Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2538

Opini : Pulau Bangka Meradang Karena Tambang

$
0
0
*Indra Ambalika Syari.  Dosen Ilmu Kelautan Universitas Bangka Belitung, Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang UBB,  Sekretaris Yayasan Sayang Babel Kite (SBK).  Email : iambalikasyari@gmail.com.  Tulisan ini merupakan opini penulis.

Kebutuhan dunia terus meningkat akan bahan mineral tambang, perkembangan teknologi dan meningkatnya jumlah penduduk membuat orientasi penambangan yang semula banyak terpusat di wilayah darat kini semakin bergeser menuju laut. Selain itu, semakin menipisnya konsentrasi mineral tambang di darat dan sempitnya luasan wilayah di darat menjadikan penambangan di laut menjadi solusi masa depan untuk penyediaan bahan tambang yang tak dapat diperbaharui.

Timah telah ditambang di bumi Pulau Bangka lebih dari 300 tahun yang lalu. Berawal dari daratan kini penambangan timah mulai beralih ke laut Pulau Bangka. Kini penambangan mulai ekstensif dan menuju intensif (semi intensif) dilakukan di laut Pulau Bangka.

Sejak Undang-undang No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah (otonomi daerah) dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis dan sejak SK Bupati Bangka No.6/2001 tentang pertambangan diterbitkan, pertambangan timah inkonvensional (TI) menjarah daratan Pulau Bangka dan Belitung.

Tambang inkonvensional (TI) apung timah di Pantai Sungailiat Pulau Bangka yang merusak lingkungan pesisir dan perairan. Foto : Indra Ambalika Syari

Tambang inkonvensional (TI) apung timah di Pantai Sungailiat Pulau Bangka yang merusak lingkungan pesisir dan perairan. Foto : Indra Ambalika Syari

Saat ini, TI Apung dan modifikasinya mulai marak memenuhi lautan Pulau Bangka. Jumlah Kapal isap di laut terus bertambah yang sebelumnya dikuasai oleh kapal keruk. Sistem penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi sangat rakus, berorientasi keuntungan jangka pendek dan berdampak pada kerusakan lingkungan yang parah (Erman, 2010).

Ironisnya, otonomi daerah membuat pertambangan di laut seperti terkesan tidak terkontrol, karena unsur politis antara pengusaha tambang dengan kepala daerah dan pejabat daerah. Juga lemahnya pengawasan, pemantauan dan penilaian pengelolaan lingkungan dari aktivitas tambang di laut. Fungsi dari pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Lingkungan Hidup (BLHD) terkesan tidak tegas. Dan kurangnya koordinasi antara sektor pertambangan dengan sektor perikanan dan pariwisata bahari.

Dampak Buruk Tambang

Selain memberikan dampak positif seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan lapangan kerja, kegiatan penambangan pun memberikan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, perubahan budaya masyarakat dan kesehatan.

Tahap AMDAL dilakukan agar menjadi panduan dan jaminan pihak perusahaan pertambangan timah di laut dapat memberikan dampak negatif seminimal mungkin dan dampak positif semaksimal mungkin.

Ironisnya, perusahaan tambang yang telah memiliki dokumen AMDAL terkesan dapat bebas berbuat “suka-suka”. Semua menjadi seakan “legal” dan “halal”. Padahal jelas dalam dokumen AMDAL, penambangan timah laut memiliki beberapa catatan sebelum menambang.

Sebagai contoh, Operasi KK/KI/KIP/BWD dan Mitra seminimal mungkin mengakibatkan dampak penting negatif terhadap : Daerah Asuh, Habitat Khusus, Terumbu Karang, Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground), dan Lokasi Wisata Bahari (Dokumen Rencana pengelolaan Lingkungan (RKL) PT  TIMAH Tbk, 2009, halaman III-34).

Namun hal ini tak pernah menjadi pedoman. Karenanya masyarakat pun harus memahami AMDAL dan pemerintah pun tidak boleh terkesan lepas tanggung jawab setelah perusahaan memiliki dokumen AMDAL. Karena pemerintahlah yang menjadi eksekutor utama yang mengawasi, memantau dan menilai pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh penambangan timah laut.

Ironisnya, pemerintah sendiri seperti tak punya gigi untuk memantau dan menilai. Jika punya gigi, mana data monitoring ekosistem pesisir (spot terumbu karang, lamun dan mangrove) yang diambil datanya setiap 6 bulan untuk kemudian menjadi dasar dalam mengambil kebijakan apakah operasi pertambangan tidak berdampak besar atau kecil?

Padahal panduan dalam menilai kondisi ekosistem pesisir sudah jelas tersaji. Kriteria baku kerusakan ekosistem Terumbu Karang; Kepmen Lingkungan Hidup (LH) No.04/2001, Kepmen No.200/2004   tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun dan  Kepmen LH No.201/2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

Pertanyaannya sekarang adakah titik permanen yang dimonitoring oleh pemerintah setiap 6 bulan sekali sebagai tanggung jawab mereka yang telah mengeluarkan izin penambangan untuk pedoman pemantauan lingkungan?

