Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2588 articles
Browse latest View live

Sebelas Orang Rimba Jambi Meninggal Dunia. Ada Apakah?

$
0
0

Dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini, kematian beruntun menimpa Orang Rimba. Sudah 11 jiwa Orang Rimba di bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi meninggal dunia. Kesebelas Orang Rimba ini terdapat di tiga kelompok Orang Rimba yang berjumlah 150 orang, yaitu Kelompok Terap yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal  dan Kelompok Serenggam yang di pimpin Tumenggung  Nyenong, Kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari dengan enam kasus kematian yaitu empat  anak-anak dan dua orang dewasa.

Baru saja digegerkan dengan berita kematian tersebut, Sabtu (7/3) kembali tiga anak rimba dari Kelompok Terap di rawat di rumah sakit HAMBA Muara Bulian Kabupaten Batanghari Jambi. Ketiga anak yang merupakan kakak beradik yaitu Merute (laki-laki 12 tahun), Nipah Bungo (perempuan 2,5 tahun) dan Cipak (perempuan 1 tahun), sudah dua minggu belakangan menderita demam dan batuk rejan. Ketiga anak rimba ini, merupakan anak-anak dari mendiang Mimpin, Orang Rimba Kelompok Terap yang meninggal pertama kali dari 11 kematian beruntun  anggota kelompok ini beberapa bulan lalu.

 

Salah satu fasilitator Kesehatan KKI Warsi melakukan kunjungan rutin bulanan di salah satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Foto : KKI Warsi

Salah satu fasilitator Kesehatan KKI Warsi melakukan kunjungan rutin bulanan di salah satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Foto : KKI Warsi

 

Kecemasan tampak dari raut muka indok (ibu) Merute, namun ia enggan untuk menceritakan kesedihan yang dialaminya lebih lanjut karena adat dan budaya Orang Rimba tidak memperkenankan untuk berbicara dengan orang luar. Namun perempuan berusia sekitar 24 tahun ini terus berupaya untuk menyusui Cipak yang terus menangis dan batuk, sambil di pasangi infus.

Selain itu, ada dua anak rimba yaitu Sebilau  (perempuan 2 tahun) dan Beskap (perempuan 4 tahun) yang dirawat jalan, meski tetap berada di rumah sakit yang sama dengan Cipak.

Menurut Mangku Balas, salah satu Tengganai Orang Rimba Kelompok Terap yang membawa anggota rombongannya ke rumah sakit, masih banyak anak-anak lain yang sebenarnya juga sakit yang kini tengah tengah belangun di sekitar Sungai Kemang Kecamatan Bathin XIV Batanghari Jambi. “Masih ada 15 anak lagi yang sakit di lokasi Melengun, tetapi kami tidak bisa membawa semuanya berobat ke rumah sakit,” sebut Mangku.

Kristiawan, Koordinator Kajian Unit Suku-Suku Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) WARSI mengatakan banyaknya anak rimba yang dirawat ini dikarenakan multi faktor, kekurangan pangan, krisis air bersih, ketidakadaan kekebalan tubuh karena memang belum pernah diimunisasi serta juga disebabkan pola hidup.

“Berdasarkan keterangan orang tuanya, tiga anak rimba ini sudah sakit sejak satu minggu yang lalu dan didagnosa bronkopneumonia. Ada puluhan Orang rimba lagi yang juga mengalami demam dan batuk. Tapi belum dievakuasi ,”sebutnya.

Kendala lokasi yang cukup jauh dengan medan yang berat juga menghalangi proses pemindahan Orang Rimba ini ke rumah sakit. Selain itu, Kris mengatakan ketidakadaan bahan pangan untuk keluarga yang akan menunggu penderita di rumah sakit juga membuat mereka enggan merujuk penderita.

“Jika tidak adanya bahan makanan buat si penunggu, mereka tidak mau membawa anggota keluarganya ke rumah sakit. Untuk mengatasi ini KKI WARSI menggandeng Pemkab Batanghari, Polda dan Korem akan datang memberikan bantuan pangan dan pengobatan kepada empat kelompok Temenggung Marituha, Nyenong, Ngawal dan Ngirang ,” tambahnya.

 

Sempitnya Wilayah Kelola, Kacaukan Tradisi Melangun

Dalam adat dan budaya Orang Rimba setiap kematian yang menimpa anggota kelompoknya mengharuskan mereka untuk berpindah tempat hidup, biasanya mereka akan mengambil jalan melingkar untuk suatu saat nanti mereka bisa kembali ke tempat semula mereka tinggal yaitu di Sungai Terap bagian timur Taman Nasional Bukit Dua Belas, tepatnya di sekitar PT EMAL perkebunan kelapa sawit dan HTI Wana Perintis.

Ketika terjadi kematian mereka melakukan belangun, ritual adat yang dijalankan untuk mengekspresikan kesedihan, membuang sial ketika ada kematian dengan pergi jauh meninggalkan tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang cukup lama.

Terdapat tujuh lokasi yang sudah mereka singgahi untuk belangun, yaitu  Desa Olak Besar Kecamatan Bathin XIV Batanghari, kemudian Desa Baru, Desa Jernih, Sungai Selentik dan sungai  Telentam keduanya di desa Lubuk Jering (Ketiga desa ini berada di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun), Simpang Picco (Kecamatan Pauh Sarolangun dan kini di Sungai Kemang desa Olak Besar (Kecamatan Bathin XIV).

Di setiap lokasi belangun mereka pindah ke tempat baru. Namun kini dengan semakin sering belangun, praktis tidak ada kegiatan untuk mendapatkan makanan. Kondisi ini disebut sebagai masa remayau (masa paceklik alias krisis pangan).  Pada masa ini obat-obatan alam yang biasa di gunakan Orang Rimba untuk berobat juga tidak tersedia.

“Kalau untuk domom (deman), perut kembung, sakit kepala, kami menggunakan obat empedu tanah dan rumput bemampu, tapi di tempat belangun susah mencarinya,” sebut Mangku. Di lokasi mereka melangun saat ini merupakan perkebunan sawit, dimana sudah bisa dipastikan tanaman obat yang biasa di gunakan Orang Rimba sangat sulit ditemukan.

 

Satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Mereka perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak,terutama dari pemerintah. Foto : KKI Warsi

Satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Mereka perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak,terutama dari pemerintah. Foto : KKI Warsi

 

Saat ini merupakan masa sulit bagi Orang Rimba untuk bertahan, angka kesakitan dan kematian melonjak drastis. “Dibutuhkan peran serta semua pihak untuk membantu Orang Rimba keluar dari masalah ini, untuk tahap ini yang dibutuhkan bantuan langsung berupa beras dan sembako dan juga dibutuhkan adanya posko kesehatan yang dekat dengan lokasi mereka melangun,”sebut Kristiawan di Rumah Sakit HAMBA Muara Bulian ketika mendampingi Orang Rimba yang tengah di rawat kemarin.

Pengobatan di rumah sakit menurut Mangku cukup membantu mengatasi masalah kesehatan Orang Rimba untuk saat ini. Namun anak-anak lain yang di dalam (di lokasi melangun) yang masih membutuhkan bantuan kesehatan sulit untuk di bawa semua ke rumah sakit. Selain masalah biaya, keterbatasan akses yaitu menempuh jarak sekitar 3 jam ke rumah sakit dengan melewati sejumlah jalan tanah di dalam perusahaan untuk menuju ke rumah sakit yang berada di Kota Muara Bulian.

Meski pengobatan di tanggung oleh rumah sakit, namun ketika membawa anggota keluarganya berobat, orang tua dan sejumlah tetua akan mendampingi dan ini membutuhkan biaya makan dan transportasi yang lumayan besar untuk ukuran Orang Rimba.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap Orang Rimba khususnya dalam bidang kesehatannya ini diakui Kaswendi, Kepala Bidang Bina Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, disebabkan  ”Dinas Kesehatan sebagai pelayanan tidak memeiliki kewenangan lebih untuk mengeluarkan kebijakan, khususnya kemudahan khusus bagi Orang Rimba.”

“Masing-masing kabupaten dan kota di Jambi memiliki kebijakan masing-masing. Kami sebagai sektor pelayanan tidak bisa mendorong kebijakan, khususnya kemudahan bagi Orang Rimba. Yang kami tahu jika ada BPJS, Jamkesmas atau Jamkesda akan kami layani,” tegasnya.

Kematian 11 Orang Rimba ini dikatakan Robert Aritonang Manager Program Pemberdayaan Masyarakat KKI WARSI adalah bentuk kelalaian semua pihak yang tidak melihat Orang Rimba sebagai pihak yang mengambil bagian dari cepatnya pembangunan yang terjadi.

“Kita menggugah semua pihak untuk ambil bagian dalam memperhatikan nasib Orang Rimba ini. Jangan sampai Orang Rimba menjadi korban dari pembangunan. Dan saat ini KKI WARSI sudah mulai mengembangkan pembangunan terpadu untuk beberapa kelompok Orang Rimba yang akan mencoba melibatkan Orang Rimba dalam pembangunan tanpa menghilangkan jati diri mereka,” pungkasnya.

 


Sebelas Orang Rimba Jambi Meninggal Dunia. Ada Apakah? was first posted on March 10, 2015 at 8:34 am.

Tiga Beruang Ditangkap Di Riau, Satu Mati Ditombak

$
0
0

Seekor beruang (Helarctos malayanus) mati setelah ditombak warga Dusun Huta Baru, Desa Menaming, Kabupaten Rokan Hulu, Riau, pada Senin (09/03/2015). Di hari yang sama di Kabupaten Pelalawan, dua ekor beruang lainnya berhasil ditangkap hidup oleh petugas Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Riau di sebuah konsesi kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan.

Pada pertengahan Februari lalu, seekor beruang madu juga merangsek ke pemukiman warga di Kota Pekanbaru. Setelah dilakukan pembiusan akhirnya sang beruang dapat ditangkap.

Beruang madu di KWPLH 23 Balikpapan. Foto: Hendar

Beruang madu di KWPLH 23 Balikpapan. Foto: Hendar

Kepala Balai BKSDA Riau, Kemal Amas mengatakan, beruang betina dewasa di Rokan Hulu yang tewas ditombak tersebut sudah beberapa hari berkeliaran di sekitar pemukiman warga sehingga dianggap mengancam. Kemudian warga mengepung dengan bersenjatakan tombak dan senjata tajam.

“Karena dianggap mengancam dan membahayakan orang, makanya beruang itu dibunuh,” ujar Kemal yang dihubungi Mongabay pada Selasa (10/3/2015) kemarin.

Meski telah mati, BKSDA tidak berencana mengevakuasi bangkainya. Namun saat ini institusinya sudah mengirim petugas ke lapangan untuk penyelidikan dan membuat berita acara. Penyelidikan yang mungkin akan dilakukan adalah untuk mengetahui sebab-sebab kematian beruang tersebut apakah memang mati dibunuh dengan motif darurat atau keselamatan atau motif lainnya seperti ekonomi.

Sementara itu di hari yang sama, di Desa Kemang Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan, Riau, dua ekor beruang api berhasil ditangkap hidup. Satwa ini kemudian dijebak ke dalam kandang buatan yang telah disiapkan petugas BKSDA di lahan konsesi kebun sawit PT Langgam Inti Hibrindo.

Sebelumnya Balai BKSDA telah menerima laporan dari perusahaan sawit tersebut yang menyatakan bahwa sejak akhir Februari lalu sejumlah pekerja pemanen dikejar-kejar beruang. Setelah menerima laporan tersebut, Balai BKSDA kemudian menyiapkan perangkap besi berukuran 2×3 meter dan tinggi 1,5 meter, yang berhasil menjebak dua beruang  jantan dan betina itu pada pada Senin kemarin.

Proses pemindahan beruang madu ke Kalaweit di Sumatra Barat. Foto: COP

Proses pemindahan beruang madu ke Kalaweit di Sumatra Barat. Foto: COP

“Benar sudah ditangkap. Sekarang mau dilepasliarkan. Hari ini sudah jalan (ke Rimbang Baling). Kenapa di Rimbang Baling, habitatnya SM (swaka margasatwa) untuk konservasi satwa dan kondisinya memungkinkan untuk berkembang biak di situ,” ujar Kemal.

Perambahan

Menurut Kemal maraknya konflik beruang dengan manusia dipicu oleh meningkatnya perambahan hutan atau penebangan liar di kantung-kantung habitat beruang.

“Saat ini habitat beruang semakin kritis. Habitatnya dirusak dan juga ada kebakaran hutan. Mungkini itu yang menyebabkan beruang ini keluar dari habitatnya. Biasanya beruang akan lebih agresif jika tidak di habitat aslinya,” katanya.

Kemal menghimbau jika ada satwa liar seperti beruang masuk ke pemukiman, maka warga bisa menghalaunya kembali ke hutan atau melaporkan kejadiannya kepada BKSDA atau aparat pemerintah lainnya.

Senada dengan Kemal, WWF Riau mengatakan aktivitas manusia yang telah masuk hingga ke kawasan berhutan mempersempit habitat satwa liar. Namun berbeda dengan populasi harimau  dan gajah sumatra yang terancam punah, beruang masih berstatus konservasi rentan dalam daftar merah yang dibuat lembaga pemeringkat konservasi internasional IUCN. Saat ini populasi beruang masih cukup banyak di sejumlah kawasan hutan di Riau. Sejauh ini WWF hanya melakukan riset terhadap harimau dan gajah. Namun riset itu juga menemukan beberapa kawasan itu terdapat keberadaan beruang.

“Perlindungan satwa itu harus menyeluruh. Alih fungsi kawasan hutan terjadi karena penerbitan izin perkebunan, perambahan dan ini trennya dalam jumlah besar. Hal ini mendorong kerusakan habitat, okupasi wilayah menjadi perkebunan makanya mereka keluar. Pemerintah perlu fokus menangani ini agar benar-benar terjaga dan terlindungi,” ujar Humas WWF Riau Syamsidar.

 


Tiga Beruang Ditangkap Di Riau, Satu Mati Ditombak was first posted on March 11, 2015 at 5:14 am.

PLTA Singkarak Diaudit Lingkungan. Bagaimana Hasilnya?

$
0
0

Keberadaan PLTA Singkarak di Nagari Guguk Malalo menyisakan berbagai masalah bagi masyarakat Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Walau sudah sering digelar pertemuan duduk bersama guna menyelesaikan masalah itu, tapi tetap saja belum membuahkan hasil. Terakhir masyarakat menuntut untuk dilakukannya audit lingkungan terhadap operasional PLTA Singkarak.

Audit lingkungan itu dilaksanakan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Andalas, Padang didampingi oleh kedua belah pihak. Kegiatan tersebut berlangsung selama delapan bulan dan berakhir pada bulan Juli 2013.  Bagaimanakah hasilnya?

Keberadaan PLTA Singkarak diyakini masyarakat menyebabkan penurunan ketersediaan air di Nagari Malalo. Foto: Riko Coubut

Keberadaan PLTA Singkarak diyakini masyarakat menyebabkan penurunan ketersediaan air di Nagari Malalo. Foto: Riko Coubut

Konflik itu berawal pada 1992, ketika dibangun terowongan intake air PLTA Singkarak dengan kedalaman 5 – 800 meter yang menyisakan masalah seperti hilangnya 8 sumber mata air masyarakat, dan mengakibatkan irigasi banyak pesawahan kering, sehingga 106 hektar sawah tidak bisa diolah lagi. Sumber air diduga hilang karena adanya retakan tanah akibat pembangunan terowongan yang menggunakan bahanp peledak.

Pada 1993 ditemukan retakan tanah sepanjang kurang lebih 250 meter di Jorong Duo Koto, penurunan sedimen tanahnya mengakibatkan putusnya aliran irigasi (tali banda). Pada 1998 terjadi keretakan tanah di Bukit Cati sepanjang 200 meter dan menyebabkan putusnya aliran irigasi Banda Talao. Pada 2000 sedimen tanah amblas dan jatuh ke aliran sungai Batang Malalo dan mengakibatkan terjadinya galodo (tanah longsor) yang menelan 11 korban jiwa dan kerugian harta benda.

Pada 2004 terjadi keretakan tanah di Pabirahan sepanjang 30 meter dan pada 2005 terjadi retakan tanah di lokasi Tuanku Limopuluah sepanjang 80 meter. Retakan-retakan tanah itu terus terjadi, setidaknya hingga tahun 2010, berdasarkan tinjauan yang dilakukan masyarakat dibeberapa tempat di Nagari Guguk Malalo.

Audit lingkungan PLTA Singkarak dilakukan setelah ada Nota Kesepahaman antara masyarakat dengan PT. PLN (Persero) Sektor Bukittinggi pada 12 Februari 2013 di Padang Panjang. Dimana ruang lingkup audit tersebut meliputi 1) Kondisi hidrogeologi sekitar PLTA Singkarak yang mencakup pola aliran air dan kondisi air tanah serta air permukaan, 2) Kualitas air danau Singkarak sekitar Nagari Guguk Malalo terutama untuk pendugaan sedimentasi.

Termasuk 3) Kondisi perikanan Danau Singkarak sekitar Nagari Guguk Malalo, 4) Dampak pelaksanaan RKL/RPL PLTA Singkarak dan pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) PLTA Singkarak di Nagari Guguk Malalo, 5) Kondisi dan persepsi masyarakat tentang keberadaan PLTA Singkarak serta upaya peningkatan kerjasama saling menguntungkan antara masyarakat dan PLTA Singkarak, 6) Kondisi sosial ekonomi masyarakat terkini dan sejarah perubahannya.

Tim audit lingkungan PLTA Singkarak, Sumatera Barat melakukan pengeboran tanah dibeberapa titik guna mendapatkan data kondisi hidrogeologi di sekitar Nagari Guguk Malalo. Foto: Riko Coubut

Tim audit lingkungan PLTA Singkarak, Sumatera Barat melakukan pengeboran tanah dibeberapa titik guna mendapatkan data kondisi hidrogeologi di sekitar Nagari Guguk Malalo. Foto: Riko Coubut

Kegiatan audit lingkungan ini dilakukan akan menjadi dasar pemberian rekomendasi pemerintah terhadap operasional dan pemeliharaan kualitas lingkungan disekitar PLTA Singkarak. Kemudian hasil yang ditemukan akan menjadi landasan perbaikan kinerja pengelolaan lingkungan PLTA Singkarak.

Nagari Guguk Malalo merupakan salah satu nagari yang berada di Kecamatan Batipuh Selatan, Tanah Datar, Sumbar, terbentang dari timur ke barat dan terletak di bagian barat Danau Singkarak, dengan tekstur tanah berbukit-bukit dengan kemiringan rata-rata 20 sampai 60 derajat dan sangat sedikit yang datar ataupun landai.

Nagari Guguk Malalo terdiri atas 3 jorong yaitu Jorong Duo Koto, Jorong Guguk dan Jorong Baing dengan luas wilayah 16.110 hektar dan berada pada ketinggian antara 360 – 1.300 mdpl. Sebagian besar masyarakat Nagari Guguk Malalo berprofesi sebagai petani dan nelayan, sisanya berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri sipil dan buruh.

