yang diselenggarakan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali, Diskanla Kabupaten Buleleng dan BPSPL Denpasar, bekerjasama dengan Nusa Dua Reef Foundation (NDRF) di Buleleng, Bali, pada 7 -  8 Oktober 2015. Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan Bali

Simulai dalam pelatihan mamalia laut terdampar yang diselenggarakan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali, Diskanla Kabupaten Buleleng dan BPSPL Denpasar, bekerjasama dengan Nusa Dua Reef Foundation (NDRF) di Buleleng, Bali, pada 7 – 8 Oktober 2015. Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan Bali

Kegiatan tersebut diikuti 13 peserta perwakilan dari Diskanla Kab. Buleleng, aparatur desa Kaliasem dan Kalibukbuk, pelaku wisata lumba-lumba yang ada di Kawasan lovina, Kelompok Nelayan Kalibukbuk dan Kaliasem serta Pokmaswas di wilayah Pacung dan Bondalem.

Paus dan lumba lumba merupakan hewan aquatik yang sering terdampar di pantai-pantai di Indonesia. Meski belum diketahui secara pasti, penyebabnya diduga karena penggunaan sonar bawah laut dan polusi suara (seismik) yang mengganggu sistem navigasi satwa tersebut, perburuan mangsa (makanan) sampai ke perairan dangkal, karena terluka ataupun sakit.

Kejadian mamalia terdampar di perairan Indonesia cukup sering terjadi. Luasnya perairan, minimnya pengetahuan masyarakat dan pemerintah daerah tentang mekanisme penanganan mamalia terdampar, kurangnya koordinasi antar lembaga terkait mempengaruhi kecepatan dan ketepatan upaya penanganannya, sering kali menyebabkan kematian spesies mamalia laut tersebut.


Diskanla, BPSPL dan LSM Buleleng Adakan Pelatihan Penanganan Mamalia laut Terdampar was first posted on October 10, 2015 at 5:20 am.

Mongabay Travel : Asyiknya Bermain Sekaligus Konservasi Di Tebing Padalarang

$
0
0

Matahari mulai bersinar di ufuk timur, menerangi kawasan tebing karst yang berdiri kokoh sepanjang Kecamatan Padalarang hingga Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Hamparan dasar laut yang muncul ke permukaan bumi jutaan tahun lalu, kini membentuk deretan perbukitan kapur  yang begitu mempesona dipandang mata.

Gunung Hawu merupakan salah satu tebing kapur yang masuk wilayah karst Citatah, memiliki luas sekitar satu hektare. Tetapi ironisnya, keindahan gunung kapur itu sedang menuju kerusakan karena penambangan kapur yang masif.

Hal itulah yang  sedang dikampanyekan oleh Suku Badot, sebuah komunitas pelestari lingkungan setempat, untuk menyelamatkan Gunung Hawu dari gemuruh industri batu kapur yang semakin marak.

Alat berat yang digunakan untuk aktivitas penambangan karts yang beroperasi di kawasan Gunung Hawu, Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat. Keberadaan pertambangan tersebut mengganggu ekosistem di kawasan tersebut.Foto : Bayu Aulia/Perimatrik Mapala Telkom

Alat berat yang digunakan untuk aktivitas penambangan karts yang beroperasi di kawasan Gunung Hawu, Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat. Keberadaan pertambangan tersebut mengganggu ekosistem di kawasan tersebut.Foto : Bayu Aulia/Perimatrik Mapala Telkom

Yoga (27), salah satu dari sembilan pelopor terbentuknya komunitas Suku Badot yang peduli terhadap konservasi lingkungan. Sejak terbentuk tahun 2013 lalu, Suku Badot tidak hanya melakukan kegiatan konservasi lingkungan saja, tetapi juga mengemban misi yaitu save taman bermain dan ruang terbuka hijau dikawasan tersebut.

Ketika ditemui Mongabay di Gunung Hawu di Kampung Cidadap, Padalarang, Bandung Barat, pada Sabtu (03/10/2015), Yoga  mengatakan  pertambangan tersebut bermula sejak tahun 1970-an dimulai dari pertambangan tradisional hingga akhirnya menjadi pertambangan modern sekarang ini.

Padahal menurut peneliti, kawasan karst di Padalarang memiliki keistimewaan yakni adanya jembatan alami (natural bridge) yang terjadi akibat proses terbentuknya gua vertikal di Gunung Hawu dengan nama Goa Karang Hawu. Di belahan dunia lain juga terdapat natural bridge yang berada di Amerika , seperti natural bridge Virginia dan Arches National Monument di Utah.

