Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

Ternyata, Industri Pengalengan Ikan Tuna di Indonesia Masih Buruk

$
0
0

Fakta mengejutkan diungkapan Greenpeace Indonesia tentang industri perikanan di Indonesia. Organisasi nirlaba yang fokus di lingkungan hidup itu membeberkan, hingga saat ini ada 13 perusahaan yang bergerak dalam industri pengalengan ikan tuna kondisinya masih memprihatinkan.

Bahkan, Greenpeace menilai, perusahaan-perusahaan tersebut saat ini masuk dalam kelompok rapor merah yang gagal menjalankan perusahaan dengan baik. Fakta tersebut diungkapkan Greenpeace saat menggelar jumpa pers di Hotel Akmani, Jakarta Pusat, Senin (21/9).

Juru Kampanye Laut Greenpeace Arifsyah Nasution mengatakan, walau dari segi bisnis perusahaan-perusahaan tersebut dinilai sukses, namun tidak jika dinilai dari sisi lingkungan hidup. Menurut dia, saat ini tidak ada satupun perusahaan pengalengan ikan tuna di Indonesia sudah melaksanakan prinsip-prinsip ramah lingkungan.

“Padahal, kita semua sudah tahu kalau ikan tuna itu adanya di dalam laut. Itu artinya, prinsip menjaga kelestarian lingkungan itu sudah menjadi harga mati yang harus dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia,” ungkap Arif.

Tuna segar tangkapan nelayan Gunung Kidul, Yogyakarta. Beragam masalah mengelilingi sektor perikanan, dari penyakit ikan, ekosistem rusak sampai perubahan iklim. Foto: Tommy Apriando

Tuna segar tangkapan nelayan Gunung Kidul, Yogyakarta. Beragam masalah mengelilingi sektor perikanan, dari penyakit ikan, ekosistem rusak sampai perubahan iklim. Foto: Tommy Apriando

Arif menyebutkan,penyebab masuknya 13 perusahaan yang masuk dalam kelompok rapor merah tersebut, karena mereka belum berhasil memenuhi tiga kriteria dasar sebagai perusahaan, yaitu keterlacakan, keberlanjutan, dan kesetaraan.

Tiga komponen dasar dan penting tersebut, dijelaskan Arif, sangat penting dimiliki oleh perusahaan yang ada di Indonesia. Keterlacakan misalnya, perusahaan dan konsumen harusnya bisa melacak dari mana asal ikan tuna yang digunakan untuk konsumsi.

“Kunci dari keterlacakan adalah mengetahui ditangkap dan bagaimana tuna ditangkap,” jelas dia.

Kemudian, komponen kedua yang juga penting, adalah keberlanjutan. Di Indonesia, khususnya 13 perusahaan yang sudah disurvei, menurut Arif, faktor keberlanjutan masih belum diterapkan. Adapun, keberlanjutan adalah perusahaan harus bisa berkomitmen melalui kebijakan penggunaan sumber tuna yang bebas dari praktisi perikanan ilegal, merusak, dan tidak bertanggung jawab.

“Komponen ketiga yang tidak ditemukan dalam 13 perusahaan, adalah kesetaraan. Kriteria  ini mendesak perusahaan untuk mengetahui siapa yang menangkap tuna dan bagaimana mereka diperlakukan,” papar Arif.

Dalam komponen terakhir ini, perusahaan harus bisa berkomitmen untuk memastikan kesejahteraan para pekerja di seluruh rantai pasokan dan aktif melakukan aktivitas perbudakan di lautan.

”Ini memang komponen yang tidak bisa dihilangkan sama sekali. Ketiganya saling terkait. Semakin bagus perusahaan mengungkapkannya, maka itu semakin mudah publik memahami kondisinya,” cetus dia.

Merek Popular Bukan Jaminan

Melalui studi dan survei yang sudah dilakukan, Greenpeace ingin mengingatkan kepada masyarakat yang menjadi konsumen ikan tuna dalam kaleng. Menurut Arif, dengan hilangnya tiga komponen di atas, maka sebenarnya konsumen sedang dibiasakan untuk buta terhadap produk yang mereka konsumsi.

Dengan demikian, menurut Arif, produk ikan tuna dalam kaleng yang bermerek populer di Indonesia tidak memiliki jaminan bahwa tuna yang dijual berasal dari proses yang legal dan benar. Kondisi tersebut, sebaiknya diperhatikan oleh masyarakat yang menjadi konsumen tetap ikan tuna dalam kaleng.

“Saat menelusuri praktik bisnis di perusahaan pengalengan tuna, kami menemukan banyak dari merek-merek besar ternyata tidak memilki kendali dalam rantai pasokannya. Hingga akhirnya mereka tidak dapat menelusuri dengan akurat distribusi tuna dari kapal penangkap ikan ke pengalengan, hingga ke konsumen,” papar dia.

Keterangan: DNR : Did not respons ( tidak merespon dan berpartisipasi dalam survei)

Keterangan:
DNR : Did not respons ( tidak merespon dan berpartisipasi dalam survei)

 Destructive Fishing

Faktor lain yang menyebabkan 13 perusahaan diatas masuk dalam rapor merah, menurut Arifsyah Nasution adalah karena perusahaan-perusahaan tersebut diketahui ada yang mengambil ikan tuna dengan cara menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

“Cara ini merusak ekosistem yang ada di lautan lepas. Perusahaan-perusahaan ini harusnya memang bisa mulai mengubah kebiasaan menangkap ikan dengan cara yang tidak sehat. Ini semua demi keberlangsungan laut di masa mendatang,” jelas Arif.

Tuna, salah satu produk perikanan andalan Indonesia di pasar global. Mirisnya, penangkapan tuna masih banyak dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Para nelayan di daerah ini banyak menangkap tuna dengan bom. Foto: WWF Indonesia

Tuna, salah satu produk perikanan andalan Indonesia di pasar global. Mirisnya, penangkapan tuna masih banyak dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Para nelayan di daerah ini banyak menangkap tuna dengan bom. Foto: WWF Indonesia

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan bahwa siapapun perusahaan yang menangkap ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan, maka dia harus bertanggung jawab. Menurutnya, perusahaan harus segera mengubah kebiasaan tersebut karena keberlangsungan laut dan ekosistemnya harus tetap terjaga hingga masa mendatang.

“Kita tidak mau praktik-praktik seperti itu tetap ada di Indonesia. Cara-cara seperti menggunakan bahan peledak atau menggunakan alat tangkap yang bisa merusak ekosistem laut, itu sudah harus ditinggalkan,” tandas dia.

 

 


Ternyata, Industri Pengalengan Ikan Tuna di Indonesia Masih Buruk was first posted on September 23, 2015 at 4:44 am.

Diduga Akan Dijual Ke Filipina, Penyelundupan Kukang dan Lutung Berhasil Digagalkan

$
0
0

Tim dari Dinas Kehutanan, Kepolisian Resort Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara berhasil menggagalkan penyelundupan satwa ilegal yang melintasi wilayah mereka, pada Jumat (18/9/2015).

Satwa dilindungi yang terdiri dari 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe. Diduga, satwa-satwa tersebut, dibawa melintasi Sulawesi Utara menuju Filipina untuk diperdagangkan.

Sebanyak 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe berhasil digagalkan dari penyelundupan pada Jumat (18/09/2015).  Diduga, satwa-satwa tersebut, dibawa melintasi Sulawesi Utara menuju Filipina untuk diperdagangkan. Foto : Themmy Doaly

Sebanyak 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe berhasil digagalkan dari penyelundupan pada Jumat (18/09/2015). Diduga, satwa-satwa tersebut, dibawa melintasi Sulawesi Utara menuju Filipina untuk diperdagangkan. Foto : Themmy Doaly

Haryono, penyidik pembantu Polres Sangihe, mengatakan, kukang dan lutung tersebut ditemukan di dalam beberapa kotak berwarna putih yang ukurannya relatif kecil. Setelah berhasil menggagalkan perdagangan satwa ilegal ini, pihaknya langsung berkoordinasi dengan BKSDA Sulut untuk mengantisipasi keamanan satwa.

“Tadinya ada 23 kukang, tapi setelah dicek 3 ekor sudah mati. Jadi, langkah awal yang kami lakukan adalah mengamankan barang bukti dulu. Kedua, kami membuat laporan kepolisian guna menemukan pelaku. Dan, untuk mengantisipasi keamanan satwa, kami berkoordinasi dengan BKSDA Sulut,” ujar Haryono dalam konferensi pers di kantor BKSDA Sulut, Rabu (23/9/2015).

(kiri ke kanan) Simon Pursher, Wildlife Programe Advisor PPS Tasikoki;  Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki; Sudiyono, Kepala BKSDA Sulut,  dan Haryono, penyidik pembantu Polres Sangihe dalam jumpa pers di Kantor BKSDA Sulut pada Rabu (23/09/2015) tentang digagalkannya penyelundupan Sebanyak 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe berhasil digagalkan dari penyelundupan pada Jumat (18/09/2015).  Foto : Themmy Doaly

(kiri ke kanan) Simon Pursher, Wildlife Programe Advisor PPS Tasikoki; Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki; Sudiyono, Kepala BKSDA Sulut, dan Haryono, penyidik pembantu Polres Sangihe dalam jumpa pers di Kantor BKSDA Sulut pada Rabu (23/09/2015) tentang digagalkannya penyelundupan Sebanyak 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe berhasil digagalkan dari penyelundupan pada Jumat (18/09/2015). Foto : Themmy Doaly

Pihak kepolisian Sangihe sendiri mengaku baru pertama kali berhasil menggagalkan praktik perdagangan satwa ilegal yang melintasi wilayah mereka. Sayangnya, pelaku tidak berhasil ditangkap. Namun, hingga saat ini, pihak Polres Sangihe mengaku sedang melakukan penelusuran untuk mengungkap identitas pelaku.

“Jika berhasil ditangkap, pelaku akan dijerat UU 5/1990 dengan hukuman maksimal 5 tahun dan denda Rp100juta,” tegas Haryono.

Sebelumnya, Sanjaya dari Tim Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) BKSDA Sulut yang ditemui Mongabay di Sangihe pada Senin malam (21/09/2015) menjelaskan 3 ekor kukang yang ditemukan dalam kondisi mati.

Sedangkan Sudiyono, Kepala BKSDA Sulut, dalam jumpa pers mengatakan, 23 ekor kukang dan 2 lutung ini merupakan satwa dilindungi yang berasal dari Jawa. Selanjutnya, satwa-satwa tadi akan diperiksa kesehatannya di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulut. Jika kondisi memungkinkan, satwa-satwa ini akan dikembalikan ke habitat asalnya.

Namun, berdasarkan pemantauan Mongabay, gigi kukang telah dipotong. Diduga, tindakan tersebut sengaja dilakukan agar kukang tidak bisa dilepasliarkan lagi di alam dan satwa ini tidak dapat menyalurkan bisa lewat gigitan kepada sang ‘pemilik’ dalam pemeliharaan nantinya.

Gigi kukang jawa yang telah dicabut oleh penyelundup satwa dilindungi itu. Kukang tersebut merupakan bagian dari 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe berhasil digagalkan dari penyelundupan pada Jumat (18/09/2015).  Foto : Themmy Doaly

Gigi kukang jawa yang telah dicabut oleh penyelundup satwa dilindungi itu. Kukang tersebut merupakan bagian dari 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe berhasil digagalkan dari penyelundupan pada Jumat (18/09/2015). Foto : Themmy Doaly

“Ada kemungkinan gigi kukang dipotong. Ini kan, kekejaman manusia,” sesal Sudiyono. Kondisi tersebut membuat pihak BKSDA Sulut menilai sulit melepasliarkan satwa-satwa tersebut. “Jika tidak memungkinkan, akan kita serahkan sebagai peragaan di lembaga konservasi seperti kebun binatang atau taman satwa, sehingga nilai-nilai dari satwa itu masih bisa kita manfaatkan.”

Sementara itu, Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki, mengatakan kasus ini merupakan satu dari sekian banyak masalah perdagangan satwa liar. Namun, menurut dia, hal yang lebih penting dilakukan kedepannya ialah menghindari terjadinya kasus serupa.

“Harus ada kolaborasi dan kerjasama untuk melakukan sosialisasi, program dan pengembangan nilai-nilai dalam masyarakat. Supaya, tidak ada alasan untuk memburu satwa liar dilindungi,” demikian Harry mengharapkan.

Ia merasa prihatin dengan adanya 3 kukang yang mati. Diyakini, kematian tersebut karena tidak terpenuhinya sejumlah kebutuhan hidup satwa liar. Hal tersebut menjadi alasan bahwa satwa liar tidak cocok menjadi peliharaan manusia.

“Ada banyak sekali kebutuhan sumber makanan yang kemungkinan tidak terpenuhi, termasuk juga kesejahteraan kukang,” ujar Harry.

Barang bukti berupa kukang jawa dan lutung yang diturunkan dari  kapal penumpang Tera Santa dan diamankan oleh petugas. Sebanyak 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe berhasil digagalkan dari penyelundupan pada Jumat (18/09/2015).  Foto : Agustinus Wijayanto

Barang bukti berupa kukang jawa dan lutung yang diturunkan dari kapal penumpang Tera Santa dan diamankan oleh petugas. Sebanyak 23 ekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan 2 lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang ditemukan di kapal penumpang KM Tera Santa yang bersandar di Pelabuhan Tahuna, Sangihe berhasil digagalkan dari penyelundupan pada Jumat (18/09/2015). Foto : Agustinus Wijayanto

Kukang merupakan primata yang dikenal pemalu, karena sifat dasar satwa yang ukuran tubuhnya antara 20-30 centimeter ini memang pemalu. Di Indonesia, menurut ekologi dan persebarannya, terdapat tiga jenis kukang, yakni kukang jawa (Nycticebus javanicus), kukang sumatera (Nycticebus coucang) dan kukang kalimantan (Nycticebus menagensis).

Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), kukang jawa masuk dalam status kritis (critically Endangered). Sementara, kukang sumatera dan kukang kalimantan berstatus rentan (vulnerable).

Sedangkan, lutung jawa (Trachypithecus auratus) merupakan satwa endemik, yang ukuruan tubuhnya sekitar 55 centimeter, dengan ekor mencapai 80 centimeter. Populasi lutung jawa semakin mengalami penurunan. Dalam IUCN Redlist, ia berstatus terancam (vulnerable).

Dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) masuk dalam Appendix II. Artinya, perdagangan internasional terhadap lutung jawa diatur secara ketat agar kelestariannya tetap terjaga.

Pintu Perdagangan Satwa

Kukang dan lutung tadi merupakan satwa dilindungi berasal dari Pulau Jawa. Ada dugaan, satwa-satwa itu hendak diperdagangkan di Filipina. Akibatnya, hingga saat ini, Sulut diyakini masih menjadi jalur lintas perdagangan satwa ilegal antar negara.

Kecurigaan tersebut diungkapkan Simon Pursher, Wildlife Programe Advisor PPST Tasikoki. Ia menilai ada jaringan di balik kasus ini. Karenanya, pihak berwenang didesak untuk mengusut permasalahan ini hingga tuntas. Bahkan, ia mendapatkan informasi perdagangan ilegal tadi meliputi perdagangan manusia dan narkoba, tidak hanya satwa dilindungi.

“Pasti ada jaringan. Jika satwa ini cuma disita, dan tidak ada upaya melakukan penyelidikan jaringan, pelaku perdagangan satwa ilegal ini akan kembali melakukan aksinya, mungkin cari jalur lain. Kasihan juga satwanya, akan lebih banyak yang diambil dari alam, karena orangnya belum berhenti melakukan perdagangan,” ucapnya.

“Kukang dan lutung ini berasal dari jawa. Ini jadi contoh satu kasus lagi satwa dari jawa yang melintasi Sulawesi Utara untuk dibawa ke luar negeri untuk diperdagangkan. Sangat sedih ini masih bisa terjadi, tapi kami cukup senang karena ada petugas kepolisian yang berhasil menyelamatkan satwa ini,” tambah Simon.

Permasalahannya,  aparat kekurangan petugas untuk menyelidiki kasus sehingga tidak terdeteksi maksimal. Padahal, penting mengetahui pelaku yang mengirim dari Jawa, membawa, dan yang menerima satwa ini di Filipina. Ia berharap berbagai pihak diharap dapat membantu penyelidikan kasus ini.

“Banyak kasus yang mungkin diprioritaskan mereka, sementara kasus perdagangan satwa ilegal tidak bisa ditangani secara serius. Jika tidak cepat diantisipasi, keanekaragaman hayati di Indonesia ini akan habis,” sesal Simon.

Sudiyono, kepala BKSDA Sulut, membenarkan dugaan adanya jaringan perdagangan satwa ilegal. Beberapa faktor mulai dari ekonomis hingga geografis turut melahirkan penilaian bahwa perdagangan ilegal ini memiliki perencanaan dan pelakunya mengetahui bahwa kukang dan lutung tersebut berstatus dilindungi.

“Dalam beberapa tahun, baru kali ini dari Jawa, biasanya dari timur (Maluku dan Papua). Kemungkinan, dilihat dari jumlah yang cukup banyak, jarak tempuh yang jauh, artinya biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Bisa diduga, pelaku mengetahui bahwa satwa-satwa ini berstatus dilindungi. Ini tindakan yang profesional. Kita mesti curiga ada jaringan yang cukup besar di balik kasus ini,” tambahnya.

Lewat kasus ini, ia berjanji akan meningkatkan komunikasi dengan sejumlah instansi terkait agar kasus perdagangan satwa liar bisa diselesaikan dengan maksimal, serta menemukan pihak yang bertanggung jawab. Selain itu, Sudiyono menilai ada keterkaitan antara perdaganan satwa di beberapa tempat dengan yang baru saja digagalkan di Sulut.

“Saya kira ini jaringan nasional, dan kita tahu juga, beberapa jaringan seperti di Kalimantan dan Sumatera tersangkanya bisa diketahui. Saya kira ada kaitannya. Apalagi, dalam kasus ini, kami belum berhasil menemukan tersangkanya. Kami berharap bisa menemukan jaringannya. Kedepan kami akan tingkatkan koordinasi dengan pihak kepolisian, balai karantina dan dari pelabuhan,” demikian Sudiyono berjanji.

Dihubungi terpisah, Dwi Nugroho,  Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU) Indonesia mengaku kaget bahwa lutung dan kukang jawa dikirim dari Jawa ke Sangihe. “Ini temuan baru,” katanya.

Dwi membenarkan bahwa Manado, Sangihe dan Talaud merupakan daerah transit perdagangan satwa dilindungi ilegal dari Indonesia bagian barat ke Indonesia bagian timur menuju ke Filipina. Satwa lain yang potensial diperdagangkan adalah burung kakaktua dan nuri.

Dia menduga dari Filipina, satwa ilegal dari Indonesia bakal dikirimkan ke Thailand, dan kemudian menyebar ke negara lain, seperti ke Timur Tengah. “Kita pernah menemukan kukang di Pasar Chatuchak, Bangkok,” katanya.

 


Diduga Akan Dijual Ke Filipina, Penyelundupan Kukang dan Lutung Berhasil Digagalkan was first posted on September 24, 2015 at 1:13 am.

Diduga Karena Puntung Rokok, Gunung Papandayan dan Guntur Terbakar

$
0
0

Kawasan hutan di Gunung Papandayan, dan Kawasan Cagar Alam Guntur, Garut Jawa Barat mengalami kebakaran pada sepekan terakhir. Kebakaran diduga karena kecerobohan pendaki yang membuat perapian dan membuang puntung rokok sembarangan.