Penyampaian Hasil Audit Lingkungan

PSLH Universitas Andalas telah mempublikasi hasil temuan Audit Lingkungan PLTA Singkarak kepada masyarakat dan PT. PLN (Persero) Sektor Bukittinggi yang difasilitasi oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Sumatera Barat beberapa waktu yang lalu.

Dalam pertemuan tersebut, PSLH Universitas Andalas memaparkan bahwa geomorfologi Malalo terdiri dari satuan alluvial, satuan dataran perbukitan struktural dan satuan perbukitan struktural. Satuan geomorfologi ini merupakan dasar penentuan batas-batas hidrogeologi (water devide) daerah Malalo yang bersifat batas tanpa aliran eksternal. Dari hasil pemetaan struktur geologi, teridentifikasi beberapa sesar seperti sesar Malalo, sesar Duo Koto, sesar Gulang-Gulang, sesar Uway, sesar Bukit Cati, sesar Kanang, sesar Lambiu, sesar Piliang, sesar Rawa Cino dan sesar Baing.

Masyarakat Nagari Guguk Malalo turut serta membantu dalam pengambilan sampling kondisi hidrogeologi untuk audit lingkungan PLTA Singkarak. Foto: Riko Coubut

Masyarakat Nagari Guguk Malalo turut serta membantu dalam pengambilan sampling kondisi hidrogeologi untuk audit lingkungan PLTA Singkarak. Foto: Riko Coubutgu

Dr. Ardinis Arbain, salah seorang tim Audit, saat ditemui Mongabay, pada Rabu, (03/03/2015) mengatakan kehilangan debit aliran air pada beberapa sungai di Malalo, salah satu penyebabnya adalah karena adanya sesar yang memotong beberapa aliran sungai yang menyebabkan sebagian atau seuruh aliran air masuk kedalam zona sesar yang melewatinya.

Untuk mengetahui keberadaan muka air tanah, telah dilakukan penelitian dengan cara melakukan pemboran sebanyak 25 titik. Hanya 12 titik yang ditemukan muka air tanah sedangkan untuk 13 titik lainnya tidak ditemukan muka air tanah. Muka air ditemukan dikedalaman 24 sampai 245 centimeter dari muka tanah, artinya muka air tanah di daerah terowongan jauh dibawah muka tanah.

Hasil pengamatan lapangan yang dilakukan terhadap komponen biologi terlihat adanya kecenderungan berkurangnya sedikit populasi tumbuhan air yang didapatkan pada bagian daerah pantai/pinggir danau yang landai, namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan populasi ikan bilih, tambahnya.

Sementara itu masyarakat meyakini bahwa penurunan ketersediaan air di Nagari Malalo berhubungan dengan keberadaan PLTA Singkarak, sehingga masyarakat beranggapan bahwa penurunan kualitas air Danau Singkarak telah terjadi sebagai akibat operasional PLTA Singkarak. Penurunan pendapatan masyarakat yang signifikan terhadap kegiatan perikanan danau serta pendapatan dari hasil pertanian dan perkebunan saat ini berkaitan erat dengan keberadaan PLTA Singkarak, sehingga persepsi masyarakat cenderung negatif.

Audit lingkungan merupakan salah satu instrumen yang akan dijadikan bahan bagi masyarakat maupun pihak PLTA Singkarak dalam menentukan kesepakatan dalam penyelesaian konflik yang terjadi, namun hingga saat ini masyarakat belum mendapatkan dokumen lengkap hasil penelitian tersebut.

Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Guguk Malalo, Syafrizal Dt. Rangkayo Basa, kepada Mongabay meminta agar PLTA Singkarak segera melakukan komunikasi bersama masyarakat untuk menindaklanjuti hasil audit lingkungan tersebut. Hasil rekomendasi dari pelaksanaan audit tersebut dapat menjadi bahan musyawarah dalam menyelesaikan masalah yang disengketakan. Pada prinsipnya masyarakat mendukung keberadaan PLTA Singkarak di Nagari Malalo, dan keberadaannya mesti memberikan kontribusi kepada kemajuan nagari.

Sebelumnya pihak PT. PLN (Persero) Sektor Bukittinggi selaku pengelola PLTA Singkarak berencana akan melakukan perbaikan saringan intake yang berada di Nagari Guguk Malalo. Untuk itu pihaknya telah melakukan komunikasi dengan pemerintahan Nagari mengenai hal tersebut. PLN juga berencana akan membangun embung dibeberapa tempat agar sawah-sawah masyarakat dapat dialiri termasuk akan membangun pengelolaan air minum dan mandi yang akan dialiri ke rumah-rumah masyarakat, ucap Mulyadi selaku Walinagari Guguk Malalo.

Pihak PT. PLN (Persero) Sektor Bukittinggi telah tiga kali melakukan koordinasi kepadanya mengenai keinginan perusahaan untuk membangun embung dan sumber air minum masyarakat di Guguk Malalo. Guna merespon itu, pihak nagari telah memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak PLN guna membicarakan hal tersebut. Namun belum ada keputusan terkait dengan rencana pembangunan embung dan sumber air minum masyarakat yang akan dibangun. Akan tetapi dalam pertemuan itu masyarakat menuntut agar pihak PLTA Singkarak terlebih dahulu menanggapi hasil audit yang sudah dilakukan, tambahnya.

Saat konfirmasi mengenai permasalahan tindak lanjut hasil audit itu kepada pihak perusahaan PT. PLN Sektor Bukittinggi pada Senin (04/02/2015), pihaknya mengaku telah memberitahukan hasil audit tersebut kepada pimpinan PT. PLN (persero) Sumbagsel dan pihaknya hingga kini, masih menunggu keputusan mengenai tindaklanjutnya.

 


PLTA Singkarak Diaudit Lingkungan. Bagaimana Hasilnya? was first posted on March 12, 2015 at 6:02 am.

Bapedalda Sumbar Bentuk Tim Penanganan Pengaduan Lingkungan Hidup. Apa Kerjanya?

$
0
0

Dalam rangka merespon kasus-kasus lingkungan hidup, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedalda) propinsi Sumatera Barat membentuk tim fasilitasi penanganan pengaduan lingkungan hidup. Tim yang langsung diketuai Kepala Bapedalda Sumbar ini terdiri dari unsur akademisi, Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH), praktisi, ahli/pakar hukum dan lingkungan, organisasi lingkungan, laboratorium, perwakilan masyarakat, instansi teknis terkait lainnya.

Tim ini terbentuk karena melihat kurangnya koordinasi antar instansi terkait sehingga menghambat penanganan permasalahan lingkungan. Tim bakal bekerja memfasilitasi penanganan pengaduan lingkungan hidup dengan efektif dan efisien karena penanganan terpadu dan koordinatif dengan instansi terkait lintas sektor dan lintas kabupaten/kota di Sumbar.

Tim fasilitasi penanganan pengaduan lingkungan beserta rombongan melakukan tinjauan terhadap salah satu perusahaan sawit di Nagari Lubuk Besar, Kecamatan Asam Jujuhan, Kabupaten Dharmasraya, Sumbar. Foto: Riko Coubut

Tim fasilitasi penanganan pengaduan lingkungan beserta rombongan melakukan tinjauan terhadap salah satu perusahaan sawit di Nagari Lubuk Besar, Kecamatan Asam Jujuhan, Kabupaten Dharmasraya, Sumbar. Foto: Riko Coubut

Adanya tim ini, dapat dimanfaatkan masyarakat dan dunia usaha memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk pemajuan kualitas lingkungan hidup, sesuai diamanatkan dalam Undang-undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pasal 65 ayat (5) menyebutkan bahwa setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Sesuai aturan tersebut, Tim fasilitasi penanganan pengaduan lingkungan hidup bekerja melakukan penelaahan, yaitu melakukan identifikasi, klarifikasi, menghimpun informasi, verifikasi dan riwayat penaatan dari pengaduan permasalahan lingkungan hidup.

Tim bekerja melakukan verifikasi administrasi dan turun ke lapangan guna memeriksa kebenaran pengaduan, memeriksa upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah dilakukan, meminta keterangan, memeriksa dan menganalisa dokumen, memeriksa peralatan, mencari sumber dugaan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, memeriksa lokasi dugaan pencemaran perusakan lingkungan lingkungan hidup dan membuat berita acara.

Tim juga bekerja melakukan analisis terhadap hasil verifikasi lapangan, adanya pelanggaran lingkungan hidup, adanya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup, menentukan sumber dampak dan wilayah yang terkena dampak, serta memberikan rekomendasi tindak lanjut hasil fasilitasi kepada gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangan penanganan pengaduan. Tim juga melakukan pemantauan pelaksanaan rekomendasi tindak lanjut hasil fasilitasi penanganan pengaduan.

Tim laboratorium melakukan melakukan pengambilan sampling kualitas air sungai asam terkait dengan dugaan pencemaran sungai di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat : Foto: Riko Coubut

Tim laboratorium melakukan melakukan pengambilan sampling kualitas air sungai asam terkait dengan dugaan pencemaran sungai di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat : Foto: Riko Coubut

Kepala Bapedalda Sumbar, Asrizal Asnan, kepada Mongabay pada Rabu (10/03/2015) mengatakan, penanganan pengaduan lingkungan hidup memerlukan pola kerja dan waktu yang tepat dan efisien, sehingga diperlukan kerjasama lintas sektor dan antar kompetensi ilmu pengetahuan. Kasus lingkungan itu sangat unik, kajiannya sangat mendalam dan luas, tentunya dalam melakukan penanganan mesti dilakukan oleh orang-orang yang berkopetensi dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai permasalahan lingkungan hidup.

Pada tahun 2013 yang lalu, Bapedalda Sumbar mencatat sebanyak 102 kasus lingkungan hidup yang dilaporkan masyarakat kepada Bapedalda/BLH di masing-masing kabupaten/kota yang membutuhkan penanganan yang serius, cepat dan tepat.

“Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang dalam melaksanakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Tugas dan wewenang penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan melalui perannya sebagai fasilitator atau mediator,” tegasnya

Pembentukan tim ini merupakan bentuk pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) di lingkup Bapedalda Sumbar. Pihaknya juga telah menghimbau kepada Bapedalda/BLH di masing-masing kabupaten/kota untuk melakukan hal yang sama. Tim ini merupakan tim independen sehingga dapat bekerja maksimal serta mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengaduan dan laporan-laporan yang diberikan, tambahnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.09/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup, menyebutkan masyarakat dapat melakukan pengaduan lingkungan hidup ke Bapedalda/BLH yang ada di kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Jika pengaduan tersebut berada di dua wilayah administrasi kabupaten/kota, maka masyarakat dapat melakukan pengaduan ke Bapedalda Sumbar.

Masyarakat atau setiap orang dapat membuat pengaduan atau menyampaikan informasi secara secara lisan maupun tulisan mengenai dugaan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan/atau pasca pelaksanaan.

Tim fasilitasi penanganan pengaduan lingkungan hidup tengah melakukan wawancara bersama masyarakat, pemerintahan nagari serta pemerintahan kecamatan mengenai kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah mereka. Foto: Riko Coubut

Tim fasilitasi penanganan pengaduan lingkungan hidup tengah melakukan wawancara bersama masyarakat, pemerintahan nagari serta pemerintahan kecamatan mengenai kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah mereka. Foto: Riko Coubut

Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Uslaini, saat ditemui pada Kamis, (12/03/2015) menyambut baik atas inisiatif atau terobosan yang dilakukan oleh Bapedalda Sumbar, sehingga nantinya kasus-kasus lingkungan hidup yang dilaporkan oleh masyarakat akan lebih mudah ditangani dan mampu diselesaiakan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sebagai organisasi lingkungan hidup, Walhi Sumbar juga sering mendapatkan pengaduan-pengaduan dari masyarakat terkait dengan dugaan pengrusakan dan pencemaran yang terjadi didaerah mereka, untuk merespon pengaduan tersebut pihaknya juga bermitra dengan instansi terkait untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tersebut.

Uslaini menambahkan bahwa dalam beberapa kasus sengkata lingkungan hidup yang terjadi di Sumbar, Walhi dan Bapedalda Sumbar aktif mengupayakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup tersebut hingga sampai ke Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta. Bahkan Walhi dan Bapedalda bekerjasama dalam melakukan verifikasi lapangan atas dugaan pencemaran dan pengrusakan lingkungan yang dilaporkan masyarakat, seperti menangani kasus permasalahan debu akibat operasional pabrik PT. Semen Padang, dugaan pencemaran sungai di kabupaten Pesisir Selatan, dan lain-lain.

“Kami berharap, keberadaan tim ini mampu merespon seluruh pengaduan-pengaduan lingkungan yang dilaporkan masyarakat dan mengupayakan proses penyelesaiannya. Sehingga setiap kasus yang muncul, penanganannya dapat diupayakan dalam waktu yang relatif singkat, cepat dan menghasilkan rekomendasi yang tepat sasaran,” tegasnya.

Sementara itu, Rembrandt, dari Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan, keberadaan tim ini merupakan mandat dari undang-undang lingkungan hidup beserta peraturan turunannya. Fungsi fasilitasi dan mediasi penyelesaian sengketa masyarakat akan terbangun dengan baik sebab tim diisi oleh berbagai kopetensi keilmuan dan pengalaman.

Keberadaan tim merupakan perwujudan sikap yang indepen dalam mengupayakan penyelesaian sengketa yang muncul. Tim ini terdiri dari berbagai bidang ilmu, sehingga setiap kasus yang dilaporkan akan mampu ditelaah secara komprehensif. Semestinya di masing-masing kabupaten/kota di Sumbar Barat juga dapat melakukan hal yang sama, sehingga akan mampu mempercepat proses-proses penyelesaian sengketa. Keberadaan tim akan sangat membantu kepentingan masyarakat atau dunia usaha dalam mengupayakan penyelesaian persoalan lingkungan hidup.

Bentuk Tim Penegakan Hukum

Selain membentuk tim fasilitasi penanganan pengaduan lingkungan hidup, Bapedalda Sumbar juga membentuk tim penegakan hukum lingkungan hidup. Kedua tim akan merespon, menelaah serta melakukan verifikasi atas laporan pengaduan lingkungan hidup.

Tata cara kerja kedua tim tersebut tetap sama, yaitu sama-sama melakukan kajian lapangan/verifikasi dari aspek hukum terhadap usaha atau kegiatan yang diduga melakukan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Kemudian membuat analisis yuridis atas pertimbangan teknis terhadap pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh penanggungjawab usaha atau kegiatan yang diduga melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan.

Tim tersebut memberikan rekomendasi bahwa telah terjadinya dan/atau terpenuhinya unsur pelanggaran terhadap sanksi administrasi dan keperdataan dibidang lingkungan kepada gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Kemudian menetapkan jenis penerapan hukum yang akan ditetapkan terhadap pelanggaran yang dilakukan, meliputi; penerapan sanksi administrasi, penerapan penegakan hukum perdata, penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dan di dalam pengadilan, penerapan penegakan hukum pidana.

 


Bapedalda Sumbar Bentuk Tim Penanganan Pengaduan Lingkungan Hidup. Apa Kerjanya? was first posted on March 13, 2015 at 6:46 am.

Pemerintah Agar Transparan Dan Tepat Guna Dalam Pembagian 9 Juta Hektar Lahan Pertanian. Kenapa?

$
0
0

Pada akhir Februari 2015, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah berencana menggulirkan progam reforma agraria dengan membagikan sembilan juta hektare lahan pertanian kepada 4,5 juta petani marginal. Banyak pihak mendukung program reforma agraria ini agar kepemilikan lahan petani menjadi lebih baik dan bakal mendukung ketahanan pangan nasional.

Akan tetapi, program ini perlu mempertimbangkan berbagai hal penting, seperti kajian dampak lingkungan dan sosial dari lahan,  penentuan dan kesesuaian lahan yang bakal dibagikan, transparansi dan keakuratan data, serta jaminan dan seleksi bagi petani penerima lahan.

Hutan Campaga dan sawah milik warga. Hutan menjadi sumber pengairan sawah dan sumber air minum bagi warga di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Hutan terjaga dan tak ada warga berani mengusik. Foto: Christopel Paino

Hutan Campaga dan sawah milik warga. Hutan menjadi sumber pengairan sawah dan sumber air minum bagi warga di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Hutan terjaga dan tak ada warga berani mengusik. Foto: Christopel Paino

Pemerhati Isu Kehutanan dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Togu Manurung mengatakan kajian dampak lingkungan dan sosial program tersebut perlu dilakukan secara komprehensif sebelum keputusan mengeksekusi program diambil agar dampak buruk dapat diminimalkan.

“Pemerintah harus belajar dari pengalaman buruk pembangunan mencetak sawah lebih dari satu juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah yang menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang sangat buruk,” katanya.

Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Bogor yang juga Pemerhati Isu Pertanian Berkelanjutan dari Thamrin School menekankan pengalaman buruk dari program lahan gambut sejuta hektar tersebut.

“Masih hangat rasanya kisah gambut 1 juta hektare, di mana saya saat itu anggota tim AMDAL-nya. Untuk merusaknya dana yang sudah dikeluarkan pemerintah berjumlah lebih dari Rp3 triliun, dan untuk merehabilitasinya juga keluar lebih dari Rp3 triliun. Proyek tersebut akhirnya tidak menghasilkan sawah, tetapi kerusakan ekologi luar biasa yang benar-benar absurd. Plus 56 juta meter kubik kayu yang sudah entah lari ke mana,” kata Dwi Andreas.

Kompleksitas program ini sedemikian tingginya karena melibatkan luasan lahan yang sangat besar, beragam ekosistem dan fungsi dari bakal lahan dengan lokasi yang terpencar, serta banyak faktor lainnya.

Oleh karena itu, keterbukaan informasi dan data dari program ini menjadi krusial,  terutama terkait dengan lokasi wilayah, status, dan kondisi lahan yang ada.  Hal ini sangat penting agar pemangku kepentingan bisa memberikan masukan yang akurat kepada program reforma agraria.  Keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diharapkan bisa menjami hal tersebut.

“Data pertanian dan petani, kondisi lahan yang memperhatikan peta kesesuaian lahan harus dibuat transparan sehingga publik bisa cek dan kontrol. Tidak semua lahan bisa dijadikan lahan pertanian,” kata Togu yang juga Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bogor itu.

Program direncanakan dilakukan pada dua lokasi besar yaitu lahan APL (area penggunaan lain) dan kawasan hutan. Untuk itu, Togu mengatakan perlu dipastikan bakal lahan bukan berasal dari hutan berkonservasi tinggi dan penentuan lahan bukan menjadi kedok kolaborasi oknum aparat pemerintah dan pengusaha untuk memanen kayu dari hutan.

“Kita merekomendasikan agar pemerintah memastikan program ini tidak lagi menjadi kesempatan atau kedok untuk membabat hutan yang masih ada, karena itu bisa disalahgunakan untuk memanen kayu alam,” kata Ketua Perkumpulan Forest Watch Indonesia itu.