“Kepedulian kami diuji tatkala dihadapkan dengan pesoalan ekonomi warga sekitar yang menggantungkan hidupnya pada pertambangan batu kapur. Kami menyadari bahwa tidak bisa begitu saja menghentingkan pertambangan tanpa diimbangi solusi kongkrit. Harus adanya campur tangan semua pihak disini dan pasti akan menjadi persoalan yang pelik. Maka dari itu kami bertekad dan berupaya semampu kami akan terus melakukan konservasi dan berkegiatan alam bebas di Gunung Hawu untuk melestarikan  lingkungan sekitar demi keseimbangan ekosistem,” kata Yoga pria berambut panjang itu.

Seorang pemanjat melakukan pemanjatan di tebing gua di citatah, Padalarang, Kab. Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (02/10/2015), dengan latar belakang pabrik - pabrik besar yang mengolah marmer dan bahan komestik dari kapur yang ditambang dari Kawasan Karst Citatah. Foto : Donny Iqbal

Seorang pemanjat melakukan pemanjatan di tebing gua di citatah, Padalarang, Kab. Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (02/10/2015), dengan latar belakang pabrik – pabrik besar yang mengolah marmer dan bahan komestik dari kapur yang ditambang dari Kawasan Karst Citatah. Foto : Donny Iqbal

Konservasi lingkungan yang dilakukan Wardo sapaan akrab Yoga itu dimulai sejak 2013. Meskipun berkegiatan di lahan tidur milik pemerintah,t ak menyurutkan niat komunitas Suku Badot untuk terus melakukan kegiatan outdoor activity sebagai kegiatan rutin setiap akhir pekan.

Sungguh menjadi ironi memang ketika disekitaran Gunung Hawu terdapat tambang – tambang batu kapur yang beroperasi hampir setiap hari. Menurut Wardo terdapat 30 penambangan liar dan 11 penambangan yang mengantongi izin dikawasan karst tersebut.

Selama 2 tahun, Suku Badot bergelut dengan kemustahilan seperti dugaan banyak orang akan usahanya yang lambat laut akan memudar juga. Salah satu strategi Wardo dalam melakukan sosialisasi kawasan tersebut yaitu dengan menggaet beberapa mahasiswa pencinta alam diantaranya Perikmatrik Universitas Telkom, Mahapeka UIN Bandung dan beberapa kampus lainya se- Bandung Raya.

Harapan dari usahanya yang ditempuh  Wardo dan komunitas lainnya yakni demi mempertahankan kawasan Gunung Hawu  agar tak tergerus oleh aktivitas pertambangan batu kapur yang tidak mempedulikan kaidah konservasi.

“ Adanya Suku Badot memang tidak menyebabkan perubahan apapun. Namun, indikator keberhasilan kami adalah dengan banyaknya orang yang berkunjung ke sini, banyak juga orang yang nanti  sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam, demi keseimbangan yang berkelanjutan” ujar wardo.

Kegiatan alam bebas

Panjat Tebing (rock climbing) merupakan salah satu dari sekian banyak olah raga alam bebas yang disuguhkan di Gunung Hawu. Untuk melakukanya dibutuhkan skill khusus yaitu teknik – teknik pemanjatan yang kemudian ditunjang dengan peralatan khusus.

Seorang pemuda sedang melakukan pemanjatan di tebing Hawu, Padalarang,Kab.Bandung Barat, Jawa Barat, pada Minggu (03/10/2015). Tebing setinggi 70 meter sering dijadikan objek pendakian bagi para penggiat alam yang menyukai hobi panjat tebing. Foto : Donny Iqbal

Seorang pemuda sedang melakukan pemanjatan di tebing Hawu, Padalarang,Kab.Bandung Barat, Jawa Barat, pada Minggu (03/10/2015). Tebing setinggi 70 meter sering dijadikan objek pendakian bagi para penggiat alam yang menyukai hobi panjat tebing. Foto : Donny Iqbal

Wardo mengatakan panjat tebing merupakan salah satu olah raga terlengkap. Pasalnya dibutuhkan kejelian berpikir untuk mencari jalur yang akan dilalui. Tidak hanya menuntut kejelian otak saja, diperlukan pula fisik yang prima untuk melakukan pendakian atau pemanjatan sampai top. Untuk bisa menikmati sensasi melakukan panjat tebing ini, dikenakan biaya yang cukup terjangkau yaitu cukup dengan mengeluarkan uang sebesar Rp. 100 ribu dengan fasilitas manjat yang aman dan dijamin anti mainstream.

Seorang pengunjung berfoto berlatar belakang orang yang sedang melakukan high line di kawasan tebing Hawu, Padalarang,Kab.Bandung Barat, Jawa Barat. Foto : Yoga/Komunitas Suku Badot

Seorang pengunjung berfoto berlatar belakang orang yang sedang melakukan high line di kawasan tebing Hawu, Padalarang,Kab.Bandung Barat, Jawa Barat. Foto : Yoga/Komunitas Suku Badot

Wardo mengatakan outdoor activity  yang menjadi daya tarik Gunung Hawu lainya yaitu high line. Olahraga ekstrim ini dilakukan dengan cara berjalan diatas tali yang disambungkan dari ujung tebing satu ke tebing lainya.  Dengan ketinggian 50 meter diatas tanah olahraga ini sudah bisa bikin ciut nyali dan memacu adrenalin.  Sementara itu Komunitas yang langganan melakukan high line adalah Pushing Panda dan Skygers.

