Taman Nasional (TN) Laut Takabonerate yang berada di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, sebagai kawasan atol ketiga terbesar ketiga di dunia, seluas 200 ribu hektar lebih, dikenal memiliki kerang kima terlengkap di Indonesia. Dari tujuh spesies yang ada di Indonesia, seluruhnya bisa ditemukan di kawasan ini.
Kini, populasinya semakin berkurang karena aktivitas berlebihan warga untuk konsumsi dan dikomersilkan.
Kima (Tridacna) adalah genus kerang-kerangan berukuran besar penghuni perairan laut hangat. Kima termasuk dalam famili Trinacdiae. Di seluruh dunia saat ini dikenal 9 jenis kima.
Tujuh jenis yang ada di Indonesia antara lain Tridacna gigas, T. derasa, T. squamosa, T. maxima, T. crocea, T. Crocea, Hippopus hippopus, dan H. Porcellanus. Kedua spesies lainnya adalah Tridacna tevoroa dan Tridacna rosewateri. Selama ini, T. tevoroa hanya ditemukan di Kepulauan Fiji dan Tonga di Pasifik, sementara T. rosewateri hanya ditemukan di Mauritius dan Madagaskar.
Meski dikenal memiliki spesies kerang kima yang lengkap di Taman Nasonal Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan, populasi kerang raksasa ini mulai berkurang seiring dengan meningkatnya aktivitas pengambilan dari warga untuk keperluan konsumsi dan komersil. Meski demikian, sejumlah penyelam masih dapat menemukan keberadaan kerang kima ini di spot-spot tertentu. Foto: Syamsu Rizal
Meski belum bisa dipastikan, kedua jenis kerang kima lainnya ini, sebenarnya diperkirakan juga berada di Indonesia, dimana sempat ditemukan dan diidentifikasi oleh kelompok swadaya Konservasi Taman Laut Kima Toli-Toli di Kecamatan Lalonggasumeeto, Konawe, Sulawesi Tenggara pada 2011 silam.
Kima umumnya hidup di terumbu karang, menancap di antara karang hidup dengan bagian yang terbuka (dorsal) ke atas sehingga permukaan daging mantel sering nampak berwarna hijau-biru atau kuning-coklat indah.
Menurut Ronald Yusuf, salah seorang staf TN Takabonerate, sebagian besar pengambilan kerang kima di Takabonerate dilakukan oleh nelayan sekitar untuk kebutuhan konsumsi. Ada keyakinan yang berkembang di masyarakat Bajo bahwa biota laut ini memiliki khasiat tertentu bagi kesehatan.
“Ada keyakinan warga, khususnya dari suku Bajo bahwa makan daging kima bisa memperbanyak air susu bagi ibu-bu yang baru melahirkan. Daging kima, yang memang enak ini juga telah menjadi makanan wajib untuk disajikan di pesta-pesta sunatan atau perkawinan,” ungkap Ronald, awal September 2015 silam, di Pulau Tinabo, Selayar.
Daging kima juga banyak diperjualbelikan di luar dan tidak hanya pada dagingnya, tapi juga cangkangnya yang biasa digunakan untuk hiasan-hiasan, seperti asbak, hiasan aquarium dan aneka aksesoris lainnya.
Di antara kima yang paling langka adalah kima raksasa (Tridacna gigas). Di Takabonerate sendiri jenis ini masih ditemukan, meski jumlahnya semakin berkurang. T. gigas yang juga dikenal dengan nama wawat ini dapat mencapai ukuran panjang 137 cm dan berat 230 kg. Bahkan konon ada yang bisa mencapai panjang 2 meter. Kima dengan ukuran 100 cm diperkirakan telah hidup mencapai 100 tahun.
“Kima raksasa ini yang paling rentan untuk diambil nelayan karena bentuknya yang besar sehingga mudah menarik perhatian nelayan. Paling besar bahkan bisa mencapai 2 meter lebih meter,” tambah Ronald.
Satwa dilindungi
Larangan pengambilan kerang kima ini sendiri sebenarnya sudah lama diberlakukan Takabonerate, tepatnya sejak tahun 1999, sejak terbitnya Peraturan Pemerintah No.7/1999 terkait jenis-jenis biota yang dlindungi, dimana 7 jenis kerang kima termasuk di dalamnya.
Aturan yang lebih dulu juga sebenarnya ada, yaitu SK Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Undang-undang No.5/1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyebutkan kima sebagai salah satu biota laut yang wajib dilindungi.
Anakan kima (Tridacna sp) dalam fasilitas nursery di Coral and Kima Garden, Nusa Dua, Bali. Sekitar 1000 anakan kima direncanakan disebar di kawasan perairan Nusa Dua sebagai usaha restorasi perairan tersebut. Foto : Syafyudin Yusuf/NDRF
“Tapi memang kita tidak bisa mengawasi semuanya, meski berbagai upaya-upaya telah kami lakukan.”
Penetapan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa populasi kima di alam sudah sangat menurun terutama disebabkan pemanfaatan manusia.
Secara global kampanye perlindungan kerang kima ini dimulai sejak awal tahun 1990-an, dimana seluruh jenis kima yang ada dimasukkan ke dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau Konvensi Internasional tentang Perdagangan Flora dan Fauna Langka, dan sebagai biota yang dilindungi oleh Organisasi Perlindungan Satwa Internasional (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources/ IUCN).
Keberadaan kerang kima sendiri, menurut Ronald, penting karena terkait keberlangsungan biota lain yang ada di sekitarnya.
“Kima itu setelah makan biasanya akan memuntahkan sisa-sisa makanannya yang kemudian bisa menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan yang ada di sekitarnya. Kima memberikan peran penting bagi ekologi terumbu karang seperti sebagai tempat memijah untuk berbagai organisme karang lainnya.”
