Sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/2012 tentang tanah adat, belum banyak pemerintah daerah yang mengimplementasikannya di lapangan. Bahkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat bahkan masih kerap terjadi.
Untuk Sulawesi Selatan, baru kabupaten Luwu Utara dan Bulukumba yang mengakomodir putusan MK tersebut dengan perda. Oleh karena itu, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), menargetkan pengesahan 15 perda masyarakat adat yang di dalamnya juga terkait hutan adat.
“Harapan kami 15 daerah ini bisa selesai dalam tahun ini. Selain itu juga harus ada anggaran negara untuk mengurus ini,” kata Nurul Firmansyah dalam diskusi percepatan pengesahan hutan adat regional Indonesia Timur di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, pada awal Juli 2015.
Kebijakan tanah adat di daerah dalam bentuk perda atau SK Bupati memang tidak mudah karena ada tahapan yang harus dilalui. “Paling tidak wilayah adat yang telah diperdakan ini segera ditetapkan. Yang paling jelas adalah tentang PP Hutan Adat. Pemerintah juga harus membuatkan regulasi tentang hutan adat ini,” katanya.
HuMa merekomendasikan terselenggaranya dialog percepatan penetapan wilayah adat dalam kerangka Perda Masyarakat Adat ini secara nasional. Dengan koordinasi Kementerian Agraria dan kolaborasi kerja di daerah untuk mempercepat kebijakan itu.
Sedangkan Farida Patittingi, Guru Besar Agraria dan Adat dari Universitas Hasanuddin Makassar melihat pemerintah serius mendorong lahirnya kebijakan masyarakat adat, dengan adanya perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan Gubernur Sulsel dalam acara tersebut.
Farida menjelaskan awal hukum di Indonesia adalah hukum adat, yang kemudian diubah Belanda dengan peraturan yang menghilangkan atau mengebiri hukum adat tersebut.
“Kita ini semua dari masyarakat hukum adat. Bahkan dalam Undang-undang Pokok Agraria Pasal 5 masih tegas mengakui bahwa hukum agraria yang berlaku tentang bumi air dan ruang angkasa yang berlaku ialah hukum adat, dan oleh karena itu cara-cara terjadinya hak milik atas tanah atau model penguasaan tanah hukum adat tidak boleh dinegasikan, harus diakui sepanjang itu dilakukan berdasarkan ketentuan hukum adat, secara teoritis memiliki sifat terang, konkrit, dan konstan.”
Tetapi hukum adat hanya berdasar kondisi nyata, dan formalisasi pembuktian atas tanah dengan sertifikat baru dikenal setelah Belanda membuat aturan hukum agraria.
Seperti aturan Domein Verklaring yaitu semua hak atas tanah yang tidak bisa dibuktikan hak miliknya maka itu dimiliki oleh Negara, yang memperkosa hak masyarakat hukum adat, karena tidak bisa membuktikan kepemilikannya. Aturan itu merupakan cara Belanda menguasai dan mengesploitasi tanah masyarakat hukum adat.
“Bayangkan Belanda membuat sedemikian rupa seperti ini. Mana ada masyarakat hukum adat yang mempunyai bukti dengan dasar sertifikat. Semua dengan dasar penguasaan fisik, paling jauh kan hanya di register di Pemerintahan Desa,” jelasnya.
Melalui UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria, aturan Domein Verklaring dicoba dihapus dengan memposisikan negara sebagai badan pengatur, bukan pemilik tanah dalam tatanan hukum.
“Negara tidak boleh mempunyai hubungan keperdataan terhadap tanah. Hanya hubungan publik, hanya mengatur peruntukannya, persediaanya, pemeliharaan atas tanah tersebut,” katanya.
Dari aspek hukum, Farida menilai kedudukan masyarakat hukum adat sangat kuat, dengan berbagai aturan teknis yang telah ada, seperti Surat Edaran Kemendagri tentang Mekanisme Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.
“Karena dasar hukumnya sudah sangat kuat, tidak ada lagi alasan dari pemerintah untuk tidak menjalankan ini, tinggal bagaimana nanti menyesuaikan atau melihat karakteristik seperti apa.”
Sedangkan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan bahwa upaya menjaga hutan harus dilihat sebagai upaya melindungi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta melindungi masyarakat.
“Bagaimana rakyat terlindungi? Salah satunya yaitu dengan menjaga hutan. Lalu bagaimana menjaga hutan kita? Bagaimana pun kita tidak mau merusak hutan kita apalagi oleh negara,” katanya.
Peraturan diperlukan sebagai pegangan untuk mengatur kesejahteraan rakyat, termasuk dalam hal pelestarian hutan. “Oleh karena itu saya setuju apapun bentuk undang-undang tersebut harus mensejahterakan rakyat. Hutan adat tidak boleh diperjualbelikan. Pengaturannya harus ketat,” katanya.
Sementara Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Hadi Daryanto, mengatakan pihaknya bersama HuMa terus berupaya untuk melaksanakan putusan MK No.35
“Pengeluaran hutan adat dari hutan negara bermakna pengembalian hutan adat kepada masyarakat adat. Jadi kita sedang berupaya bagaimana menyelesaikan putusan MK tersebut. Saat ini kita sedang menyusun putusan tentang hutan hak yang sementara dalam proses,” katanya.
Upaya pengakuan eksistensi masyarakat adat, sudah dilakukan oleh Kemendagri melalui Permendagri No.52/2014 dan sejumlah pemerintah daerah. Sedangkan dalam UU Kehutanan pasal 67 dikatakan pentingnya keberadaan perda, sehingga KLHK menfasilitasi lahirnya peraturan hutan adat.
Saat ini, KLHK dibantu masyarakat sipil sedang memfasilitasi pembuatan perda tentang wilayah adat di Kabupaten Kajang dan Seko. “Ketika sudah ada Perda dan diakui wilayah adat, maka dia dikembalikan dan didaftar di kementerian,” katanya.
Sementara Edi Sugiharto, Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri mengatakan pemda memainkan peranan dalam mengkoordinasi dan mengintegrasikan berbagai peraturan terkait masyarakat adat, termasuk soal hak pelimpahan dan pendanaan.
“Masyarakat hukum adat berada di tengah NKRI jadi harus perhatikan aturan. Walaupun nanti sudah menjadi tanah adat namun jika diperlukan oleh negara, masyarakat adat harus melepaskannya karena ini adalah NKRI.”
Akhir Tahun, HuMa Targetkan Pengesahan 15 Perda Masyarakat Adat was first posted on July 28, 2015 at 2:00 am.