Selain itu, bermalam di atas tebing menggunakan hammock (ayunan yang terbuat dan dirancang dari kain/jaring khusus) menjadi sensasi tersendiri bagi para penikmat kegiatan luar ruang. Hammocking merupakan adaptasi dari masyarakat Suku Maya di Amerika Latin dimana mereka membuat hammock dari bahan alami yang berasal dari akar dan kulit pepohonan agar terlindung dari ancaman binatang buas.

Seiring waktu, hammocking digandrungi banyak orang karena konsep leave no trash (tidak membuat sampah) sebagai etika berkegiatan di alam. Demikian dengan teknisnya, hammocking harus mengedepankan keamanan (safety first). Beberapa alat seperti harnest, carabiner, tali prusik dan webbing merupakan alat yang wajib menyertai kegiatan hammocking.

Tidak perlu khawatir apabila tidak meiliki peralatan tersebut. Pasalnya Suku Badot menyediakan paket bermalam hammocking senilai Rp125 ribu per malam. Jika sedang beruntung kita dapat menikmati malam dengan beratapkan miliaran bintang yang tak beraturan di langit – langit  Hawu.

Ketika matahari kian meninggi, Wardo dengan cekatan memasang instalasi pengaman di tebing yang dianggap cocok untuk bergelantungan tanpa mengidahkan terik matahari yang mengigit kulit. Waktu pun menunjukan pukul 15.00 WIB kala itu, ketika 6 hammock sudah terpasang rapih.

Seorang pengunjung duduk di hammock yang terpasang rapi ditebing Hawu. Pengunjung bisa bermalam disana untuk mencoba sensasi tidur diatas ketinggian. Foto : Yoga/Komunitas Suku Badot

Seorang pengunjung duduk di hammock yang terpasang rapi ditebing Hawu. Pengunjung bisa bermalam disana untuk mencoba sensasi tidur diatas ketinggian. Foto : Yoga/Komunitas Suku Badot

Menjadi kanak – kanak kembali

Hembusan angin sore menerpa tubuh. Memulihkan ingatan masa lalu saat alam kini sudah tak lagi semesra dulu.  Tak ada kicauan burung sore itu yang biasanya bergema diantara tebing – tebing karst kawasan Padalarang, hanya sesekali kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) menampak diri di atas tebing. Bahkan kawanan tersebut tak segan turun dan menghampiri kumpulan manusia saat lapar mendera perutnya.

Rupanya waktu itu bertepatan dengan acara ngopi senja. Acara yang  diselenggarakan Suku Badot setiap sebulan sekali yang ditandai dengan dibagikanya selembaran bulletin berisi mandat pelestarian lingkungan. Wardo menuturkan agenda acara ini diperuntukan untuk para pencinta kopi sebagai memperkenalkan kopi khas Indonesia yang diracik sendiri. Yang menarik disini tersajinya diskusi asyik berdurasi 30 menit membahas tentang permasalah hutan yang beralih fungsi, gunung – gunung yang dikomersilkan, udara yang terkena polusi industri dan air yang tercemar limbah.

Letak Gunung Hawu yang jauh dari bisingnya perkotaan menyebabkan kami sedikit bisa bernafas lega dari hiruk – pikuk kesibukan rutinitas yang tak tahu kapan harus jeda. Mungkin waktu itu Mongabay bersama pengunjung Hawu lainnya menjadi populasi kecil manusia yang mendadak suka kopi Indonesia.

“ Disini bebas, jangan malu untuk bernostalgia menjadi kanak – kanak kembali, walapun memang perlu kedewasaan lebih untuk melakukannya” kata Wardo.

Seorang pengunjung sedang mencoba permainan tradisional egrang di Kawasan Hawu, Padalarang,Kab.Bandung Barat, Jawa Barat. Permainan tersebut coba disosialisasikan kembali oleh Suku Badot agar tidak punah oleh permainan modern. Foto : Yoga/Komunitas Suku Badot

Seorang pengunjung sedang mencoba permainan tradisional egrang di Kawasan Hawu, Padalarang,Kab.Bandung Barat, Jawa Barat. Permainan tersebut coba disosialisasikan kembali oleh Suku Badot agar tidak punah oleh permainan modern. Foto : Yoga/Komunitas Suku Badot

Suku Badot memiliki program sosial yaitu menghidupkan kembali permainan –  permainan tradisional Jawa barat. Egrang merupakan permainan bambu, cara bermainya yaitu bambu yang sama panjang kemudian diberi pijakan dengan jarak tertentu. Permainan ini cukup popular dikalangan anak – anak pada saat musim panen tiba. Diperlukan keahlian untuk mengatur keseimbangan agar bisa berdiri menggunkan egrang.

