Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live

Pulau Terdepan Harus Jadi yang Terdepan dalam Kemajuan

$
0
0

Kesenjangan pembangunan yang terjadi di pulau-pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga diharapkan tidak akan terjadi lagi dalam beberapa tahun mendatang. Komitmen itu dikumandangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memulai langkah tersebut pada tahun ini.

Komitmen untuk membangun pulau terdepan disadari karena bahwa pulau terdepan adalah barisan terdepan Indonesia dengan negara lain seperti Filipina, Australia, Malaysia, India, Thailand.

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja di Jakarta, akhir pekan ini mengatakan persoalan klasik yang hingga saat ini belum terpecahkan, adalah masih banyaknya pulau terdepan yang kondisinya mengenaskan.

“Tapi mulai tahun ini semoga pulau-pulau tersebut bisa lebih baik kondisinya. Karena, Presiden (Joko Widodo) juga punya program yang sama ingin memajukan sektor kemaritiman. Pulau terdepan adalah bagian di dalamnya yang tidak bisa dilepaskan,” ungkap Sjarief.

Melalui program pemberdayaan yang digalakkan saat ini, dia berharap pulau-pulau tersebut bisa keluar dari jerat keterbatasan dan berkembang menjadi pulau terdepan dengan keunggulan fasilitas fisik dan yang lainnya.

“Ini penting, karena pulau terdepan bisa menjadi gambaran singkat bagi orang asing tentang Indonesia. Jangan sampai gambaran itu menjadi tidak baik nantinya,” tutur dia.

Lima Komponen

Untuk membawa pulau-pulau terdepan yang ada menjadi lebih baik, KKP memiliki lima komponen yang mulai dilaksanakan pada tahun ini, yang diharapkan bisa menjadikan pulau-pulau terdepan sebagai sentra bisnis perikanan, yaitu :

  1. Penataan kawasan untuk lokasi pangembangan sentra bisnis perikanan rakyat di pulau-pulau kecil dalam bentuk penyusunan masterplan dan businessplan;
  2. Korporatisasi usaha perikanan rakyat;
  3. Bantuan alat produksi di bidang perikanan tangkap, perikanan budi daya, budi daya rumput laut dan pemasaran;
  4. Menyiapkan bantuan permodalan usaha perikanan rakyat melalui Badan Layanan Umum (BLU) dan investor mitra koperasi; dan
  5. Bantuan penyediaan infrastruktur dasar berupa dermaga/jetty, air bersih, listrik, dan air strip.

Dalam pelaksanaannya, KKP menjanjikan ada kerja sama dengan instansi atau kementerian lain. Terutama, untuk melaksanakan komponen kelima yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur.

“Terkait hal ini, KKP akan bersinergi dengan kementrian terkait seperti Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,” tandas Sjarief.

“Mengenai komponen yang pertama, KKP akan berfokus pada rencana tata ruang laut dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga, tidak terjadi tumpang tindih pengelolaa yang bisa berdampak pada kerusakan lingkungan,” tambahnya.

Rp100 Miliar untuk Setiap Pulau

Sementara itu agar program pengembangan bisa berjalan baik, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan sengaja menggelontorkan dana Rp100 miliar untuk setiap pulau terdepan.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP Sudirman Saad menjelaskan, untuk tahun ini anggaran Rp100 miliar akan dikucurkan untuk 5 (pulau) terdepan, yaitu Simeleu, Natuna, Sangihe, Merauke, dan Saumlaki.

Sementara, untuk tahun 2016, anggaran serupa akan dikucurkan untuk pulau lainnya seperti Talaud, Morotai, Biak, Kisar, Timika, dan Tual.

Secara keseluruhan, KKP berharap bisa mengembangkan 31 pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dalam waktu beberapa tahun mendatang. Karenanya, saat ini yang sedang dilakukan adalah bagaimana bisa berjalan sinergi antara rencana KKP dengan instansi lain ataupun pihak swasta.

“Jika tidak dibangun dari sekarang, pulau pulau terdepan itu terancam akan terus mengalami kerusakan. Padahal, jika pulau-pulau tersebut rusak, maka potensi untuk tenggelam sangat besar. Jika itu terjadi, perbatasan Indonesia akan mengalami pergeseran,” ungkap Sjarief.

Saat ini, pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan negara tetangganya jumlahnya ada 92. Namun, KKP mencatat, hanya 31 pulau saja yang berpenghuni dan sisanya merupakan pulau kosong. Karena itu, 31 pulau tersebut harus bisa dijaga dengan baik untuk kedaulatan negara Indonesia.

Asing Tak Bisa Miliki Pulau

Terkait dengan pengelolaan sejumlah pulau di Indonesia oleh investor asing, KKP menyebutkan bahwa itu sifatnya hanya Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan atau Hak Pakai. Kalaupun ada pulau yang dimiliki secara penuh oleh investor asing, itu adalah bagian dari kesepakatan yang dilakukan sebelum KKP resmi berdiri sebagai instansi.

“Jika itu ada, maka kita akan berusaha untuk menertibkannya. Karena, pulau-pulau itu harusnya tidak boleh dimiliki. Kita tidak mau ada penduduk pulau yang harus keluar karena wilayahnya dikembangkan oleh investor asing, misalnya,” jelas Sjarief.

Seperti diketahui, sebelumnya Koalisi untuk Keadilan Rakyat Perikanan (KIARA) menyebut ada pembangunan yang salah menyangkut pengembangan pulau-pulau di Indonesia. Salah satunya, adalah pengembangan sebuah pulau di Nusa Tenggara Barat yang dikelola oleh investor asing dari Singapura.

“Memang ada pulau yang dikelola asing Diana. Warganya bahkan harus keluar pulau karena investor tersebut melaksanakan pembangunan. Itu sangat disayangkan bisa terjadi seperti itu,” sebut Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim.


Pulau Terdepan Harus Jadi yang Terdepan dalam Kemajuan was first posted on August 24, 2015 at 5:58 am.

Belajar Konservasi Dari Masyarakat Adat Se-Asia. Seperti Apa Itu?

$
0
0

Masyarakat adat Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan dikenal karena konsistensinya untuk mempertahankan tradisi leluhur. Mereka menolak modernitas, tanpa listrik, jalan beraspal dan kemewahan lainnya. Mereka mempertahankan kawasan hutan mereka seluas 374 hektar tetap alami tak tersentuh. Tabu dimasuki kecuali untuk kebutuhan ritual utama mereka.

Kawasan Ammatoa Kajang hanyalah satu dari sekian kawasan hutan yang tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat lokal, yang disebut wilayah dan perbatasan komunitas terkonservasi milik masyarakat adat (Indigeneous People’s Community Conserved Area and Territories/ICCA). Sejak 2011, sebuah kelompok kerja ICCA yang disebut Working Group ICCAs Indonesia (WGII) terbentuk di Indonesia, beranggotakan beberapa lembaga antara lain PUSAKA, JKPP, NTFP-EP, AMAN, WWF Indonesia, HuMa, WALHI, BRWA, KIARA dan Sawit Watch.

Masyarakat adat Ammatoa Kajang, Sulawesi Selatan, hidup selaras dengan hutan. Hutan keramat yang disebut borong karrasa tak bisa diakses secara luas oleh masyarakat, hanya dimasuki untuk kepentingan ritual tertentu. Foto : Wahyu Chandra

Masyarakat adat Ammatoa Kajang, Sulawesi Selatan, hidup selaras dengan hutan. Hutan keramat yang disebut borong karrasa tak bisa diakses secara luas oleh masyarakat, hanya dimasuki untuk kepentingan ritual tertentu. Foto : Wahyu Chandra

ICCA sendiri sebenarnya merupakan sebuah inisiatif global di 26 negara. Di tingkat Asia Tenggara, selain Indonesia sejumlah negara juga sedang mendorong pendokumentasian ICCA, seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, Timor Leste, plus Taiwan.

Kenapa masyarakat adat perlu didorong untuk konservasi kawasan?

Menurut Taghi Farvar, Presiden ICCA, masyarakat adat kini sedang terusir dari tanahnya sendiri, padahal mereka sebenarnya memiliki peran yang besar untuk menjaga kelestarian kawasan dan keanekaragaman hayati.

“Dengan mempertahankan masyarakat adat di wilayahnya, maka mereka akan mempertahankan alam dan menjaga keanekaragaman hayati,” ungkapnya pada Workshop Berbagi Pengetahuan dan Peningkatan Kapasitas ICCA tingkat Regional, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Selasa (18/08/2015).

Di Indonesia, menurut Taghi, hingga saat ini, setelah 70 tahun merdeka, tetap saja ada masyarakat adat banyak yang kehilangan tanah mereka. “Dari 1.128 komunitas adat yang ada, sebagian besar belum memperoleh hak-haknya komunal mereka.”

Masyarakat gelar ritual adat, mensyukuri anugerah Tuhan, akan alam. Masyarakat pun wajib untuk menjaga alam hingga tidak rusak. Foto: Formada NTT

Masyarakat gelar ritual adat, mensyukuri anugerah Tuhan, akan alam. Masyarakat pun wajib untuk menjaga alam hingga tidak rusak. Foto: Formada NTT

Kondisi yang sama juga terjadi di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari hasil presentasi yang disampaikan oleh perwakilan Negara seperti di Filipina, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Taiwan, hampir semuanya membahas bagaimana semakin tergusurnya masyarakat adat dari wilayahnya, baik oleh negara ataupun perusahaan-perusahaan. Padahal masyarakat adat mampu menjadi penjaga  keanekaragaman hayati di hutan di wilayah mereka tinggal.

Seperti yang terjadi di Filipina, mereka  kehilangan tanah karena kepentingan pribadi dan industri ekstraktif karena belum bisa menghadapi pihak swasta atau perusahaan asing yang terkadang didukung oleh pemerintah pusat.

“ICCA adalah pilihan yang paling layak untuk konservasi alam, keberlanjutan mata pencaharian, pemerataan manfaat sosial ekonomi dan pelestarian nilai-nilai budaya dan identitas lokal di Filipina,” ujar Masli Quilaman, Director IV National Commision on Indigeneous People Philipines.

Menurutnya, kebijakan pasar yang didorong pemerintah melalui industri ekstraktif skala besar merusak integritas ICCA.

Contoh lain, kisah keberhasilan masyarakat adat dalam hal konservasi disampaikan oleh Temenggung Grip dari Suku Rimba, yang tinggal di hutan Taman Bukit Dua Belas, Jambi. “Suku Rimba sangat bergantung dengan alam, terutama hutan,” katanya.

Suku Rimba menjaga hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal dengan   beberapa peraturan yang harus ditaati masyarakatnya dan pendatang di hutan Bukit Dua Belas. Pelanggaran seperti penebangan pohon keramat, dihukum denda dengan kain adat. “Larangan dan denda ini dibuat semata-mata untuk menjaga ekosistem kita,” katanya.

Sutej Hugu, peserta dari Taiwan memaparkan bahwa di Taiwan ada peraturan tertentu untuk konservasi alam, seperti aturan larangan konsumsi jenis ikan tertentu. “Hal ini  diberlakukan untuk menjaga ekosistem laut menjadi terjaga, karena tidak semua ikan yang kami miliki di laut dikonsumsi,” kata Sutej.

Catharina Dwihastarini, Koordinator Nasional Global Environment Facility Small Grant Programme (GEF SGP) di Indonesia, menjelaskan bahwa tujuan inisiatif ICCA ini adalah meningkatkan kapasitas tentang ICCA di Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, untuk mendorong refleksi kolektif dan berbagi tentang isu-isu kunci, peluang dan ancaman atau masalah untuk pengakuan ICCA dan dukungan dalam kebijakan dan praktek.

“Tujuan utamanya adalah mendorong pengakuan dan dukungan pada ICCA dan promosi efektivitas mereka melalui peningkatan kapasitas, setidaknya terdapat 26 negara percontohan. Di Asia Tenggara, daerah percontohan termasuk Indonesia, Filipina, Malaysia dan Vietnam,” ungkap Catharina.

Memasukkan padi ke Leuit si Jimat, lumbung padi keramat masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam upacara Seren Taun.  Foto: Ridzki R. Sigit

Memasukkan padi ke Leuit si Jimat, lumbung padi keramat masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam upacara Seren Taun. Foto: Ridzki R. Sigit

ICCA semakin diakui sebagai cara masyarakat adat dan masyarakat lokal, dalam mengamankan hak kolektif dan tanggung jawab ke lahan mereka, air dan sumber daya alam dan menumbuhkan kecintaan terhadap pengetahuan tradisional

“Di tempat terjadi eksploitasi besar-besaran pada sumber daya alam dan konservasi, Masyarakat adat banyak yang melakukan peningkatan kerjasama dengan pemerintah untuk pengembangan sumber daya alam secara langsung. Hal yang menarik adalah pengetahuan adat, kearifan lokal lembaga dan keterlibatan antara mitra-mitra. ICCA adalah kesempatan dalam konservasi agar lebih adil dan efektif,” katanya.

ICCA sendiri pertama yang diadakan di Indonesia adalah di Bogor bulan Oktober 2011, melalui pendokumentasian ICCA di sejumlah daerah, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Lombok, Kepulauan Maluku dan Papua.

Kasmita Widodo, Koordinator WGII, yang juga koordinator Badan Registrasi Wilayah (BRWA) menyatakan bahwa dokumentasi ICCA ini adalah langkah pertama menuju pendaftaran penuh dari tanah adat di Indonesia dan pengakuan dan integrasi dalam rencana tata ruang provinsi dan kabupaten.

Di Indonesia, terdapat sejumlah mitra-mitra GEF SGP Indonesia yang sudah melakukan kegiatan konservasi ICCA, antara lain Lembaga Pusat Penelitian dan Pembinaan Masyarakat Mandiri Bumigora (LP3MMM Bumigora), yang dari 2009 mereka membangun desa produktif di Dusun Kumbi, Desa Lebah Sempage melalui konservasi DAS Ahli dengan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

Upaya yang dilakukan Bumigora ini, menurut Catharina, karena melihat semakin padatnya penduduk di kawanan hutan di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) yang merupakan hutan lindung yang pemanfaatannya sangat terbatas karena peruntukannya diutamakan untuk saja lingkungan dan konservasi.

“Hal ini menyebabkan masyarakat masyarakat sangat tergantung pada kawasan hutan sebagai. Maka Bumigora mendorong masyarakat sekitar DAS Jangkok, yaitu Desa Pakuan dan Lembah Sempage, untuk mengelola tanaman yang produktif seperti bambu, ketak, lombos, coklat, kopi dan madu,” tambah Catharina.

Selain itu, ada juga Walhi NTB yang berhasil mendampingi komunitas di desa Aik Berik, Kecamatan Batu Kliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah NTB melalui pengelolaan hasil hutan bukan kayu untuk produk makanan olahan.

Murdani, aktivis Walhi NTB, menjelaskan bahwa hal yang mendorong pihaknya melakukan pendampingan masyarakat ini karena kondisi daerah Air Berik yang berada dalam ancaman erosi akibat faktor iklim, topografi , tanah, tanaman dan pengelolaan lahan yang buruk, serta adanya konversi hutan menjadi agroforestry sebesar 24% dari luas hutan alami, dalam kurun waktu 9 tahun terakhir.

Di Lombok Timur juga ada lembaga diakui memiliki kebijaksanaan dalam pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat lokal melalui Peraturan Daerah Nomor 9/2006 Lombok Timur dan No. 10/2006. Peraturan ini dikenal dengan naman awig-awig, adalah pendekatan adat dan partisipatif untuk pengelolaan sumber daya berkelanjutan.

Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), sebuah kelompok lokal nelayan di Teluk Jor, yang menciptakan awig-awig sebagai peraturan tradisional untuk perikanan berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya pesisir.

“Sebagai strategi co-manajemen perikanan, awig-awig masih membutuhkan dukungan pemerintah, kesadaran masyarakat dan kerjasama untuk tradisi laut kita menjadi layak dan untuk konservasi dan penghidupan yang berkelanjutan bagi nelayan lokal untuk berkembang,” ungkap Amin.

Inisiasi konsorsium ICCA ini resmi didirikan pada Kongres Konservasi Dunia ke-4 di Barcelona, Spanyol, pada Oktober 2008. Mereka menyepakati program yang lebih luas dengan memberikan dukungan awal dan stimulus yang mendekatkan pada tujuan ICCA secara umum.

“Inisiasi yang dihasilkan ICCA akan dipromosikan secara lokal, nasional, regional dan internasional,” tandas Catharina.

Kegiatan ini sendiri berlangsung selama enam hari, 17-22 Agustus 2015, di Hotel Lombok Raya, yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja ICCA Indonesia (WGII), UNDP GEF SGP, Konsorsium ICCA, dengan bantuan keuangan tambahan dari WWF Indonesia.

 


Belajar Konservasi Dari Masyarakat Adat Se-Asia. Seperti Apa Itu? was first posted on August 25, 2015 at 4:02 am.

Walhi Bali Protes Penerbitan Izin Penambangan Pasir Laut. Kenapa?

$
0
0

Walhi Bali mengirimkan surat protes tentang pemberian izin prinsip penambangan pasir laut oleh Bupati Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat. Walhi meyakini izin prinsip penambangan pasir ini untuk melengkapi Amdal rencana reklamasi di Teluk Benoa, Bali, seluas 700 hektar.

Surat protes terbuka pada Bupati Lotim tertanggal 14 Agustus ini ditembuskan ke KPK, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Gubernur NTB, dan tiga instansi terkait lainnya.

Izin prinsip tertanggal 31 Januari 2015 itu dinilai menyalahi aturan karena pemerintah kabupaten tak lagi punya hak menerbitkan izin terkait pemanfaatan kawasan laut dan kini beralih ke pemerintah provinsi sesuai UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

“Walhi memandang (penerbitan izin) melampaui kewenangannya karena sejak Oktober 2014 bupati tak punya kewenangan menerbitkan izin pemanfaatan kawasan laut, dari jarak 0-12 mil kewenangannya provinsi,” ujar Direktur Walhi Bali, Suriadi Darmoko pada media, minggu kemarin di Denpasar, Bali. Area pengerukan berlokasi di selat antara Lombok dan Sumbawa.

Direktur Walhi Bali, Suriadi Darmoko memperlihatkan surat pemberian izin prinsip penambangan pasir laut oleh Bupati Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat, yang diduga untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali.  Walhi memprotes izin tersebut karena menyalahi UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Foto : Luh De Suriyani

Direktur Walhi Bali, Suriadi Darmoko memperlihatkan surat pemberian izin prinsip penambangan pasir laut oleh Bupati Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat, yang diduga untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali. Walhi memprotes izin tersebut karena menyalahi UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Foto : Luh De Suriyani

Pasal 27 ayat 3 UU No.23/2014 menyebutkan kewenangan daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

Selain itu, Darmoko mengkritisi penerbitan surat izin prinsip Nomor: 473/ 503/PPT.I/2015  oleh  Bupati Lotim Moch. Ali Bin Dachlan ini tak mencantumkan landasan hukumnya, dan hanya berdasar surat permintaan pemohon. “Harusnya dicantumkan landasan hukumnya untuk memperjelas pertimbangan pemberian izin,” lanjut pria ini.

Selain itu, Walhi menyebut maksud dan tujuan penerbitan izin ini kabur, pada judul perihal izin prinsip, tapi dalam tubuh surat bupati menyatakan ini rekomendasi. “Ini izin prinsip atau rekomendasi? Kalau rekomendasi siapa yang minta? Biasanya atas permintaan atasan tapi Gubernur NTB kan menolak penambangan pasir ini,” papar Darmoko.

Kalau surat izin ini jadi landasan hukum untuk memproses Amdal, menurut Walhi prosesnya illegal. “Kami memandang cacat hukum dan minta bupati mencabut izin prinsip yang dikeluarkan. Mendesak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan proses kajian Amdal,” serunya.

Investor reklamasi di Teluk Benoa sudah mendapat izin lokasi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan. Saat ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengkaji Amdal. Hasil analisis akan menentukan apakan investor akan mendapat izin pelaksanaan reklamasi.

Walhi Bali juga menyebut penambangan pasir laut yang diperkirakan sebanyak 15 juta meter kubik untuk mereklamasi atau membentuk pulau-pulau baru di kawasan perairan Teluk Benoa ini akan menyebabkan bencana lingkungan hidup di Bali dan sekitarnya.

