Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

Nyegara Gunung, Konsep Satu Kesatuan Hulu Hilir Di Bali

$
0
0

Bali berlimpah filosofi tentang pelestarian alam. Apakah norma dan perilaku berjalan beriring?

Selama sekitar satu bulan, warga sebuah dusun di Kabupaten Karangasem, Bali, bergotong royong naik turun gunung. Sebenarnya lebih tepat disebut bukit, ketinggian sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Namun warga setempat terbiasa menyebut gunung.

Jalur menuju bukit ini cukup terjal, menerabas semak dan menanjak. Ratusan warga bergiliran membawa 1-3 batako per orang untuk merenovasi sebuah pura yang disakralkan warga setempat. Pura ini dianggap memberikan sejumlah anugerah, menjaga warga dan lingkungan di bawahnya.

Pemandangan dari puncak bukit di salah satu dusun di Kabupaten Karangasem, Bali tempa dilakukan melakukan ritual sembahyang Nyegara Gunung. Foto : Luh De Suriyani

Pemandangan dari puncak bukit di salah satu dusun di Kabupaten Karangasem, Bali tempa dilakukan melakukan ritual sembahyang Nyegara Gunung. Foto : Luh De Suriyani

Perjalanan mendaki sekitar 50 menit sampai lebih satu jam tergantung kemampuan fisiknya. Namun yang lebih menuntun warga adalah kekuatan psikis. Terutama ketika musim ritual, rangkaian upacara agama untuk menyucikan pura ini berlangsung selama sekitar 2 pekan. Sesaat setelah renovasi fisik serta persiapan upacara. Warga hampir tiap hari harus naik turun gunung.

Bayangkan, warga membawa sesajen mengenakan kain (kamen), kebaya untuk perempuan sambil mendaki gunung. Misalnya dalam sebuah bagian ritual pada akhir Agustus lalu. Ini adalah penyucian ke sumber air. Dusun ini memilih ke pantai Buitan, sekitar 3 km dari titik mulai dan berkumpul. Ratusan warga termasuk anak-anak sudah bersiap sejak dini hari.

Hampir semuanya membawa sesajen, berpakaian dominan putih sebagai atasan. Ada yang menjunjung simbol-simbol dewa-dewi di kepala. Ada yang membawa payung ritual (pajeng), umbul-umbul warna-warni, dan lainnya. Mereka akan menyucikan semua itu termasuk penyucian diri ke laut. Semuanya berjalan kaki melewati jalan desa, jalan raya, hingga sampai ke pantai.

Anak-anak bermain di pantai Buitan Kabupaten Karangasem, Bali setelah melakukan ritual sembahyang Nyegara Gunung. Foto : Luh De Suriyani

Anak-anak bermain di pantai Buitan Kabupaten Karangasem, Bali setelah melakukan ritual sembahyang Nyegara Gunung. Foto : Luh De Suriyani

Pantai Buitan terlihat abrasi, sama dengan sebagian besar pesisir di Bali. Pembangunan makin dekat ke laut sehingga mengubah jalur ombak dan arusnya. Seperti dampak reklamasi Pulau Serangan di Selatan Bali yang berdampak abrasi di Sanur, pesisir Gianyar, dan lainnya. Satu sisi ditimbun maka arus laut akan menghantam sisi lainnya.

Untuk menahan ombak, pemerintah memasang krib. Terutama di pesisir kawasan wisata. Di Pantai Kuta dan Sanur, pemerintah memilih dengan memasang pemecah ombak dan pengisian pasir pantai yang biayanya sangat tinggi.

Upacara digelar dengan hening. Pendeta pemimpin upacara memanjatkan doa dan membunyikan genta. Sekelompok perempuan menyanyikan kidung ke hadapan semesta.

Usai sembahyang bersama, warga membawa sebagian sesaji ke perahu untuk dilarung di laut. Dua perahu tradisional berjalan beriringan menuju lokasi diantar kidung dari pesisir.

Sekitar satu jam di pantai, parade ritual ini kembali ke pusat desa berjalan kaki. Kemudian langsung melanjutkan pendakian ke Pucak Sari. Keringat terlihat bercucur dan membasahi pakaian. Namun tak ada yang menghentikan langkah kaki yang pasti sangat lelah dipacu selama lebih dari 5 jam ini.

Hubungan vertikal dengan Yang Maha Kuasa membuat manusia melupakan lelah. Nyaris tiap hari ada ritual-ritual lainnya di ribuan dusun dan desa lain di Bali.

Nyegara Gunung adalah filosofi Bali bahwa antara laut (segara) dan gunung adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Oleh karena itu, setiap tindakan di gunung akan berdampak pada laut. Demikian pula sebaliknya.

Abrasi yang terjadi di pantai Lebih, Gianyar, Bali menggerus bangunan. Foto : Luh De Suriyani

Abrasi yang terjadi di pantai Lebih, Gianyar, Bali menggerus bangunan. Foto : Luh De Suriyani

Ketut Wiana, tokoh agama pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat dan penulis buku agama ini mengingatkan esensi ritual adalah pelestarian lingkungan.

Sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan antara lain Pattram (daun-daunan), Puspam (bunga-bungaan), Phalam (buah-buahan), dan Toyam (air suci) atau tirtha.  Penggunaan flora dan fauna menurutnya untuk mengingatkan bahwa apa yang kita persembahkan harus dari alam dan dikembalikan ke alam.

Namun kenyataannya makin banyak yang menyalahi konsep dasar ini. Misalnya menggunakan sesajen dengan tambahan unsur anorganik seperti plastik, minuman kaleng, dan lainnya. Selain itu, perilaku buruk yang merusak alam adalah membuang sampah sisa makanan sembarangan seperti di pinggir pantai usai sembahyang dan gunung.

“Bahkan dalam Weda Smrti disebut berludah pun tak boleh ke sungai. Yang bisa dibuang abu (seperti sisa kremasi) karena sudah bersih secara simbolik dan ikan-ikan bisa memakannya,” contoh Wiana.

Kesatuan hulu dan hilir ini sangat mudah dicerna. Misalnya matahari menyerap air laut, menurunkan menjadi hujan. Diserap lebih awal oleh pepohonan dan tanah di pegunungan yang mengolah jadi air bersih dan dialirkan ke sungai. Tumbuhan berbuah, padi tumbuh di sawah ketika alam bekerja sama.

Namun filosofi memang lebih indah ketika diucapkan atau dalam ritual. “Nanti kan sampahnya ada yang menyapu,” salah seorang warga usai makan dan buang sampah minuman gelas plastiknya begitu saja di pinggir pantai.

Ketika musim angin, sejumlah pantai di Bali diserbu sampah. Walau petugas kebersihan tiap hari membersihkan pantai Kuta, namun sampah tak pernah habis. Sebuah foto pernah tersebar secara viral di media sosial, seorang peselancar dikepung gulungan ombak berisi sampah plastik.

Made Iwan Dewantama dari Conservation International Indonesia sedang mengadopsi konsep Nyegara Gunung dalam konteks pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). “Agar warga merasakan bagaimana keterkaitan hulu dan hilir ini. Pesisir mereka terdampak dari apa yang dibawa sungai, danau,” ujarnya. Ia berhasrat Nyegara Gunung tak hanya dibicarakan dalam konteks ritual saja.

 


Nyegara Gunung, Konsep Satu Kesatuan Hulu Hilir Di Bali was first posted on September 12, 2015 at 2:20 am.

Gereja Diajak Kampanyekan Penyelamatan Yaki. Apa Hubungannya?

$
0
0

Pada umumnya, kegiatan di gereja berkaitan dengan keimanan dan kekristenan. Akan tetapi ada hal yang berbeda di Sulawesi Utara (Sulut). Sekitar 20 pendeta dari berbagai gereja di kota Bitung, pulau Lembeh dan kecamatan Airmadidi, Sulut mengikuti kegiatan “Torang Bacirita: Green Gospel” yang diselenggarakan Yayasan Selamatkan Yaki, Selasa (08/09/2015). Lewat kegiatan ini, mereka mendengarkan presentasi lalu mendiskusikan hubungan antara gereja dengan konservasi.

Jelty Ochotan, Pembantu Dekan III Universitas Kristen Tomohon memberikan presentasi mengenai konservasi yaki pada acara “Torang Bacirita: Green Gospel” yang diselenggarakan Yayasan Selamatkan Yaki, Selasa (08/09/2015) di gereja. Foto : Themmy Doaly

Jelty Ochotan, Pembantu Dekan III Universitas Kristen Tomohon memberikan presentasi mengenai konservasi yaki pada acara “Torang Bacirita: Green Gospel” yang diselenggarakan Yayasan Selamatkan Yaki, Selasa (08/09/2015) di gereja. Foto : Themmy Doaly

Dikatakan Jelty Ochotan, Pembantu Dekan III Universitas Kristen Tomohon, sejarah telah mencatatkan keterlibatan lembaga gereja dalam upaya pelestarian alam. “Sidang raya Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGD), misalnya, bertema ‘Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan’. Itu berarti, bumi harus dikelola secara bijaksana untuk kepentingan manusia dengan menghormati nilai-nilai hakiki dari ciptaan,” terang Jelty yang hadir sebagai pembawa materi.

Ia juga memaparkan sejumlah pandangan Kristen terkait etika lingkungan. Menurut dia, gagasan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah menempatkan manusia dalam suatu hubungan yang unik dibanding dengan ciptaan yang lain. Hubungan yang unik itu dinilai membentuk tanggungjawab khusus untuk bertindak selaku penatalayanan dan pelaksana harian pemeliharaan ciptaan.

“Tugas pelaksana harian ini jelas dalam kitab Kejadian 1 dan 2, di mana Allah memerintahkan manusia menguasai ciptaan dan mengelola bumi. Tugas ini berisi mandat memelihara bumi, bukan mengesploitasi.”

“Kalau kita gagal memelihara bumi, kita gagal dalam tanggungjawab penatalayanan ciptaan Allah. Sebab, kehormatan kita yang khusus atau hak, bergandengan tangan dengan tugas kita yang khusus,” tegas Jelty.

Suasana diskusi konservasi yaki pada acar  “Torang Bacirita: Green Gospel” yang diselenggarakan Yayasan Selamatkan Yaki, Selasa (08/09/2015) di gereja di Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Suasana diskusi konservasi yaki pada acara “Torang Bacirita: Green Gospel” yang diselenggarakan Yayasan Selamatkan Yaki, Selasa (08/09/2015) di gereja di Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Asher Esau, pendeta dari Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) Sentrum Bitung, mengatakan, kegiatan “Torang Bacirita: Green Gospel” mengajak pemimpin agama untuk menyampaikan perintah Tuhan kepada manusia untuk menjaga dan memelihara bumi.

“Kegiatan ini menyampaikan pentingnya memelihara bumi, yang secara khusus mengajak kita peduli pada penyelamatan yaki. Sebab, sebagaimana data yang disampaikan, yaki (Macaca nigra) sedang berada dalam ancaman kepunahan. Jadi, kita punya tanggungjawab untuk menyampaikannya. Apalagi yaki adalah satwa endemik yang hanya berada di Sulawesi Utara. Kalau kita tidak ada kepedulian, maka dia akan punah,” demikian dikatakan Asher.

Kedepan, pihaknya berjanji akan melibatkan diri dalam kampanye pelestarian yaki, misalnya lewat pendekatan langsung pada jemaat yang kerap berburu. Upaya itu diyakini berdampak pada pengetahuan masyarakat terkait status perlindungan yaki.

Jika diburu ada sanksi hukum, 5 tahun penjara, sesuai UU 5 tahun 1990 (tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Sehingga, kalau sudah disampaikan, mereka tidak lagi memburunya. Dan, para pendeta sudah melakukan tanggungjawab pelayanannya.”

Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki dalam acara presentasi mengenai konservasi yaki pada acara “Torang Bacirita: Green Gospel” pada Selasa (08/09/2015) di gereja di Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki dalam acara presentasi mengenai konservasi yaki pada acara “Torang Bacirita: Green Gospel” pada Selasa (08/09/2015) di gereja di Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki, kepada Mongabay mengatakan pelibatan pemimpin gereja dalam kegiatan konservasi beranjak dari data 85% penduduk di Sulawesi Utara beragama Kristen. Keterlibatan para pendeta ini diharapkan dapat memaksimalkan upaya penyebaran prinsip-prinsip positif mengenai hak dan kesejahteraan manusia, serta perlindungan lingkungan hidup.

Ia menyatakan, Yayasan Selamatkan Yaki, akan  terus berupaya mengkampanyekan pelestarian yaki agar masyarakat lebih memahami keterancaman, serta ikut melibatkan diri dalam praktik-praktik pelestarian satwa endemik Sulut ini.

“Ini juga jadi cara agar masyarakat terhindar dari jerat hukum karena memelihara, berburu atau memperdagangkan satwa dilindungi sesuai UU 5 tahun 1990. Tiga minggu dari sekarang, kami akan kembali berkomunikasi dengan para peserta, khususnya meminta tanggapan terkait silabus yang sudah dibagikan pada para pendeta,” pungkasnya.

 


Gereja Diajak Kampanyekan Penyelamatan Yaki. Apa Hubungannya? was first posted on September 13, 2015 at 1:43 am.

Nelayan Jangan Sampai Dirugikan Paket Kebijakan Jokowi

$
0
0

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai paket kebijakan ekonomi yang dibuat Presiden Joko Widodo pada September ini sebagai sebuah langkah berani. Kebijakan tersebut dinilai cukup berpihak kepada sektor kelautan dan perikanan, khususnya nelayan.

Tetapi, KNTI memperingatkan Pemerintahan Jokowi untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan paket kebijakan tersebut. Karena, jika salah dalam mengambil keputusan, nelayan bisa menjadi korban dari kebijakan tersebut.

“Jika tidak hati-hati, pilihan strategi yang diambil juga belum akan terasa dalam waktu dekat ini,” ungkap Ketua KNTI Riza Damanik di Jakarta, Jumat (11/9/2015).

Nelayan di Buyat, Sulawesi Utara. Foto: Wisuda

Nelayan di Buyat, Sulawesi Utara. Foto: Wisuda

Lebih lanjut, Riza menyebutkan, ada 5 (lima) instrumen dari paket kebijakan ekonomi yang dirilis Presiden Jokowi dan dinilai bisa meningkatkan perekonomian nelayan di seluruh Indonesia. Kelima instrumen tersebut adalah:

  1. Pengendalian harga bahan bakar minyak (BBM) dan pangan;
  2. Pengendalian realisasi anggaran APBN;
  3. Penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga rendah 12%;
  4. Percepatan dan penyederhanaan pencairan dana desa; dan
  5. Program konversi BBM ke gas.

Kelima instrumen tersebut, menurut penilaian Riza, sangatlah bagus, tetap ada kelemahan dari instrumen-instrumen tersebut. Hal itu, bisa mengancam keberhasilan paket kebijakan ekonomi yang dirilis sekarang ini.

“KNTI menduga Presiden Jokowi tidak diberikan informasi yang utuh dalam proses operasionalisasinya. Itu terlihat, belum tuntasnya proses penyegaran struktur di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini berdampak pada tersendatnya realisasi program kesejahteraan nelayan,” tutur Riza.

Selain itu, dia menilai, Pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan yang ada dalam program konversi solar ke gas untuk nelayan. Termasuk, persoalan akurasi data yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Disebutkan, Kementerian ESDM akan mengonversi sebanyak 600 kapal dan ditargetkan selesai pada 2019.

“Padahal, jika konversi itu dimaksudkan untuk nelayan kecil, itu artinya kapal yang digunakan dibawah 5 GT (gross tonnage). Jika demikian, total jumlahnya hanya 154 ribu kapal saja,” jelas dia. Atau, sambung dia, jika memang yang dimaksud Pemerintah adalah untuk seluruh kapal bermotor, maka jumlahnya hanya 230 ribu kapal saja.

Persoalan lain yang juga harus diperbaiki, menurut Riza, adalah pendampingan dan sosialisasi program konversi solar ke gas untuk nelayan. Walau sosialisasi dan pendampingan sudah biasa dilakukan oleh Pemerintah, namun itu harus diperhatikan karena pada program-program Pemerintah sebelumnya, tidak semua nelayan bisa menerima setiap kebijakan baru.

“Dengan adanya konversi, juga memberi kesempatan pada kapal untuk melakukan jelajah lebih jauh lagi. Itu juga harus disosialisasikan kepada nelayan, sehingga mereka bisa menyiapkan sebaik mungkin mana wilayah baru yang bisa dijelajah,” papar dia.

Suasan di Kampung Nelayan Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Foto : Petrus Riski

Suasan di Kampung Nelayan Kelurahan Gunung Anyar Tambak, Surabaya. Foto : Petrus Riski

Di luar masalah di atas, KNTI juga menilai ada persoalan yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah, yakni tentang importasi garam. Dalam paket kebijakan ekonomi yang ditawarkan sekarang, Pemerintah merencanakan importasi garam tidak memerlukan lagi rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Tetapi, langsung melalui Kementerian Perdagangan.

“Langkah ini dinilai gegabah karena bisa memperparah kesenjangan data produksi, konsumsi, importasi. Itu akan berujung pada kegagalan mewujudkan kesejahteraan nelayan,” tandas dia.

El Nino dan Bulog Ikan

Lain Riza Damanik lain pula Alan Koropitan. Lektor Kepala Bidang Oseanogradi Institut Pertanian Bogor yang juga Ketua DPP Bidang Riset dan IPTEK KNTI itu mengkritik kebijakan Pemerintah yang terkesan lambat dalam menyikapi El Nino.

Menurut dia, El Nino sebenarnya membawa dampak yang baik bagi nelayan karena akan terjadi kenaikan produksi ikan di wilayah perairan Indonesia. Namun, dampak baik tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah.