Wardo mengatakan bermain layang – layang pun menjadi salah satu permainan yang dilakukan di Gunung hawu. Keprihatinannya muncul saat anak usia dini tidak mau lagi berinteraksi bersama teman sebayanya. Mereka lebih memilih permainan modern yang kurang memberikan ruang interaksi. Padahal, hematnya game online  berpengaruh terhadap psikologi dan perkembangan anak tersebut.

Orang dewasa dan anak - anak menunjukan hasil kreasinya membuat dan menghiasi layang - layang yang nantinya akan mengudara dikawasan Gunung Hawu, Padalarang, Kab. Bandung Barat, Jawa Barat. foto : Komunitas Suku Badot

Orang dewasa dan anak – anak menunjukan hasil kreasinya membuat dan menghiasi layang – layang yang nantinya akan mengudara dikawasan Gunung Hawu, Padalarang, Kab. Bandung Barat, Jawa Barat. foto : Komunitas Suku Badot

Gunung Hawu adalah sebuah miniatur kawasan yang keberadaanya ingin dilestarikan. Eksploitasi alam seyogyanya harus dilandasi  hati nurani, bukan kepentingan pribadi. Mau sampai kapan manusia akan terbelenggu euforia kemajuan zaman yang sebetulnya kebahagian semu tanpa ada aksi nyata. Mau sampai apatisme ini terhadap lingkungan terbelenggu dalam jiwa.  Aksi tanpa teori adalah anarki, teori tanpa aksi adalah omong kosong. Mari mulai dari kita!


Mongabay Travel : Asyiknya Bermain Sekaligus Konservasi Di Tebing Padalarang was first posted on October 11, 2015 at 8:50 am.

Beginilah Nasib Kima Di Takabonerate

$
0
0

Taman Nasional (TN) Laut Takabonerate yang berada di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, sebagai kawasan atol ketiga terbesar ketiga di dunia, seluas 200 ribu hektar lebih, dikenal memiliki kerang kima terlengkap di Indonesia. Dari tujuh spesies yang ada di Indonesia, seluruhnya bisa ditemukan di kawasan ini.

Kini, populasinya semakin berkurang karena aktivitas berlebihan warga untuk konsumsi dan dikomersilkan.

Kima (Tridacna) adalah  genus  kerang-kerangan berukuran besar penghuni perairan laut hangat. Kima termasuk dalam famili Trinacdiae. Di seluruh dunia saat ini dikenal 9 jenis kima.

Tujuh jenis yang ada di Indonesia antara lain Tridacna gigas, T. derasa, T. squamosa, T. maxima, T. crocea, T. Crocea, Hippopus hippopus, dan H. Porcellanus.  Kedua spesies lainnya adalah Tridacna tevoroa dan Tridacna rosewateri. Selama ini, T. tevoroa hanya ditemukan di Kepulauan Fiji dan Tonga di Pasifik, sementara T. rosewateri hanya ditemukan di Mauritius dan Madagaskar.

Meski dikenal memiliki spesies kerang kima yang lengkap di Taman Nasonal Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan, populasi kerang raksasa ini mulai berkurang seiring dengan meningkatnya aktivitas pengambilan dari warga untuk keperluan konsumsi dan komersil. Meski demikian, sejumlah penyelam masih dapat menemukan keberadaan kerang kima ini di spot-spot tertentu. Foto: Syamsu Rizal

Meski dikenal memiliki spesies kerang kima yang lengkap di Taman Nasonal Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan, populasi kerang raksasa ini mulai berkurang seiring dengan meningkatnya aktivitas pengambilan dari warga untuk keperluan konsumsi dan komersil. Meski demikian, sejumlah penyelam masih dapat menemukan keberadaan kerang kima ini di spot-spot tertentu. Foto: Syamsu Rizal

Meski belum bisa dipastikan, kedua jenis kerang kima lainnya ini, sebenarnya diperkirakan juga berada di Indonesia, dimana sempat ditemukan dan diidentifikasi oleh kelompok swadaya Konservasi Taman Laut Kima Toli-Toli di Kecamatan Lalonggasumeeto, Konawe, Sulawesi Tenggara pada 2011 silam.

Kima umumnya hidup di terumbu karang, menancap di antara ka­rang hidup dengan bagian yang terbuka (dorsal)  ke atas sehingga permukaan da­ging mantel sering nampak berwarna hijau-biru atau kuning-coklat indah.

Menurut Ronald Yusuf, salah seorang staf TN Takabonerate, sebagian besar pengambilan kerang kima di Takabonerate dilakukan oleh nelayan sekitar untuk kebutuhan konsumsi. Ada keyakinan yang berkembang di masyarakat Bajo bahwa biota laut ini memiliki khasiat tertentu bagi kesehatan.