Surat pemberian izin prinsip penambangan pasir laut oleh Bupati Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat, yang diduga untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali.  Walhi Bali memprotes izin tersebut karena menyalahi UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Foto : Luh De Suriyani

Surat pemberian izin prinsip penambangan pasir laut oleh Bupati Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat, yang diduga untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali. Walhi Bali memprotes izin tersebut karena menyalahi UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Foto : Luh De Suriyani

Sementara, sampai berita ini diturunkan, Bupati Lotim belum berhasil dihubungi untuk dikonfirmasi mengenai penerbitan izin tersebut.

Dampak Reklamasi

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang sempat ditanya mengenai hasil kajian Amdal ini menyebut tak tahu karena Kementerian Lingkungan Hidup yang berwenang. Pada wartawan ia sempat mempersilakan membaca situs Mongabay untuk mengetahui pendapatnya mengenai reklamasi.

Saat ini ada dua proyek besar reklamasi yang terus memancing perdebatan. Selain di Teluk Benoa ada juga di Jakarta yang disebut Giant Sea Wall.

Menteri Susi bukan kali ini saja secara lugas mengatakan dalam konteks besar, reklamasi menimbulkan dampak besar dan penuh risiko, seperti diungkapkan dalam pidatonya pada  acara Gerakan Nasional Penyelamatan SDA Sektor Kelautan di Kuta, Bali, pada 4 Agustus lalu berikut ini :

Kita reklamasi pantai-pantai kita tanpa mempedulikan hazard ekosistem. Benar reklamasi untuk pembangunan sah saja tapi semua poin syarat keberlanjutan dan ekosistem yang mengelilingi pantai-pantai ini harus jadi tolak ukur utama. Jakarta boleh menambah ruang tapi kita perhitungkan bahwa tiap wilayah air yang direclaim harus diberikan ganti wilayah air baru nanti banjir. Air dikemanakan? Mau dipompa? Berapa lama kita akan pompa?

Perubahan poin karena reklamasi harus dikawal, diperhatikan. Reklamasi yang tak memperhitungkan hazard ekosistem akan berpengaruh luar biasa pada kota. Semua dibolehkan dengan catatan-catatan. Reklamasi mengubah peruntukkan ruang, lalu gantinya di mana?

Reklamasi tanpa pembangunan DAS sungai akan memperparah. Bisa-bisa Sukarno Hatta bisa tenggelam. Jika pemerintah mempersiapkan matang ke mana air disalurkan. Kadang reklamasi 1000 hektar, waduknya 100 hektar, lalu 900 lagi di kemanakan? Di sinilah sistem bisa mengawal dan jadi pilar penjaga agar developer tak cheating wilayah air, tak boleh ada korupsi sistem, manipulasi data. Kajian harus akuntabel, objektif bisa jadi pertanggungjawaban pejabat maupun pribadi kepada anak cucu.

Ia menambahkan ketika diwawancarai usai pembukaan acara :

“Reklamasi adalah salah satu kegiatan pembangunan membutuhkan lahan tak ada persoalan sejauh ekosisten environmental dijaga benar, Reklamasi akan mengambil wilayah air, berarti ada wilayah air alternative sebagai tendon air. Sama persoalan dengan Jakarta. Giant sea wall akan memperparah banjir. Pengaruh turunnya air dari hulu makin jauh, ternyata dalam hutan bakau sudah ada pengurugan hutan kecil ini membahayakan. Bali sudah kehilangan 7% wilayah bakaunya.

Ujungnya pemerintah daerah, kita pemerintah pusat memberi pandangan. Tetapi proses kajian dan pelaksanaan pembangunan harus mengindahkan ekosistem wilayah air kalau tidak menimbulkan banjir, perubahan suhu.

Penolakan masyarakat? Saya bukan ilmuwan. Ada tugasnya mengkaji yakni Departemen Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kita menunggu Amdalnya, Litbang kita juga melakukan penelitian. Tiap reklamasi menimbulkan konsekuensi wilayah air yang hilang. Kalau mau urug harus bikin 100 ton air. Harus ada daerah genangan.

Saraswati Dewi, salah seorang pegiat Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi di Teluk Benoa mengkritik salah seorang pejabat Kementrian Kelautan dan Perikanan yang pernah membuat FGD dengan investor yang terkesan menunjukkan sisi baik reklamasi. “Jika izin pelaksanaan diturunkan dari KKP, etiskah kementrian seolah menjadi juru bicara dari proyek reklamasi?” gugat perempuan Bali yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini.

Ia melihat ada ketidakkonsistenan sikap antara Menteri dan Dirjen KKP Sudirman Saad. Pernyataan Menteri Susi menurutnya mengisyaratkan reklamasi bukan soal mudah, sedapat mungkin ekosistem lah yang diutamakan. “Sebagai rakyat kita patut dan berhak bertanya mengenai kejanggalan ini,” katanya.


Walhi Bali Protes Penerbitan Izin Penambangan Pasir Laut. Kenapa? was first posted on August 26, 2015 at 12:26 am.

Lebih Dari Sepekan TN Gunung Ciremai Terbakar. Bagaimana Kondisinya?

$
0
0

Lebih dari sepekan, api menghanguskan sebagian kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat. Tim gabungan dari Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD),  Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) dan dinas terkait  bahu-membahu menjinakkan api. Kumpulan asap sisa – sisa kebakaran masih terlihat dari kejauhan.

“Kebakaran Gunung Ciremai bermula pada Jumat, (14/08/2015) sore. Kami belum mengetahui dengan jelas koordinat api muncul pertama kali. Namun, menurut informasi yang beredar api berasal dari jalur pendakian Sadarehe , Rajagaluh, Majalengka. Tetapi setelah dicek oleh tim kami, ternyata titik api muncul dari timur jalur Sadarehe jaraknya terhalang hampir tiga bukitan,” kata Kepala Seksi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Ady Sularso saat di temui di kantornya.

Petugas sedang memadamkan api yang membakar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat, yang telah terjadi selama sepekan ini. Foto : TNGC

Petugas sedang memadamkan api yang membakar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat, yang telah terjadi selama sepekan ini. Foto : TNGC

Ady menjelaskan hari Sabtu api mulai bergerak ke arah timur dipengaruhi oleh tiupan angin barat. Penyebabnya sampai saat masih belum bisa disimpulkan secara akurat.  Ia memaparkan, belum bisa menyimpulkan dengan pasti penyebab terjadinya kebakaran. Namun, menurut dugaan sementara disebabkan karena faktor kelalaian  pendaki atau pembakaran lahan, tetapi pihaknya  belum bisa memastikan secara tetap, mungkin juga karena faktor alam.

Dengan ketinggian 3078 mdpl, yang menjadikan gunung tertinggi di Jawa Barat, menjadikan pemadaman api di Gunung Ciremai sulit. Pasalnya, titik – titik api muncul di ketinggian diatas 2000 mdpl.

Menurut kepala pos Apuy, Iding, kondisi kebakaran hutan masih terjadi dan sekarang merambat hingga ke jalur pendakian. Ia melanjutkan api masih ada disekitaran 1000 meter dari kawah Ciremai. Api membakar sebagian ladang Edelwies. Setidaknya kawasan bunga sebelah timur lereng  kawah habis terbakar. Dari hasil pemantauanya, kemungkinan besar api akan meluas hingga jalur pendakian Apuy karena api sudah  merambat ke jalur pendakian Linggar jati.

Upaya pemadaman dilakukan dengan cara sederhana karena terkendala kondisi medan yang terjal dan lokasi api yang sulit dijangkau. Pihak TNGC sendiri  terus berkoordinasi dengan BPBD Kuningan dan Majalengka dan dibantu oleh relawan dan  warga sekitar.

Ady menjelaskan pihaknya terus melakukan koordinasi ke berbagai pihak untuk cepat tanggap mengatasi kebakaran ini.  “Ada tambahan bantuan dari pihak TNI, Polri dan Satpol PP yang terjun ke lapangan untuk membantu memadamkan api,” tambahnya.

Petugas kesulitan dalam memadamkan api sebab keterbatasan alat dan ketersediaan  air sangat terbatas di ketinggian. “Kami memadamkan api munggunakan tanah, tidak  ada sumber  air disana. Untuk menjangkaunya pun kami kesulitan karena api ada dijurang-jurang sehingga tidak  mudah  memadamkanya,” jelasnya

Kebakaran yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat, yang telah terjadi selama sepekan ini. Api sulit dipadamkan karena titik api muncul di ketinggian 2000 mdpl yang menyulitkan upaya pemadaman, selain kurangnya petugas dan air untuk memadamkan. Foto : TNGC

Kebakaran yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat, yang telah terjadi selama sepekan ini. Api sulit dipadamkan karena titik api muncul di ketinggian 2000 mdpl yang menyulitkan upaya pemadaman, selain kurangnya petugas dan air untuk memadamkan. Foto : TNGC

Selain itu, ranger Apuy pun dikerahkan untuk mengantipasi penyebaran api  tidak meluas. Dibantu warga sekitar pada Sabtu (22/08/2015)  malam berangkat ke puncak melalui rute Apuy. Ade Umara selaku Kuwu (kepala Desa) Argamukti mengaku mengerahkan 20 orang warga membantu petugas pos Apuy melakukan antisipasi penyebaran api sekaligus memantau kondisi di lapangan.

“Masih ada saja pendaki nakal yang menerobos pos dan memakasa muncak. Padahal semua jalur pendakian telah ditutup. kondisi di puncak pun sedang tidak aman dan dipenuhi asap sehingga berbahaya jika memaksa mendaki” ujarnya,

Kepala Bagian Logistik  BPBD Majalengka, Chaeirul Primadia mengatakan terus memantau perkembangan kebakaran di Gunung Ciremai. Pihaknya sudah mengirimkan bantuan logistik kepada petugas dan selalu berkoordinasi dengan pihak TNGC dan dinas untuk upaya pemadaman.

Api Sudah Padam

Menurut Ady, Senin (24/08) api sudah padam tetapi masih rawan terjadi kebakaran kembali. Saat dikonfirmasi ia menambahkan, kebakaran masih rentan terjadi, mengingat api sudah padam tetapi banyaknya dahan yang kering dan tiupan angin yang cukup kecang bisa jadi pemicu.Untuk antisipasi pihaknya dibantu oleh gabungan petugas akan menambah sekat bakar apabila kemungkinan terjadi kembali kebakaran.

Ia menambahkan, akan segera menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi hutan serta lahan yang terbakar akan dilakukan penanaman kembali ketika musim menanam tiba bulan November. Pihaknya juga akan berkejasama dengan BPLH bagaimana solusi akibat kebakaran ini agar cepat teratasi karena bibitnya pun harus khas dan cocok untuk di tanam kawasan Gunung Ciremai. TNGC sendiri memberikan apresiasi kepada masyarakat apabila ingin bekerjasama memulihkan kerusakan hutan akibat kebakaran.

Fauna Penghuni Ciremai

Ady menjelaskan dalam tiga hari kedepan, pihak TNGC akan melakukan penusuran penyebab kebakaran dan luas lahan yang habis terbakar. “Kami akan segera mengumpulkan informasi dari pengamatan di lapangan. Jika tidak terjadi kebakaran lagi dan situasi benar-benar aman. Semoga dalam tiga hari kedepan bisa diketahui dampak dan kerugian akibat kebakaran,” tuturnya.

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia

Menurut staf TNGC, Robi Gumilang, terdapat satwa yang dilindungi hidup di kawasan Gunung Ciremai diantaranya macan tutul (Panthera pardus). Ia menjekaskan, menurut data berdasarkan foto dan dokumentasi ada satu ekor macan tutul jantan. Namun, berdasarkan pengamatan dan survei pada tahun 2014 oleh Conservation International Indonesia di daerah Pasawahan, Majalengka, didapati indukan dan anak macan tutul.

Robi menuturkan, terdapat 3 ekor macan tutul yang hidup di kawasan Ciremai. Namun, secara resmi pihak  TNGC baru mempublikasikan satu ekor macan tutul  berdasarkan dokumentasi dan foto telegraf.

Ady menambahkan, mengenai keberadaan macan tutul ini masih terus dikaji secara mendalam. Menurut pengelola TNGC ada beberapa satwa yang hidup di ekosistem gunung Ciremai seperti rusa, lutung dan beberapa sepesies burung yang dilindungi. Saat dikonfirmasi pihak Mongabay, belum ditemuakan satwa yang mati akibat kebakaran hutan itu.


Lebih Dari Sepekan TN Gunung Ciremai Terbakar. Bagaimana Kondisinya? was first posted on August 27, 2015 at 12:00 am.

Warga Datangi BLH Buleleng Soal PLTA Celukan Bawang. Ada Apa?

$
0
0

Warga Celukan Bawang, Buleleng, Bali kembali keluhkan limbah padat dan limbah cair sisa proses PLTU Celukan Bawang, dengan mendatangi Kantor Badan Lingkungan Hidup Buleleng, Selasa (25/08/2015).

Sejumlah perwakilan warga dari 50 KK yang berada di lokasi kawasan PLTU Celukan, keluhkan limbah debu yang sudah masuk ke rumah-rumah mereka. Akibatnya berapa warga mulai mengalami sakit saluran pernafasan. Mereka menduga, akibat dari debu yang keluar dari pembangkit. Karena itu mereka meminta agar pemerintah dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup melakukan pemantauan dan tindakan terhadap dampak yang ditimbulkan pembangkit listrik yang mempergunakan batubara tersebut.

Rombongan Komisi II DPRD Buleleng melakukan sidak ke lokasi PLTU  saat melakukan sidak ke lokasi. Limbah pembuangan PLTU Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali pada Senin (10/08/2015). PLTU itu  menuai protes warga setempat, karena limbah cair dan debu menganggu kesehatan. Foto : Alit Kertaraharja.

Rombongan Komisi II DPRD Buleleng melakukan sidak ke lokasi PLTU saat melakukan sidak ke lokasi. Limbah pembuangan PLTU Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali pada Senin (10/08/2015). PLTU itu menuai protes warga setempat, karena limbah cair dan debu menganggu kesehatan. Foto : Alit Kertaraharja.

‘’Katanya dari Lingkunagn Hidup mengatakan tempat limbah sementara ini ataupun yang akan akan dibangun menyalahi amdal, tetapi kenapa masih tetap beroperasi,’’demikian ungkap Mangku Wijana yang saat itu didampingi warga lainnya, M Isa, Ibu Karimun dan Abdurachman,

Warga diterima langsung oleh Sekretaris Lingkungan Hidup Buleleng, Wayan Nadiarka dan Kasub Bid Penyuluhan Penegakan Hukum, Kt. Karmini Asti. Karmini mengatakan, pihaknya belum bisa memperikan keputusan apapun karena Kepala Badan Lingkungan HIdup Buleleng,  Nyoman Suryatemaja, tidak berada di kantor.

‘’Kami akan segera melakukan koordinasi dan pengecekan ke lapangan. Selanjutnya kami akan melporkan ke Kepala Badan supaya penangannay jelas dan terarah. Kalau dampaknya pada kesehatan kami akan melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan, atau menyangkut maslaah lainnya kami akan melakukan kooridnasi dengan instansi sesuai dengan tugas dan fungsinya,” kata Karmini.

Putu Singyen, Humas PT General Energy Bali, operator PLTU Celukan Bawang ketika dijumpai, mengatakan, PLTU Celukan Bawang mempergunakan tekhnology, dengan proses pembakaran 4500 – 5000 kilo kalori, jauh dari kebocoran limbah debu.

Tetapi mereka akan melakukan koordinasi dengan pihak perusahaan. ‘’kami siap melakukan apapun, termasuk memberikan konpensasi atau external cost kepada warga masyarakat bila terjadi masalah lingkungan,’’katanya.

PLTU Celukan Bawang merupakan pembangkit listrik berkapasitas 380 MW dengan nilai investasi hampir mencapai Rp8 trilliun dan resmi merampungkan proyeknya Selasa (11/08/2015) lalu. Masalah limbah ini pernah juga dikeluhkan Komisi II DPRD Buleleng, Mangku Budiasa, karena menyalahi Amdal.

Tapi kondisi tersebut dibantah pihak PLTU Celukan Bawang, katanya kolam debu sisa pembuangan produksi tidak berdampak, karena sudah ditangani pihak ketiga yang khusus menangani pembuangan debu cair.


Warga Datangi BLH Buleleng Soal PLTA Celukan Bawang. Ada Apa? was first posted on August 28, 2015 at 3:24 am.

Perda Memperkuat Identitas Budaya Masyarakat Adat Enrekang

$
0
0

Upaya Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, untuk mempercepat pengesahan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat terus intens dilakukan.

Setelah menyelenggarakan lokakarya percepatan Perda pada akhir Juli 2015, Pansus DPRD segera melakukan kunjungan konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri pada 5 Agustus 2015 lalu.

“Pansus gerak cepat segera ke Jakarta melakukan konsultasi dengan Dirjen Perundang-undangan Kemendagri. Seluruh anggota Pansus turut serta bersama instansi terkait dan perwakilan dari masyarakat adat,” ungkap Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Enrekang, Paundanan Embong Bulan, di Enrekang, yang ditemui pertengahan Agustus.

Sebanyak 14 anggota Pansus Perda Masyarakat Adat memang ikut serta dalam kegiatan ini, termasuk juga Kepala Dinas Pendidikan, Kabag Kebudayaan, dan perwakilan masyarakat adat yang di wakili oleh Ketua AMAN Enrekang.

Menurut Paundanan, hal positif yang diperoleh dari kunjungan ini adalah adanya kepastian tentang proses pembuatan Perda yang mereka lakukan, bahwa mereka tetap berada koridor yang telah digariskan oleh pemerintah terkait penyusunan kebijakan di tingkat daerah.

“Pada dasarnya dari konsultasi ini kami mendapatkan petunjuk agar apa yang kami lakukan tidak bertentangan dengan perundang-udangan yang lebih tinggi. Dari draf yang kami telah buat hasilnya telah sejalan dengan yang dipersyaratkan, meski kita tetap diminta untuk tetap konsultasi dengan instansi-instansi yang terkait,” ungkap Paundanan.

Tidak hanya di Kemendagri, Pansus dan rombongan juga melakukan konsultasi ke Kementerian Pendidikan Nasional.

“Kami banyak mendapat masukan yang konstruktif, apalagi di kementerian pendidikan ini juga ternyata memiliki program yang sejalan dengan perlindungan masyarakat adat.”

Masyarakat adat Tangsa di Kabupaten Enrekang yang berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja , Sulawesi Selatan, masih memiliki ritual budaya yang masih lestari hingga saat ini. Terdapat sekitar 19 komunitas adat di Enrekang yang tercatat di AMAN, yang masih sangat kuat memegang adat istiadat warisan leluhur.  Foto : Wahyu Chandra

Masyarakat adat Tangsa di Kabupaten Enrekang yang berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja , Sulawesi Selatan, masih memiliki ritual budaya yang masih lestari hingga saat ini. Terdapat sekitar 19 komunitas adat di Enrekang yang tercatat di AMAN, yang masih sangat kuat memegang adat istiadat warisan leluhur. Foto : Wahyu Chandra

Setelah kunjungan ini, baik pihak Pansus ataupun DPRD Enrekang, segera menindaklanjuti hasil konsultasi tersebut dengan harapan Perda bisa segera disahkan.

“Akan ada segera pertemuan antara DPRD dan Pemda membahas hal ini. Kita akan terus dorong dan kawal proses ini. Kita tentunya banyak memberikan masukan-masukan.”

Sardi Razak, Ketua BPH AMAN Sulsel, menyambut baik antusiasme pemerintah dan masyarakat Enrekang mendorong Perda Masyarakat Adat ini, jauh dari yang dikhawatirkan selama ini.

“Ini adalah momentum yang baik saya kira karena seluruh pihak begitu antusias untuk segera menetapkan Perda ini. Ketua DPRD bahkan menjanjikan jauh dari cepat dari yang kami perkirakan. Bupati pun selalu mengikuti dengan baik perkembangan proses Perda ini,” ungkap Sardi.

AMAN Sulsel sendiri selama ini banyak memberikan masukan dalam penyusunan draf Perda, termasuk memfasilitasi pertemuan dengan komunitas adat di Kabupaten Enrekang.

Menurut Haji Banteng K, Ketua DPRD Enrekang, keberadaan regulasi yang mengatur tentang masyarakat adat di Enrekang sebenarnya telah lama dinantikan. Belasan tahun silam perjuangan ini telah dilakukan dan berbuah surat keputusan Gubernur Sulsel, yang ketika itu masih dijabat oleh Amien Sjam. Hanya saja ketika itu tidak segera tindaklanjuti dengan kebijakan daerah yang lebih operasional.