Mongabay pada Sabtu (19/09/2015) meninjau langsung ke lokasi kawasan yang terbakar di Gunung Papandayan. Bekas lokasi terbakar kawasan tersebut nampak jelas di kawasan Tegal Alun dengan ketinggian sekitar 2500 meter diatas permukaan laut (mdpl). Sebagian besar kawasan yang merupakan tempat tumbuhnya bunga Edelweis itu hangus terbakar.

 Kebakaran hutan terjadi di wilayah Tegal Alun, Gunung Papandayan, Jawa Barat, pada ketinggiann 2500 mdpl. Sedikitnya 326 hektare hutan di kawasan Gunung Papandayan habis terbakar. Foto : Engkus Kusnadi


Kebakaran hutan terjadi di wilayah Tegal Alun, Gunung Papandayan, Jawa Barat, pada ketinggiann 2500 mdpl. Sedikitnya 326 hektare hutan di kawasan Gunung Papandayan habis terbakar. Foto : Engkus Kusnadi

Ketua Pemadam Kebakaran Kelompok Desa Keramat Wangi, Cisuripan, Garut, Engkus Kusnadi (51), menuturkan dugaan awal kebakaran bukan bermula dari puntung rokok dan perapian bekas pendaki yang berkemah, karena jaraknya hanya 1,5 km dari lokasi kebakaran yang awalnya merupakan semak belukar.

Engkus menuturkan api muncul dan terlihat pada Senin (06/09/2015), di daerah dekat Tegal Alun. Ketika Mongabay ke lokasi, masih terdapat 2 titik api.  Kebakaran yang terjadi hampir sepekan itu, diprediksi telah menghanguskan 326 hektar kawasan hutan.

Teriknya sinar matahari dan medan yang susah dilalui menyulitkan Mongabay menuju ke lokasi kebakaran. Di pos 2 pendakian di Guberhood, terdapat tenda para relawan pemadam kebakaran.

Kawasan bunga Edelweis di wilayah Tegal Alun, Gunung Papandayan, Jawa Barat, berketinggiann 2500 mdpl yang terbakar habis. Sedikitnya 326 hektare hutan di kawasan Gunung Papandayan habis terbakar. Foto : Engkus Kusnadi

Kawasan bunga Edelweis di wilayah Tegal Alun, Gunung Papandayan, Jawa Barat, berketinggiann 2500 mdpl yang terbakar habis. Sedikitnya 326 hektare hutan di kawasan Gunung Papandayan habis terbakar. Foto : Engkus Kusnadi

Sedikitnya 150 orang petugas BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) wilayah V Garut dan warga setempat dibantu petugas Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD) Garut setiap hari melakukan upaya pemadaman dengan alat tradisional berupa golok, cangkul dan membuat sekat untuk menghentikan pelebaran api.

“Untuk saat ini, alhamdulilah titik api sudah mulai berkurang. Namun, kita masih tetap siaga apabila titik api bertambah kembali. Api sekarang bergerak ke sebelah barat ke arah Gunung Arjuna hampir masuk ke wilayah Kabupaten Bandung, “ kata Engkus.

Ia menuturkan pada 7-8 September 2015, pihaknya menerima bantuan logistik dari BPBD Garut berupa 4 dus mie instan, 2 dus kacang – kacangan dan 2 dus masker. Bantuan tersebut dinilai minim oleh Engkus dan kawan – kawan.

“Kalo bukan karena dedikasi warga dan rela berkorban untuk kelestarian alam mungkin sudah tidak kuat bahkan akan menghambat upaya pemadaman, sejauh ini untuk logistik pun sebagian besar dari swadaya masyarakat sini” ujarnya.

Aktivitas perekonomian warga kawasan Gunung Papandayan pun lumpuh semenjak informasi kebakaran meluas karena tersiar kabar bahwa wilayah itu ditutup. Menurut Engkus kawasan Gunung Papandayan masih bisa dikunjungi wisatawan dan hanya ditutup untuk pendakian serta kemping.

“Memang benar BBKSDA sudah membuat surat larangan wisatawan tapi isi surat itu hanya melarang ngecamp saja, untuk kunjungan wisata masih diperbolehkan,” ucapnya

Para pendaki berkemah di kawasan Pondok Saladah di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Tempat tersebut menjadi favorit pendaki mendirikan tenda karena lokasi yang landai dan tumbuh bunga Edelweis. Foto : Donny Iqbal

Para pendaki berkemah di kawasan Pondok Saladah di Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Tempat tersebut menjadi favorit pendaki mendirikan tenda karena lokasi yang landai dan tumbuh bunga Edelweis. Foto : Donny Iqbal

Sejak terjadi kebakaran, kunjungan wisatawan menurun drastis. Rohman, penjaga tiket obyek wisata Gunung Papandayan mengatakan tingkat kunjungan bisa mencapai 1000-an wisatawan per pekan sebelum terjadi kebakaran.

Untuk tiket kunjungan wisata dikenakan biaya Rp. 7500 sedangkan untuk pendakian dikenkan biaya Rp. 10000. Semejak terjadi kebaran kujungan pun menurun drastis, Rohman penjaga ticketing mengatakan sebelum terjadinya kebakaran wisatawan yang datang entah itu wisatawan kunjungan maupun pendakian Papandayan di datangi 10000-an lebih per pekannya.

“Kalau hari – hari biasanya, penjualan tiket bisa mencapai Rp8 juta hingga Rp10 juta setiap satu minggu. Baru Sabtu sekarang mulai lagi ada pengunjung yang datang kesini,” kata Rohman. Sedangkan harga tiket masuk Rp7500 dan Rp10.000 untuk pendakian.

Engkus mengatakan karena kondisi sudah sedikit kondusif, pendakian boleh dilakukan, tetapi hanya bisa sampai pos 2 di Guberhood.

Kebakaran Gunung Guntur

Sedangkan di kawasan Cagar Alam Guntur, kebakaran mulai padam. Ikbal Nikmatuloh (19), ranger  kawasan tersebut saat dihubungi Mongabay memprediksi lahan yang terbakar mencapai 100 hektar. Upaya pemadaman dilakukan pihak BKSDA dan di bantu relawan.

Ia memaparkan kebakaran yang dimulai pada Rabu (09/09/2015), diprediksi karena penyebab kelalaian pendaki yang membuat perapian dan yang membuang puntung rokok sembarangan.

Sebelumnya, Kepala Bidang Konservasi Dinas Kehutanan Jawa Barat, Budi Juanda, yang ditemui di Bandung, Jumat (18/09/2015),  mengatakan kebakaran hutan di Jawa Barat, telah terjadi pada areal hutan dengan luas lebih dari 1000 hektare pada kurun Juli hingga September 2015. Meski laporan secara resmi belum ada tapi secara tentatif sudah diketahui per tertanggal 17 september lalu.

 

 

 


Diduga Karena Puntung Rokok, Gunung Papandayan dan Guntur Terbakar was first posted on September 24, 2015 at 2:46 am.

Menghadirkan Terang di Pulau Terdepan Indonesia

$
0
0

“Kami sangat berterima kasih kepada Pemerintah yang telah memberikan terang kepada kami di pulau terpencil ini.  Kami membutuhkan listrik, dan kebutuhan itu sudah di jawab”.

Itu merupakansekelumit cerita haru yang dilontarkan oleh masyarakat yang berada di pulau terdepan Indonesia.  Tepatnya di Pulau Matutuang (Kec. P. Marore) dan Kawaluso (Kec. Kendahe), yang merupakan gugusan pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.  Dahulu mereka sulit mendapatkan listrik, saat ini mereka telah menikmati terang dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Gardu instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan solar panel di  Pulau Matutuang Kec. P. Maroro, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut. Pulau Matutuang merupakan salah satu pulau program PLTS di 25 pulau-pulau kecil/terluar berpenduduk dari Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP dan Ditjen. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM.  Foto : Agustinus Wijayanto

Gardu instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan solar panel di Pulau Matutuang Kec. Pulau Marore, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut. Pulau Matutuang merupakan salah satu pulau program PLTS di 25 pulau-pulau kecil/terluar berpenduduk dari Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP dan Ditjen. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM. Foto : Agustinus Wijayanto

Dengan menumpang speedboat Badan Pengelola Perbatasan, Mongabay menuju pulau pertama yaitu Pulau Matutuang sekitar 2 jam perjalanan menggunakan speedboat berkekuatan 600PK.  Sambutan hangat oleh masyarakat terasa ketika tiba di lokasi dan kami tidak bisa berlabuh karena ombak tinggi, secara sukarela mereka menjemput dengan perahu agar kami bisa mendarat dengan selamat.

Kepala Kampung Matutuang, Heri J. Sumolang mengatakan bahwa kehadiran listrik sangat ditunggu oleh warga di pulau tersebut.  Adanya listrik memberikan suasana kampung yang lebih baik.  “Listrik tenaga matahari ini bermanfaat buat kami warga di Matutuang ini, dahulu gelap sekarang bisa lebih terang”, ungkap Sumalang.

Namun demikian, bukan tidak ada tantangan terkait dengan 30 kWp PLTS ini, terbukti bahwa dengan teknologi tinggi tersebut, pengelola merasa kesulitan jika ada kerusakan.  Hal ini diungkapkan oleh Ketua Kelompok Pengelola PLTS, Suharto Mokodompis.  “Keterbatasan pengetahuan dan ilmu kami saat ini belum mampu mengatasi jika ada kerusakan PLTS, sehingga kami masih memerlukan pelatihan teknis PLTS ini”, kata Mokodompis.

Hal senada juga diamini oleh dua orang teknisi yang bertanggung jawab dengan keberlangsungan PLTS tersebut.  Dihuni oleh 130 KK, daya terpasang per KK 450 watt dengan iuran Rp.10.000,- per bulan.  Jauh lebih murah dibanding harus menggunakan genset yang sebelumnya mengeluarkan sekitar Rp.300.000,-/bulan.

Anggota Tim Pengelola PLTS Menunjukkan Perangkat dalam Gardu Instalasi PLTS di  Pulau Matutuang Kec. P. Maroro, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut.  Foto : Agustinus Wijayanto

Anggota Tim Pengelola PLTS Menunjukkan Perangkat dalam Gardu Instalasi PLTS di Pulau Matutuang Kec. P. Marore, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut. Foto : Agustinus Wijayanto

Perjalanan kami lanjutkan ke Pulau Kawaluso, sekitar 2 jam perjalanan dari Matutuang menggunakan speed boat.  Setibanya di Kawaluso, kami pun disambut oleh keramahan penduduk disana.

Kaur Pemerintahan Hery Totaeng menyampaikan bahwa program pemerintah sangat membantu masyarakat, terutama yang berada di pulau terdepan Indonesia ini yang berdekatan dengan Negara tetangga, Filipina.  “Kami sangat berterima kasih kepada Pemerintah yang telah memberikan terang kepada kami di pulau terpencil ini.  Kami membutuhkan listrik, dan kebutuhan itu sudah di jawab”, ungkap Totaeng.

Hal senada juga disampaikan oleh teknisi PLTS, Roy, dengan adanya tambahan listrik yang saat ini 50 kWp mampu menerangi rumah-rumah warga sekitar 160-an KK dan jalan di kampung tersebut.  Sebelumnya telah ada 15 kWp dari Kementerian PDT, dan difungsikan untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan di kampung tersebut. Iuran untuk PLTS tergolong sangat murah yaitu Rp. 6000,-/bulan.

Disisi lain, tantangan yang sama juga terjadi di Kawaluso.  Seperti halnya di Matutuang, teknisi di Kawaluso juga membutuhkan peningkatan kapasitas dalam mendukung keberlanjutan PLTS. “Pengetahuan kami masih sangat terbatas untuk dapat mengelola PLTS agar dapat berfungsi dengan baik ke depannya”, ungkap Roy.

Fasilitator yang mendampingi di wilayah tersebut juga mengungkapkan hal yang sama.  Steve F. Jansen menyampaikan bahwa yang terpenting adalah meningkatkan kapasitas pengelola dalam mengelola PLTS agar lebih baik.  “Teknisi PLTS perlu diperkuat kemampuannya agar jika ada kerusakan PLTS mampu menangani karena pengetahuan dan keterampilan dimiliki oleh mereka”.

PLTS dikedua pulau yang merupakan program Kementerian ESDM dan KKP untuk pulau-pulau terluar Indonesia ini memang menggunakan listrik berbasis energi terbarukan tersebut.

Anggota Tim Pengelola PLTS memperlihatkan batere penyimpan listrik dalam Gardu Instalasi PLTS di  Pulau Kawaluso Kec. Pulau Kendahe, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut.  Foto : Agustinus Wijayanto

Anggota Tim Pengelola PLTS memperlihatkan batere penyimpan listrik dalam Gardu Instalasi PLTS di Pulau Kawaluso Kec. Pulau Kendahe, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut. Foto : Agustinus Wijayanto

Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) bekerjasama dengan Ditjen. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) pada tahun 2014 telah mengembangkan PLTS terpusat di 25 pulau-pulau kecil/terluar berpenduduk.

Sedangkan Ditjen. KP3K melalui Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil berkontribusi dalam pendampingan masyarakat melalui keberadaan Fasilitator.

Untuk selanjutnya pada tahun 2015, Ditjen. KP3K dan Ditjen. EBTKE bekerjasama dengan Gesellschaft fur Internationale Zusammenabeit (GIZ) melakukan kegiatan penguatan kapasitas Fasilitator dalam mendampingi masyarakat untuk pengembangan PLTS tersebut.

Mengingat pentingnya listrik tersebut, sudah tentu perlu perhatian lebih banyak dari Pemerintah dan pihak terkait dalam menghadirkan terang di masyarakat Indonesia, secara khusus kepada warga masyarakat yang berada di pulau-pulau terdepan sebagai pintu gerbang Negara Republik Indonesia ini.

 


Menghadirkan Terang di Pulau Terdepan Indonesia was first posted on September 25, 2015 at 1:39 am.

Menyedihkan…. Oknum PNS Unggah Foto Perburuan Beruang Madu Di Facebook

$
0
0

Setelah ramai dengan akun seorang dosen di Manado yang mengunggah foto hasil buruannya yaitu yaki (Macaca nigra) yang mendapat kecaman luas di facebook, ternyata itu bukan merupakan akhir dari gambaran kekecaman perburuan satwa dilindungi di Indonesia.

Seorang oknum PNS di Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada Kamis malam (24/09/2015) sempat menggunggah foto di akun facebook miliknya. Foto tersebut ramai disebarluaskan oleh pengguna facebook lain, diperbincangkan dan mendapat kecaman dari berbagai pihak di facebook, karena foto menunjukkan Ronal Christoper, pengunggah foto bersama dua temannya sedang menguliti beruang madu (Helarctos malayanus) yang sudah mati di sebuah sungai berbatu.

Setelahnya foto itu, Ronal sempat mengunggah satu foto yang memperlihatkan dua ekor rusa yang mati disebelah senapan angin. Tetapi saat berita ini diturunkan, kedua foto tersebut telah dihapus dalam lini masa akun facebooknya. Dalam keterangan akun facebooknya yang masih aktif, Ronal bekerja di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kutai Kartanegara.

Foto perburuan beruang madu (Helarctos malayanus) yang sempat diunggah di akun facebook Ronal Christoper, seorang oknum PNS di Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada Kamis malam (24/09/2015). Foto ini ramai disebarluaskan oleh pengguna facebook lain, diperbincangkan dan mendapat kecaman dari berbagai pihak di facebook karena beruang madu merupakan satwa dilindungi dan hampir punah. Sumber : Facebook

Foto perburuan beruang madu (Helarctos malayanus) yang sempat diunggah di akun facebook Ronal Christoper, seorang oknum PNS di Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada Kamis malam (24/09/2015). Foto ini ramai disebarluaskan oleh pengguna facebook lain, diperbincangkan dan mendapat kecaman dari berbagai pihak di facebook karena beruang madu merupakan satwa dilindungi dan rentan kepunahan. Sumber : Facebook

Pengamat telematika Nonot Harsono yang dihubungi Mongabay pada Jumat (25/09/2015) mengatakan foto dalam akun facebook tersebut dapat dijadikan bukti kejahatan di pengadilan sesuai dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Menurut UU ITE, foto itu berarti masuk aspek informasi, ada pasal yang bisa digunakan (untuk menjerat pelaku). Foto bisa dicek di akun facebooknya, melalui identitas perangkat yang dipakai, nomor IMEI ponselnya atau no telepon. Kalau melacak melalui IP (internet protocol), mungkin sulit, karena dynamic IT (akses internet berpindah) yang digunakan,” kata Nonot yang pernah menjadi anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Nonot yakin pihak Kepolisian mampu untuk melacak hal tersebut. “Mabes Polri mampu untuk melakukan pelacakan. Bila identitas telepon diketahui, akan kelihatan aktivitas saat upload foto jam berapa, posisi nomer ponsel dan lokasi BTS yang dipakai di daerah sana,” jelasnya.

Dia yakin pengunggah foto itu mengerti tentang konsekuensi penggunaan media sosial sesuai UU ITE. “Tetapi dia tidak aware tentang substansi foto itu, kalau hewan yang diburu itu hewan dilindungi. Kalau dia aware, pasti tidak upload foto itu,” tambahnya.

Foto rusa yang sempat diunggah oleh Ronal. Sumber : facebook

Foto rusa yang sempat diunggah oleh Ronal. Sumber : facebook

Sedangkan Koordinator Wildlife Crime Unit (WCU), Irma Hermawati yang dihubungi Mongabay mengatakan  kemajuan teknologi terutama internet dan penggunaan media sosial, mempengaruhi perilaku orang, termasuk dalam mengunggah foto kebrutalan terhadap satwa dilindungi.

Karena kejadian itu bukan pertama kali dilakukan di media sosial. “Saya sempat mempertanyakan foto ini asli atau photoshop (olahan gambar), karena banyak sekali orang yang mengunggah foto perburuan satwa dilindungi seperti  harimau, bekantan. Kalau memang itu asli, itu bukan kejadian yang pertama, karena sudah banyak orang posting foto membantai binatang,” katanya tegas.

Oleh karena itu, dia meminta keseriusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Mabes Polri sebagai instansi pemerintah yang berwenang sesuai Undang Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, untuk menangani kasus semacam ini.

“Kami minta keseriusan sesuai kewenangan KLHK, bisa bekerjasama dengan Mabes Polri untuk serius tangani ini,” tegasnya. Karena dia memprihatinkan banyak kasus semacam itu yang telah dilaporkan oleh berbagai LSM dan pemerhati konservasi satwa ke BKSDA atau Polri, tapi tidak ada tindak lanjut.

Irma menolak apabila pengunggah foto tidak mengetahui bahwa hewan buruannya tersebut merupakan satwa dilindungi. “Tidak ada alasan orang tidak tahu bahwa itu hewa dilindungi. Jadi proses hukum harus tetap berjalan. Ini tinggal bagaimana keseriusan BKSDA dan Mabes Polri menindaklanjutinya,” tambahnya.

Sesuai Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), beruang madu telah dimasukkan dalam Appendix-1 sejak tahun 1979 yang menyatakan bahwa mereka tidak boleh diburu oleh siapapun.

Bahkan sejak tahun 1994,  beruang terkecil dari delapan jenis beruang di dunia ini, dikategorikan dalam status rentan (vulnerable/VU) yang berarti spesies ini sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar.