“Antisipasi Pemerintah hanya sekedar menyiapkan cold storage. Ini sangat disayangkan,” ungkap pengamat kemaritiman tersebut.

Lambatnya antisipasi yang dilakukan Pemerintah tersebut memang sangat disayangkan Alan. Pasalnya, El Nino sudah memberi tanda sebelumnya dengan terjadinya penguatan proses upwelling atau kenaikan massa air air dari lapisan bawah ke permukaan.

“Biasanya itu terjadi pada periode Juni-Juli, khususnya di selatan Jawa sampai selatan Bali-Nusa Tenggara, barat Sumatera khususnya perairan Bengkulu, selatan Makassar dan Laut Banda,” papar dia.

Dengan terjadinya penguatan upwelling, maka produksi ikan pelagis bisa mengalami peningkatan hingga dua kali lipat. Saat ini, indikasi terjadinya kenaikan ikan pelagis tersebut sudah mulai terlihat di Lombok, NTB dan Cilacap, Jawa Tengah.

Sementara berkaitan dengan ide dibuatnya Bulog Ikan oleh Pemerintah, menurut Alan itu juga merupakan ide yang bagus. Tetapi, konsepnya seharusnya bukan seperti Bulog untuk Pertanian. Karena, dia menilai, kesegaran ikan harus jadi yang utama.

“Karena itu, harus sudah ditentukan pasar mana untuk penyaluran ikan yang baru dipanen. Itu sangat penting untuk menjaga kesegaran ikan,” cetus dia.

Dengan konsep seperti itu, Bulog Ikan akan berfungsi sebagai mediator antara produksi ikan dan pasar yang ada. Pasar yang dimaksud, bisa berupa industri pengolahan dalam negeri maupun domestik atau ekspor.

“Bulog ikan dapat melakukan pendaftaran nelayan dan pengusaha. Dengan demikian, fungsi cold storage tidak akan lebih hanya sebagai pendukung atau transit saja sebelum mencapai tujuan akhir,” pungkas dia.


Nelayan Jangan Sampai Dirugikan Paket Kebijakan Jokowi was first posted on September 13, 2015 at 5:12 am.

Potret Pulau Rajuni, Dari Pengeboman Ikan hingga Kurangnya Air Bersih

$
0
0

Ansar mengeluh. Di depannya terhampar berbagai jenis ikan yang sedang dikeringkan. Berbeda dengan kondisi di masa lalu, sekali melaut kini ia tak lagi bisa berharap banyak. Ikan-ikan mulai berkurang, dan itu dimulai sejak 2009 silam.

Apa penyebabnya?

Nelayan-nelayan dari luar mulai leluasa memasuki perairan di mana mereka biasa melaut dengan alat tangkap yang lebih modern. Penyebab lain lebih mengkhawatirkan lagi: pengeboman dan pembiusan ikan yang merajelela.

Ansar adalah nelayan dari Pulau Rajuni, Kecamatan Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Ketika Mongabay berkunjung ke pulau seluas 40 hektar ini, Jumat (04/09/2015), Ansar sedang duduk santai di depan rumahnya. Ia tak melaut, karena bertepatan dengan hari Jumat, yang oleh penduduk setempat dijadikan sebagai hari libur untuk segala aktivitas di laut.

“Kami memang tidak melaut kalau hari Jumat, karena hari pendek, harus shalat Jumat. Ini sudah kebiasaan turun temurun,” katanya.

Pulau Rajuni, salah satu pulau terluar dari Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan menghadapi banyak persoalan, mulai dari maraknya pengeboman ikan hingga keterbatasan sumber air bersih. Hampir setiap hari aktivitas pengeboman ikan masih dilakukan sejumlah warga setempat dan juga nelayan dari luar, berdampak pada semakin kurangnya tangkapan nelayan pancing dalam beberapa tahun terakhir. Foto : Wahyu Chandra

Pulau Rajuni, salah satu pulau terluar dari Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan menghadapi banyak persoalan, mulai dari maraknya pengeboman ikan hingga keterbatasan sumber air bersih. Hampir setiap hari aktivitas pengeboman ikan masih dilakukan sejumlah warga setempat dan juga nelayan dari luar, berdampak pada semakin kurangnya tangkapan nelayan pancing dalam beberapa tahun terakhir. Foto : Wahyu Chandra

Ansar mengenang di masa lalu ketika ikan-ikan masih sangat banyak dan mudah diperoleh. Di belakang rumahnya, ia masih bisa melihat ikan-ikan berlompatan di pesisir laut dari kejauhan. Dulu, sekali melaut, ia bisa memancing hingga puluhan keranjang ikan. Ikan sunu merah, yang termahal, bisa diperolehnya hingga empat ekor sekali melaut.

“Kini, seekor pun kadang tak ada lagi. Sangat susah sekarang dapat ikan,” keluhnya.

Ansar punya armada kecil, terdiri dari 7 orang nelayan pemancing. Sekali melaut, biasanya selama dua malam. Jika cuaca bagus, mereka bisa memperoleh hingga 10 keranjang ikan. Dijual dengan harga Rp 50 ribu per keranjang. Hasilnya dibagi rata sesuai peran masing-masing.

“Cuma kan tidak selamanya kami bisa dapat ikan banyak. Kadang malah tak ada sama sekali, padahal kita harus tanggung biaya solar 20 liter per malamnya. Kalau seperti itu ya tak ada yang bisa dibagi, pulang dengan tangan kosong.”

Dari perbincangan yang panjang, akhirnya ia becerita tentang masih maraknya praktek pengeboman dan pembiusan ikan di sekitar Pulau Rajuni, termasuk pulau-pulau lain sekitarnya, yang sebenarnya termasuk dalam kawasan Taman Nasional Takabonerate.

“Pelakunya hampir tak pernah tertangkap, karena mereka punya mata-mata. Kalau tahu akan ada patroli dari Polhut, mereka pintar tak melaut,” ujarnya.

Menurutnya, selama ini sebelum melakukan patroli, petugas TN Takabonerate biasanya menghubungi terlebih dahulu pemerintah desa dimana mereka akan berkunjung. Ini keliru.

“Seharusnya tak usah bilang-bilang kalau mau datang patroli. Pasti tak bisa dapat lah mereka.”

Penjelasan Ansar dibenarkan Arni Rohmitun, aktivis Destructive Fishing Watch (DFW), yang kebetulan sedang melakukan kajian dan sekaligus pendampingan pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Rajuni.

“Waktu ke sini tadi apakah tak mendengar suara ledakan? Di sini memang sering, biasanya pagi dan sore,” katanya.

Menurut Arni, aktivitas pengeboman ikan di kawasan tersebut memang masih terus berlangsung, meski operasi penangkapan sebenarnya sering dilakukan. Pelakunya tidak hanya warga di sekitar pulau setempat, tapi juga dari nelayan-nelayan pulau lain dan dari luar.

“Mungkin karena tuntutan ekonomi ditambah adanya pihak yang memodali dan siapkan peralatan dan bahannya,” tambahnya.

Menurutnya, selain di Pulau Rajuni, aktivitas destruction fishing juga merajalela di pulau-pulau lain. Terparah di Pulau Tarupa.

Di kawasan TN Takabonerate, selain Pulau Rajuni, yang terbagi atas Rajuni Kecil dan Rajuni Besar, terdapat pulau pulau dan desa lain seperti Pulau Jinato, Tarupa, dan Latondu.

“Tarupa lebih parah lagi, kasus pengebom dan pembius banyak ditemukan. Selain itu, masih banyak yang tangkap hiu dan pari.”

Masyarakat Pulau Rajuni, Takabonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan sebenarya cukup sejahtera, dengan sumber penghasilan sebagai nelayan dan pedagang. Ikan-ikan yang dikeringkan banyak dijual ke Makassar dan Flores. Foto : Wahyu Chandra

Masyarakat Pulau Rajuni, Takabonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan sebenarya cukup sejahtera, dengan sumber penghasilan sebagai nelayan dan pedagang. Ikan-ikan yang dikeringkan banyak dijual ke Makassar dan Flores. Foto : Wahyu Chandra

Wilayah yang relatif bebas dari aktivitas pengrusakan ini hanyalah Pulau Latondu.

“Latondu itu aman, mayoritas nelayannya adalah pemancing.”

Arni sendiri tidak sepenuhnya menyalahkan nelayan. Menurutnya, masyarakat sulit untuk disadarkan selama pasar mereka masih tersedia. Inilah yang harus diputus mata rantainya.

“Nelayan mengebom itu ada karena ada yang suplai dan kasih modal. Kalau pemodal ini dihentikan otomatis nelayan juga akan berhenti mengebom dan membius. Mata rantai ini yang tak bisa diputuskan.”

Salah satu faktor susahnya memutuskan mata rantai tersebut adalah kurangnya kordinasi antar aparat hukum yang terkait. Masing-masing pihak bekerja sendiri-sendiri.

“Kadang ada penangkapan dari Jagawana taman nasional, tapi ketika diserahkan kepada polisi, malah dilepaskan. Hampir tak ada upaya untuk memberikan efek jera kepada warga.”

Yasri, petugas patroli dari TN Takabonerate, tak menampik dugaan masih banyaknya aktivitas pengeboman ikan di kawasan tersebut. Hanya saja, selama ini masih sulit untuk dibasmi, selain karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi, juga karena kurangnya sanksi bagi para pelaku pengeboman.

“Memang selama ini susah terdeteksi karena pendukung kami, instansi terkait, yang tidak serius. Ada juga oknum-oknum yang bermain. Kadang kami sudah maksimal, tapi tidak mendapatkan dukungan yang baik.”

Tantangan lain yang dihadapi terkait pengeboman ikan ini adalah aksi nekad warga dan kadang melakukan teror kepada Polhut yang sedang patroli. Mereka biasanya bersenjatakan bom ikan untuk mengancam petugas.

Ancaman terhadap petugas patroli ini pernah dirasakan oleh Yasri sekitar dua tahun silam.

“Ya, dulu ketika mengejar pelaku kita dikepung puluhan kapal warga yang sepertinya sudah siap menanti kami dengan senjata bom ikan. Tapi syukurlah kami bisa lolos dan memang menghindari kontak langsung,” jelas Yasri.

Petugas jagawana dari Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan kadang menghadapi ancaman keselamatan jiwa dalam menjalankan pekerjaannya. Beberapa kasus menunjukkan adanya serangan balik dari pelaku pengeboman ikan. Kurangnya kordinasi dengan instansi terkait menjadi kendala tersendiri.  Foto : Wahyu Chandra

Petugas jagawana dari Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan kadang menghadapi ancaman keselamatan jiwa dalam menjalankan pekerjaannya. Beberapa kasus menunjukkan adanya serangan balik dari pelaku pengeboman ikan. Kurangnya kordinasi dengan instansi terkait menjadi kendala tersendiri. Foto : Wahyu Chandra

Pengalaman yang sama dirasakan oleh Ronald Yusuf, salah satu staf TN Takabonerate lainnya yang sudah bertugas sejak 15 tahun silam. Ronald mengaku ketika bertugas di Pulau Jinato, posko yang mereka tempati dikepung dan dilempari warga yang marah karena larangan pengambilan batu karang dan larangan pembiusan ikan.

“Kami bertahan dan menghindari kontak langsung dengan mereka, sampai adanya bantuan datang.”

Sulitnya air bersih

Pulau Rajuni sendiri secara administratif berada di Desa Rajuni, Kecamatan Takabonerate, yang terletak pada Kepulauan Macan atau lebih dikenal dengan nama Takabonerate, dengan luas kawasan 530.765 hektar, yang telah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional laut oleh Menteri Kehutanan sejak 1993 silam.

Pulau Rajuni terdiri dari dua buah pulau, yaitu Rajuni Besar dan Rajuni Kecil. Seperti halnya pulau-pulau di Takabonerate, kedua pulau Rajuni ini berada pada ketinggian sekitar 2-4 m dari permukaan laut, dimana bentuk kedua pulau ini memanjang dari utara ke selatan.

Pulau Rajuni Kecil dan Rajuni Besar ini tersusun dari struktur geofisik yang berasal dari pendangkalan laut (atol), sehingga pulau ini terdiri dari dasar karang kemudian dilapisi dengan tekstur tanah pasir berlempung.

Salah satu masalah yang dihadapi warga saat ini adalah kondisi air tanah permukaan dengan kualitas yang tak layak konsumsi tanpa perlakuan khusus terlebih dahulu. Sumber utama air tawar berasal dari air hujan dan air yang didatangkan dari luar kawasan.

“Sebenarnya dulu di sini ada alat penyulingan air dari Dinas PU, tapi sekarang sudah rusak, sudah diaduin ke PU tapi belum ada respon. Yang dibangun tahun 2009 rusak di tahun 2011, yang dibangun tahun 2011 rusak di tahun 2012. Sudah dua tahun mereka tidak lagi memiliki sanitasi air.”

Penyebab cepat rusaknya alat ini kemungkinan karena kadar garam yang tinggi sehingga saringannya cepat rusak dan harus selalu diganti.

Masalah lain adalah akses transportasi yang sulit. Tak ada transportasi reguler warga untuk ke daerah lain, khususnya ke Kota Selayar. Selama ini mereka hanya ikut di kapal-kapal dagang milik sejumlah warga dengan jadwal yang tak tetap.

Masyarakat yang mendiami Pulau Rajuni tergolong unik. Sebagian besar warga pulau ini adalah berasal dari etnitas Bajo dan Bugis, masing-masing 52,1 persen dan 45,7 persen. Selebihnya adalah pendatang dari Selayar dan Flores. Meski demikian, hampir tak ada gesekan antar masyarakat. Mereka umumnya berbahasa dengan tiga bahasa lokal, yaitu Bahasa Konjo Selayar, Bugis dan Bajo.

Dari perjalanan singkat di pulau terpencil ini, nampak bahwa masyarakat etnik bugis memiliki tingkat pendapatan dan kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat etnik Bajo. Hal ini dapat kita lihat dari kehidupan mereka, dimana masyarakat bugis lebih banyak sebagai ‘ponggawa’ atau pemilik modal, yang memiliki armada angkutan yang lebih baik dari masyarakat etnik Bajo.

Perbedaan kedua etnitas juga terasa dari segi kondisi fisik atau bangunan rumah tempat tinggal, dimana rumah bangunan suku Bugis jauh lebih bagus dan modern dibanding suku Bajo yang sebagian besar masih sangat sederhana dan dibangun sekitar pantai atau bagian luar pulau.

Pembangunan PLTS

Sebagai pulau kecil yang terpencil, Pulau Rajuni adalah salah satu dari 11 pulau terluar dan kecil yang mendapat perhatian pemerintah terkait penyediaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Proyek pembangunan PLTS ini adalah bagian dari program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berupa pembangunan panel-panel listrik bertenaga surya di seluruh rumah warga dan fasilitas publik yang ada.

Menurut Arni, saat ini proyek pembangunan PLTS sudah tengah berlangsung, khususnya persiapan sosial masyarakat. Sebanyak 374 panel listrik dibangun, yang ditempatkan di sebuah lokasi tersendiri.

“Untuk pembangunan panelnya akan segera dibangun. Kontraktornya akan datang. Tugas kami adalah bagaimana melakukan pendampingan kepada masyarakat terkait keberlanjutan dari program ini.”

Selama ini, panel listrik tenaga surya sebenarnya sudah ada, yang ditempatkan di setiap rumah. Ini merupakan bantuan dari Pemda Selayar. Hanya saja, kini hampir seluruh panel tersebut tak berfunsgi dengan baik. Banyak warga yang malah sudah mencopot panelnya karena tak bisa digunakan.

Melalui dukungan panel surya yang terbangun secara terkonsentrasi ini diharapkan bisa lebih mudah dalam hal perawatan dan pengawasan.

“Kita latih warga setempat untuk menjadi teknisi. Kami dari DFW juga membantu dalam hal pengelolaan dengan membentuk semacam forum warga yang akan bertanggung jawab dalam pengelolaan instalasi ini. Nantinya juga akan ada biaya bulanan yang akan ditentukan sendiri oleh mereka secara musyawarah, besarannya sekitar Rp 30 ribu-Rp 50 ribu, jauh lebih murah dibanding sebelumnya,” tandas Arni.


Potret Pulau Rajuni, Dari Pengeboman Ikan hingga Kurangnya Air Bersih was first posted on September 14, 2015 at 12:42 am.

Puluhan Industri Masif Mencemari Sungai Di Kabupaten Bandung

$
0
0

Masih maraknya industri di Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang membuang limbah secara masif ke aliran – aliran sungai akhir – akhir ini, sangat  memprihatinkan. Tercatat sebanyak 132 industri dengan rincian industri yang pembuangan air limbahnya  ke Sungai Citarik sebanyak 17 industri, Sungai Cirasea sebanyak 35 industri, Cisangkuy  sebanyak 22 industri, Sungai Cipalasari sebanyak 3 industri dan Sungai Cisirung sebanyak 21 industri.

Melihat hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar mengadakan acara sosialisasi pengendalian pencemaran lingkungan di gedung La Garden, Kopo, Kabupaten Bandung, Kamis (10/9/15) lalu.

Seorang warga korban pencemaran limbah. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementrian Lingkungan Hidup

Seorang warga korban pencemaran limbah. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementrian Lingkungan Hidup

Acara yang dihadiri perwakilan industri sekabupaten Bandung tersebut membahas persoalan lingkungan dan mendiskusikan pengelolaan limbah industri yang sesuai aturan pemerintah.

Deny Rusnaya, Akademisi dari Universitas Pasundan yang menjadi pemateri memaparkan, meningkatnya pertumbuhan penduduk  serta perkembangan perekonomian di Kabupaten Bandung telah berdampak pada kerusakan lingkungan. Sungai-sungai di wilayah Kabupaten Bandung terindikasi tercemar kegiatan domestik, industri, pertanian, peternakan, dan sebagainya.