“Ini sudah di depan mata, semoga setelah pengakuan akan segera ada tindak lanjut, tidak seperti yang dulu,” katanya.

Masyarakat adat di Kabupaten Enrekang sendiri, menurutnya, masih banyak yang masih memiliki kelembagaan adat dan tradisi yang terus terjaga dengan baik. Ia mencontohkan ketika enam tahun menjadi camat, tak pernah satu kasus perdata pun yang berproses di pengadilan, namun diselesaikan dengan adat setempat.

Dia berharap kehadiran perda ini tidak menimbulkan riak dan pertentangan dan bisa tetap sejalan dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh sekitar 90 persen warga Enrekang.

Menurutnya, saat ini adalah momentum untuk menegaskan kembali eksistensi dan identitas budaya masyarakat adat Enrekang, apalagi dengan adanya dukungan Gubernur Sulsel yang sekarang, Syahrul Yasin Limpo, yang secara emplisit menegaskan perlunya adanya pengakuan bagi masyarakat adat termasuk pula hutan adatnya.

Di Enrekang sendiri saat ini terdapat sekitar 19 komunitas adat yang terdaftar dalam AMAN. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari klaim pemerintah yaitu sebanyak 48 komunitas adat.

“Keberadaan Perda ini memberi harapan bagi kami masyarakat adat yang selama ini seperti dianggap tak ada,” ungkap Paundanan.

Paundanan berharap keberadaan Perda ini bisa semakin memperkuat peran dan posisi masyarakat adat, termasuk memperkuat kembali kelembagaan masyarakat adat yang selama ini tegerus oleh dominasi negara.

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN, dalam acara lokakarya percepatan Perda Masyarakat Adat Enrekang, di Enrekang akhir Juli 2015 lalu, turut menyambut baik upaya cepat Pemda dan DPRD Enrekang terkait penetapan Perda ini. Ia bahkan berharap Enrekang bisa menjadi pionir dan bisa menjadi motivasi bagi Pemda lain untuk melakukan hal yang sama.

“Pemerintah Enrekang ini sebenarnya pionir kalau prosesnya cepat dan akan menjadi contoh buat di daerah lain, di Luwu prosesnya tidak secepat di sini. Jangan khawatir dengan RUU masyarakat adat yang belum disahkan karena nanti di pasal peralihan kita sudah siapkan. Dengan DPR sepakat bahwa ini juga akan berlaku ke seluruh Perda-perda ini. Jadi tidak harus mulai dari nol lagi.”

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, berharap proses pembuatan Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Enrekang bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Ia mengakui besarnya komitmen dan antusiasme Pemda dan DPRD dalam mendukung lahirnya Perda ini. Foto : Wahyu Chandra

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, berharap proses pembuatan Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Enrekang bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Ia mengakui besarnya komitmen dan antusiasme Pemda dan DPRD dalam mendukung lahirnya Perda ini. Foto : Wahyu Chandra

Abdon berharap dalam Perda yang akan dihasilkan benar-benar menunjukkan identitas dan karakter budaya masyarakat adat Enrekang, yang berbeda dengan masyarakat adat lainnya. Kekhasan ini diharapkan muncul di naskah akademik.

“Harus terlihat kekhasan masyarakat adat Enrekang dibanding yang lainnya. Apakah berdasarkan bahasa atau perilaku yang khas Enrekang. Bisa juga dari kekhasan bahasa, tanpa mesti sama dialeknya. Kalau di pesta adat dari ritual pernikahan. Ada identitas budaya. Identitas budaya inti penting.”

Menurutnya, pentingnya identitas budaya karena lahir hasil dari interaksi ratusan tahun, yang kemudian membentuk sistem pengetahuan. Ia mencontohkan pengetahuan leluhur dalam menemukan tanaman-tanaman tertentu yang bisa dijadikan sebagai obat-obatan, ataupun seni budaya.

“Adanya sistem pengetahuan, budaya dan seni yang khas karena adanya interaksi budaya dengan lingkungan,” tambahnya.

Abdon berharap komunitas adat di Enrekang juga bisa memperkuat kembali aturan-aturan adat yang ada, misalnya aturan dalam hal penebangan pohon atau ritual pemakanan. “Ada namanya hukum dan aturan-aturan hidup bersama yang disebut hukum adat.”

Hukum adat ini tidak berjalan sendiri, namun didukung secara kelembagaan melalui lembaga adat, hal yang menjadi perjuangan AMAN selama ini.

Perjuangan masyarakat adat sendiri, menurut Abdon, bukanlah hal yang baru, namun sudah berlangsung sejak dulu. Akar kemerdekaan RI bahkan berasal dari perjuangan masyarakat adat.

“Jadi identitas budaya sebagai nusantara itu adalah salah satu faktor pendorong kemerdekaan dari Belanda, di samping kita memang mengalami penjajahan langsung dari dulu. Tapi hal utama adalah kita punya identitas yang berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa. Ini menjadi salah satu faktor pendorong maka kita ingin merdeka.”

Hanya saja, kemerdekaan yang diraih Indonesia tidak serta memerdekakan masyarakat adatnya. Bahkan, setelah Indonesia merdeka tingkat penjajahan ke masyarakat adat justru lebih tinggi.

Kenapa itu bisa terjadi?

Abdon menjelaskan bahwa UUD 1945 adalah salah satu konstitusi terbaik di dunia terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Selama 70 tahun, UUD 1945 sudah memberikan tempat yang mulia ke masyarakat adat, tertera dalam 18 ayat 2, yang menegaskan bahwa asal usul kesatuan masyarakat hukum adat itu diakui, dihormati, dilindungi oleh negara.

Ia membandingkannya dengan Filipina yang baru bisa dikonstitusikan pada tahun 1987, yang kemudian terjabarkan dalam UU Masyarakat Adat di tahun 1997. Hanya selang 10 tahun sejak diakui dalam konstitusi.

“Bandingkan dengan Filipina, mereka hanya butuh 10 tahun agar konstitusi ini bisa terjabarkan dalam UU, sementara kita 70 tahun belum ada. Kenapa?” Kan dalam konstitusi kita ada pengaturan tentang masyarakat adat itu.”

Pemetaan partisipatif menjadi salah satu upaya penting dalam pengakuan masyarakat adat. AMAN Sulsel sendiri telah melakukan proses pemetaan di beberapa komunitas di Enrekang, Sulawesi Selatan, meskipun peta yang dihasilkan belum dalam tahap pengesahan untuk diajukan ke pemerintah.  Foto : Wahyu Chandra

Pemetaan partisipatif menjadi salah satu upaya penting dalam pengakuan masyarakat adat. AMAN Sulsel sendiri telah melakukan proses pemetaan di beberapa komunitas di Enrekang, Sulawesi Selatan, meskipun peta yang dihasilkan belum dalam tahap pengesahan untuk diajukan ke pemerintah. Foto : Wahyu Chandra

Ia menjelaskan bahwa perihal hak masyarakat adat sebenarnya pernah diatur dalam UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Di sana disebutkan tentang hak ulayat. Tetapi di BPN sampai sekarang tidak ada administrasi hak ulayat. Hanya ada sertifikasi individual dalam bentuk sertifikat.

“Jadi sejak dimandatkan 55 tahun lalu sampai hari ini tidak dikerjakan. Kenapa tidak dikerjakan? Karena Soeharto memang tidak suka dengan UU PA ini,” tambahnya.

Menurutnya, begitu berkuasa di 1967, UU PA ini tak lagi pernah digubris. Justru kemudian yang muncul adalah undang-undang yang bersifat sektoral. Salah satunya adalah UU No.5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, yang menyebutkan menteri berhak menunjuk kawasan hutan dan kawasan hutan itu adalah hutan negara.

“Jadi UU No.5/1967 inilah yang membuat sebagian besar wilayah adat itu menjadi hutan negara. Direvisi dengan UU No.41/1999. Ok kawasan hutan, hutan negara dan hutan hak. Tapi ada penegasan dan hutan adat adalah hutan negara. Artinya apa, 70 persen wilayah adat kita tanpa kita ketahui tanpa kita ditanya, tanpa persetujuan kita berubah status menjadi hutan negara.”

Keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi No.35/2013 memberi harapan baru bagi masyarakat adat. MK ini adalah koreksi terhadap relasi masyarakat adat dan negara itu. Dalam MK ini disebutkan bahwa penempatan hutan adat sebagai hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat.

Dalam putusan MK ini juga menegaskan bahwa hutan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ulayat wilayah adat. Jadi hutan itu bukan bagian negara lagi, namun bagian dari masyarakat hukum adat.

“Pertanyaannya kemudian, apakah kita punya peta?”

Keberadaan Perda ini diharapkan dapat mempercepat lahirnya peta adat sebagaimana diamanatkan oleh MK 35.

Penegasan ketiga dari MK ini adalah dikatakan bahwa ulayat atau wilayah itu merupakan hak dari masyarakat adat.

“Jadi jangan ragu lagi. Sudah ada penegasan. Tanah tempat hutan itu tumbuh adalah tanah adat. Jadi seluruh tanah yang ada di wilayah adat adalah tanah adat. Ini bisa dilakukan bisa berjalan kalau ada Perda. Tetap dipakai pasal 67 dari UU Kehutanan. Jadi perda ini akan menjadi sangat penting karena berapa persen wilayah masyarakat adat Enrekang nantinya akan kembali ke Enrekang.”

Abdon juga menegaskan bahwa tujuan adanya Perda bukan semata sebagai pengakuan hukum, karena pengakuan hukum ini sebenarnya sudah banyak tertulis dalam UU.

“Yang tidak kita punya adalah instrumen operasional, mekanisme dan prosedur. Jadi nanti Perda ini nantinya harus operasional. Jangan sepeti UU. Jadi sudah harus bisa menentukan siapa masyarakat adat di Enrekang, apa saja hak-haknya, akan dimana diadministrasikan, apa perannya dalam proses pembangunan dan bagaimana perlindungannya. Jadi memang belum selesai, karena nanti akan ada kerjaan lain ke SKPD-SKPD dan proses-proses lainnya.”


Perda Memperkuat Identitas Budaya Masyarakat Adat Enrekang was first posted on August 29, 2015 at 4:35 am.

Menumbuhkan Kesadaran Pangan dan Ekologi Di Pesantren Ath-thaariq Garut

$
0
0

Pagi itu, dingin masih menyelimuti udara di di Kelurahan Sukagalih, Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat. Suasana pagi yang dingin masih cocok untuk berdiam diri dibalik selimut. Tetapi tidak terjadi di Pesantren Ath-thaariq. Santri-santrinya sudah bergiat di kebun dan sawah di kompleks pesantren yang adem itu. Mereka terlihat bergembira dan tidak canggung untuk berkotor-kotor di sawah dan kebun yang dipenuhi tanaman itu.

Itulah keseharian yang terjadi di Pesantren Ath-thaariq yang didirikan oleh seorang perempuan bernama Nissa Wargadipura. Berawal  dari keresahannya terhadap ketahanan pangan yang terjadi di daerahnya, Nissa Wargadipura, mendirikan pesantren berbasis ekologi yang bernama Ath-thaariq.

Sejumlah santri dan pengurus pesantren Ath Thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar, sedang melakukan kegiatan bertani kangkung dilahan pesantren. Foto : Nissa Wargadipura

Sejumlah santri dan pengurus pesantren Ath Thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar, sedang melakukan kegiatan bertani kangkung dilahan pesantren. Foto : Nissa Wargadipura

Model pembelajaran yang diterapkan Ath-thaariq sengaja berbeda dengan pesantren pada umunya. Selain menerapkan kurikulum akademik dan pendalaman agama Islam, pesantren Ath-thaariq dengan motto “Peduli Bumi, Peduli Sesama, Peduli Masa Depan” itu juga menerapkan konsep pendidikan ekologis yang jarang dimasukan dalam kurikulum belajar pesantren.

Teh Nissa,begitu ibu tiga orang anak itu disapa dengan pengalamannya sebagai pendiri sebuah forum yang peduli di bidang lingkungan sekaligus pencetus Serikat Petani Pasundan (SPP)  yang mengadvokasi permasalahan lingkungan dan konflik agraria di daerah Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

Nissa menuturkan di daerah Sagara Garut banyak terjadi alih kepemilikan tanah milik petani yang dijual kepada Perhutani karena alasan klasik yakni ekonomi. Dia melihat fenomena ini merupakan sebuah keterancaman bagi sektror agraria khususnya bagi para petani.

Seorang santri pesantren Ath Thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar, asyik memanen caisim dil ahan pesantren. Foto : Nissa Wargadipura

Seorang santri pesantren Ath Thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar, asyik memanen caisim dil ahan pesantren. Foto : Nissa Wargadipura

Nissa menduga bahwa ada faktor yang mengakibatkan petani tidak diuntungkan dalam fenomena ini. Dia menyebutkan banyak permasalahan yang muncul antara lain, masalah ketersediaan pangan, rendahnya hasil panen, sangat ketergantungan  pada pestisida dan tidak meliliki benih yang dikembangkan secara mandiri.

“Ditambah lagi sistem yang dipakai petani adalah sistem bertani yang monokultur. Jika ada yang menanam kentang, semua ikut menaman kentang. Ini juga berimbas pada harga jual panen yang menurun. Belum lagi penggunaan pestisida yang melebihi batas. Bukannya menyuburkan tanah malam merusak tanah,” katanya.

Bukan hanya itu saja, dia juga mengatakan adanya pihak ketiga yang memonopoli fenonema tersebut. “Di desa, para petani tergantung pada pemilik modal. Semuanya dari pemodal, mulai dari benih, pupuk, pestisida dan modalnya berasal pemodal,” jelasnya. Dia menambahkan kondisi seperti ini mengakibatkan lepasnya kepemilikan tanah petani karena tidak bisa menutupi modalnya saat panen anjlok dan pemodal membanting harga beli dengan sangat murah.

Beralih Ke Dunia Pendidikan

Pada akhir bulan di tahun 2009 dia memutuskan untuk memberikan pendidikan yang berbasis ekologi yang berlokasi desa Sukagalih, Tarogong Kidul yang berdekatan dengan pusat perkantoran Kabupaten Garut.

Keputusannya mendirikan pesantren berbasis ekologi ini, ketika dia merasa cukup merasakan asam garam dan ingin beristirahat dari kegiatan selama ini dalam bidang advokasi lingkungan dan agraria. Dia memutuskan untuk istirahat dari kegiatan selama ini.“ Saya pikir saya harus rehat dan menarik diri dari pergulatan mengurusi urusan agraria,” terangnya saat ditemui Mongabay di rumahnya pada pertengahan Juli 2015.

Nissa menjelaskan pesantrennya ini selain belajar mengaji, para santri juga diajarkan belajar bagaimana mengolah pertanian ataupun perkebunan dengan menggunakan pollinated organic Seed (pembenihan benih), yakni mengembangkan benih lokal. Kemudian santri pun dibekali pemahaman tentang membuat pupuk kompos sendiri yang terbuat dari bahan organik dan limbah ternak.

Dengan memanfaatkan lahan seluas 7500 meter persegi yang di bagi menjadi persawahan, kebun, peternakan dan pembenihan. Sedikitnya ada 52 jenis tanaman yang tersebar di sekitaran lingkungan pesantren .

Santri diarahkan menyukai terlebih dulu kegiatan bertani lewat  metode belajar bebas aktif. Sehingga santri bebas mengeksplorasi kemampuan bertani mereka dari mulai pembenihan, penanaman sampai tahap panen mereka melakukan sendiri.

Berbagai produk organik pesantren Ath Thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar. Foto : Nissa Wargadipura

Berbagai produk organik pesantren Ath Thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar. Foto : Nissa Wargadipura

Mulai dari jenjang pendidikan PAUD, SD, SMP, SMA dan mahasiswa yang menimba ilmu di pesantren. Dia menyebutkan bahwa tidak hanya santri dari pesantrennya saja yang mendapatkan pendidikan ekologi kadang ada juga siswa SD yang ikut belajar bersama.

“Setiap minggu anak – anak diajak bertani di sekitaran pesantren, mereka berinteraksi langsung dengan sesama santri dan juga alam,” lanjutnya

Penganekaragaman Pangan

Pola makan santri di pesantren di Ath-thaariq begitu bervariasi dan tidak hanya mengkonsumsi nasi saja. Dia mengemukan bahwa potensi alam Indonesia sangat luar biasa hebat, dianugerahi tanah yang subur dan kenakaragaman hayati yang melimpah.

“ Banyak kok tanaman yang bisa dimakan sebagai pengganti karbohidrat tidak hanya dari beras saja, sorgum pun bisa jadi alternatif beras sebagai asupan karbohidrat. Why not kita bisa makan tanpa nasi, why not kita masih bisa makan ubi – ubian dan lain sebagainya. Ini yang kita sebut sebagai keanekaragaman hayati pangan,” jelasnya.

Selaras dengan program pemerintah tentang penganekaragaman pangan, hematnya jika pemerintah serius mencanangkan program tersebut harusnya ada tindak lanjut yang nyata.

Ketika hasil panen tiba, tak lantas lekas dijual ke pasar tetapi kata nissa hasil panen tersebut di simpan untuk persediaan pangan di pesantren sehingga tak harus mendatangkan dari luar. “Yang peting dari gerakan kami, gerakan mempunyai benih, mengebangkan benih sendiri dan dikonsumsi oleh warga di pesantren Ath-thaariq,” kata Nissa.

Nissa Wargadipura, pendiri pesantren Ath-thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar. Foto : Nissa Wargadipura

Nissa Wargadipura, pendiri pesantren Ath-thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar. Foto : Nissa Wargadipura

Tak hanya untuk dikonsumsi semua sebagian ada yang dijual seperti bunga rosela. “Antanan, pejagan dan bunga rose memiliki nilai ekonomis yang cukup lumayan, di jadikan parsel dan ini yang kita jual. Biasanya pembelinya baru dikalangan teman-teman. Tetapi banyak juga masyarakat yang tahu tentang khasiat tanaman herbal ini mereka pesan dan datang kepada kita,” tuturnya

Di lain tempat Udin (43) warga sekitar mengaku kehadiran pesantren Ath-thaariq yang menerapkan ekologi sambut baik dan dia tertarik menyekolahkan anaknya disana.

Udin menyayangkan belum adanya perhatian khusus dari Pemkab Garut terkait adanya pesantren ekologi ketika dikonfirmasi kepada Nissa. Dan dia juga mengatakan bahwa tujuan utamanya  mendirikan pesantren Ath-thaariq agar anak yang memiliki potensi yang berasal dari desa tidak pergi ke kota dan mau membangun desa.


Menumbuhkan Kesadaran Pangan dan Ekologi Di Pesantren Ath-thaariq Garut was first posted on August 30, 2015 at 4:13 am.

Waduh… Kawasan Moratorium Hutan Di Katingan Kalteng Dibuka Untuk Sawit

$
0
0

Kawasan hutan yang masuk dalam moratorium izin kehutanan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah (Kalteng) diduga telah dibuka oleh sebuah perusahaan pemegang konsesi perkebunan sawit.

Perusahaan bernama PT Persada Era Agro Kencana (PEAK) tersebut telah membuka lahan konsesinya yang sebagian besar masuk kawasan moratorium hutan pada beberapa bulan ini.

Seorang warga desa Tewang Kampung, Kecamatan Semendawai, Katingan, Kalteng menunjukkan lahan konsesi PT PEAK yang telah dibuka beberapa bulan yang lalu. Padahal sebagian konsesi lahan PT PEAK masuk dalam moratorium hutan.

Seorang warga desa Tewang Kampung, Kecamatan Semendawai, Katingan, Kalteng menunjukkan lahan konsesi PT PEAK yang telah dibuka beberapa bulan yang lalu. Padahal sebagian konsesi lahan PT PEAK masuk dalam moratorium hutan.

Hal tersebut dibenarkan Junaedi Fadli, staf pemerintahan desa Tewang Kampung, Kecamatan Semendawai, Kabupaten Katingan, Kalimantan Utara. “Sudah ada 12 alat berat yang datang sejak dua bulan yang lalu. Bakal datang lagi 8 unit. Jadi total ada 20 unit,” kata Junaedi yang dihubungi Mongabay pada Sabtu (29/08/2015).

Dia menjelaskan para pekerja PT PEAK telah membuka lahan dan membuat kanal air sejak enam bulan yang lalu. Mereka juga telah melakukan pembibitan untuk tanaman sawit. “Katanya, targetnya bulan Desember harus ada penanaman,” tambah Junaedi yang juga Ketua Karang Taruna Desa Tewang Kampung itu.