Beruang madu yang menjadi simbol provinsi Bengkulu dan maskot kota Balikpapan, terdapat di daerah hujan tropis Asia Tenggara, dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Indocina, Cina Selatan,Burma, serta Semenanjung Malaya. Beruang madu pada masa lalu diketahui tersebar hampir di seluruh benua Asia, namun sekarang menjadi semakin jarang akibat kehilangan dan fragmentasi habitat.


Menyedihkan…. Oknum PNS Unggah Foto Perburuan Beruang Madu Di Facebook was first posted on September 25, 2015 at 7:55 am.

Opini : Asap Dan Sengsara

$
0
0
*Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance  Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Indonesia tengah menghadapi dua bencana asap sekaligus.  Yang pertama merupakan bencana ‘hibrida’, kombinasi antara campur tangan manusia dengan alam. Yang kedua sepenuhnya buatan manusia. Yang pertama merupakan bencana yang punya semacam ulang tahun, kecuali di waktu-waktu tertentu ia bisa tak hadir.  Yang kedua terus menerus terjadi, tak putus-putus, dan cenderung menjadi semakin buruk.

Yang pertama tampaknya sedang tampak diurusi dengan serius oleh Pemerintah.  Yang kedua sedang diperburuk situasinya oleh Parlemen.  Keduanya melibatkan aktor dalam dan luar negeri, dengan pembagian peran yang tampak sangat jelas.

Kebakaran Hutan dan Lahan

Mari kita bicarakan bencana asap yang pertama.  Betul!  Asap kebakaran hutan dan lahan.  Biasa disingkat karhutla.  Banyak pihak yang menyatakan bahwa bila belahan dunia sedang mengalami musim kering, lalu diperparah dengan El Nino, maka peluang kebakaran hutan dan lahan menjadi meningkat.  Bisa jadi begitu, namun penting untuk diingat bahwa si bocah nakal bernama El Nino itu tak pernah membawa korek. ‘Sang bocah’ tidak memantik api. Mungkin ada kebakaran hutan yang dipicu oleh kilat, tapi itu tak berapa banyak.  Apalagi kilat itu tak sering-sering muncul di musim kering.

Promosi Riau, sebagai lokasi potensial investasi perkebunan diselimuti kabut asap. Benar-benar daerah yang sudah merasakan 'hasil' investasi perkebunan, seperti sawit, dengan suguhan kebakaran hutan/lahan dan asap setiap tahun. Foto: Riko Kurniawan

Promosi Riau, sebagai lokasi potensial investasi perkebunan diselimuti kabut asap. Benar-benar daerah yang sudah merasakan ‘hasil’ investasi perkebunan, seperti sawit, dengan suguhan kebakaran hutan/lahan dan asap setiap tahun. Foto: Riko Kurniawan

Partisipasi manusia dalam kebakaran hutan dan lahan jelas lebih tinggi proporsinya.  Manusia modernlah yang membuka hutan dengan ceroboh.  Dahulu, ketika masyarakat adat tinggal di hutan-hutan mereka melakukan perladangan berotasi.  Mereka membakar hutan untuk membuka lahan, dan memanen rabuk buat tanaman mereka.  Tak pernah terdengar kasus hutan terbakar lantaran mereka.  Tetapi, ketika modernisasi pengelolaan hutan dilakukan, HPH masuk ke tanah-tanah adat maupun tanah yang tak bertuan, transmigrasi merambah hutan, bencana kebakaran mulai terjadi.  Lebih buruk lagi, ketika hutan-hutan dibuka untuk pencetakan sawah, untuk pertambangan, dan untuk perkebunan, bencana kebakaran semakin sering terdengar.

Tampaknya sejak hutan Kalimantan terbakar hebat di tahun 1997, karhutla jadi tamu tahunan, kecuali ketika La Nina yang datang.  Perempuan kecil ini membawa banyak air, dan hutan serta lahan kitapun aman dari api.  Pernah suatu ketika seorang Menteri Kehutanan di kabinet yang lampau mengklaim keberhasilan menurunkan titik api, dengan membandingkan kondisi tahun itu (yang basah) versus tahun sebelumnya (yang kering).  Sontak saja banyak pihak yang paham memberi pelajaran yang berharga kepada si Menteri.  Bukan dia atau atasannya—yang ia sebut-sebut ketika itu—yang pantas menerima pujian, melainkan Allah atau alam, yang memang membuat kondisi kita jadi lebih baik.  Mengakui hasil karya Allah atau alam sebagai hasil kerja kementeriannya tentu tak elok.

Kebakaran lahan gambut di Kalbar. Walhi, menilai, dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang berulang, pemerintah hanya ribut pada soal pemadaman, bukan pada pokok persoalan, seperti penting review perizinan, bahkan pencabutan izin bagi perusahaan-perusahaan yang konsesi mereka mengalami kebakaran. Foto: Sapariah Saturi

Kebakaran lahan gambut di Kalbar. Walhi, menilai, dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang berulang, pemerintah hanya ribut pada soal pemadaman, bukan pada pokok persoalan, seperti penting review perizinan, bahkan pencabutan izin bagi perusahaan-perusahaan yang konsesi mereka mengalami kebakaran. Foto: Sapariah Saturi

Yang mengesalkan banyak pihak adalah bahwa kejadian ini terus saja terjadi.  Seperti tak ada pelajaran yang bisa diambil dalam 18 tahun yang menyengsarakan ini.  Tampaknya, semua hal dilupakan ketika hujan telah mulai turun, sampai kemudian hal itu terjadi lagi di musim kering tahun berikutnya.  Begitu yang terjadi terus menerus.  Penanganannya sendiri tampak sporadis, berfokus pada pemadaman ketika titik api sudah banyak, dan asap sudah mencekik seluruh sistem pernafasan masyarakat.  Kalau belum seperti itu, tampaknya semua pihak adem ayem saja.

Tetapi itu sebetulnya tak tepat betul.  Presiden SBY telah membuat banyak kemajuan dengan menegakkan moratorium penebangan hutan. Di masa kepemimpinannya pula rehabilitasi lahan yang rusak banyak dilakukan lewat berbagai program seperti ‘penanaman 1 milyar pohon’ yang melibatkan beragam pemangku kepentingan.  Satgas REDD+, lalu berubah menjadi BP REDD+, juga dibentuk dan menjalankan banyak upaya memperbaiki kondisi hutan yang telah centang perenang.

Presiden Jokowi juga demikian.  Salah satu blusukan pertamanya adalah ke lokasi langganan karhutla di Riau, dan beliau memerintahkan berbagai tindakan konkret.  Sayangnya, aparatnya belum tampak cukup sigap melaksanakan apa yang Sang Komandan perintahkan, bahkan beberapa kali terekam berita mereka melakukan sandiwara seolah bekerja.  Untungnya, di sisi hukum kita lihat kemajuan yang sangat dahsyat.  Kallista Alam dinyatakan terbukti membakar hutan dan dihukum denda Rp366 milyar oleh MA.  Ini adalah hukuman terberat bagi kejahatan lingkungan yang pernah kita catat.

Presiden Jokowi didampingi Abdul Manan dan masyarakat Desa Sei Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Riau. secara simbolis menutup dam kanal air untuk melindungi lahan gambut dari kebakaran hutan. Tebing Tinggi merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Foto : Ardiles rante / Greenpeace

Presiden Jokowi didampingi Abdul Manan dan masyarakat Desa Sei Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Riau. secara simbolis menutup dam kanal air untuk melindungi lahan gambut dari kebakaran hutan. Tebing Tinggi merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Foto : Ardiles rante / Greenpeace

Yang sedang antre di sistem pengadilan lebih dahsyat lagi tuntutannya.  National Sago Prima (NSP) telah dinyatakan bersalah dan dihukum membayar denda Rp1 trilyun.  Tapi mereka masih melakukan kasasi ke MA. Kita lihat saja kelanjutannya.  Semoga kita bisa melihat secercah keadilan, dan hasilnya akan membuat korporasi tidak lagi bertindak ceroboh atas hutan dan lahan kita.

Asap Rokok yang Tak Pernah Padam

Tak ada yang alamiah dari soal asap rokok ini.  Tentu tembakau berasal dari alam, namun pemanfaatannya sepenuhnya adalah buatan manusia.  Budidaya tembakau serta pengolahannya menjadi rokok jenis apapun adalah keputusan dan tindakan manusia.  Usianya belum terlampau lama pula.  Walaupun menggunakan tembakau itu sudah cukup lama dilakukan oleh masyarakat-masyarakat tradisional, namun budidayanya secara massif datang bersama-sama dengan imperialisme dan kolonialisme.   Tembakau adalah tanaman bernilai ekonomi tinggi yang memicu penjajahan manusia atas manusia lain.

Di Indonesia, sejarah mencatat, tembakau dibudidayakan untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial Belanda.  Tanam paksa atau cultuurstelsel—yang sebetulnya bermakna netral ‘sistem kultivasi’—adalah jalan masuk merebaknya penanaman tembakau di Indonesia.  Tanam paksa yang berorientasi ekspor itu kemudian diikuti dengan penanaman untuk konsumsi lokal oleh para pengusaha keturunan Tiongkok yang menjadi pemilik perusahaan-perusahaan rokok di Pulau Jawa.  Setelah jumlah perokok menjadi sangat besar di negeri ini, para pemodal asing kemudian kembali  berdatangan.  Ini membuat Indonesia yang belum memiliki visi perlindungan yang kokoh bagi warganya menjadi surga terakhir industri rokok global.

Berbeda dengan karhutla yang asapnya datang pada waktu-waktu tertentu, asap rokok terus menerus ada.  Bukan hanya di tempat-tempat tertentu juga, melainkan di seluruh tempat di Indonesia.  Silakan kunjungi tempat-tempat terpencil, dan kita akan melihat asap mengepul dari mulut para perokok, dengan merk-merk yang juga kita bisa dapati di kota-kota besar.

Kami Rindu Langit Biru.  Anak-anak menggunakan masker di lingkungan buruk kabut asap.  Foto: Domiyanto

Kami Rindu Langit Biru. Anak-anak menggunakan masker di lingkungan buruk kabut asap. Foto: Domiyanto

Karena perilaku merokok terjadi terus-menerus, dampak produksi dan konsumsinya juga demikian.  Produksi rokok global telah diketahui bertanggung jawab atas deforestasi sebanyak 200 ribu hektare setiap tahun.  Ratusan juta pohon hilang karena hutan dibabat untuk budidaya dan pengeringan tembakau yang banyak menggunakan kayu bakar.

Bagaimana dengan Indonesia? Di salah satu provinsi penghasil tembakau, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah terjadi deforestasi yang sangat parah lantaran hal ini.  Dalam catatan WALHI NTB, sekitar 1,6 juta pohon ditebang setiap tahunnya untuk melanjutkan budidaya dan pengeringan tembakau.  Kalau kecenderungan ini berlanjut, WALHI NTB mengkhawatirkan provinsi ini akan benar-benar tak memiliki hutan dalam luasan yang cukup untuk menopang kehidupan masyarakat dalam satu dekade ke depan.

Di sisi konsumsi, sudah banyak diketahui orang dampak kesehatannya.  Beragam penyakit tidak menular, kecuali kecelakaan, terkait dengan konsumsi rokok.  Tobacco Atlas 2015 mencatat konsumsi rokok membunuh sekurang-kurangnya 217.400 orang Indonesia di tahun 2014, dengan setidaknya 25.000 di antaranya adalah perokok pasif.  Kalau dihitung dengan ekonomi kesehatan, pada tahun 2013 biaya kesehatan yang timbul mencapai sedikitnya Rp378,75 triliun.  Sementara, pada tahun yang sama, cukai—alias pajak dosa atau sin tax—yang dibayarkan kepada Pemerintah hanyalah Rp103 triliun.  Tahun itu Pemerintah dan masyarakat Indonesia tekor Rp275,75 triliun!

Belum lagi biaya-biaya sosial dan lingkungan lain yang timbul.  Kalau kita berselancar di Google dengan menggunakan kata kunci ‘rokok kebakaran hutan’, kita akan menemukan banyak sekali kasus.  Ini juga menambahi parahnya bencana asap.  Belum lagi soal puntungnya yang merupakan bahan non-biodegradable dan mengandung banyak racun.  Negeri kita sudah lama menetapkan nikotin sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3), tapi puntung rokok tetap bisa dibuang sembarangan tanpa konsekuensi apapun bagi pembuatnya maupun pembuangnya.

Kondisi itu semua akan menjadi semakin buruk kalau kita membiarkan Parlemen bermain mata dengan industri rokok.  Dahulu, Presiden SBY sudah menetapkan bahwa seharusnya di tahun 2015 ini jumlah rokok yang diproduksi di Indonesia dibatasi pada angka 260 milyar batang per tahun, dan itu diberlakukan hingga tahun 2020.  Dalam Perpres bertajuk Roadmap Industri Hasil Tembakau itu juga dinyatakan bahwa mulai tahun 2015 pertimbangan utamanya adalah kesehatan.  Namun, yang sedang dilakukan oleh parlemen benar-benar tidak menghormatinya.

Lewat RUU Pertembakauan dan RUU Kebudayaan, parlemen sedang merancang epidemi tembakau yang jauh lebih dahsyat dibandingkan masa lalu.  Kini produksi rokok telah mencapai 362 milyar batang—alias 102 milyar di atas ambang batas yang dibuat oleh Presiden SBY—tapi produksi akan digenjot terus.  Di sisi lain, petani dan pekerja tidak mendapatkan perlindungan apa-apa.

Retorika pembelaan terhadap petani dan pekerja terus diluncurkan oleh anggota Parlemen yang mengajukan kedua RUU, namun bila diperiksa satu persatu pasalnya, tak ada sama sekali yang bisa dikatakan sebagai pembelaan itu.  Yang ada malahan adalah rancangan untuk memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan di Indonesia menjadi pelayan kepentingan industri rokok, dengan menjamin perusahaan rokok bisa terus meningkatkan produksinya, dan seluruh pihak lain akan menanggung semua ekstrenalitas negatif dari produksi dan konsumsi rokok.

Kepentingan Asing dan Para Komprador

Kita punya kepentingan yang sangat kuat dan mendesak untuk memastikan kondisi keberlanjutan di Indonesia.  Untuk itu, kecenderungan destruktif yang menyebabkan dua jenis bencana asap yang menyengsarakan bangsa Indonesia itu harus dibalik.  Kondisi yang menyebabkan bencana karhutla telah membuat kita gagal mencapai tujuan 7 dari Millennium Development Goals (MDGs) di tahun ini; sementara produksi dan konsumsi yang menyebabkan bencana asap rokok telah menghambat kita mencapai tujuan 1, 2, 4, 5 dan 7 dari MDGs sekaligus!

Foto Hanum Angriawati, di dinding rumahnya. Dia meninggal dunia karena gagal pernafasan. Foto: Made Ali

Foto Hanum Angriawati, di dinding rumahnya. Dia meninggal dunia karena gagal pernafasan. Foto: Made Ali

Kalau kita cermati tujuan-tujuan dan target Sustainable Development Goals (SDGs), maka kedua bencana asap ini akan membuat kita kesulitan mencapainya lagi di tahun 2030.  Tujuan 13 dan 15 jelas akan sangat sulit dicapai bila masalah di belakang karhutla tidak kita selesaikan dengaan tuntas.  Tapi, itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan bencana asap rokok.  Dua peneliti dari Jerman, van Eichborn dan Tanzmann telah menguliti kaitan antara produksi dan konsumsi rokok dengan tujuan dan target SDGs dengan sangat terperinci.

Hasilnya?  Setidaknya 11 dari 17 Tujuan dari 68 dari 169 Target SDGs tak akan bisa dicapai dengan mudah, kalau malah bukan mustahil, bila produksi dan konsumsi rokok tidak dikendalikan.  Hal itu dituangkan dalam dokumen yang tajuknya mencerminkan kesimpulan mereka, Tobacco: Antisocial, Unfair, Harmful to the Environment (van Eichborn dan Tanzmann, 2015).

Kalau kemudian kita cermati, seluruh ancaman itu bahkan tidak sepenuhnya datang dari perilaku kita sendiri, warga negara Indonesia.  Studi yang dilakukan oleh Transformasi untuk Keadilan Indonesia menemukan bahwa para pemodal asing berada di balik kebun-kebun sawit Indonesia, sektor yang ditengarai  banyak terkait dengan kebakaran hutan.  Hasil studi yang diberi judul Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia (TUK Indonesia, 2015) menemukan bahwa bank-bank dan investor asing lainnya adalah pemodal besar di balik operasi kebun-kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit di negeri ini.  Memang belum tentu kelompok-kelompok besar yang membakar atau membiarkan lahannya terbakar, namun di antara yang sedang berada di proses hukum jelas ada perusahaan-perusahaan sawit yang pemodalnya asing.

Dalam hal ini, lagi-lagi bencana asap rokok lebih berbau kepentingan asing.  Pemilik Sampoerna sekarang adalah Philip Morris, dan Bentoel dikuasai oleh BAT.  Keduanya sudah lama diketahui sebagai perusahaan dengan pemodal asing yang menguasai pangsa pasar yang cukup besar.  Kombinasi keduanya saja sudah mencakup sekitar 43% pangsa pasar rokok Indonesia.  Tetapi, pencarian di dunia maya secara selintasan juga memberikan petunjuk-petunjuk awal bahwa sesungguhnya Gudang Garam dan Djarum juga bukanlah lagi merupakan perusahaan nasional.  Beberapa situs menunjukkan bahwa sudah lebih dari satu dekade Gudang Garam sebetulnya dimiliki oleh Imperial Tobacco.  Sementara, pada periode yang kurang lebih sama, Djarum dibeli oleh Gallaher Group.  Gallaher Group sendiri kemudian dibeli oleh Japan Tobacco Internasional (JTI) di tahun 2007.  JTI sendiri sudah membeli Wismilak.  Kalau pangsa pasar kelima perusahaan ini digabung, proporsi 83% produksi rokok sudah terlampaui.

Tentu, kita tak bisa bersikap anti-asing yang gegabah di masa sekarang.  Hubungan dengan pemodal  asing juga sangat banyak menguntungkan kita.  Namun, kalau pemodal asing itu kemudian menghadirkan bencana-bencana kepada kita, sudah sepantasnya kita bersikap tegas.  Demikian juga sikap kita seharusnya kepada para kompradornya yang berkewarganegaraan Indonesia.  Kalau kita ingin Indonesia yang berkelanjutan, perilaku mereka harus dihentikan.  Kalau kita yakin bahwa bencana asap karhutla akan mereda bila korporasi yang terlibat itu dihukum dengan denda yang mahal, tidakkah kita seharusnya mengupayakan hal yang sama untuk bencana asap rokok?


Opini : Asap Dan Sengsara was first posted on September 25, 2015 at 2:31 pm.

Bersiap Menyambut Pengelana Angkasa Di Kepulauan Sangihe

$
0
0

Mengamati burung (birdwatching) langsung dari alam, merupakan kegiatan yang menarik sekaligus menambah pengetahuan. Di Indonesia, Burung Indonesia mencatat bahwa pemantauan migrasi burung pemangsa (raptor) telah dilakukan untuk keseluruhan jenis burung pemangsa yang dipantau sejak tahun 2001 meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan.

Namun demikian untuk wilayah Sulawesi hingga Papua masih terbatas informasinya, kecuali di Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara. Pergerakan burung pemangsa tersebut diperkirakan pada September-November dan Maret-Mei.