Tercatat ada 11 kawasan industri yang tersebar di Kawasan Kab Bandung, yaitu kawasan industrI Rancaekek, Bojong Soang, Marga Asih, Dayeuh Kolot, Katapang, Pameungpeuk, Baleendah, Cikancung, Solokan Jeruk dan Cicalengka.  “ Yang kontribusi limbah terbanyak terjadi di daerah Rancaekek dan Majalaya,” katanya.

Deny melanjutkan limbah cair industri merupakan limbah cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri.  Sumber penghasil limbah cair di dalam suatu industri diantaranya proses produksi, misalnya pengecatan, pencucian bahan baku, pencampuran bahan kimia, kemudian sumber perlengkapan utilitas, misalnya menara pendingin (cooling tower), ketel uap (boiler), dan terakhir sumber kegiatan domestik, misalnya kantin industri dan pembersihan lantai.

“Kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah air limbah industri hasil produksi perusahaan sudah memenuhi standar kualitas atau baku mutu belum? Jika sudah memenuhi tak perlu lagi diolah,” paparnya.

Balthasar Kambuaya, Menteri LH tengah meninjau sungai yang berwarna hitam karena tercemar limbah pabrik di Kabupaten Bandung. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Balthasar Kambuaya, Menteri LH tengah meninjau sungai yang berwarna hitam karena tercemar limbah pabrik di Kabupaten Bandung. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Untuk menganalisis karakteristik air limbah dapat menentukan terlebih dahulu jenis dan teknologi pengolahan yang tepat dalam perencanaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Ia menuturkan, pengukuran kinerja IPAL bisa dilakukan dengan analisis sampel sesuai dengan baku mutu limbah dan menghitung efisiensi pengolahan kualitas effluent (pencurahan limbah cair yang masuk kedalam air bersumber dari pembuangan sisa produksi)  terhadap influent (yang masuk).

Ia menyebutkan ada beberapa parameter dalam menetukan kualitar air limbah, seperti parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik dilihat dari suhu, warna,  padatan tersuspensi (TSS), padatan terlarut (TDS), padatan total (TS), kekeruhan. Parameter kimia yaitu dari zat organik nya dan  parameter biologi yaitu bakteri coli tinja dan total coli.

Deny memaparkan bahwa dalam proses pengolahan air limbah harus mengetahui TSS, TDS, biodegradable material, komponen organik  atau inorganik dan material toksik, supaya bisa memilih proses mana yang nantinya akan dilakukan.

Apabila pertimbangannya berdasarkan rasio BOD (kebutuhan oksigen biokimia) atau COD (kebutuhan oksigen kimia) rendah atau dibawah 0.5, pengolahan menggunakan proses fisika dan kimia yaitu dengan menghilangkan partikel-partikel yang berukuran besar  dan yang tidak mudah mengendap. Tetapi, apabila pertimbangan rasio BOD atau COD tinggi (>0.5), maka pengolahanitu menggunakan proses biologi yaitu dengan memanfaatkan kerja mikroorganisme.

“Jadi kalo kita sudah mengetahui kandungan dari limbah tersebut, kita mudah menentukan prosesnya. Dan apabila masih terkandung bahan limbah dalam cairan tersebut kita bisa menggunakan gabungan dari proses kimia, fisika dan biologi,” tambahnya.

Air sungai di Dusun Jelegong, Rancaekek, Bandung. Foto: Indra Nugraha

Air sungai di Dusun Jelegong, Rancaekek, Bandung. Foto: Indra Nugraha

Komponen baku mutu limbah cair dibatasi oleh tiga hal antara lain, kadar maksimum, beban pencemaran maksimum dan debit limbah maksimum yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan.

Deny menjelaskan  tahapan proses pengolahan limbah ada yang melalui proses primer (pendahuluan), proses pengolahan sekunder (fisik, kimia, biologi), proses pengolahan tersier (lanjutan) dan proses pengolahan lumpur. Lebih lanjut berdasarkan jenis proses dibagi menjadi  pengolahan fisik, mengandalkan proses fisik, pengolahan kimiawi, mengandalkan reaksi kimia, pengolahan biologis, mengandalkan aktivitas mikroorganisme.

“ proses tersebut akan lebih baik apabila para pelaku industri melakukannya dengan benar. Saya berharap keberlangsungan lingkungan pun penting tanpa mengabaikan aspek – aspek yang lain. Agar lingkungan kita kian sehat dan bisa di nikmati bersama,” katanya disela – sela acara.

Pengelolaan Limbah B3

Sedangkan Rosliana, perwakilan KLHK menjelaskan pengolahan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)  harus dilakukan hati-hati. “Limbah B3 harus terlebih dahulu terindentifikasi kemudian sudah begitu baru kita bisa mengetahui langkah selanjutnya yang akan di tempuh,” paparnya.

Ia melanjutkan pengelolaan limbah B3 dikelompokan menjadi dua katergori; kategori 1 (asam, basa, garam kimia B3) dan kategori 2 (karbon aktif bekas). Dari segi dampaknya kategori 1 beresiko langsung dirasakan manusia bersifat akut sedangkan kategori 2 berdampak secara langsung terhadap kesehatan manusia dan juga terhadap lingkungan bersifat  kronis. Pengelolaan limbah berdasarkan kategori tersebut.

Dalam praktiknya pemerintah telah mengatur pengolahan limbah yang tertuang dalam PP No.101/2014  yang telah mengalami penyempurnaan dari PP No.18 jo. PP No.85 tahun 1999.  Dalam peraturan tersebut masalah limbah B3 diatur dalam pasal 10 yang mengatakan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengurangan limbah B3.

“Pengolahan limbah itu ada tahapan yang harus dilalui diantaranya; penyimpanan pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan. Dalam perizinan PP No.101 sekarang dapat terintegrasi dengan satu izin saja, itu ketetapan yang ditetapkan oleh Pemerintah”  katanya.

Rosliana memaparkan proses penyimpanan yang sesuai penyimpanan limbah B3 harus di atas permukaan tanah dan dilarang melakukan penyimpanan di bawah tanah (underground). Lokasi penyimpanan Limbah B3 harus bebas banjir dan tidak rawan bencana alam atau dapat direkayasa dengan teknologi. untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, apabila tidak bebas banjir dan rawan bencana alam. Selanjutnya perihal  perizinan pengelolaan limbah B3 khusunya kegiatan penyimpanan Limbah B3 diterbitkan oleh bupati atau walikota.

Pada proses pengumpulan dan pengangkutan limbah B3 wajib memiliki rekomendasi pengangkutan limbah dan izin pengangkutan limbah B3 dari Menteri Perhubungan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dalam hal pemanfaatan, diharapkan pelaku industri  mampu mengolah limbah secara mandiri. “Pada proses pemanfaatan limbah boleh memanfaatkan dengan menggunakan teknologi yang dimiliki. Tetapi, pasti akan ada outputnya entah itu mau ke air atau mau ke tanah atau mau ke udara itu harus memenuhi standar baku mutu yang ada, karena setelah pemanfaatan tidak serta merta hilang limbahnya. Itu yang harus kita perhatikan outputnya” ujar Rosliana.

Ia menyebutkan pemanfaatan limbah bisa dijadikan sebagai bahan bakar dapat dilaksanakan apabila kalorinya diatas 2500 dan kadar airnya dibawah 15 persen. Rosliana menambahkan, apabila pihak pelaku industri mengetahui dengan jeli tahapan demi tahapan pengelolahan B3 diharapkan dapat mengurangi limbah hasil industri dan dapat mengendalikan.


Puluhan Industri Masif Mencemari Sungai Di Kabupaten Bandung was first posted on September 14, 2015 at 10:27 am.

330 Anakan Kima Disebar Untuk Restorasi Perairan Nusa Dua

$
0
0

Kawasan Nusa Dua, Bali, merupakan tempat tujuan wisata  yang sudah terkenal seantero dunia. Kawasan ini memiliki berbagai fasilitas wisata, mulai dari hotel, restoran hingga pantai yang indah. Mengunjungi kawasan ini belum afdol jika belum menikmati keindahan bawah lautnya. Seperti di kawasan pantai Samu dan Mengiat Nusa Dua.

Perairan Nusa Dua sebelumnya merupakan kawasan yang memiliki pemandangan bawah laut yang cantik. Tapi karena pernah terjadi pengambilan karang laut tidak terkendali oleh masyarakat di kawasan tersebut, sehingga banyak terumbu karang mati. Termasuk  habitat kima (giant clams/Tridacna sp.) yang juga mengalami penurunan jumlah hingga nyaris punah.

Seorang penyelam sedang mengamati terumbu karang buatan yang ditanam di perairan Nusa Dua, Bali.  Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

Seorang penyelam sedang mengamati terumbu karang buatan yang ditanam di perairan Nusa Dua, Bali. Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

Kawasan ini begitu cantik, pasir putih dan riak beningnya air begitu menggoda. Wisatawan dari berbagai negara berlalu lalang menikmati indahnya pantai. Beningnya air menggoda untuk berenang, atau hanya ber-snorkeling di areal kawasan.

Untuk dijadikan kawasan penyelaman, memang tidak seindah dibandingkan dengan dive site di kawasan perairan  Pemuteran, Pulau Menjangan,  Tulamben, Nusa Penida dan tempat-tempat dive site di Bali.  Tapi paling tidak, kawasan perairan Nusa Dua memiliki kelebihan, yaitu pantainya yang cantik. Disamping itu kesadaran masyarakat di kawasan ini semakin mengerti tentang konservasi, dengan mendukung berbagai kegiatan Nusa Dua Reef Foundation (NDRF) di kawasan perairan Nusa Dua.

Seorang penyelam sedang mengamati terumbu karang buatan yang ditanam di perairan Nusa Dua, Bali.  Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

Seorang penyelam sedang mengamati terumbu karang buatan yang ditanam di perairan Nusa Dua, Bali. Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

Sejak 28 Agustus 2015, Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Yasa Segara Bengiat bersama Nusa Dua Reef Foundation (NDRF), Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar dan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin berinisiatif membangun Coral and Kima Garden di pesisir Pantai Nusa Dua.

Kima Garden ini dirancang untuk menjadi atraksi ekowisata berbasis konservasi kima yang dikombinasikan dengan program rehabilitasi terumbu karang dengan menggunakan metode restocking yaitu pengembalian populasi di alam dengan tujuan  untuk pelestarian, pariwisata bahari.

‘’Kawasan penyelaman di perairan Nusa Dua memang belum seterkenal dibandingkan dengan dive site yang ada di banyak tempat di Bali. Tapi dengan pengembangan  sistem zonasi yang dikombinasikan dengan program rehabilitasi terumbu karang dan konservasi kima, diharapkan kawasan perairan Nusa Dua bisa dijadikan atraksi ekowisata bawah laut,’’ jelas Pariama Magdalena Damayanti Hutasoit – Direktur  NDRF disela-sela kegiatan pemantauan program rehabilitasi terumbu karang di kawasan tersebut, Kamis (10/09/2015).

Secara teknis, menurut Pariama yang juga koordinator pelaksanaan program, penempatan sejumlah struktur terumbu buatan berbentuk hexadome, tempat kima diatur sedemikian rupa di lokasi yang sesuai untuk hidupnya.

Para aktivis menggotong terumbu karang buatan yang akan ditanam di perairan Nusa Dua, Bali.  Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Restorasi perairan Nusa Dua merupakan bagian dari pengembangan Coral and Kima Garden. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

Para aktivis menggotong terumbu karang buatan yang akan ditanam di perairan Nusa Dua, Bali. Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Restorasi perairan Nusa Dua merupakan bagian dari pengembangan Coral and Kima Garden. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

Sebagai langkah awal pengembangan Coral and Kima Garden, telah ditempatkan 22 terumbu buatan (artificial reef) dan transplantasi karang di Pantai Bengiat Nusa Dua pada kedalaman 3-5 meter.

Untuk Kima Garden itu sendiri, kelompok masyarakat ini menyebar 330 anakan kima dari jenis Tridacna derasa, T. hipopus hippopus dan T. squamosa. Sebanyak 110 ekor anakan kima ini didatangkan dari pusat budidaya kima Marine Station Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin di Pulau Baranglompo, dan 220 ekor restocking dari PT. Dinar Darum Lestari.

Diharapkan setiap tahun setidaknya 1000 anakan kima dari 7 jenis kima yang ada di Indonesia dapat ditempatkan di lokasi Kima Garden. “Kima Garden selanjutnya akan dikembangkan oleh Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas)/KUD Yasa Segara Bengiat bersama NDRF, didukung oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Ditjen KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikan Universitas Hasanuddin ,” katanya.

Anakan kima (Tridacna sp) dalam fasilitas nursery di Coral and Kima Garden, Nusa Dua, Bali.  Sekitar 1000 anakan kima direncanakan disebar di kawasan perairan Nusa Dua sebagai usaha restorasi perairan tersebut. Foto : Syafyudin Yusuf/NDRF

Anakan kima (Tridacna sp) dalam fasilitas nursery di Coral and Kima Garden, Nusa Dua, Bali. Sekitar 1000 anakan kima direncanakan disebar di kawasan perairan Nusa Dua sebagai usaha restorasi perairan tersebut. Foto : Syafyudin Yusuf/NDRF

Kima atau Giant clam merupakan spesies langka yang dilindungi. IUCN Red List (1996) memasukkan kima dalam daftar vulnerable (rentan). Sedangkan CITES (1983) mengkategorikan appendix II yang berarti kelompok spesies yang diduga terancam punah akibat perdagangan yang tidak terkendali.

Ada tujuh dari 10 jenis spesies kima di dunia yang ada di Indonesia, yaitu kima raksasa (Tridacna gigas), kima lubang (Tridacna crocea), kima air (Tridacna derasa), kima sisik (Tridacna squamosa), kima pasir (Tridacna hipopus hippopus), kima besar (Tridacna maxima) dan kima cina (Tridacna hipopus porcelanus).

Tujuh jenis itu dilindungi secara penuh, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan SK Menteri Kehutanan No. 12/KPTS-II/1987 tentang pelarangan pengambilan kima di laut, UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta Peraturan  Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.

Kima besar (Tridacna maxima) yang ditemukan di perairan dangkal Nusa Dua, Bali pada 24 Agustus 2015. Sekitar 1000 anakan kima direncanakan disebar di kawasan perairan Nusa Dua sebagai usaha restorasi perairan tersebut.  Foto : Edi Dinar/NDRF

Kima besar (Tridacna maxima) yang ditemukan di perairan dangkal Nusa Dua, Bali pada 24 Agustus 2015. Sekitar 1000 anakan kima direncanakan disebar di kawasan perairan Nusa Dua sebagai usaha restorasi perairan tersebut. Foto : Edi Dinar/NDRF

Kima tersebar hampir di seluruh perairan di Indonesia, termasuk Nusa Dua. Perairan dangkal Nusa Dua merupakan habitat kima dan ini terbukti dengan ditemukannya kima besar belum lama ini. Pengambilan berlebih dan rusaknya habitat terumbu karang akibat penambangan karang maupun cara pengambilan kima dengan mencongkel karang yang dilakukan di masa lalu, menyebabkan penurunan drastis populasi kima. Saat ini sangat sulit menemukan kima di perairan dangkal Nusa Dua.

Pengembangan Kima Garden diharapkan dapat mengembalikan populasi kima di Nusa Dua dan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal dan industri pariwisata melalui beragam atraksi wisata laut yang ramah lingkungan dan bernilai edukasi. Manfaat penting lainnya adalah mempromosikan Nusa Dua sebagai destinasi pariwisata bahari yang berkelanjutan.

 


330 Anakan Kima Disebar Untuk Restorasi Perairan Nusa Dua was first posted on September 15, 2015 at 1:30 am.

Perginya Sang Pemadam Api Berdedikasi

$
0
0

Malam itu, Dulman Effendi (56) Kepala Resort Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat (11/09) mendapat laporan adanya titik api di wilayahnya bertugas. Keesokan paginya, sekitar pukul 08.00 (12/09) Dulman, beberapa petugas dan masyarakat pun bergegas berangkat.

Hijaunya hutan yang berubah menjadi abu kehitaman akibat api  tak membuat Dulman gentar. Di area seluas 336 hektar Hutan Cikepuh terdapat 37 titik api, Dulman bersama tujuh orang anak buahnya berada pada barisan terdepan untuk melakukan pencegahan agar api tidak merembet dan menjalar ke arah pemukiman warga.

Tidak ada yang menyangka, Dulman, veteran pemadam api itu akhirnya roboh dan pingsan pada pukul 13.10. Dulman pun ditandu di desa terdekat. Pada pukul 15.00, mantri Puskesmas Jaringo menyatakan Dulman telah meninggal.

 

Dulman Effendi (56) Kepala Resort Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat yang meninggal dunia saat bertugas memadamkan api di kawasan hutan SM Cikepuh pada Sabtu (12/09/2015). Foto : BKSDA Wilayah II Bogor

Dulman Effendi (56) Kepala Resort Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat yang meninggal dunia saat bertugas memadamkan api di kawasan hutan SM Cikepuh pada Sabtu (12/09/2015). Foto : BKSDA Wilayah II Bogor

 

“Kami membawa beliau ke Puskesmas terdekat, dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan dan hasilnya menunjukkan  tidak ditemukan gejala penyakit yang timbul. Semuanya normal, mungkin karena faktor kelelahan,” jelas M. Ari Wibawanto,  Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Bogor, yang dihubungi Mongabay, Senin (14/09).