Sedangkan Karya Darma, staf pada Bagian Ekonomi Pembangunan Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Katingan mengatakan belum mendapatkan informasi mengenai kegiatan PT PEAK di konsesinya. Tetapi dia membenarkan adanya rencana kegiatan PT PEAK untuk persiapan pembukaan tahap pertama.

Karya mengatakan perusahaan sawit itu sudah melengkapi persyaratan Amdal yang menjadi dasar kegiatan selanjutnya, selain telah ada surat izin pelepasan lahan dari Kementerian Kehutanan.

Mengenai informasi bahwa adanya lahan konsesi PT PEAK yang masuk kawasan moratorium hutan, dia mengatakan lahan tersebut tidak masuk kawasan moratorium. “Sepengetahuan saya (lahan konsesi PT PEAK) tidak masuk dalam moratorium,” kata Karya yang dihubungi Mongabay pada Sabtu (29/08/2015).

Lahan PT PEAK juga tidak termasuk dalam wilayah gambut dalam yang harus dikonservasi. “Kita tidak berani mengeluarkan izin kalau ada gambut. Kementerian kehutanan juga melakukan revisi setiap 6 bulan sekali untuk PIPIB (peta indikatif penundaan izin baru),” tambahnya.

Sedangkan Dharsono Harsono, Presiden Direktur PT Rimba Makmur Utama (RMU) mengatakan pembukaan lahan konsesi PT PEAK bakal mempengaruhi lahan di konsesi perusahaannya. PT RMU sendiri mendapatkan izin restorasi ekosistem di lahannya, yang berarti mereka melakukan kegiatan restorasi dan konservasi kawasan.

Karena konsesi PT RMU dan PT PEAK bersebelahan, maka merupakan satu region dan satu ekosistem yang saling mempengaruhi. “Dampak pembukaan lahan mereka akan sangat merugikan kita, karena satu ekosistem. Kalau mereka membuka lahan secara masif akan mengganggu apa yang sedang kita kerjakan. Dalam jangka pendek, pengaruhnya belum parah. Tapi dalam jangka panjang, kubah gambut di wilayah ini akan terpengaruh, dan bakal berpotensi kebakaran,” kata Dharsono yang dihubungi Mongabay pada minggu lalu.

Dia meyakini bahwa areal konsesi PT PEAK merupakan kawasan yang dimoratorium, sehingga tidak boleh dibuka dan digunakan untuk perkebunan sawit. Apalagi didalamnya ada kawasan gambut dalam yang rentan mengemisi karbon dalam jumlah besar bila dikeringkan dan dibuka lahannya.

“Kondisi lahan konsesi mereka ada lahan gambut, bahkan gambutnya ada yang sampai lebih dari 3 meter. Dalam kronologi pemberian izin, jelas sekali dikatakan dikeluarkan izin pelepasan lahan karena bukan lahan gambut. Padahal jelas-jelas di lapangan itu merupakan lahan gambut,” katanya.

SK. Menhut_No. SK.943_Menhut-II_2013_Pelepasan Kws. Hutan_PT. PEAK

Oleh karena itu, Dharsono meyakini ada permainan dalam penerbitan surat izin pelepasan lahan oleh Kementerian Kehutanan waktu itu. “Saya yakin UKP4 juga mengetahui hal ini. Sayangnya lembaga UKP4 dibubarkan,” tambahnya.

Masuk kawasan moratorium

Dari dokumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terlihat, pada Juni 2014, ada surat  Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) kepada KLHK soal lahan PT PEAK ternyata masuk kawasan yang tak boleh ada pemberian izin alias masuk kawasan moratorium. Lalu, Dirjen Planologi menindaklanjuti lewat surat  No S 458/Menhut-VII/IPSDH 2014/ tertanggal, 12 Juli 2014. Surat itu berisi  tanggapan yang menyatakan, proses izin prinsip dan pelepasan kawasan hutan diberikan pada areal yang bukan lahan gambut.

Surat Kepala UKP4 kepada Menteri Kehutanan yang mempertanyakan keluarnya SK pelepasan kawasan untuk PT PEAK

Surat Kepala UKP4 kepada Menteri Kehutanan yang mempertanyakan keluarnya SK pelepasan kawasan untuk PT PEAK

Pihak UKP4 sendiri telah melakukan pengecekan lapangan pada konsesi PT PEAK pada Agustus 2014, dan menemukan bahwa sebagian besar wilayah konsesi tersebut merupakan bagian dari kawasans moratorium hutan, dengan gambut dalam lebih dari tiga meter dan masih terdapat satwa langka dan dilindungi di dalamnya.

Hasil pengecekan lapanngan pada konsesi hutan produksi PT PEAK di Katingan, Kalteng, yang membuktikan bahwa daerah tersebut merupakan gambut dalam lebih dari tiga meter

Hasil pengecekan lapanngan pada konsesi hutan produksi PT PEAK di Katingan, Kalteng, yang membuktikan bahwa daerah tersebut merupakan gambut dalam lebih dari tiga meter

Dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) dan PIPIB revisi I, terlihat areal hutan produksi PT PEAK masuk dalam kawasan hutan yang dimoratorium. Pada PIPIB revisi II, sebagian besar hutan produksi PT PEAK masih masuk dalam kawasan moratorium hutan.

Peta PIPIB yang menunjukkan sebagian besar konsesi lahan milik PT PEAK masuk dalam wilayah moratorium hutan

Peta PIPIB yang menunjukkan sebagian besar konsesi lahan milik PT PEAK masuk dalam wilayah moratorium hutan

San Afri Awang, Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan, KLHK mengatakan, jelas sekali, kalau kawasan masuk peta moratorium tak boleh ada operasi perusahaan. Jadi, kalau PT PEAK, membuka lahan di kawasan PIPIB jelas dilarang. Untuk itu, dia akan menindaklanjuti masalah ini dan mencari tahu yang terjadi di lapangan, apakah benar perusahaan telah beroperasi di kawasan PIPIB. “Ini harus dicek langsung. Mana boleh beroperasi di wilayah PIPIB,” katanya.

Sampai berita ini diturunkan, Mongabay telah berusaha menghubungi Andre, pemilik PT PEAK. Akan tetapi ponselnya tidak aktif, dan pesan singkat Mongabay juga tidak mendapat tanggapan.


Waduh… Kawasan Moratorium Hutan Di Katingan Kalteng Dibuka Untuk Sawit was first posted on August 31, 2015 at 2:00 am.

Berantas Illegal Fishing, Timor Leste Minta Bimbingan kepada Indonesia

$
0
0

Keberhasilan Indonesia memberantas illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing saat ini, menarik perhatian negara tetangga Timor Leste. Negara yang berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur itu secara terang-terangan mengajukan bimbingan untuk bisa melakukan langkah serupa di negaranya.

Keinginan tersebut diungkapkan Menteri Pertanian dan Perikanan Timor Leste Estanislau da Silva saat berkunjung ke Indonesia. Da Silva mengatakannya di depan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Menurut Da Silva, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia saat ini dinilai sebagai salah satu yang termaju di dunia. Hal itu, terbukti dengan keberhasilan Indonesia memberantas IUU Fishing sejak 2014 lalu.

“Kita masih belum punya pengalaman sebaik Indonesia dalam mengelola sumber Raya kelautan dan perikanan. Kita pantas untuk belajar kepada Indonesia,” ungkap da Silva.

Menteri Pertanian dan Perikanan Timor Leste Estanislau da Silva berkunjung ke Kapal Motor (KM) Madidihang 03 milik Sekolah Tinggi Perikanan (STP) yang bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara pada Kamis (28/08/2015). Timor Leste bakal belajar ke Indonesia untuk menangani pencurian ikan, karena Indonesia dianggap berhasil memberantas IUU Fishing sejak 2014 lalu. Foto : M Ambari

Menteri Pertanian dan Perikanan Timor Leste Estanislau da Silva berkunjung ke Kapal Motor (KM) Madidihang 03 milik Sekolah Tinggi Perikanan (STP) yang bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara pada Kamis (28/08/2015). Timor Leste bakal belajar ke Indonesia untuk menangani pencurian ikan, karena Indonesia dianggap berhasil memberantas IUU Fishing sejak 2014 lalu. Foto : M Ambari

Dengan belajar kepada Indonesia, da Silva sangat yakin negaranya bisa menjaga sumber daya kelautan dan perikanan lebih baik lagi. Sehingga, ke depan sumber daya yang ada bisa dikembangkan untuk kebutuhan industri dan konsumsi nasional.

“Kita sebenarnya sudah pernah berbicara dengan Indroyono Soesilo (mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Red) terkait dengan hal ini. Tapi memang belum mendalam. Sekarang negara kami ingin lebih dalam lagi kerja samanya,” tutur da Silva.

Sementara itu saat berkunjung ke Kapal Motor (KM) Madidihang 03 milik Sekolah Tinggi Perikanan (STP) yang bersandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, da Silva mengungkapkan ketertarikannya untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan dan perikanan.

Menurut da Silva, dengan mengembangkan SDM, dia sangat yakin pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan bisa semakin lebih baik lagi. Sehingga, segala potensi yang ada di dalamnya bisa dimanfaatkan dengan baik dan tetap menjaga kelestarian lingkungannya.

“Kita akan merekrut ahli dari Indonesia untuk membantu pengelolaan kekayaan laut di Timor Leste. Kita akan melakukan itu sejalan dengan pemberantasan ilegal fishing,” tutur da Silva kepada Mongabay di atas KM Madidihang, pada Kamis (28/08/2015).

MoU Indonesia-Timor Leste

Menindaklanjuti kerja sama bilateral tersebut, Indonesia dan Timor Leste sepakat bekerja sama yang diresmikan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU/Nota Kesepahaman) antara Menteri da Silva dengan Menteri Susi Pudjiastuti. Penandatanganan dilaksanakan di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sabtu (29/08/2015) pagi.

Kerja sama tersebut mencakup penelitian dan pertukaran ahli, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan dan perikanan. Selain hal tersebut, melalui kerja sama tersebut disepakati untuk pencegahan illegal fishing, manajemen perikanan konservasi, serta pertukaran informasi dan teknologi perikanan.

Menteri da Silva berharap, MoU yang sudah ditandatangani tersebut bisa meningkatkan pengawasan dan pemberantasan illegal fishing di kedua negara, terutama di Timor Leste. Tidak hanya itu, dari kerja sama tersebut kejahatan yang terjadi laut seperti perdagangan manusia, penyelundupan senjata dan penyelundupan satwa langka juga bisa diberantas.

“Timor Leste itu negara yang kaya. Kekayaan di laut Timor Leste sangat banyak saat ini. Hanya sayang, kejahatan illegal fishing yang sudah terjadi bertahun-tahun menyebabkan kekayaan itu tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk kepentingan industri dan konsumsi di Timor Leste,” jelas da Silva.

Sementara itu Kepala Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan (BSDMKP) KKP Suseno Sukoyono, dalam kesempatan yang sama mengatakan, teknis kerja sama di bidang SDM akan dibicarakan lebih lanjut.

“Namun, yang pasti, nanti akan ada pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada tenaga ahli dari Timor Leste. Pelatihan akan dilaksanakan di Indonesia. Sementara untuk tenaga ahli yang dikirim ke Timor Leste, itu juga masih dibicarakan,” papar Suseno.

Lindungi Garam Nasional

Sementara itu, seusai melakukan penandatangan MoU, Susi Pudjiastuti memberikan keterangan terkait perencanaan pengelolaan garam nasional. Kata dia, pihaknya mengalokasikan anggaran sebesar Rp180 miliar untuk petani garam.

“Tujuannya, agar garam yang ada di tingkat petani bisa terjaga kualitasnya,” ungkap Susi.

Menurut Susi, dengan anggaran sebesar itu, KKP bisa memberli geomembran, yang bertujuan untuk meningkatkan kejernihan dan memperbaiki tingkat kekeringan garam. Dengan demikian, tingkat NaCi diharapkan bisa bertambah lebih banyak lagi.

“Sudah dibuat pagu oleh Pemerintah untuk menjaga tingkat stabilitas harga garam di tingkat petani. Untuk kualitas nomor satu itu pagunya Rp700 (per kg), kualitas nomor dua Rp550 dan kualitas nomor tiga Rp450. Itu semua berlaku di tingkat petani ya,” papar Susi.

Dengan diterapkan pagu seperti itu, dia berharap kualitas garam dan stabilitas harga bisa terjaga di tingkat petani. Hal itu, didukung juga dengan larangan adanya impor garam saat sebulan menjelang panen dan atau dua bulan setelah panen.

“Kita harus bersama-sama melindungi garam nasional. Impor perlu dilakukan jika memang garam nasional sudah tidak bisa memenuhinya lagi. Khusus untuk industri, impor bisa dilakukan kapan pun,” pungkas Susi.

 


Berantas Illegal Fishing, Timor Leste Minta Bimbingan kepada Indonesia was first posted on September 1, 2015 at 3:19 am.

Forum Bisnis Regional CTI, Menentukan Aturan Wisata Bahari

$
0
0

Bangkai kapal selam menjadi magnet utama bagi penyelam untuk berkunjung ke Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali. Setiap hari, ratusan penyelam menikmati kapal milik tentara Amerika Serikat yang tenggelam pada Perang Dunia II tersebut.

Dari tahun ke tahun, jumlah penyelam di Desa Tulamben terus bertambah.

Selain menyumbang terhadap makin besarnya pendapatan warga, banyaknya penyelam juga melahirkan kekhawatiran baru: kian rapuhnya kondisi bangkai kapal yang sudah berumur sekitar 70 tahun tersebut.

Aktivitas penyelaman sebagai salah satu wisata utama di Desa Tulamben, Kubu, Karangasem, Bali. Foto : Anton Muhajir

Aktivitas penyelaman sebagai salah satu wisata utama di Desa Tulamben, Kubu, Karangasem, Bali. Foto : Anton Muhajir

Menurut I Nyoman Suastika, salah satu pemandu selam di Desa Tulamben, kekhawatiran itu makin besar terutama ketika ada ombak besar. Berada di Selat Lombok antara Bali dan Lombok, ombak di pantai ini relatif besar pada musim-musim tertentu.

Pekan lalu, misalnya, selama dua hari ombak di sini relatif besar, tingginya antara 1-2 meter. Akibatnya, beberapa penyelam pun terpaksa membatalkan rencana penyelaman. Selain karena lebih susah untuk memulai penyelaman, juga karena keruhnya air saat menyelam.

“Hari ini kami tidak menyelam. Padahal biasanya bisa dua kali,” kata Putu Mangku, pemandu penyelam lain di Tulamben.

Seperti halnya Suastika, Putu juga mengkhawatirkan kondisi bangkai kapal selam yang menjadi andalan wisata Desa Tulamben dan bahkan Karangasem. Menurut Putu, jika tidak pengaturan jumlah penyelam di sini, kerusakan ship wreck (bangkai kapal selam) akan makin cepat.

“Dari yang seharusnya bisa bertahan dua puluh tahun, mungkin bisa rusak dalam sepuluh tahun,” ujarnya.

Pengaturan

Kekhawatiran para penyelam di Tulamben terhadap potensi kerusakan ship wreck akibat tidak adanya pengaturan jumlah penyelam memicu kembali diskusi tentang perlunya pengaturan wisata bahari di Indonesia, termasuk Bali.

Inilah salah satu topik yang dibahas dalam CTI-CFF Regional Business Forum keempat yang diadakan di Nusa Dua, Bali pada 27-29 Agustus. Pertemuan tiga hari itu diadakan oleh Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF), forum regional dalam tata kelola terumbu karang di kawasan Asia Pasifik.

Forum multilateral ini beranggotakan enam negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Enam negara tersebut berada di kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) seluas sekitar 647 juta hektar. Brunei Darussalam termasuk negara baru dalam forum ini.

Sebagai forum multilateral, CTI-CFF bekerja di tiga isu penting terkait tata kelola kelautan dan perikanan yaitu konservasi laut, pengelolaan perikanan, dan adaptasi perubahan iklim.

Sejalan dengan tiga bidang tersebut, ada tiga topik utama selama konferensi di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) tersebut. Pertama, keterlibatan sektor swasta dalam pariwisata bahari terutama dalam pendanaan. Kedua, praktik-praktik terbaik dalam wisata bahari dan pesisir yang bertanggung jawab. Ketiga, mempromosikan kawasan Segitiga Terumbu Karang sebagai tujuan wisata global yang berkelanjutan.

Diskusi topik-topik itu melibatkan para pihak dalam tata kelola wisata bahari seperti agen perjalanan, perusahaan penerbangan, organisasi non-pemerintah di bidang lingkungan, dan pemerintah. Beberapa organisasi lingkungan yang turut serta dalam forum regional ini adalah WWF, Conservation International (CI), Coral Triangle Center (CTC) dan The Nature Conservacy (TNC).

Forum dihadiri lebih dari 300 peserta dari lebih 20 negara, termasuk pejabat tinggi pemerintahan seperti Menteri Pariwisata dan Budaya Malaysia, Mohamed Nazri Abdul Aziz, Menteri Pariwisata dan Budaya Kepulauan Solomon, Bartholomew Parapolo, Utusan Pemerintah Papua Nugini, serta Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata Indonesia, Indroyono Soesilo.

“Untuk mewujudkan kawasan wisata bahari yang berkelanjutan kita harus melibatkan sektor swasta,” kata Arwandrija Rukma, Koordinator Sekretariat Regional CTI-CFF di Denpasar pekan lalu.

Menurut Arwan, sektor swasta bisa berperan dalam pengelolaan pariwisata bahari berkelanjutan melalui pendanaan. Bagaimanapun juga, lanjutnya, konservasi lingkungan tetap memerlukan pendanaan. “Pariwisata bahari harus ramah lingkungan dan memperhatikan carrying capacity,” ujar Arwan.

M. Eko Rudianto, Direktur Kelautan dan Pesisir di Kementerian Kelautan dan Perikanan menambahkan, kawasan Coral Triangle termasuk salah satu pusat keanekaragaman dunia seperti Amazon untuk flora dan Congo basin untuk fauna. Dengan jumlah spesies terumbu karang lebih dari 500, kawasan ini sangat potensial menjadi tempat wisata global. “Namun, semua harus dikelola secara berkelanjutan,” tegasnya.

Eko memberikan contoh beberapa kawasan wisata di Bali yang sudah dikelola secara berkelanjutan dengan melibatkan warga lokal. Misalnya Desa Les di Buleleng, Bali bagian utara yang terkenal sebagai tempat wisata bawah laut terutama ikan hiasnya. Ada pula Desa Pemuteran di Bali bagian barat di mana warga turut serta menjaga karang bawah lautnya.

Dalam wisata-wisata bahari tersebut, ada tata kelola yang disepakati bersama antara pemerintah, swasta, dan warga. Misalnya pembagian zona yaitu zonasi wisata untuk kegiatan wisata, zonasi perikanan untuk nelayan, dan zonasi inti untuk konservasi.

“Pembagian zona justru bisa meningkatkan harga jual sekaligus membatasi jumlah turis di lokasi tersebut. Marine tourism itu tidak bisa berjalan jika menerapkan model mass tourism,” ujar Eko.

Penghargaan

Sebagai upaya memberikan contoh praktik wisata bahari berkelanjutan, maka pelaksana Regional Business Forum CTI-CFF juga memberikan penghargaan terhadap perusahaan wisata. Enam perusahaan itu dari Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste. Mereka dianggap telah melaksanakan bisnis pariwisata bahari berkelanjutan yang terintegrasi. Mereka secara aktif mendukung konservasi kawasan pesisir, biota laut dan habitatnya serta melibatkan peran serta masyarakat setempat.

“Bisnis di laut dan wisata bahari di Segitiga Karang harus mendapat perhatian dan komitmen memadai dari semua pihak terkait, yaitu pemerintah, sektor swasta, akademisi dan masyarakat,” kata Eko Rudianto dalam sambutan penghargaan mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti.

