Proses penangangan kasus pembabatan hutan mangrove di kecamatan Beo Barat, kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, dinilai jalan di tempat. Sejak hari pembabatan, hingga saat ini, belum ada penetapan status tersangka pada pelaku pembabatan hutan. Akibatnya, aktivis lokal menilai, lembaga penegak hukum tidak serius menyelesaikan permasalahan ini.
Menurut Rhytcer Taengetan, Divisi Invetigasi Hukum dan HAM Komunitas Pecinta Alam Karakelang (Kompak), sejak hutan mangrove dibabat (25/05/2015), Polres Talaud sebenarnya telah memasang police line di tempat kejadian perkara. Tindakan itu dinilai merupakan tanda bahwa lokasi kejadian resmi berstatus hukum, namun disesalkan hingga saat ini belum ada kejelasan proses hukumnya.
Ia menuturkan, instansi terkait hanya memasang papan informasi tanpa ada tindakan selanjutnya, padahal masyarakat masih mempertanyakan proses hukumnya.
“Sementara, kasus ini bukan lagi delik aduan, tapi perusakan lingkungan. Selain itu, dilihat dari alat bukti, sebenarnya sudah cukup untuk mengembangkan proses penyelidikan menjadi penyidikan dengan menetapkan beberapa orang tersangka,” sesal Rychter yang ditemui Mongabay pada awal Juli 2015.
Tak hanya kepolisian, Pemkab Talaud dinilai tidak memiliki keseriusan untuk mengungkap permasalahan ini, meski Kompak mengaku sudah berulang kali berupaya mendesak, misalnya dengan mempublikasi kasus pembabatan mangrove ke media massa.
Sayangnya, respon Pemkab Talaud tidak seperti yang diharapkan. Walaupun sudah beberapa kali mendapat publikasi baik media lokal maupun nasional, namun proses hukum dinilai berjalan lambat. Pemkab Talaud diduga lepas tangan karena proses hukum sudah ditangani pihak kepolisian.
“Harusnya pemerintah daerah melakukan kroscek dan memberi informasi kepada masyarakat sejauh mana perkembangan kasus pelanggaran ini. Tapi sejauh ini tidak pernah ada informasi kepada masyarakat, terutama yang berada di kawasan pengrusakan itu.”
Dampaknya, masih dikatakan Rytcher, akan muncul penilaian bahwa isu lingkungan belum menjadi prioritas bagi Pemkab Talaud. “Dampak berikutnya adalah pelaku menganggap remeh pelanggaran hukum yang berhubungan dengan lingkungan,” demikian ia memperkirakan.
Ketika Mongabay mengunjungi Talaud pada awal Juli 2015, pemandangan kerusakan hutan memang masih bisa disaksikan. Sejumlah pohon tumbang jelas terlihat. Di lokasi itu, pemerintah kabupaten sudah memasang papan informasi bertuliskan “Perhatian: Dilarang Merusak Pohon Mangrove, Dilarang Mengambil Material Di Pasir Pantai, Di Larang Membuang Sampah Di Daerah Aliran Sungai.”
Tindakan seperti yang melanggar himbauan tadi, masih seturut tulisan di papan, turut melanggar “UU 32 Tahun 2009, PP 19 Tahun 1999, Kepmen LH 201 Tahun 2004 dan PP 27 Tahun 2012”. Di sana, ada juga police line dengan panjang sekitar 100 meter membentangi pohon-pohon yang telah tumbang.
Lokasi pembabatan tadi berada di dekat pantai Tambioe. Jalan raya membelah pesisir dengan habitat hutan mangrove. Kata Rytcher, bupati Talaud sering melintasi jalan tersebut untuk pergi ke kantor. Rumah Bupati berada di kecamatan Beo Timur. Jalan menuju kantor dinas di kecamatan Melonguane memang tepat melintasi lokasi pembabatan ini.
Polres Sedang Kembangkan Kasus
Menurut Aiptu Polii dari Polres Talaud, menyatakan kasus pembabatan hutan mangrove sedang dalam tahap penyelidikan. Seperti dugaan sebelumnya, ‘pemilik lahan’ kepada polisi, membenarkan pembabatan hutan mangrove rencananya dimanfaatkan untuk pembangunan ruko. Hanya saja, Polres Talaud belum bisa menetapkan ‘pemilik lahan’ sebagai tersangka perusakan hutan. Sebab, menurut Polii, YT memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah.
“Ada sertifikat tahun 2003 dari dinas pertanahan kabupaten. Namun, hasil koordinasi dengan kepala dinas kehutanan menyatakan lahan bersertifikat tadi masuk kawasan hutan. Mereka punya hasil pemetaan tahun 2007 dan 2013 bahwa itu adalah kawasan hutan,” ujar Polii kepada Mongabay, Selasa (28/7/2015).
Karenanya, ia menolak tudingan sejumlah pihak yang menyatakan pembabatan hutan mangrove tidak serius ditindak oleh aparat kepolisian setempat. “Kita mau proses tapi perlu bukti untuk dikembangkan. Karena lahan ini ada bukti sertifikat sebagai hak pemilik lahan. Nanti akan kita kembangkan, apakah bisa masuk ke tahap penyidikan,” tegas Polii.
Pemkab Talaud Harus Jeli
Rahman Dako, Project Coordinator Mangrove For the Future (MFF) Teluk Tomini, menilai, pemerintah kabupaten mesti jeli menyelesaikan kasus ini. Menurut dia, alih fungsi lahan mangrove harus sesuai dengan peruntukannya dalam tata tuang kabupaten maupun provinsi.
“Hutan lindung tidak bisa dikonversi. Kalaupun terjadi di Talaud, mesti cek ke dinas kehutanan atau badan pertanahan. Kalau untuk bisnis dan pemukiman, silahkan tanya ke pemerintah kabupaten. Harusnya mereka punya catatan itu,” katanya.
Rahman menilai, pemerintah daerah harus berhati-hati mengeluarkan izin konversi lahan, apalagi di wilayah kepulauan seperti Talaud. Sebab, mangrove memiliki fungsi penting, seperti mengurangi resiko bencana. Belum lagi, tambah dia, ekosistem tumbuhan pantai ini berguna untuk menekan emisi gas rumah kaca. Ia menilai, kerusakan hutan mangrove tiga kali lebih berbahaya dari kerusakan hutan tropis.
“Mangrove melindungi pantai dari badai. Ia juga menyerap karbon, memberi kontribusi positif bagi sektor perikanan dan menjadi filter bagi air pesisir dari polutan. Harusnya, karena fungsi tadi, pemerintah kabupaten menambah luasan. Bukan memberi ijin konversi,” tambahnya.
Pemkab dan Polres Dinilai Tidak Serius Tangani Pembabatan Hutan Mangrove Talaud. Kenapa? was first posted on July 30, 2015 at 4:06 am.