Ari mengenang almarhum Dulman Effendi sebagai sosok pemimpin yang tangguh dan disegani  rekan sejawatnya. Dulman dikenal selalu memikirkan anak buahnya. Bahkan Dulman pun sering berkorban menggantikan tugas anak buah, jika ada yang berhalangan.

Dulman bekerja dengan filosofi yang perlu ditiru, bekerja baginya tidak sekedar hanya perkara mencari uang, tetapi adalah upaya untuk mengejar pahala.

“Hubungan kami sebagai atasan dan bawahan cukup baik. Ia tidak pernah mengeluh biaya ataupun jika ada permasalahan di lapangan, kecuali jika ia sudah tak sanggup, baru cerita. Bangga saya punya bawahan yang selalu loyal seperti Dulman,” tutur Ari.

Antusias dalam melaksanakan tugas, wawasan yang luas dan visioner, lugas dalam memberikan ide,  membuat Dulman dikenang. Dalam kepemimpinannya pun Dulman lebih suka memberi teladan ketimbang memberikan perintah.

 

Dulman Effendi (56) Kepala Resort Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat yang meninggal dunia saat bertugas memadamkan api di kawasan hutan SM Cikepuh pada Sabtu (12/09/2015). Foto : BKSDA Wilayah II Bogor

Dulman Effendi (56) Kepala Resort Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat yang meninggal dunia saat bertugas memadamkan api di kawasan hutan SM Cikepuh pada Sabtu (12/09/2015). Foto : BKSDA Wilayah II Bogor

 

Dengan haru Ari menceritakan pengalamannya di tahun 2012 bersama Dulman, saat acara penanaman di lahan seluas  300 hektar. Padahal sekitar pertengahan tahun itu, baru saja terjadi kemarau panjang.

“Perintah saya, Dulman amankan aset yang telah negara berikan (penanaman di 300 hektar). Tolong jaga semaksimal mungkin, jaga jangan sampai api merambat kesini. Jika api ditempat lain bisa sedikit diabaikan tapi jangan sampai api membakar area penanaman,” imbuhnya.

Kemudian pada suatu malam, Dulman menghubunginya sambil menangis dan sembari meminta maaf karena merasa telah gagal tidak sesuai dengan tugas yang diintruksikan. Saat itu lahan penanaman tersebut terbakar seluas 5 hektar.

Dulman diangkat menjadi PNS tahun 1986, setelah sebelumnya menjadi tenaga honorer di Kementerian Kehutanan. Dulman pun menoreskan banyak prestasi dan pengalaman lapangan.

Pada tahun 2002, Dulman menjabat sebagai Kepala Resort Cagar Alam Bojong Larang Jayanti saat marak terjadi perambahan skala besar di hampir semua semua kawasan hutan. Namun saat itu, Dulman berhasil mencegah para perambah dan memaksa mereka meninggalkan CA Jayanti.

Pada 2013, Dulman berhasil mencegah pembalakan liar di SM Cikepuh. Dua kasus yang berhasil ditanganinya berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

“Kami selalu memberikan target dalam SOP (standard operation procedure), 2011-2014 target dapat diselesaikan oleh Dulman. Tahun 2011 – 2012 potensi kebakaran hutan menurun signifikan, yang tadinya 1200 hektar pada 2013 lalu menjadi 800 hektar saja,” jelas Ari.

 

Upaya pemadaman api di hutan Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat. Foto : Foto : BKSDA Wilayah II Bogor

Upaya pemadaman api di hutan Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat. Foto : Foto : BKSDA Wilayah II Bogor

 

Sosok Dulman yang bertanggung jawab mengemban pekerjaannya pun tampak nyata dari perjuangannya mencapai lokasi kerjanya. Rumah Dulman yang berada di BTN Bumi Mas, Bayubud, Kabupaten Cianjur teramat jauh dari Cikepuh.

“Dari Cianjur ke Sukabumi kemudian ke Ujung Genteng dan sampai ke Cikepuh, ia jalani.  Bahkan termasuk tetap berada di pos meski hari minggu. Tak jarang hanya dua hari di rumah untuk kemudian kembali ke pos. Bolak balik hanya menggunakan motor miliknya saja. Dengan usia yang sudah tak muda lagi, ia sama sekali tidak mengeluh.”

Ari mengungkapkan awal tahun 2015, sebenarnya Dulman telah meminta untuk dipindahkan ke kawasan Cianjur agar dapat lebih lebih dekat dengan keluarganya. Namun, permohonan tersebut terpaksa belum dapat dikabulkan karena SM Cikepuh masih memerlukan tenaga Dulman.

“Sebenarnya akhir tahun ini rencana Dulman untuk minta pindah ke Cianjur dapat terealisasi, namun Tuhan berkendak lain,” ujarnya.

Sementara adik ipar almarhum, Pepe Setiamulya (36), mengatakan telah ikhlas dengan kepergian Dulman. Menurut Pepe, Dulham Efendi di mata keluarga merupakan ayah yang baik dan menjadi panutan keluarga.

Dulham meninggalkan istri bernama Atik Sartika (51) dan tiga anak. Dua lelaki serta 1 perempuan bernama Rizki Apriliana (26), Restu Senja Lestari dan Agung Firmansyah (6) dan telah dikaruniai seorang cucu.

Keluarga mengaku bangga memilki ayah yang pekerja keras dan mengabdikan diri tanpa letih demi kepentingan negara dan masyarakat.

 

 

 


Perginya Sang Pemadam Api Berdedikasi was first posted on September 15, 2015 at 3:55 am.

Air Tetap Melimpah Meski El Nino Menerjang

$
0
0

Kemarau panjang yang terjadi akibat fenomena El Nino membuat sebagian daerah di Indonesia kering kerontang. Cerita krisis air bersih dan warga yang kesulitan mendapatkan air bersih dan bahkan mengonsumsi air kotor menjadi sesuatu yang biasa pada saat ini.

Kontras dengan cerita itu, penduduk di lereng selatan Gunung Slamet terutama di Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) tak mengalaminya. Mereka justru sengaja “membuang” air bersih karena penampungan atau bak air tidak mampu menampungnya. “Kalau tidak dibuang, kasihan nanti para petani yang ada di bagian bawah desa ini,”ujar Agus Murod, 46, salah seorang warga di Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Banyumas.

warga melewati jembatan Sungai Prukut di Dusun Pesawahan Desa Sambirata, Banyumas. sungai tersebut masih tetap mengalir di musim kemarau. Foto : L Darmawan

warga melewati jembatan Sungai Prukut di Dusun Pesawahan Desa Sambirata, Banyumas. sungai tersebut masih tetap mengalir di musim kemarau. Foto : L Darmawan

Ia mengatakan kalau hampir seluruh warga desa setempat menggantungkan air bersih dari sumber mata air yang tersebar di seluruh perbukitan setempat. “Di perbukitan yang merupakan lereng sebelah barat daya Gunung Slamet ini sangat kaya sumber mata air. Yang paling besar adalah sumber mata air Bunton. Tetapi, umumnya warga memanfaatkan sumber mata air yang kecil-kecil. Meski kecil, tetapi memasuki kemarau yang panjang ini tetap mengalir,”ungkap Agus.

Dia menjelaskan biasanya warga mengalirkan ke sebuah bak penampungan. Dari tempat itu, nanti dibagi-bagi airnya. “Umumnya, penduduk di sini terus mengalirkan airnya, meski sudah penuh. Jadi, memang air istilahnya harus ‘dibuang-buang’, supaya air tetap mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sebab, di desa-desa lain yang lebih bawah seperti Desa Banjaranyar, Pasiraman Lor dan Pasiraman Kidul masih banyak yang membutuhkan. Tidak saja untuk pengairan sawah, tetapi juga untuk kolam ikan,”katanya.

Bahkan, kata Agus, warga di sini justru lebih suka air pada musim kemarau. Karena air saat musim kering justru sangat bersih dan dingin. “Kalau musim kemarau seperti sekarang, air benar-benar murni dari sumber mata air. Sedangkan saat musim penghujan tiba, airnya agak kecoklatan karena tercampur tanah. Tetapi masih tetap bagus setelah diendapkan,”tambahnya.

Pembangkit Listrik

Berkah lereng Gunung Slamet sebelah selatan juga dirasakan oleh warga di Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Di Dusun Pesawahan, tepatnya, warga tidak hanya memanfaatkan air yang bersumber dari mata air Krangean untuk memenuhi kebutuhan air bersih saja. “Meski memasuki musim kemarau, air tetap lancar. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan air minum, lahan pertanian dan kolam, untuk menggerakkan turbin saja masih baik,”kata tokoh desa setempat Ali Sahudin.

Menurutnya, sumber mata air Krangean masih mampu menggerakkan turbin dengan kapasitas 30 kilowatt (KW) tersebut. “Di sini ada pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang dibangun Pemprov Jateng pada 2010 silam.

Warga dusun Karanggondang Desa Sambirata, Banyumas,  tengah berjalan di depan PLTMH Karanggondang yang masih beroperasi pada saat musim kemarau seperti sekarang. Foto : L Darmawan

Warga dusun Karanggondang Desa Sambirata, Banyumas, tengah berjalan di depan PLTMH Karanggondang yang masih beroperasi pada saat musim kemarau seperti sekarang. Foto : L Darmawan

Pembangunan PLTMH tersebut dilakukan karena ada potensi air yang mampu menggerakkan turbin. Dari 30 KW yang diproduksi, mampu untuk  menerangi setidaknya 105 rumah di Dusun Pesawahan. Air yang keluar usai menggerakkan turbin dialirkan untuk mengairi sawah dan kolam,”ujar Ali.

Dia mengungkapkan air yang memberi berkah bagi warga Dusun Pesawahan juga harus dialirkan kembali ke daerah-daerah lebih bawah. Dusun yang berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (mdpl) menyadari kalau dusun atau desa di bawahnya bergantung juga pada air di dusun setempat. “Makanya, kami juga harus menjaga supaya air yang ke bawah tetap mengalir. Kami harus berbagi dengan mereka yang ada di bawah. Kalau tidak dialirkan, bisa-bisa tanaman pertanian mereka bakal kekeringan dan kolam tidak terisi air,”tutur Ali.

Kondisi yang sama juga dialami oleh warga Dusun Karanggondang, Desa Sambirata, Kecamatan Cilongok. Di wilayah itu, warga juga memanfaatkan air tidak hanya sekadar untuk air minum, memenuhi kebutuhan sawah dan kolam saja, melainkan juga untuk listrik. “Dulunya, kampung sini gelap gulita. Sebelum ada PLTMH modern, kami menggunakan turbin dari kayu dengan memanfaatkan aliran Sungai Prukut. Dengan turbin kayu, kami bisa menghidupkan lampu. Tetapi dayanya terbatas. Nah, begitu ada PLTMH, maka daya listriknya bisa besar. Apalagi, debit air sungai tidak surut sepanjang waktu, pada musim kemarau sekalipun,”tutur tokoh pemuda Dusun Karanggondang, Sodirin Firdaus.

Menurut Sodirin, warga telah membentuk Kelompok Sido Padang, dusun setempat. “Kelompok itu bertujuan untuk mengelola dan memelihara PLTMH. Jadi, ada yang bertugas mengecek air dan instalasi PLTMH. Seluruhnya dikelola secara mandiri, setelah Pemprov Jateng menyerahkan pengelolaan PLTMH ke warga desa. Warga juga diberi kewajiban untuk memberikan iuran untuk listrik yang mereka pakai. Hal ini kami lakukan sebagai bentuk tanggung jawab warga,”jelasnya.

Dikatakan oleh Sodirin, PLTMH di Dusun Karanggondang dengan kapasitas 50 KW mampu mencukupi kebutuhan listrik bagi 270 keluarga di dusun setempat. Setiap bulannya warga memberi iuran sekitar Rp10 ribu hingga Rp75 ribu, sesuai dengan pemakaian masing-masing. Sejauh ini, warga lancar dalam memberikan iuran mereka,”katanya.

Jaga Lingkungan

Warga yang bermukim di sabuk Gunung Slamet tersebut boleh merasa bangga karena air masih melimpah dan mampu dimanfaatkan saat el nino tiba. “Dari nenek moyang kami sampai sekarang, cerita mengenai kekeringan di Desa Sambirata belum pernah ada. Karena sejak dulu, mata air sangat melimpah airnya pada saat musim kemarau panjang sekali pun,”ungkap Kepala Desa Sambirata Karwan.

Warga pulang dari hutan membawa ranting yang kering melewati selang-selang untuk mengalirkan air bersih. Foto : L Darmawan

Warga pulang dari hutan membawa ranting yang kering melewati selang-selang untuk mengalirkan air bersih. Foto : L Darmawan

Namun demikian, kata Karwan, masyarakat harus terus disadarkan agar terus menjaga lingkungan, khususnya hutan di perbukitan dan lereng Gunung Slamet. “Warga di sini menyadari jika masih ingin tetap menikmati listrik, syaratnya adalah menjaga lingkungan dan hutan agar tetap hijau serta lestari. Tanpa menjaga lingkungan, maka dipastikan air tidak mengalir dan akhirnya listrik tidak menyala lagi. Alhamdulillah, meski saat sekarang memasuki musim kemarau, tetapi air di Sungai Prukut tetap lancar sehingga turbin bisa jalan seperti halnya musim penghujan. Debit air saat kemarau sekarang memang masih bagus, karena hutan penyimpan air juga masih baik. Inilah yang kami tekankan, agar warga tetap menjaga lingkungan hutan tetap lestari,”tandasnya.

Hal itu juga dilakukan oleh masyarakat Desa Pekuncen dan Desa Gununglurah. Di Desa Gunung Lurah, menurut tokoh warga setempat, Ali Sahudin, wilayah perbukitan tempat mata air Krangean berada dikeramatkan sejak dulu. “Warga di sini jarang yang berani ke situ. Karena di dekat mata air Krangean ada pohon besar yang tidak pernah diganggu. Sejak dari nenek moyang sudah seperti itu,” katanya.

Menurut Ali, sampai sekarang masyarakat desanya juga terus disadarkan supaya tidak menebang pohon pada hutan di atas Dusun Pesawahan. Karena dampaknya bakal menyengsarakan. “Saya membayangkan kalau sumber mata air di sini mati. Warga harus mencari air bersih ke mana? Atau nanti bagaimana dengan listrik, apakah harus kembali gelap gulita? Inilah yang menjadi modal dasar untuk terus menyadarkan penduduk agar tetap menjaga lingkungan supaya tetap lestari,”tandasnya.

Dampaknya bisa lebih dari itu, masyarakat bakal kesulitan menanam padi dan budidaya ikan air tawar. Bukan saja “tuan rumah” mata air yang berada di di atas, melainkan juga desa-desa di bawahnya. Itu sebabnya, mereka sadar dan terus menjaga lingkungan terutama hutan. Karena tanpa hutan, mustahil air dari mata air bakal mengalir.


Air Tetap Melimpah Meski El Nino Menerjang was first posted on September 16, 2015 at 12:21 am.

Nelayan Teluk Jakarta Gugat Ahok Batalkan Izin Reklamasi

$
0
0

Izin pelaksanaan proyek reklamasi Pulau G yang dipegang PT Muara Wisesa Samudera digugat legalistasnya oleh nelayan Teluk Jakarta, Selasa (15/9/2015). Gugatan tersebut dilayangkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta di Pulogebang, Jakarta Timur.

Dalam gugatannya, para nelayan mempertanyakan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No 238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera.

Menurut nelayan, walau ada SK, namun kepentingan hak-hak nelayan tradisional kecil tetap dilanggar. Selain itu, pelestarian lingkungan hidup pesisir Teluk Jakarta dan prosedur hukum yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinilai sudah terjadi pelanggaran.

Foto: Aji Wihardandi

Foto: Aji Wihardandi

“Para nelayan menilai apa yang dilakukan dalam proyek reklamasi sudah sangat mengganggu. Karenanya, mereka menuntut untuk segera dicabut SK 2238 Tahun 2014 yang dikeluarkan Ahok,” ungkap Marthin Hadiwinata dari Koalisi Rakyat untuk Kedilan Perikanan (KIARA) yang ikut mendampingi para nelayan di PTUN.

Menurut Marthin, desakan untuk segera dicabut SK Gubernur DKI Jakarta tersebut, tidak lain karena reklamasi yang dilakukan sekarang hanya fokus pada pembangunan saja dan itu merugikan para nelayan. Kata dia, tak ada perlindungan nelayan kecil dan terlebih untuk lingkungan hidup di sekitar lokasi reklamasi.

“Apalagi, reklamasi tersebut ditetapkan di masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Ini jelas sudah tidak relevan lagi,” sebut Marthin.

“Di sana total ada 13 rumah tangga nelayan,” tambah dia.

Dengan fakta tersebut, maka penetapan SK tidak tepat lagi untuk dijadikan dasar pembangunan reklamasi seperti sekarang. Terutama, karena Indonesia saat ini sudah memiliki regulasi lebih baru seperti Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan beberapa UU lainnya.

Selain KIARA, proses pendaftaran gugatan administratif yang dilakukan para nelayan Teluk Jakarta juga didampingi WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) dan IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice).

Koalisis tersebut memutuskan menjadi pendamping, karena melihat fakta kalau pembangunan reklamasi Pulau G sudah melampaui tata aturan yang ada di Indonesia. Hal itu diakui oleh Muhammad Taher, dari KNTI.

“Di masa orde baru, proses untuk reklamasi dilakukan secara tertutup dan sentralistik,” ungkap Taher. Menurut dia, fakta tersebu harusnya bisa dievaluasi di masa reformasi yang sudah berjalan hingga saat ini.

Apalagi, Kementerian Lingkungan Hidup sendiri sudah menegaskan bahwa proyek reklamasi di Teluk Jakarta sebenarnya tidak layak. Tetapi, ketetapan yang dikeluarkan melalui Kepmen LH No 14 Tahun 2003 itu kemudian dicabut proses peradilannya karena bertentangan dengan prosedur hukum administrasi.