Regional Business Forum CTI-CFF  memberikan penghargaan kepada enam perusahaan yang telah memberikan contoh praktik wisata bahari berkelanjutan yang terintegrasi dengan upaya konservasi. , maka pelaksana Regional Business Forum CTI-CFF juga memberikan penghargaan terhadap perusahaan wisata. Enam perusahaan itu adalah  Reef Seen Divers’ Resort, Bali (Iyndonesia), Scuba Junkie, Sabah (Malaysia), Madang Resort Hotel, Madang (Papua Nugini), Evolution Diving, Cebu (Filipina), Oravae Cottage, Gizo (Kepulauan Solomon), dan Dive Timor Lorosae, Dili (Timor-Leste).  Foto : Anton Muhajir

Regional Business Forum CTI-CFF memberikan penghargaan kepada enam perusahaan yang telah memberikan contoh praktik wisata bahari berkelanjutan yang terintegrasi dengan upaya konservasi. , maka pelaksana Regional Business Forum CTI-CFF juga memberikan penghargaan terhadap perusahaan wisata. Enam perusahaan itu adalah Reef Seen Divers’ Resort, Bali (Iyndonesia), Scuba Junkie, Sabah (Malaysia), Madang Resort Hotel, Madang (Papua Nugini), Evolution Diving, Cebu (Filipina), Oravae Cottage, Gizo (Kepulauan Solomon), dan Dive Timor Lorosae, Dili (Timor-Leste). Foto : Anton Muhajir

Adapun enam perusahaan yang mendapat penghargaan tersebut adalah  Reef Seen Divers’ Resort, Bali (Indonesia), Scuba Junkie, Sabah (Malaysia), Madang Resort Hotel, Madang (Papua Nugini), Evolution Diving, Cebu (Filipina), Oravae Cottage, Gizo (Kepulauan Solomon), dan Dive Timor Lorosae, Dili (Timor-Leste).

Enam perusahaan tersebut memiliki usaha berbeda dalam wisata maupun konservasi. Reef Seen di Desa Pemuteran misalnya memiliki upaya yang melibatkan masyarakat dalam pariwisata bahari, seperti kegiatan Reef Gardener. Selain memberikan pelatihan dan menciptakan lahan pekerjaan bagi nelayan muda untuk secara aktif melindungi terumbu karang, mereka juga melakukan kegiatan konservasi penyu dan kegiatan pelatihan sendra tari bagi anak usia sekolah.

Adapun Oravae Cottage di Kepulauan Solomon turut mendirikan kawasan laut yang dikelola warga lokal. Mereka enggunakan panel surya untuk sumber energi dan penampungan air dengan dampak minimal bagi lingkungan. Mereka juga memiliki fasilitas pembibitan karang dan kerang serta bekerja bersama sekolah-sekolah setempat untuk memberikan penyadaran akan pentingnya konservasi laut.

“Penghargaan ini menekankan pentingnya CTI-CFF sebagai wahana untuk mempromosikan tata kelola sumber daya yang berkeadilan di pusat upaya pariwisata bahari berkelanjutan,” tutur Rili Djohani, Direktur Eksekutif Coral Triangle Center.

 


Forum Bisnis Regional CTI, Menentukan Aturan Wisata Bahari was first posted on September 2, 2015 at 4:06 am.

Yaki Dan Tarsius Ternyata Punya Peran Penting Ekologis. Apa Itu?

$
0
0

Hari Primata Internasional yang jatuh setiap tanggal 1 September, diperingati Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) dengan menyelenggarakan kuliah umum dihadapan mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Negeri Manado (Unima), pada Selasa (01/09/2015).

Kuliah umum yang diisi Dr. Myron Shekelle, peneliti tarsius sekaligus direktur Tarsier.org dan Dwi Yandhi Febriyanti, S.Hut. research manager Macaca Nigra Project, bertema “Selamatkan Primata Endemik Sulut dari Kepunahan melalui peran serta Pendidikan dan Penelitian”, mengangkat isu-isu mengenai pelestarian primata endemik Sulawesi Utara.

Dr. Myron Shekelle, peneliti tarsius sekaligus direktur Tarsier.org memberikan kuliah umum dihadapan mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Negeri Manado (Unima), pada Selasa (01/09/2015), dalam rangka Hari Primata Internasional yang jatuh setiap tanggal 1 September.  Foto : Themmy Doaly

Dr. Myron Shekelle, peneliti tarsius sekaligus direktur Tarsier.org memberikan kuliah umum dihadapan mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Negeri Manado (Unima), pada Selasa (01/09/2015), dalam rangka Hari Primata Internasional yang jatuh setiap tanggal 1 September. Foto : Themmy Doaly

Menurut Myron Shekelle, primata memainkan peran kunci dalam membantu manusia untuk mencapai tujuan pelestarian lingkungan. Primata juga merupakan kerabat dekat manusia dan memiliki hubungan alamiah untuk melindunginya.

“Primata dapat menjadi flagships untuk konservasi, sama seperti kita lebih cenderung untuk melindungi anggota keluarga dekat kita dibandingkan orang asing yang tidak kita kenal,” ujar Myron yang lebih dari 20 tahun meneliti tarsius di Indonesia.

“Konservasi orangutan misalnya, merupakan topik besar dalam mempromosikan pengembangan budidaya kelapa sawit yang bertanggung jawab dalam permasalahan lingkungan hidup di Indonesia,”  tambahnya.

Eksistensi primata di habitatnya, masih dikatakan Myron, dapat membantu aktifitas harian manusia. Ia mencontohkan, pariwisata primata dapat memberikan insentif ekonomi untuk melestarikan alam.

Di Sulut, pariwisata primata dinilai cukup menonjol, bukan hanya karena wisatawan dapat dengan mudah melihat dua spesies primata yang berbeda, tarsius spektral dan yaki, tetapi karena bentuk yang telah diambil pariwisata.

Uniknya, demikian Myron berpendapat, tidak ada penyandang dana yang besar untuk pariwisata primata di Sulut. Sebab, upaya tadi dilakukan hampir seluruhnya oleh orang-orang lokal dari desa Batuputih.

Ia meyakini, fakta tersebut memerlukan pemikiran yang cermat dan pertimbangan hati-hati terkait cara terbaik untuk mengembangkan potensi Sulut untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan dari sektror wisata alam.

“Pariwisata primata di Sulawesi Utara hampir seluruhnya berbasis masyarakat, yang merupakan bentuk wisata alam yang oleh Bank Pembangunan Asia diidentifikasi memiliki potensi untuk membawa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bagi wilayah ini.”

Yaki, sedang duduk santai sambil melihat orang-orang yang melihatnya. Di Cagar Alam Batu Putih, ada tiga kelompok besar. Foto: Sapariah Saturi

Yaki, sedang duduk santai sambil melihat orang-orang yang melihatnya. Di Cagar Alam Batu Putih, ada tiga kelompok besar. Foto: Sapariah Saturi

Sementara itu, Dwi Yandhi Febriyanti, kepada mahasiswa yang hadir menyatakan, konservasi primata seyogyanya dimulai dengan pertanyaaan tentang seberapa penting peranan primata itu sendiri di alam. Cara menjawabnya secara sederhana bisa dengan mengandaikan dunia tanpa primata

“Apa yang akan terjadi? Beberapa tumbuhan hutan tidak akan tumbuh. Beberapa jenis burung tidak akan hidup. Beberapa serangga tidak akan ada. Beberapa makhluk hidup tidak akan dapat bertahan dari ketidakseimbangan tersebut. Dan akhirnya akan ada kepunahan lokal yang akan berdampak pada kepunahan global,” ungkap Dwi.

Kepunahan tadi bisa terjadi karena primata, ia mencontohkan yaki,memiliki fungsi ekologis. Yaki merupakan salah satu agen penyebar biji tumbuhan di hutan, karena 60% dari makanannya adalah buah-buahan. Sampai saat ini, lanjut Dwi, telah diketahui 144 jenis tumbuhan yang menjadi pakan yaki.

Selain peranan ekologis, Dwi menambahkan contoh pentingnya yaki di Batu Putih. Di sana, yaki menjadi salah satu daya tarik wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Sehingga, dengan adanya kegiatan wisata di desa Batu Putih, maka terbukalah lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa, seperti pemandu wisata, penginapan, dan tempat makan.

“Sehingga, konservasi primata haruslah menjadi bagian dari konservasi keanekaragaman hayati secara menyeluruh dan kompleks. Untuk mewujudkan itu, hanya dengan cara memahami dan melaksanakan ide dan aktifitas konservasi di tingkat spesies,” ujar Dwi.

Billy Gustafianto, staff Informatian and Education PPST, menyatakan kuliah umum, menjadi salah satu cara konservasi melalui pendidikan dan penelitian, yang menjadi faktor penting dalam pelestarian primata endemik.

Sebab, ujar Billy, setiap tahunnya banyak wisatawan serta peneliti asing maupun lokal yang datang untuk mempelajari Macaca nigra serta Tarsius spp. Namun minimnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya primata ini masih menjadi masalah serius.

“Masih banyak masyarakat yang menjadikan M. nigra atau yaki dan tarsius sebagai makanan spesial bahkan menganggap mereka sebagai hama. Padahal, yaki membantu merawat dan memelihara hutan dengan menyebarkan biji-biji tumbuhan yang mereka makan,” jelas Billy.

Ia mencontohkan, tarsius yang merupakan pemakan serangga justru masih sering dianggap sebagai perusak tanaman perkebunan. Hal tersebut dinilai keliru karena tarsius justru membantu petani untuk memangsa serangga yang menjadi hama.

“Untuk itulah penting bagi para mahasiswa yang kelak akan menjadi guru agar dapat mengetahui hal-hal ini, sehingga mereka bisa mengajarkan dan memberitahu orang-orang mengenai pentingnya primata-primata ini bagi manusia,” kata dia.

Sulawesi merupakan rumah bagi 16 jenis primata, 7 jenis Macaca dan 9 jenis Tarsius. Sulawesi Utara sendiri memiliki 2 jenis Macaca, yakni M. nigra dan M. nigrescens. Ada pula 3 jenis Tarsius, yang terdiri dari T. tarsier, T. sangirensis serta  T. tumpara. Jumlah tersebut diperkirakan bisa bertambah jika ada pembuktian lewat penelitian ilmiah.

Namun primata endemik tadi memiliki banyak ancaman yang menyebabkan populasi mereka terus menurun. Diyakini, penyebab utamanya adalah kehilangan habitat maupun perburuan dan perdagangan untuk dikonsumsi ataupun untuk dipelihara.

“Padahal, sejak tahun 1990, semua satwa ini masuk dalam daftar satwa langka yang dilindungi oleh Undang-Undang. Mereka juga masuk dalam daftar satwa prioritas yang harus dikonservasi dan ditingkatkan populasinya berdasarkan peraturan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun ini,” pungkas Billy.


Yaki Dan Tarsius Ternyata Punya Peran Penting Ekologis. Apa Itu? was first posted on September 3, 2015 at 2:43 am.

Kisah Keringnya Wajah Warga Ketika Jatigede Basah

$
0
0

Tak biasanya barisan blokade polisi berjaga di setiap pintu masuk kawasan Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat. Tidak sembarangan orang bisa memasuki area tersebut. Dari mulai pagi buta sampai embun pagi hilang pengamanan masih tetap berlaku.

Warga masyarakat menyemut dan berkumpul seantero wilayah dekat kawasan waduk. Mereka mengajak sanak sodara dan membawa bekal nasi bersama temannya yang dibungkus dengan rapih, seperti sedang mengikuti piknik yang bisa bikin hidup asyik. Adapula warga yang masih melakukan aksi pembatalan penggenangan waduk. Namun, tak berlangsung lama karena jumlah massa tak sebanding dengan banyaknya aparat dari TNI, Polri dan Satpol PP.

Warga berfoto saat peresmian Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, Senin, (31/08/2015). Banyak dari mereka yang sengaja datang hanya untuk menyaksikan pengisian air tahap satu. Foto : Donny Iqbal

Warga berfoto saat peresmian Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, Senin, (31/08/2015). Banyak dari mereka yang sengaja datang hanya untuk menyaksikan pengisian air tahap satu. Foto : Donny Iqbal

Rupanya Senin (31/08/2015) itu adalah hari pertama peresmian penggenangan air yang sudah sering meleset dari jadwal yang ditentukan. Banyak poster yang bertuliskan “Selamat datang Presiden Jokowi” bertebaran sepanjang jalan menuju pintu air Waduk Jatigede.

Sayang, Presiden tak hadir hanya di hadiri Aher, sapaan Gubernur Jabar Ahmad Heriawan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Eki Setiawan, Wabup Sumedang. Dalam acara seremonial itu, kerumunan manusia mengalahkan banyaknya air yang akan menggenangi kawasan tersebut.  Pasukan pengamanan terus disiagakan untuk kelancaran acara yang dibuka tepat pukul 10.00 WIB.

“Pembebasan lahan secara tuntas sudah diputus, yang sudah sepakat pun pemerintah sudah sangat berbuat baik lebih banyak lagi. Karena sesungguhnya sebagian masyarakat itu sudah tidak mempunyai hak apa – apa lagi, karena mereka sudah dibeli tuntas oleh pemerintah saat tahun 2000. Tapi setalah beberapa lama masyarakat mengaku masih sulit mencari tempat tinggal baru, pemerintah kasih lagi santunan per orang Rp29 juta. Kalau masyarakat bisa merencanakan dengan baik, ketika ada uang penggantian pasti mereka sudah membeli lahan ditempat lain,” kata Aher  dalam pidatonya sebelum melakukan penekanan tombol tanda mulainya penggenangan.

Cerita Rohanah

Mentari mulai menampakan wujudnya dari timur kota tahu, Sumedang, Senin (01/09/15). Kali ini sinarnya lebih menghangatkan suasana hati pribumi kawasan Jatigede yang nantinya akan menjadi waduk terbesar kedua di Indonesia setelah Waduk Jatiluhur,  Purwakarta. Namun, tak begitu dengan Rohanah (57) warga Desa Cipaku, Cisitu, Sumedang. Perempuan yang mamasuki usia senja mengaku sudah pasrah dan letih, terlihat dari rambut yang memutih serta kulit keriput yang tidak bisa ia tutupi.

Setiap hari ia membuka warung sederhana, menjajakan barang pokok serta masakan khas sunda yang disajikan di depan rumahnya. Para pelanggannya kini berkurang drastis yang takala Jatigede sudah mulai digenangi. Padahal menurut pengakuanya ketika pagi datang tetangga selalu berkumpul berbelanja keperluan dapur disambung dengan bercengkerama ramah ala tetangga dan telah menjadi pemandangan yang khas dari masyarakat pedesaan. Tetapi kini, satu persatu dari warga di Kampung Cipaku kian sepi ditinggalkan penghuni dusun.

Proses pembangunan waduh Jatigede yang mendapatkan penolakan ribuan warga desa. Sampai saat ini proses ganti rugi lahan belum selesai, padahal waduk tak lama lagi mulai penggenangan. Foto: Indra Nugraha

Proses pembangunan waduh Jatigede yang mendapatkan penolakan ribuan warga desa. Sampai saat ini proses ganti rugi lahan belum selesai, padahal waduk tak lama lagi mulai penggenangan. Foto: Indra Nugraha

Ingatan masih belum hilang dari benak Rohanah yang lahir tahun 1958 silam. Ia membawa kami mamasuki lorong waktu lewat untaian kata yang keluar dari mulutnya meskipun giginya tak secantik saat gadis dulu. Ia tak menyangka akan terjadi seperti sekarang ini, raut mukanya seketika menyimpul menandakan kesedihan mendalam di hati.

“Grubug.. jeglug.. jeglug..,” suara mobil ranger polisi melawati jalanan berbatu persis di depan rumah Rohanah, kami menanyakan kepadanya, (manarik nafas) “Itu mobil yang mengerikan bagi saya, mobil itu membawa perabotan warga agar segera pindah dari sini,” katanya pelan.

Suasana pun kembali hening, dan tak ada orang yang singgah ke warungnya lagi hanya ada orang yang lalu – lalang menggunakan sepeda motor saja. Ketika kami menanyakan rencana pindah rumah, ia mengatakan Cipaku bukan hanya sekedar kampung baginya, tetapi Cipaku merupakan tempat kelahiran orang tua dan leluhurnya.

Dengan mata yang mulai berkaca – kaca ia melanjutkan, untuk pindah pun ia masih belum tahu kemana dan akan menetap dimana, uang konpensai tunggul orang tuanya (ganti rugi pada tahun 1984) sebesar Rp. 122juta pun belum diproses oleh pengadilan dan untuk biaya pindah dari pemerintah sebesar Rp. 29 juta per kartu keluarga (KK) pun belum juga ada digenggamannya. Rohinah adalah salah satu dari warga Cipaku dari jumlah 1200 KK yang belum terselesaikan sejumlah 700 KK.

Sekolah Tenggelam

Ganti rugi yang belum terselesaikan antara lain bangunan 22 SD, 3 SLTP, 40 mesjid, 45 mushola dan 33 posyandu. 26 desa dari 4 kecamatan di kabupaten Sumedang yang akan tenggelam dan belum jelas konpensasinya, dua diantaranya di desa Cipaku yaitu SDN Cipaku dan SDN Sadang.

Sekolah Dasar Negeri Jemah yang akan tenggelam tergenangi air dalam waktu 55 hari peresmian Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat pada Senin (31/08/2015). Foto : Donny Iqbal

Sekolah Dasar Negeri Jemah yang akan tenggelam tergenangi air dalam waktu 55 hari peresmian Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat pada Senin (31/08/2015). Foto : Donny Iqbal

Tisah Nursaidah (55) seorang guru yang sudah mengabdikan seluruh hidupnya dengan mengajar di SDN  Sadang selama 32 tahun. Pengabdiannya sebagai guru  justru terganjal perencanaan pembangunan yang sudah lama dirancang pada tahun 1964  oleh pemerintah. Nasib Tisah sama dengan 5 PNS dan 3 tenaga pengajar pembantu yang mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak – anak yang akan menjadi penerus bangsa tersebut.

“Cangkul – cangkul yang dalam menanam jagung di kebun kita,” petikan lirik lagu menanam jagung karya Bu Sud itu terdengar menggema di SDN Sadang yang berjarak 300 meter dari aliran sungai Cimanuk yang kami temui Selasa ,(02/09/15). Terdapat 96 siswa yang masih bersekolah disana ,dengan wajah lugu dan polos tak tahu apa – apa. Mereka hanya tahu soal uang jajan untuk berangkat ke sekolah kemudian belajar dan bermain sampai bahagia itu menjadi rutinitas mereka.

Kami mengintip dari balik jendela , memposisikan diri hanya sebagai penonton saja. Terlihat tindak – tanduk  mereka seakan tak miliki beban berarti, padahal mereka adalah korban dari pembangunan yang suatu saat nanti diharapkan akan memberi manfaat untuk orang banyak.

Tisah tak kuasa menahan harunya, dari balik kaca matanya dengan sigap tanganya mengambil tisu dalam saku seakan sudah disiapkannya jauh – jauh sebelumnya. Ia menuturkan untuk relokasi SD saja pemerintah tidak menyediakan tempat relokasi. Adapun berkas dan aset sekolah akan di serahkan kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kab. Sumedang. Ia dan sebagian warga yang belum memiliki rumah baru terpaksa masih menetap di desa Cipaku.

Sejumlah murid sedang melakukan belajar mengajar seperti biasa Selasa, (02/09/15) di SD Sadang, Desa Cipaku, Sumedang, Jawa Barat. Setiap hari ada saja murid yang pindah dari SDN Sadang ikut bersama orang tuanya menempati tempat tinggal baru karena seluruh desa Cipaku akan ditenggelamkan untuk penggenangan Waduk Jatigede. Foto : Donny Iqbal

Sejumlah murid sedang melakukan belajar mengajar seperti biasa Selasa, (02/09/15) di SD Sadang, Desa Cipaku, Sumedang, Jawa Barat. Setiap hari ada saja murid yang pindah dari SDN Sadang ikut bersama orang tuanya menempati tempat tinggal baru karena seluruh desa Cipaku akan ditenggelamkan untuk penggenangan Waduk Jatigede. Foto : Donny Iqbal

“Anak-anak masih seperti biasa berangkat ke sekolah setiap pagi, belajar mengajar pun masih seperti  biasa. Cuma, ada yang membuat gelisah kami para guru dan murid  semenjak Jatigede diresmikan,” keluhnya

Setiap hari semua murid SDN di Desa Cipaku harus merasakan rasanya kehilangan sahabat yang telah menggoreskan kenagan indah bersama, lalu pergi dibawa orang tuanya ke tempat lain yang lebih nyaman untuk melanjutkan hidup. Hidup memang sebuah pilihan, kami harap mereka memilih benar. Memilih untuk terus bersekolah meski bukan di tanah kelahiran mereka, tanah sejarah kejayaan Sumedang larang.