Kawasan yang memiliki signifikansi jasa lingkungan ekosistem hutan alam tropis yang sangat tinggi atau kawasan yang bernilai konservasi tinggi (high conservation value forest) misalnya di kawasan Heart of Borneo Kalimantan, harus dihindari untuk dibuka.  Mengingat besarnya lahan terlantar di kawasan hutan, maka sebaiknya pembukaan tutupan hutan memang tidak dilakukan. Bahkan, bila ditemukan adanya kawasan berhutan yang statusnya Areal Penggunaan Lain, disarankan untuk tidak dibuka.

Pemerintah juga diharapkan tidak memaksakan angka luasan sebagaimana yang direncanakan, bila kajian dampak lingkungan dan sosial program tersebut belum dilakukan.  Pendekatan bertahap, dengan mengeksekusi program pada wilayah yang dinyatakan layak lingkungan dan sosial saja, akan membuat program ini benar-benar bisa bermanfaat.

“Menurut data KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), sudah tersedia lahan terlantar tidak produktif, dalam bentuk alang-alang semak belukar, dalam kawasan dalam hutan dan luar hutan. Kenapa lahan ini tidak diprioritaskan dalam pengadaan lahan 9 juta hektar? Jangan gunakan hutan alam, karena laju deforestasi sudah besar,” lanjut Togu,

Indonesia memiliki lahan terlantar/tidak produktif yang sangat luas yang berada di kawasan hutan, sekitar 14 juta hektar, bahkan perhitungan lainnya mencapai angka 30 juta hektare. Disarankan agar lahan yang terlantar tersebut bisa diprioritaskan untuk dimanfaatkan, tentunya dengan dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu.

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut

Togu mengatakan program pemanfaatan 9 juta hektar lahan ini harus tepat sasaran ditujukan meningkatkan kesejahteraan petani. Maka perlu dipastikan identifikasi petani peserta program, terutama masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada pada lokasi program.  Prioritas harus diberikan kepada para petani tuna kisma (yang sama sekali tidak memiliki lahan) dan gurem (yang memiliki lahan sangat kecil).

“Kami merekomendasikan setelah setlelah buat kajian dampak lingkungan dan sosial, makan diterapkan environment and social safeguard di reforma agraria untuk masyarakat adat,” katanya.

Pembagian kepemilikan tanah agar dijamin kepada masyarakat yang berhak untuk mendapatkan lahan yang menjadi tujuan reforma agraria sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Kepemilikan tanah ini disertai dengan sertifikat hak milik yang tidak dapat dipindahkan kepemilikan, diperjualbelikan, dan diagunkan dalam masa minimal 10 tahun sehingga pengelolaan tanah dapat dijamin keberlangsungannya secara produktif untuk tanah pertanian sesuai program tersebut.

Thamrin School juga merekomendasikan agar program pemanfaatan 9 juta hektar lahan itu mengadopsi bentuk-bentuk pertanian berkelanjutan yang bersifat konservatif dan rehabilitatif agar manfaat optimal bisa diterima semua pihak.


Pemerintah Agar Transparan Dan Tepat Guna Dalam Pembagian 9 Juta Hektar Lahan Pertanian. Kenapa? was first posted on March 13, 2015 at 7:07 am.

Warga : Gubernur Jangan Salahkan Kami Jika Warga Kembali Menebang Hutan Alam

$
0
0

Edi Saritonga mengirim pesan pendek kepada Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Kamis (05/03/2015), pada pukul 08.44, dengan isi “Saya Ketua LPHD (lembaga pengelolaan hutan desa) Desa Segamai. Tolong desak Plt Gubernur Riau menerbitkan SK HPHD Desa Segamai dan Serapung karena semua proses telah kami lewati dan batas waktunya berakhir tanggal 8 Maret 2015. Kalau lah Plt Gubernur tidak mau menandatangani SK tersebut, sia-sialah perjuangan kami untuk mempertahankan hutan di Semenanjung Kampar.”

Dua jam kemudian, Siti Nurbaya membalas pesan Edy .”Saat ini sedang berproses. Tadi pagi saya sudah telepon Gubernur dan sekarang sedang ditangani Gubernur. Draft SK-nya sudah siap. Ajudan saya terus memantaunya.”

Balasan tersebut diterima Edi saat di kantin kantor gubernur, usai bertemu dengan salah seorang staf Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Propinsi Riau. “Menurut BP2T draft SK-nya sudah dibuat, kini ada di asisten II Gubernur Riau,” kata Herbert dari Yayasan Mitra Insani (YMI) yang menemani Edi Saritonga dan Junari saati itu.

Kondisi hutan Desa Senggamai, Kabupaten Pelalawan, Riau yang dijaga dan ditanami jelutung oleh warga. Foto : Herbert/Yayasan Mitra Insani

Kondisi hutan Desa Senggamai, Kabupaten Pelalawan, Riau yang dijaga dan ditanami jelutung oleh warga. Foto : Herbert/Yayasan Mitra Insani

Herbert mengatakan, pagi itu juga, Plt Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman mengumpulkan SKPD terkait penerbitan Hak Pengolalan Hutan Desa (HPHD).

Sehari sebelumnya, Edi Saritonga bersama YMI dan Jikalahari menggelar konferensi pers di Jalan KH Ahmad Dahlan, Pekanbaru. Edi bercerita bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan Hutan Desa (HD) sejak 2010.

Saat itu Kepala Desa Segamai mengajukan usulan HD seluas 7.532  hektar dan Kepala Desa Serapung seluas 2.317 hektar kepada Bupati Pelalawan, Riau. Menurut Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, areal HD yang diajukan tersebut adalah Hutan Produksi yang pernah diajukan oleh PT Surya Alam Perkasa untuk tanaman industri, namun ditolak oleh Kemenhut karena kondisi lahan bergambut dalam.

Areal itu juga bagian dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Tasik Serkap seluas 513.276 ha yang ditelah ditetapkan oleh Menhut sejak 21 September 2010.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada prinsipnya menyetujui permohonan Desa Serapung dan Desa Segamai dengan pertimbangan kegiatan HD utamanya usaha restorasi ekosistem, perdagangan karbon, jasa lingkungan atau pemungutan hasil hutan bukan kayu tanpa penebangan hutan alam yang ada.

Lantas pada 16 Juni 2011 Menhut menerbitkan pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, salah satunya Propinsi Riau diberi alokasi pencadangan HD/Hkm (hutan kemasyarakatan) seluas 12.360 ha.

Hasil verifikasi Kemenhut pada 2012 ternyata mengurangi luasan HD menjadi 2.270 ha untuk Desa Segamai dan  2.317 ha untuk Desa Serapung. Dan pemberian status HPHD Segamai dan Serapung dibatasi hanya untuk pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemungutan hasil hutan kayu.

Lantas pada 8 Maret 2013 Menhut Zulkifi Hasan menerbitkan Keputusan Penetapan Areal  Kerja (PAK) Hutan Desa untuk Desa Segamai seluas 2.270 ha di Kecamatan Teluk Meranti dan Desa Serapung seluas 1.956 ha di Kecamatan Kuala Kampar.

Isi keputusan Menhut tersebut, dua diantaranya, yaitu PAK HD digunakan sebagai dasar pemberian HPHD oleh Gubernur Riau kepada lembaga desa dan bila dalam jangka dua tahun sejak keputusan Menhut ditetapkan tidak ada penerbitan HPHD dari Gubernur, maka keputusan batal dengan sendirinya.

Pada 22 Oktober 2013 Bupati Pelalawan HM Harris menerbitkan status HPHD, kemudian meneruskan kepada Gubernur Riau Annas Mamun (sekarang Gubernur Riau non aktif) yang ditindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Gubernur No 18 tahun 2014 tentang pedoman verifikasi permohonan HPHD pada 11 April 2014.

Gubernur baru membentuk tim verifikasi pada 12 Agustus 2014. Tim verifikasi pada September 2014 telah menyelesaikan tugasnya dan menyatakan permohonan HPHD telah memenuhi persyaratan administrasi. Sejak saat itu, Herbert yang diberi kepercayaan masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung untuk mengurus HPHD ke kantor BP2T dan kantor gubernur.

Tiga hari jelang masa akhir PAK tanggal 8 Maret 2015, inilah yang membuat Edi Saritonga, Ketua LPHD Desa Segamai khawatir. “Sia-sia perjuangan kami selama lima tahun menyelamatkan hutan untuk dikelola masyarakat desa, hanya gara-gara Gubernur tidak menerbitkan HPHD,” kata Edi.

Penanaman jelutung oleh warga pada 2015 di hutan Desa Senggamai, Kabupaten Pelalawan, Riau yang dijaga dan ditanami jelutung oleh warga. Foto : Herbert/Yayasan Mitra Insani

Penanaman jelutung oleh warga pada 2015 di hutan Desa Senggamai, Kabupaten Pelalawan, Riau yang dijaga dan ditanami jelutung oleh warga. Foto : Herbert/Yayasan Mitra Insani

“Meski belum dapat HPHD dari gubernur, masyarakat Desa Segamai sudah melakukan ragam aktivitas, seperti reboisasi dengan menanam pohon jelutung di areal yang tak berhutan, bloking kanal, menanam karet, bahkan monitoring hutan untuk memastikan tak ada warga yang menebang hutan alam dan tidak ada yang membakar lahan di dalam areal HD. “Kami tidak akan rusak hutan. Ini hutan alam yang tersisa milik kami. Bahkan rumah warga sekarang sudah mulai memakai bahan dari pohon kelapa, tidak lagi dari kayu alam,” katanya. Edi juga mengatakan di tengah HD Segamai dan Serapung ada tasik yang masih bagus di kelilingi pepohonan berhutan haa. “Di dalam tasik tersebut ada ikan arowana. Saya sudah penah ke sana.”

“Sejak kami berkomitmen menyelamatkan hutan, kami tak izinkan warga Segamai merambah hutan yang dulu adalah mata pencaharian mereka. Namun, jika HPHD belum diterbitkan gubernur, jangan salahkan kami, warga kembali menebang hutan alam,” lanjutnya.

Namun, hingga jatuh tempo tanggal 8 Maret 2015, gubernur belum menerbitkan SK HPHD. Herbert yang terus mengikuti perkembangan SK HPHD menceritakan pada Jum’at 6 Maret 2015, menemani staff Dinas Kehutanan Provinsi Riau untuk mempercepat proses di kantor gubernur.

Ternyata surat keputusan HPHD  dan lampiran peta belum di paraf oleh Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Zaini Ismail,. “Untuk mendapatkan paraf Sekda kami ke rumah Sekda dan bersedia paraf. Langsung kami antarkan dokumen tersebut ke Plt Gubernur Riau di kediamannya yang diterima oleh ajudan. Lepas itu hingga sore kami tidak bisa lacak lagi,” kata Herbert.

Herbert kemudian menelepon asisten Plt Gubernur. Asisten itu mengatakan secara prinsip sudah ditanda tangani Gubernur. “Saya kejar menanyakan  lagi apakah SK tersebut sudah di tanda tangani? Saya butuh satu kalimat untuk menenangkan masyarakat dan apa yang harus saya sampaikan kepada masyarakat karena masyarakat butuh bahasa yang sederhana. Beliau menyarankan untuk disampaikan kepada masyarakat SK sudah di tandatangani,” katanya.

Tiba-tiba pada Minggu (08/13/2015), siang itu Plt Gubernur Arsyadjuliandi Rachman mengadakan rapat mendadak. Ia mengundang Sekda, Asisten II, Kepala BAPPEDA, Kepala Biro Hukum, Dinas Kehutanan, BPDAS Indragiri Rokan serta pelaksana teknisnya, dan pihak terkait.

Dalam pembicaraan Plt. Gubernur Riau masih ragu untuk memberikan tanda tangan dengan pertimbangan, karena berdasar PP No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang, bahwa Rencana Tata Ruang dan Wilayah Propinsi (RTRWP) Riau belum disahkan.

“Catatan saya terkait hal ini adalah gangguan psikologis dari kasus Gubernur Riau (Anas Mamun) yang saat ini ditangani KPK terkait kasus suap perubahan fungsi kawasan Hutan. Sehingga mereka selalu mengaitkan peristiwa itu dengan SK HPHD. Argumen ini selalu keluar dari Kepala BAPPEDA dan Asisten pribadi Plt. Gubernur Riau,” kata Herbert.

Alasan kedua dari Plt Gubernur adalah areal hutan desa masuk ke dalam wilayah Penundaan Pemberian Izin Baru (PPIB) pengelolaan kawasan hutan. “Catatan saya terkait hal ini adalah argumen baru yang muncul, karena sebelumnya saya tidak pernah dengar alasan ini dari mereka. SK PAK Hutan Desa dikeluarkan oleh Menhut 2013 lalu memang pada saat PPIB sudah berjalan, karenanya dalam SK tersebut pemanfaatannya untuk kegiatan restorasi lingkungan.”

Lantas muncul solusi memperpanjang SK PAK dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga RTRWP Riau disahkan. Ini yang membuat Herbert khawatir, sebab tidak ada kejelasan waktu pengesahan RTRWP Riau  “Ini akan membuat warga semakin resah,” katanya.

“IUPHHD (izin usaha pemanfaatan hasil hutan desa) masih ditangguhkan sampai RTRW Riau keluar. Perpanjangan pencadangan sudah kita usulkan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Irwan Effendi, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau via pesan pendek kepada Mongabay Indonesia.

 


Warga : Gubernur Jangan Salahkan Kami Jika Warga Kembali Menebang Hutan Alam was first posted on March 14, 2015 at 5:28 am.

UGM Inisiasi Gerakan Restorasi Sungai. Seperti Apa?

$
0
0

Universitas Gajah Mada Yogyakarta memberikan perhatian serius terhadap pengelolaan sungai khususnya di Yogyakarta. Salah satu bentuknya, yaitu dengan menginisiasi dan mendorong peran serta komunitas pemerhati sungai.

Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UGM, Prof. Dr. Suratman mengatakan Indonesia kaya dengan sumber daya air namun sering mengalami banyak persoalan justru karena air.

“Ya karena kita tidak siap atau salah mengelolanya. Air lebih kita kebanjiran atau bahkan longsor. Air kurang kita pun kekeringan,” kata Suratman dalam acara Pemantapan Forum Penggiat Gerakan Restorasi Sungai di Fakultas Geografi UGM, pada Senin (09/03/2015).

Warga menunjukkan ikan hasil menjaring di sungai Surabaya Rabu 13 November 2013 lalu. Foto: Ecoton

Warga menunjukkan ikan hasil menjaring di sungai Surabaya Rabu 13 November 2013 lalu. Foto: Ecoton

Suratman menambahkan keberadaan sungai dan air merupakan sumber kehidupan. Untuk itu diperlukan pemeliharaan dan pengelolaan secara serius. Selain pemerintah, komunitas penggiat sungai memiliki peran yang cukup strategis untuk memberdayakan masyarakat yang hidup di sekitarnya.

“Kita mulai dengan memberdayakan yang kumuh dulu. Ujung-ujungnya kita ingin ciptakan ekonomi kreatif masyarakat sekitar sungai, baik melalui UMKM ataupun pariwisata,” tambahnya.

Sementara itu Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, Agus Suprapto Kusmulyono mengatakan sungai-sungai di Yogyakarta, seperti Code dan Winongo memiliki spesifikasi yang berbeda-beda. Kondisi tersebut memungkinkan terbentuknya forum atau komunitas di masing-masing sungai.

“Jadi punya komunitas masing-masing karena persoalannya tidak sama antara sungai satu dengan lainnya,” kata Agus.

Agus menambahkan, sungai memiliki persoalan maupun potensi. Persoalan tersebut mulai dari pemanfaatan, pencemaran maupun budaya masyarakat sekitar. Sementara itu sungai juga memiliki potensi yang bisa dioptimalkan, seperti sebagai heritage area, sumber mata air, bahan galian yang dimiliki hingga komunitas penggiat sungai.

Di sisi lain optimalisasi peran penggiat sungai ini disambut baik oleh Dekan Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc. Kondisi sungai-sungai di Yogyakarta saat ini tidak semuanya bersih, tetapi ada pula yang kotor bahkan tercemar. Fakultas Geografi UGM melalui Klinik Lingkungan dan Mitigasi Bencana (KLMB) siap membantu memantau kualitas air di sungai-sungai tersebut.

“Ini riil. Jadi silakan untuk memantau kualitas air sungai ini KLMB siap membantu,” pungkas Rijanta.

Menurut rencana peresmian Forum Penggiat Restorasi Sungai ini akan dilaksanakan pada 22 Maret mendatang bertepatan dengan peringatan hari air sedunia. Saat ini tengah dilakukan penyusunan tata kerja dan organisasinya.

Ikan di Sungai Serayu Memprihatinkan

Susanto, dosen di Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto melakukan penelitian keberadaan ikan di Sungai Serayu, Banyumas, Jawa Tengah. Dalam temuannya kondisi ikan memprihatinkan. Kondisi tersebut disebabkan  karena penangkapan ikan di Sungai Serayu dilakukan oleh para nelayan sudah termasuk kategori berlebihan. Penangkapan ikan hanya bermotif ekonomi dan tidak menghiraukan faktor pelestarian.

Ikan bentok, salah satu ikan air tawar yang populasinya makin berkurang di sungai. Foto : Tommy Apriando

Ikan bentok, salah satu ikan air tawar yang populasinya makin berkurang di sungai. Foto : Tommy Apriando

“Banyak nelayan yang bukan berasal dari sekitar Sungai Serayu. Mereka  menyatakan bahwa  mengambil ikan di sana semata-mata sebagai pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan,” paparnya dalam ujian terbuka program doktor Fakultas Biologi UGM, pada Sabtu (07/03/2015).

Dalam disertasinya berjudul “Komunitas Ikan di Sungai Serayu Wilayah Kabupaten Banyumas”, Susanto menjelaskan bahwa nelayan tidak melakukan seleksi terhadap ikan hasil tangkapan, baik berdasarkan spesies maupun ukuran ikan, sehingga semua ikan yang mereka dapatkan diambil untuk dijual. Keadaan ini menunjukkan bahwa penangkapan ikan di Sungai Serayu yang dilakukan oleh para  nelayan tidak mempertimbangkan faktor pelestarian.

“Ini menyebabkan spesies ikan yang hidup di Sungai Serayu sangat sedikit yang mampu mencapai usia dewasa, sehingga ikan yang didapatkan sebagian besar merupakan ikan muda,” tambahnya.

Menurut Susanto disadari atau tidak setiap kegiatan pemanfaatan sumberdaya dapat mengakibatkan gangguan yang mendorong terjadinya perubahan ekosistem pada skala tertentu. Pemanfaatan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip ekosistem dapat menurunkan kualitas lingkungan, dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan tatanan ekosistem serta penurunan daya dukung lingkungan.

Penangkapan ikan secara berlebihan  yang terjadi di Sungai Serayu dapat menyebabkan berkurangnya keberlimpahan dan keanekaragaman spesies ikan sehingga menurunkan kualitas komunitas ikan.

“Penangkapan ikan yang dilakukan tanpa seleksi, baik dalam hal ukuran maupun waktu penangkapan mengakibatkan ikan-ikan muda tidak dapat tumbuh maksimal dan mencapai usia dewasa,” imbuhnya.