Pemandangan dari puncak Pusunge di dekat Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Puncak Pusunge menjadi tempat favorit untuk pemangamatan burung migran di Sangihe. Foto : Agustinus Wijayanto

Pemandangan dari puncak Pusunge di dekat Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Puncak Pusunge menjadi tempat favorit untuk pemangamatan burung migran di Sangihe. Foto : Agustinus Wijayanto

Salah satu tempat favorit untuk pengamatan burung bagi masyarakat di Kepulauan Sangihe adalah Pusunge di Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, karena tepat berada di atas kota yang dapat ditempuh kurang lebih 15-20 menit dengan kendaraan darat.

Puncak Pusunge menjadi merupakan lokasi strategis bagi pengamat burung, karena tempat yang sangat pas mengamati migrasi ribuan burung dari jauh yang datang dua kali dalam setahun.  Selain itu, pemandangan indah bisa dilihat dari puncak Pusunge, seperti Kota Tahuna, Teluk Tahuna, Gunung Awu dan beberapa pulau sekitarnya.

Dengan ketinggian sekitar 500-an meter diatas permukaan laut (mdpl), memberikan suasana sejuk.  Tempat tersebut juga digunakan untuk kegiatan olah raga paralayang bagi sebagian pecinta olah raga terbang ini.

Catatan tahun 2007 di Pulau Sangihe dari peneliti Italia mendapatkan lebih dari 350 ribu raptor migran masuk ke Indonesia dari Filipina melalui Kepulauan Sangihe. Sementara itu pada tahun 2011, terpantau sebanyak 1673 ekor yang didominasi oleh jenis elang alap cina (Accipiter soloensis) dan elang alap nipon (Accipiter gularis).

Stenly Pontolawokang, salah satu pemerhati burung di Sulawesi Utara sedang memotret migrasi raptor di Puncak Pusunge, Kota Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Puncak Pusunge menjadi tempat favorit untuk pemangamatan burung migran di Sangihe. Foto : Agustinus Wijayanto

Stenly Pontolawokang, salah satu pemerhati burung di Sulawesi Utara sedang memotret migrasi raptor di Puncak Pusunge, Kota Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Puncak Pusunge menjadi tempat favorit untuk pemangamatan burung migran di Sangihe. Foto : Agustinus Wijayanto

Mongabay yang didampingi Stenly Pontolawokang, salah satu fotografer dan pemerhati satwa liar di Sangihe berkesempatan melakukan pengamatan di Pusunge pada akhir September 2015 ini dan tercatat sekitar 30 ekor melintas elang alap cina.

“Pusunge menjadi salah satu tempat favorit dan tempat yang stategis untuk pengamatan migrasi raptor”, ungkap Stenly.  “Sudah ada sekitar 1000 ekor yang melintas, paling banyak dari jenis Accipiter soloensis dan Pernis ptilorhynchus, selain itu, teramati juga pergerakan dari elang alap sapi Falco moluccensis”, tambah Stenly.

Asman Adi Purwanto sebagai salah satu pemerhati raptor di Indonesia menyampaikan bahwa data terbaru dari Sangihe belum ada, sehingga akan lebih lengkap jika pemerhati migrasi raptor bisa saling berbagi informasi terkini.  “Bisa jadi tahun ini di Sangihe ramai dilintasi raptor.  Jalur timur pada tahun 2012 hanya dapat informasi dari Filipina. Sementara dari wilayah Sulawesi Utara, secara khusus dari Sangihe belum mendapatkan data terbaru,”  ungkap Asman.

Migrasi burung pemangsa merupakan fenomena yang terjadi dan jika masyarakat dapat terlibat dalam pemantauan maka akan didapatkan data yang lebih lengkap dan lebih banyak informasi dapat tersebarkan. Harapan tersebut bukanlah tanpa alasan karena komunitas yang ada di masyarakat perlu lebih paham terkait dengan keberadaan satwa liar tersebut, termasuk menjaga habitat yang menjadi tempat ‘singgah’ para tamu dari jauh tersebut.

Burung elang alap cina (Accipiter soloensis) melintas di atas Puncak Pusunge Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara pada akhir September 2015. Foto : Agustinus Wijayanto

Burung elang alap cina (Accipiter soloensis) melintas di atas Puncak Pusunge Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara pada akhir September 2015. Foto : Agustinus Wijayanto

Migrasi burung pemangsa di Indonesia umumnya karena migrasi balik (return migration). Migrasi balik inilah yang paling populer yaitu burung yang berada di belahan bumi utara kala musim dingin datang akan berangkat ke bumi belahan selatan yang sedang musim panas. Tujuannya jelas untuk mencari makan. Ketika musim dingin di tempat asalnya, barulah ia akan kembali lagi.

Burung pemangsa, misalnya. Untuk mencapai Indonesia yang berada di ujung selatan Jalur Asia Timur (Eastern Asia Flyway), mereka akan bermigrasi melalui dua koridor. Koridor pertama adalah Koridor Daratan Timur (Eastern Inland Corridor) yang melalui jalur ini para raptor akan terbang dari tenggara Siberia melalui timur Tiongkok menuju semenanjung Malaysia, lalu mendarat di Indonesia yaitu Jawa, Bali, dan Lombok. Sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus) maupun elang-alap nipon (Accipiter gularis) selalu menggunakan jalur ini saban tahunnya.

Burung elang-alap cina (Accipiter soloensis) yang biasanya menggunakan jalur  Koridor Pasifik untuk bermigrasi ke wilayah selatan ke Indonesia. Foto : sjl.csie.chu.edu.tw

Burung elang-alap cina (Accipiter soloensis) yang biasanya menggunakan jalur
Koridor Pasifik untuk bermigrasi ke wilayah selatan ke Indonesia. Foto : sjl.csie.chu.edu.tw

Sementara Koridor Pasifik (Pacific Corridor) akan dilalui oleh burung-burung dari timur Rusia yang melewati Kepulauan Jepang dan Taiwan, lalu ke selatan Filipina dan menepi di wilayah Sunda Besar, termasuk Sulawesi. Burung yang biasa menggunakan jalur dengan panjangnya sekitar lima ribu kilometer ini adalah elang-alap cina (Accipiter soloensis) maupun elang buteo (Buteo buteo).

 

 

 

 

 

 


Bersiap Menyambut Pengelana Angkasa Di Kepulauan Sangihe was first posted on September 26, 2015 at 3:00 am.

Ornate Ghost Pipefish, Si Ahli Penyamar Dari Lautan

$
0
0

Jika anda mengira kemampuan menyamar hanya dimiliki oleh hewan darat seperti beberapa jenis laba-laba dan chameleon, maka anggapan anda salah. Lautan pun mempunyai beberapa hewan yang juga berkemampuan menyamar yang tidak kalah hebat dengan hewan darat itu.

Dan salah satunya adalah ornate ghost pipefish atau harlequin ghost pipefish. Ikan bernama latin Solenostomus paradoxus sering disebut sebagai false pipefish yang berasal  dari keluarga Solenostomidae.

Ikan ornate ghost pipefish atau harlequin ghost pipefish. Ikan bernama latin Solenostomus paradoxus sering disebut sebagai false pipefish. Foto : Wisuda

Ikan ornate ghost pipefish atau harlequin ghost pipefish. Ikan bernama latin Solenostomus paradoxus sering disebut sebagai false pipefish. Foto : Wisuda

Nama spesiesnya diambil dari kata paradoxos Yunani, yang mengacu pada corak eksternal tubuh yang tidak biasa pada ikan ini.

Ornate ghost pipefish dapat dengan mudah ditemukan di lautan Pasifik Barat dan Samudera Hindia, dan tinggal di sepanjang tepi terumbu karang yang juga rentan terhadap arus kuat.

Ikan ornate ghost pipefish, satwa laut ahli penyamar diantara terumbu karang. Foto : Wisuda.

Ikan ornate ghost pipefish, satwa laut ahli penyamar diantara terumbu karang. Foto : Wisuda.

Mereka mencapai panjang maksimal 12 cm saja, dengan variasi warna tubuh  merah atau kuning, sampai hitam dan hampir transparan.

Mereka sebagian besar memakan mahluk yang lebih kecil dan udang bentik. Ornate ghost pipefish betina membawa telur di sirip perut mereka yang dimodifikasi sebagai kantong.

Ikan ornate ghost pipefish yang dapat ditemukan di lautan Pasifik Barat dan Samudera Hindia. Foto : Wisuda

Ikan ornate ghost pipefish yang dapat ditemukan di lautan Pasifik Barat dan Samudera Hindia. Foto : Wisuda

Meskipun relatif umum dan ada di beberapa tempat, ornate ghost pipefish sangat pintar menyamar sehingga membuatnya sulit untuk ditemukan.

Warna tubuhnya hampir sama dengan terumbu karang di mana dia tinggal, sehingga jika kita tidak memperhatikannya dengan seksama, maka kita akan sangat sulit menemukan hewan yang satu ini. Bentuknya yang unik, semakin menambah indah kehidupan bawah air.

ornate-ghost-pipefish

 

Ikan ornate ghost pipefish mempunyai variasi warna tubuh dari merah dan kuning bercorak, sampai dengan hitam. Foto : Wisuda

Ikan ornate ghost pipefish mempunyai variasi warna tubuh dari merah dan kuning bercorak, sampai dengan hitam. Foto : Wisuda


Ornate Ghost Pipefish, Si Ahli Penyamar Dari Lautan was first posted on September 26, 2015 at 5:00 am.

Dalam Sepekan, Dua Kawasan Hutan Lindung Di Sulsel Dilalap Api

$
0
0

Kebakaran hutan melanda sejumlah kawasan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, sejak Senin (21/9). Sedikitnya di titik 3 titik, yaitu wilayah Biseang Labboro, Kawasan Cagar Alam Karaenta, Kecamatan Simbang hingga Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin di Kecamatan Cenrana.

Kebakaran yang melanda hutan seluas 100 hektar ini, baru bisa dipadamkan pada Jumat dini hari (25/9). Kondisi lahan yang miring menghambat upaya pemadaman.

“Kita terpaksa angkut air pakai jerigen ke atas karena susahnya medan yang miring. Air dari jerigen ini kita masukkan ke pompa penyemprot polisi kehutanan setempat. Itupun terbatas jumlahnya,” ungkap Suyuti, Kepala UPT Pemadaman Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maros, di Maros, Jumat (25/9).

Upaya pemadaman kebakaran hutan Hutan pendidikan di Bengo, Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Jumat (25/09/2015).  Sejak Senin (21/09/2015), ada 3 titik kebakaran di sejumlah hutan di Kabupaten Maros, , yaitu wilayah Biseang Labboro, Kawasan Cagar Alam Karaenta, Kecamatan Simbang hingga Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddi. Foto : Ilham Halimsyah/Humas Pemda Maros

Upaya pemadaman kebakaran hutan Hutan pendidikan di Bengo, Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Jumat (25/09/2015). Sejak Senin (21/09/2015), ada 3 titik kebakaran di sejumlah hutan di Kabupaten Maros, , yaitu wilayah Biseang Labboro, Kawasan Cagar Alam Karaenta, Kecamatan Simbang hingga Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddi. Foto : Ilham Halimsyah/Humas Pemda Maros

Menurut Suyuti, api sebenarnya sudah bisa diatasi di hari pertama, tapi ternyata kemudian melebar dan menjalar ke tempat lain, karena kondisi hutan yang kering, adanya angin kencang, serta keberadaan pohon pinus dan padang ilalang di sekitar lokasi tersebut.

Penanganan kebakaran ini melibatkan sekitar 140 personil, baik dari UPT Kebakaran BPPD Maros, juga dari pihak Taman Nasional Bantimurung – Bulusaruang, Manggala Agni dan Kodim 422 Maros.

Selain membakar hutan, sebuah tower Telkom juga ikut terbakar. Tak ada korban jiwa alam kebakaran ini karena lokasi pemukiman yang agak jauh.

Kebakaran di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin di Bengo, Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Jumat (25/09/2015).  Foto : Ilham Halimsyah/Humas Pemda Maros

Kebakaran di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin di Bengo, Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Jumat (25/09/2015). Foto : Ilham Halimsyah/Humas Pemda Maros

“Mungkin ada sekitar 100 kepala keluarga yang hidup di sekitar hutan tapi mash relative aman. Cuma ada beberapa personil kami yang sempat luka karena terjatuh, termasuk kaki saya yang cedera ketika mencoba mendaki,” papar Suyuti.

Terkait penyebab kebakaran, Suyuti belum bisa memberi informasi pasti, namun ia memperkirakan tiga kemungkinan penyebab.

“Bisa karena akivitas warga yang sedang mencari madu di daerah itu, atau karena puntung rokok. Kemungkinan lain bisa karena pantulan matahari di botol-botol minuman yang berserakan di daerah terbuka, yang menyebabkan percikan api di dedaunan yang kering,” tambahnya.

Upaya pemadaman kebakaran di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin di Bengo, Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Jumat (25/09/2015).  Penanganan kebakaran ini melibatkan sekitar 140 personil, dari UPT Kebakaran BPBD Maros, Taman Nasional Bantimurung – Bulusaruang, Manggala Agni dan Kodim 422 Maros. Foto : Ilham Halimsyah/Humas Pemda Maros

Upaya pemadaman kebakaran di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin di Bengo, Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Jumat (25/09/2015). Penanganan kebakaran ini melibatkan sekitar 140 personil, dari UPT Kebakaran BPBD Maros, Taman Nasional Bantimurung – Bulusaruang, Manggala Agni dan Kodim 422 Maros. Foto : Ilham Halimsyah/Humas Pemda Maros

Terkait luasan hutan yang terbakar sebenarnya masih simpang siur. Jika dari BPPD memperkirakan sekitar 100 hektar, beberapa pihak sebelumnya hanya memperkirakan belasan dan puluhan hektar.

“Apinya terus menjalar sehingga belum bisa diperkirakan secara pasti luas hutan yang terbakar. Sekitar 100-an hektar lah menurut saya. Itu termasuk hutan pendidikan dan hutan lindung,” kata Suyuti.

Hutan pendidikan seluas 1300 hektar selama ini menjadi laboratorium alam yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan Unhas, yang diresmikan 1980. Secara adminstratif, hutan ini berada di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Camba, Cenrana dan Mallawa.

Sejumlah flora dan fauna endemik berada di kawasan ini, termasuk puluhan spesies anggrek, yang baik tumbuh alami ataupun ditanam oleh mahasiswa. Ada juga monyet khas Sulawesi Macaca Maura, rangkong dan tarsius.

Upaya pemadaman kebakaran di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin di Bengo, Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Jumat (25/09/2015).  Hutan pendidikan yang selama ini menjadi laboratorium pembelajaran bagi mahasiswa Kehutanan Unhas, berisi  ratusan flora dan fauna endemic Sulawesi. Foto : Ilham Halimsyah/Humas Pemda Maros

Upaya pemadaman kebakaran di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin di Bengo, Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Jumat (25/09/2015). Hutan pendidikan yang selama ini menjadi laboratorium pembelajaran bagi mahasiswa Kehutanan Unhas, berisi ratusan flora dan fauna endemic Sulawesi. Foto : Ilham Halimsyah/Humas Pemda Maros

Di waktu yang hampir bersamaan, kebakaran hutan juga terjadi di Desa Lioka Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel, pada Selasa (22/9). Api melahap puluhan hektar wilayah hutan lindung dan area perkebunan warga.

Penyebab kebakaran belum diketahui secara pasti. Dari pemberitaan media lokal, kemungkinan penyebabnya karena aktivitas pembukaan kebun merica, karena di wilayah tersebut perluasan lahan perkebunan dengan cara membakar lahan.

“Pembukaan kebun merica jadi pemicu kebakaran lahan. Oknum warga di daerah itu memperluas lahan perkebunannya dengan cara membakar lahan kering sehingga merembet hingga ke areal hutan lindung,” kata Musakkir, warga Kecamatan Towuti, dalam lutimterkini.com.

Kesiapsiagaan bencana

Terkait kebakaran di Maros, Asmar Exwar, Direktur WALHI, menilai kebakaran ini seharusnya bisa dipadamkan lebih cepat melalui antisipasi kesiapsiagaan Pemda setempat. Apalagi dalam dokumen rencana penanggulangan bencana di Sulsel, Maros merupakan salah satu daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

“Harusnya di daerah-daerah rawan tersebut sudah bisa diantisipasi terjadinya kejadian-kejadian seperti kebakaran ini, termasuk memperkuat BPBD agar bisa setiap saat siaga menghadapi kondisi-kondisi kritis kebencanaan di daerahnya masing-masing.”

Untuk mengetahui penyebab kebakaran secara pasti, Asmar berharap adanya upaya investigasi mendalam dari pihak terkait.  “Kemungkinan faktor kesengajaan bisa saja terjadi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi sekarang ramai-ramainya orang bakar hutan demi kepentingan bisnis.”

Menurut Mustam Arif, Direktur Jurnal Celebes, hutan-hutan yang ada di Kabupaten Maros seharusnya menjadi prioritas dalam hal pengawasan kemungkinan terjadinya kebakaran seperti yang terjadi saat ini.

“Hutan Maros mengemban fungsi ekologis yang strategis, sebagai menara air untuk Maros, Makassar dan sekitarnya, juga ada cagar alam, taman masional, taman purbakala, wilayah konservasi, hutan pendidikan, makanya harus menjadi prioritas untuk dijaga kelestariannya. Apalagi pengalaman menujukkan Maros tak pernah luput dari kebakaran hutan setiap musim kemarau panjang,” katanya.

Berlarut dan meluasnya kebakaran menunjukkan Pemda kurang antisipatif, tidak punya early warning system.  Musta menambahkan bahwa Pemda sudah harus punya kesiapan dan rencana antisipatif sebelum hutan terbakar, serta saran dan prasarana pemadaman kebakaran.

“Kita lihat sekarang terkesan menunggu sampai terjadi kebakaran, baru masing-masing pihak bergerak. Padahal dengan melihat kemarau yang panjang ini mestinya sudah punya antisipasi dan pencegahan. Sudah harus ada pengawasan bagi warga atau pihak-pihak yang sengaja atau tidak sengaja atau lalai sehingga menyebabkan kebakaran hutan.”

Langkah lain yang harus dilakukan Pemda, tambah Asmar, adalah menjalin kemitraan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, termasuk memberi pemahaman untuk menjaga hutan dan tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang berpotensi mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan.


Dalam Sepekan, Dua Kawasan Hutan Lindung Di Sulsel Dilalap Api was first posted on September 27, 2015 at 3:46 am.

Si Kuda Mungil Mempesona Dari Kedalaman Laut

$
0
0

Anda pasti sudah mengenal yang namanya kuda laut, hewan mungil yang berasal dari dalam lautan. Tetapi apakah anda juga mengenali yang namanya kuda laut kerdil atau pygmy seahorse?

Iya, pygmy seahorse memang nyata, dan di Indonesia pun, kita dapat menemukannya di beberapa tempat, seperti Bali, Sulawesi dan Papua. Dan pygmy seahorse pun mempunyai beberapa jenis, yang salah satunya adalah bargibanti pygmy seahorse.

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti atau hippocampus kerdil, salah satu jenis kuda laut dari keluarga Syngnathidae. Satwa yang pandai menyamar diantara terumbu karang ini dapat ditemukan di sebelah  barat pusat Samudera Pasifik, termasuk Indonesia. Foto : Wisuda

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti atau hippocampus kerdil, salah satu jenis kuda laut dari keluarga Syngnathidae. Satwa yang pandai menyamar diantara terumbu karang ini dapat ditemukan di sebelah barat pusat Samudera Pasifik, termasuk Indonesia. Foto : Wisuda

Hippocampus bargibanti, juga dikenal sebagai kuda laut bargibanti atau hippocampus kerdil, adalah kuda laut dari keluarga Syngnathidae yang dapat ditemukan di sebelah  barat pusat Samudera Pasifik, termasuk Indonesia.

