Dalam kurun Agustus hingga September 2015, sekitar 1.523, 98 hektar atau 17,44% kawasan konservasi di Sulawesi Utara mengalami kebakaran hutan. Angka tersebut merupakan yang terparah dalam 4 tahun belakangan. Namun, tidak ditemukan adanya satwa endemik yang menjadi korban kebakaran tersebut.
Berdasarkan catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, pada tahun 2012, kawasan konservasi yang mengalami kebakaran tercatat seluas 227 hektar. Tahun 2013, angka itu menurun menjadi 127 hektar. Kembali meningkat pada tahun 2014 menjadi 293 hektar.
“Dari 8.753 hektar total luasan, sekitar 1.523 hektar mengalami kebakaran. Data tersebut masih bisa berubah mengingat kondisi panas saat ini. Kami masih akan terus berupaya mengantisipasi ancaman terjadinya kebakaran hutan,” papar Hambali, Kepala Daerah Operasi (Kadeops) Manggala Agni Bitung dalam jumpa pers di kantor BKSDA Sulut, di Manado, Senin (28/09/2015).
Kebakaran yang terjadi di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara pada Minggu (27/09/2015). Upaya pemadaman telah dilakukan oleh Tim Manggala Agni dibantu relawan. Foto : Themmy Doaly
“Kuat dugaan, kebakaran terjadi karena unsur kesengajaan. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah pohon yang sudah ditebang terlebih dahulu, di kebun warga, pada beberapa wilayah,” tambah Hambali.
Kebakaran tersebut terjadi di sejumlah lokasi seperti, Cagar Alam (CA) Tangkoko, CA Duasudara, Taman Wisata Alam Batuputih dan Taman Wisata Alam Batuangus. “Meski demikian, data kawasan hutan yang terbakar belum termasuk CA Lokon, Suaka Margasatwa Manembo-nembo Warembungan, Gunung Ambang dan Gunung Soputan.”
Terdapat sejumlah kendala dalam proses pemadaman api, misalnya luas wilayah operasional yang meliputi 2 provinsi, Sulut dan Gorontalo. Padahal, personil Manggala Agni hanya berjumlah 35 orang. Ada pula kendala jumlah sarana dan prasarana yang terbilang minim. Selain itu, berbagai potensi yang ada dinilainya belum terkoordinir dalam satu komando.
Sudiyono, Kepala BKSDA Sulut membenarkan keterbatasan tenaga, sehingga penanganan di luar kawasan konservasi belum sepenuhnya bisa dilakukan. “Kami mendukung, dari pihak Pemda, barangkali kedepannya bisa membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA). Kami siap kerjasama dengan Pemda.”
Bantah Ada Yaki dan Tarsius yang Terbakar
Dalam jumpa pers tersebut, BKSDA turut membantah adanya informasi yang menyebut terbakarnya puluhan satwa endemik di CA Tangkoko. Sebelumnya, berdasarkan pemberitaan harian Kompas, Sabtu (26/09/2015), disebutkan bahwa puluhan satwa endemik mati terbakar setelah kawasan hutan CA Tangkoko dan kawasan Wisata Alam Batuangus terbakar.
“Satwa yang terbakar itu antara lain tarsius, yang merupakan monyet terkecil di dunia, monyet pantat merah (Macaca nigra) dan burung,” demikian tertulis di harian Kompas pada halaman 1.
Menurut Sudiyono, hingga saat ini belum ada laporan dari tim di lapangan yang menyatakan adanya satwa endemik yang menjadi korban. “Yaki itu tidak mudah mati dalam kebakaran hutan. Dia bisa lari lebih cepat, mungkin lebih cepat ketimbang manusia.”
Selain itu, meski kebakaran sempat terjadi di bagian bawah pohon tarsius, namun upaya penanganan yang terbilang cepat membuat api tidak sampai melalap seluruh pohon tersebut. Karenanya, ia merasa kecewa dengan informasi yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Relawan dari kelompok pecinta alam di Sulawesi Utara memadamkan api di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulut pada Minggu (27/09/2015). Pada Agustus – September 2015, sekitar 1.523, 98 hektar atau 17,44% kawasan konservasi di Sulut terbakar, yang menjadi kebakaran terluas dalam 4 tahun terakhir. Foto : Themmy Doaly
Kebakaran memang sempat meresahkan sejumlah satwa di sana. Misalnya saja, tim di lapangan sempat menyelamatkan ular yang terancam oleh kebakaran hutan. Namun, setelah melihat api mulai padam di habitat satwa, pihak Manggala Agni langsung melepaskan ular itu.
“Tidak ada satwa endemik yang mati terbakar. Yang terlihat adalah satwa yang menjauh dari habitat awalnya. Ada juga beberapa satwa yang berhasil diselamatkan dari ancaman kebakaran, yang terlihat mati hanya tikus,” terang Ronald Sumilat, Komandan Peleton Manggala Agni, ketika ditemui Mongabay di CA Tangkoko, Minggu (27/o9/2015).
Kekecewaan atas kesalahan informasi, juga diungkapkan Jemmy Makasala, pengurus Forum Komunikasi Pecinta Alam (FKPA) Sulut, yang juga Korlap posko pemadaman api di CA Tangkoko. Dikatakan Jemmy, pemberitaan tersebut seakan-akan tidak melihat kerja keras relawan di lapangan. Padahal, banyak anggota pecinta alam yang melibatkan diri dalam pemadaman api berupaya keras agar kebakaran tidak mencapai pohon tarsius maupun membuat yaki menjadi korban.
“Teman-teman di lapangan sudah bekerja keras untuk memadamkan api. Kami berjuang agar yaki tidak menjadi korban dan pohon tarsius tidak terbakar. Tapi, kami kecewa dengan pemberitaan tersebut,” ungkap Jemmy.