“Ada keyakinan warga, khususnya dari suku Bajo bahwa makan daging kima bisa memperbanyak air susu bagi ibu-bu yang baru melahirkan. Daging kima, yang memang enak ini juga telah menjadi makanan wajib untuk disajikan di pesta-pesta sunatan atau perkawinan,” ungkap Ronald, awal September 2015 silam, di Pulau Tinabo, Selayar.

Daging kima juga banyak diperjualbelikan di luar dan tidak hanya pada dagingnya, tapi juga cangkangnya yang biasa digunakan untuk hiasan-hiasan, seperti asbak, hiasan aquarium dan aneka aksesoris lainnya.

Di antara kima yang paling langka adalah kima raksasa (Tridacna gigas). Di Takabonerate sendiri jenis ini masih ditemukan, meski jumlahnya semakin berkurang. T. gigas yang juga dikenal dengan nama wawat ini dapat mencapai ukuran panjang 137 cm dan berat 230 kg. Bahkan konon ada yang bisa mencapai panjang 2 meter. Kima dengan ukuran 100 cm diperkirakan telah hidup mencapai 100 tahun.

“Kima raksasa ini yang paling rentan untuk diambil nelayan karena bentuknya yang besar sehingga mudah menarik perhatian nelayan. Paling besar bahkan bisa mencapai 2 meter lebih meter,” tambah Ronald.

Satwa dilindungi

Larangan pengambilan kerang kima ini sendiri sebenarnya sudah lama diberlakukan Takabonerate, tepatnya sejak tahun 1999, sejak terbitnya Peraturan Pemerintah No.7/1999 terkait jenis-jenis biota yang dlindungi, dimana 7 jenis kerang kima termasuk di dalamnya.

Aturan yang lebih dulu juga sebenarnya ada, yaitu SK Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Undang-undang No.5/1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyebutkan kima sebagai salah satu biota laut yang wajib dilindungi.

Anakan kima (Tridacna sp) dalam fasilitas nursery di Coral and Kima Garden, Nusa Dua, Bali.  Sekitar 1000 anakan kima direncanakan disebar di kawasan perairan Nusa Dua sebagai usaha restorasi perairan tersebut. Foto : Syafyudin Yusuf/NDRF

Anakan kima (Tridacna sp) dalam fasilitas nursery di Coral and Kima Garden, Nusa Dua, Bali. Sekitar 1000 anakan kima direncanakan disebar di kawasan perairan Nusa Dua sebagai usaha restorasi perairan tersebut. Foto : Syafyudin Yusuf/NDRF

“Tapi memang kita tidak bisa mengawasi semuanya, meski berbagai upaya-upaya telah kami lakukan.”

Penetapan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa populasi kima di alam sudah sangat menurun terutama disebabkan pemanfaatan manusia.

Secara global kampanye perlindungan kerang kima ini dimulai sejak awal tahun 1990-an, dimana seluruh jenis kima yang ada dimasukkan ke dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau Konvensi Internasional tentang Perdagangan Flora dan Fauna Langka, dan sebagai biota yang dilindungi oleh Organisasi Perlindungan Satwa Internasional (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources/ IUCN).

Keberadaan kerang kima sendiri, menurut Ronald, penting karena terkait keberlangsungan biota lain yang ada di sekitarnya.

“Kima itu setelah makan biasanya akan memuntahkan sisa-sisa makanannya yang kemudian bisa menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan yang ada di sekitarnya. Kima memberikan peran penting bagi ekologi terumbu karang seperti sebagai tempat memijah untuk berbagai organisme karang lainnya.”

Secara ekologis kima adalah hewan yang bertugas untuk menyaring air. Adanya kima menjadi penanda bahwa perairan tersebut masih baik dan tidak adanya bahan pencemar.

Kima mengambil makanan dengan cara membuka cangkang, lalu mulutnya berupa shipon akan menyedot air, menyaringnya lalu membuangnya. “Inilah mengapa kima menjadi bagian penting dari ekologi dalam menjaga kebersihan perairan,” jelas Ronald.

Selama ini, selain melakukan patroli, pihak TN juga melakukan pengecekan ke perahu-perahu nelayan serta sosialisasi langsung ke masyarakat, baik terkait jenis-jenis biota yang tak boleh ditangkap ataupun alat tangkap yang diperkenankan.

“Pada kenyataannya, masyarakat secara sembunyi-sembunyi masih melakukan pengambilan kima secara berlebihan. Nelayan bisa mengambil biota unik ini dengan cara mencongkelnya dengan benda tajam.”

Penyebab lain penyebab semakin berkurangnya populasi kima adalah pada tingginya penggunaan bom ikan dan kompresor, tidak hanya merusak kerang kima tapi juga pada rusaknya terumbu karang yang ada di sekitarnya.