“Saat itu, hakim tidak melakukan penilaian atas dampak buruk reklamasi terhadap lingkungan hidup,” jelas Taher.

Setelah Kepmen tersebut dicabut, proses perizinan proyek reklamasi ternyata terus berlanjut. Puncaknya, pada Desember 2014 lalu, Ahok menerbitkan SK No 2238 Tahun 2014. Ketetapan tersebut dinilai sudah melawan ketetapan yang dikeluarkan Pemerintah jauh sebelumnya.

“SK Gubernur Ahok saat itu bertentangan dengan Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Selain itu, juga bertentangan dengan Permen LH No 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,” papar dia.

Di luar dua ketetapan diatas, SK yang dikeluarkan Gubernur Ahok juga ternyata bertentangan dengan Perpres No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; PP No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; PP No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil beserta dengan perubahannya yang diatur dalam UU No 1 Tahun 2014;

“Juga bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan HIdup  dan UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan hingga Pasal 27 ayat 92) dan 28H ayat (1) UUD 1945,” tambah dia.

Para penggugat terdiri dari lima orang nelayan tradisional yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, tiga orang aktivis lingkungan serta WALHI yang menggunakan mekanisme Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup. Kepentingan para penggugat telah dilanggar dengan terbitnya Kepgub No. 2238 Tahun 2014 sehingga menuntut dicabutnya Kepgub tersebut dan memintah hakim untuk memerintahkan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan pengembalian fungsi-fungsi ekosistem lingkungan hidup yang telah rusak.


Nelayan Teluk Jakarta Gugat Ahok Batalkan Izin Reklamasi was first posted on September 16, 2015 at 12:01 pm.

Kala Musim Manta Memijah Tiba

$
0
0

Ikan pari manta (Manta birostris) yang satu ini tidaklah beracun seperti ikan pari kebanyakan, bahkan dia menjadi obyek fotografi yang cukup menarik bagi para pehobi foto underwater. Ukuran tubuh dan gemulai badannya ketika melakukan manuver di dalam air, menambah keanggunan si ikan pari manta.

Pada bulan September sampai Oktober, adalah bulan-bulan yang sangat penting bagi keberadaan ikan pari manta, di beberapa perairan Indonesia. Ini karena, musim memijah telah tiba.

Pada bulan September sampai Oktober, merupakan musim memijah bagi ikan pari manta (Manta birostris). Foto : Anton Muhajir

Pada bulan September sampai Oktober, merupakan musim memijah bagi ikan pari manta (Manta birostris). Foto : Anton Muhajir

Pada bulan September sampai Oktober, merupakan musim memijah bagi ikan pari manta (Manta birostris). Foto : Anton Muhajir

Pada bulan September sampai Oktober, merupakan musim memijah bagi ikan pari manta (Manta birostris). Foto : Anton Muhajir

Di musim kawin, sejumlah besar manta akan berkumpul untuk mencari pasangan kawin. Beberapa manta jantan bisa saling bersaing untuk mendapatkan manta betina pasangannya. Manta jantan yang berhasil mendapatkan manta betina akan berpegangan pada sirip pasangannya menggunakan giginya dan merapatkan perutnya, lalu memulai perkawinan dengan cara memasukkan alat kelaminnya ke dalam lubang kelamin betina. Perkawinan berlangsung selama kurang lebih 90 detik.

Pari manta adalah hewan yang bersifat ovovivipar, di mana telur menetas saat masih berada di dalam tubuh induknya. Seekor manta betina bisa membawa dua bayi manta sekaligus dalam tubuhnya. Periode kehamilan manta sendiri belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan bisa berlangsung antara 9-12 bulan. Bayi manta yang baru menetas lalu keluar dari tubuh induknya dengan kondisi sirip yang masih terlipat. Bayi manta mulai aktif segera setelah ia mengembangkan siripnya dan bisa langsung mulai berenang.

Ikan pari manta akan berkumpul saat musim kawin tiba. Pada bulan September sampai Oktober, merupakan musim memijah bagi ikan pari manta (Manta birostris). Foto : Anton Muhajir

Ikan pari manta akan berkumpul saat musim kawin tiba. Pada bulan September sampai Oktober, merupakan musim memijah bagi ikan pari manta (Manta birostris). Foto : Anton Muhajir

Ikan pari manta akan berkumpul saat musim kawin tiba. Pada bulan September sampai Oktober, merupakan musim memijah bagi ikan pari manta (Manta birostris). Foto : Anton Muhajir

Ikan pari manta akan berkumpul saat musim kawin tiba. Pada bulan September sampai Oktober, merupakan musim memijah bagi ikan pari manta (Manta birostris). Foto : Anton Muhajir

Seekor bayi manta yang baru lahir diketahui bisa berukuran selebar 1,2 meter dan seberat 45 kg. Bayi manta bisa tumbuh sangat cepat karena dalam waktu satu tahun, lebar tubuh mereka sudah mencapai hampir 2 kali lebarnya saat pertama kali lahir. Usia maksimal pari manta sendiri yang diketahui mencapai 40 tahun. Ikan pari manta di Indonesia sering kali terlihat di daerah Nusa Penida ( bali ), perairan Nusa Tenggara Timur, Derawan ( Kaltim ), perairan Papua  dan pulau Weh (Aceh ).

Dan pada saat-saat inilah, di beberapa daerah di indonesia, banyak para wisatawan datang untuk menyaksikan dan mengabadikan peristiwa langka ini. Dan tentu saja bisa mendatangkan devisa negara yang tidak sedikit.

Perlindungan terhadap pari manta mutlak diperlukan, mengingat pembantaian masih saja sering ditemukan, baik untuk pembuatan dompet atau tas ( kulitnya ), ataupun untuk kosmetik ( insangnya ). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta, seharusnya sudah bisa dijadikan landasan untuk menindak tegas para pelaku pembantaian pari manta, mengingat juga bahwa pari manta  hanya bisa menghasilkan 1 juvenil pari manta setiap 2-5 tahun. Jadi untuk setiap manta kira-kira hanya bisa melahirkan 8-10 manta selama siklus hidupnya.

 


Kala Musim Manta Memijah Tiba was first posted on September 17, 2015 at 3:01 am.

Kapal Thailand Gugat Praperadilan, Susi: Kita Tidak Takut

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan tak akan gentar menghadapi serangan balik yang dilakukan kapal asing pelaku illegal, unreporter, unregulated (IUU) Fishing melalui prosedur hukum. Hal itu, karena KKP sudah mengantongi banyak bukti berupa data dan fakta terkait pelanggaran yang sudah dilakukan oleh kapal tersebut.

Kapal yang melakukan permohonan praperadilan itu, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, adalah Silver Sea 2 (SS2) yang diketahui berasal dari Thailand. Kapal tersebut ditangkap oleh pasukan TNI AL di wilayah perairan Sabang, Aceh.

Menurut Susi, kapal SS2 mengajukan praperadilan terhadap Pangkalan TNI AL (Lanal) Sabang yang menangkap mereka di perairan Sabang. Kemudian, SS2 juga menuntut dilakukan praperadilan terhadap keabsahan penangkapan, penahanan dan penyitaan kapal SS2 dan dokumen pelayaran SS 2.

“Kita sudah mendapat kabar itu. Dan kita tidak takut sama sekali. Karena kita sudah punya bukti kok,” ungkap Susi di Jakarta, Kamis (17/9/205).

Kapal berbendera Malaysia membawa lima ABK asal Thailand   diamankan di gudang pengolahan ikan Belawan, Medan. Foto:  Ayat S Karokaro

Kapal berbendera Malaysia membawa lima ABK asal Thailand diamankan di gudang pengolahan ikan Belawan, Medan. Foto: Ayat S Karokaro

Dia menyebutkan, berdasarkan surat panggilan yang masuk ke KKP, sidang perdana untuk praperadilan akan dilaksanakan pada 21 September mendatang.

Akan tetapi, menurut Susi, KKP sudah memiliki data-data kenapa SS 2 ditangkap. Di antaranya, karena SS 2 sudah mengangkut ikan ke luar wilayah Indonesia tanpa dilengkapi sertifikasi kesehatan ikan; melakukan alih muatan tidak sah di tengah laut; dan mematikan vessel Monitoring System  (VMS) selama berlayar di perairan Indonesia.

“Karena terbukti seperti itu, nakhoda kapal berkebangsaan Thailand, Yotin Kuarabiab ditetapkan sebagai tersangka kasus tersebut. Selain itu, dilakukan juga penyitaan kapal SS 2 dan tangkapan ikannya,” papar dia.

Pengajuan praperadilan yang dilakukan kapal SS 2 dari Thailand itu mengikuti jejak kapal dari Tiongkok, Hai Fa yang melakukan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia di Maluku. Hai Fa, diketahui menuntut balik KKP dengan gugatan perdata dan meminta ganti rugi sebesar Rp1 triliun.

Namun, Susi menegaskan, gugatan perdata yang dilayangkan Hai Fa tidak akan mengubah status kapal tersebut di Indonesia. Bahkan, saat ini Hai Fa sudah berstatus purple notice oleh Interpol dan diburu oleh 190 negara.

“Kita masih menunggu bagaimana Hai Fa ini selanjutnya. Karena sekarang sudah berada di luar wilayah Indonesia. Jadi kami tidak bisa memprosesnya lagi. Namun, untuk gugatan hukum mereka masih tetap berjalan di pengadilan,” tandas dia.

Pingtan Marine Enterprise (PME) Ltd

Sementara itu, Ketua Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa mengemukakan, selain terus memproses perusahaan dan pemilik kapal pelaku IUU Fishing, KKP saat ini juga terus mengumpulkan informasi dan menelaah secara hukum perusahaan yang memiliki hubungan erat dengan 4 (empat) grup perusahaan di Indonesia Timur.

Perusahaan yang dimaksud, menurut Achmad Santosa, adalah Pingtan Marine Enterprise (PME) Ltd yang berkantor pusat di Tiongkok dan didirikan di Cayman Island, Inggris. Saat ini, perusahaan korporasi tersebut diketahui tercatat di bursa perdagangan AS, Nasdaq.

Menurut Achmad Santosa, PME memiliki hubungan kepemilikan, hubungan transaksi, dan hubungan manajerial dengan PT Avona Mina Lestari, PT Dwikarya Reksa Abadi, PT Aru Samudra Lestari, dan PT Antarticha Segara Lines. Perusahaan-perusahaan tersebut masuk ke dalam kelompok 4 (empat) perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia dan melakukan IUU Fishing.

“Kita sudah bekerjasama dengan lawyer dalam mempersiapkan upaya hukum terhadap PME. Kita juga sudah sudah menyiapkan strategi upaya hukum kepada PME ini,” tutur Achmad Santosa.

Terkait hal tersebut, Susi Pudjiastuti menjelaskan, pihaknya melakukan upaya hukum terhadap PME, karena KKP ingin memastikan distribusi ikan yang ditangkap melalui cara IUU Fishing  sudah berhenti. Selain itu, KKP ingin memastikan keuntungan yang didapat PME dari IUU Fishing tidak ada lagi, dan memastikan agar pelaku IUU Fishing tidak mendapatkan dana publik melalui bursa saham.

Anev Jilid IV

Sementara itu berkaitan dengan analisis dan evaluasi kapal-kapal yang beroperasi di Indonesia tahap keempat, KKP merilis ada 126 pemilik kapal yang memiliki 367 kapal masuk dalam proses aneh. Dari jumlah tersebut, ada yang dicabut izinnya, dan ada juga yang dibekukan izinnya.

Rinciannya:

  1. Pencabutan izin 8 SIPI milik 6 kapal, dan  1 SIKPI milik 1 kapal;
  2. Pembekuan izin 14 SIPI milik 11 kapal;
  3. Pemberitahuan pembekuan izin 6 SIPI milik 6 pemilik kapal;
  4. Peringatan tertulis 35 SIPI milik 11 pemilik kapal;
  5. Izin tidak bisa diperpanjang dan tidak diajukan izin baru untuk 171 SIPI milik 58 pemilik kapal; dan
  6. Bisa mengajukan izin baru selama sejalan dengan kebijakan MKP. Total ada 95 SIPI milik 38 pemilik kapal yang mendapat proses ini.

Susi Pudjiastuti mengungkapkan, dengan terus masuknya data baru yang aneh dari kapal-kapal, dia berharap kebijakan moratorium kapal eks asing bisa memberi dampak baik untuk perikanan dan kelautan Indonesia.

“Terutama, kita ingin setelah moratorium selesai nanti, kapal-kapal eks asing tersebut tidak berani macam-macam lagi. Walau oratorium berhenti, kapal-kapal tersebut sudah masuk daftar hitam di Indonesia,” tandas dia.

Dengan demikian, nantinya sektor kelautan dan perikanan Tanah Air bisa berkembang lebih baik lagi dan bisa memberikan sumbangsih untuk kehidupan nelayan.

 


Kapal Thailand Gugat Praperadilan, Susi: Kita Tidak Takut was first posted on September 18, 2015 at 12:18 am.

Kekeringan Di Bandung Ancam Pertanian Dan Ketahanan Pangan

$
0
0

Musim kemarau saat ini dengan kekeringannya, mengancam pertanian di sejumlah daerah termasuk di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tanaman padi yang belum genap umur, terancam puso karena minimnya sumber air. Hal tersebut, membuat petani terpaksa memanen padi, meski belum saatnya.

Hal ini dialami Enju (52), saat memanen sawah di Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Enju memanen lahan yang digarapnya seorang diri.

Menurut  Enju, masa tanam padi di lahan tersebut berlangsung ketika memasuki musim kemarau. “Kesediaan air semakin sulit di dapat, melihat padi sudah mulai kolot (tua) dan cukup untuk dipanen, ya dilakukan saja. Namun, kualitas padi tak bagus lebih cenderung kerut dan kecil,” ujarnya yang ditemui Mongabay, Rabu (16/09/2015).

Enju (52) pada Rabu, (16/09/2015) mengeluhkan tanaman padinya yang terkena dampak kekeringan yang terjadi di Cirinten, Kecematan Gede Bage Kab Bandung, Jawa Barat. Panen kali ini ia hanya menghasilkan 2 kuintal. Foto : Donny Iqbal.

Enju (52) pada Rabu, (16/09/2015) mengeluhkan tanaman padinya yang terkena dampak kekeringan yang terjadi di Cirinten, Kecematan Gede Bage Kab Bandung, Jawa Barat. Panen kali ini ia hanya menghasilkan 2 kuintal. Foto : Donny Iqbal.

Luas lahan yang digarapnya berkisar 100 bata atau 1400 meter persegi, hasil padi yang didapatnya diprediksikan hanya 4 karung saja. “ Biasanya setiap panen bisa menghasilkan 14 karung atau setara 7 kuintal. Sekarang turun drastis menjadi 2 kuintal. Itu pun belum pasti jika padinya banyak yang gepeng (kosong),” tuturnya.

Menurut Enju, sumber air di daerahnya tidak sulit dicari, ia mengandalkan sumber air di dekat Kantor Polda Jabar dan sungai Cinambo. Ia mengatakan sekarang sumber air di Polda mengering karena rebutan dengan petani lain. “Saya bingung mencari sumber air, semenjak ada pembangunan bangunan baru di sekitar sawah, sumber air susah di dapat,” ucapnya.

Ia melanjutkan untuk petani yang memiliki modal mengantisipasi kekeringan yang terjadi dengan menggunakan pompa air. ia menyebutkan untuk sehari biaya yang dikeluarkan sebanyak Rp60.000 dengan biaya tambahan bahan bakar sebanyak 4 liter. Menurutnya, langkah itu tidak begitu berpengaruh karena ketersedian air pun tak banyak.

Beberapa hari kedepan, Enju akan memanen lahan tersebut. “Dengan kondisi sekarang ini, ya mau bagaimana lagi selain memanennya. Sesudah panen sawah dibiarkan saja dulu sampai musim penghujan tiba,” katanya.

Untuk memberi pakan ternak kurban tetangganya pun Enju biasanya mencari rumput di sekitar sawah. Ia mengaku kesulitan untuk mencari rumput. “Mencari rumput sekarang susah, mengumpulkan 2 karung rumput pun tidak mudah,” ujarnya.

Untuk menambah penghasilannya, Enju bisa mengumpulkan 2 karung rumput dalam sehari untuk kemudian dijual dengan harga Rp.35.000. Kegiatan mencari rumput tersebut dilakukan ketika sepulang dari sawah.

Sejumlah anak bermain sepak bola di area bekas panen yang telah dipanen oleh petani di Kecamatan Gedebage, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Panen kali dinilai petani menurun hingga 30% dari panen sebelumnya. Foto : Donny Iqbal

Sejumlah anak bermain sepak bola di area bekas panen yang telah dipanen oleh petani di Kecamatan Gedebage, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Panen kali dinilai petani menurun hingga 30% dari panen sebelumnya. Foto : Donny Iqbal

Hal serupa dialami pesawahan Cimekar, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Petani setempat, Asep (75) mengatakan terhentinya pasokan air sudah lama terjadi. Sungai sebagai sumber air juga telah mengering.  Kekeringan saat ini merupakan yang terparah sehingga membuat puso yang sangat merugikan para petani.

Berdasarkan pantauan Mongabay, sedikitnya 3.387 hektare sawah terancam gagal panen atau puso di kampung Ciluncat, Desa Tegal Sumedang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Paling parah terjadi di Kecamatan Baleendah 385 hektare  dan Ciparay seluas 450 hekater.