Pecinta Alam Melawan Api Tangkoko
Pada Minggu (27/9/2015), lebih dari 50 anggota pecinta alam dari berbagai daerah di Sulut, melibatkan diri sebagai relawan untuk memadamkan api di CA Tangkoko. Meski beberapa di antaranya baru pertama kali terlibat dalam pemadaman api, namun mereka mampu meminimalisir kebakaran hutan Tangkoko di sejumlah titik.
Hingga hari itu, Mongabay masih bisa menyaksikan sejumlah api membakar perkebunan warga. Jika melihat banyaknya tanaman yang mengalami kekeringan, ancaman kebakaran diperkirakan masih bisa terjadi di sekitar wilayah CA Tangkoko.
Puluhan anggota pecinta alam, laki-laki maupun perempuan, nampak bersemangat memadamkan api baik di perkebunan maupun di wilayah konservasi. Mereka tidak terlihat lelah, walaupun bukan hanya matahari, namun api kebakaran hutan turut menyengat kulit mereka.
Relawan dari kelompok pecinta alam di Sulawesi Utara memadamkan api di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulut pada Minggu (27/09/2015). Pada Agustus – September 2015, sekitar 1.523, 98 hektar atau 17,44% kawasan konservasi di Sulut terbakar, yang menjadi kebakaran terluas dalam 4 tahun terakhir. Foto : Themmy Doaly
Ronald Sumilat, yang ikut mendampingi para relawan di lapangan, memberikan sejumlah arahan teknis. Hal ini, ditujukan agar dalam melakukan upaya pemadaman api, selain memaksimalkan kinerja di lapangan, keselamatan relawan dapat diutamakan.
“Teknik itu antara lain, bakar balik, tujuannya mempercepat ataupun menghabiskan bahan bakar yang ada. Kedua, teknik penggunaan peralatan tangan menggunakan garuk tajam dan garuk cangkul. Yang terpenting, mengutamakan keselamatan, saling kontrol dalam pekerjaan dan perjalanan sampai di posko,” kata Ronald.
Ungkapan Ronald sangat beralasan. Selain untuk menghindari kepungan api, para relawan juga harus bersiaga pada kemungkinan adanya pohon tumbang. Benar saja, di dalam kawasan CA Tangkoko, sejumlah pohon nampak tergeletak di daratan. Tak hanya itu, satu kali, tim pemadam beserta relawan dikejutkan suara dari jarak sekitar 30 meter yang datang akibat pohon tumbang.
Andrew Tumimbang, anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Avestaria Fisip Universitas Sam Ratulangi, merasa terpanggil untuk melibatkan diri dalam pemadaman api di Tangkoko. Meski baru pertama kali dan harus menempuh jarak hingga 3 km ke lokasi kebakaran, namun ia merasa senang karena kehadirannya dapat membantu kerja-kerja personil Manggala Agni.
“Hutan Tangkoko merupakan rumah dari banyak satwa endemik. Sebagai pecinta alam, saya merasa perlu melibatkan diri dalam upaya pemadaman,” ujar Andrew.
Keterlibatan ini juga merupakan penerapan langsung dari berbagai pengetahuan yang ia dapati di organisasinya. Menurut dia, tanpa praktik di lapangan, pengetahuan yang dimilikinya akan sia-sia. Selain itu, Andrew menilai, keterlibatan sebagai volunteer memberi tambahan pengetahuan, khususnya terkait teknis pemadaman api.
“Sekarang sudah mulai mengetahui teknis pemadaman api di hutan. Misalnya, kalau angin bertiup dari utara, cara memadamkannya dari selatan. Dan, yang paling kena itu adalah teknik isolasi api. Caranya, dengan membuat sekat yang jaraknya lebih dari 1 meter,” jelasnya.
Jemmy Makasala, menambahkan, setidaknya sudah 2 minggu pecinta alam melibatkan diri dalam upaya pemadaman api di CA Tangkoko. Ia menilai, keterlibatan itu merupakan komitmen dan rasa tanggung jawab dari para pecinta alam.
“Anak pecinta alam penting terlibat dalam kegiatan ini, karena Cagar Alam Tangkoko termasuk ruang lingkup pecinta alam,” kata Jemmy.
Ia merasa senang dan memberi apresiasi bagi pecinta alam yang ikut memadamkan api, sekaligus membuka ruang bagi mereka yang ingin melibatkan diri sebagai relawan. Jemmy menegaskan, pihaknya akan terus berupaya maksimal agar kondisi di Tangkoko berada dalam keadaan kondusif.
“Selama masih diperlukan di lapangan atau kebakaran hutan belum dikatakan finish, kami masih akan terlibat. Meski, sebenarnya, kerjasama dengan Manggala Agni sampai tanggal 3 Oktober 2015. Nanti dilihat, apakah sudah closing atau lanjut.”
Sudiyono, kepala BKSDA Sulut, mengapresiasi keterlibatan pecinta alam. Ia berharap, keterlibatan tersebut dapat berkontribusi baik bagi upaya pemadaman api. Dia juga menyampaikan ucapan terima kasih bagi elemen masyarakat maupun pemerintah yang sudah membantu kinerja tim di lapangan.
“Kami berterima kasih pada pihak-pihak yang sudah berpartisipasi dalam pemadaman api di Cagar Alam Tangkoko, Duasudara, Batuputih dan Batuangus. Ini merupakan partisipasi yang sangat berarti bagi kami,” pungkasnya.
Meski Terparah, Tak ada Satwa Endemik Mati Saat Kebakaran Kawasan Konservasi Di Sulut was first posted on September 29, 2015 at 1:49 am.