Fenomena berkurangnya Kima ini menurut, Kamaruddin Azis, peneliti dari COMMIT, sebenarnya terjadi di mana-mana. Di beberapa daerah, seperti perairan Makassar, kima bahkan hampir tak bisa ditemukan lagi.

“Kalau di Takabonerate ini masih agak banyak ditemukan dibanding tempat lain selain karena memang sudah ada pengawasan dan proteksi, juga karena kawasan ini memang luas. Saya melihat di Takabonerate adanya kecenderungan sudah semakin bertambah, di tempat lain bahkan sudah mulai menghilang sama sekali,” katanya.

Pihak Takabonerate ini sendiri tidak memiliki data jumlah yang pasti tentang populasi kerang raksasa ini. Kesulitannya pada tak adanya data awal yang pasti serta tidak adanya alat ukur yang pasti bisa digunakan.

“Selama ini kami dapat informasi dari nelayan sendiri ataupun dari penyelam bahwa populasinya memang sudah berkurang, tidak seperti dulu lagi.

Menurutnya, tingkat kerusakan terumbu karang dan lokasi dimana kima semakin berkurang umumnya berada di sekitar pulau-pulau berpenghuni, seperti  di Pulau Rajuni.

“Di awal-awal saya datang ke Pulau Rajuni sekitar tahun 2000, masih banyak kima yang bisa saya temukan, terumbu karang pun masih sangat bagus. Kini tinggal 20 persen saja yang tersisa.”

Seorang penyelam sedang mengamati terumbu karang buatan yang ditanam di perairan Nusa Dua, Bali.  Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

Seorang penyelam sedang mengamati terumbu karang buatan yang ditanam di perairan Nusa Dua, Bali. Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

Cara paling efektif untuk mengukur trend kerang kima ini, menurut Ronald, sebenarnya bisa dilakukan melalui pencatatan hasil tangkapan masyarakat di pasar-pasar tradisional di sekitar pulau.

Hanya sayangnya, tak ada pasar di sekitar Takabonerate, dimana nelayan selesai mengambil kerang langsung dibawa ke luar.  “Ini yang tidak bisa kita deteksi,” tambahnya.

Bernilai ekonomis tinggi

Perburuan kerang kima sebenarnya telah berlangsung lama dan terjadi di banyak negara perairan lainnya, sebagaimana dikatakan Andi Baso Tancung, seorang peneliti kelautan, dalam opininya di media Fajar.

Menurut Baso, di Jepang, khususnya di Okinawa, daging kima dari spesies berukuran kecil, seperti Tridacna crocea dan T. maxima dibuat sushi dan sashimi. Sedangkan otot adduktor dari T. squamosa dan Hippopus hippopus dimakan mentah setelah diberi garam atau dikeringkan dan dijual dengan harga yang cukup tinggi.

“Di negara lain, seperti di Taiwan, Hongkong, Cina dan di Amerika Serikat, otot adduktor kima yang dijual dalam keadaan kering memiliki harga yang lebih tinggi daripada cumi-cumi dan sotong kering,” katanya.

Otot adduktor kima ini, tambah Baso, merupakan primadona tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an di Jepang, Cina, Taiwan, dan Singapura. Negara-negara tersebut diperkirakan sebagai pengimpor daging kima yang cukup besar. Diperkirakan kebutuhan otot adduktor kima di Taiwan saat itu sekitar 30 ton pertahun.

“Dapatlah diperkirakan berapa banyak kima yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal dalam seluruh daging kima hanya mengandung 15-20 persen otot adduktor. Sementara satu otot adduktor yang berukuran 200-300 gram memiliki potensi pasar yang paling tinggi dibanding 100-200 gram.”

Taman Kima di Pulau Tinabo

Semakin langkanya kerang kima di Takabonerate ini ternyata telah menjadi kekhawatiran pihak taman nasional. Konservasi kima telah lama dilakukan, namun mulai intens sejak setahun terakhir. Puncaknya pada awal 2015 lalu dimana mereka menginisiasi lahirnya taman kima di perairan Pulau Tinabo.

“Ini bentuk konservasi, penyelamatan spesies yang diambil oleh masyarakat serta sebagai media edukasi sekaligus wisata bawah air,” ungkap Akhmadi, staf TN Takabonerate lainnya.

Sebelumnya, sepanjang tahun 2012-2103 telah merelokasi sebanyak 800 kima yang disita dari warga utuk dikembalikan ke habitatnya.


Beginilah Nasib Kima Di Takabonerate was first posted on October 12, 2015 at 1:30 am.

Macan Tutul Turun ke Kawasan Wisata Kawah Putih. Ada Apa?