Di akhir paparan Susanto berharap agar dilakukan peningkatan kualitas komunitas ikan  oleh pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan atas pengelolaan Sungai Serayu bersama-sama dengan masyarakat. Kewenangan dalam pengelolaan Sungai Serayu harus memberikan perhatian dan perlindungan serius terhadap komunitas ikan di dalamnya.

Pemikiran local wisdom (kearifan lokal) seperti ditunjukkan oleh penduduk yang tinggal disekitar lokasi penelitian,  patut dicontoh oleh masyarakat luas khususnya para nelayan penangkap ikan di Sungai Serayu. Mereka mengambil ikan di sungai sekedar yang dibutuhkan, tidak menggunakan alat tangkap masal  dan dilakukan tidak sepanjang tahun tetapi hanya pada waktu tertentu, yaitu pada mangsa kapapat (akhir musim kemarau awal musim hujan).


UGM Inisiasi Gerakan Restorasi Sungai. Seperti Apa? was first posted on March 15, 2015 at 1:00 am.

Sinergi Konservasi dan Pemberdayaan Ekonomi Di Bahoi Sulut Lewat Ekowisata Pesisir. Seperti Apakah?

$
0
0

Surga bawah laut. Itulah julukan Indonesia yang disematkan oleh para penyelam dunia karena keindahan alam bawah lautnya. Beberapa spot menyelam terbaik di Indonesia, ada di Sulawesi Utara (Sulut).

Itu mengapa, kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulut meningkat.  Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut mencatat ada peningkatan 50,67 persen menjadi 2.248 orang pada Januari 2015 dibanding Desember 2014.

Sulut, menurut catatan para ahli memiliki ekosistem laut yang merupakan salah satu yang terkaya di wilayah Indonesia yang terdiri dari terumbu karang yang masih asli, padang lamun yang sehat dan ekosistem mangrove. Keanekaragaman hayati tersebut juga telah membuat daerah ini sebagai tujuan wisata dan rekreasi.

Akan tetapi, keanekaragaman hayati tersebut terancam eksploitasi sumber daya kelautan yang berlebihan dan kurangnya pengetahuan serta kesadaran masyarakat dan pemangku kepentingan. Meski telah dibentuk daerah perlindungan laut (DPL), upaya pelestarian masih perlu mendapat perhatian, karena sedikit DPL yang berlanjut dikelola masyarakat setempat.

Hasil survey Wildlife Conservation Society (WCS) tahun 2013, menunjukkan sebanyak 27 DPL, 6 daerah perlindungan mangrove (DPM) dan 5 daerah kontrol/pembanding di Sulut.  Dari jumlah tersebut, hanya 12 DPL yang aktif, dan dan satu DPM yang aktif di Kota Bitung.

DPL dikategorikan aktif bila masih ada kelompok dengan pertemuan desa dan pengawasan DPL yang aktif, serta adanya peraturan desa dan tanda batas DPL.

Seorang warga melewati kawasan hutan mangrove di Desa Bahoi, Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulut.  Desa Bahoi mengembangkan ekowisata sebagai program konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat. Foto : Agustinus Wijayanto

Seorang warga melewati kawasan hutan mangrove di Desa Bahoi, Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulut. Desa Bahoi mengembangkan ekowisata sebagai program konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat. Foto : Agustinus Wijayanto

Salah satu desa yang masih mempertahankan DPL adalah Desa Bahoi di Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara. DPL tersebut dikelola oleh masyarakat dengan dukungan dari PNPM LMP dan WCS IP. Program tersebut dilanjutkan dan  dikembangkan oleh lembaga swadaya masyarakat dan pusat kajian pesisir yaitu  Yapeka, Celebio, PKSPL IPB dan GoodPlanet.

Direktur Yapeka, Edy Hendras Wahyono mengatakan mereka fokus pada isu pesisir melalui program “Penguatan Keanekaragaman Hayati Laut melalui Pengembangan dan Perluasan DPL di Bahoi-Talise-Linunu” dengan dukungan pendanaan dari GoodPlanet Foundation, Perancis.

“Hal ini  penting untuk memberikan peningkatan pengetahuan dan kapasitas pengelolaan pesisir berbasis masyarakat dan pemanfaatan wilayah secara berkelanjutan, salah satunya melalui ekowisata di kawasan penyangga perlindungan laut,” jelasnya dalam acara workshop ekowisata pesisir, “Penguatan Keanekaragaman Hayati Laut dan Pesisir Melalui Dukungan Teknis dan Kebijakan untuk Ekowisata Berbasis Masyarakat” pada Selasa (10/03/2015).

Workshop yang didukung Environmental Technical Assistance and Information Exchanve Facility (ENV-TAIEF)-Uni Eropa, YAPEKA, GoodPlanet, PKSPL IPB, Manengkel Solidaritas, Celebio, Pemprov Sulut, Pemkab Minahasa Utara, Mitra Bahari, WCS, F/21, menghadirkan dua ahli dari luar negeri yaitu Carlo Franzosini dan Rene Henkens.

Presentasi Rene Hankenspakar ekologi-rekreasi-wisata di Alterra dari Pusat Penelitian Universitas Wageningen (WUR) di Belanda dalam workshop pengembangan ekowisata di Sulut. Foto Marthin M

Presentasi Rene Hankenspakar ekologi-rekreasi-wisata di Alterra dari Pusat Penelitian Universitas Wageningen (WUR) di Belanda dalam workshop pengembangan ekowisata di Sulut. Foto Marthin M

Carlo Franzosini yang merupakan ahli biologi kelautan & GIS dalam pengembangan daerah perlindungan laut di Miramare Merditerania di Italia dan Rene Henkens sebagai salah satu pakar ekologi-rekreasi-wisata di Alterra dari Pusat Penelitian Universitas Wageningen (WUR) di Belanda.

Rene membagikan pengalaman yang dilakukannya selama ini terkait dengan pengembangan ekowisata. Bahwa pengembangan pariwisata dunia saat ini berkembang sangat pesat dari tahun 1950 hingga 2010 bahkan prediksi hingga tahun 2030.

“Jumlah wisatawan pada tahun 1950 sekitar dan meningkat di tahun 2012 sebanyak 1 miliar wisatawan. Perkembangan pariwisata tersebut terjadi di Negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia-Pasifik, Amerika, dan Eropa.  Sementara itu di Indonesia, pertumbuhan ± 9,4% di tahun 2013 atau sekitar 8,8 juta,” ungkapnya.

“Untuk menuju ekowisata ke depannya perlu mempertimbangkan manusia-planet-profit yang meliputi bentang alam sebagai titik awal, keberlanjutan,  penelitian multi-disiplin, dan melibatkan banyak pemangku kepenting,” tambahnya.

Pesan yang terungkap dalam presentasi yang disampaikan bahwa perlu adanya kehati-hatian terhadap parisiwata, karena adanya wisata masal dapat berdampak pada ekologi dan sosial. Sehingga tepatlah kalau saat ini kegiatan pariwisata di arahkan ke ekowisata. Artinya dalam perjalanan wisata ada tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial yang ada.

Selanjutnya yang menjadi perhatian ke depan adalah pemberdayaan masyarakat lokal, pengembangan visi-misi, mempertahankan keaslian dan identitas setempat, skenario pengembangan berasarkan penelitian, kerjasama lokal, dan varisasi produk wisata.

Sedangkan Carlo Francosini menjelaskan sulitnya membentuk jaringan daerah perlindungan laut di Merditerania,  memerlukan waktu dan proses. Salah satu prosesnya dalah dengan dikeluarkannya Konvensi dan Protokol Barcelona oleh UNEP.

Kegiatan yang dilakukan dalam DPL di Merditerania meliputi jaringan MedPAN pendidikan, monitoring, snorkling, pesca tourism, perencanaan, dan kerjasama. “Ada sekitar 21 negara Merditeranian dan Komunitas Eropa yang masuk dalam Merditeranian Action Plan (MAP) yang diadosi sejak tahun 1975,” ungkap Carlo.

Dia menyoroti pentingnya mengatur keseluruhan peraturan yang baik, kerjasama antara DPL setempat untuk berbagi pengetahuan umum, layanan, dan alat, kepercayaan dari masyarakat, serta penegakan hukum dan daya tahan.

Ternyata tidak hanya pemerintah dan LSM yang peduli terhadap konservasi laut,  pihak swasta pun turut serta dalam pengembangan DPL dan ekowisata. “Kami dari pihak resort telah memiliki kawasan untuk dibuat daerah perlindungan laut, lalu bagaimana proses yang dapat kami lakukan agar DPL tersebut terwujud’, kata Paul, pengelola resort, yang menjadi peserta dalam workshop itu.

Sedangkan Yunita dari Selamatkan Yaki melihat tidak semua DPL di Sulut dapat bertahan setelah program awal pembentukannya. “Banyak DPL di buat, namun tidak dapat bertahan lama,” katanya.

Diskusi tentang pengembangan ekowisata dalam kunjulan lapangan di Desa Bahoi. Desa Bahoi mengembangkan ekowisata sebagai program konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat. Foto : Agustinus Wijayanto

Diskusi tentang pengembangan ekowisata dalam kunjulan lapangan di Desa Bahoi. Desa Bahoi mengembangkan ekowisata sebagai program konservasi sekaligus pemberdayaan masyarakat. Foto : Agustinus Wijayanto

Sementara Penanggungjawab kegiatan Pesisir & Penelitian Yapeka, Akbar A. Digdo melihat pentingnya dukungan semua pihak dan integrasi kebijakan nasional dan daerah untuk pengelolaan keanekaragaman hayati laut di masa depan. Pemprov dan Pemkab harus aktif membantu penerapan manajemen ekowisata yang baik, yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat setempat.

“Penting untuk ke depan agar DPL dan Ekowista dapat dijalankan dengan baik adalah adanya pendekatan multisektor yang terkoordinasi dari berbagai lembaga/pihak serta berpikir dan bertindak secara jangka panjang,” kata Akbar.

Desa Ekowisata

Sebagai desa pesisir laut, masyarakat Desa Bahoi hidup dari hasil laut, sehingga laut perlu dijaga keberadaanya melalui daerah perlindungan laut.

“Saat ini masyarakat sudah mulai menerima manfaat dari keberadaan DPL sebagai bank ikan. Melindungi laut merupakan upaya tidak hanya untuk kehidupan saat ini namun juga untuk kehidupan generasi yang akan datang,” kata tokoh masyarakat Desa Bahoi, Maxi Lahading.

Pemerintah Desa Bahoi juga telah memasukkan pengembangan ekowisata dalam RPJMDes sebagai program pariwisata berkelanjutan dan konservasi sekaligus pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat setempat.

Pemdes Bahoi telah mengeluarkan Peraturan Desa No.02/2010 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk keberlanjutan DPL. Ekowisata dibuat untuk memanfaatkan daerah penyangga DPL dan saat ini telah tersedia infrastruktur sederhana meliputi penginapan, pemandu wisata, souvenir. Modalitas sosial ini sangat baik, tetapi untuk implementasi yang lebih baik masih perlu bantuan teknis dan dukungan kebijakan dari Pemerintah Daerah dan LSM.

Tantangan pengembangan ekowisata Desa Bahoi adalah perlunya sinergi program pemda dan desa, serta pengembangan infrastruktur yang memperhatikan aspek lingkungan.

Kelompok ekowisata dan DPL juga penguatan kapasitas agar lebih siap menerima wisatawan. Program desa juga diharapkan menginisiasi kemandirian masyarakat dalam menjalankan pengelolaan DPL dan ekowisata yang berkelanjutan.

 


Sinergi Konservasi dan Pemberdayaan Ekonomi Di Bahoi Sulut Lewat Ekowisata Pesisir. Seperti Apakah? was first posted on March 15, 2015 at 4:57 pm.

Lautku Sayang, Lautku Meradang

$
0
0
 *Agus Supangat, Mantan Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Sekarang bekerja di Regional Climate Projections Consortium and Data Facility in Asia and the Pacific. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Keanekaragaman laut terus tergerus

Komponen laut berupa jutaan spesies tumbuhan dan hewan harus bekerja

Kalau dibiarkan habis, laut pun meradang

Mungkin ia tak lagi dapat mendukung kehidupan

Ibarat orkestra, sekelompok peneliti dari Universitas Dalhousie, Halifax, Kanada, memainkan konsistensi teori, eksperimen, dan observasi di sepanjang skala dan ekosistem yang berbeda dengan harmonis. Kelompok ini bermain dengan 32 eksperimen secara terkontrol, juga mengamati 48 wilayah perlindungan laut dan data tangkapan ikan serta invertebrata di seluruh dunia sepanjang tahun 1950 – 2003 dari lembaga pangan dunia.

Mereka pun menggunakan data dalam rangkaian waktu selama 1.000 tahun di 12 daerah pesisir yang meliputi arsip, perikanan, sedimen, dan arkeologi. Hasilnya, laut sedang meradang dan harus ”turun mesin” pada tahun 2050.

Peran Spesies Laut

Jurnal Science Vol. 314 (3 November 2006) menulis bahwa para pakar ekologi dan ekonomi mengingatkan bahwa hilangnya keragaman hayati akan secara ekstrem menurunkan kemampuan laut untuk memproduksi makanan, menjaga daya tahan terhadap penyakit, menyaring polutan, dan memulihkan diri dari tekanan seperti perubahan iklim.

Hilangnya tiap spesies menyebabkan pemisahan secara cepat dari keseluruhan ekosistem. Sebaliknya, pertumbuhan tiap spesies secara nyata meningkatkan produktivitas dan stabilitas keseluruhan ekosistem dan kemampuannya bertahan terhadap tekanan. Gambaran ini terjadi di seluruh lautan. Hasil yang di luar perkiraan ini begitu mengejutkan dan mengganggu.

Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi

Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi

Selama empat tahun, semua data mengenai spesies laut dan ekosistem diuji. Rangkaian data historis baik eksperimen, perikanan, maupun pengamatan pun disintesa untuk mengetahui pentingnya keragaman hayati pada skala global.

Sungguh mencengangkan. Hilangnya keragaman hayati secara progresif tidak hanya merusak kemampuan laut memberi makan manusia yang jumlah populasinya terus meningkat, tapi juga merusak stabilitas lingkungan laut dan kemampuannya untuk memulihkan diri dari berbagai tekanan.

Selama ini, manusia mengagumi organisme laut karena ukuran, warna, wujud, keganasan, kekuatan, sekaligus keindahannya. Masalahnya, tumbuhan dan hewan yang tinggal di dalam laut tak cukup hanya dikagumi. Kita harus menjaga keseimbangan mereka karena berdampak langsung terhadap kesehatan laut dan keberadaan manusia.

Yang melegakan adalah fakta bahwa ekosistem laut masih mempunyai kemampuan yang sangat besar untuk kembali sehat, walau kecendurangan global saat ini menunjukkan laut sedang meradang. Ibarat mesin, hampir semua komponennya yang berupa spesies laut mengalami penurunan 90 persen pada tahun 2050. Laut semakin panas temperaturnya, semakin asam, dan semakin berkurang oksigennya.

Meradangnya laut juga dipercepat penurunan seluruh kesehatan ekosistem: ikan bergantung kepada air bersih, populasi mangsanya dan habitat yang beragam berkaitan dengan sistem keragaman yang lebih tinggi. Resiko kesehatan manusia juga muncul saat terjadinya kerusakan ekosistem pesisir, maraknya spesies pendatang, ledakan penyakit, dan serbuan algal bloom yang berbahaya.

Laut merupakan mesin daur ulang yang besar. Laut membawa limbah dan mendaurnya menjadi nutrien, mencuci racun keluar dari air, memproduksi makanan dan mengubah karbondioksida (CO2) menjadi makanan dan oksigen. Tapi dalam rangka menyediakan jasa tersebut, laut membutuhkan seluruh komponennya bekerja, yaitu jutaan spesies tumbuhan dan hewan yang hidup di laut.

Nyatanya, penurunan spesies laut meningkat cepat selama 1.000 tahun terakhir yang berakibat hilangnya kapasitas penyaringan biologis, habitat plasma nuftah, dan perikanan yang sehat.

Mesin alam tersebut mengingatkan manusia untuk lebih peduli terhadap produksi bahan pangan dari laut (ikan maupun hasil laut lainnya) yang diperkirakan akan mengalami gangguan sangat besar dengan munculnya perubahan pola arus, temperatur, tinggi muka laut, umbalan, dan seterusnya.

Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012).  Berdasarkan kajian yang sama, Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dan pengasaman laut (ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut.

Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy

Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy

Uji terhadap wilayah perlindungan laut diseluruh dunia menunjukkan bahwa pulihnya keragaman hayati akan meningkatkan produktivitas empat kali lipat dan membuat ekosistem rata-rata meningkat daya tahannya terhadap fluktuasi yang disebabkan lingkungan dan manusia. Data menunjukkan bahwa untuk memperbaikinya belum terlambat. Saat ini, kurang dari 1% lautan global yang dilindungi secara efektif.

Memperbaiki keragaman hayati laut dapat dilakukan melalui pengelolaan sumber daya berbasis ekosistem, termasuk pengelolaan perikanan yang terintegrasi, pengontrolan polusi, perlindungan habitat penting dan pembuatan wilayah perlindungan laut. Langkah tersebut penting untuk menghindari tekanan serius terhadap keamanan pangan global, kualitas air laut, dan stabilitas kehidupan laut.

Saatnya Memperhatikan Laut

Kejadian tersebut merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang terbukti telah terjadi secara perlahan (slow onset) di Indonesia (Kompas.com, 1 April 2013). Dari berbagai kejadian yang telah teridentifikasi di Indonesia, sebagian besar berkaitan erat dengan aspek kelautan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena dua alasan.

Pertama, laut memiliki arti dan fungsi besar bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Laut bukan saja merupakan sarana transportasi antar pulau. Bagi Indonesia, laut juga merupakan salah satu habitat utama keragaman hayati laut tropis di dunia serta sumber bahan pangan yang sangat penting.

Kedua, laut merupakan salah satu penggerak utama mesin iklim dan cuaca di Indonesia. Artinya, perubahan pada laut berpengaruh besar terhadap iklim dan cuaca. Peningkatan frekuensi, intensitas mesin iklim dan cuaca ekstrem (rapid onset) serta kejadian slow onset di Indonesia membuat aspek kelautan dan perikanan menghadapi potensi permasalahan yang perlu diperhatikan secara khusus.

Implikasi permasalahan yang timbul pada aspek kelautan dan perikanan sangat berpotensi menimbulkan kerugian dan kerusakan (loss and damage) yang besar di Indonesia. Cakupan loss and damage akibat permasalahan ini juga akan merambat pada sektor-sektor lainnya.

Sebagai contoh, pengasaman laut akan menyebabkan turunnya produksi perikanan dan hasil-hasil laut lain yang menjadi salah satu sumber bahan pangan sekaligus mata pencaharian penting terutama bagi masyarakat pesisir yang berjumlah 42 juta jiwa.

Pada tahap lebih lanjut, masalah ini akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat hingga ketahanan pangan nasional berbasis hasil laut.