Keluhan Petani

Sudah hampir 4 bulan para petani di desa Cipaku menganggur. Akhir- akhir ini petani tidak pergi ke sawah seperti yang dilakukan petani pada umumnya. Wahya (55) pria paruh baya yang berprofesi sebagai petani membenarkan hal tersebut. Para petani lebih disibukkan dengan rutinitas mengurusi urusan ganti rugi yang tak kunjung usai sampai saat ini. Padahal pihak pengelola Jatigede sudah melakukan initial inpounding (pengisian awal) mulai Senin, (31/08/15).

Menurut Wahya, uang ganti rugi belum digenggamannya sementara pemeritah buru – buru dalam peresmian waduk. Ia merasa kecewa  kepada pemangku kebijakan yang tidak meninjau langsung ke lapangan. “Lihatlah dan dengarlah keluh kesah kami sebagai petani,” katanya dengan nada rendah sambil bersidekap.

Wahya memiliki sawah garapan seluas 300 bata atau 300 dikali 14 meter persegi dengan penghasilan panen sekitar 1,7 ton gabah padi dalam sekali panen.  Ia menjelaskan siklus panen di Desa Cipaku terbilang subur yaitu 3x setahun, dengan harga jual gabah berkisar Rp3.700 per kilogram. Belum ditambah komuditi tanaman seperti palawija dan tembakau yang tumbuh subur dengan kualitas baik dan menjadi andalan petani setempat. Pasokan air dari aliran sungai mencukupi untuk mengairi ladang perkebunan dan pesawahan.

Hembusan angin kala itu terasa panas karena tak ada yang hijau disana, sejauh mata memandang hanya hamparan rumput – rumput liar dan ilalang serta kondisi tanah nampak kering seperti merindukan basahnya air hujan. Tak ada kupu – kupu yang terbang bersama angin hanya ada kawanan belalang yang balapan loncat menghindari terik matahari yang sedang galak – galaknya.

Lahan desa yang akan masuk penggenangan Waduk Jatigede, Oktober nanti. Foto: Indra Nugraha

Lahan desa yang akan masuk penggenangan Waduk Jatigede, Oktober nanti. Foto: Indra Nugraha

Kami berteduh di saung milik Wahya yang berjarak 100 meter dari jalan raya Desa Cipaku. Ia menuturkan akan pindah ke daerah kelahiran istrinya di Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang. Penghidupanya berasal dari tanah dan juga mengandalkan hasil tanah, ia kebingungan jika harus pindah kesana ke daerah yang baru. Pasalnya sawah yang puluhan tahun ia garap adalah tanah milik Perhutani. Ia masih belum  tahu mengenai masa depan setelah pindah di kampung barunya mengingat dana santunan pindah dari pemerintah tidak bisa digunakan untuk membeli lahan baru yang nantinya ia garap kembali.

Harga tanah yang semakin mahal menyulitkannya untuk memperoleh lahan, hal yang penting baginya adalah tempat berteduh untuk keluarga. Dalam bahasa sunda ia menyampaikan , “ Bapak mah hirup tina hasil tani oge atos cekap tur bagja jeng saderhana, nu penting mah barudak luhur sakolana sing jadi jelma anu sukses tur bener. (Bapak hidup dari hasil menjadi petani juga sudah cukup tercukupi walaupun sederhana, yang terpenting anak – anak bisa bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan jadi manusia bermartabat dan sukses),” katanya.

Amdal Waduk

Sementara itu, Direktur WALHI Jawa Barat, Dadan Ramdan berpendapat mekanisme pembuatan Amdal belum mengikuti dokumen kajian lingkungan hidup strategis yang memuat lima aspek sesuai dengan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kelima aspek tersebut adalah daya dukung dan daya tampung baik setempat maupun secara kawasan wilayah, kerentangan dan dampak perubahan iklim, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam yang terkena dampak pebangunan daerah sekitar, kerusakanan ekosistem dan potensi rusaknya keaneka ragaman hayati.

“Kami melihat dari lima aspek itu tidak semua ada pada dokumen dokumen perencanaan pembangunan dari Waduk Jatigede. Ini bukan soal AMDAL lagi tapi sudah menyangkut bentang alam yang melintasi desa, sungai, lintas ekosistem berupa hamparan kecamatan bahkan kabupaten” katanya .

Ia juga menyanggah apa yang disampiakan pemerintah terkait dampak positif dari waduk Jatigede yaitu 90 ribu Hektar akan teririgasi, namun sebaliknya akan terjadi hampir 90 hektar lahan pertanian di Majalengka, Cirebon, Kota Cirebon, Indramayu terancam beralih fungsi menjadi industri dan properti.

“Waduk ini akan menghilangkan 1389 hektar kawasan hutan lindung dan produksi” katanya. Dadan juga meminta agar janji 10 megawatt listrik dan sejuta air kubik untuk irigasi agar diuji publik.

Sedangkan dalam peresmian waduk, Menteri PU, Basuki Haldimuljono mengatakan berkomitmen menyelesaikan semua masalah yang masih tertinggal. Dipredisikan butuh waktu 220 hari untuk bisa menenggelamkan semuanya. Namun menurut pihak pengelola, dalam kurun waktu 55 hari sudah bisa digunakan untuk irigasi dengan kawasan terdekat terlebih dahulu. Ketinggian air per hari di pintu air mencapai 20 – 25 meter.

Pembangunan Waduk Jatigede diprioritaskan untuk irigasi seluas 90 ribu hektar yang berada di hulu bendungan Jatigede dengan daerah irigasi rentang, mencakup wilayah Kabupaten Majalengka, Cirebon, Cirebon Kota dan Indramayu, dan sebagian Sumedang.

Membangun dan dibangun adalah sebuah cara pemerintah memecahkan masalah seperti meningkatkan taraf hidup  rakyatnya. Salah satu tujuan pemerintah yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945,  yaitu meningkatkan kesejahteraan umum. Akan selalu ada yang dikorbankan adalah proses perubahan. Semoga pemerintah tidak hanya memikirkan tentang keuntungan oriented tetapi memikirkan juga kesejahteraan rakyat dan bertanggung jawab terhadap alam ibu pertiwi.


Kisah Keringnya Wajah Warga Ketika Jatigede Basah was first posted on September 5, 2015 at 5:23 am.

Wisata Melepas Tukik di Kampung Penyu Selayar

$
0
0

Hari menjelang senja. Matahari keemasan di kanvas langit yang merah gelap perlahan turun hingga melewati garis pantai pada Rabu (02/09/2015). Belasan orang bercengkrama dengan masing-masing seekor anakan penyu atau tukik di tangannya, yang perlahan melepaskannya terbawa arus balik ombak. Dan kamera dari berbagai macam merk pun bergantian mengabadikan peristiwa tersebut: pelepasan tukik ke alam bebas.

Itulah yang terjadi di sebuah kawasan penangkaran penyu, yang terletak di pesisir barat Selayar, tepatnya di Desa Barugaia, Kecamatan Bonto Manai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Sebuah kawasan pesisir pantai sepanjang 700 meter, yang oleh warga sekitar disebut Kampung Penyu. Berjarak sekitar 10 km dari ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar.

Meski baru dibangun April 2013, namun Kampung Penyu cukup populer di kalangan masyarakat Selayar, daerah lain dan bahkan mancanegara. Di hari-hari libur, banyak wisatawan berkunjung menikmati sensasi bermain dengan tukik, sebelum melepaskannya ke alam bebas.

Kampung Penyu di Desa Barugaia, Kecamatan Bonto Manai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan yang didirikan sejak 2013 lalu kini dikenal luas bahkan hingga mancanegara. Sejak didirikan, sekitar 3000 tukik atau bayi penyu telah dilepas ke alam bebas. Foto : Wahyu Chandra

Kampung Penyu di Desa Barugaia, Kecamatan Bonto Manai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan yang didirikan sejak 2013 lalu kini dikenal luas bahkan hingga mancanegara. Sejak didirikan, sekitar 3000 tukik atau bayi penyu telah dilepas ke alam bebas. Foto : Wahyu Chandra

Kampung Penyu, yang merupakan singkatan dari Perkumpulan Pemuda Pelindung Penyu. Kawasan konservasi penyu ini diinisasi oleh Sileya Scuba Drivers (SSD), sebuah organisasi penyelam di Kepulauan Selayar.

Inisiatif pembuatan kampung penyu ini didasari oleh keprihatinan maraknya aktivitas pengambilan telur di Desa Barugaia, salah satu kawasan pantai habitat penyu di Selayar.

“Saat itu perdagangan telur penyu sedang marak di pasar-pasar. Kami datangi mereka dengan berpura-pura sebagai pembeli. Lalu kami tanya-tanya dimana mereka mendapatkan telur-telur penyu itu. Sebagian besar memang berasal dari Desa Barugae,” kata Ronald Yusuf, Wakil Ketua SSD.

Pengumpulan telur penyu ataupun perburuan penyu lazim ketika itu, karena belum adanya larangan yang tegas dari pemerintah. SSD kemudian melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang larangan penangkapan satwa dilindungi itu.

“Dari situ terlihat mereka mulai takut mengumpulkan telur. Kalau pun ada, dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Banyak dari warga yang dulunya sangat aktif kini berhenti, mungkin karena takut ataupun karena kesadaran.”

Salah satunya adalah Datu, salah seorang kepala dusun di Desa Barugae, yang dulu terkenal aktif mengambil penyu. Secara persuasif, SSD mengajak Datu dan warga lain untuk membentuk Kampung Penyu ini.

“Kami mengajak Pak Datu untuk bergabung dalam Kampung Penyu dan menunjuknya sebagai ketua. Ia punya peran strategis karena ia adalah kepala dusun dan selama ini dikenal sebagai predator. Di awal ia memang cukup antusias terlibat dalam Kampung Penyu ini,” jelas Ronald.

Datu mengakui menghentikan pengambilan telur setelah mendapatkan penjelasan dari SSD, karena ia resah dengan semakin banyaknya aktivitas pengambilan telur oleh warga di wilayahnya.

“Dengan semakin banyaknya pengumpul telur, otomatis jumlah telur di alam semakin terbatas. Jumlah induknya juga semakin berkurang,” ungkap Datu.

Datu dulunya dikenal sebagai pengumpul telur penyu yang paling aktif. Kini dia justru terlibat dalam konservasi penyu melalui Kampung Penyu di Desa Barugaia, Kecamatan Bonto Manai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan yang didirikannya bersama SSD pada tahun 2013 lalu. Foto : Wahyu Chandra

Datu dulunya dikenal sebagai pengumpul telur penyu yang paling aktif. Kini dia justru terlibat dalam konservasi penyu melalui Kampung Penyu di Desa Barugaia, Kecamatan Bonto Manai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan yang didirikannya bersama SSD pada tahun 2013 lalu. Foto : Wahyu Chandra

Saat ini, Datu memperkirakan jumlah indukan penyu yang sering bertelur di pantai tersisa 14 ekor. Meski dagingnya bisa dikonsumsi, namun tak ada warga yang mau menangkap atau membunuh penyu dewasa, karena menyadari sebagai sumber penghasil telur.

Obat Perkasa

Meski bukan pekerjaan utama, sebagian besar warga di Desa Barugae menjadikan aktivitas pengumpulan telur penyu sebagai aktivitas tambahan. Sekedar menambah sumber penghasilan dan dikonsumsi sendiri. Apalagi ketika hasil tangkapan ikan di laut sedikit. “Ada keyakinan bahwa telur penyu bisa memberikan efek keperkasaan pada laki-laki,”  ungkap Datu.

Terkait keyakinan ini, pihak Taman Nasional Takabonerate pernah menguji kebenaran dari mitos ‘efek keperkasaan’ telur penyu ini dan hasilnya ternyata negatif.

“Mungkin ini hanya sugesti saja. Telur penyu memang mengandung gizi yang tinggi namun efeknya lebih pada menambah nafsu makan saja,” jelas Ronald.

Penyu bertelur di pesisir pantai, dengan cara menggali lubang di tempat yang aman. Rata-rata bertelur hingga 80-120 telur. bahkan ada yang sampai 200 telur, meski sangat jarang terjadi.

“Penyu itu sangat sensitif terhadap cahaya, jadi jangan berharap akan menemukan lokasi telur di tempat yang mempunyai cahaya terang. Ia punya kemampuan tersendiri menemukan kordinat tersendiri yang kondusif untuk bertelur,” jelas Ronald.

Dengan kecerdasannya, penyu bisa menemukan tempat aman dari arus laut dan temperatur untuk bertelur. Ia bahkan sering mengecoh dengan membuat tempat bertelur palsu, sehingga susah ditemukan.

Di penangkaran, tukik dirawat dengan disuapi pakan potongan daging ikan, dan kebersihan kolam yang dijaga dengan air diganti dua kali sehari.

Meski mendapat bantuan, Datu sering merogoh kantong sendiri untuk operasional penangkaran. “Pernah saya harus mengeluarkan uang pribadi sekitar Rp 3 juta untuk biaya kebutuhan sehari-hari tukik ini.”

Sejak dikenal mulai 2014, Kampung Penyu mendapat berbagai bantuan. Dari Dinas Perikanan dan Kelautan membangunkan tempat penangkaran yang lebih permanen. Dinas Pariwisata Selayar membangun gazebo untuk tempat istirahat pengunjung. Jalanan menuju lokasi berjarak sekitar 100 meter dari jalan raya juga dibangun jalan beton.

Dari swasta ada juga bantuan dari PT Mars, berupa pompa untuk mensuplai air pergantian air isi kolam. Bantuan uang dari sejumlah pihak digunakan untuk membeli tukik dari warga lain.

“Kita kadang beli tukik dari hasil pengumpulan warga seharga Rp1000 per ekor. Ini di atas harga di pasar yang hanya sebanyak Rp600 per ekornya.”

Sumber pendanaan lain diperoleh dari pengunjung yang datang untuk melepas tukik, dengan tarif Rp50 ribu untuk turis asing dan Rp25 ribu bagi turis domestik.

Seorang wisatawan melepaskan tukik di Kampung Penyu Desa Barugaia, Bonto Manai, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Operasional Kampung Penyu, selain berupa bantuan langsung pemerintah dan swasta juga dengan paket wisata berupa pelepasan tukik ke pantai. Bagi wisatawan asing dikenakan biaya Rp50 ribu dan Rp25 ribu untuk wisatawan domestik. Foto : Wahyu Chandra

Seorang wisatawan melepaskan tukik di Kampung Penyu Desa Barugaia, Bonto Manai, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Operasional Kampung Penyu, selain berupa bantuan langsung pemerintah dan swasta juga dengan paket wisata berupa pelepasan tukik ke pantai. Bagi wisatawan asing dikenakan biaya Rp50 ribu dan Rp25 ribu untuk wisatawan domestik. Foto : Wahyu Chandra

Hingga kini sekitar 3000 ekor tukik yang dilepas ke laut. Pelepasan biasanya dilakukan setelah tukik berusia sebulan, atau ketika dirasa cangkangnya telah cukup kuat, sehingga tidak menjadi mangsa ikan-ikan predator.

Di alam sendiri, meski penyu bisa bertelur hingga 200 ekor, hanya 3-4 tukik yang hidup. Penyebabnya, antara lain gagalnya telur menjadi tukik karena membusuk tergenang air pasang, dan dimangsa oleh predator.

Dengan ribuan tukik yang telah diselamatkannya, Datu bertekad untuk tetap melanjutkan penangkaran tersebut, meski dengan anggaran terbatas. Ia bahkan telah membuat kampanye donasi untuk penangkaran tersebut, meski belum dilakukan secara lebih luas.

Tanam mangrove

Datu dengan warga sekitar juga berupaya mempertahankan kelangsungan ekosistem mangrove di kawasan itu, dengan penanaman mangrove.  Mereka telah menanam setengah dari 17.200 bibit di 45 petak yang direncanakan. Tetapi pertumbuhan bibit terganggu cuaca panas ekstrim. “Daunnya ada yang kering karena pengaruh cuaca yang panas dan tak ada hujan,” ungkap Datu.

Menurut Datu, penanaman mangrove ini dilakukan sebagai bagian dari perlindungan kawasan, sekaligus membangun kesadaran warga akan pentingnya mangrove.

Warga yang terlibat sebelumnya dilatih untuk melakukan pembibitan dan penanaman yang benar dari Yayasan Eco Natural. Metode yang mereka terapkan relatif baru bagi Warga setempat, namun diyakini memiliki potensi tumbuh yang lebih besar.

Rehabilitasi didukung Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) setempat dan swasta yaitu CV Emas Hijau.

“Ada bantuan bibit dan juga sedikit biaya untuk membuat petakan. Jumlahnya sedikit, sekedar pengganti ongkos warga yang terliat karena mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka untuk terlibat dalam kegiatan ini.”


Wisata Melepas Tukik di Kampung Penyu Selayar was first posted on September 7, 2015 at 5:03 am.

KNTI : Hak Nelayan Mulai Dikebiri

$
0
0

Walau Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo berambisi menjadikan Indonesia sebagai negeri maritim kelas wahid di dunia, namun kenyataannya hak-hak nelayan pada saat ini justru semakin dikebiri. Kondisi itu sangat memprihatinkan dan harus segera diperbaiki.

Demikian diungkapkan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik di Jakarta, Senin (07/09/2015). Menurut dia, Pemerintah Jokowi saat ini dinilai sudah melewati batas harapan dari para  nelayan yang menjadikan laut sebagai sumber kehidupan mereka.

“Bagaimana jadinya kalau hak-hak nelayan mulai dikebiri? Nasib mereka bagaimana?” ujar Riza.

 Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Dalam pandangan dia, proses pengebirian hak-hak nelayan mulai dilakukan secara sistematis di masa pemerintahan Jokowi sekarang. Proses tersebut dilakukan melalui dua skema. Rinciannya, kata dia, adalah nelayan dirampas ruang hidup, tempat tinggalnya. Dalam kasus ini, hak nelayan hilang misalnya karena ada proyek reklamasi pantai.

“Saat nelayan harus kehilangan tempat tinggalnya karena ada reklamasi, maka nelayan dikebiri untuk menjadi susah. Itu sama sekali bukan kebijakan yang benar dan baik,” tutur dia.

Selain penggusuran ruang hidupnya, Riza menyebutkan, skema lain yang dinilai muncul dan terjadi di masa pemerintahan Jokowi, adalah dengan meminggirkan nelayan dari tempat mata pencahariannya. Dalam hal ini, nelayan digusur dari lautan yang menjadi sumber kehidupannya.

“Kalau sudah demikian, jelas bahwa nasib nelayan digusur dengan sangat sistematik,” tandasnya.

Tiga Indikator

Dua skema yang menjadi sumber penggusuran nasib nelayan di masa pemerintahan Jokowi tersebut, menurut Riza Damanik, tidak akan pernah berakhir jika tidak ada yang menghentikannya. Dan, di antara pihak yang bisa menghentikannya, adalah Pemerintah Indonesia.

“Pemerintah adalah kunci utama dari masalah ini. Harus ada tindakan segera mengatasi masalah ini,” cetus dia.

Akan tetapi, walau Pemerintah menjadi aktor utama untuk menyelesaikan masalah penggusuran hak-hak nelayan, namun kenyataannya hal itu sama sekali tidak terjadi saat ini. Kata Riza, kondisi itu yang terlihat saat ini.

Ada tiga indikator yang memperlihatkan belum ada perhatian dari Pemerintah saat ini. Yang pertama, Pemerintah tidak berusaha mengerem atau melakukan moratorium terkait reklamasi atau pembangunan kota-kota pantai.

“Contoh nyata adalah proyek reklamasi pantai di Teluk Jakarta dan Teluk Benoa. Yang kita tahu, banyak studi itu tidak menjelaskan bahwa proyek tersebut tepat dilaksanakan. Pada saat bersamaan,  masyarakat juga berkeberatan,” papar dia.

“Itu sudah jelas skenario reklamasi akan berdampak buruk pada lingkungan. SK Gubernur DKI tahun 2014 tentang reklamasi tu terindikasi bertentangan dengan perundang-undangan yang ada,” tambah dia.

Indikator kedua yang memperlihatkan bahwa pemerintah belum perhatian, kata Riza, adalah ketiadaan solusi dari Pemerintah pasca penegakan hukum di laut.

“Kita tentu memberikan apresiasi, Pemerintah tak henti-henti memerangi praktek illegal fishing. Tapi pada saat yang bersamaan, pemerintah tidak juga menyelesaikan masalah cantrang, atau pembudidaya lobster,” ucap dia.