Hewan unik  Ini berukuran kecil, biasanya kurang dari 2 cm,  dan hidup secara menempel pada karang seafan. Ada dua variasi warna yang dikenal, yaitu abu-abu dengan tuberkel merah, dan kuning dengan tuberkel oranye.

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti, satwa laut yang pandai menyamar diantara terumbu karang. Foto : Wisuda

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti, satwa laut yang pandai menyamar diantara terumbu karang. Foto : Wisuda

Serupa dengan seafan tempat dia hidup, dan berkamuflase, dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari para predatornya. Dan  Karena kamuflase nya inilah, spesies ini tidak ditemukan, sampai gorgonian inangnya akhirnya diperiksa di laboratorium.

Besar, tuberkel bulat yang menutupi tubuh dan sesuai dengan warna dan bentuk polip spesies inangnya karang gorgonian, sementara tubuhnya sesuai batang gorgonian.

Tetapi hal ini tidak diketahui apakah individu dapat berubah warna jika mereka mengubah tempat tinggalnya, atau tidak. Meskipun kemampuan untuk mengubah warna sesuai dengan lingkungan mereka, memang ada di tujuh spesies kuda laut lainnya, seperti Hippocampus whitei.

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti atau hippocampus kerdil, salah satu jenis kuda laut dari keluarga Syngnathidae. Kuda laut kerdil ini bisa ditemukan di perairan  Bali, Sulawesi dan Papua. Foto : Wisuda

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti atau hippocampus kerdil, salah satu jenis kuda laut dari keluarga Syngnathidae. Kuda laut kerdil ini bisa ditemukan di perairan Bali, Sulawesi dan Papua. Foto : Wisuda

Karakteristik pygmy seahorse sama dengan  kuda laut lainnya, termasuk kepala yang mempunyai daging, tubuh, moncong sangat pendek, dan ekor panjang yang dapat melilit pada induk semangnya. Bargibanti Ini, juga salah satu spesies kuda laut terkecil di dunia.

Bargibanti dewasa,  biasanya ditemukan berpasangan atau kelompok berpasangan, bahkan rekor yang pernah terekam kamera, adalah sampai 28 kuda laut kerdil pada gorgonian tunggal, dan mungkin monogami.

Perkembangbiakan terjadi sepanjang tahun. Betina bertelur dalam kantong induknya di dalam kantungnya. Mereka akan dibuahi oleh jantan, dan diinkubasi sampai kelahiran dengan usia kehamilan rata-rata dua minggu. Pernah dalam satu kelahiran, si jantan mengusir induk betina dari anak-anak mereka yang berjumlah 34 anak bargibanti.

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti atau hippocampus kerdil, salah satu jenis kuda laut dari keluarga Syngnathidae. Satwa yang pandai menyamar diantara terumbu karang ini dapat ditemukan di sebelah  barat pusat Samudera Pasifik, termasuk Indonesia. Foto : Wisuda

Bargibanti pygmy seahorse atau kuda laut bargibanti atau hippocampus kerdil, salah satu jenis kuda laut dari keluarga Syngnathidae. Satwa yang pandai menyamar diantara terumbu karang ini dapat ditemukan di sebelah barat pusat Samudera Pasifik, termasuk Indonesia. Foto : Wisuda

Sangat sedikit data yang diketahui tentang jumlah kuda laut kerdil, tren populasi, distribusi, atau predator utama. Oleh karenanya  tujiuh kuda laut kerdil ini telah diklasifikasikan oleh IUCN sebagai satwa yang belum terdeskripsikan secara utuh (data deficient/kurang data). Klasifikasi ini berarti bahwa tidak cukup diketahui tentang populasi dan pola hidup mereka untuk membuat penilaian informasi tentang status konservasi mereka.

Karena warnanya yang menarik dan tidak biasa,  kuda laut kecil ini banyak diburu sebagai ikan hias. Tetapi  semua kuda laut (Hippocampus spp.) Yang terdaftar di dalam  Lampiran II dari Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka Wild Flora dan Fauna (CITES), dan efektif sejak bulan Mei 2004, membatasi dan mengatur perdagangan internasional mereka.

Sedangkan di benua tetangga, Australia, sudah lebih ketat lagi pengaturannya, yaitu satwa yang masuk dalam Undang-Undang Australia Wildlife Protection, sehingga izin ekspor sekarang diperlukan.


Si Kuda Mungil Mempesona Dari Kedalaman Laut was first posted on September 27, 2015 at 5:59 am.

Beginilah Aksi TNI Di Hutan Mangrove Pejarakan Buleleng. Ada Apa?

$
0
0

Siang itu pada Sabtu Sabtu (26/09/2015), terlihat aktivitas di kawasan Hutan Mangrove Dusun Marga Garuda, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Sejumlah anggota TNI dari Kodim 1609/Buleleng sibuk di hutan yang mulai rusak itu. Mereka datang bukan dengan membawa senjata untuk berlatih perang, tetapi malah membawa bibit untuk ditanam di hutan mangrove.

Komandan Kodim (Dandim) 169/Buleleng, Letkol Inf. Budi Prasetyo yang ditemui Mongabay mengatakan mereka melakukan aksi penanaman bibit manggrove secara spontan karena melihat kawasan mangrove di sepanjang 144 km pesisir pantai Buleleng mulai rusak dan menipis. Padahal mangrove berperan penting dalam menahan abrasi dan tempat hidup berbagai satwa pesisir.  

Sejumlah anggota TNI dari Kodim 1609/Buleleng melakukan aksi penanaman bibit mangrove di terlihat aktivitas di kawasan Hutan Mangrove Dusu Marga Garuda, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, pada Sabtu (26/09/2015). Aksi spontan mereka karena melihat kondisi mangrove yang semakin rusak di sepanjang pesisir pantai Buleleng. Foto : Kodim 1609/Buleleng

Sejumlah anggota TNI dari Kodim 1609/Buleleng melakukan aksi penanaman bibit mangrove di terlihat aktivitas di kawasan Hutan Mangrove Dusu Marga Garuda, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, pada Sabtu (26/09/2015). Aksi spontan mereka karena melihat kondisi mangrove yang semakin rusak di sepanjang pesisir pantai Buleleng. Foto : Kodim 1609/Buleleng

‘’Kami hanya melakukan kegiatan secara spontan, diharapkan masyarakat semakin sadar menjaga lingkungan disekelilingnya terutama menjaga kelestaria mangrove yang sangat berfungsi untuk menahan abrasi,’’ ungkap Budi.

Dari pemikiran tersebut, Dandim 169 / Buleleng melakukan penanaman  350 bibit mangrove di kawasan pantai Desa Pejarakan, yang nantinya bisa bermanfaat mencegah kerusakan lingkungan, khususnya dari pengaruh alam dan tangan-tangan usil. “Kami akan melakukan penanaman manggrove ini berkelanjutan. Ini bertujuan mencegah abrasi dan kerusakan lingkungan. Masyarakat sangat antusias mengikuti kegiatan ini bersama camat dan prebekel setempat,” ujarnya.

Ia melanjutkan dulunya hutan mangrove di kawasan pantai Pejarakan sangat lebat. Tapi belakangan masyarakat cenderung memanfaatkan hutan sebagai lokasi tambak, dengan melakukan penebangan dan membuka lahan yang merusak fungsi ekologis mangrove.

Sejumlah anggota TNI dari Kodim 1609/Buleleng melakukan aksi penanaman bibit mangrove di terlihat aktivitas di kawasan Hutan Mangrove Dusu Marga Garuda, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, pada Sabtu (26/09/2015). Foto : Kodim 1609/Buleleng

Sejumlah anggota TNI dari Kodim 1609/Buleleng melakukan aksi penanaman bibit mangrove di terlihat aktivitas di kawasan Hutan Mangrove Dusu Marga Garuda, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, pada Sabtu (26/09/2015). Foto : Kodim 1609/Buleleng

Oleh karena itu Budi Prasetyo mengatakan pihaknya berusaha memberikan edukasi kepada masyarakat pentingnya menjaga lingkungan khususnya di kawasan lahan mangrove. “Kami mengantisipasi abrasi dan kerusakan lingkungan melalui penanaman ini. Mengingat banyak masyarakat mengembangkan tambak yang berjarak dekat dengan pantai di sekitar hutan mangrove,” tambahnya.

Ke depan edukasi dan sosialisasi pemahaman melindungi hutan bakau semakin digencarkan TNI. Ia bahkan telah meminta anggotanya di Desa Pejarakan melakukan pemantauan lahan mangrove. Tanaman mangrove menjadi bagian dari milik negara, jika ternyata terjadi abrasi kerugian jelas akan dirasakan masyarakat. “Kami nanti libatkan Babinsa, Babinkamtibmas, dan masyarakat menjaga lingkungan mangrove. Jangan sampai ada abrasi karena tidak ada yang melindungi manggrove,” pungkasnya.

 


Beginilah Aksi TNI Di Hutan Mangrove Pejarakan Buleleng. Ada Apa? was first posted on September 28, 2015 at 2:55 am.

Meski Terparah, Tak ada Satwa Endemik Mati Saat Kebakaran Kawasan Konservasi Di Sulut

$
0
0

Dalam kurun Agustus hingga September 2015, sekitar 1.523, 98 hektar atau 17,44% kawasan konservasi di Sulawesi Utara mengalami kebakaran hutan. Angka tersebut merupakan yang terparah dalam 4 tahun belakangan. Namun, tidak ditemukan adanya satwa endemik yang menjadi korban kebakaran tersebut.

Berdasarkan catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, pada tahun 2012, kawasan konservasi yang mengalami kebakaran tercatat seluas 227 hektar. Tahun 2013, angka itu menurun menjadi 127 hektar. Kembali meningkat pada tahun 2014 menjadi 293 hektar.

“Dari 8.753 hektar total luasan, sekitar 1.523 hektar mengalami kebakaran. Data tersebut masih bisa berubah mengingat kondisi panas saat ini. Kami masih akan terus berupaya mengantisipasi ancaman terjadinya kebakaran hutan,” papar Hambali, Kepala Daerah Operasi (Kadeops) Manggala Agni Bitung dalam jumpa pers di kantor BKSDA Sulut, di Manado, Senin (28/09/2015).

Kebakaran yang terjadi di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara pada Minggu (27/09/2015). Upaya pemadaman telah dilakukan oleh Tim Manggala Agni dibantu relawan. Foto : Themmy Doaly

Kebakaran yang terjadi di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara pada Minggu (27/09/2015). Upaya pemadaman telah dilakukan oleh Tim Manggala Agni dibantu relawan. Foto : Themmy Doaly

“Kuat dugaan, kebakaran terjadi karena unsur kesengajaan. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah pohon yang sudah ditebang terlebih dahulu, di kebun warga, pada beberapa wilayah,” tambah Hambali.

Kebakaran tersebut terjadi di sejumlah lokasi seperti, Cagar Alam (CA) Tangkoko, CA Duasudara, Taman Wisata Alam Batuputih dan Taman Wisata Alam Batuangus. “Meski demikian, data kawasan hutan yang terbakar belum termasuk CA Lokon, Suaka Margasatwa Manembo-nembo Warembungan, Gunung Ambang dan Gunung Soputan.”

Terdapat sejumlah kendala dalam proses pemadaman api, misalnya luas wilayah operasional yang meliputi 2 provinsi, Sulut dan Gorontalo. Padahal, personil Manggala Agni hanya berjumlah 35 orang. Ada pula kendala jumlah sarana dan prasarana yang terbilang minim. Selain itu, berbagai potensi yang ada dinilainya belum terkoordinir dalam satu komando.

Sudiyono, Kepala BKSDA Sulut membenarkan keterbatasan tenaga, sehingga penanganan di luar kawasan konservasi belum sepenuhnya bisa dilakukan. “Kami mendukung, dari pihak Pemda, barangkali kedepannya bisa membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA). Kami siap kerjasama dengan Pemda.”

Bantah Ada Yaki dan Tarsius yang Terbakar

Dalam jumpa pers tersebut, BKSDA turut membantah adanya informasi yang menyebut terbakarnya puluhan satwa endemik di CA Tangkoko. Sebelumnya, berdasarkan pemberitaan harian Kompas, Sabtu (26/09/2015), disebutkan bahwa puluhan satwa endemik mati terbakar setelah kawasan hutan CA Tangkoko dan kawasan Wisata Alam Batuangus terbakar.

“Satwa yang terbakar itu antara lain tarsius, yang merupakan monyet terkecil di dunia, monyet pantat merah (Macaca nigra) dan burung,” demikian tertulis di harian Kompas pada halaman 1.

Menurut Sudiyono, hingga saat ini belum ada laporan dari tim di lapangan yang menyatakan adanya satwa endemik yang menjadi korban. “Yaki itu tidak mudah mati dalam kebakaran hutan. Dia bisa lari lebih cepat, mungkin lebih cepat ketimbang manusia.”

Selain itu, meski kebakaran sempat terjadi di bagian bawah pohon tarsius, namun upaya penanganan yang terbilang cepat membuat api tidak sampai melalap seluruh pohon tersebut.  Karenanya, ia merasa kecewa dengan informasi yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Relawan dari kelompok pecinta alam di Sulawesi Utara memadamkan api di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulut pada Minggu (27/09/2015). Pada Agustus - September 2015, sekitar 1.523, 98 hektar atau 17,44% kawasan konservasi di Sulut terbakar, yang menjadi kebakaran terluas dalam 4 tahun terakhir. Foto : Themmy Doaly

Relawan dari kelompok pecinta alam di Sulawesi Utara memadamkan api di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulut pada Minggu (27/09/2015). Pada Agustus – September 2015, sekitar 1.523, 98 hektar atau 17,44% kawasan konservasi di Sulut terbakar, yang menjadi kebakaran terluas dalam 4 tahun terakhir. Foto : Themmy Doaly

Kebakaran memang sempat meresahkan sejumlah satwa di sana. Misalnya saja, tim di lapangan sempat menyelamatkan ular yang terancam oleh kebakaran hutan. Namun, setelah melihat api mulai padam di habitat satwa, pihak Manggala Agni langsung melepaskan ular itu.

“Tidak ada satwa endemik yang mati terbakar. Yang terlihat adalah satwa yang menjauh dari habitat awalnya. Ada juga beberapa satwa yang berhasil diselamatkan dari ancaman kebakaran, yang terlihat mati hanya tikus,” terang Ronald Sumilat, Komandan Peleton Manggala Agni, ketika ditemui Mongabay di CA Tangkoko, Minggu (27/o9/2015).

Kekecewaan atas kesalahan informasi, juga diungkapkan Jemmy Makasala, pengurus Forum Komunikasi Pecinta Alam (FKPA) Sulut, yang juga Korlap posko pemadaman api di CA Tangkoko. Dikatakan Jemmy, pemberitaan tersebut seakan-akan tidak melihat kerja keras relawan di lapangan. Padahal, banyak anggota pecinta alam yang melibatkan diri dalam pemadaman api berupaya keras agar kebakaran tidak mencapai pohon tarsius maupun membuat yaki menjadi korban.

“Teman-teman di lapangan sudah bekerja keras untuk memadamkan api. Kami berjuang agar yaki tidak menjadi korban dan pohon tarsius tidak terbakar. Tapi, kami kecewa dengan pemberitaan tersebut,” ungkap Jemmy.

Pecinta Alam Melawan Api Tangkoko

Pada Minggu (27/9/2015), lebih dari 50 anggota pecinta alam dari berbagai daerah di Sulut, melibatkan diri sebagai relawan untuk memadamkan api di CA Tangkoko. Meski beberapa di antaranya baru pertama kali terlibat dalam pemadaman api, namun mereka mampu meminimalisir kebakaran hutan Tangkoko di sejumlah titik.

Hingga hari itu, Mongabay masih bisa menyaksikan sejumlah api membakar perkebunan warga. Jika melihat banyaknya tanaman yang mengalami kekeringan, ancaman kebakaran diperkirakan masih bisa terjadi di sekitar wilayah CA Tangkoko.

Puluhan anggota pecinta alam, laki-laki maupun perempuan, nampak bersemangat memadamkan api baik di perkebunan maupun di wilayah konservasi. Mereka tidak terlihat lelah, walaupun bukan hanya matahari, namun api kebakaran hutan turut menyengat kulit mereka.

Relawan dari kelompok pecinta alam di Sulawesi Utara memadamkan api di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulut pada Minggu (27/09/2015). Pada Agustus - September 2015, sekitar 1.523, 98 hektar atau 17,44% kawasan konservasi di Sulut terbakar, yang menjadi kebakaran terluas dalam 4 tahun terakhir. Foto : Themmy Doaly

Relawan dari kelompok pecinta alam di Sulawesi Utara memadamkan api di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulut pada Minggu (27/09/2015). Pada Agustus – September 2015, sekitar 1.523, 98 hektar atau 17,44% kawasan konservasi di Sulut terbakar, yang menjadi kebakaran terluas dalam 4 tahun terakhir. Foto : Themmy Doaly

Ronald Sumilat, yang ikut mendampingi para relawan di lapangan, memberikan sejumlah arahan teknis. Hal ini, ditujukan agar dalam melakukan upaya pemadaman api, selain memaksimalkan kinerja di lapangan, keselamatan relawan dapat diutamakan.

“Teknik itu antara lain, bakar balik, tujuannya mempercepat ataupun menghabiskan bahan bakar yang ada. Kedua, teknik penggunaan peralatan tangan menggunakan garuk tajam dan garuk cangkul. Yang terpenting, mengutamakan keselamatan, saling kontrol dalam pekerjaan dan perjalanan sampai di posko,” kata Ronald.

Ungkapan Ronald sangat beralasan. Selain untuk menghindari kepungan api, para relawan juga harus bersiaga pada kemungkinan adanya pohon tumbang. Benar saja, di dalam kawasan CA Tangkoko, sejumlah pohon nampak tergeletak di daratan. Tak hanya itu, satu kali, tim pemadam beserta relawan dikejutkan suara dari jarak sekitar 30 meter yang datang akibat pohon tumbang.

Andrew Tumimbang, anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Avestaria Fisip Universitas Sam Ratulangi, merasa terpanggil untuk melibatkan diri dalam pemadaman api di Tangkoko. Meski baru pertama kali dan harus menempuh jarak hingga 3 km ke lokasi kebakaran, namun ia merasa senang karena kehadirannya dapat membantu kerja-kerja personil Manggala Agni.

“Hutan Tangkoko merupakan rumah dari banyak satwa endemik. Sebagai pecinta alam, saya merasa perlu melibatkan diri dalam upaya pemadaman,” ujar Andrew.

Keterlibatan ini juga merupakan penerapan langsung dari berbagai pengetahuan yang ia dapati di organisasinya. Menurut dia, tanpa praktik di lapangan, pengetahuan yang dimilikinya akan sia-sia. Selain itu, Andrew menilai, keterlibatan sebagai volunteer memberi tambahan pengetahuan, khususnya terkait teknis pemadaman api.

“Sekarang sudah mulai mengetahui teknis pemadaman api di hutan. Misalnya, kalau angin bertiup dari utara, cara memadamkannya dari selatan. Dan, yang paling kena itu adalah teknik isolasi api. Caranya, dengan membuat sekat yang jaraknya lebih dari 1 meter,” jelasnya.

Jemmy Makasala, menambahkan, setidaknya sudah 2 minggu pecinta alam melibatkan diri dalam upaya pemadaman api di CA Tangkoko. Ia menilai, keterlibatan itu merupakan komitmen dan rasa tanggung jawab dari para pecinta alam.