Upaya adaptasi Indonesia terhadap perubahan iklim bukan lagi bertujuan menjaga kelangsungan hidup rakyat serta keberlanjutan pembangunan nasional semata. Loss and damage memberikan dimensi baru yang memerlukan strategi dan pendekatan lebih maju dalam menghadapi kejadian rapid onset dan slow onset.

Sebagai bagian dari dampak merugikan perubahan iklim, kejadian “slow onset” dibedakan dari “rapid onset” dan mendapatkan perhatian yang lebih besar. Kajian teknis membagi dampak perubahan iklim ke dalam dua kategori besar, yaitu akut dan kronis.

Untuk itu, perlu rencana aksi pembangunan berkelanjutan menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya, ekologi, dan etika dalam upaya menghadapi permasalahan tersebut.

 


Lautku Sayang, Lautku Meradang was first posted on March 16, 2015 at 3:39 am.

Jambi Dituntut Tanggulangi Bencana Kebakaran. Kenapa?

$
0
0

Jambi, yang menduduki peringkat kedua setelah Riau sebagai provinsi penyumbang kebakaran terbanyak di Sumatera, menderita kerugian ekonomi yang besar dari dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah gambut.  Tercatat kerugian mencapai Rp19 triliun dari bencana tahunan yang dirasakan masyarakat Jambi dan provinsi hingga negara tetangga.

Oleh karena itu, Pemprov Jambi berkomitmen untuk mengendalikan karhutla dengan membuat sistem peringatan diri dan upaya penegakan hukum atas pelaku pembakaran, “Dengan melihat banyaknya kerugian yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan gambut ini, saya akan merekomendasikan kepada gubernur untuk membangun sistem terpadu dalam pengendalian kebaran misalnya dalam bentuk sistem peringatan dini (EWS) dan juga adanya penegakan hukum untuk para pelaku pembakaran ini tidak menutup kemungkinan perusahaan juga bisa dijerat,” kata Staf Ahli Gubernur Jambi Bidang Hukum dan Politik, Husni Djamal.

Komitmen ini akan dilaksanakan secepatnya, karena data dari BMKG menyebutkan bahwa bulan April akan terjadi kekeringan panjang yang dapat memicu titik api. “April ini diprediksi Jambi mengalami kekeringan dan rawan kebakaran hutan dan lahan. Karena seperti yang diketahui kebiasaan membuka lahan dengan sistem tebang dan bakar ini akan berakibat muncul hot spot dimana-mana. Jika tidak mau bencana asap berulang, Pemerintah Provinsi bekerja sama dengan semua stakeholder berusaha untuk mengendalikannya,” jelasnya dalam sambutan membuka “Seminar Hasil Studi Valuasi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Provinsi Jambi” yang dilaksanakan KKI WARSI dan Fakultas Kehutanan IPB.

Salah satu dampak kabut asap di Jambi. Foto: Lili Rambe

Salah satu dampak kabut asap di Jambi. Foto: Lili Rambe

Tidak hanya sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang perlu dilakukan, menurut Prof Bambang Hero Saharjo Dekan Fakultas IPB bahwa pemerintah harus serius juga menindaklanjuti tindakan kejahatan kehutanan ini dalam bentuk kriminalisasi.

”Pelaku pembakaran ini harus ditangkap dan diproses secara hukum. Seperti yang sudah dilakukan di Provinsi Riau dan Aceh misalnya yang sudah mulai menyeret pelaku pembakaran ini ke ranah hukum. Seharusnya Jambi juga memberikan efek jera ini terahadap pelaku pembakaran. Puluhan tahun kita menghisap asap ini, tapi tidak ada satupun korporasi yang bisa diseret pertanggungjawabannya,” tegasnya.

Triliunan Rupiah Menghilang Akibat Asap

Hasil studi Kajian Valuasi Dampak Kebakaran Gambut di tiga kabupaten yaitu Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi ini memaparkan bahwa  Kabupaten Muaro Jambi merupakan kabupaten yang paling rawan terbakar diantara ke-3 kabupaten yang diteliti.

Hal ini terlihat dari besarnya persentase luasan potensi kebakaran di Kabupaten Muaro Jambi, baik untuk total luasan (41,1%) maupun total gambut terbakar (58,9%). Luasan gambut yang berpotensi terbakar di  Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat adalah sebesar 65,3% dan 24,4% dari luasan gambut di kedua kabupaten.

Hal ini disampaikan Prof Bambang Hero Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan IPB. ”Beberapa kecamatan yang harus berada pada kondisi siaga kebakaran gambut akibat tingginya potensi kebakaran areal gambut di wilayahnya adalah Kecamatan Kumpeh, Kumpeh Ulu, Maro Sebo dan Taman Rajo (Kabupaten Muaro Jambi); Kecamatan Beram Itam, Kuala Betara dan Senyerang (Kabupaten Tanjung Barat); Kecamatan Dendang, Geragai, Mendahara, Rantau Rasau, Muara Sabak Timur, Nipah Panjang, dan Muara Sabak Barat (Kabupaten Tanjung Jabung Timur),” sebutnya.

Potensi kebakaran gambut terbesar di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Barat terdapat pada kedalaman gambut 200 – 400 cm, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada gambut dangkal (<50 cm) dengan total volume potensi kebakaran lahan gambut di ketiga kabupaten mencapai 46.217.181,2 m3 pada luasan 286.527,3 ha.

Potensi kebakaran di lahan gambut di ketiga kabupaten terkonsentrasi di areal perkebunan dan hutan tanaman dengan total luasan mencapai 71,3% dari keseluruhan potensi kebakaran di lahan gambut di ketiga kabupaten. Potensi kebakaran di perkebunan (sawit milik perusahaan) mencapai luasan 49.485 Ha atau 45,7% dari seluruh potensi kebakaran di areal gambut di ketiga kabupaten, sedangkan potensi kebakaran di hutan tanaman seluas 27.740,2 Ha atau  25,6 %.

Potensi kebakaran gambut terbesar di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Barat terdapat pada kedalaman gambut 200 – 400 cm, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada gambut dangkal (<50 cm) dengan total volume potensi kebakaran lahan gambut di ketiga kabupaten mencapai 46.217.181,2 m3 pada luasan 286.527,3 ha.

Areal perkebunan dan hutan tanaman menjadi sasaran empuk dari amukan kebakaran. Berdasarkan hasil studi tersebut, total luasannya mencapai 71,3 persen dari keseluruhan potensi kebakaran di hutan dan lahan gambut di ketiga kabupaten. Potensi kebakaran di perkebunan (sawit milik perusahaan) mencapai luasan 49.485 Ha atau 45,7% dari seluruh potensi kebakaran di areal gambut di ketiga kabupaten, sedangkan potensi kebakaran di hutan tanaman seluas 27.740,2 Ha atau  25,6 %.

Pengembangan Pengelolaan Pertanian Berkelanjutan

Tradisi membuka lahan dengan skema tebang dan bakar, disebutkan Direktur KKI WARSI, Diki Kurniawan juga harus segera dihentikan. “Ditingkat masyarakat perlu adanya teknologi pertanian yang ramah lingkungan, seperti yang sudah kami kembang dengan skema CSA (climate smart agriculture) di kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jadi kebiasaan untuk membakar hutan ini bisa dialihkan dengan  bentuk-bentuk model, diantaranya adalah budidaya tanaman campuran dengan tanaman berumur pendek, sedang dan panjang seperti perpaduan tanaman hortikultura /sayur, merica, pinang dan kopi liberika tungkal komposit,” kata Diki.

Model CSA dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) juga dapat menjadi instrumen untuk penyelamatan lahan gambut dan penanggulangan kemiskinan masyarakat. Peningkatan kualitas hasil pertanian melalui teknik pembibitan okulasi dengan tanaman unggulan serta adanya peningkatan kapasitas teknik budidaya pertanian, juga berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penyelamatan lahan gambut

“Selain CSA, KKI WARSI telah melakukan kerjasama dengan Bappeda Tanjung Jabung Barat guna pengelolaan gambut yang berkelanjutan melalui kegiatan kajian sosial di kawasan HLG (hutan lingung gambut) Bram Itam kanan dan pembuatan sistem informasi dan database pemanfaatan keruangan (kehutanan, perkebunan, pertambangan) yang berbasis web GIS,” tambah Diki.

 


Jambi Dituntut Tanggulangi Bencana Kebakaran. Kenapa? was first posted on March 16, 2015 at 8:26 am.

Wooww… KKP Telah Tangkap 31 Kapal Penangkap Ikan Ilegal Selama 2015

$
0
0

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serius dalam menangani penangkapan ikan ilegal (ilegal fishing) di perairan Indonesia, terbukti dengan telah menangkap 31 kapal penangkap ikan ilegal selama tahun 2015.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Asep Burhanudin, dalam siaran pers KKP di Jakarta, pada Senin (16/03/2015) menjelaskan 31 kapal tersebut terdiri dari 16 kapal perikanan asing (KIA) dan 15 (lima belas) kapal perikanan Indonesia (KII).

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal asal Thailand oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 005 di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau yang kemudian dibawa ke Satker PSDKP Batam pada 11 Maret 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal asal Thailand oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 005 di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau yang kemudian dibawa ke Satker PSDKP Batam pada 11 Maret 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Penangkapan kapal ilegal terakhir dilakukan Kapal Pengawas Hiu Macan 001 di perairan teritorial Pulau Serasan, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, pada Sabtu (14/03/2015). Hiu Macan menangkap empat KIA yang juga diduga berasal dari Vietnam, yang menggunakan alat tangkap pair trawl, yaitu kapal dengan nama lambung KG. 90512 TS berbobot sekira 95 gross tonnage/GT dengan 5 orang ABK Vietnam, kapal bernomor KG. 91395 TS  dengan berat 95 GT dan 3 orang ABK Vietnam, yang merupakan kapal pendukung dalam operasi alat tangkap pair trawl.

Dua kapal lainnya yang ditangkap merupakan kapal utama terdiri yaitu kapal bernomor KG. 94152 TS dengan berat 120  GT dan  29 orang ABK Vietnam, bermuatan sekitar 325 kg, dan kapal bernomor KG. 91751 TS dengan berat 120 GT, 18 orang ABK Vietnam, dan bermuatan sekitar 230 kg.

Empat kapal dan tersangka kemudian dibawah ke Stasiun PSDKP Pontianak, Kalimantan Barat, pada Senin (16/03/201), untuk diproses hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan. Sedangkan terhadap ABK non tersangka akan dilakukan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk proses pemulangan (deportasi) ke negara asal.

Sebelumnya, tiga kapal perikanan asing ilegal juga ditangkap. KP Hiu Macan 005  menangkap satu kapal asing asal Thailand bernama KM Sudita di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau, pada tanggal 7 Maret 2015, sekitar pukul 17.15 WIB. Kapal berbobot 109 GT dengan ABK 13 orang WNA Thailand membawa ikan sebanyak ± 800 kg ikan campur.

Pada 10 Maret 2015, KP. Hiu Macan Tutul 002 menangkap dua KIA asal Vietnam, di perairan teritorial Laut Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, yaitu KM. SEROJA dengan bobot 110 GT dan ABK 15 orang WNA Vietnam, serta KM. SERASI berbobot 110  GT dengan  ABK 15 orang WNA Vietnam.

Selanjutnya, kapal dan tersangka dikawal menuju ke Satuan Kerja PSDKP Batam, Kepulauan Riau, untuk proses hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan. Sedangkan terhadap ABK non tersangka akan dilakukan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk proses pemulangan (deportasi) ke negara asal.

Semua kapal tersebut diduga melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) tanpa memiliki dokumen perijinan kegiatan penangkapan ikan dan menggunakan alat penangkap ikan terlarang  pair trawl.  ABK kapal bakal dituntut pelanggaran Pasal 92 Jo. Pasal 26 ayat (1), Pasal 93 ayat (1) Jo. Pasal 27 ayat (1), Pasal 98 Jo Pasal 42 ayat (3), Pasal 85 jo Pasal 9 ayat (1) UU No. 45 tahun 2009 Tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp20 miliar.

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan pihaknya tetap konsisten dalam memerangi penangkapan ikan ilegal agar perikanan laut di Indonesia sesuai konsep keberlanjutan.

“Ikan tidak seperti batu bara, merupakan sumber daya yang dapat dipulihkan. Jika Anda mempertahankan stok awal, itu akan bertahan jangka panjang,” kata Susi dalam acara pertemuan bersama pimpinan media di Jakarta pada akhir Minggu kemarin.

 


Wooww… KKP Telah Tangkap 31 Kapal Penangkap Ikan Ilegal Selama 2015 was first posted on March 17, 2015 at 3:19 am.

Solusi KNTI untuk KKP dalam Penyelesaian Polemik Cantrang

$
0
0

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyayangkan lambannya pemerintah mengambil tindakan antisipatif penyelesaian polemik penggunaan alat tangkap cantrang hingga menyebabkan meluasnya aksi massa dan lumpuhnya jalur Pantura Jawa beberapa waktu lalu. KNTI menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri, sembari mengawal proses transisi berjalan optimal.

Kepala Bidang Penggalangan Partisipasi Publik KNTI, Misbahul Munir mengatakan, sejak awal KNTI mendukung efektivitas pelarangan penggunaan alat tangkap merusak di seluruh perairan Indonesia. Maka, harus dilakukan dengan cara benar dan terukur.

Sejumlah dokumen menunjukkan upaya peralihan penggunaan cantrang sudah dilakukan sejak 2005. Namun sejak saat itu pula pemerintah dan pemerintah daerah tidak mengawal proses peralihannya. Indikasinya temuan KNTI yakni pemerintah justru dengan sadar mencatat hasil tangkapan ikan dari kapal-kapal cantrang sebagai bagian dari prestasi peningkatan produksi ikan nasional, penggunaan cantrang sebanyak 3.209 unit di 2004 meningkat 5.100 unit di 2007 dan sekarang diperkirakan lebih dari 10 ribu unit dari Jawa Tengah.

 

Kapal nelayan baru pulau melaut di Belawan. Kerusakan habitat menyebabkan hasil tangkap berkurang. Ribuan nelayan terpuruk. Foto: Ayat S Karokaro

Kapal nelayan baru pulau melaut di Belawan. Kerusakan habitat menyebabkan hasil tangkap berkurang. Ribuan nelayan terpuruk. Foto: Ayat S Karokaro

 

“Tindakan pemerintah membiarkan polemik cantrang pada lebih dari sebulan terakhir, tidak dapat dibenarkan,” kata Munir, kepada Mongabay pada Senin, (16/03/2015).

Ia menambahkan, sedikitnya 100 ribu jiwa terkena dampak langsung dan lebih 500 ribu jiwa lainnya terkena dampak tidak langsung akibat terhentinya aktivitas Anak buah kapal (ABK) kapal penangkap iakn. Pemenuhan hak-hak dasar warga yang dilindungi oleh konstitusi nyaris terabaikan.

Belajar dari masa lalu, dan guna  memastikan efektivitas pengelolaan perikanan, KNTI meminta pemerintah pusat untuk mengawal secara penuh masa transisi, dengan langkah-langkah berupa bersama pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan guna mengetahui operasionalisasi cantrang dari berbagai ukuran. Proses tranparan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait status merusak atau tidaknya alat tangkap cantrang, lalu semua pihak diharapkan dapat menerima hasilnya.

“Mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan,” tambah Munir.

Selain itu, perlu menyiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan, menyelesaikan tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan ijin baru, bekerjasama dengan organisasi nelayan dan institusi penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat.

Pemda juga perlu menyiapkan instrumen perlindungan pekerja di atas kapal ikan (ABK), termasuk memastikan adanya standar upah minimum bagi ABK Kapal Perikanan yang menjadi amanat dari UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan. KNTI mengusulkan kepada KKP untuk mengintegrasikan perjanjian kerja antara pemilik kapal dengan ABK masuk sebagai syarat perizinan (SIUP/SIPI/SIKPI) dapat terbit.

“Selama proses transisi, bersama pemerintah daerah menyiapkan skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi terdampak,” kata Munir.

Selain itu menurut Munir, perlu memastikan perlindungan wilayah tangkap bagi nelayan tradisional dari konflik alat tangkap melalui pengakuan atas wilayah pengelolaan nelayan tradisional dalam rencana onasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota pesisir.

Dala masa transisi, perlu dipastikan agar semua pihak dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan terjadi kriminalisasi dan di masa transisi KKP dan pemdan bersama-sama mempersiapkan mekanisme rehabilitasi dari ketergantungan alat tangkap yang merusak menjadi menjadi alat tangkap yang ramah lingkungan

“KNTI percaya bila langkah solutif itu dilakukan maka cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia mulai diletakan pada dasar yang benar. Sebaliknya, bila persoalan cantrang ini terus berlanjut tanpa solusi yang tepat maka poros maritim kembali hanya menjadi jargon politik yang melenceng dari spirit keadilan sosial dan kebaharian bagi seluruh nelayan Indonesia,” tutup Munir.

 

Strategi Pembangunan Perikanan Berkelanjutan oleh KKP

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyusun arah kebijakan dan sasaran Rencana Strategi (Renstra) untuk lima tahun kedepan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019.

Pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun kedepan diarahkan untuk memenuhi tiga pilar yang saling terintegrasi, yakni kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kemakmuran (prosperity), kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti usai membuka kegiatan Konsultasi Publik Rancangan Renstra KKP dengan Stakeholder di Jakarta, Rabu, 11 Maret 2015, seperti dikutip dari rilis yang diterima Mongabay, Jumat 13 Maret 2015.

Menurut Susi, tiga pilar dalam visi KKP yakni ‘Terwujudnya Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara Berdaulat, Mandiri dan Berkelanjutan untuk Kemakmuran Rakyat’. Selanjutnya, arah kebijakan dan program pembangunan kelautan dan perikanan akan menjabarkan tiga pilar tersebut ke dalam sasaran strategis dan program-program KKP.

“Rancangan Renstra akan ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan paling lambat setelah diterbitkannya peraturan tentang RPJMN 2015-2019,” kata Susi Pudjiastuti.

Ia menambahkan, rancangan strategi pembangunan kelautan dan perikanan disusun dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk melalui konsultasi publik untuk menggali masukan. Penyusunan rencana strategis melalui konsultasi publik ini melibatkan berbagai stakeholder, antara lain akademisi, asosiasi dan perbankan, Kementerian/Lembaga dan Pemda, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media.

“Kami mengharapkan dapat dilaksanakan diskusi yang produktif untuk memberikan bahan masukan terhadap rencana pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun mendatang, mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia,” jelas Susi.

Dalam kerangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, KKP telah menetapkan beberapa strategi kebijakan. Salah satunya dengan meningkatkan kemandirian dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Strategi yang dilaksanakan mencakup pemberantasan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, meningkatkan kepatuhan (compliance) pelaku usaha kelautan dan perikanan, penataan perizinan usaha perikanan, penerapan manajemen kuota penangkapan, perlindungan dan penangkapan spesies tertentu.

Selanjutnya, larangan terhadap ekspor benih ikan tertentu (sidat dan lobster), perlindungan spawning ground, rehabilitasi ekosistem pesisir dan pengelolaan kawasan konservasi perairan, pengaturan alat tangkap ramah lingkungan serta strategi lainnya.