“Ini sudah 8 (delapan) bulan tanpa ada kejelasan. Jangan dibiarkan berlarut-larut seperti ini. Ada 10 ribu lebih KK (kepala keluarga) di Pantura yg menganggur karena kebijakakan cantrang,” tambahnya lagi.

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Indikator terakhir yang terlihat adalah belum adanya reaksi dari Pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Hingga saat ini, belum ada yang mengambil inisiatif untuk mengoreksi perundang-undangan yang ada terkait pemanfaatan sumber daya laut dan pulau-pulau kecil dan terluar untuk dikelola oleh asing.

“UU Perikanan, juga sama. Harus ada revisi atau perbaikan. Begitu juga Peraturan Presiden harus diperbaiki. Jika tidak direvisi, maka sah-sah saja asing untuk masuk Indonesia. Peraturan yang dimaksud, adalah UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dan Perpres No.39 Tahun 2014 tentang usaha yang dibuka dan ditutup untuk penanaman modal asing,” papar dia.

Akui Belum Ada Inisiatif

Terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mengakui kalau saat ini peraturan dan perundang-undangan yang ada belum melindungi nelayan sepenuhnya. Menurutnya, hal itu karena belum ada revisi peraturan atau perundang-undangan terkait.

“Bagaimana mau melindungi nelayan sepenuhnya, jika peraturannya sendiri belum melindungi secara penuh. Ini jadi PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan,” ungkap Susi.

Namun demikian, Susi mengungkapkan, saat ini peraturan-peraturan tersebut ada yang sudah masuk rencana revisi.”Salah satunya, Perpres yang akan direvisi,” tegasnya.

Jika peraturan atau perundang-undangan sudah diperbaiki, Susi meyakini perlindungan terhadap nelayan bisa dilakukan dengan maksimal. Jangan sampai, perlindungan terhadap profesi nelayan dilakukan, tapi perlindungan terhadap wilayah tangkapan nelayan justru tidak diliakukan.

“Itu yang terjadi sekarang. Nelayan profesinya terlindungi, karena sudah ada dalam Undang-Undang Perikanan. Tapi bagaimana dengan wilayah tangkapan nelayan, apakah sudah terlindungi juga? Itu yang masih menjadi tanda tanya,” ungkap dia.

Karena melihat belum ada perlindungan penuh terhadap nelayan, Susi berpendapat kalau keberadaan UU Perikanan saat ini juga belum maksimal.”Ini yang harus diperbaiki. Semoga nelayan ke depan bisa terlindungi dengan maksimal,” pungkas dia.


KNTI : Hak Nelayan Mulai Dikebiri was first posted on September 8, 2015 at 12:22 am.

4.000 Kapal Dibagikan kepada Nelayan Pada 2015-2016

$
0
0

Saat ekonomi nasional sedang mengalami perlambatan karena depresiasi rupiah terhadap mata uang dolar AS, sektor kelautan dan perikanan tetap memperlihatkan optimismenya. Hal itu, karena produksi perikanan tangkap pada saat ini terus memperlihatkan kenaikan di seluruh Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, menyebut situasi sekarang sebagai kerugian yang membawa keuntungan untuk para pelaku di industri perikanan nasional.”Sekarang ini situasinya memang rupiah sedang turun. Tapi ini juga menjadi bless in disguise. Ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik,” ujarnya di Jakarta, Selasa (08/09/2015).

Dengan situasi seperti sekarang, menurut Susi, ikan yang diekspor akan bernilai sangat tinggi. Karena, untuk ekspor, harga yang digunakan adalah dolar AS.”Itu artinya akan ada peningkatan signifikan untuk harga ekspor. Ini menjadi keuntungan juga buat nelayan,” tutur dia.

“Semangat ini harus tetap terjaga. Peningkatan produksi ikan ini diharapkan bisa menjadi indikator kebangkitan sektor perikanan dan kelautan,” tambah dia.

4.000 Kapal untuk Nelayan

Akan tetapi, Susi Pudjiastuti menyadari, meningkatnya produksi perikanan saat ini harus diikuti dengan penambahan kapal tangkap yang digunakan oleh nelayan. Karena, jika kapal tidak ditambah, maka hasil tangkapan ikan juga tidak bisa dimaksimalkan dengan baik.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Untuk itu, mulai 2015 ini, KKP akan membagikan kapal-kapal kepada para nelayan yang tersebar di seluruh Indonesia. Targetnya, akhir 2016 nanti 3.000 hingga 4.000 kapal bisa disalurkan kepada para nelayan.

“Kita ingin bisnis perikanan hilirisasinya lebih baik lagi. Itu akan berdampak positif untuk ekonomi nasional juga,” ungkap Susi.

Untuk keperluan itu, KKP menggandeng sejumlah pelaku usaha industri galangan kapal dalam negeri dalam pengadaan kapal. Salah satunya, adalah industri galangan kapal yang ada di Batam, Kepulauan Riau.

“Selain membantu nelayan, proyek ini juga menghidupkan industri galangan kapal dalam negeri. Jadi positifnya bertambah lagi. Kita optimis, pada akhir 2016 nanti seluruh kapal sudah bisa didistribusikan ke seluruh Indonesia,” tandas dia.

Terkait teknis pendistribusian, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja, mengungkapkan, program tersebut akan dilaksanakan pada dua tahun, 2015-2016. Total, ada sekitar 4.000 kapal yang akan dibagikan kepada nelayan.

“Jadi ada 3.500 kapal yang akan dibagikan kepada nelayan. Dananya itu dari APBN. Selain itu, ada juga kapal angkut yang akan ikut dibagikan. Jika dijumlahkan total, berari ada 4.000 kapal yang akan dibagikan hingga akhir 2016 nanti,” jelas Sjarief.

Dia menjelaskan, untuk program tersebut, Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp4,7 triliun yang diambil dari dana alokasi khusus (DAK) APBN. Khusus untuk 2015, kapal yang akan dibagikan kepada nelayan jumlahnya mencapai 160 kapal.

“Dana Rp4,7 triliun itu dari DAK. Berikutnya kita berharap dana bertambah lagi untuk pengadaan 1.000 kapal,” cetus dia.

Teknis Pendistribusian Kapal

Sebagai permulaan, Sjarief Widjaja memaparkan, pada tahun ini KKP siap mendistribusikan 160 kapal ke nelayan di seluruh Indonesia. Pelaksanaannya dimulai pada Oktober mendatang. Nelayan yang mendapatkan kapal dipilih secara acak melalui koperasi Ina bahari setempat.

Dia menjelaskan, masing-masing kapal yang akan didistribusikan tersebut akan diberikan kepada kelompok nelayan yang ada. Per kapal itu jumlah nelayannya disesuaikan dengan kapasitas kapal yang akan dibagikan.

Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

“Jadi contohnya, untuk kapal yang bobotnya 30 GT (gross tonnage) itu kelompoknya terdiri dari 10-15 orang nelayan. Kemudian yang bobot kapalnya 10 GT itu kelompoknya terdiri dari 5-10 orang. Kelompok tersebut akan diverifikasi dulu sama tim,” jelas dia.

Untuk nelayan yang akan mendapatkan 160 kapal tersebut, kata Sjarief, menyebar di seluruh Indonesia dan di wilayah-wilayah yang dinilai sangat memerlukannya. Wiilayah tersebut di sepanjang pesisir Pantai Selatan dan Pantai Utara Pulau Jawa.

“Namun walau sama-sama di Pulau Jawa, kapal yang akan dibagikan juga berbeda. Itu merujuk pada kondisi perairan di wilayah masing-masing,” sambung dia.

Yang dimaksud berbeda, menurut Sjarief, yaitu menyesuaikan kondisi perairan di wilayah tangkap para nelayan. Contohnya, untuk Pantai Selatan, karena perairannya bagus karena menghadap Samudera langsung, maka kapal yang akan dibagikan 10 GT saja.

“Tapi, kalau di Pantai Utara, karena ikan sudah tidak ada di pinggiran pantai, maka kapal yang diberikan berbobot 30 GT. Jadi nantinya nelayan akan menangkap ikan ke wilayah yang lebih jauh seperti Natuna atau ke Ambon,” ungkap dia.

Untuk memudahkan pelaksanaan program, KKP juga akan bekerja sama dengan Kementerian Koperasi untuk mendorong tumbuhnya koperasi mina bahari. Dengan menjadi koperasi, nelayan nanti punya legalitas sebagai badan hukum.

“Mereka nanti punya kapal, aset. Dari situ, mereka bisa dapat kredit dari bank untuk modal koperasi karena ada jaminan kapal. Kalau kelompok perorangan kan tidak punya kekuatan hukum,” tandas dia.

Sjarief berharap, dengan membentuk koperasi lebih dulu, akan terjadi sinergitas antara nelayan, pemerintah dan juga stakeholder lain yang terlibat dalam industri perikanan.”Jika sudah demikian, satu-satunya hal yang akan muncul adalah kemajuan ekonomi nelayan,” pungkas dia.

 


4.000 Kapal Dibagikan kepada Nelayan Pada 2015-2016 was first posted on September 9, 2015 at 2:46 am.

Kapal Hong Kong Masih Menangkap Ikan di Natuna

$
0
0

Walau sudah hampir setahun pemberantasan oleh Pemerintah Indonesia, namun hingga saat ini masih ditemukan indikasi terjadinya aksi illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing di berbagai wilayah perairan.

Indikasi tersebut dilaporkan masih terjadi di perairan di sekitar Pulau Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Hal tersebut diungkapkan langsung Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/9/2015).

“Kita mendapat laporannya dari warga Natuna. Ada indikasi saat ini masih terjadi aksi penangkapan ikan oleh kapal-kapal dari Hong Kong,” ucap Susi.

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Kapal-kapal tersebut, menurut Susi, datang untuk menangkap ikan dengan cara yang tidak baik. Biasanya, kapal-kapal tersebut menangkap ikan dengan menggunakan potasium dan meledakannya di sekitar perairan yang dideteksi ada ikan yang banyak.

“Cara tersebut jelas tidak dibenarkan. Karena walau ikannya bisa mendapat banyak, tapi efeknya bisa merusak ekosistem yang ada. Itu jelas membahayakan juga untuk keberlangsungan ikan-ikan di perairan tersebut,” jelas dia.

“Namun, selain karena merusak, seharusnya juga kan kapal-kapal asing tidak boleh lagi mengambil ikan di perairan Indonesia. Itu sudah dilarang,” tambah dia.

Karena itu, Susi mencurigai ada sindikat pencurian ikan di wilayah Natuna. Kecurigaan itu didasarkan pada fakta bahwa kapal-kapal ikan dari Hong Kong sudah lebih dari 15 tahun mengambil ikan dari perairan wilayah Natuna.

“Kita juga mendapat laporan dari masyarakat langsung tentang aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan kapal-kapal dari Hong Kong itu. Itu juga jadi persoalan,” jelas dia.

“Tidak hanya karena illegal, kita menolak ada kapal ikan dari Hong Kong, karena mereka juga membawa rakitan bom-bom yang akan digunakan untuk menangkap ikan. Destructive fishing itu sangat kita tentang,” tambah dia.

Mengenai sindikat pelaku IUU Fishing, Susi berkomentar bahwa kondisinya saat ini memang sudah semakin parah dan menyebar ke kawasan timur Indonesia. Dia mengibaratkan, pelaku pencurian ikan sama seperti pelaku pembalakan liar di hutan-hutan.

“Jika di satu perairan ikannya sudah habis, reef-nya (karang) juga sudah tidak ada, maka dia akan bergerak lagi. Sekarang sudah ke timur. Kalimantan atas dan terus ke sana lagi,” papar dia.

Dalam kesempatan tersebut, Susi mempertegas masih adanya IUU Fishing di Natuna dengan menunjukkan sebuah pesan singkat (SMS) dari seorang warga di pulau tersebut. Berikut sebagian dari isi SMS tersebut:

Di Natuna sudah muk hampir 15 tahun kapal jongkong muk ambil ikan hidup,, dan itu sebagai kehidupan ekonomi masyarakat nlayan yang ada 70% di Natuna,,tapi sayang bu cara nelayan sekarang sudah di luar batas,ada sebahagian nelayan yang menggunakan putas tuk mengambil ikan kerapu.”

Kerja Sama 4 Negara

Menindaklanjuti masih maraknya aksi IUU Fishing, Indonesia bergabung dengan 3 (tiga) negara tetangga, yakni Timor Leste, Papua Nugini, dan Australia. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memerangi IUU Fishing.

“Akhir bulan ini akan ada penandatanganan kerjasamanya. Mungkin nanti Fiji akan bergabung juga. Dari kerja sama ini diharapkan penanganan aksi IUU Fishing bisa lebih cepat lagi. Karena, negara-negara ini memang memiliki riwayat yang sama dengan Indonesia. Lautnya sama-sama dicuri ikannya,” jelas Susi Pudjiastuti.

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

“Saat ini saja, masih terlihat dari satelit kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah perairan Indonesia. Sebagian besar masuk dari Papua Nugini dan Timor Leste,” tambah dia.

4 Kapal Vietnam

Sebelum Susi Pudjiastuti memaparkan tentang indikasi adanya sindikat pelaku IUU Fishing di Natuna, pada Senin (07/09/2015), KKP lebih dulu menangkap 4 (empat) kapal asing dari Vietnam. Penangkapan tersebut dilakukan pada pukul 12.05 WIB di perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI), Laut Cina Selatan, Natuna, Kepri.

Dari keterangan yang diberikan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Asep Burhanudin, kapal-kapal tersebut ditangkap oleh Kapal Pengawas (KP) Hiu Macan 001.

Adapun, empat kapal tersebut, adalah KG 93525 TS (GT 139, ABK 20 orang); KG 91490 TS (GT 139, ABK 5 orang Vietnam); KG 93877 TS (GT 139, ABK 4 orang Vietnam) dan KG 93577 TS, (GT 139, ABK 22 orang Vietnam).

“Keempat kapal tersebut tertangkap tangan saat sedang melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) tanpa dilengkapi dokumen-dokumen perizinan kegiatan penangkapan ikan dari Pemerintah RI, dan menggunakan alat tangkap yang dilarang pair trawl,” ujar Asep.

Menurut dia, kapal-kapal penangkap ikan tersebut untuk sementara diduga melanggar Pasal 93 ayat (2) jo Pasal 27 (2) UU No 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU RI No 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Keempat kapal tersebut terancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20 miliar.

“Saat ini, empat kapal yang terdiri dari 51 ABK itu menjalani proses hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan,” pungkas Asep.


Kapal Hong Kong Masih Menangkap Ikan di Natuna was first posted on September 10, 2015 at 1:29 am.

Pengamat : INDC Indonesia Berpotensi Bermasalah Besar

$
0
0

Pemerintah Indonesia sudah menyelesaikan dokumen Intended Nationality Determined Contribution (INDC) dengan target penurunan emisi karbon pada 2030 sebesar 29%. Pasca 2020, pembangunan rendah emisi negeri ini akan fokus pada sektor energi, pangan dan sumber daya air serta memperhatikan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Dalam pengantar tertulisnya, Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim Nasional, Sarwono Kusumaatmadja mengatakan dokumen draft final INDC itu telah diserahkan kepada Presiden Jokowi pada Senin (31/08/2015) yang lalu, berisi niat pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pengendalian perubahan iklim selama kurun 2015-2020.

Sarwono K (Ketua DPPI, paling kiri), bersama Siti Nurbaya, Menteri LHK, Rahmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden dan Wimar Witoelar (Pendiri YPB) dalam diskusi soal Konferensi Perubahan Iklim COP 21 dan INDC di Manggala Wanabhakti, Rabu (2/9/15). Foto: Sapariah Saturi

Sarwono K (Ketua DPPI, paling kiri), bersama Siti Nurbaya, Menteri LHK, Rahmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden dan Wimar Witoelar (Pendiri YPB) dalam diskusi soal Konferensi Perubahan Iklim COP 21 dan INDC di Manggala Wanabhakti, Rabu (2/9/15). Foto: Sapariah Saturi

Sarwono dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, pada Rabu (02/09/2015) mengatakan INDC negara lain ada yang hanya menekankan mitigasi, hampir tidak ada adaptasi. “Indonesia mau berimbang. Adaptasi dan mitigasi berimbang.” Mengapa adaptasi penting, katanya, karena Indonesia, memiliki pantai terpanjang kedua setelah Kanada dan layak huni.

Sedangkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dalam kesempatan yang sama mengatakan dokumen INDC, disusun dengan kerja keras Kementerian LHK bersama dengan Dewan Pengarah Perubahan Iklim, Utusan Khusus Presiden, Bappenas dan berbagai kementerian dan lembaga. Dari hasil pemikiran itu, keluar ketahanan nasional terhadap perubahan iklim dalam hal utama yakni, pangan, energi dan penyelamatan sumber daya air.

Pemerintah sendiri akan menerima masukan dari berbagai pihak selama dua minggu, sebelum dokumen INDC tersebut diserakan kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk menjadi masukan bagi Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Paris pada Desember 2015.

Menanggapi dokumen INDC tersebut, Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance  Thamrin School of Climate Change and Sustainability mengapresiasi keluarnya dokumen komitmen pengendalian perubahan iklim pemerintah Indonesia itu.

Dia mengatakan penekanan yang seimbang antara mitigasi dan adaptasi dalam INDC Indonesia menjadi nilai lebih dibanding negara lain.

“Keseimbangan adaptasi dan mitigasi, dengan tujuan tertinggi untuk climate resilience sangat baik. Itu bisa menonjol dalam perundingan (COP 21) karena sebagian besar negara tidak membuat adaptasi dan mitigasi secara seimbang. INDC banyak negara lebih banyak menekan mitigasinya,” kata Jalal yang dihubungi Mongabay pada Selasa (08/09/2015).

Dia melihat climate resilience sebagai tujuan atau pesan penting menjadikan luar biasa powerfull. Akan tetapi dia menyoroti proses pembuatan dokumen yang tidak melibatkan para pemangku kepentingan penanganan perubahan iklim di Indonesia.

“Tetapi bagaimanapun, bicara proses jadi INDC ini banyak orang yang melihat bermasalah dan saya mengamati dari perjalanan indc sampai sekarang masalah utama adalah partisipasi atau pelibatan pemangkju kepentingan dalam penyusunannya,” katanya.

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013. Foto : Jay Fajar

Menurutnya ada tiga rumus dasar pelibatan pemangku kepentingan dalam penyusunan INDC Indonesia, yaitu inklusif, materialitas dan responsiveness.

“Inklusif, artinya seluruh pemangku kepentingan dipetakan, diketahui dan diajak berpartisipasi  seluruhnya. Diketahui pihak-pihak yang memiliki hak untuk didengar. Kalau prosesnya tidak inklusif, sebagian pemangku kepentingan akan mempermasalahkan. Mereka belakangan merasa ditinggal. Buntutnya ownership dokumen INDC akan bermasalah. Bahkan bisa dinyatakan ownership­-nya rendah,” jelasnya.

Sedangkan materialitas dimaksudkan seluruh isu yang dipandang penting, seharusnya didiskusikan secara memadai. “Kalau prinsip pertama dilanggar, tidaklah mungkin seluruh isu yang penting untuk stakeholder bisa didiskusikan secara benar. Tidak mungkin isunya menjadi komprehensif. Dasar dari yang pertama, apa ada pihak swasta, pihak non state, atau sub nasional dilibatkan? Keterwakilan LSM bagaimana? Kalau keterwakilan digugat,  maka jadi tidak bisa didiskusikan karena wakil tidak ada,” katanya.

Sementara tentang responsiveness, Jalal melihat apakah ada jaminan dari pemerintah bahwa masukan dari para pemangku kepentingan akan dimasukkan dalam dokumen INDC. “Mereka yang sudah memikirkan, menulis, dan menyampaikan pendapatnya, apakah ada sistem yang menjamin masukan itu dimasukkan ke dalam IINDC? Kalau prosesnya tidak inklusif, maka sudah jelas timbul masalah responsifness,” tegasnya.

Melihat tiga prinsip tersebut, Jalal melihat penyusunan INDC berpotensi memiliki persoalan besar. “Bagaimanapun INDC karena harus di-submitt 1 Oktober ke UNFCCC. Maka kemungkinan persoalan-persoalan tadi membuat ownership INDC tidak cukup tinggi,” katanya.

Meski pemerintah memberi waktu selama dua minggu untuk memberi masukan terhadap draft final INDC, dia melihat waktunya tersebut tidak cukup merangkum semua permasalahan.