$
0
0

Seekor anak macan tutul (Panthera pardus) ditemukan berada di sekitar kawasan wisata Kawah putih Bandung, pada Minggu (11/10/15). Kepala sesi III BKSDA Jabar Siswoyo kepada Mongabay melalu sambungan telepon mengatakan, ia mendapatkan informasi dari masyarakat sekitar tentang keberadaan anakan macan tutul pada pukul 07.15. Saat itu ia memang sedang ada acara di dekat lokasi. Tepat di daerah Cimanggu, tak jauh dari kawasan Kawah Putih.

“Kami segera menuju lokasi bersama Polsek, beberapa dokter hewan juga kami datangkan untuk mengecek kesehatan. Awalnya kami membawa kerangka untuk mengevakuasi macan. Saat ke lokasi, memang terlihat ada satu anakan macan tutul di bawah gubuk kandang ayam. Mungkin ia tertidur akibat kekenyangan. Jadi kami pantau dari dekat. Macan tak kami tangkap,” paparnya.

Lokasi keberadaan macan tutul anakan itu berada di 150 meter sebelah kanan, setelah pintu masuk kawasan wisata Kawah Putih.

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia

Dari pantauan tim gabungan, kondisi macan tutul itu terlihat sehat. Tak ada luka dan cacat di tubuhnya. Tim menunggu beberapa saat sampai macan tutul anakan itu terbangun. Karena waktu sudah siang, macan tutul itu juga tak bisa keluar. Informasi yang didapat, macan tutul itu sempat memakan seekor ayam milik warga.

“Dokter hewan menyarankan agar macan tutul anakan itu tak dibius. Sebab kondisinya juga terlihat sehat. Jadi kami amati saja dari luar,” paparnya.

Saat itu, masyarakat sudah mulai berkerumun. Namun ia segera menghimbau agar masyarakat menjauhi lokasi. Sebab, jika terus dibiarkan macan tutul itu bisa stress.

Tak jauh dari lokasi anakan macan tutul itu, tim juga melihat ada seekor macan tutul dewasa bersama satu anakannya. Jaraknya sekitar 50 meter dan terlihat secara kasat mata. Hal itu lah yang membuat tim yang ada memutuskan untuk langsung melepasliarkan kembali macan tutul itul. Pelepasliaran terjadi pukul 12.15 WIB.

“Jadi tutup di kandang ayam itu kami buka. Setelah itu macan tutul lepas kembali. Dua jam kemudian tim lakukan pengecekan lagi. Macan tutul itu sudah tak terlihat,” katanya.

Lebih lanjut Siswoyo mengatakan, habitat macan tutul di sana memang bisa dikatakan rusak. Sebab, kawasan hutan lindung yang berada dalam penguasaan Perum Perhutani itu sebagian kini sudah beralih fungsi menjadi lahan untuk PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Lokasi yang dijadikan PHBM cukup luas.

“Alasan macan tutul itu turun bisa disebabkan karena sekarang musim kering panjang. Sumber air berkurang. Ia kekurangan juga pakan. Primata di sana jumlahnya juga sedikit. Babi hutan juga berkurang,” katanya.

Memang beberapa waktu yang lalu masyarakat sempat melihat keberadaan macan tutul. Berkali-kali melintas. Siswoyo berharap kejadian serupa tak terulang kembali.

“Apabila masyarakat menemukan keberadaan macan tutul lagi, kami berharap langsung lapor kepada kami. Tak melakukan tindakan anarkis. Kami juga menghimbau agar masyarakat tak beraktivitas dalam kawasan konservasi. Sebab itu bisa mengganggu habitat macan tutul,” paparnya.

Rencana ke depan, BKSDA akan memasang kamera trap di kawasan itu. Untuk memantau dan mendapatkan data mengenai populasi macan tutul.  Rencana pemasangan kamera trap akan dilakukan akhir November ini bekerjasama dengan berbagai pihak.

Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Foto: CIFOR

Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Foto: CIFOR

Sementara itu, kepala BKSDA Jabar Sylviana mengatakan, turunnya macan tutul ke pemukiman warga bisa disebabkan karena habitatnya rusak. Bisa juga disebabkan karena macan tutul itu kehausan sebab sumber air berkurang akibat musim kering yang panjang.

“Alhamdulilah kami langsung bertindak cepat. Ke depan monitoring akan lebih intens dilakukan. Meski baru kali ini terjadi macan tutul turun di sekitar kawasan Kawah Putih. Kami berharap masyarakat juga peduli. Kalau ada kejadian serupa, langsung lapor ke kami. Macan tutul harus kita lestarikan,” katanya.

Sulhan, dari Dewan Pertimbangan Forum Macan Tutul mengatakan, biasanya anakan macan tutul yang beranjak dewasa keluar karena ia mencari kawasan teritorial baru. sebab macan tutul tak bisa hidup berdampingan dengan macan tutul lainnya.