“Anak pecinta alam penting terlibat dalam kegiatan ini, karena Cagar Alam Tangkoko termasuk ruang lingkup pecinta alam,” kata Jemmy.

Ia merasa senang dan memberi apresiasi bagi pecinta alam yang ikut memadamkan api, sekaligus membuka ruang bagi mereka yang ingin melibatkan diri sebagai relawan. Jemmy menegaskan, pihaknya akan terus berupaya maksimal agar kondisi di Tangkoko berada dalam keadaan kondusif.

“Selama masih diperlukan di lapangan atau kebakaran hutan belum dikatakan finish, kami masih akan terlibat. Meski, sebenarnya, kerjasama dengan Manggala Agni sampai tanggal 3 Oktober 2015. Nanti dilihat, apakah sudah closing atau lanjut.”

Sudiyono, kepala BKSDA Sulut, mengapresiasi keterlibatan pecinta alam. Ia berharap, keterlibatan tersebut dapat berkontribusi baik bagi upaya pemadaman api. Dia juga menyampaikan ucapan terima kasih bagi elemen masyarakat maupun pemerintah yang sudah membantu kinerja tim di lapangan.

“Kami berterima kasih pada pihak-pihak yang sudah berpartisipasi dalam pemadaman api di Cagar Alam Tangkoko, Duasudara, Batuputih dan Batuangus. Ini merupakan partisipasi yang sangat berarti bagi kami,” pungkasnya.


Meski Terparah, Tak ada Satwa Endemik Mati Saat Kebakaran Kawasan Konservasi Di Sulut was first posted on September 29, 2015 at 1:49 am.

Laksanakan Program di Daerah, KKP Akan Rekrut Antroplog Sosial

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyadari bahwa pelaksanaan program kerja di berbagai daerah menemui sejumlah kendala. Hal itu, salah satunya karena kendala kebudayaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain.

Fakta tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja kepada Mongabay di Bogor, Jawa Barat, Senin (28/9/2015). Menurut dia, perbedaan budaya tersebut menjadi masalah yang harus diatasi karena memengaruhi kinerja KKP secara keseluruhan.

“Kita sedang mencari cara bagaimana program yang kita laksanakan di daerah bisa berjalan beriringan dengan masyarakat setempat,” ungkap Sjarief.

Belum ada jaminan asuransi bagi nelayan menjadi bagian pokok bahasan dalam RUU PPN. Foto: Tommy Apriando

Belum ada jaminan asuransi bagi nelayan menjadi bagian pokok bahasan dalam RUU PPN. Foto: Tommy Apriando

Perlunya dicari solusi, menurut dia, karena karakteristik budaya yang berbeda di masing-masing daerah juga menjadi hal yang sulit untuk dipecahkan. Kalaupun program KKP berhasil dilaksanakan, dengan kendala budaya, program tersebut tidak akan bertahan lama.

Rekrut Antropolog Sosial

Untuk mengatasi masalah tersebut, Sjarief memandang perlu KKP untuk segera merekrut tenaga ahli di bidang antropologi sosial. Menurutnya, kehadiran pakar antropologi sosial di masa sekarang menjadi kebutuhan pokok yang harus segera diwujudkan.

“Dengan ada antropog sosial, kita optimis program yang dilaksanakan di daerah bisa berjalan dengan baik. Hal itu, karena antropolog akan mempelajari lebih dulu bagaimana karakteristik kebudayaan setempat,” jelas Sjarief.

Dengan mempelajari lebih dulu kebudayaan di daerah, maka program kerja yang dilaksanakan bisa berjalan sesuai rencana. Sehingga, kata dia, diharapkan nantinya program yang berjalan tersebut bisa bertahan lama dan memberi manfaat untuk masyarakat setempat.

“Sudah saatnya KKP memiliki antropolog sendiri. Biar nanti kalau kita jalankan program di daerah-daerah seperti di Suku Bajo di Sulawesi atau Suku Ode di NTT, bisa berjalan baik,” tambah dia.

Sjarief optimis, kalau program berjalan dengan baik setelah melalui pendampingan antropolog, maka tidak akan ada lagi program KKP yang mangkrak di daerah.

 Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Perlunya dilakukan langkah seperti itu, karena KKP tak ingin mengulang kembali banyaknya program yang mandek atau mangkrak di tahun anggaran 2016. Terutama, karena pada tahun depan, KKP mendapatkan tambahan alokasi anggaran hingga mencapai 50 persen.

Reformasi Tata Kelola Anggaran

Dalam Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun 2016, KKP mendapatkan alokasi pagu anggaran sebesar Rp15,8 triliun atau naik 50 persen dari alokasi tahun 2015. Anggaran tersebut menjadi yang terbesar sepanjang sejarah KKP berdiri.

Agar anggaran yang akan keluar pada tahun depan bisa bermanfaat sebanyak mungkin, KKP melakukan reformasi dalam proses penyusunan anggaran. Yaitu, dengan memberikan porsi yang besar bagi stakeholders hingga 67 persen dan melaksanakan anggaran secara efficient, sufficient, outcome oriented dan accountable.

“Reformasi tata kelola menjadi program pokok yang dijalankan saat ini di KKP. Mengingat, KKP adalah salah satu elemen penting dalam mewujudkan visi Indonesia menjadi negara maritim kuat di dunia,” ungkap Kepala Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal KKP, Isharttini.

Di antara bentuk reformasi yang dilakukan dalam tata kelola anggaran itu, menurut dia, adalah dengan meningkatkan fokus pelaksaanan pada hal-hal yang kongkrit. Hal itu, dimaksudkan agar program KKP terhindar dai korupsi ataupun tidak efisien.

“Reformasi penting dilakukan, karena tahun 2016, sebagian besar anggaran yang ada di KKP akan dilaksanakan di daerah. Mulai dari program penyediaan sarana pendukung seperti listrik, jalan, air bersih, dan yang lainnya, itu akan dilaksanakan fokusnya di daerah,” cetus dia.

Selain dari dana KKP, Ishartini menambahkan, anggaran untuk melaksanakan program kerja pada tahun 2016 juga akan dibantu melalui dana alokasi khusus (DAK) yang besarnya mencapai Rp2 triliun. Jumlah tersebut akan berjalan beriringan dengan dana Rp15,8 triliun.

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Sementara itu, terkait dengan kebijakan KKP yang mewajibkan nelayan di Indonesia untuk memiliki badan hukum sendiri, Sjarief Widjaja menjelaskan bahwa itu merupakan bagian dari tata kelola anggaran dan manajerial KKP.

“Kita wajibkan itu karena ini juga demi kebaikan nelayan sendiri. Jika mereka punya badan hukum sendiri, maka itu juga akan memudahkan kita untuk memproses pemberian bantuan atau program yang sedang dilaksanakan,” tutur dia.

Dengan diberlakukan kewajiban pendirian badan hukum juga, kata Sjarief, maka daya saing nelayan akan semakin baik dan itu meningkatkan kompetensi mereka di mata stakeholder seperti perbankan atau investor.

“Yang paling utama, dengan adanya badan hukum, kita juga bisa memastikan bahwa program akan terjamin berjalan. Karena, kerja sama dilakukan antar lembaga dalam hal ini KKP dengan badan hukum milik nelayan,” tambah dia.

Adapun, badan hukum yang dimaksud, sambung Sjarief, bisa berbentuk koperasi ataupun berdiri sendiri. Kalau koperasi, itu berarti nelayan harus menggabungkan diri dengan jumlah sekitar 20 orang. Atau, kalaupun berbentuk badan sendiri, itu diserahkan kepada nelayan sendiri seperti apa.

“Tapi kita kan sediakan pendamping berupa konsultan yang paham dalam pendirian badan hukum. Selain itu, kita juga sudah bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UKM untuk kemudahan pendirian badan hukum seperti koperasi,” papar dia.

Semua itu, ungkap Sjarief, dilakukan agar tata kelola anggaran KKP bisa berjalan lebih baik dan tidak ada lagi program yang mangkrak karena ketidakpahaman stakeholder seperti nelayan.


Laksanakan Program di Daerah, KKP Akan Rekrut Antroplog Sosial was first posted on September 29, 2015 at 3:05 am.

INDC Indonesia Belum Jelaskan Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Yang Komprehensif

$
0
0

Pemerintah Indonesia telah mengirimkan submisi Intended Nationality Determined Contribution (INDC) kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).  Dalam INDC tersebut, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dari tahun dasar 2030.

Indonesia berkeinginan untuk mencapai ketahanan iklim sebagai hasil dari program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif dan strategi pengurangan resiko bencana, dengan melakukan pembangunan rendah emisi negeri ini akan fokus pada sektor energi, pangan dan sumber daya air serta memperhatikan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013

Staf pengajar Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Ari Muhammad mengatakan penjelasan mengenai ketahanan iklim, adaptasi dan mitigasi dalam INDC Indonesia masih bersifat umum dan belum memunculkan kebijakan, program dan aktivitas yang menjawab persoalan yang diungkapkan dalam dokumen tersebut.

Padahal gambaran kebijakan dan program adaptasi penting untuk menentukan prioritas pembangunan nasional dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut, seperti pendanaan yang diperlukan dan teknologi yang digunakan.

Prioritas pembangunan menjadi penting untuk membuat matriks program dan aktivitas yang menentukan kebutuhan pendanaan yang apakah cukup dipenuhi dari dalam negeri atau butuh bantuan pendanaan dari luar negeri.

“Juga perlu dibuat kajian kerentanan iklim yang komprehensif, yang kemudian menentukan program dan aktivitas sesuai kebutuhan suatu daerah.  Dalam konteks kajian kerentanan di level nasional dan di daerah, akan ditentukan tujuannya kajian, apakah untuk menyelamatkan ekonomi nasional atau atau ekonomi daerah,” jelas pendiri Green Voice Indonesia itu.

Menurutnya, basis pendekatan adaptasi Indonesia juga harus jelas apakah berdasarkan daratan atau pesisir. “Kalau dikaitkan dengan Nawacita, mestinya ketangguhan iklim dibangun berbasis pesisir. Karena sebagian besar ibukota propinsi berada di pesisir,” kata Penilik Thamrin School of Climate Change and Sustainability itu.

Sedangkan profesor Klimatologi khususnya Manajemen Resiko Iklim, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim IPB Bogor, Rizaldi Boer mengatakan  komitmen penurunan emisi Indonesia dalam INDC, harus disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan negara, serta tidak boleh mengorbankan kelanjutan pembangunan.

Senada dengan Ari, Rizaldi Boer juga menegaskan kebijakan dan program adaptasi serta mitigasi harus dijelaskan kebutuhannya sehingga kontribusinya dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan dukungan baik pendanaan maupun teknologi yang tersedia. Bila dukungan tersebut tidak tersedia, maka harus juga disebutkan bahwa penurunan emisi hanya bisa dilakukan pada level tertentu.

Kepala Pusat Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) itu mengatakan target penurunan emisi 29 persen dari tingkat emisi 2030 itu harus diterjemahkan bagaimana target itu bisa dicapai oleh masing-masing sektor dan harus dijelaskan rujukannya.

Selain itu tahun dasar (baseline) yang dipilih, harus dijelaskan secara transparan, dan bagaimana alasan pemilihan kebijakan program untuk penurunan emisi seperti kebijakan bauran energi dan pengelolaan limbah.

“Kalau tahuan dasar sudah ditetapkan, maka bisa dibuat modeling, teknologi, program dan implikasi untuk target penurunan emisi seperti apa,” kata Rizaldi.

Tetapi dia melihat kajian komprehensif terhadap penjelasan terperinci taregt 29 persen emisi karbon itu belum dilakukan. “Kita belum melakukan kajian sejauh itu. Kita belum tahu apa implikasinya. Apakah 29 persen itu bisa dicapai atau tidak? Apakah membebani ekonomi kita? Kajian belum sedalam itu. Sehingga memang angka 29 persen cukup bisa mengandung resiko buat kita,” katanya.

Rizaldi melihat kajian tersebut perlu dilakukan untuk menyusun strategi dan aksi dalam mencapai target penurunan tersebut.

“Dari sisi adaptasi, sejauh mana dampak dari perubahan iklim terhadap pembangunan kita. Apa yang sudah kita lakukan di dalam merespon dalam perubahan iklim dan perencanaan seperti apa. Dukungan apa yang kita perlukan untuk tangguh pembangunan. Berapa pendanaan untuk mencapai kondisi tangguh itu,” katanya.

Dia melihat masalah pendanaan perubahan iklim sangat penting bagi negara maju yang akan membantu negara berkembang dalam mengembangkan ketangguhan iklim yang membutuhkan biaya yang besar.

Dilihat dari trend global, emisi dari negara maju mulai menurun, tetapi emisi dari negara berkembang malah merangkak naik karena keberhasilan pembangunan/ “Kalau pola pembangunan business as usual, maka negara Asia berkontribusi 50 persen emisi global. Bagaimana itu bisa diubah? Harus ada leap frog (lompatan). Jadi teknologi rendah emisi harus diterapkan meski mahal. Tetapi negara maju harus mendukung dengan subsidi teknologi dan dukungan finansial sehingga orang mau beralih ke teknologi tersebut,” katanya.

Selain penjelasn mengeni komitmen dan strategi untuk mencapai target penurunan emisi 29 persen, dia melihat perlu juga diungkapkan tentang kebutuhan pendanaan dalam mencapai hal tersebut.

“Dalam INDC seharusnya disebutkan apa komitmen kita, bagaimana strateginya dan usaha apa yang telah dilakukan seperti RAN GRK. Support need perlu dituangkan dalam INDC dan bagaimana harapan kita terhadap komitmen internasional,” katanya.

Sehingga kontribusi nasional pengurangan emisi karbon yang telah ditetapkan dan diniatkan dengan sungguh-sungguh bisa dilaksanakan, karena apa yang telah dituangkan pasti akan diteliti secara global.

“Sehingga bagaimana komitmen itu tidak boleh mengorbankan kelanjutan pembangunan dan harus disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan kita,” tambahnya.


INDC Indonesia Belum Jelaskan Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Yang Komprehensif was first posted on September 30, 2015 at 2:47 am.

Nelayan Butuh Segera RUU Perlindungan dan Pembedayaan Nelayan

$
0
0

Pekerjaan rumah yang hingga saat ini masih belum terselesaikan adalah bagaimana menumbuhkan minat masyarakat untuk kembali menekuni profesi nelayan. Hal itu, karena profesi nelayan bisa menjadi tulang punggung kemajuan dari sektor kelautan dan kemaritiman.

Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (30/9/2015). Menurut dia, masalah utama yang saat ini ada, adalah profesi nelayan tidak mendapatkan perlindungan utuh,

“Karenanya, dari tahun ke tahun jumlah nelayan terus menyusut. Ini sangat berbahaya. Masa iya, nanti profesi nelayan diisi oleh orang-orang dari luar Indonesia. Nggak lucu ini,” tutur Susi.

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Susi menyebutkan, dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah nelayan pada 2003 mencapai 1,6 juta jiwa. Namun, sepuluh tahun kemudian atau pada 2013, jumlahnya menyusut hingga menyisakan 800 ribu nelayan saja.

“Itu sangat mengkhawatirkan sekali. Karenanya, dari KKP berinisiatif untuk menumbuhkan kembali minat masyarakat untuk menjadi nelayan. Selain itu, program yang akan diluncurkan pada 2016 juga sebagian besar untuk nelayan tradisional,” jelas dia.

Namun dari semua itu, menurut perempuan asal Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat itu, yang harus dilakukan oleh Pemerintah saat ini, adalah bagaimana memberikan perlindungan penuh kepada nelayan.

“Perlindungan tersebut bisa berupa asuransi, regulasi, dan juga profesi. Itu harus bisa diwujudkan segara,” cetus dia.

Bentuk perlindungan dari sisi regulasi, dijelaskan Susi, adalah Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sifatnya untuk memberikan perlindungan nelayan dalam menjalankan profesinya. Contohnya, perlindungan dengan memberantas aksi illegal fishing.

Kata Susi, dampak dari illegal fishing memang terasa hingga lapisan terbawah di masyarakat. Hal itu, karena sumber daya ikan di laut juga terus mengalami penyusutan. Dia mencontohkan, saat ini sudah tidak ditemui lagi penjual udang udang atau kepiting dalam ember di Cirebon, Jawa Barat.

“Padahal, dulu itu Cirebon dikenal luas sebagai kota penghasil udang yang sangat banyak. Tapi sekarang, itu sudah susah. Itu mengindikasikan bahwa produksi udang atau kepiting disana sudah semakin tipis,” tutur dia.

“Punahnya profesi seperti itu juga menjelaskan bahwa kita harus segera melakukan introspeksi segera. Ini agar masalahnya bisa selesai,” tandas dia.

Segera Wujudkan RUU Perlindungan Nelayan

Sementara itu menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim, permasalahan yang terjadi saat ini dalam profesi nelayan, bisa segera diatasi secara bertahap. Tetapi, syaratnya Pemerintah punya kemauan untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengeliminasi tumpang-tindihnya kebijakan di bidang kelautan dan perikanan,” ucap Abdul Halim.

Selain untuk mengatasi masalah tersebut, dia meyakini, kehadiran RUU juga bisa melindungi sektor lainnya yang mengancam hajat hidup masyarakat pesisir lintas profesi, seperti perlindungan terhadap wilayah tangkap nelayan dan lahan budidaya/tambak garam, dan lain-lain.

Dia menambahkan, sisa waktu tiga bulan di tahun 2015 ini harus sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Karena, kewajiban Negara adalah melindungi dan memberdayakan nelayan.

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Terkait dengan terus menyusutnya profesi nelayan di Cirebon, Ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon, Ribut Bachtiar, mengatakan bahwa kondisinya saat ini memang sudah sangat memprihatinkan. Namun, dia yakin jika RUU selesai dibuat, masalah tersebut perlahan akan hilang.

“RUU ini harus memberikan kepastian kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, khususnya terkait dengan harga produk yang dihasilkan, seperti ikan, udang, dan garam. Dengan kepastian harga, maka nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam akan termotivasi untuk memproduksi pangan khas pesisir tersebut,” sebut dia.

Nelayan Disudutkan

Kemunduran yang dialami nelayan juga diungkapkan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik. Menurut dia, masalah yang saat ini ada, Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terkesan tidak memperhatikan hak-hak yang dimilliki nelayan.

“Padahal, nelayan itu bagian dari sektor kelautan dan perikanan. Sektor tersebut saat ini sedang digenjot oleh Jokowi untuk dijadikan komoditas utama, sesuai dengan visi dia menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat,” ungkap dia.

Kondisi ironis tersebut, sangat disayangkan. Karena menurut Riza, nelayan dalam kondisi apapun seharusnya mendapatkan hak-hak yang diperlukannya. Tidak hanya hak perlindungan keselamatan kerja saja, tapi juga hak yang lain seperti kesejahteraan dan regulasi.

“Contohnya saja, ada nelayan yang harus kehilangan tempat tinggalnya karena ada proyek reklamasi pantai. Siapa yang harus disalahkan jika sudah demikian? Tetap saja nelayan yang susah kan? Nelayan pada akhirnya dikebiri hak-haknya,” papar dia.

Jadi, menurut Riza, jika memang Pemerintah peduli dengan nasib nelayan, maka mulai dari sekarang segera perhatikan keberadaan mereka dan lindungilah mereka melalui regulasi yang jelas. Jangan sampai, Indonesia berambisi menjadi negara maritim kuat, tapi nelayannya justru sangat lemah.