Selain pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut, KKP telah juga menetapkan strategi kebijakan lainnya, yakni meningkatkan daya saing dan keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan bagi kemakmuran masyarakat.

“Mengembangkan kompetensi sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi inovatif yang berkepribadian, serta membangun kemandirian pemerintah guna mewujudkan pranata, nilai-nilai dan jati diri kelembagaan yang bersih, efektif, transparan dan akuntabel,” tutup Susi.


Solusi KNTI untuk KKP dalam Penyelesaian Polemik Cantrang was first posted on March 18, 2015 at 12:00 am.

Energi Terbarukan Dibahas Pada Pertemuan Mahasiswa ASEAN di Mojokerto

$
0
0

Pesatnya pertumbuhan industri di suatu negara khususnya di kawasan Asia Tenggara, menjadikan konsumsi energi juga menjadi semakin besar. Data dari International Energy Agency (IEA) tahun 2014 menyebutkan, terjadi peningkatan permintaan energi hingga 80 persen di kawasan Asia Tenggara hingga tahun 2035. Secara umum pemenuhan kebutuhan energi hingga kini masih disediakan dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui, yang dapat menimbulkan kekhawatiran polusi hingga perubahan iklim global.

Kondisi seperti ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk memunculkan energi alternatif yang terbarukan, untuk mengatasi persoalan ancaman kelangkaan energi. Persoalan energi terbarukan inilah yang menjadi pokok bahasan 27 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Asia Tenggara (ASEAN), pada Project Camp bidang energi ASEAN Youth Energy Institute 2015, 13-17 Maret 2015, di Universitas Surabaya Training Center, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur.

 

Solar Panel di Ubaya Training Center, Trawas, Mojokerto,  Jawa Timur, sebagai salah satu contoh pemanfaatan energi terbarukan untuk  listrik penerangan. Foto : Petrus Riski

Solar Panel di Ubaya Training Center, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, sebagai salah satu contoh pemanfaatan energi terbarukan untuk listrik penerangan. Foto : Petrus Riski

Kegiatan yang didanai oleh Young South East Asian Leaders Initiative (YSEALI) Seeds for the Future dari Amerika Serikat, ingin mengajak dan membangkitkan kesadaran generasi muda akan krisis energi serta kebutuhan energi terbarukan yang merupakan alternatif energi pada masa depan.

Project Manager ASEAN Youth Energy Institute 2015, William Alex Ginardy Lie mengatakan dikumpulkannya mahasiswa dari berbagai negara di ASEAN dengan keahlian di bidang energi, bertujuan membangun kesadaran masyarakat melalui generasi muda agar mulai beralih menggunakan energi terbarukan.

“Pemuda sebagai agen perubahan memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kemandirian energi bagi suatu bangsa, terutama di wilayah Asia Tenggara. Maka kami berinisiatif untuk mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa ASEAN yang berpotensi dibidang energi, terutama energi terbarukan, untuk dapat belajar bersama dan membagi ilmu mereka dalam suatu forum,” terang William.

Perkembangan industri serta perekonomian suatu negara yang begitu pesat menurut William, menjadi sebuah ironi karena masih banyaknya daerah-daerah terpencil di Asia Tenggara yang masih belum teraliri energi listrik.

“Kami melihat energi terbarukan belum banyak berkembang karena keterbatasan informasi, sehingga dibutuhkan informasi yang lebih baik dan penyuluhan ke masyarakat yang lebih baik,” kata William, mahasiswa yang baru lulus dari Universitas Kristen Petra Surabaya.

Persoalan energi masih tergantung pada bahan bakar fosil, dimana cadangan minyak bumi global bakal habis kurang dari 20 tahun. Sedangkan untuk gas alam diperkirakan akan habis sekitar 30 tahun, serta batu bara akan habis sekitar 70 hingga 80 tahun kedepan. Selain mudah habis, energi fosil juga memiliki dampak paling buruk bagi lingkungan.

Diungkapkan oleh Elieser Tarigan, Dosen sekaligus peneliti dari Pusat Penelitian Energi Terbarukan, Universitas Surabaya (Ubaya), semua kekurangan bahan bakar fosil itu harus menjadi landasan kuat dimulainya pemanfaatan energi terbarukan secara serius. Hingga saat ini hampir semua negara masih bergantung pada energi fosil, yaitu batubara, gas alam, dan minyak bumi, yang ikut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia secara ekonomi dan sosial politik.

“Mau tidak mau kita harus mengantisipasi bagaimana kedepannya, karena ini berkaitan dengan global warming yang menimbulkan perubahan iklim. Cara mengatasinya ada 2 yang sekaligus dapat berjalan bersama, yaitu konservasi dengan hemat energi, serta mencari sumber energi baru yang bersih dan selalu tersedia tanpa harus merusak lingkungan,” ujar Elieser.

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara, bahkan di dunia, yang memiliki potensi energi terbarukan yang tidak terbatas, yang belum digunakan maksimal dan optimal.

Energi terbarukan ini sangat tergantung pada karakteristik suatu daerah, sehingga efektivitasnya harus memperhatikan kondisi dan potensi daerah itu. Di Indonesia sedikitnya ada 7 potensi energi terbarukan, antara lain geothermal atau panas bumi, energi surya atau matahari, biomassa, air, angin, hy\idrogen, serta blue energi atau oceanic energi.

Gunung Penanggungan, Jawa Timur, menyimpan potensi energi  terbarukan dari geothermal yang belum tergarap. Foto : Petrus Riski
Gunung Penanggungan, Jawa Timur, menyimpan potensi energi terbarukan dari geothermal yang belum tergarap. Foto : Petrus Riski

“Untuk Indonesia yang paling potensi adalah geothermal. Kita sering langka listrik padahal di pegunungan-pegunungan yang kita miliki ini sangat besar potensi geothermal di dalamnya, dan itu belum dieksploitasi, tidak sampai 15 persen yang dieksploitasi,” tutur Elieser yang menyebut potensi energi geothermal di Indonesia terbesar di dunia.

Penerapan energi terbarukan kata masih terkendala kebiasaan serta pemahaman masyarakat yang masih sudah sangat tergantung dengan energi fosil. Kampanye penyadaran untuk membuka pemahaman masyarakat sangat diperlukan, agar generasi kini dan yang akan datang dapat lebih terbuka dan memahami pentingnya energi terbarukan.

“Masyarakat kita mungkin tidak terbiasa dan tidak tahu, sehingga generasi muda harus dilibatkan untuk menimbulkan awareness bahwa energi yang kita pakai saat ini harus dicari solusi penggantinya,” imbuhnya.

Selain energi geothermal, Indonesia juga sangat kaya dengan energi matahari atau tenaga surya, karena letak Indonesia di garis khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari selalu terpancar sepanjang tahun. Selain itu energi angin dan tenaga arus laut juga sangat potensial, mengingat wilayah Indonesia yang kebanyakan terdiri dari kepulauan dan lautan.

Persoalan energi di Indonesia juga berkaitan dengan masih rendahnya tingkat elektrifikasi, yaitu 20-25 persen atau sekitar 48 juta dari sekitar 240 juta penduduk di Indonesia yang belum menikmati manfaat energi listrik, yang tersebar di berbagai pulau dan desa-desa terpencil.

“Kalau dibangun jaringan listrik oleh PLN mereka tidak akan mampu, salah satu solusinya ya energi matahari karena tersebar sepanjang hari dan sepanjang tahun. Dari penelitian saya, energi matahari per Kwh bisa Rp2500-2700, sementara PLN menjual energi listrik ke masyarakat Rp1500. Kenapa mampu, karena PLN disubsidi,” jabarnya.

Selain sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat, langkah alih energi dari fosil ke terbarukan juga memerlukan niat baik dan kebijakan pemerintah. Ia mengatakan bahwa sejauh ini pemerintah telah memberikan dukungan pengembangan energi terbarukan, meski belum mencapai pada tataran regulasi kebijakan.

“Secara omongan iya, tapi implementasi masih jauh. Mereka sudah mempunyai program, sudah ada peraturan-peraturan menteri dan sebagainya, tapi pada kenyataan kadang ada beberapa pihak yang menyalahgunakan dengan bermain proyek, sehingga masyarakat menjadi apatis,” ucap Elieser,

Sementara itu Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Joaquin F. Monserrate usai membuka Camping Project bidang energi, Sabtu (140/3/2015) mengatakan, program pertemuan mahasiswa Asia Tenggara di  bidang energi ini diharapkan dapat menjadi jembatan, khususnya untuk saling menciptakan peluang kerjasama dibidang energi terbarukan.

“Harapannya adalah bahwa pemuda ini yang semuanya mahasiswa, tidak hanya bisa menjadi tokoh di masa depan, tapi juga bisa kerjasama dengan negara lain di Asia Tenggara di bidang energi terbarukan. Hari ini ada perwakilan dari Filipina, Vietnam, dan negara ASEAN lainnya, kami senang sekali karena bisa menciptakan kesempatan-kesempatan seperti ini,” tandas Joaquin.

Mahasiswa dari Mindanau University of Science and Technology, Filipina, Merogim Pairat Mugot mengatakan, pertemuan antar mahasiswa ASEAN yang membahas persoalan energi terbarukan, merupakan forum yang sangat bermanfaat bagi pengembangan energi terbarukan di setiap negara. Potensi energi terbarukan di negaranya lanjut Merogim, diharapkan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat.

“Saya akan menginformasikan kepada masyarakat di tempat tinggal saya mengenai pemanfaatan energi alternatif secara maksimal, bahwa selain sumber tenaga air juga banyak sumber energi terbarukan lainnya yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat, seperti panel tenaga matahari, dan banyak energi lainnya yang ada di sekitar,” pungkas Merogim.

 


Energi Terbarukan Dibahas Pada Pertemuan Mahasiswa ASEAN di Mojokerto was first posted on March 19, 2015 at 2:33 am.

Banjir Genangan Pasang Surut Mengancam Ketahanan Pangan Nasional. Kok Bisa?

$
0
0

Lahan sawah sebagai penghasil padi bernilai strategis menunjang ketahanan pangan nasional, karena beras masih menjadi bahan makanan pokok.  Akan tetapi, terdapat lahan sawah berada pada wilayah rawan banjir, seperti di lahan-lahan sawah pesisir utara Jawa Tengah.

Sri Hartini dari Badan Informasi Geospasial mengatakan banjir genangan karena pasang air laut merupakan ancaman yang lebih dominan terhadap keberlangsungan lahan sawah dibandingkan banjir genangan karena hujan lebat. Banjir genangan yang disebabkan oleh pasut telah mengakibatkan lahan sawah tergenang secara periodik.

“Sawah yang tergenang secara pasut secara permanen tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam lagi, sehingga luas lahan sawah menjadi berkurang,” katanya di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi UGM, pada Sabtu, (14/03/2015).

Sri Hartini menyatakan hal itu saat ujian terbuka Program Doktor Ilmu Geografi dengan mempertahankan disertasi “Pemodelan Risiko Banjir Genangan pada Lahan Sawah di Sebagian Wilayah Pesisir Utara Jawa Tengah”.

Persawahan di daerah Pantura yang hijau dan subur terus terancam genangan air Pasut termasuk banjir rob, jadi ancaman ketahanan pangan. Foto : Tommy Apriando

Persawahan di daerah Pantura yang hijau dan subur terus terancam genangan air Pasut termasuk banjir rob, jadi ancaman ketahanan pangan. Foto : Tommy Apriando

Dikatakannya selama kurun waktu sekitar 15 tahun (1994-2009), lahan sawah pada wilayah genangan pasut mencapai seluas 31. 267,54 hektar. Perubahan lahan sawah menjadi tambak dan lahan terbangun masing-masing mencapai 2. 254,71 hektar (7%) dan 1. 610,49 hektar (5%).

“Genangan rob pada lahan sawah sejauh ini belum mendapat perhatian, seperti halnya genangan rob di wilayah permukiman ataupun industri,” katanya.

Meski pendataan potensi desa (Podes) sudah memasukan rob sebagai salah satu jenis bencana alam, namun UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana belum memasukannya.

“Meski ancaman itu sudah sangat nyata terhadap pengurangan produksi pertanian terutama beras. Oleh karena itu, genangan rob perlu dimasukkan sebagai bagian dari jenis bencana dalam peraturan perundangan terkait kebencanaan,” kata Sri.

Meski tidak meningkatkan ketahanan lahan sawah dari banjir genangan, masyarakat perlu melakukan adaptasi pengaturan pola tanam. Selain itu, perlu adaptasi untuk pengaturan waktu tanam dan pemilihan komoditas agar dapat meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi resiko banjir genangan.

Banjir Rob di Semarang

Dari penelitian Emi Suryanti dari Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM melakukan penelitian terkait banjir rob di Semarang pada 2008, menyebutkan banjir rob menimbulkan pengaruh yang besar terhadap masyarakat Semarang, terutama yang bertempat tinggal di kawan pesisir. Bahkan banjir rob di kawasan pesisir akan semakin parah dengan adanya genangan air hujan atau banjir kiriman, dan banjir lokal akibat saluran drainase yang kurang terawat.

“Pada kondisi ini masyarakat tetap melakukan adaptasi untuk bertahan dalam lingkungan yang ada, tidak heran masyarakat pesisir utara kota Semarang tetap memilih tinggal di daerah tersebut meski daerahnya tidak nyaman untuk hunian,” kata Emi.

Berbagai hal yang memotivasi masyarakat tetap tinggal di daerah tersebut, disebabkan sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai buruh industri dan nelayan, sehingga enggan untuk berpindah karena merasa aksesnya lebih dekat dan mudah jika tinggal di daerah tersebut.

Masyarakat pesisir di daerah Semarang ini dinilai Emi juga telah melakukan beberapa adaptasi terhadap bankjir rob dengan membuat talud dan tanggul permanen, menambah ketinggian jalan seputar rumah dan beberapa warga telah berinisiatif membuat rumah panggung.

“Untuk mengurangi dampak dari banjir rob, komunitas kawasan pesisir perlu dilakukan program penanggulangan secara komprehensif yang melibatkan pemerintah dan masyarakat,” kata Emi.

Sementara itu Dosen Geografi UGM, Aris Marfai, mengatakan fenomena banjir rob di kawasan pesisir semarang merupakan akibat dari berbagai proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dengan dibangunnya lahan tambak, rawa dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut dan kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya.

“Perubahan penggunanan lahan ini dilakukan dengan cara menimbun dan meninggikan daerah tambak, rawa dan sawah untuk berbagai penggunaan lain, sehingga ketika air pasang laut tidak tertampung lagi dan kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah,” kata Aris.

Ditambahkan Aris, dari sekitar 790,5 lahan di Kecamatan Semarang Utara tidak ada lahan tambak lagi, dan dari sekitar 585 hektar total lahan di Kecamatan Semarang Barat hanya terdapat sekitar 126,5 hektar lahan tambak.

Sedangkan proses terjadinya penurunana muka tanah di kawasan pantai, menurut Aris, sangat bervariasi berkisar antara 2 hingga 25 cm per tahun. Bahkan di wilayah Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian kelurahan Terboyo Kulon mencapai 20 cm per tahun.

Adapun kenaikan muka air laut sebagai efek pemanasan global, antara tahun 1990 hingga tahun 2010 diprediksi Aris akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan bumi sebesar 5,8 derajat celcius. “Pemanasan global ini akan menyebabkan perubahan iklim bumi, dan kenaikan muka air laut mencapai satu meter,” kata Aris.

 


Banjir Genangan Pasang Surut Mengancam Ketahanan Pangan Nasional. Kok Bisa? was first posted on March 19, 2015 at 2:56 am.

Menyelamatkan Hutan TN Meru Betiri Dengan Memakmurkan Masyarakat. Kok Bisa?

$
0
0

Meski berstatus taman nasional, kawasan Meru Betiri memiliki ribuan hektar lahan kritis hutan. Berbagai cara dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut, salah satunya adalah dengan cara memberdayakan masyarakat.

Pihak Taman Nasional (TN) Meru Betiri berhasil merehabilitasi lahan kritis dengan cara dengan menggandeng masyarakat sekitar untuk bekerjasama mengelola lahan seluas 7 hektar, sekaligus mencegah upaya pembalakan kayu hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Keterlibatan masyarakat menjadi penting ditengah minimnya upaya pemerintah serta aparatur terkait dalam menjaga kelestarian hutan. Program rehabilitasi bersama masyarakat saat ini telah dilakukan pada lahan seluas 4.023 hektar, dilakukan dengan menanam tanaman ekonomis berdimensi konservasi.

 

Lahan Hutan Rehabilitasi seluas 7 Hektar yang ditanami  masyarakat petani hutan Desa Curahnongko. Foto : Petrus Riski

Lahan Hutan Rehabilitasi seluas 7 Hektar yang ditanami masyarakat petani Hutan Desa Curahnongko. Foto : Petrus Riski

 

Menurut Nurhadi selaku Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), LSM yang didirikan dari dan oleh masyarakat setempat, kegiatan rehabilitasi lahan merupakan cara yang efektif untuk menjaga serta melestarikan hutan, karena didalamnya juga berlangsung proses penguatan ekonomi masyarakat, melalui pemanfaatan lahan serta tanaman hutan tanpa harus menebang pohon.

“Masyarakat dapat menghasilkan tanaman tumpangsari disamping tanaman pokok hutan yang ditanam. Ini agar masyarakat aktif melakukan kegiatan rehabilitasi hutan di lahan rehabilitasi, serta mengelola dan mendapatkan hasilnya untuk meningkatkan ekonomi keluarga,” ujar Nurhadi.

Dalam program rehabilitasi itu, masyarakat mendapat izin menanam dan mengelola tanamam pokok dan tanaman tumpangsari pada lahan yang masih gundul, tetapi lahan tetap milik TN Meru Betiri. Sekarang lahan menjadi hjau dan rimbun.

“Setelah lahan digarap masyarakat, masyarakat menerima manfaar dari tanaman tumpang sari, sedangkan Taman Nasional menerima manfaat dari tanaman pokoknya, artinya pohonnya ada lagi,” tutur Abdul Halim Fanani, warga Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jatim yang berharap sinergi semacam ini dapat terus terbina.

Abdul mengatakan legalitas hak pengelolaan pada lahan kritis kepada masyarakat menjadi penting ada kawasan konservasi seperti di TN Meru Betiri, agar tidak bermasalah dengan hukum.

“Legalitas, dimana masyarakat diberikan hak resmi tertulis untuk mengelola hutan. Kalau bicara konservasi itu sangat kaku, tapi pertanyaannya mampukah pemerintah kita melakukan itu. Maka alternatifnya adalah keterlibatan masyarakat dalam membantu konservasi,” kata Abdul Halim yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Urusan Keamanan Desa.

 

Beberapa pohon dan tanaman yang ditanam masyarakat petani  di lahan 7 hektar di Taman Nasional Meru Beritir yang masuk dalam Desa Curahnongko. Foto : Petrus Riski

Beberapa pohon dan tanaman yang ditanam masyarakat petani di lahan tujuh hektar di Taman Nasional Meru Beritir yang masuk dalam Desa Curahnongko. Foto : Petrus Riski

 

Tingkat pendidikan masyarakat desa yang masih tergolong rendah, bukanlah halangan untuk peduli konservasi hutan pasca terjadinya penjarahan kayu di hutan.