“Mustahil merangkum semua dalam 2 minggu, tapi kemudian membuka masukan, setidaknya akan mengurangi masalah dari prinsip 1 dan 2. Kalau seorang atau lembaga dan belum dapat peluang penyusunan INDC, bisa memberikan masukan dalam periode sekarang, sehingga semakin banyak pemangku kepentngan yang terlibat. Kesalahan-kesalahan dalam prinsi pertama bisa dikurangi. Karena mereka memberikan masukan secara online, berbagai isu yang tidak ada, maka isu material lain mungkin bisa muncul dalam periode 2 minggu ini,” jelasnya.

Akan tetapi prinsip responsivenes tidak bisa diselesaikan secara tuntas, karena tidak ada jaminan bagi pihak yang memberikan masukan saat proses penyusunan draft final INDC. Apalagi saat ini bagi pemangku kepentingan yang ingin memasukkan sarannya.

Jalal melihat permasalahan inklusif, materialitas dan responsiveness dalam penyusunan INDC, karena terkait dengan kondisi kelembagaan negara yang menangani perubahan iklim pasca pembubaran DNPI. Pembubaran DNPI yang berperan sebagai fokal point pemerintah Indonesia yang mengkoordinasi semua pemangku kepentingan di dalam negeri, tentu berpengaruh terhadap penanganan perubahan iklim di Indonesia. Apalagi saat pembubaran DNPI, belum ada lembaga pemerintah yang diserahi tugas sebagai koordinator.

“Seandainya DNPI dibubarkan setelah COP 21, mungkin INDC indonesia lebih kokoh. Tapi ketika DNPI sudah dibubarkan dan kita jadi panik, siapa yang lead? Ada Utsus presiden sebagai fokal point, tapi tempatnya ada Dirjen PPI (Pengendalian Perubahan Iklim KLHK). Kemudian dibentuk Dewan Pengarah,” tambahnya.


Pengamat : INDC Indonesia Berpotensi Bermasalah Besar was first posted on September 10, 2015 at 3:00 am.

Ternyata Ada Kehidupan di Dasar Samudera Sedalam 11,3 Km

$
0
0

The Mariana Trench  atau Palung Mariana membelah dasar Samudera Pasifik sepanjang 1500 mil, tepatnya dekat dengan Pulau Guam. Palung Mariana ini dikenal sebagai palung terdalam di dunia. Di situlah beberapa peneliti dari berbagai negara menghabiskan waktu lebih dari satu bulan untuk meluncurkan sebuah wahana dasar laut untuk mencapai dasar palung di samudera tersebut.

Waktu yang cukup lama tersebut terbayar oleh penemuan yang mencengangkan dan sekaligus tak terbayangkan sebelumnya. Para peneliti mendapati adanya kehidupan di dasar palung tersebut termasuk  beberapa spesies ikan yang  hidup di dalam sana.

Spesies baru ikan ditemukan di Mariana Trench, Samudera Pasifik, dasar palung terdalam di dunia. Foto : piercepiooner.com

Spesies baru ikan ditemukan di Mariana Trench, Samudera Pasifik, dasar palung terdalam di dunia. Foto : piercepiooner.com

Dasar palung tersebut berada 7 mil (11,3 km) di bawah permukaan samudera, selalu dalam kondisi gelap, dan sangat dingin. Untuk mencari tahu tentang kehidupan yang ada di dalam sana, para peneliti  menggunakan Falkorhr, sebuah kapal penelitian yang mengirim tim “pendarat” untuk masuk ke dasar samudera. Para pendarat ini berada dalam kotak kaca tebal seukuran lemari es besar yang dilengkapi dengan peralatan canggih beserta kamera.

Kotak kaca ini berisi udara penuh untuk dapat mengapung sehingga memudahkan pergerakan naik dan turun di dalam samudera. Ruangan kaca tersebut pun harus menjaga keseimbangan tekanan di dalamnya karena sedikit perbedaan tekanan dapat menghancurkan manusia yang ada di dalamnya.

Kapal Peneliti Falkorhr yang membawa para peneliti meneliti Mariana Trench, Samudera Pasifik, dasar palung terdalam di dunia.  Foto : Schmidt Ocean Institute/Mark Schrope

Kapal Peneliti Falkorhr yang membawa para peneliti meneliti Mariana Trench, Samudera Pasifik, dasar palung terdalam di dunia. Foto : Schmidt Ocean Institute/Mark Schrope

Seorang pakar biologi asal Universitas Hawaii sekaligus peneliti senior dalam tim tersebut, Jeff Drazen, menyatakan bahwa jika kotak kaca ini retak sedikit saja, maka kotak ini akan meledak dalam hitungan mikrodetik dan menghasilkan gelombang yang dahsyat, sama seperti meledakkan dinamit di dalam laut.

Ketika sampai di dasar palung, para pendarat menunggu dan menyaksikan hal apa yang akan terjadi sampai akhirnya para pendarat mendapat kejutan yang luar biasa. “Kami menyaksikan untuk pertama kalinya ikan-ikan di laut terdalam di dunia yang pernah terekam sepanjang sejarah,” kata Drazen.

video spesies ikan baru di Mariana Trench

Semua hal yang didapati di bawah sana benar-benar belum pernah dilihatnya dan tak henti-hentinya para peneliti ini terpukau dengan apa yang mereka lihat . Mulai dari ikan yang besar, sirip yang menyerupai sayap, ikan dengan buntut seperti belut, dan lainnya.

Sampai-sampai para peneliti menjuluki makhluk-makhluk di dasar samudra itu sebagai “ghost fish” atau ikan hantu karena wujud ikan-ikan tersebut yang tembus pandang. Tampaknya, apa yang mereka temukan merupakan spesies baru snailfish yang hidup 5 mil di bawah permukaan samudera.

Spesies baru ikan ditemukan di Mariana Trench, Samudera Pasifik, dasar palung terdalam di dunia. Ikan berbentuk lele ini dinamakan ikan hantu oleh peneliti karena tubuhnya yang transparan. Foto : Bellenews.com

Spesies baru ikan ditemukan di Mariana Trench, Samudera Pasifik, dasar palung terdalam di dunia. Ikan berbentuk lele ini dinamakan ikan hantu oleh peneliti karena tubuhnya yang transparan. Foto : Bellenews.com

Para peneliti yang mendarat di dasar samudera itu juga memasang perangkap berumpan untuk menarik perhatian ikan sehingga dapat terekam oleh kamera yang telah di pasang di sekitar umpan tersebut. Umpan yang tidak dimakan oleh ikan, dimakan oleh sekumpulan amfipoda yang berbentuk seperti udang.

Spesies baru berupa amfipoda yang ditemukan di Mariana Trench, Samudera Pasifik, dasar palung terdalam di dunia. Foto : Oceanlab University of Aberdeen

Spesies baru berupa amfipoda yang ditemukan di Mariana Trench, Samudera Pasifik, dasar palung terdalam di dunia. Foto : Oceanlab University of Aberdeen

Sedangkan perangkap lainnya menangkap beberapa spesies hewan termasuk spesies baru dari snailfish yang kemudian dibawa ke kapal untuk diteliti. Meski demikian, beberapa hewan yang dibawa dari dasar samudera tersebut tidak dapat bertahan dari dekompresi yang dialami.

Setelah diteliti, ternyata alasan di balik bertahannya ikan-ikan ini hidup di dasar samudera yang tekanan airnya ribuan kali dari tekanan di permukaan laut adalah adanya zat khusus dalam tubuh ikan-ikan tersebut. Zat ini adalah trimethylamine oxide yang dapat menjaga dinding sel ikan-ikan dan amfipoda tersebut secara fleksibel sehingga spesies-spesies ini tidak ‘hancur’ atau kelebihan air garam.

video spesies baru di Mariana Trench :


Ternyata Ada Kehidupan di Dasar Samudera Sedalam 11,3 Km was first posted on September 10, 2015 at 3:59 am.

Susi Pudjiastuti Tegaskan Hai Fa Siap Diburu 90 Negara

$
0
0

Walau sudah tidak berada di wilayah perairan Indonesia, namun Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sepertinya tidak bisa melupakan kapal asal Tiongkok, Hai Fa, yang sudah merugikan uang negara hingga triliunan rupiah. Hal itu, karena Susi kembali berkoar tentang kapal tersebut pada Kamis (10/9/2015).

Di hadapan peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang digelar di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Pusat, Susi membeberkan bagaimana nasib Hai Fa saat ini. Dengan gamblang, dia menyebut kapal tersebut tak lebih sebagai buronan tingkat dunia yang tidak punya malu.

“Hai Fa ini sudah merugikan negara banyak sekali. Mereka mengangkut ikan dalam jumlah banyak dari perairan Indonesia. Tapi, mereka juga didenda dengan nilai yang sangat kecil di Ambon. Mereka adalah penjahat,” ujar Susi.

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah. Foto : Setkab.go.id

Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin. Ini membuat pemerintah Indonesia marah. Foto : Setkab.go.id

Menteri asal Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat itu menjelaskan, setelah kabur dari Indonesia dan kembali ke Tiongkok, Hai Fa ternyata sudah keluar lagi dari negara tirai bambu tersebut sejak 3 September lalu.  “Kapal tersebut saat ini sudah berada di perairan Hong Kong,” sebut Susi.

Namun, walau sedang berada di Hong Kong, perempuan bertato itu tidak mau mempersoalkan secara hukum kapal berbobot 4.306 gross tonnage (GT). Pasalnya, saat ini pihaknya sudah bekerja sama dengan kepolisian internasional (Interpol) terkait kasus Hai Fa tersebut.

“Kita tidak pusing lagi. Karena, walau Hai Fa bisa keluar dari Tiongkok, mereka tidak akan bebas lagi. Ada 90 negara yang siap menangkapnya jika masuk ke wilayah negara tersebut,” papar dia.

Pernyataan Susi itu dipertegas oleh Ketua Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa. Menurut dia, saat ini Indonesia memang tinggal menunggu saja apa yang akan terjadi setelah kerja sama dijalin dengan Interpol.

Kan sudah ada purple notice yang disebar ke 90 negara yang menjalin kerja sama dengan Interpol. Kita tunggu saja seperti apa akhirnya,” ungkap dia.

Penegasan juga diungkapkan Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja. Menurut dia, saat ini Pemerintah Indonesia akan berkoordinasi lebih intens jika memang ada perkembangan terkait Hai Fa. Kerja sama dengan Interpol, dinilainya menjadi langkah penting dalam penanganan IUU Fishing dalam jaringan internasional.

Sindikat Hong Kong

Sementara, berkaitan dengan maraknya aksi penangkapan ikan di Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Susi Pudjiastuti menyampaikan bahwa yang terjadi hingga saat ini adalah kapal-kapal dari Hong Kong diketahui sebagai penyuplai potasium yang digunakan nelayan lokal untuk menangkap ikan.

“Ini juga sama berbahayanya. Destructive fishing bisa menimbulkan kerusakan alam. Ini harus dicegah sedini mungkin,” jelas dia.

Terpisah, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Subijakto menjelaskan, penggunaan bahan peledak seperti potasium memang dilakukan oleh nelayan di sejumlah daerah. Namun, bisa dipastikan kalau bahan tersebut didapat dari pendatang yang masuk ke daerah tersebut.

“Seperti di Natuna, nelayan lokal tidak mungkin mendapat bahan potasium. Karena, bahan tersebut susah didapatkan, terlebih itu di pulau kecil dan terpencil. Karena itu, kapal-kapal dari Hong Kong yang datang ke Natuna disinyalir kuat sebagai pemasok potasium,” papar Slamet kepada Mongabay.

 Pengeboman ikan dapat merusak  terumbu karang, yang menjadi tempat pembijahan dan pembiakan ikan, dalam skala besar. Dampaknya bisa dilihat dari produksi ikan di sejumlah daerah  di Sulsel, makin turun.  Terutama di kawasan Spermonde, yang membentang sepanjang Pantai Selatan perairan Makassar dan sekitar. Foto: Awaluddinnoer

Pengeboman ikan dapat merusak terumbu karang, yang menjadi tempat pembijahan dan pembiakan ikan, dalam skala besar. Dampaknya bisa dilihat dari produksi ikan di sejumlah daerah di Sulsel, makin turun. Terutama di kawasan Spermonde, yang membentang sepanjang Pantai Selatan perairan Makassar dan sekitar. Foto: Awaluddinnoer

Oleh nelayan lokal, menurut Slamet, bahan potasium tersebut digunakan untuk menangkap ikan yang habitatnya ada di sekitar karang-karang di laut sekitar pulau tersebut. Karena itu, bisa dipastikan cara menangkap ikan yang dilakukan nelayan lokal bisa membahayakan ekosistem di sekitar perairan.

“Bila tetap dibiarkan dan tidak ada larangan, maka bisa saja ikan-ikan tersebut akan punah atau pindah ke perairan lain. Namun, tidak itu saja, ekosistem seperti karang-karang juga akan rusak. Jelas ini merugikan perairan tersebut,” cetus dia.

Perikanan Budidaya untuk Nelayan

Selain di Natuna, menurut Slamet, kondisi serupa juga terjadi di daerah lain seperti di Mentawai, Sumatera Barat, dan Raja Ampat, Papua Barat. Sama seperti di Natuna, nelayan mengincar ikan seperti kerapu, napoleon, dan ikan-ikan lain yang biasa hidup di karang-karang.

“Ini sebenarnya tidak baik. Tapi mau bagaimana lagi, nelayan-nelayan tersebut juga memerlukan pemasukan untuk bertahan hidup. Kita memberi arahan kepada mereka untuk mengubah kebiasaan tersebut,” sebut dia.

Selain arahan, Slamet mengungkapkan, sebagai solusi untuk mencegah tidak berulangnya kembali menangkap ikan dengan cara menggunakan bahan peledak, KKP akan memfasilitasi para nelayan untuk dicarikan pekerjaan. Salah satunya, dengan memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan budidaya perikanan.

“Kita dorong balai-balai kita di perikanan budidaya untuk melakukan rekaya perbenihan Napoleon dan Kerapu. Ikan-ikan karang harus kita produksi,” kata dia.

Untuk anggaran, Slamet menjelaskan, pihaknya sudah mengalokasikan dana sebesar Rp20-30 miliar untuk pengalihan kegiatan nelayan yang biasa menangkap ikan napoleon dan kerapu dengan bahan peledak.

“Dengan cara seperti ini, diharapkan kebiasaan nelayan dalam melakukan destructive fishing bisa berkurang secara perlahan dan kemudian hilang. Ini memang berat untuk dilaksanakan, tapi kita harus bisa,” pungkas dia.


Susi Pudjiastuti Tegaskan Hai Fa Siap Diburu 90 Negara was first posted on September 11, 2015 at 2:12 am.

Beginilah Pernikahan Berkonsep Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa

$
0
0

I Kadek Susila dan Gusti Ayu Ary Budiani bisa jadi pasangan paling eksentrik tahun ini. Keduanya mengundang handai taulan dengan undangan khusus kampanye aksi tolak reklamasi di Teluk Benoa pada 5 September kemarin.

“Tiap ngasi undangan ke orang dibilang undangan untuk aksi demonstrasi,” Susila alias Bobby tertawa. Istrinya, Ary juga hanya tersenyum ketika kawan dan saudaranya menanyakan perihal ide surat undangannya ini. “Ada teman bilang, saya pro reklamasi ya,” ujar Ary.

Kadek Arsana alias Bobby menunjukkan kartu undangan pernikahanya yang bertema tolak reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani

Kadek Arsana alias Bobby menunjukkan kartu undangan pernikahanya yang bertema tolak reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani

Undangan ajakan demonstrasi cukup beralasan. Karena di sampul depan ada logo Bali Tolak Reklamasi yang memenuhi halamannya. Desain yang dibuat oleh Alit Ambara ini memang sudah terkenal karena menjadi desain baju yang sering dipakai demonstran dan artis-artis yang mengampanyekan tolak reklamasi.

Gambarnya pulau Bali sedang dikeruk dengan alat berat. Jika tak teliti, tulisan undangan pawiwahan (pernikahan) tak akan terlihat.

Lalu di halaman isi juga penuh dengan foto besar aksi demonstrasi. Dalam foto terlihat band Nosstress sedang konser di depan Kantor Gubernur Bali ditonton ratusan massa aksi. “Bobby sampai minta izin Nosstress untuk menggunakan foto ini,” kata Candra, manajer band yang digawangi Man Angga, Kupit, dan Cok ini. Ia hanya geleng-geleng melihat keseriusan Bobby mengampanyekan tolak reklamasi di area teluk samping rumahnya ini.

Di halaman belakang kartu, malah ada infografis 13 alasan tolak reklamasi Teluk Benoa. Berdampingan dengan peta lokasi rumah lokasi pernikahan. Infografis dampak sosial dan ilmiah ini dibuat Forum Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI), di mana Bobby salah satu pegiatnya.

Bobby mengenalkan ibunya Ni Made Reti yang kadang masih ke teluk mencari binatang laut ketika surut. “Sekarang sudah sangat sedikit, dulu banyak,” ujar Reti. Pasang surut air laut di kawasan ini memberi keuntungan bagi sebagian warga yang mencari udang, ikan kecil, kepiting, dan lainnya.

Teluk dan bakau makin terjepit oleh penambahan bangunan, seperti ribuan pilar-pilar jalan tol di atas laut. Juga ada sejumlah utilitas pemerintah yang makin membutuhkan ruang. Misalnya pelabuhan dan tempat pembuangan akhir paling luas di Bali, Suwung.

Merunut ke belakang, Bobby adalah salah satu anak muda dari area terdampak yang muncul sejak awal menyuarakan penolakan. Ia kerap bolos kerja untuk ikut demonstrasi. Saat itu tak banyak warga sekitar teluk yang berani menolak terang-terangan.

Kadek Arsana bersama istri berfoto bersama kedua orang tua depan karangan bunga ForBali bertema penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani

Kadek Arsana bersama istri berfoto bersama kedua orang tua depan karangan bunga ForBali bertema penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani

Sebelum rencana reklamasi, Bobby juga membantu Walhi Bali dalam menolak privatisasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) Mangrove Ngurah Rai. Pada 2012, Gubernur Bali Mangku Pastika memberi izin pemanfaatan kawasan lindung ini pada pihak ketiga yang berencana mengelola sebagian menjadi area wisata dengan fasilitas akomodasi dan lainnya. Walhi Bali menggugat izin ini.

Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar mengabulkan gugatan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) untuk mencabut Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali tentang izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai seluas 122,22 ha ke PT. Tirta Rahmat Bahari (TRB).

Tahura ini adalah hamparan hutan bakau yang sebelumnya dikelola pemerintah sebagai obyek wisata. Pemerintah Jepang melalui JICA merintis usaha pelestarian mangrove dengan membuat Tahura dan program pembibitan.

Salah satu dalil putusan yang membatalkan izin tersebut adalah surat Gubernur Bali pada 27 Desember 201 tentang penghentian sementara penerbitan persetujuan prinsip untuk bidang jasa usaha akomodasi (berbintang dan hotel melati) di Bali selatan (Denpasar, Badung, dan Gianyar).

Tentang keterlibatannya secara aktif dalam aksi-aksi lingkungan mulai kasus Tahura Mangrove sampai reklamasi Teluk Benoa ini Bobby selalu menjawab santai. “Itu tempat bermain kami sejak kecil,” katanya. Ia dan kawannya akan kehilangan akses menikmati fasilitas publik di kawasan ini jika semuanya diprivatisasi. Ia juga mengaku pernah dididik membuat bibit mangrove oleh pengelola Tahura sehingga merasakan bagaimana pentingnya bakau dan kawasan ini melindungi rumah-rumah warga dari rob dan pasang air laut.

“Pernah kepikiran membuat foto pre-wedding saat aksi tolak reklamasi, tapi malu juga,” seru Bobby. Jadilah hanya tema pernikahannya saja lewat kartu undangan yang otomatis memicu obrolan tentang rencana reklamasi ini di antara keluarga dan tamu undangan saat mereka hadir dalam upacara dan resepsi pernikahan menurut Hindu ini.

Sebuah karangan bunga besar ucapan selamat dikirim ForBALI dan dipajang di depan rumahnya secara mencolok. “Wih aksi tolak reklamasi nih?” demikian becandaan yang terdengar di antara tamu.

 


Beginilah Pernikahan Berkonsep Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa was first posted on September 11, 2015 at 2:29 am.
Viewing all 2538 articles
Browse latest View live