Bantuan Pemerintah

Kekeringan dan puso yang terjadi di Kabupaten Bandung berpotensi mengganggu cadangan pangan sekitar  2554.4 ton padi. Dinas Pertanian melakukan tindakan antisipatif dengan melakukan penyediaan bantuan berupa pompa air sebanyak 188 unit, perbaikan irigasi di 34 titik dan  pemberian bantuan benih sebanyak 7 ton.

“ Kekeringan bukan bencana karena sudah rutin terjadi ketika musim hujan kebanjiran  dan musim kemarau kekeringan. Namun, kita ingin ada bantuan dari pemerintah daerah  kepada petani yang terkena kekeringan dan puso yang berat meskipun bentuknya terbatas,” kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, A. Tisna Umaran saat ditemui di kantornya.

Aliran sungai di Kecamatan Rancamuncang, Gede Bage, Kota Bandung, Jawa Barat, mengalami sedimentasia akibat kekeringan. Foto : Donny Iqbal

Aliran sungai di Kecamatan Rancamuncang, Gede Bage, Kota Bandung, Jawa Barat, mengalami sedimentasia akibat kekeringan. Foto : Donny Iqbal

Menurut Tisna, hal yang paling efektif yang bisa dilakukan masyarakat dan yang paling prinsip bagi daerah- daerah yang langganan kekeringan adalah para petaninya jangan memaksakan menanam padi atau  jangan memaksakan tanam 3 kali. Pada masa normal pada Oktober sampai Mei dengan waktu persis 8 bulan bisa dilakukan panen dua kali, karena sebulan diantarnya digunakan untuk penyediaan lahan.

“Untuk bulan Juni sampai Agustus masuk musim kemarau, petani jangan memaksakan diri. Kalau mau ya menanam palawija saja yang tidak memerlukan banyak air. Yang bermasalah yang memaksakan diri dengan tetap menanam padi.. Penempatanan fasilitas pompa air dilakuakan seefektif mungkin di area kekeringan untuk membantu petani,” ujar Tisna.

Kabupaten Bandung sendiri memiliki keunggulan dekat dengan pasar, yaitu letaknya strategis untuk pemasaran hasil pertanian ke wilayah Bandung dan luar kota Bandung. Tetapi keunggulan tersebut harus diimbangi dengan hasil pertanian lebih murah dan lebih sehat. Tisna mengatakan pihak nya akan mengupayakan  kemajuan dan kemandirian pangan tersebut.


Kekeringan Di Bandung Ancam Pertanian Dan Ketahanan Pangan was first posted on September 18, 2015 at 5:55 am.

Air Bersih Tetap Jadi Masalah Utama di Pulau-pulau Kecil

$
0
0

Keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia hingga saat ini terkesan masih kurang diperhatikan oleh pemerintah, swasta, ataupun pihak lain. Padahal, pulau-pulau kecil keberadaannya dinlai sangat penting karena berapa di antaranya adalah titik terpenting untuk menjadi barisan pertahanan negara.

Demikian kesimpulan dari bahasan pulau-pulau kecil dalam gelaran UN Sustainable Development Solutions Network bertema “Solution Initiatives for Urban Development in Island and Coastal Environment” yang berlangsung di Depok, Jawa Barat, 16-17 September lalu.

Saat ini, pulau-pulau kecil di Indonesia jumlahnya mencapai 17.520 dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Staf Ahli Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Adipati, pulau-pulau kecil adalah pulau yang luasnya di bawah 2.000 kilometer persegi.

Pulau Gee, di Maluku Utara, yang habis hancur lebur karena investasi perusahaan tambang. Apakah ajakan investasi ke Indonesia, akan menambah jejeran pulau-pulau menjadi mati seperti ini? Apa upaya pemerintah untuk memulihkan kondisi alam ini? Foto: AMAN Maluku Utara

Pulau Gee, di Maluku Utara, yang habis hancur lebur karena investasi perusahaan tambang. Apakah ajakan investasi ke Indonesia, akan menambah jejeran pulau-pulau menjadi mati seperti ini? Apa upaya pemerintah untuk memulihkan kondisi alam ini? Foto: AMAN Maluku Utara

“Itu definisi pulau-pulau kecil di Indonesia. Saat ini keberadaannya banyak yang belum tertata dengan baik, terutama infrastrukturnya,” ucap Adipati.

Dia menyebutkan, dari seluruh pulau-pulau kecil yang saat ini ada, hampir semuanya memiliki masalah yang sama dalam tata kelola air. Menurutnya, ada yang bermasalah karena ketergantungan pada mata air, ketergantungan pada musim hujan, dan ada juga yang tergantung langsung pada air hujan.

“Biasanya, masalah yang ketiga adalah karena di pulau tersebut tidak ada mata air dan saat turun hujan pun tanah di pulau tersebut tidak bisa menyerap air hujan dengan baik. Jadilah, air hujan langsung diambil melalui wadah-wadah oleh warga,” papar Adipati.

Akan tetapi, Adipati mengungkapkan, faktor keterbatasan air karena ketiadaan mata air dan serapan air hujan yang baik jumlahnya hanya sekitar 20 persen saja dari total pulau kecil yang ada. Sementara, sisanya adalah karena faktor mata air (52 persen) dan ketergantungan musim hujan (28 persen).

“Pemerintah saat ini sedang fokus untuk menyediakan sumber air di pulau-pulau tersebut. Namun, sekarang masih ada kendala, karena Pemerintah belum memiliki manajemen aset. Padahal, itu menjadi masalah jika nanti pengadaan air dilakukan melalui alat,” jelas Adipati.

Pendapat Adipati tersebut senada dengan akademisi dari Universitas Udayana, Bali, Dharma Putra. Menurut dia, masalah utama dalam pengelolaan sumber air di sebuah pulau kecil, adalah pemeliharaan alat. Hal itu sudah terjadi di Pulau Nusa Penida, Bali.

“Di Nusa Penida itu sudah dipasang teknologi untuk pengadaan air. Tapi itu hanya bertahan enam bulan saja karena memang masyarakatnya tidak siap,” jelas Dharma.

Karena ketidaksiapan masyarakat tersebut, Dharma berpendapat kalau pemerintah harus mencari cara agar penyediaan air untuk masyarakat di pulau kecil bisa tersedia dengan baik tapi juga bisa memelihara alatnya.

Hujan Mikro

Sementara itu menurut akademisi dari Universitas Cendrawasih, Samuel, jika memang mengadakan alat dinilai terlalu mahal untuk menyediakan air bersih di sebuah pulau kecil, maka pilihan untuk membuat hujan mikro harusnya bisa menjadi salah satu solusi.

“Hujan mikro ini terjadi karena penguapan di pulau tersebut. Jadi ini sangat hemat dan tidak perlu perawatan ekstra seperti halnya sebuah alat berharga mahal. Di Papua sudah ada yang seperti itu, ada hujan mikronya,” ungkap Samuel.

Hujan mikro ini, menurut Samuel, berbeda dengan hujan makro yang biasa turun di musim hujan. Karenanya, jika sudah bisa menghasilkan hujan mikro sendiri, pulau tersebut tidak akan tergantung lagi pada hujan makro yang datang hanya saat musim penghujan saja.

Akan tetapi, walau sudah ada di beberapa pulau di Papua, namun Samuel hingga saat ini belum mempelajari secara ilmiah bagaimana proses hujan mikro terjadi di atas sebuah kawasan. Hal itu, karena hujan mikro yang terjadi di Papua berbeda seperti hujan mikro yang dibuat sengaja oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

“Harus ada penelitian lebih lanjut. Bagaimana agar hujan mikro bisa terjadi di sebuah kawasan. Apakah itu karena dipengaruhi oleh keberadaan hutan di kawasan tersebut atau tidak. Lalu, tanaman atau pohon apa yang bisa memicunya? Dan berapa jumlahnya?” cetus Samuel lebih detil.

Karena itu, Samuel berharap, penelitian tentang hujan mikro bisa dilakukan oleh kampus ataupun oleh lembaga kajian tertentu. Yang jelas, dia berpendapat kalau hujan mikro bisa menjadi solusi penyediaan air bersih di pulau kecil di Indonesia.

Menanggapi usulan hujan mikro tersebut, Guru Besar Emeritus Institut Teknologi Bandung Prof Bambang Hidayat berpendapat, hujan mikro bisa saja dikembangkan, tapi tentu tidak semua pulau kecil bisa melakukannya.

“Contohnya di Pulau Nusa Penida, Bali. Di sana tangkapan airnya sudah bagus. Jadi walau kecil pulaunya, di pesisir pantai sudah ada mata air yang rasanya tawar. Itu tinggal dikelola saja bagaimana agar bisa sampai ke masyarakat di sana,” jelas Bambang.

Oleh itu, Bambang mengatakan, sebelum diputuskan untuk menggunakan metode apa dalam menyediakan air bersih di pulau kecil, sebaiknya dilakukan dulu studi tentang geologi di pulau tersebut dan bagaimana sistem tata air yang pas untuk kondisi geologi setempat.

“Itu penting dilakukan. Hingga sekarang, masalah air bersih masih menjadi isu penting untuk pulau-pulau kecil. Kalau bukan kita yang memikirkannya, maka siapa lagi yang akan peduli?” tandas dia.


Air Bersih Tetap Jadi Masalah Utama di Pulau-pulau Kecil was first posted on September 19, 2015 at 12:37 am.

Beginilah Pemandu Selam Lokal Tulamben Menjaga Pesisirnya

$
0
0

Pantai Tulamben merupakan salah satu tempat wisata selam yang diminati di Bali. Agustus sampai awal September adalah musim ramai di dasar laut Tulamben, Karangasem, Bali.  Biasanya sejak pukul 6 pagi para pemandu selam sudah bersiap di sejumlah titik penyelaman. Mentari mulai mengintip di horizon.

Ditemani tukang angkut tabung, pemandu selam membantu para penyelam mengenakan wet suits, alat selam, dan kadang juga membuatkan sarapan untuk tamunya. Kadang terlihat satu pemandu selam mendampingi 4-5 orang penyelam.

Pemandu selam di obyek wisata Tulamben, Karangasem, Bali mengantarkan wisatawan menyelam ke tengah laut. Foto : Luh De Suriyani

Pemandu selam di obyek wisata Tulamben, Karangasem, Bali mengantarkan wisatawan menyelam ke tengah laut. Foto : Luh De Suriyani

Walau sedang sangat sibuk, sekitar 70 orang pemandu selam lokal tengah menyiapkan sejumlah acara pada Agustus lalu. Beach clean up, deklarasi Organisasi Pemandu Selam Tulamben, mendampingi komunitas difabel, Mother Love Nature Diving Club yang melakukan upacara bendera bawah laut, dan pameran photovoices, serta menghelat kelas jurnalisme warga.

I Nyoman Suastika, inisiator organisasi selam masyarakat lokal ini terlihat paling sibuk. Pria dua anak perempuan ini mengendarai motor pickup sampah dan membawakan tong-tong sampah ke tiap pojok pantai.

Setengah jam kemudian baru terlihat rombongan warga memasuki pesisir, ada yang membawa sapu dan sabit. Terlihat kelompok perempuan porter atau tukang angkut peralatan selam, warga dan pengurus desa, Sekar Teruna, dan lainnya.

Kampanye save liberty ship wreck, yang merupakan ikon tempat selam di Desa Tulamben, Karangasem, Bali. Kampanye tersebut merupakan bagian dari program konservasi di Tulamben. Foto : Luh De Suriyani

Kampanye save liberty ship wreck, yang merupakan ikon tempat selam di Desa Tulamben, Karangasem, Bali. Kampanye tersebut merupakan bagian dari program konservasi di Tulamben. Foto : Luh De Suriyani

Kegiatan dipusatkan sekitar 500 meter garis pantai area Liberty Ship wreck, kapal karam Amerika yang karam dan kini menjadi tempat menyelam paling populer di Karangasem. Dalam waktu kurang satu jam, semua sampah plastik di sekitarnya berhasil terkumpul.

Suastika terlihat beberapa kali ngobrol dengan pemilik warung pinggir pantai, mengingatkan jangan mengubur sampah karena akan tersapu ombak juga. “Ini tong sampah, jangan dibuang di belakang warung atau dibakar,” kata pria ini yang juga salah satu tim kebersihan di desa Tulamben. Suastika bersama rekannya Nengah Putu mengomando kegiatan beach clean up rutin ini, dan disepakati jadi program kerja organisasi.

Nengah Putu didapuk jadi Ketua Organisasi Pemandu Selam Tulamben pertama. “Mungkin karena saya paling tua,” pria 47 tahun ini terkekeh. Ia masih aktif menyelam, sehari bisa dua kali jika musim ramai.

Yang jelas Putu bisa menceritakan Tulamben sekitar tahun 90an, ketika baru ada 3-4 orang pemandu selam. Juga karena dive shop masih berpusat di Sanur. Turis biasanya membawa sendiri pemandu selam dan peralatannya dari Sanur. Warga lokal ketika itu masih jadi penonton atraksi bawah laut di desanya.

Putu sendiri dididik jadi penyelam di tempat kerjanya sebuah dive shop di Sanur. “Rute menyelam turis waktu itu Sanur, Tulamben, Amed, Menjangan, Lembongan,” ujarnya. Namun ia mengakui para penyelam paling senang di Tulamben, desanya. “Arah penyelaman mudah, sejelek apa pun cuaca pasti bisa menikmati bawah lautnya,” katanya tentang stabilnya ekosistem bawah laut Tulamben.

Kini, di Tulamben menurutnya ada sekitar 30 dive shop yang mendidik puluhan pemandu selam lokal. “Memang masih banyak yang pakai pemandu bule tapi kami punya kelebihan menguasai rute bawah laut,” imbuh Putu.

Organisasi pemandu selam lokal ini dinilai Suastika dan Putu sangat penting karena selain eksis, mereka bisa lebih leluasa membuat dan mengusulkan program pelestarian bawah laut untuk menjaga asset desa dan pemerintah daerah ini. Tulamben disebut penghasil PAD Karangasem terbesar kedua setelah Pura Besakih.

Sejumlah rencana organisasi ini di antaranya mendokumentasi dan memetakan site dive yang ada, mengatur jumlah penyelam dalam satu site agar tak terlalu ramai di bawah laut, rehabilitasi karang, dan lainnya. Dalam salah satu karya esai foto ponselnya, Putu dan Suastika mendokumentasikan keindahan bawah laut Tulamben dan pentingnya petunjuk edukasi bagi penyelam agar tak merusak koral.

Makin banyak lembaga yang menyokong inisiatif organisasi ini seperti Coral, Conservation International Indonesia, Reef Check Indonesia, dan lainnya. Berkolaborasi menjaga perairan Tulamben dan mengajak warga memimpin pengelolaannya.

Warga bergotong royong membersihkan pantai Tulamben, Karangasem, Bali demi keindahan pantainya. Clean up pantai Tulamben merupakan salah satu kegiatan komunitas Pemandu Selam Lokal Tulamben. Foto : Luh De Suriyani

Warga bergotong royong membersihkan pantai Tulamben, Karangasem, Bali demi keindahan pantainya. Clean up pantai Tulamben merupakan salah satu kegiatan komunitas Pemandu Selam Lokal Tulamben. Foto : Luh De Suriyani

Kabupaten Karangasem terletak di Timur  Bali dengan panjang laut sekitar 87 km, terus bertambah seiring abrasi yang mengikis pesisir. Sedikitnya sudah dikenal 15 situs penyelaman di Karangasem.

Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali Tahun 2011 yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali dengan beberapa mitranya menunjukkan Karangasem memiliki wilayah laut dengan keanekaragaman hayati dan nilai konservasi yang tinggi. Coral Reef Alliance (CORAL) pada tahun 2013 memproyeksikan kunjungan wisatawan khususnya penyelam ke Tulamben sebesar 44.545 per tahun.

Namun juga menambah tingkat tekanan pada beberapa lokasi penyelaman, misalnya Liberty Ship wreck di Tulamben.  Sebuah kajian oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk mengukur tingkat kerentanan dari USAT Liberty Shipwreck menunjukkan tingkat korosi yang tinggi akibat paparan udara kering yang dikeluarkan oleh para penyelam dalam jumlah yang sangat masif.

Putu dan Suastika mengiyakan, jumlah penyelam bisa mencapai 100 hingga 150 orang setiap harinya di musim liburan (high season). Sementara diakui, bangkai kapal ikonik ini memberi dampak ekonomi pada masyarakat. Tak hanya bagi pemandu selam atau perusahaan alat selam tapi juga pedagang, pemilik akomodasi, tukang pijat, dan buruh angkut. Organisasi Pemandu Selam lokal terus kampanyekan #SaveLibertyWreck.


Beginilah Pemandu Selam Lokal Tulamben Menjaga Pesisirnya was first posted on September 19, 2015 at 6:15 am.

Si Udang Harimau Dari Indo Pasifik Yang Menawan

$
0
0

Banyak sekali satwa laut yang unik dan eksotis, yang menambah keindahan bawah laut, selain terumbu karang. Salah satunya adalah udang spinny tiger (Phyllognatia ceratophthalmus atau Phyllognathia ceratophthalma). Udang yang termasuk keluarga crustacea ini memiliki beberapa nama lain, seperti  udang harimau berduri, udang bongo, udang horned bumblebee.

Udang spinny tiger ini masih satu familia dengan udang harlequin dan udang bumblebee. Dengan corak yang khas seperti loreng harimau, udang ini berukuran relatif  kecil. Mereka rata-rata hanya tumbuh maksimal 2 cm saja. Bahkan  sering dijumpai berukuran lebih kecil itu. Penyebaran satwa unik ini ada di Indo Pasifik.