Kepedulian konservasi masyarakat, kata Abdul, berawal dari perkenalan dengan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) yang memberikan pemahaman tentang lingkungan di kawasan hutan TN Meru Betiri.

“Masyarakat tidak serta merta mau ikut apalagi ini terkait dengan lingkungan, yang harus memberi pemahaman mengenai dampak ketika hutan terbakar atau gundul, maka masyarakat yang tinggal dekat dengan hutan adalah kuncinya,” katanya.

Untuk menampung dan mengelola hasil panen tumpangsari dari program rehabilitasi itu, didirikan koperasi bernama Multi Usaha Lestari.

“Saat ini petani sudah bisa mengelola hasil dari lahan rehabilitasi berupa keripik nangka. Kalau buah nangka dulunya dijual seperti biasa itu kurang menguntungkan, dengan dijadikan keripik nangka bisa mendatangkan nilai lebih,” papar Nurhadi.

Selain keripik nangka juga ada hasil buah-buahan lainnya serta buah hasil pohon hutan seperti kemiri, kedawung, dan pakem. Ibu-ibu rumah tangga juga turut memanfaatkan tanaman hasil hutan rehabilitasi seluas 7 hektar, dalam bentuk pengolahan dan pembuatan jamu tradisional dari tanaman obat.

“Dari pekarangan dan di lahan rehabilitasi serta di dalam hutan kami memperoleh kapulogo, kemukus, cabe jawa, ada juga kayu rapat. Kami bersyukur karena orang yang sakit dan tidak dapat sembuh secara medis, dapat diobati dan sembuh dengan ramuan Toga (tanaman obat keluarga),” ujar Katemi, Ketua Kelompok Toga Sumber Waras, Desa Andongrejo.

 

Cabai Jawa, salah satu tanaman obat yang ditanam  masyarakat di lahan rehabilitasi.Foto : Petrus Riski

Cabai Jawa, salah satu tanaman obat yang ditanam masyarakat di lahan rehabilitasi. Foto : Petrus Riski

 

Ada sekitar 70 jenis dari 300-350 bibit tanaman obat dari hutan yang berhasil dibudidayakan di pekarangan warga dan diolah untuk dijual menjadi jamu tradisional yang meningkatkan perekonomian warga.

“Manfaat obat dari Meru Betiri cukup membantu, baik untuk menyembuhkan penyakit maupun menambah pendapatan dari menjual jamu,” tambah Katemi yang mengaku telah menerima pesanan jamu tradisional dari berbagai daerah dan luar pulau Jawa.

Sedangkan Kepala Resort Andongrejo, TN Meru Betiri, Heman Sutresna mengatakan, kerjasama pengelolaan hutan di lahan rehabilitasi telah banyak membantu Taman Nasional menghijaukan kembali kawasan yang kritis.

“Pasca reformasi terjadi penjarahan kayu secara besar-besaran di Meru Betiri, dengan merintis kegiatan rehabilitasi kawasan hutan yang kritis bersama masyarakat, tugas kami dalam menjaga hutan menjadi terbantu,” kata Heman.

Terdapat 4 desa yang berbatasan langsung dengan TN Meru Betiri, yaitu Desa Curahnongko, Andongrejo, Sanenrojo, dan Wonoasri, dimana terdapat 24 kelompok petani hutan di Desa Curahnongko dan 18 kelompok petani hutan di Desa Andongrejo, yang diajak bekerjasama mengembalikan fungsi hutan.

Pada seluruh kawasan TN Meru Betiri yang masih perlu direhabilitasi, tercatat seluas 2.773 hektar berdasarkan reviu zonasi yang dilakukan pada tahun 2011.

“Dari semua upaya yang telah kita lakukan, masih ada 60 persen lahan kritis yang belum direhabilitasi, peran masyarakat sangat penting bagi kami karena mereka sangat membantu menghijaukan kembali lahan yang kritis,” ujarnya.

Heman mengungkapkan, kendala yang dihadapi hingga kini adalah pemahaman masyarakat yang masih suka menanam tanaman pertanian, yang mendatangkan keuntungan untuk jangka pendek. Sedangkan tanaman hutan justru dapat mendatangkan nilai ekonomis yang lebih tinggi, dengan memanen buah tanaman pokok tanpa biaya perawatan.

“Belum semua masyarakat menyadari pentingnya melestarikan hutan, banyak juga yang kurang peduli, diberi bibit gratis tapi tidak mau menanam. Kami memberikan pemahaman bahwa menanam untuk masa depan, tidak hari ini tapi paling tidak 5 tahun baru bisa dinikmati hasilnya,” tutur Heman.

Selain minimnya sumber daya yang dimiliki TN, Heman menambahkan bahwa belum semua masyarakat peduli terhadap pelestarian dan rehabilitasi hutan. Persoalan pendidikan masyarakat yang masih rendah serta alasan ekonomi menjadikan upaya rehabilitasi hutan berjalan lambat.

Namun demikian, kelompok masyarakat petani hutan seperti di Curahnongko dan Andongrejo menjadi contoh yang baik dalam rangka menyadarkan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat, mengenai konservasi yang mendatangkan keuntungan bagi perekonomian masyarakat.

“Masyarakat sekitar hutan adalah yang paling terdampak bila hutan gundul dan rawan bencana. Kami berharap banyak masyarakat di sekitar kawasan hutan lainnya, ikut terlibat dalam upaya pelestarian serta rehabilitasi hutan dan tetap memperoleh keuntungan,” tandasnya.

Fasilitator dari LATIN, Kaswinto menambahkan, model pengelolaan lahan kritis melalui program rehabilitasi 7 hektar di Curahnongko dan Andongrejo, dapat dijadikan contoh pemanfaatan lahan kritis lainnya di hutan. Model pelibatan masyarakat untuk menanami lahan kritis, juga menjadi cara efektif bagi pemerintah untuk menjaga hutan dari penebangan liar seperti sebelumnya.

“Buktinya saat yang lain ditebangi, tidak ada satu pun pohon yang ditebang di lahan 7 hektar yang dikelola petani. Ini bukti masyarakat sebenarnya mampu ikut menjaga hutan, asalkan masyarakat juga diperkenankan mengambil manfaat dari hutan,” pungkas Kaswinto.

 

 

 


Menyelamatkan Hutan TN Meru Betiri Dengan Memakmurkan Masyarakat. Kok Bisa? was first posted on March 20, 2015 at 4:00 am.

Pelemahan Rupiah Ancam Pasokan Energi Nasional

$
0
0

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah. Situasi ini dikhawatirkanakan mengganggu keamanan pasokan energi nasional. Sebab, Indonesia masih bergantung pada energi fosil yang sebagian besar harus diimpor menggunaka mata uang dollar. Begitu juga dengan kontrak penyediaan energi primer dan pembelian listrik swasta oleh PLN. Sehingga, ketika rupiah melemah, artinya biaya untuk impor bahan bakar juga akan membengkak.

Menyikapi hal tersebut, Pemerhati Isu Energi Thamrin School Fabby Tumiwa mengatakan, persoalannya bukan dollar naik dan turun. Tapi ada persoalan yang sangat fundamental dan struktural namun tidak bisa diatasi dalam 15 tahun terakhir. Bahkan memburuk 10 tahun terakhir.

“Ketergantungan bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari. Di tahun 2018 akan meningkat menjadi 1,8 juta barel. Peningkatan tersebut berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak. Ini yang harus dibenahi,” kata Faby dalam acara diskusi bersama media di Jakarta, Kamis (19/3/15).

Salah satu pusat pengolahan minyak bumi di Balikpapan. Foto: Aji Wihardandi

Salah satu pusat pengolahan minyak bumi di Balikpapan. Foto: Aji Wihardandi

Lebih lanjut ia mengatakan, hal yang harus dibenahi adalah mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mulai menggunakan energi terbarukan yang lebih bersih dan rendah emisi. ”Sekarang target pertumbuhan ekonomi kita tinggi. Kebutuhan bbm  juga akan semakin besar,” katanya.

Dua BUMN yeng terimbas dengan melemahnya nilai tukar rupiah yakni Pertamina dan PLN. Sebab keduanya mempunyai kebutuhan valas dalam bentuk dollar sangat besar.

“Hitungan saya diperkirakan Pertamina menghabiskan sekitar 60 persen pendapatannya atau setara dengan 60 juta dollar untuk biaya pengadaan minyak mentah, BBM dan LPG setiap harinya,” katanya.

Lebih lanjut Fabby mengatakan kombinasi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar dan fluktiasi harga minyak dunia menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Jika Pertamina tak mampu membiayai impor minyak, maka bisa bangkrut.

“Pada Januari tahun ini saja kerugian Pertamina mencapai 35 juta dollar atau setara dengan Rp. 420 miliar,” ujarnya.

Selain itu, biaya yang dikeluarkan oleh PLN 70 persennya untuk biaya pengadaan bahan bakar, pembelian listrik swasta, operasi dan perawatan pembangkit, serta pembayaran imbal obligasi global yang juga dalam bentuk dollar.

Karena itu  menurut Fabby perlu upaya untuk mengendalikan konsumsi dan pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak dan listrik. Pemerintah harusnya menekan permintaan BBM, bukan terus menambah suplai. Serta diversifikasi energi untuk menghindari jebakan ketergantungan terhadap BBM dan nilai tukar rupiah di masa yang akan datang. Jika tidak dibenahi maka Indonesia akan terus mengalami hal yang serupa berulang kali.

“Kebijakan harga energi yang coba dikoreksi saat ini tidak mendorong pengembangan energi alternatif lain. Kebijakan energi sekarang tak ada konsep yang jelas,” katanya.

Fabby mengatakan, perlu ada kampanye publik untuk membuat gerakan hemat BBM dan listrik. Cara tersebut bisa ditempuh sebagai solusi jangka pendek. Jika konsumsi BBM dan listrik turun, maka kebutuhan valas asing untuk impor juga turun. Hal tersebut juga bisa berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca.

“Kami juga mendesak agar pemerintah segera punya roadmap strategi kebijakan harga BBM yang lebih konfrehensif. Tidak hanya sekedar naik dan turun harga. Menjaga tingkat harga jual BBM yang berlaku saat ini pada bulan-bulan mendatang walaupun harga minyak dunia mengalami penurunan kembali,” paparnya.

Dengan hal tersebut, diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM dan membantu memperbaiki neraca keuangan Pertamina.

“Selain itu juga harus mempercepat substitusi BBM ke bahan bakar gas. Ini sudah diwacanakan sejak sepuluh tahun yang lalu tapi realisasinya nol besar. Pemerintah harus serius melakukan hal itu,” ujarnya.

Namun hal itu sangat berbanding terbalik dengan aggaran di APBNP tahun ini untuk program substitisi BBM ke bahan bakar gas yang sangat kecil.

Solusi Jangka Panjang

Sebagai solusi jangka panjang, Fabby mendesak agar pemerintah membangun sistem transportasi publik yang layak dan handal. Sehingga masyarakag tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi. Cara tersebut akan menekan konsumsi BBM juga menurunkan emisi gas rumah kaca.

“Pemerintah juga harus menetapkan kebijakan fuel economy standard yang dapat berlaku lima tahun mendatang. Kebijakan ini harus segera didorong agar diterapkan untuk kendaraan bermotor di Indonesia,” katanya.

Fabby juga menyarankan untuk mulai memperkenalkan pajak karbon untuk BBM. Selain itu, pengembangan energi terbarukan yang murah juga harus didorong. Ini bisa dilakukan dengan cara akusisi teknologi dan fasilitasi pendanaan untuk membiayai proyek energi terbarukan.

“Ini sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menargetkan penggunaan energi terbarukan di tahun 2025 sebesar 23 persen,” katanya.

Sedangkan Pemerhati Isu Ekonomi Poltik dan Tata Kelola Pemerintahan Thamrin School Jalal mengatakan, pemerintah juga haris membuat regulasi yang jelas terkait dengan penggunaan BBM oleh industri. Sebab industri menggunakan BBM dalam jumlah yang sangat besar. “Harus ada standar efisiensi energi untuk keseluruhan industri. Harus melibatkan Kadin untuk mengatur hal ini,” katanya.

Sementara Kepala Sekolah Thamrin school Farhan Helmy mengatakan, ia mendukung kebikakan pemerintah untuk meningkatkan blending biofuel bahan bakar nabati (BBN) dengan BBM sebanyak 15 persen. Ini dilakukan untuk mengurangi impor BBM dan kebutuhan valas.

“Tapi ini harus konsisten. Setelah 15 persen maka harus naik jadi 20, atau 25 persen. Ini bisa memanfaatkan 1,5 juta hektare lahan terdegradasi yang sesuai untuk memasok konsumsi bio etanol,” katanya.

Namun Farhan mengatakan, penyediaan biofuel (BBN) harus mempertimbangkan dan menjunjung aspek keberlanjutan, net emisi GRK yang dihasilkan dan kelestarian fungsi ekologis. Peningkatan produktifitas perkebunan dan efisiensi produksi BBN dari minyak sawit harus tetap menjadi prioritas pemerintah.

“Pemerintah juga harus melakukan audit biaya produksi BBN secara berkala sebagai acuan untuk menetapkan harga yang efisien. Sehingga berpihak pada kepentingan publik. Tidak hanya pada produsen,” ujarnya.

Farhan menegaskan, pengembangan BBN harus dilakukan secara terpadu dan terintegras dengan strategi pengembangan energi terbarukan dan substitusi bahan bakar minyak. Tapi tetap dengan memperhatikan sensitifitas keseimbangan ekologis dan kelestarian lingkungan. “Hal ini perlu ditunjukan dengan adanya kebijakan tata ruang dan keberpihakan pada pengembangan industri secara adil dan konsisten,” tandasnya.

 


Pelemahan Rupiah Ancam Pasokan Energi Nasional was first posted on March 20, 2015 at 4:35 am.

Ironi Masyarakat Hukum Adat Terhadap UU P3H di Sumbar. Seperti Apa?

$
0
0

Beragam kritikan dan argumentasi bermunculan merespon hadirnya UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H) yang dinilai dapat merugikan hak-hak masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Undang-Undang ini dipandang sangat diskriminatif serta dapat mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat terhadap hutan. Adanya UU P3H ini membawa dampak besar memisahkan hubungan masyarakat dengan hutan, padahal di Sumbar, hutan merupakan bagian dari ulayat.

Di Sumbar terdapat 517 nagari/desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan, yang mengakibatkan sering terjadi konflik kehutanan, mulai dari permasalahan penetapan kawasan hutan, tata batas, pemetaan serta mengenai pengelolaannya.

Bagian timur Nagari Guguk Malalo merupakan kawasan perairan Danau Singkarak, tidak banyak lahan yang datar di daerah ini sehingga banyak masyarakatnya yang memanfaatkan kawasan hutan untuk peladangan. Foto: Riko Coubut

Bagian timur Nagari Guguk Malalo merupakan kawasan perairan Danau Singkarak, tidak banyak lahan yang datar di daerah ini sehingga banyak masyarakatnya yang memanfaatkan kawasan hutan untuk peladangan. Foto: Riko Coubut

Hutan merupakan bagian dari ulayat seperti itu ketentuan dalam hukum adat yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat, termasuk berfungsi sebagai cadangan ekonomi bagi anak-cucu kemenakan di masa yang akan datang.

Untuk menjamin keberlanjutannya, hutan diatur secara adat berdasar fungsi yaitu mulai dari rimbo larangan, hutan cadangan dan hutan olahan.  Pengaturan hutan secara adat hingga kini masih dipakai dan diakui oleh masyarakat.

Pakar hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum pada Rabu (11/03/2015), mengatakan bahwa hak ulayat merupakan hak tradisional yang bersifat komunal dari masyarakat hukum adat untuk menguasai dan mengelola suatu wilayah tertentu dalam rangka mendukung kelangsungan hidup anggota masyarakatnya sendiri.

Maka setiap anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan berhak dengan bebas mengolah dan memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam yang ada dalam kawasan mereka. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi masyarakat luar atau pendatang, kecuali setelah mendapatkan izin dari masyarakat itu sendiri.

Kalau ada undang-undang dalam penyelenggaraan negara yang menghapus keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam pengelolaan tanah dan kekayaan alam tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional).

Pasal 11 ayat (4) UU P3H menyatakan, bahwa “masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang masyarakat yang dimaksud termasuk masyarakat hukum adat. Dalam pelaksananaan hak ulayat, pengambilan hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu dalam wilayah adatnya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya, merupakan hak internal yang melekat dengan anggota masyarakat hukum adat, tegasnya.

Kurnia menambahkan masyarakat hukum adat mengalami nasib tragis, ibarat kata pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Hak ulayat mereka atas bumi, air dan kekayaan alam, terutama hutan telah dirampas oleh pemerintah, dan mereka terancam dipidana pula pada saat memanfaatkan hutan ulayat tanpa izin negara. Kondisi ini tentu sangat bertentangan dengan amanah konstitusi yang dengan tegas mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Foto: Riko Coubut

Peneliti kebijakan kehutanan dari Perkumpulan Qbar, Roky Septiary, S.H saat mengatakan UU P3H merupakan contoh produk legislasi buruk yang cacat formil, dibuat secara tidak partisipatif dan tidak transparan. Secara materi, isi undang-undang ini menimbulkan ketidakpastian hukum, menciptakan masalah baru serta sangat berpotensi mencederai hak-hak Konstitusional warga negara. Mestinya hal itu menjadi pertimbangan utama pada saat melakukan pembahasan terhadap rancangan undang-undang tersebut.

Dia menambahkan bahwa undang-undang ini justru melanggengkan konflik kehutanan sebagai akibat dari ketidakpastian jaminan negara atas pengelolaan hutan oleh masyarakat. Norma-norma yang terdapat dalam undang-undang ini sangat tendensius, menyasar kepada masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan penduduk desa di sekitar dan dalam kawasan hutan.

Yontameri Rajo Jambak, salah seorang pemohon dalam pengujian UU P3H yang berasal dari Sumbar kepada Mongabay pada Rabu (18/03/2015) mengatakan Nagari Malalo merupakan daerah yang berdampingan langsung dengan kawasan hutan bahkan diantaranya masyarakatnya ada yang bermukim dalam kawasan hutan.

Keberadaan hutannya sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan sumberdaya air serta menjaga kawasan pemukiman dari ancaman bencana longsor atau galodo. Untuk itu masyarakat menerapkan sanksi adat bagi siapa saja yang memasuki hutan larangan dan hutan cadangan yang telah diperuntukkan.

Masyarakat adat Malalo membagi pengelolaan hutan tersebut menjadi tiga fungi pengelolaan yaitu hutan larangan, hutan cadangan dan hutan paramuan. Hutan larangan, merupakan hutan ulayat Nagari yang belum terbagi kepada suku-suku, seluruh isi hutannya tidak dapat dimanfaatkan baik berupa hasil hutan kayu maupun bukan kayu, biasanya letaknya jauh ditengah hutan.