Secara ekologis kima adalah hewan yang bertugas untuk menyaring air. Adanya kima menjadi penanda bahwa perairan tersebut masih baik dan tidak adanya bahan pencemar.
Kima mengambil makanan dengan cara membuka cangkang, lalu mulutnya berupa shipon akan menyedot air, menyaringnya lalu membuangnya. “Inilah mengapa kima menjadi bagian penting dari ekologi dalam menjaga kebersihan perairan,” jelas Ronald.
Selama ini, selain melakukan patroli, pihak TN juga melakukan pengecekan ke perahu-perahu nelayan serta sosialisasi langsung ke masyarakat, baik terkait jenis-jenis biota yang tak boleh ditangkap ataupun alat tangkap yang diperkenankan.
“Pada kenyataannya, masyarakat secara sembunyi-sembunyi masih melakukan pengambilan kima secara berlebihan. Nelayan bisa mengambil biota unik ini dengan cara mencongkelnya dengan benda tajam.”
Penyebab lain penyebab semakin berkurangnya populasi kima adalah pada tingginya penggunaan bom ikan dan kompresor, tidak hanya merusak kerang kima tapi juga pada rusaknya terumbu karang yang ada di sekitarnya.
Fenomena berkurangnya Kima ini menurut, Kamaruddin Azis, peneliti dari COMMIT, sebenarnya terjadi di mana-mana. Di beberapa daerah, seperti perairan Makassar, kima bahkan hampir tak bisa ditemukan lagi.
“Kalau di Takabonerate ini masih agak banyak ditemukan dibanding tempat lain selain karena memang sudah ada pengawasan dan proteksi, juga karena kawasan ini memang luas. Saya melihat di Takabonerate adanya kecenderungan sudah semakin bertambah, di tempat lain bahkan sudah mulai menghilang sama sekali,” katanya.
Pihak Takabonerate ini sendiri tidak memiliki data jumlah yang pasti tentang populasi kerang raksasa ini. Kesulitannya pada tak adanya data awal yang pasti serta tidak adanya alat ukur yang pasti bisa digunakan.
“Selama ini kami dapat informasi dari nelayan sendiri ataupun dari penyelam bahwa populasinya memang sudah berkurang, tidak seperti dulu lagi.
Menurutnya, tingkat kerusakan terumbu karang dan lokasi dimana kima semakin berkurang umumnya berada di sekitar pulau-pulau berpenghuni, seperti di Pulau Rajuni.
“Di awal-awal saya datang ke Pulau Rajuni sekitar tahun 2000, masih banyak kima yang bisa saya temukan, terumbu karang pun masih sangat bagus. Kini tinggal 20 persen saja yang tersisa.”
Seorang penyelam sedang mengamati terumbu karang buatan yang ditanam di perairan Nusa Dua, Bali. Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)
Cara paling efektif untuk mengukur trend kerang kima ini, menurut Ronald, sebenarnya bisa dilakukan melalui pencatatan hasil tangkapan masyarakat di pasar-pasar tradisional di sekitar pulau.
Hanya sayangnya, tak ada pasar di sekitar Takabonerate, dimana nelayan selesai mengambil kerang langsung dibawa ke luar. “Ini yang tidak bisa kita deteksi,” tambahnya.
Bernilai ekonomis tinggi
Perburuan kerang kima sebenarnya telah berlangsung lama dan terjadi di banyak negara perairan lainnya, sebagaimana dikatakan Andi Baso Tancung, seorang peneliti kelautan, dalam opininya di media Fajar.
Menurut Baso, di Jepang, khususnya di Okinawa, daging kima dari spesies berukuran kecil, seperti Tridacna crocea dan T. maxima dibuat sushi dan sashimi. Sedangkan otot adduktor dari T. squamosa dan Hippopus hippopus dimakan mentah setelah diberi garam atau dikeringkan dan dijual dengan harga yang cukup tinggi.
“Di negara lain, seperti di Taiwan, Hongkong, Cina dan di Amerika Serikat, otot adduktor kima yang dijual dalam keadaan kering memiliki harga yang lebih tinggi daripada cumi-cumi dan sotong kering,” katanya.
Otot adduktor kima ini, tambah Baso, merupakan primadona tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an di Jepang, Cina, Taiwan, dan Singapura. Negara-negara tersebut diperkirakan sebagai pengimpor daging kima yang cukup besar. Diperkirakan kebutuhan otot adduktor kima di Taiwan saat itu sekitar 30 ton pertahun.
“Dapatlah diperkirakan berapa banyak kima yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal dalam seluruh daging kima hanya mengandung 15-20 persen otot adduktor. Sementara satu otot adduktor yang berukuran 200-300 gram memiliki potensi pasar yang paling tinggi dibanding 100-200 gram.”
Taman Kima di Pulau Tinabo
Semakin langkanya kerang kima di Takabonerate ini ternyata telah menjadi kekhawatiran pihak taman nasional. Konservasi kima telah lama dilakukan, namun mulai intens sejak setahun terakhir. Puncaknya pada awal 2015 lalu dimana mereka menginisiasi lahirnya taman kima di perairan Pulau Tinabo.
“Ini bentuk konservasi, penyelamatan spesies yang diambil oleh masyarakat serta sebagai media edukasi sekaligus wisata bawah air,” ungkap Akhmadi, staf TN Takabonerate lainnya.
Sebelumnya, sepanjang tahun 2012-2103 telah merelokasi sebanyak 800 kima yang disita dari warga utuk dikembalikan ke habitatnya.
Beginilah Nasib Kima Di Takabonerate was first posted on October 12, 2015 at 1:30 am.