 


Nelayan Butuh Segera RUU Perlindungan dan Pembedayaan Nelayan was first posted on October 1, 2015 at 4:02 am.

Alun Alun Surya Kencana Gunung Gede Pangrango Terbakar. Kenapa?

$
0
0

Kemarau berkepanjangan kembali menghanguskan kawasan hutan di wilayah Jawa Barat. Kini Kebakaran hutan terjadi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Kota Bogor, Minggu pagi (27/09/2015). Kebakaran diduga berasal dari sisa api unggun masyarakat yang tengah berziarah di Alun Alun Surya Kencana. Saat ini telah diamankan 10 orang peziarah di kantor resort PTN Gunung Putri.

Kebakaran tersebut hanya menghanguskan rerumputan, kulit kering pepohonan, dan bagian bawah dari tumbuhan Edelweis.

“Jadi kebakaranya bukan tipe api. Kebakaran  itu hanya bara api kecil yang di rumput. Apabila terkena angin itu  menyebar bukan api besar. Pokoknya yang kering – kering dihabisi sama bara api itu. Jadi pemberitaan yang di beritakan media  bahwa terjadinya kebakaran hebat dan membakar seluas 30 hektare itu tidak benar. Ini hanya 5 hektar dengan panjang 500 meter dan lebar 100 meter” ujar Kepala Balai TNGGP melalui Kasi wilayah Cibodas, Ardi yang dihubungi Mongabay pada Rabu, (30/09/2015).

Petugas dibantu relawan memadamkan kebakaran di areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Api diduga berasal dari api unggu dari peziarah. Foto : TNGGP

Petugas dibantu relawan memadamkan kebakaran di areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Api diduga berasal dari api unggu dari peziarah. Foto : TNGGP

Ia menjelaskan sejak tahun 1999 belum pernah terjadi kebakaran karena setiap musim kering tiba  sekitar bulan Agustus selalu dilakukan penutupan untuk pendakian. “Apabila musim kering berkepanjangan kami juga akan ditambah penutupannya. Karena dari tahun ke tahun serasah (daun kering) semakin banyak kadang bisa juga menyebabkan kebakaran, diatas tidak ada api tetapi kalau dibawah kami tidak tahu apakah ada api atau tidak,” katanya.

Ardi menambahkan  pada Senin (28/09/2015) sampai Rabu (30/09/2015) terdapat 20 orang yang melakukan penjagaan termasuk dari petugas, relawan dan masyarakat. Bahkan ada pemain sepak bola kampung setempat yang ikut membantu.

“Tersiar  kabar bahwa banyak pendakian ilegal yang masuk TNGGP via calo. Tetapi itu sudah kami berantas bersama kepolisian. Jadi sudah tidak ada lagi pendaki ilegal yang masuk via calo,” ujarnya.

Para peziarah yang diduga karena api unggun yang mereka buat, membakar areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Mereka kemudian diamankan petugas TNGGP. Foto : TNGGP

Para peziarah yang diduga karena api unggun yang mereka buat, membakar areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Mereka kemudian diamankan petugas TNGGP. Foto : TNGGP

Ia mengatakan  biasanya mereka memanfaatkan kelengahan petugas dan kadang kucing – kucingan bersama petugas. Kadang calo nya mengantar pendaki liar tersebut ke jalur – jalur liar. Setidaknya ada 23 jalur liar yang sudah diketahui berdasarkan data.  Ia memaparkan bahwa sudah mengamankan 100 orang yang terindikasi sebagai pendaki liar kemudian melakukan operasi tangkap tangan dan para calo yang tertangkap  sudah diserahkan ke kepolisian.

Masalah Baru

Ardi mengungkapakan banyaknya santri yang datang untuk berziarah dari berbagai pesantren baik disekitaran TNGGP maupun diluar kawasan tersebut  ke Alun – Alun Surya Kencana dengan tujuan mendekatkan diri. Ia menjelaskan bahwa ada diantara mereka yang berziarah ke tempat – tempat seperti Gua Gunung Gumuruh dan di batu Dongdang.

“Masalahnya mereka datang ke gunung itu sesuai wangsit dari gurunya. Apabila guru menyuruhnya sekarang berangkat ya berangkat. Kalau tidak ya tidak. Maka dari itu perlu adanya sosialisasi ke pesantren – pesantren bahwa gunung sedang ditutup,” katanya

Ia melanjutkan bahwa biasanya mereka berkemah disana selama 1 hingga 7 hari tergantung keperluanya. Namun, ia menyesalkan bahwa minimnya peralatan yang mereka bawa tidak sesuai dengan prosedur yang dianjurkan. Mereka hanya membawa tenda kain, sarung dan bekal alakadarnya, kemudian mereka membawa gas 3 kg untuk keperluan memasaknya dan membawa kastrol lalu membuat api unggun padahal itu dilarang.

Ardi menuturkan tahun 2012 silam pernah ada santri yang meninggal akibat hipotermia karena minimnya perlengkapan yang mereka bawa. Tradisi berziarah ini sudah berlangsung cukup lama dan telah banyak juga korban meninggal. “Cuma tidak terekspose saja karena setiap ada yang meninggal mereka cepat membawa turun,” katanya.

Para peziarah yang diduga karena api unggun yang mereka buat, membakar areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Mereka kemudian diamankan petugas TNGGP. Foto : TNGGP

Para peziarah yang diduga karena api unggun yang mereka buat, membakar areal Alun Alun Surya Kencana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang terjadi pada Minggu (27/09/2015). Mereka kemudian diamankan petugas TNGGP. Foto : TNGGP

Untuk mencegah pendaki liar, petugas selalu melakukan patroli di gunung untuk memantau kondisi.

“Pada saat terjadi kebakaran hari Minggu (27/09/2015) pukul 10.00 WIB, itu pertama yang mengetahui adalah pihak kami yang sedang melakukan patroli  selanjutnya petugas TNGGP beserta masyarakat sekitar Gunung Putri dan Gunung Batu Cianjur berhasil memadamkannya pada pukul 18.00 WIB.  Guna memastkan bahwa kebakaran telah berhenti total,  petugas dan masyarakat menginap di Alun-alun Suryakencana, dan dilanjutkan pengecekan pada hari Senin (28/9) yang dibantu oleh masyarakat dan volunteer,” kata Ardi .

Dia menambahkan pada Sabtu (26/09/2015) belum terjadi kebakaran karena ada pengecekan dari tim patroli. Namun, keesokan harinya terjadi kebakaran dan saat bersamaan ada 3 kelompok peziarah yang sedang berada di lokasi. Peziaran tersebut langsung diamankan.

Perbaikan Kawasan Terbakar

Ia mengatakan beberapa bulan ke depan sampai musim penghujan tiba  akan melakukan tahapan perbaikan kawasan tersebut dengan identifikasi dan pembatasan/penutupan wilayah.

Ardi menegaskan untuk tahap trakhir pihak TNGGP akan melakukan pemulihan tanaman apa saja yang bisa ditanam dikawasan yang terkena kebakaran agar bisa normal kembali.

Ardi memaparkan luasan TNGGP berkisar 24.000 hektar yang didalamnya banyak dihuni spesies yang dilindungi seperti 27 ekor macan tutul, 400 ekor owa jawa dan 60 ekor elang jawa. Sampai berita ini di turunkan belum ada hewan dilindungi yang mati akibat kebakaran  tersebut.

 


Alun Alun Surya Kencana Gunung Gede Pangrango Terbakar. Kenapa? was first posted on October 1, 2015 at 8:59 am.

Proyek 3.500 Kapal Nelayan Akan Bangkitkan Industri Galangan Kapal

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan program hibah kapal sebanyak 3.500 unit bisa dibagikan kepada nelayan mulai pertengahan 2016 mendatang. Untuk itu, pada Januari 2016 diharapkan proses tender untuk memilih perusahaan galangan kapal bisa selesai dilakukan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (30/9/2015) mengatakan, program pemberian kapal untuk nelayan di seluruh Indonesia, dilakukan sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan nelayan. Menurutnya, dengan diperbarui kapal nelayan, produksi tangkapan ikan di laut bisa meningkat lebih baik.

“Kita ingin meningkatkan taraf hidup nelayan lebih baik lagi. Untuk itu, mereka harus didukung dari peralatannya, yaitu kapal,” ucap Susi.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal-kapal yang akan dibagikan tersebut, kata dia, akan diproduksi di dalam negeri dengan melibatkan industri galangan kapal yang sudah ada. Adapun, perusahaan yang dilibatkan untuk ikut dalam tender jumlahnya ada 250.

“Perusahaan-perusahaan ini adalah perusahaan yang memiliki pengalaman dan kapabilitas dalam industri galangan kapal. Saya ingin membangkitkan dan memperkuat industri ini,” cetus dia.

Untuk mewujudkan 3.500 kapal yang akan dibagikan kepada nelayan, Susi menyebutkan, ada anggaran sebesar Rp4,7 triliun yang sudah dialokasikan. Dana tersebut, diharapkan bisa memenuhi kebutuhan anggaran untuk pembuatan kapal yang dibutuhkan.

Sebagai pelaksana di lapangan, KKP menggandeng PT PAL Indonesia (Persero) sebagai pimpinan pelaksana atau project management officer (PMO). Diharapkan, kehadiran PT PAL bisa mengawal pelaksanaan pembuatan dan penyaluran 3.500 kapal ke nelayan di seluruh Indonesia.

“Dengan dimulainya pembuatan kapal ini, maka kita berharap industri galangan kapal dan lain-lain bisa terus berkembang. Karena, program ini akan dilaksanakan setiap tahun,” tandas dia.

Pembuatan Secara Bertahap

Sementara itu Direktur Utama PT PAL M Firmansyah Arifin, dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, sebagai pimpinan pelaksana, pihaknya mendapat amanat pembuatan kapal dalam waktu setahun.

“Perhitungannya, dimulai sejak Januari dan berakhir pada Desember 2016 mendatang. Itu sudah sesuai dengan keinginan dari KKP,” jelas Firmansyah.

Waktu pelaksanaan tersebut, menurut Firmansyah, termasuk singkat jika melihat jumlah kapal yang harus dibuat. Tetapi, dengan bantuan perusahaan galangan kapal, dia optimis target waktu yang ditetapkan bisa tercapai.

“Kalau sekarang yang ikut tender saja ada 250 (perusahaan), katakanlah yang lolos verifikasi itu hanya 200, maka nanti akan dibagi saja pembuatannya. Artinya, 3500 kapal dibagi merata untuk 200 perusahaan tersebut,” jelas dia.

Karena kapal yang akan dibuat itu bervariasi ukurannya, Firmansyah mengatakan, pihaknya akan memprioritaskan dulu pembuatan kecil dengan ukuran 5 gross tonnage (GT) dan kemudian bertahap ke ukuran berikutnya hingga yang terbesar 30 GT.

“Cara tersebut memang dirasa paling masuk akal jika melihat waktu yang cukup pendek tersedia. Jika kita prioritaskan pembuatan untuk 5 GT dulu, kita optimis pada pertengahan 2016 nanti sudah bisa dibagikan kepada nelayan,” tutur dia.

Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Akan tetapi, Firmansyah mengungkapkan, sebelum rencana itu terwujud, pihaknya akan fokus dulu pada tahap-tahap yang akan dilalui, yaitu tahap desain, procurement, assesment, dan penetapan harga serta jumlah kapal.

“Untuk tahap desain saja itu kan ada tim khusus. Nah, tim tersebut akan mencari desain yang pas dan cocok disesuaikan dengan karaketeristik masing-masing daerah. Karena, kan nelayan itu memiliki kapal yang berbeda-beda. Kapal sama saja, belum tentu alat tangkapnya sama,” papar dia.

Material Fiber

Untuk bahan yang akan digunakan dalam pembuatan 3.500 kapal, Firmansyah menuturkan, disepakati akan menggunakan material fiber (fibre). Bahan tersebut dipilih, karena selain harganya lebih murah, juga memiliki kualitas lebih baik dari kayu.

“Fiber ini memang sekarang jadi pilihan utama. Kekuatannya juga bagus. Tapi saya belum bisa mengetahui berapa tahun kekuatannya. Tapi, sekuat-kuatnya material, tetap ada batasnya juga,” jelas dia.

Selain menggunakan fiber, Firmansyah menyebutkan, pembuatan kapal juga akan menggunakan komponen-komponen yang didatangkan dari luar negeri seperti Jepang dan Korea Selatan. Komponen-komponen yang terpaksa diimpor itu, di antaranya mesin kapal dan jaring.

“Indonesia belum punya produksi sendiri untuk mesin dan jaring. Kita harus mengimpornya. Tapi, dengan adanya pembebasan PPN 10% untuk impor industri galangan kapal, kita optimis semuanya tidak ada masalah. Apalagi, komponen yang dibeli juga banyak. Ada harga khusus pastinya,” lanjut dia.

Akan tetapi, walau harus mengimpor, Firmansyah tetap merasa optimis di tahun mendatang, komponen kapal bisa diproduksi di dalam negeri. Optimisme itu muncul, karena pembuatan kapal akan dilaksanakan minimal selama 4 tahun mendatang.

“Dari 3.500 kapal ini, muncul dorongan kepada pengusaha untuk memproduksi komponen kapal. Pengusaha juga pasti akan mau melakukannya, karena ini akan berlangsung lama. Istilahnya, pengusaha itu akan berpikir ulang jika produksi hanya dilakukan sekali saja,” tandas dia.

 


Proyek 3.500 Kapal Nelayan Akan Bangkitkan Industri Galangan Kapal was first posted on October 2, 2015 at 2:10 am.

Regulasi Penindakan Pelaku IUU Fishing di Lautan Masih Tumpang Tindih

$
0
0

Tertangkapnya kapal asal Thailand Silver Sea 2 di perairan Sabang, Aceh, beberapa waktu lalu, menjadi penegas bahwa aktivitas penangkapan ikan dengan cara tidak sah (illegal, unreported, unregulated / IUU Fishing) masih berjalan di Indonesia. Kondisi itu sangat memprihatinkan dan harus diihilangkan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berpendapat, kasus Silver Sea 2 harus menjadi perhatian semua pihak yang ada di Indonesia. Karena, kapal tersebut sudah jelas terbukti melakukan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia.

“Jangan sampai, kejadian kaburnya kapal asal Tiongkok, Hai Fa, kembali terulang. Sekarang semua elemen harus sama-sama bergerak. Kita harus kawal proses hukum kapal Silver Sea 2 ini,” ucap Susi di Jakarta, Jumat (02/10/2015).

Kapal Silver Sea 2 asal Thailand ini ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8/2015) dini hari. Foto : Junaidi Hanafiah

Kapal Silver Sea 2 asal Thailand ini ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8/2015) dini hari. Foto : Junaidi Hanafiah

Menurut Susi, agar kasus Hai Fa tidak terjadi pada Silver Sea 2, harus ada pembenahan dari segi regulasi hukum. Dalam artian, harus ada kesepakatan antara penegak hukum saat menindak pelaku IUU Fishing di perairan Indonesia.

“Sekarang ini, penanganan pelaku IUU Fishing itu harus melalui jalur hukum seperti pengadilan. Padahal, dengan kondisi sekarang, ada kesempatan untuk melawan bagi si pelanggar,” tutur dia.

Dengan kondisi yang terjadi sekarang, Susi berpendapat, penindakan paling tepat terhadap para pelaku IUU Fishing adalah dengan membakar langsung kapalnya. Cara tersebut bisa dilakukan sebelum ada keputusan untuk menenggelamkan kapal pelanggar.

“Lebih baik memang seperti itu. Begitu tahu ada kapal asing yang masuk (wilayah) perairan Indonesia dan terbukti mencuri ikan, maka langsung saja bakar kapalnya. Kalau masuk ke ke pengadilan dulu, nanti kapalnya akan melawan,” tegas dia.

Namun, untuk bisa melangkah kesana, Susi meminta ada kesepakatan antara penegak hukum seperti KKP, Kepolisian Air dan Udara (Polairud) serta TNI Angkatan Laut. ”Iya harus ada kesepakatan dulu ya dengan mereka,” tandas dia.

Merujuk pada regulasi hukum seperti Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, KKP sebenarnya memiliki kewenangan untuk membakar atau menenggelamkan kapal yang melakukan IUU Fishing. Tetapi, kewenangan tersebut masih tumpang tindih karena penegak hukum lain di wilayah perairan juga memiliki regulasi sendiri.

Kondisi tersebut, menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Asep Burhanudin, menjadi polemik yang sulit dipecahkan. Padahal, jika merujuk pada UU Perikanan saja, KKP ada kewenangan jelas selama memiliki minimal dua alat bukti.

Direktur Pol Air Sukajadi, dalam kesempatan yang sama menjelaskan, kesepakatan menindak pelaku IUU Fishing memang harus dibuat untuk menyesuaikan kondisi terkini. Namun, untuk bisa mencapai kesepakatan tersebut, prosesnya pasti tidak mudah dan butuh perjuangan panjang.

“Melaksanakan proses hukum seperti itu dengan menindak di atas air adalah tindakan yang sangat berisiko dan harus dilakukan dengan hati-hati. Karena, tindakan itu harus dilakukan dengan disertai alat bukti yang jelas,” ungkap dia.

Silver Sea 2 Melawan

Seperti sudah diduga sebelumya, kapal asal Thailand, Silver Sea 2 mengajukan gugatan pra peradilan kepada TNI Angkatan Laut yang menangkap kapal tersebut di perairan Sabang. Gugatan tersebut dilakukan oleh pemilik kapal, Supachai Singkalvanch dan dijadwalkan akan diputuskan pada Senin 0(5/10/2015) mendatang bertepatan dengan peringatan HUT TNI yang ke-70.

Kapal Silver Sea 2 ini tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI) dan bukan kapal penangkap ikan. Kapal ini juga mengibarkan bendera Indonesia untuk mengelabui petugas. Foto: Junaidi Hanafiah

Kapal Silver Sea 2 ini tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI) dan bukan kapal penangkap ikan. Kapal ini juga mengibarkan bendera Indonesia untuk mengelabui petugas. Foto: Junaidi Hanafiah

Dirjen PSDKP Asep Burhanudin menjelaskan, pihaknya siap dan tidak merasa takut dengan dengan gugatan yang dilayangkan Silver Sea 2. Tetapi, dengan gugatan tersebut, KKP beserta TNI AL justru semakin termotivasi untuk mengumpulkan bukti lebih atas pelanggaran yang dilakukan SS2.

“Kita menduga, SS2 ini ada afiliasi dengan perusahaan yang  sudah dibekukan karena terlibat kasus IUU Fishing di Maluku, PT Pusaka Benjina Resources (PBR),” tutur Asep.

Pernyataan Asep tersebut kemudian dibenarkan Wakil Ketua Satuan Tugas IUU Fishing Yunus Husen. Menurut dia, dugaan keterlibatan kapal SS2 dengan PBR masih terus diselidiki. Bisa saja, keterlibatannya hanya sebatas memasok ikan atau bisa juga lebih.

“Kita masih terus melakukan penyelidikan melalui penggunaan scientific evidences sebagai bukti tindak pidana perikanan, yaitu analisis morfologi dan DNA ikan hasil tangkap,” ungkap Yunus. Dengan menggunakan metode tersebut, dia berharap bisa didapat kejelasan ikan hasil tangkapan Silver Sea 2 diambil di perairan Indonesia atau tidak.

Seperti diketahui, kapal SS-2 ditangkap oleh KRI Teuku Umar sekitar 80 mil dari perairan Sabang, Aceh pada Kamis (13/8/2015) lalu. Kapal tersebut diketahui memiliki bobot 2.285 ton dan terdaftar atas nama Silver Sea Reefer Co.Ltd yang berbasis di Bangkok, Thailand.