Melihat dampak dari penambangan laut bukan hanya dari sampel air laut. Yang paling penting dan jelas sangat terpengaruh (sensitif) adalah ekosistem pesisir utamanya terumbu karang dari dampak buangan tailing. Karang akan mudah mati jika tertutup lumpur dari buangan tailing. Dari tutupan lumpurnya saja ini dapat dinilai.

Hal yang utama menjadi fokus perhatian dari aktivitas penambangan timah laut yang paling mudah untuk dilihat adalah terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menjadi indikator penting karena merupakan ekosistem laut vital yang terkena dampak paling besar akibat penambangan timah lepas pantai.

Karang tertutup lumpur di Pulau Mengkudu Kecamatan Belinyu, Pulau Bangka.  Foto : Indra Ambalika Syari

Karang tertutup lumpur di Pulau Mengkudu Kecamatan Belinyu, Pulau Bangka. Foto : Indra Ambalika Syari

Sebagai contoh untuk penambangan timah di laut, tailing buangan dari aktivitas penambangan timah di laut dan di darat (dari DAS yang tercemar buangan tailing penambangan timah di darat) dapat menutup polip karang dan membunuh karang secara massif.

Hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Tim Eksplorasi Terumbu Karang Universitas Bangka Belitung pada 2007 – 2013 (dirilis Bangkapos, 15 Oktober 2013) dimana hampir semuanya dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) yang merupakan metode standar pengukuran kondisi ekosistem terumbu karang yang berpedoman pada Hill, J. & C. Wilkinson (2004) menunjukkan hasil dari 41 lokasi spot ekosistem terumbu karang di Pulau Bangka hanya 10 lokasi yang kondisi ekosistem terumbu karang dalam kondisi baik dan tidak terpengaruh dari aktivitas penambangan timah.

Ke-10 lokasi itu yaitu 1 lokasi di Kabupaten Bangka, 6 lokasi di Kabupaten Bangka Tengah, 3 lokasi di Kabupaten Bangka Selatan dan tak satupun lokasi yang kondisi ekosistem terumbu karangnya baik di Kabupaten Bangka Barat.

Lokasi titik terumbu karang yang telah dilakukan pengecekan antara lain 11 lokasi di Kabupaten Bangka, 11 lokasi di Kabupaten Bangka Barat, 9 lokasi di Kabupaten Bangka Tengah dan 10 lokasi di Kabupaten Bangka Selatan (Gambar 1).

Ironisnya, Lokasi yang kondisi ekosistem terumbu karang baik ternyata hampir semuanya merupakan terumbu karang di pulau-pulau kecil yang letaknya berjauhan dari pulau utama (Pulau Bangka).

Bahkan untuk Pulau Dapur dan Pulau Punai Kabupaten Bangka Selatan dan Pulau Panjang, Ketawai dan Semujur Kabupaten Bangka Tengah kondisi terumbu karang di sekitar pulau tersebut telah banyak yang rusak karena tertutup sedimen (siltation) akibat tailing dari buangan aktivitas penambangan timah.

Dan terumbu karang yang mati akibat siltation sangat sulit untuk melakukan pemulihan (recovery). Hal ini karena karang yang mati akibat siltation akan berubah tekstur substratnya dan kemudian akan ditumbuhi oleh makroalga (rumput laut).

Jika hal ini terjadi maka secara ekologis, struktur komunitas yang awalnya adalah ekosistem terumbu karang telah berganti menjadi struktur komunitas makroalga. Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan, hingga saat ini belum ada spot karang yang sebelumnya kondisinya baik kemudian tertutup lumpur akibat penambangan yang pulih kembali kondisi karangnya seperti semula.

Indikator Biologis

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling sensitive terhadap perubahan kualitas air dibandingkan ekosistem peisisir lain seperti lamun (seagrass) dan mangrove. Implementasi dari KEPMEN ESDM No 7 Tahun 2014 (pasal 14 point a) menyebutkan kesehatan karang pada ekosistem terumbu karang menjadi indikator biologis terhadap kondisi kualitas perairan.