Udang spinny tiger. Foto : Wisuda

Udang spinny tiger. Foto : Wisuda

Udang spinny tiger (Phyllognatia ceratophthalmus atau Phyllognathia ceratophthalma). Udang dari Indo Pasifik ini mempunyai nama lain udang harimau berduri, udang bongo, udang horned bumblebee. Foto : Wisuda

Udang spinny tiger (Phyllognatia ceratophthalmus atau Phyllognathia ceratophthalma). Udang dari Indo Pasifik ini mempunyai nama lain udang harimau berduri, udang bongo, udang horned bumblebee. Foto : Wisuda

Sampai saat ini, belum ada literatur yang menyebutkan kebiasaan makan udang mungil ini. Peneliti mengasumsikan mereka memakan echinodermata karena mempunyai hubungan dengan Hymenocera.

Karena ukurannya yang kecil, mereka pun pandai menyamar dan biasanya tersembunyi diantara spons, puing-puing, algae atau di karang-rusak. Beberapa juga ditemukan di soft coral. Ukuran tubuhnya yang sangat mungil itu, menyebabkannya cukup sulit ditemukan . hidupnya pun sangat sering berpasang – pasangan.

Udang spinny tiger. Foto : Wisuda

Udang spinny tiger. Foto : Wisuda

Udang spinny tiger (Phyllognatia ceratophthalmus atau Phyllognathia ceratophthalma) ukurannya sangat kecil rata-rata hanya tumbuh maksimal 2 cm. Hidup diantara terumbu karang , spons dan alga. Foto : Wisuda

Udang spinny tiger (Phyllognatia ceratophthalmus atau Phyllognathia ceratophthalma) ukurannya sangat kecil rata-rata hanya tumbuh maksimal 2 cm. Hidup diantara terumbu karang , spons dan alga. Foto : Wisuda

Bahkan  kadang-kadang, mereka juga hidup dalam kelompok-kelompok kecil atau keluarga. Dengan warna tubuh yang indah, mereka sering diburu para penyelam dan pehobi fotogroafi underwater sebagai obyek foto atau bahkan dicari sebagai hewan peliharaan.


Si Udang Harimau Dari Indo Pasifik Yang Menawan was first posted on September 20, 2015 at 2:49 am.

WWF : Sumber Daya Laut Global Dalam Ancaman Kerusakan Besar

$
0
0

Sumber daya kelautan global sedang terancam kerusakan besar diakibatkan yang utama karena aktivitas manusia dan perubahan iklim. Kehidupan manusia untuk hidup, termasuk dari sisi ekonomi dan bisnis yang terkait laut, seperti pemukiman penduduk, pariwisata, perikanan laut, industri pengapalan, industri ekstraktif dan pencemaran, telah menekan dan merusak ekosistem laut secara global.

Hal tersebut terungkap dalam laporan bersama Zoological Society of London (ZSL) dan WWF berjudul Living Blue Planet Report 2015 yang dirilis pada Kamis (16/09/2015) lalu.

 

Seorang penyelam berada di samping gerombolan ikan di Raja Ampat, Indonesia. Foto : Robert Delfs/WWF

Seorang penyelam berada di samping gerombolan ikan di Raja Ampat, Indonesia. Foto : Robert Delfs/WWF

 

Dari data global Living Planet Index (LPI) kelautan  dalam laporan tersebut menyebutkan setengah populasi vertebrata laut atau lebih dari 1200 spesies laut, tidak hanya ikan, menurun pada kurun 1970 – 2012.

Laporan itu juga memprediksi terumbu karang bisa punah pada 2050 sebagai dampak dari perubahan iklim. Padahal sedikitnya 25 persen dari semua populasi spesies laut dan setidaknya 850 juta orang bergantung langsung kepada jasa ekonomi, sosial dan budaya yang disediakan terumbu karang.

 

Living Blue Planet Report 2015 dari WWF dan ZSL yang dirilis pada Kamis (16/09/2015) menyebutkan setengah dari populasi vertebrata laut atau lebih dari 1200 spesies laut, tidak hanya ikan, menurun pada kurun 1970 – 2012. Sumber : WWF

Living Blue Planet Report 2015 dari WWF dan ZSL yang dirilis pada Kamis (16/09/2015) menyebutkan setengah dari populasi vertebrata laut atau lebih dari 1200 spesies laut, tidak hanya ikan, menurun pada kurun 1970 – 2012. Sumber : WWF

 

Untuk Indonesia, dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2014, kawasan perairan Indonesia masih menjadi target utama pencurian ikan, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan liar (illegal, unreported and unregulated /iuu fishing). Karenanya negara diperkirakan mengalami kerugian melebihi Rp 101 triliun per tahunnya. Tingkat kerugian tersebut sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun.

Kerugian akibat IUU fishing menjadi salah satu tantangan besar Indonesia selain tekanan terhadap sumber daya laut dari praktek kelautan yang tidak berkelanjutan, industri ekstraktif dan pariwisata.

Meski demikian, Living Blue Planet Report menyatakan bahwa kondisi laut beserta sumber dayanya yang terus menurun dalam beberapa dekade terakhir dapat diperbaiki untuk kembali pada tingkat kelestarian yang mampu menopang kehidupan manusia.

Direktur Jenderal WWF Internasional, Marco Lambertini mengatakan Living Blue Planet Report 2015 diterbitkan untuk memberikan gambaran terkini dari keadaan laut. Bahwa manajemen aktivitas manusia yang salah dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya laut menjadi sumber kerusakan yang terjadi.

“Dalam kurun waktu satu generasi, aktivitas manusia telah menimbulkan kerusakan parah pada laut dengan menangkap ikan pada laju yang lebih cepat daripada siklus reproduksinya, sementara itu praktek penangkapan dan pembangunan pesisir juga menghancurkan tempat mereka untuk berkembangbiak. Perubahan besar diperlukan untuk memastikan kehidupan laut yang tetap melimpah untuk generasi mendatang,” kata Marco dalam rilis laporan tersebut.

Untuk mengatasinya, lanjutnya, harus dilakukan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan yang mengeliminir tangkapan bycatch, sampah, overfishing dan pengaturan perikanan yang ketat.

Sedangkan CEO WWF-Indonesia, Efransjah dalam peluncuran Living Blue Planet Report 2015  di Jakarta, mengatakan laporan tersebut harus dibaca sebagai upaya WWF untuk menawarkan solusi untuk membawa keluar laut dari kondisi yang terus menurun.

“Perubahan mendasar yang dibutuhkan adalah mengubah pola hidup kita kepada batas daya dukung laut sehingga laut bisa menjamin ketahanan pangan, menjadi sumber penghidupan, mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjaga keseimbangan ekosistem global. Selain sektor perikanan, laut juga menggerakkan berbagai sektor ekonomi lainnya seperti industri pariwisata,” katanya.

 

Seekor lobster yang tertangkap dalam bubu di Blongko, Sulawesi Utara. Foto : Tantyo Bangun/WWF

Seekor lobster yang tertangkap dalam bubu di Blongko, Sulawesi Utara. Foto : Tantyo Bangun/WWF

 

Efransjah mengatakan untuk itu WWF Indonesia bekerjasama dengan berbagai pihak, terutama KKP, mempunyai berinisiatif untuk mengubah pola hidup yang menguras daya dukung laut, antara lain dengan program Seafood Savers.

Seafood Savers merupakan program perbaikan perikanan sesuai standar MSC dan ASC yang disesuaikan dengan kondisi terkini perikanan lokal dan nasional. Untuk Best Management Practices (BMPs) adalah panduan perikanan budidaya yang bertanggung jawab menuju sertifikasi keberlanjutan (MSC dan ASC). Sedangkan Pariwisata bahari yang bertanggung jawab (Responsible Marine Tourism) penerapan wisata bahari yang mendukung konservasi di Indonesia dengan melibatkan pelaku wisata bahari.

Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, Suseno Sungkoyono menjelaskan pengelolaan sumber daya laut Indonesia dibawah Menteri Susi Pujiastuti mengedepankan tiga aspek yaitu kedaulatan wilayah engara, perikanan yang keberlanjutan dan kesejahteraan bagi semua pemangku kepentingan, terutama nelayan.

Suseno mengatakan berbagai kebijakan telah dan akan dilakukan oleh KKP untuk mewujudkan tiga aspek pembangunan laut tersebut, antara lain dengan moratorium perizinan kapal untuk tata kelola yang lebih baik, penanggulangan pencurian ikan, pengaturan alat tangkap ikan dan pengaturan penangkapan ikan dan satwa laut ekonomis dengan perikanan yang berkelanjutan.

 

 

 


WWF : Sumber Daya Laut Global Dalam Ancaman Kerusakan Besar was first posted on September 20, 2015 at 9:35 pm.

Mendesak, 4 Poin Rekomendasi Penyelamatan Badak Sumatera

$
0
0

Untuk pertama kalinya para ilmuwan dan praktisi konservasi menggunakan teknik survey populasi yang lebih canggih dalam mengidentifikasi zona perlindungan hutan untuk menyelamatkan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dari kepunahan.

Hal tersebut terangkum dalam sebuah publikasi ilmiah baru dari Wildlife Conservation Society (ECS) dan University of Massachusetts-Amherst (UMass). Hasil penelitian tersebut dipublikasikan di Public Library of Science (PLoS) ONE pada edisi 16 September 2015.

Penelitian ini memberikan informasi yang sangat dibutuhkan mengenai distribusi badak sumatera yang tersisa. Penelitian dilakukan dengan permodelan habitat yang eksplisit secara spasial, menggunakan data tanda keberadaan badak yang dikumpulkan dalam tiga wilayah yang diduga menjadi tempat tinggalnya. Luas area yang disurvey lebih dari 3 juta hektar.

 

Badak sumatera terpantau kamera trap di TN Leuser, Aceh. Foto : TN Leuser dan Leuser International Foundation

Badak sumatera terpantau kamera trap di TN Leuser, Aceh. Foto : TN Leuser dan Leuser International Foundation

 

Wulan Pusparini, peneliti dari WCS menjelaskan bahwa dari hasil penelitian tersebut, diperkirakan bahwa sekarang badak hanya menempati 237.100 hektar di bentang alam Leuser, 63.400 hektar di Taman Nasional Way Kambas dan 82.000 hektar di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Secara total, badak sumatera hanya menghuni 13% dari total area yang disurvei.

Bahkan di Leuser, ditemukan badak sumatera yang menempati kawasan di luar taman nasional, yang berarti tingkat keterancamannya sangat tinggi baik dari minimnya keamanan maupun potensi konversi hutan yang menjadi habitatnya saat ini.

“Melalui penelitian ini, teridentifikasi lokasi penting dimana kita harus melindungi mereka (badak sumatera-red) dihabitat asalnya, mengingat begitu banyak yang tidak diketahui mengenai pengelolaan badak sumatera, baik di alam maupun di penangkaran,” jelas Wulan yang merupakan penulis utama publikasi tersebut.

Penelitian ini merekomendasikan empat aksi penting, yaitu 1) menetapkan secara formal 5 Zona Perlindungan Intensif (ZPI), dengan memastikan angka perburuan nihil di area tersebut; 2) memastikan kelayakan (ZPI) dengan menganulir rencana pembangunan jalan baru yang akan membelah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Leuser; 3) Mengkonsolidasikan seluruh populasi kecil dan terpisah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan di luar populasi inti di bentang alam Leuser; dan 4) menyadari bahwa badak sumatera akan punah apabila tidak ada upaya apapun yang secepatnya dilakukan, seperti punahnya badak jawa di Vietnam tahun 2010.

 

Rosa, badak sumatera betina di SRS-TNWK (Foto Haerudin R.  Sadjudin-Dokumen YABI-TFCA-Sumatra)

Rosa, badak sumatera betina di SRS-TNWK (Foto Haerudin R. Sadjudin-Dokumen YABI-TFCA-Sumatra)

 

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Dahono Adji menyambut baik hasil penelitian ini. Menurutnya, hasil penelitian ini sangat mendukung untuk implementasi dokumen Strategi dan Rencana Aksi Badak Sumatera, sebagaimana telah ditetapkan melalui Permenhut P.43/Menhut-II/2007.

“Kami menyambut dengan baik hasil penting ini untuk mendukung usaha Indonesia dalam sepenuhnya mengimplementasikan Rencana Aksi Badak Sumatera.” kata Bambang yang juga menjabat sebagai Ketua Sekretariat Bersama Komisi Nasional Penyelamatan Badak Indonesia.

 

Badak Sumatera Benar-Benar di Ambang Kepunahan

Badak sumatera merupakan salah satu spesies yang paling terancam keberadaannya pada saat ini. Sejak dideskripsikan secara scientific 200 tahun yang lalu, badak sumatera yang tadinya memiliki distribusi yang sangat luas di Asia Tenggara, tersisa hanya di tiga lokasi di Sumatera dan satu lokasi di Kalimantan, Indonesia. Konversi hutan secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomi, telah menyumbang penyusutan habitat badak sumatera secara masif dari tahun ke tahun.

Ketiga habitat badak yang tersisa itupun, tak luput dari ancaman kerusakan. Terdapat rencana pembangunan jalan yang akan semakin memfragmentasi habitat badak di Taman Nasional Leuser dan juga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Padahal, kedua Taman Nasional ini termasuk dalam Situs Warisan Tropis UNESCO karena sangat penting bagi konservasi keragaman hayati. Kondisi ini diperparah dengan tingginya minat pasar gelap terhadap cula badak. Oleh pelaku, cula tersebut kebanyakan diselundupkan ke luar negeri sebagai bahan obat tradisional.

“Kami menyadari upaya konservasi badak sumatera membutuhkan kemauan politik yang kuat serta pendanaan yang tidak sedikit,” jelas Wulan yang saat ini sedang menempuh pendidikan di UMass untuk meraih gelar Ph.D.

Populasi badak sumatera cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Lebih dari 200 tahun yang lalu diperkirakan populasi badak terkecil di dunia ini masih sekitar 10.000 individu. Semenjak tahun 1985, populasi terus menurun dari angka sekitar 600 ekor menjadi kurang dari 100 ekor saat ini.

Dengan diketahuinya lokasi penting pelestarian badak sumatera ini, Joe Walston, Wakil Presiden WCS untuk Global Program, menekankan perlunya upaya gabungan dari seluruh lembaga yang peduli akan nasib badak sumatera untuk mencegahnya dari kepunahan.

“Untuk pertama kalinya kami memiliki informasi mengenai lokasi wilayah prioritas badak, sekaligus sarana dan teknik untuk melindungi mereka. Saatnya semua pihak bergabung untuk menyelamatkan satwa kritis ini,” jelasnya.

 

 

 


Mendesak, 4 Poin Rekomendasi Penyelamatan Badak Sumatera was first posted on September 21, 2015 at 12:30 am.

Sejauh Mana Kebijakan Susi Pudjiastuti Sudah Berjalan?

$
0
0

Susi Pudjiastuti hanya bisa menghela nafasnya saat mendengar anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan berbicara melalui speaker di ruangan Komisi IV DPR RI, Selasa (15/9/2015), dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP). Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut terlihat mendengarkan dengan seksama kritikan yang dialamatkan padanya dari anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Namun, seketika Susi terlihat memegang kepalanya ketika Daniel menyebutkan namanya sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam permasalahan di sektor kelautan dan perikanan saat ini. Susi juga tampak keheranan ketika Daniel berusaha membeberkan kesalahan yang dialamatkan pada perempuan asal Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat itu.

Pemandangan tersebut berkali-kali terlihat dari raut muka Susi di ruangan tersebut. Namun, tidak hanya saat Daniel berbicara saja, ekspresi hampir sama juga diperlihatkan Susi ketika anggota Komisi IV lainnya mengkritik dirinya di forum tersebut.

Kehidupan nelayan selama ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Sebagian besar mereka hidup dalam kemiskinan dan terjerat tengkulak. Dengan pembahasan RUU RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan (PPNPI)  memberikan harapan baru bagi mereka. Semoga. Foto: Sapariah Saturi

Kehidupan nelayan selama ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Sebagian besar mereka hidup dalam kemiskinan dan terjerat tengkulak. Dengan pembahasan RUU RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan (PPNPI) memberikan harapan baru bagi mereka. Semoga. Foto: Sapariah Saturi

Sesekali, Susi juga terlihat menyela kritikan yang ditujukan kepadanya. Namun, saat itu dia terlihat berusaha mengendalikan emosinya karena beberapa saat kemudian Susi terlihat kembali mengatur ritme ucapannya.

Kebijakan Membingungkan

Daniel Johan, anggota Fraksi PKB, adalah orang pertama yang berhasil menyulut emosi Susi pada pertemuan tersebut. Pria asal Sulawesi Utara itu mengkritik kebijakan Susi dalam sektor kelautan dan perikanan. Menurutnya, ada beberapa kebijakan yang dinilai justru melemahkan kondisi nelayan dan stakeholder lain di di sektor tersebut.

“Bu Susi ini kebijakannya cukup membingungkan. Karena, justru (kebijakan) itu bisa membuat rakyat sengsara,” ungkap Daniel Johan.

Di antara kebijakan Susi yang menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat, kata Daniel, adalah kebijakan moratorium kapal eks asing dan juga penerapan peraturan menteri (Permen) yang sudah dikeluarkan Susi.

“Gara-gara kebijakan tersebut, pengangguran di sektor perikanan dan kelautan  tiba-tiba muncul menjadi 637.000 orang. Yang paling bertanggung jawab adalah Ibu,” tutur Daniel dengan nada lantang.

Menurut Daniel, angka pengangguran tersebut berdasarkan data diketahui berasal dari pemutusan hubungan kerja (PHK) 103.000 anak buah kapal (ABK), 75.000 buruh pengolahan ikan, 400.000 pembudidaya kepiting dan rajungan, 50.000 pembudidaya ikan kerapu, 8.000 penangkap benih lobster, dan 1.000 orang pembudidaya lobster.