 


Macan Tutul Turun ke Kawasan Wisata Kawah Putih. Ada Apa? was first posted on October 12, 2015 at 2:31 am.

KKP: 2020, Tak Ada Lagi Ekspor Mentah Rumput Laut

$
0
0

Dalam lima tahun ke depan, ekspor rumput laut mentah (raw material) ditargetkan sudah tidak dilakukan Indonesia lagi. Sebagai gantinya, ekspor akan difokuskan pada produk rumput laut olahan yang dibuat dalam berbagai bentuk.

Untuk mencapai target tersebut, sejak sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta kepada para pengusaha dan pelaku industri rumput laut untuk mulai mengurangi ekspor dalam bentuk mentah.

“Ini harus bisa dilakukan. Perlahan saja dikuranginya. Tahun ini berapa, 2016 berapa, 2017 berapa, 2018 berapa. Dan akhirnya, pada 2020 nanti kita sudah tidak mengekspor rumput laut dalam bentuk mentah lagi,” ungkap Susi di Jakarta, akhir pekan lalu.

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Menurut Susi, tujuan dikuranginya ekspor rumput laut mentah, dimaksudkan agar Indonesia bisa berubah menjadi negara manufaktur dalam industri rumput laut. Dengan menjadi negara produsen, itu juga bermanfaat banyak untuk para pelaku usaha dalam industri rumput laut nasional.

“Dengan diolah dulu menjadi produk, maka nilai jual rumput laut juga akan meningkat berkali lipat. Nanti kan pasti kebagian untung juga. Itu positif. Pengusaha dan petani untung, negara juga diuntungkan,” tutur Susi.

“Kalau tidak, harga di kalangan petani tidak bisa lebih baik karena kita ekspornya mentah terus. Kalau tidak kami stop ekspor bahan mentah, kita seumur hidup akan jadi pemasok raw material,” sambung dia.

Susi menyebutkan, potensi lahan rumput laut yang dimilikli Indonesia saat ini, luasnya mencapai 12,1 juta hektare. Namun, karena berbagai hal, lahan yang sudah dimanfaatkan luasnya baru mencapai 2,68% atau 352.825,12 hektare.

Dengan lahan seluas itu, volume ekspor Indonesia pada 2014 mencapai 206.452 ton dengan nilai USD279.540.000. Data tersebut meningkat dibandingkan 2013, dimana volume ekspor mencapai 181.924 ton dengan nilai USD209.701.000.

“Dengan fakta tersebut, rumput laut berpotensi besar untuk menghasilkan nilai yang lebih besar. Karenanya, kita mulai atur ekspor dalam bentuk mentah. Semuanya, bertujuan untuk mencapai kesejahteraan untuk pelaku usaha dan juga pembudidaya,” cetus Susi.

Susi mengungkapkan, Pemerintah Indonesia juga menilai ada peluang yang besar dalam industri rumput laut sekarang. Karenanya, Pemerintah melalui Surat Sekretaris Kabinet No. B-16/Seskab/3/2015 yang menjadi tindak lanjut dari arahan Presiden RI Joko Widodo untuk memfokuskan pengembangan rumput laut yang bagus dan diolah menjadi kosmetika, sabun, obat dan makanan.

Kesibukan petani rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Kesibukan petani rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Selain itu, dalam surat tersebut, Pemerintah ingin mengembangkan bursa di daerah potensi dengan penyebaran pabrik pengolahan di dekat daerah produsen. Cara tersebut, menurut Susi, dinilai sangat efektif untuk merangsang pertumbuhan sentra rumput laut menjadi lebih bagus lagi.

Anggaran Naik Berlipat

Untuk mengejar target nol ekspor raw material dari rumput laut pada 2020, KKP berupaya melakukan berbagai cara. Salah satunya, dengan meningkatkan anggaran untuk pengembangan rumput laut mulai tahun ini dan 2016.

“Tahun ini kita alokasikan Rp40 miliar, dan tahun depan (2016) kita sudah alokasikan Rp330 miliar untuk rumput laut. Semoga dengan anggaran yang terus meningkat, produksi dan kualitas rumput laut bisa meningkat lebih bagus lagi,” ungkap Susi.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Subiyakto mengungkapkan, penambahan anggaran untuk rumput laut, akan dialokasikan untuk membangun 10 pabrik dan 8 gudang rumput laut. Kesemuanya, akan dibangun di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan sentra rumput laut.

“Dengan adanya dukungan pabrik dan gudang rumput laut baru, serta adanya dukungan dana yang lebih besar, kita ingin kualitas kultur jaringan dalam rumput laut yang dibudidayakan bisa lebih baik lagi. Kalau sudah demikian, nanti bisa diolah untuk berbagai produk bernilai jual tinggi,” papar Slamet.


KKP: 2020, Tak Ada Lagi Ekspor Mentah Rumput Laut was first posted on October 13, 2015 at 2:06 am.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live