Karang tertutup lumpur tailing KIP di Pulau Pemuja Penganak, Pulau Bangka Barat. Foto : Indra Ambalika Syari

Karang tertutup lumpur tailing KIP di Pulau Pemuja Penganak, Pulau Bangka Barat. Foto : Indra Ambalika Syari

Karang menyediakan bahan dasar dan struktural untuk perlindungan pantai yang menjadi fungsi utama terumbu. Terumbu karang merupakan pemecah gelombang alami dan menjaga daratan dari terpaan gelombang dan abrasi. Selain itu terumbu karang merupakan salah satu penghasil pasir pantai. (pasal 14 point b)

Karang menyediakan kompleksitas struktural (yang biasanya berhubungan dengan keanekaragaman hayati) dan perlindungan bagi ikan dan avertebrata. Terumbu karang merupakan daerah tempat tinggal, tempat berlindung, tempat berkembang biak (Spawning ground), tempat pembesaran (Nursery ground), dan mencari makanan (Feeding ground) bagi ribuan biota laut yang tinggal di dalam dan di sekitarnya. (pasal 14 point c)

Terumbu karang tempat bergantung hidup ribuan nelayan beserta anggota keluarganya dan penduduk yang hidup di pesisir. Indikasi terumbu karang yang sehat adalah dengan melimpahnya ikan di perairan tersebut sehingga menjadi tambatan hidup nelayan-nelayan yang menangkap ikan disekitar perairannya.

Hasil penelitian menyatakan, Dari 1 km2 terumbu karang yang sehat, dapat diperoleh 20 ton ikan yang cukup untuk memberi makan 1.200 orang  di wilayah pesisir setiap tahun. (Burke et al., 2002). Ada ribuan kepala keluarga yang berprofesi menjadi nelayan di Bangka Belitung. Ikan hasil tangkapan nelayan menjadi bahan konsumsi utama masyarakat Bangka Belitung yang bergizi tinggi selain juga diolah menjadi produk olahan perikanan dan di ekspor ke luar daerah dan luar negeri.

Turis sangat tertarik dengan karang hidup dan menganggap meraka adalah perwujudan dari terumbu yang sehat. Perkembangan sektor pariwisata bahari dapat menjadi tumpuan hidup dan pondasi perekonomian Bangka Belitung masa depan. Letak geografis yang tidak jauh dari pusat ibukota (dari DKI Jakarta sekitar 50 menit perjalanan udara) menjadikan Bangka Belitung sebagai destinasi wisata masa depan seiring semakin jenuh dan padatnya kondisi di Bali. Pantai dengan nilai estetika yang menawan.

Bila ditambah dengan potensi inner-beauty pariwisata bahari (ekosistem terumbu karang) maka tidak mustahil Bangka Belitung dalam waktu dekat dapat maju seperti Hawai, Karibia, Kepulauan Maladewa, Phuket Thailand, Manado (Bunaken), Wakatobi, Raja Ampat dan banyak lagi daerah lain yang maju daerahnya dari wisata bahari jika potensi ini dikelola dengan bijak.

Khusus untuk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai contoh kasus, dua sektor unggulan yang ingin dikembangkan oleh pemerintah daerah selain pertambangan timah adalah perikanan dan pariwisata bahari. Maka ekosistem terumbu karang adalah tulang punggung kedua sektor ini.

Ironisnya kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Bangka menjadi rusak akibat penambangan timah. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam prinsip pengelolaan dampak tidak dapat dipenuhi. Ada tiga metode dalam pengelolaan dampak; (1) mencegah dampak (avoidance), (2) minimalisasi dampak (minimization) dan (3) pengendalian dan/atau kompensasi dampak (mitigation and/or compensasion).

Harus kita sadari, pertambangan laut saat ini belum dapat mencegah, meminimalisir hingga mengendalikan dampak. Buktinya limbah tailing langsung dibuang ke laut. Sehingga kompensasilah yang bisa diharapkan. Namun kompensasi yang bagaimana? Apakah Rp 250.000,-/2 bulan seperti yang pernah diterima oleh nelayan Matras dan Kualo pada Tahun 2010 saat ada belasan KIP yang beroperasi disekitar perairan mereka?

Tentu saja nilai besarannya harus dihitung dengan seksama sehingga masyarakat tidak akan merasa dirugikan. Jika memang perusahaan tidak sanggup membayar kompensasi yang telah ditetapkan, maka jangan menambang dulu. Tunggu sampai harga timah sesuai untuk menutupi biaya-biaya termasuk kompensasi tadi.melalui AMDAL yang berlandaskan tiga prinsip utama, yaitu mencegah (avoidance), meminimalisasi (minimization) dan mengendalikan (mitigation and/or compensation).

Karenanya kegiatan rehabilitasi terumbu karang saat operasi dan pasca operasi penambangan timah harus dilakukan dengan konsep reklamasi laut yang aplikatif dengan kondisi Bangka Belitung. Pemerintah pusat dan daerah perlu merancang dan menyiapkan regulasi yang tegas dan jelas dalam membuat konsep reklamasi laut untuk mengembalikan kondisi lingkungan semirip mungkin dengan kondisi awal lingkungan sebelum dilakukan penambangan timah yang dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan.

Hal ini sesuai dengan amanah dari UU No.4/2009 tentang Pertambangan dan Minerba, UU No.32/2009 tentang PPLH dan UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 


Opini : Pulau Bangka Meradang Karena Tambang was first posted on July 29, 2015 at 4:27 am.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 2538

Trending Articles