Tidak hanya itu, Daniel memaparkan, akibat tidak keluarnya surat izin operasi untuk kapal-kapal yang akan berlayar, negara harus rela kehilangan pemasukan kasnya yang jumlahnya sangat besar. Hal itu, karena ada 2.200 kapal yang tidak bisa beroperasi.

“Walaupun, kapal-kapal tersebut memiliki SIPI dan SIKPI dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Negara kehilangan devisa hingga USD 772 juta,” tandas dia.

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Karena 2.200 kapal tak beroperasi, Daniel menambahkan, pasokan ikan ke utara Pulau Jawa dan Bitung terpaksa harus dihentikan. Kondisi tersebut sangat merugikan nelayan dan pelaku usaha, karena biasanya ada ikan tuna, udang, dan cakalang yang dikirim ke dua kawasan tersebut.

Kerjasama Kementerian

Tidak hanya Daniel Johan, kritikan juga datang dari Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo yang mempertanyakan bagaimana alokasi dana untuk kelanjutan pembangunan pelabuhan di Indonesia. Menurut dia, alokasi dana sangat penting untuk diperjelas karena masyarakat banyak yang mempertanyakannya.

“Itu bagaimana sebenarnya. Harus diperjelas. Soalnya DAK (dana alokasi khusus) untuk KKP kan hanya Rp2 triliun. Sementara, ada DAK lain yang nilainya Rp2,7 triliun. Tolong dijelaskan,” ungkap dia merinci.

Pertanyaan Edhy Prabowo tersebut kemudian langsung dijawab oleh Susi Pudjiastuti. Menurut dia, pembangunan pelabuhan akan tetap berjalan seperti rencana awal. Namun, untuk anggaran itu akan diambil dari DAK Rp2,7 triliun yang posnya disimpan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Pengalihan pos tersebut, menurut Susi sesuai dengan perintah dari Presiden Joko Widodo yang menginginkan program kerja yang ada dilaksanakan efisien dan tepat sasaran.”Makanya kita kerja samakan dengan kementrian lain. Untuk pembangunan pelabuhan pun makanya akan dilaksanakan oleh PU,” tutur dia.

Sementara terkait dengan kritikan Daniel Johan yang dialamatkan padanya, Susi Pudjiastuti tidak berkomentar banyak. Menurutnya, setiap kebijakan yang dibuat itu sudah mempertimbangkan berbagai hal yang ada. Namun, memang selalu ada resiko yang timbul dari setiap kebijakan yang diambil.

“Contohnya tentang kebijakan anggaran. Kenapa anggaran hingga saat ini masih 3 persen saja yang terserap? Jawabannya, bukan karena masih sangat sedikit program yang dilaksanakan, tapi kita memakai mekanisme e-katalog,” ucap Susi.

Yang dimaksud e-katalog, dia menjelaskan, adalah pelaksanaan program diilaksanakan dengan mekaninsme pembayaran yang langsung atau menunggu program selesai dilaksanakan.”Jadi, kita sudah tidak lagi menggunakan pembayaran per termin. Sekarang nunggu program selesai dulu baru dibayar penuh,” tandas dia.

Dengan penjelassan tersebut, Susi memberi penegasan bahwa pihaknya akan terus bergerak dinamis untui melaksanakn program. Dia juga berjanji akan terus bersinergi dengan pihak lain, termasuk DPR RI dan stakeholder lainnya.

“Saya juga ingin agar pembangunan di sektor kelautan dan perikanan ini bisa memberikan dampak positif dan dirasakan manfaatnya oleh semua pihak,” pungkas Susi mengakhiri.

Ekspor perikanan tuna Indonesia triwulan 1 tahun 2015. Sumber : BPS

Ekspor perikanan tuna Indonesia triwulan 1 tahun 2015. Sumber : BPS

Sementara data dari Badan Pusat Statistk (BPS) menyebutkan volume ekspor komoditas ikan dan produk perikaan tuna Indonesia pada triwulan 1 tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 11,27persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014.

 


Sejauh Mana Kebijakan Susi Pudjiastuti Sudah Berjalan? was first posted on September 21, 2015 at 6:21 am.

Tata Niaga Garam Nasional Dikuasai 7 Importir?

$
0
0

Kacaunya tata niaga garam nasional sejak lama hingga sekarang, diduga kuat karena ada keterlibatan tujuh importir garam yang ada di Indonesia. Importir-importir tersebut melaksanakan kartel perdagangan garam dengan rapi dan menekan petani garam hingga titik terendah.

Dugaan tersebut diungkapkan langsung oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli saat memimpin rapat koordinasi tata niaga garam bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Menteri Perindustrian Saleh Husin di Kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, di Jakarta, Selasa (21/9/2015).

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti, Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Menteri Perindustrian Saleh Husen dalam rapat koordinasi bidang kemaritiman yang membahas mengenai tata niaga garam di Kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, di Jakarta, Selasa (21/9/2015). Foto : M Ambari/Mongabay

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti, Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Menteri Perindustrian Saleh Husen dalam rapat koordinasi bidang kemaritiman yang membahas mengenai tata niaga garam di Kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, di Jakarta, Selasa (21/9/2015). Foto : M Ambari/Mongabay

Rizal Ramli bahkan tak segan menyebut ketujuh importir nakal tersebut sebagai tujuh begal yang menguasai perdagangan garam nasional.”Mereka diduga melakukan kartel yang sangat berbahaya. Kartel itu menghancurkan industri dan petani garam dalam negeri,” ucapnya.

Menurut Rizal, cara yang dilakukan tujuh importir tersebut dalam melaksanakan kartelnya, adalah dengan melipatgandakan kuota impor garam ketika panen garam tiba. Cara tersebut sangat jahat karena bisa menghancurkan petani garam seketika.

“Jika itu terjadi, maka harga akan dinaikkan saat garam sedang diproduksi. Begitu juga, jika garam akan panen, harga akan seketika jatuh dan itu membuat petani garam terpuruk. Itulah jahatnya kartel,” tutur Rizal.

“Para importir itu membuat kartel predator. Perilaku predatori, mereka kejam sekali. Saya menyebutnya juga sebagai tujuh samurai alias tujuh begal,” tambah dia.

Dari praktik kartel yang dilakukan tujuh importir pengusaha tersebut, Rizal membuka rahasia, ada keuntungan hingga triliunan rupiah yang sudah dinikmati para pengusaha tersebut. Dia mencontohkan, untuk kartel garam impor saja, ada keuntungan sebesar Rp2,25 triliun yang dihitung dari selisih impor dan penjualan dikalikan dengan total impor garam sebesar 2,25 juta ton.

“Ini tidak boleh dibiarkan terus. Karena masyarakat dan khususnya petani garam yang akan menjadi korbannya. Pemerintah akan mengevaluasi sistem perdagangan garam yang selama ini masih menggunakan sistem kuota,” tandas dia.

Tim Monitoring

Sementara, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berpendapat, praktik kartel yang sudah lama berlangsung hingga sekarang, sebaiknya memang segera dihentikan. Karena, tidak hanya bisa menyelamatkan nasib petani garam dan industri garam nasional, penghentian kartel juga akan menumbuhkan sikap positif di kalangan pengusaha garam.

Upaya yang bisa dilakukan untuk menghentikan kartel garam tersebut, menurut Susi, salah satunya bisa dimulai melalui tim Monitoring khusus garam. Dengan adanya tim, maka tata niaga garam nasional bisa ikut diperbaiki.

“Kami akan kerja sama di tim monitor swasembada garam. Karena, memang kebocoran garam nasional saat ini sudah masuk dalam fase darurat alias harus segera ditolong,” ungkap Susi.

Susi sendiri berharap masalah yang terjadi dalam tata niaga garam nasional bisa segera dituntaskan. Karena, dia merasa untuk tata niaga garam dirinya tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan impor. Padahal, jika impor tetap dilakukan, maka nasib petani garam akan semakin terpuruk.

“Kita ingin industri tidak melakukan praktik yang tidak sesuai peruntukannya. Sistem oligopoli yang memonopoli itu double crime,” jelas Susi.

Dari Kuota ke Tarif

Untuk mencegah terulang praktik kartel garam, empat meteri yang hadir sepakat untuk mengubah sistem impor garam yang awalnya menggunakan sistem kuota diubah menjadi sistem tarif. Menko Kemaritiman Rizal Ramli menegaskan, perubahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki sistem impor yang dinilainya amburadul saat ini.

“Jika diterapkan sistem tarif untuk impor garam, maka perusahaan importir tidak berani lagi main-main. Dengan sistem ini siapapun bisa menjadi importir asalkan bayar tarif. Tapi Pemerintah juga akan menentukan tarif dengan tetap melindungi petani garam,” papar Rizal.

Untuk besaran tarif sendiri, Rizal mengusulkan kepada Kementerian Perdagangan sebesar Rp150-200 per kilogram. Menurutnya, besaran tarif tersebut sudah cukup untuk melindungi petani garam lokal.

“Besarannya memang saya hitung sudah cukup untuk melindungi petani. Dengan demikian petani akan mendapatkan pendapatan yang stabil dan tinggi. Ini bagus jika dibandingkan dengan cara memberi subsidi kepada nelayan,” tutur dia.

Namun, Rizal mengungkapkan, walau dia mengusulkan, besaran tarif untuk impor garam sepenuhnya tetap dikendalikan oleh Kemendag.

Dikonfirmasi langsung terkait besaran tarif impor garam, Menteri Perdagangan Tomhas Lembong mengaku masih belum memiliki detil besaran tarif yang akan diberlakukan. Menurutnya, penentuan besaran tarif akan dibicarakan lebih dulu di internal Kemendag.

“Nanti saja ya setelah kami membahasnya. Nanti akan dikabari melalui preskon (konferensi pers). Sekarang belum bisa mengatakan apa-apa,” tegasnya.

“Tapi kami dari Kementerian Perdagangan berkomitmen untuk merombak tata niaga, supaya industri tata niaganya menjadi sehat. Bebas dari praktisi oligopoly,” tambahnya


Tata Niaga Garam Nasional Dikuasai 7 Importir? was first posted on September 22, 2015 at 2:44 am.

Selama 2015, Sekitar 1000 Hektar Hutan Di Jabar Terbakar

$
0
0

Kemarau berkepanjangan yang melanda berbagai kawasan di Indonesia, memicu munculnya permasalahan seperti terjadinya kebakaran hutan.  Dampak luas pun dirasakan  masyarakat seperti cuaca ekstrim, kekeringan hingga krisis air bersih.

Untuk wilayah Jawa Barat, Kepala Bidang Konservasi Dinas Kehutanan Jawa Barat, Budi Juanda, yang ditemui di Bandung, Jumat (18/09/2015),  mengatakan kebakaran telah terjadi pada areal hutan dengan luas lebih dari 1000 hektare pada kurun Juli hingga September 2015. Meski laporan secara resmi belum ada tapi secara tentatif sudah diketahui per tertanggal 17 september lalu.

Budi mengatakan peran pemerintah hanya melakukan pencegahan melaui administrasi serta memonitoring sedangkan tugas pokok ada di pihak pengelola adalah salah satunya fungsi perlindungan hutan.

 Kebakaran hutan terjadi di wilayah Tegal Alun, Gunung Papandayan, Jawa Barat, pada ketinggiann 2500 mdpl. Sedikitnya 326 hektare hutan di kawasan Gunung Papandayan habis terbakar. Foto : Engkus Kusnadi


Kebakaran hutan terjadi di wilayah Tegal Alun, Gunung Papandayan, Jawa Barat, pada ketinggiann 2500 mdpl. Sedikitnya 326 hektare hutan di kawasan Gunung Papandayan habis terbakar. Foto : Engkus Kusnadi

Ada beberapa lembaga yang mengelola kawasan hutan di Jabar, sesuai dengan jenis peruntukan hutannya. Untuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung dikelola oleh Perum Perhutani, kawasan konservasi seperti cagar alam,suaka marga satwa dan taman wisata alam dikelola oleh Balai Besar KSDA, sedangkan konservasi dan pelestarian dikelola oleh balai taman nasional. Keseluruhan kegiatan pengelolaan ada di bawah pengawasan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Ada 12 lokasi pokok terjadinya kebakaran di Jawa Barat kebanyakan di hutan konservasi, hutan rakyat, ada juga di taman hutan raya  (tahura) Gunung Kunci Sumedang, cagar alam serta hutan produksi juga terkena cuma sedikit, itu informasi yang baru sampai ke kita saat ini” tutur Budi.

Ia melanjutkan kawasan cagar alam yang terbakar ada di Gunung Guntur, Papandayan, Burangrang,  Suka Wayana Sukabumi dan Bojong Larang Jayanti Cianjur. Kasus kebakaran di cagar alam tersebut berada dekat puncak berketinggian 2000 meter diatas permukaan laut (mdpl).

Budi memprediksi penyebab utama kebakaran adalah faktor alamiah yaitu kekeringan dan cuaca ekstrim, bukan karena kelalaian manusia.

“ Pemicunya bisa terjadi mungkin karena adanya geseken secara alami dari adanya bahan bakar seperti semak belukar kemudian ketersedian oksigen memadai dan timbulnya api, itu segitiga pemicu kebakaran. Yang belum diketahui pemicu muculnya api berupa bara atau apa,” ucapnya.

Kebakaran yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat, yang telah terjadi selama sepekan ini. Api sulit dipadamkan karena titik api muncul di ketinggian 2000 mdpl yang menyulitkan upaya pemadaman, selain kurangnya petugas dan air untuk memadamkan. Foto : TNGC

Kebakaran yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat, yang telah terjadi selama sepekan ini. Api sulit dipadamkan karena titik api muncul di ketinggian 2000 mdpl yang menyulitkan upaya pemadaman, selain kurangnya petugas dan air untuk memadamkan. Foto : TNGC

Ia menuturkan konsentrasi pihak pengelola sendiri masih terarah pada pemadaman api, dan belum bisa menghitung luasan yang terbakar dan penyebab kebakaran. Sampai Kamis (17/09/2017), terus dilakukan pemadaman dan pencegahan meluasnya kebakaran.

Ia menjelaskan masih ada bara api di lokasi kebakaran, yang hanya bisa dipadamkan dengan air. Namun, sulit membawa air ke lokasi kebakaran dengan ketinggian tersebut, sehingga pihaknya tidak dapat memastikan semua titik api bakal padam sebelum musim hujan tiba.

Setiap Tahun Terbakar

Dari data yang dihimpun Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat tercatat ada 866.322 hektare luas hutan yang terbakar di 10 kawasan konservasi sepanjang tahun 2015. Dan luasan masih bisa bertambah karena data masih bersifat tentatif.

Kepala Seksi Perlindungan dan Pengawasan Balai Besar KSDA Jawa Barat, Fikri M. Siroja mengatakan pihaknya belum bisa menargetkan api padam dengan kurun waktu ditentukan. ” Kondisi dilapangan dan  faktor cuaca juga mempengaruhi tim pemadam yang bertugas memadamkan api. Namun, target kita ingin cepat selesai dan kemudian langkah selanjutnya pasca kebakaran bisa dilakukan,” ucapnya.

Hampir setiap tahun terjadi kebakaran di 10 kawasan konservasi di Jabar yaitu Suaka Margasatwa Cikepuh, Gunung Pancar, Cagar Alam Kamojang, Taman Wisata Alam Papandayan, Bojong Larang Jayanti, Cagar Alam Burangrang, Cagar Alam Suaka Wayana dan Taman Wisata Alam Guntur.

Sedangkan untuk tahun 2014, data BBKSDA Jabar menyebutkan telah terjadi kebakaran di kawasan konservasi seluas 303.57 hektare, dengan langganan kebakaran di SM Cikepuh dan Wisata Taman Alam Guntur, Garut.

Sedangkan dalam 5 tahun terakhir,  luas kebakaran hutan pada 2015 dua kali lipat dari 2014. Pada 2014, kebakaran terparah terjadi di Cagar Alam Kamojang, Garut seluas 200 hektar.

Sedangkan Koordinator Kebakaran Api Kawasan Konservasi dan Hutan, BBKSDA Jabar, Didik Sujianto memprediksi penyebab kebakaran karena aktivitas manusia, bukan karena faktor alam.

“Dugaan sementara pemicu kebakaran di Jawa yang disebabkan karena faktor alam, bisa jadi petir atau gunung meletus. Tetapi kan tidak terjadi petir ataupun gunung meletus. Kecuali di luar Jawa karena banyak lahan gambut, dimana jika cuaca sangat tinggi bisa memicu awal terjadinya kebakaran,” katanya.

Dia melihat adanya pola kecenderungan kawasan hutan yang sering terbakar, merupakan daerah dengan aktivitas masyarakat, seperti di sepanjang pantai Cekepuh Sukabumi, yang sering menjadi tempat pemancingan.

Di tempat tersebut, pengunjung ada yang merokok secara dan membuang puntungnya sembarangan, yang bisa menyebabkan kebakaran.

BBKSDA Jabar sendiri membagi tim penanganan menjadi dua yaitu tim pemadaman kebakaran dan tim evaluasi kebakaran dengan output data dan peta kebakaran.

‘Selanjutnya kita akan ajukan pemulihan ekosistem ke pemerintah pusat (KLHK). Kemungkinan musim hujan tahun depan sudah mulai pemulihan kembali ekosistem kembali” kata Didik.

Sejauh ini, BBKSDA Jabar menyatakan belum ada hewan dilindungi yang menadi korban kebakaran di kawasan konservasi. Ada beberapa spesies yang hidup di kawasan konservasi dan dilindungi di wilayah Jabar yaitu macan tutul, macan dahan, macan kumbang, owa jawa, elang jawa, elang ular bido, dan surili.


Selama 2015, Sekitar 1000 Hektar Hutan Di Jabar Terbakar was first posted on September 22, 2015 at 7:36 am.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live