Ukuran kapal tersebut panjangnya mencapai 81,73 meter dengan kapasitas 2.200 ton untuk mengangkut ikan. Saat TNI AL menangkap SS2, diketahui ada barang bukti ikan curian sebanyak 1.930 ton.


Regulasi Penindakan Pelaku IUU Fishing di Lautan Masih Tumpang Tindih was first posted on October 3, 2015 at 4:09 am.

Inilah Sistem Informasi Yang Dukung Ranperda Masyarakat Adat Enrekang

$
0
0

Proses pengesahan rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kabupaten Enrekang terus mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Tidak hanya pihak Pemda, DPRD dan masyarakat adat, yang terus menggenjot mempercepat pengesahannya, dukungan juga datang dari Badan Regsitrasi Wilayah Adat (BRWA), yang memperkenalkan Sistem Informasi Wilayah Adat (SIWA).

Menurut Kasmita Widodo, Kepala BRWA, keberadaan SIWA ini haruslah dilihat sebagai bentuk dukungan upaya penyusunan peraturan daerah tentang masyarakat adat di Enrekang.

“Perda merupakan landasan bagi kedaulatan masyarakat adat. Melalui Perda pengakuan dan perlindungan hak masyarakat maka pemerintah dapat mempercepat pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35 Tahun 2012 untuk mengembalikan status hutan adat kepada masyarakat adat dan bukan menjadi hutan negara,” kata Kasmita dalam dialog publik di Gedung Muhammadiyah, Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (21/9/2015).

Dialog yang digagas BRWA bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel tersebut dihadiri oleh 18 komunitas masyarakat adat di Enrekang, pemerintah daerah, SKPD dan LSM setempat.

Salah satu informasi penting terkait masyarakat adat adalah keberadaan sistem pemerintahan adat, termasuk rumah adat sebagai simbol keberadaan pemerintahan adat. Foto : Wahyu Chandra

Salah satu informasi penting terkait masyarakat adat adalah keberadaan sistem pemerintahan adat, termasuk rumah adat sebagai simbol keberadaan pemerintahan adat. Foto : Wahyu Chandra

Ia menjelaskan bahwa dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak mensyaratkan adanya Perda atau Surat Keputusan Kepala Daerah sebagai instrumen pengakuan keberadaan masyarakat adat dalam wilayahnya sebelum akhirnya mendapatkan pengakuan atas hutan adat.

Permen ini sendiri merupakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 (MK35) yang mengakui keberadaan hutan adat di dalam wilayah masyarakat adat.

Aturan lain adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mensyaratkan lima hal untuk identifikasi keberadaan masyarakat adat, yaitu sejarah masyarakat adat; wilayah adat; hukum adat; harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

“Untuk diketahui bersama bahwa kejelasan wilayah adat dan informasi sosial mengenai keberadaan dan pelaksanaan aturan adat pada masyarakat merupakan salah satu syarat bagi pembuatan peraturan daerah untuk pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat,” tambahnya.

Menurut Kasmita, sejak tahun 2010, BRWA telah melakukan pengumpulan informasi terkait wilayah adat melalui sistem registrasi wilayah adat (SRWA) berbasis daring (onlinewww.brwa.or.id) dan luring (offline).

“BRWA yang terdiri dari lima lembaga ini dimandatkan untuk membangun SIWA yang bisa diakses oleh publik secara online berdasarkan registrasi yang dilakukan oleh komunitas adat maupun oleh organisasi pendukung gerakan masyarakat adat,” tambahnya.

Kelima organisasi yang membentuk dan mendukung BRWA yang dimaksud adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI) dan Sawit Watch (SW)

Paundanan Embong Bulan, Ketua AMAN Enrekang, menyambut baik adanya dukungan dari BRWA yang disebutnya sebagai ‘tambahan amunisi’ dalam mempercepat pengesahan Perda yang ditargetkan disahkan pada akhir tahun 2015 ini.

“Selama ini kita memang masih sangat lemah dalam hal pendataan informasi komunitas. Padahal itu adalah elemen penting dalam pengesahan sebuah komunitas adat agar diakui sebagai diamantkan undang-undang. Kita selama ini telah melakukan identifikasi dan pendokumentasian tersendiri juga. Adanya SIWA tentu sangat membantu upaya ini,” katanya.

Paundanan optimis dengan semakin banyaknya dukungan akan semakin meyakinkan pemerintah dan DPRD akan pentingnya Perda ini sehingga bisa menjadi motivasi tersendiri dalam pengesahannya.

Menurut Paundanan, di Kabupaten Enrekang sendiri saat ini telah teridendifikasi sebanyak 18 Komunitas adat yang sesuai dengan kriteria atau prasyarat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Tetapi, tidak menutup kemungkinan akan ada pertambahan jumlah komunitas adat yang tersebar di wilayah kabupaten Enrekang.

“Apalagi pihak Pemda sendiri bahkan mengklaim sekitar 40-an komunitas. Kita tunggu saja prosesnya dan pastinya akan bisa diketahui secara pasti setelah lahirnya Perda ini,” ungkapnya.

Upaya pengumpulan informasi masyarakat adat apat dikumpulkan oleh masyarakat adat sendiri sebagai pihak yang paling memahami kondisi yang ada. Tidak hanya pendokumentasian, AMAN juga mendorong dan mendukung pelaksanaan pemetaaan wilayah adat partsipatif yang melibatkan secara aktif masyarakat adat yang bersangkutan. Foto : Wahyu Chandra

Upaya pengumpulan informasi masyarakat adat apat dikumpulkan oleh masyarakat adat sendiri sebagai pihak yang paling memahami kondisi yang ada. Tidak hanya pendokumentasian, AMAN juga mendorong dan mendukung pelaksanaan pemetaaan wilayah adat partsipatif yang melibatkan secara aktif masyarakat adat yang bersangkutan. Foto : Wahyu Chandra

Mustam Arif, Direktur Jurnal Celebes, lembaga yang selama ini banyak memberi dukungan pada perjuangan masyarakat adat melalui publikasi media, juga mengapresiasi adanya dukungan dari BRWA. Diakuinya, kelemahan utama komunitas adat selama ini banyak pada ketersediaan informasi dan dokumentasi, bahkan dalam pemberitaan media pun masyarakat adat jarang terekspos.

“Dengan adanya system informasi berbasis online pasti akan banyak membantu. Dan itu bisa dilakukan tanpa menunggu Perda itu disahkan, namun bisa saling beriringan dengan proses yang sedang berlangsung,” tambahnya.

Menurut Sardi, pelaksanaan dialog publik bisa juga dilihat sebagai rangkaian upaya untuk pengawalan proses dan subtansi pembahasan Ranperda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Enrekang.

“Kita apresiasi dukungan BRWA ini dan ini sejalan dengan pengawalan yang kita lakukan selama ini. Semakin banyak pihak yang terlibat justru akan semakin bagus dalam memperkaya Perda yang akan kita hasilkan ini.”

Terkait progres Perda ini sendiri, menurut Sardi, sebenarnya sudah sangat maju dibanding daerah-daerah lain yang sedang berproses hal yang sama. Beberapa daerah bahkan butuh bertahun-tahun untuk proses Perda ini, sementara di Enrekang sendiri justru jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.

Menurut Kasmita bahwa pada Agustus 2015, BRWA, AMAN dan JKPP menyerahkan data 604 profll dan peta wilayah adat seluas 6,8 juta ha kepada Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Penyerahan peta ini bertujuan agar peta dan informasi mengenai wilayah adat dapat diintegrasikan dalam peta indikatif arahan perhutanan sosial (PIAPS) yang dibuat oleh Direktorat Perhutanan Sosial di KLHK. Profil dan Peta Wilayah adat ini disajikan dalam SIWA untuk mendukung proses penyusunan kebijakan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.


Inilah Sistem Informasi Yang Dukung Ranperda Masyarakat Adat Enrekang was first posted on October 3, 2015 at 6:00 am.

Mongabay Travel : Beginilah Surga Di Takabonerate

$
0
0

Fauzi tersenyum puas. Sekujur tubuhnya masih basah dengan pakaian selam yang dikenakannya. Beberapa saat sebelumnya ia menyelam (fun diving) berkeliling mengitari terumbu karang di sekeliling pantai Pulau Tinabo yang jernih.

Fauzi adalah satu dari puluhan orang dari berbagai profesi dan daerah di Indonesia, seperti Gorontalo, Surabaya, Malang, Palu dan sebagian besar berasal dari Makassar. Mereka merupakan peserta Takabonerate Island Expedition (TIE) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Selama lima hari (2-6 September) mereka dimanjakan oleh beragam pesona laut, baik di daratan maupun di bawah laut.

Peserta ekspedisi Takabonerate Island Expedition (TIE) ketujuh dari berbagai profesi mengeksplorasi keindahan bawah laut Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, Sulawesi Selatan. TIE merupakan program pengenalan wisata daratan dan bawah laut di TNL Takabonerate. Foto : Wahyu Chandra

Peserta ekspedisi Takabonerate Island Expedition (TIE) ketujuh dari berbagai profesi mengeksplorasi keindahan bawah laut Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, Sulawesi Selatan. TIE merupakan program pengenalan wisata daratan dan bawah laut di TNL Takabonerate. Foto : Wahyu Chandra

TIE yang telah tujuh tahun diselenggarakan ini, bertujuan mengenalkan keindahan Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, dengan potensi wisata laut seperti Taman Laut Bunaken di Manado dan Raja Ampat di Papua Barat. Sebagian besar terumbu karang sepanjang perairan ini masih sangat alami tak terjamah dengan 17 titik penyelaman yang telah ditemukan.

Kegiatan utama di Takabonerate terbagi atas dua, yaitu land tour dan diving di tiga titik yang telah disiapkan oleh panitia dari TNL Takabonerate.

Kelompok land tour diajak berkunjung ke Pulau Rajuni Kecil, berbincang dengan masyarakat pulau yang terdiri dari orang Bajo dan Bugis. Sementara kelompok diving menuju ke titik selam yang telah ditetapkan oleh panitia, di Tinabo dan Tarupa.

Pada sore harinya, semua peserta diajak ke sebuah gosong, yang mengingatkan kita pada film Pirates of the Caribbean. Di lokasi ini para peserta, beserta sejumlah wisatawan dari Australia melakukan aksi pelepasan tukik.

Di Pulau Tonabo sendiri, pemandangan alam di sore hari tak kalah menakjuban. Setiap sore kita dimanjakan oleh panorama sunset. Beberapa peserta juga melakukan snorkling dan mengayuh kayak atau sekedar berfoto selfie dengan latar warna laut keemasan.

Hal lain yang bisa dinikmati adalah memberi makan kepada anak-anak hiu yang dengan mudah ditemui di tempat itu, cukup dengan memberi potongan ikan yang masih segar.

“Ikan hiu sangat sensitif dengan bau darah, jadi mereka akan datang kalau diberi potongan ikan yang masih segar-segar,” ungkap Yasri, salah seorang petugas patroli dari TN Takabonerate yang memandu para pesiar ini.

Di Pulau Tinabo, Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate,  tidak hanya keindahan daratan dan bawah laut yang memukau, Pengunjung bisa bercengkrama dengan anakan hiu yang jinak dengan memberi mereka makanan dar potongan ikan yang masih segar. Foto : Wahyu Chandra

Di Pulau Tinabo, Taman Nasional Laut (TNL) Takabonerate, tidak hanya keindahan daratan dan bawah laut yang memukau, Pengunjung bisa bercengkrama dengan anakan hiu yang jinak dengan memberi mereka makanan dar potongan ikan yang masih segar. Foto : Wahyu Chandra

Beberapa peserta yang mengikuti kegiatan ini menyatakan kepuasan dan ketakjuban dengan keindahan yang disajikan oleh TNL Takabonerate ini.

Ariana Mayang, seorang dosen dari Gorontalo menilai perjalanan ekspedisi ini sangat seru meskipun ia tak sempat diving dan hanya berwisata land tour.

“Ini menakjubkan. Banyak hal yang bisa dinikmati, apalagi di sore hari. Semakin seru karena kita ramai-ramai dengan orang yang sebelumnya tak saling kenal,” katanya.

Meski puas dengan ekspedisi ini, namun ia juga mengeluhkan beberapa hal, seperti kegiatan yang terkesan kurang terkelola dan kurang informasi.

“Kita baru tahu seminggu lalu dan itupun dengan informasi yang terbatas, misalnya apa saja yang disiapkan oleh panitia, kondisi lapangan bagaimana dan sebagainya. Ini penting agar kami bisa memperkirakan dengan baik kebutuhan-kebutuhan di lapangan,” katanya.

Terumbu karang yang masih alami tak terjamah masih mudah ditemukan di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para penyelam. Hingga saat ini, terdapat 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal

Terumbu karang yang masih alami tak terjamah masih mudah ditemukan di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para penyelam. Hingga saat ini, terdapat 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal

Sementara Fauzi menyayangkan belum terkelolanya industri wisata di Takabonerate meskipun memiliki potensi keindahan yang sangat besar. “Sayang sekali dengan potensi wisata sebesar ini belum dikembangkan dengan baik,” ungkapnya.

Masalah lain adalah ketersediaan air bersih yang layak untuk mandi dan konsumsi. Selama ini warga hanya mengandalkan dari air hujan serta diangkut dari Selayar dengan jumlah yang terbatas.

Sebagai bagian dari promosi titik selam ini panitia juga menyelenggarakan lomba foto bawa air secara terbatas bagi peserta yang ikut dalam kelompok diving, yang sebagian besar adalah blogger dan jurnalis. Pemenangnya antara lain Iqbal dari Koran Tempo Makassar, Syahrul dan Dewi F dari Kantor Berita ANTARA Biro Makassar.

Kawasan Atol Terbesar

Kepulauan Takabonerate yang menjadi sasaran kunjungan para pesiar ini terletak di Laut Flores bagian utara, yang terdiri dari 21 pulau, yang membentuk lingkaran dan dikelilingi oleh terumbu karang.

Bintang laut, salah satu spesies yang tumbuh di terumbu karang yang masih alami di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan. Ada 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal

Bintang laut, salah satu spesies yang tumbuh di terumbu karang yang masih alami di Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan. Ada 17 titik penyelaman yang telah ditemukan khusus hanya di Takabonerate. Foto : Syamsu Rizal

Pulau-pulau berpenghuni antara lain Pulau Latondu, Rajuni Besar dan Rajuni Kecil, Tarupa, Jinato, Pasitallu Tengah dan Pasitallu Timur. Selebihnya berupa pulau kosong dan patch reef (gosong), yang muncul ke permukaan pada saat air surut.

Kepulauan ini memiliki luas sekitar 530.765 hektar dengan luas atol kurang lebih 220 ribu hektar. Bentuk karang berupa barrier reef (penghalang), fringing reef (terumbu karang tepi) dan atol (cincin lingkaran) yang dibentuk oleh 261 jenis karang.

Sejak tahun 1992, kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional. Takabonerate memiliki kawasan atol terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshal dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Pada tahun 2005 Takabonerate ini telah diusulkan ke UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia.

Menurut Ronald Yusuf, Staf Pengendali Ekosistem Hutan TN Takabonerate, musim kunjungan terbaik adalah antara April-Juni dan Oktober-Desember setiap tahunnya.

Ronald juga menjelaskan beberapa titik penyelaman antara lain Ibel Orange 1, yang berlokasi di Pulau Tinabo Besar. Topografi di titik selam ini berupa gundukan karang (pinnacle) dengan kedalaman 15-25 m dan visibility 5-10 meter.

“Kondisi karang bagus dengan tutupan 35-65 persen, dominan hard coral dan soft coral,” katanya.

Ada juga di Joan Garden, berlokasi di Pulau Tinabo Kecil, berupa taka tenggelam dengan kedalaman 10-25 meter dan visibility 10-15 meter. Kondisi karangnya juga dinilai sangat bagus dengan tutupan karang 45-80 persen, yang didominasi hard coral dan soft coral.

Spot lain adalah Spot Pinly Fish, yang berlokasi di Pulau Tarupa Kecil dengan topografi reef flat, memiliki kedalaman 5-8 meter dan visibility 12 meter. “Di sini ditumbuhi karang yang rapat dengan dominasi hard coral dan soft coral.”

Bagaimana mencapai Takabonerate?

Perjalanan menuju Pulau Tinabo cukup melelahkan. Dari Makassar kita harus berkendaraan mobil sejauh 200 km ke Kabupaten Bulukumba, tepatnya ke pelabuhan Bira Bulukumba, sebelum akhirnya menyeberang ke Pelabuhan Pamatata Selayar. Dari Makassar ke Dermaga Bulukumba butuh waktu hingga 5 jam. Sementara dari pelabuhan Bira ke Pamatata butuh waktu sekitar 2 jam. Dari Pamatata ke Kota Benteng, ibukota Selayar harus berkendaraan lagi sekitar 1 jam perjalanan.

Alternatif udara juga memungkinkan, yaitu melalui Bandara Hasanuddin Makassar ke Bandara Aroepala Selayar,  menggunakan Wings Air setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu, serta Avia Star tiap  Senin, Rabu dan Jumat.

Pulau Tinabo adalah pulau kecil posko TN Takabonerate, Sulawesi Selatan dengan keindahan alam dan pantai pasir putihnya. Di pulau ini terdapat sejumlah resort yang disewakan dengan harga murah, meskipun dengan fasilitas terbatas. Air bersih sulit diperoleh dan hanya mengandalkan dari air hujan serta air yang dibawa sendiri dai Pulau Selayar. Foto : Syamsu Rizal

Pulau Tinabo adalah pulau kecil posko TN Takabonerate, Sulawesi Selatan dengan keindahan alam dan pantai pasir putihnya. Di pulau ini terdapat sejumlah resort yang disewakan dengan harga murah, meskipun dengan fasilitas terbatas. Air bersih sulit diperoleh dan hanya mengandalkan dari air hujan serta air yang dibawa sendiri dai Pulau Selayar. Foto : Syamsu Rizal

Untuk menuju Pulau Tinabo, belum ada transportasi regular, sehingga harus menyewa speedboat dengan biaya sekitar Rp5 juta, untuk perjalanan selama 3 hari. Menurut Ronald, biaya sudah termasuk dengan ongkos penginapan tiga hari, restribusi ke TN Takabonerate, dan keliling ke spot-spot penyelaman yang diinginkan.

“Sebenarnya ada paket-paket juga, tergantung kita mau paket yang mana. Biaya minimal itu Rp5 juta per rombongan untuk beberapa orang,” ungkapnya.

Alternatif lain bisa menumpang ke kapal warga menuju Pulau Rajuni Kecil, meski untuk ini tak ada jadwal yang pasti.

Meski jualan wisata Pemkab Kepulauan Selayar selama ini adalah Takabonerate, namun sebenarnya di daerah ini terdapat tiga kawasan utama untuk tujuan wisata penyelaman, yaitu kawasan pantai timur dan pantai barat, serta kawasan TN Takabonerate sendiri, yang letaknya berada di bagian selatan Pulau Selayar, sebagai pulau induk.

Menurut Ronald, di Selayar sendiri hingga kini telah ditemukan puluhan titik penyelaman, yaitu 25 titik di sepanjang pantai timur, 11 titik di bagian barat, serta 17 titik di sejumlah pulau di kawasan TN Takabonerate.


Mongabay Travel : Beginilah Surga Di Takabonerate was first posted on October 4, 2015 at 1:22 am.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live