Hutan cadangan merupakan kawasan hutan yang belum terbagi kepada suku-suku namun memungkinkan untuk dibagi seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemanfaatannya dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu dan harus seizing ninik mamak penguasa ulayat.

Sedangkan hutan paramuan merupakan kawasan hutan yang sudah terbagi kedalam suku-suku dan dapat dimanfaatkan oleh Anak Nagari baik berupa kayu, hasil hutan lainnya, maupun diolah menjadi areal peladangan, kata Yontameri saat memberikan keteranganya sebagai saksi dalam pengujian UU P3H pada Jum’at (20/11/2014).

“Sudah ada aturan adat serta peraturan nagari mengenai pengelolaan sumberdaya hutan di Malalo dan hingga kini masih berlaku,” tegasnya.

Sedangkan Agita Fernanda, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan UU P3H disahkan pada 2013, sedangkan pada 2012 sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana dalam putusannya memisahkan antara hutan adat dan hutan negara.

Lantas kenapa UU No. 18 Tahun 2013 ini tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut?, Negara semestinya menghormati hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya hutannya.

Agita bersama mahasiswa lainnya di kampus tengah menggalang dukungan pada seluruh civitas akademika Universitas Andalas dengan membuat petisi yang memuat tentang penolakan atas pemberlakuan UU P3H karena dipandang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan dapat mengkriminalisasi masyarakat atas pengelolaan sumberdaya hutan kedepannya.

Mereka mendukung upaya judicial review terhadap undang-undang ini yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan meminta kepada Hakim Konstitusi untuk mengabulkan pemohonan Judicial Review atas pengujian undang-undang tersebut.


Ironi Masyarakat Hukum Adat Terhadap UU P3H di Sumbar. Seperti Apa? was first posted on March 21, 2015 at 12:00 am.

Warga Rembang dan Pati Minta Dosen UGM Jujur Selamatkan Kendeng. Ada Apa?

$
0
0

Puluhan petani dan perempuan dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, dengan dukungan Aliansi Mahasiswa Jogja Peduli Rembang datang menggeruduk ke Universitas Gajah Mada (UGM) pada Jumat (20/03/2015).

Meski masih lelah setelah sehari sebelumnya pada Kamis (19/03/2015) menghadiri sidang gugatan warga Rembang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, mereka datang ke Kampus UGM Yogyakarta.

Mereka long march dari Bunderan Lembah, lalu melakukan orasi di depan Fakultas Kehutanan dan di Gedung Pusat UGM, meneriakkan penyelamatan kelestarian Pegunungan Kendeng dan penolakan pabrik semen.

Puluhan warga dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati menggeruduk ke Universitas Gajah Mada (UGM) pada Jumat (20/03/2015) menuntut dua dosen UGM untuk jujur member kesaksian dalam kasus sidang gugatan warga di PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Puluhan warga dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati menggeruduk ke Universitas Gajah Mada (UGM) pada Jumat (20/03/2015) menuntut dua dosen UGM untuk jujur member kesaksian dalam kasus sidang gugatan warga di PTUN Semarang. Foto : Tommy Apriando

Tuntutan utama mereka adalah meminta dosen UGM yang telah memberikan kesaksian di PTUN Semarang untuk jujur dan netral. “Kami ingin menyampaikan kepada UGM, dosennya memberikan keterangan tidak jujur di PTUN Semarang. Di Desa kami tidak gersang, namun subur.  Kami berjungan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng. Ini perjuangan, apapun halangannya untuk menyelamatkan alam dan lahan pertanian untuk anak cucu, akan kami hadapi,” kata Sukinah, salah satu warga tersebut.

Sukinah merujuk pada kesaksian dosen UGM bernama Eko Haryono dan Heru Hendrayana, yang dianggap menguntungkan pihak perusahaan dan tidak berpihak pada rakyat yang mempertahankan sumber mata air  dan kelestarian pegunungan Kendeng Utara.

Dia mengatakan ribuan warga Pati dan Rembang sejahtera bekerja sebagai petani dan peternak pada lahan yang subur dengan sumber mata air di lereng Pegunungan Kendeng, dan menolak keberadaan pabrik semen PT Semen Indonesia karena mengancam mata air dan pertanian mereka.

Bertemu Perwakilan UGM

Warga bertemu dengan perwakilan dari UGM, yaitu Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni  UGM, Paripurna Sugarda, beserta beberapa perwakilan dosen dari Fakultas Geografi dan Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UGM.

Joko Priyanto, warga Desa Tegaldowo mengatakan kesaksian kedua dosen UGM yang mengatakan bahwa tidak masalah menambang di kawasan karst karena tidak dilindungi, namun faktanya kawasan karst itu menjadi daerah resapan air dan dilindungi dalam perda tata ruang dan wilayah Kab. Rembang sebagai daerah imbuhan air.

Ia menambahkan, kedua dosen UGM mengatakan kalau Kabupaten Rembang wilayah tandus, kering dan karst kering yang tidak produktif. Padahal kenyataanya lereng Pegunungan Kendeng itu subur, sehingga mereka mempertanyakan kesaksian kedua dosen tersebut.

Sementara itu Gunretno dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) menyampaikan PT Semen Gresik yang hadir sejak 2007,  dibuatkan Amdal oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan ahli-ahli dari universitas terkemuka, salah satunya adalah UGM.

Gunretno mengatakan dirinya sempat berkomunikasi dengan Dosen UGM, Eko Haryono sebagai pembuat Amdal PT Semen Gresik.  Dan banyak bukti bahwa Eko Hariyono belum membaca Amdal.  “Padahal namanya tercantum dalam dokumen Amdal, kok ya belum baca Amdal? Kejujurannya dimana?,” tanya Gunretno.

Gunretno menambahkan, warga Rembang menghadiri sidang PTUN di Semarang dan mendengarkan langsung kesaksian Eko Haryono yang mengatakan bahwa di Pegunungan Utara sebagai kategori karst muda dan boleh ditambang. Penjelasan tersebut berbeda dengan pakar karst lainya. “Keilmiahan dan kejujuran akademisi penting. Seharusnya akademisi netral atau berpihak pada kondisi lingkungan yang nyata,” kata Gunretno.

Sedangkan Paripurna Sugarda mengatakan UGM secara institusional belum melakukan evaluasi atau kajian terhadap kawasan karst di Rembang. Kesaksian ahli dari UGM itu dibolehkan namun perlu sikap netral. Harusnya kesaksian itu menjadi penjaga moral, harus diberikan secara jujur, bertanggung jawab, dibawah sumpah dan arif. Hakim juga dituntut bebas menggunakan kesaksian itu, jika kesaksian itu tidak jujur hakim bisa mengesampingkan.

UGM berjanji akan akan melakukan kajian di Rembang dan Pati, termasuk kesaksian Eko Haryono. Dan hasil penelitiannya akan disampaikan kepada semua pihak.

“Kami akan melakukan evaluasi dan keberpihakan UGM kepada rakyat dan nilai itu yang selalu kami utamakan. Dalam mengeluarkan rekomendasi atau kesaksian tidak fakta ilmiah saja, namun mempertimbangkan kearifan masyarakat sekitar,” kata Paripurna.

 


Warga Rembang dan Pati Minta Dosen UGM Jujur Selamatkan Kendeng. Ada Apa? was first posted on March 22, 2015 at 11:19 am.

Saat DJ Cantik Ninda Felina Belajar Tentang Kebakaran Hutan

$
0
0

Di sela-sela kemacetan rimba beton Jakarta akhir Februari lalu, Ninda Felina, model cantik yang juga DJ (disc jockey) terbang ke Pekanbaru, Riau. Bukan untuk melarikan diri dari keriuhan ibu kota, nominator Uprising DJ of the year versi Paranoia Awards 2014 ini justru blusukan ke pedalaman hutan gambut, tepatnya  di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Kepulauan Meranti, Riau.

Ninda adalah satu di antara empat host film dokumenter pendek yang diproduksi Greenpeace Indonesia pada tahun lalu. Di seri film berjudul Wajah Generasi ke 13, Ninda menyusuri hutan milik masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Kabupaten Humbahas, Sumatra Utara. Namun hutan ini diklaim oleh PT Toba Pulp Lestari setelah memperoleh izin perluasan areal dari Kementrian Kehutanan.

DJ cantik Ninda Felina saat blusukan hutan di Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti Riau, pada 26 Februari 2015. Foto: Greenpeace

DJ cantik Ninda Felina saat blusukan hutan di Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti Riau, pada 26 Februari 2015. Foto: Greenpeace

Berdasarkan izin perluasan inilah kemudian perusahaan menghancurkan pohon-pohon kemenyan yang sudah dijaga oleh 13 generasi. Kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan kemenyan pun turut hancur. Konflik pun pecah. Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (Komnas HAM) turun tangan. Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Humbang Hasundutan ikut menyelidikinya. Hasilnya terdapat tiga rekomendasi yang tertulis dalam Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005. Diantaranya tanah adat harus dikeluarkan dari konsesi TPL. Tapi hingga saat ini tidak ada kelanjutannya.

Usai makan malam di hari terakhirnya di Pekanbaru akhir Februari lalu, Ninda menceritakan pengalaman blusukannya kepada Mongabay Indonesia.

Mongabay : Bagaimana, lelah? 

Ninda : Hmm… Untung ada petai, hahaha….. (Usai keluar dari hutan, Ninda berulang kali minta dicarikan petai)

Mongabay : Bagaimana awalnya bisa berhubungan dengan Greenpeace?

Ninda : Gue punya sepupu, dia join sama Greenpeace. Pas pertama kali jalan sama Greenpeace itu gue diajak sebagai host untuk mengangkat silent heroes. Kita membahas pahlawan yang tidak terkuak oleh media. Jadi dari situ ya udah jadi naluri aja sih gabung sama Greenpeace.

Mongabay : Pandangan kamu terhadap Greenpeace?

Ninda : Yang gue tau, (Greenpeace) organisasi yang ramah lingkungan, organisasi tentang lingkungan, tapi ya I dont really that care with Greenpeace karena ya memang  gue belum tau. Gue belum terlalu peduli, tapi setelah gue join beberapa trip Greenpeace jadi mulai  tertarik tuk gabung. Tertariknya kenapa? Basic-nya gue suka lingkungan, gue suka adventure, gue suka traveling, jadi kayak tiga segment itu jadi satu. Semuanya gue dapat. Tentang kulturisasi, tentang budaya, tentang lingkungan apalagi, ramah-tamah dengan masyarkat, jadi semuanya gue dapat.

Mongabay : Apa reaksi orang terhadap kamu?

Ninda : Dari trip gue pertama dengan Greenpeace, dari situ beberapa teman gue yang menurut gue sangat apatis dengan lingkungan sudah  mulai tertarik dengan melihat perjalanan gue, dengan mendengar cerita gue apa sih Greenpeace, apa yang lu lakukan di dalam sana, apa yang lu kerjakan. Dengan gue ikut ini, jadi automatically menarik orang untuk tau.

Ninda Felina di hutan gambut Desa Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepualuan Meranti, Riau, pada 26 Februari 2015. Foto: Greenpeace

Ninda Felina di hutan gambut Desa Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepualuan Meranti, Riau, pada 26 Februari 2015. Foto: Greenpeace

Mongabay : Pengalaman berkesan?

Ninda : Yang paling berkesan itu ya di saat gue melihat  bagaimana perjuangan mereka bertahan hidup, semenjak gue bergabung dengan Greenpeace gue jadi berpikir dengan cara yang lain. Khan biasanya gue berpikiran dengan cara yang normal, yang standar aja, tapi semenjak gue  joint, gue jadi kayak memikirkan lebih dalam lagi tentang bagaimana menghargai proses.

Mongabay : Apa yang ingin kamu sampaikan ke masyarakat tentang Silent Heroes?

Ninda : Belajarlah menghargai lingkungan sekitar. Belajarlah menghargai proses yang tidak kelihatan. Belajar untuk peduli.

Mongabay : Ke Riau dalam rangka apa?

Ninda : Belajar tentang kebakaran hutan gambut. Pelajarannya banyak banget. Gue tuh ndak tahu sama sekali tentang hutan gambut. Tapi kemarin setelah terjun ke lapangan gue tau apa itu hutan gambut. Bagaimana sensitifnya si lahan gambut itu kalau kita tidak bisa memeliharanya dengan baik.

Mongabay : Tadi sempat wawancara dengan ibu-ibu di Pekanbaru soal kebakaran hutan, kalau kamu jadi dia, apa yang akan kamu lakukan? (Saat Ninda wawancara dengan seorang ibu satu anak di Pekanbaru, si ibu mengatakan banyak orang tua yang sudah siap siaga menghadapi musim asap dari kebakaran hutan. Di antara kesiapan itu adalah mencuci masker yang tahun lalu dipakai untuk mengantisipasi paparan partikel kabut asap)

Ninda : Kalo gue jadi ibu itu, belum tentu bisa sekuat beliau itu. Mungkin gue udah pindah kali dari sini. Yang sangat gue salut, dia masih bertahan. Mungkin karena ya lapangan pekerjaan dia ya di sini. Jadi mau ndak mau menjalankan kehidupan dengan bayangan asap bertahun-tahun.

Ninda Felina bersama seorang ibu warga Pekanbaru dan anaknya yang langganan terpapar partikel kabut asap pada setiap musim kebakaran hutan, 27 Februari 2015. Foto: Greenpeace

Ninda Felina bersama seorang ibu warga Pekanbaru dan anaknya yang langganan terpapar partikel kabut asap pada setiap musim kebakaran hutan, 27 Februari 2015. Foto: Greenpeace

Mongabay : Apa yang ingin kamu sampaikan ke orang-orang di Jakarta tentang ibu-ibu itu?

Ninda : Belajar cari thau, kalau kita sudah tahu, lama-lama bisa peduli. Karena dari hal kecil itu bisa menjadi besar dan itu bisa berdampak kepada sekitar kita dan itu belum tentu baik. Tolonglah hargai. Mulailah peduli pada lingkungan kita.

Mongabay : Pemerintah harusnya bagaimana?

Ninda : Pemerintah harus benar-benar membenahi ini semua. Benar kata ibu Wiek tadi ya, memang harus ada hukuman bagi pelaku yang membuat kebakaran itu semakin buruk.

 

 


Saat DJ Cantik Ninda Felina Belajar Tentang Kebakaran Hutan was first posted on March 23, 2015 at 4:49 am.

Menolak Privatisasi Air, Melawan Pencemaran Sungai di Jawa Timur. Kenapa?

$
0
0

Dicabutnya Undang-undang No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, menjadi angin segar dikembalikannya hak rakyat akan air yang selama ini banyak dikuasai oleh swasta maupun investor asing.

Hal itu diungkapkan Lembaga Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) lewat seruannya pada Peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret di Surabaya.

Aksi memperingati Hari Air Sedunia 2015 di depan gedung negara  Grahadi, Surabaya, menolak privatisasi air dan mendesak revitalisasi  sungai. Foto : Petrus Riski

Aksi memperingati Hari Air Sedunia 2015 di depan gedung negara Grahadi, Surabaya, menolak privatisasi air dan mendesak revitalisasi sungai. Foto : Petrus Riski

Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengungkapkan, peringatan Hari Air Sedunia harus dapat menjadi momentum bagi negara dan pemerintah, untuk dapat menyediakan air bersih yang layak konsumsi untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

“Negara harus siap mengembalikan mandat rakyat, bila negara mutlak berwenang atas pengelolaan sumber daya air. Artinya kita sebagai masyarakat mendorong pemerintah agar jangan sampai pengelolaan itu kembali ke sepuluh tahun lalu, dimana asing dan swasta menguasai hajat hidup kita,” terangnya.

Selama 10 tahun  terakhir sumber daya air dikuasai oleh swasta, yang memproduksi air minum dalam kemasan. Kondisi air yang kurang bersih atau tidak layak konsumsi menjadikan masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain membeli air minum dalam kemasan.

“Selama ini kita kuatir minum air dari PDAM, karena air sungai kita sudah banyak tercemar sehingga kita mau tidak mau membeli air minum kemasan. Ini bukti kegagalan negara dalam menyediakan air bersih,” tambah Prigi.

Melalui pencabutan UU No.7/2004, diharapkan pemerintah dapat mengembalikan hak dasar setiap masyarakat untuk memperoleh air bersih yang layak konsumsi. Negara harus memberikan hak pengelolaan air  kepada BUMN dan BUMD, dengan membatasi peran swasta.

“Negara harus menggunakan prinsip-prinsip keseimbangan dan keberkelanjutan. Dalam eksploitasi air harus ada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup. Selama ini kita melihat air dianggap sebagai barang komoditas, air dijual dan negara membiarkan itu. Dengan kembalinya kita ke UU 11/ 1974, kita juga kembali ke UUD 1945 dimana air dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” papar Prigi.

Selain harus menyediakan air bersih bagi rakyatnya, negara juga diminta untuk membuka ruang partisipasi, untuk mengajak masyarakat terlibat dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan air.

“Terpenting water for life, kita mengembalikan fungsi air untuk kehidupan, karena memang kita melihat fungsi air untuk kehidupan, sedangkan sungai adalah peradaban,” ujar alumni Jurusan Biologi Universitas Airlangga Surabaya ini.

Prigi juga mengajak seluruh komponen masyarakat untuk lebih bijaksana terhadap pemanfaatan air, agar ketersediaaan air tetap terjaga dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia.

“Karena semua agama sangat menghargai air dan semua ibadah kita butuh air untuk pensucian kita, maka negara harus mengarusutamakan manajemen pengelolaan sumber daya air diatas segalanya,” tandasnya.

Terkait pengelolaan sungai di Jawa Timur, Ecoton menyatakan kekecewaannya atas pembiaran yang dilakukan pemerintah terkait penataan kawasan sempadan sungai. Ketegasan pemerintah dalam menata sempadan sungai akan menjadi indikasi yang kuat dalam mengembalikan fungsi dan kualitas sungai di Jawa Timur.

“Selama ini Menteri PU, Gubernur Jawa Timur, menurut kami abai dalam menyelenggarakan penyelamatan dan pelestarian di sumber-sumber air,” tukas penerima Goldman Environmental Prize dari Presiden Barrack Obama.

Prigi juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah pusat maupun di daerah, yang dianggap kurang serius dalam menjaga serta memelihara kelestarian sumber air. Selain persoalan privatisasi air oleh swasta dan tingginya pencemaran sungai, pemerintah juga dianggap terlalu lembek terhadap pemanfaatan sempadan sungai untuk bangunan yang dapat mengurangi area resapan air.

“Pemerintah masih kurang tegas menjalankan aturan, sehingga air bersih tidak dapat dinikmati meski itu merupakan hak dasar. Jadi sebenarnya dosa besar bagi negara ini kalau tidak bisa menyediakan air bersih untuk rakyatnya, karena air bersih adalah hak asasi manusia,” cetus Prigi Arisandi.

Kran air siap miinum, fasilitas air bersih layak minum  yang terdapat di kampus ITS Surabaya. Pemerintah masih harus memperbanyak  fasilitas air bersih seperti itu di masyarakat. Foto : Petrus Riski

Kran air siap miinum, fasilitas air bersih layak minum yang terdapat di kampus ITS Surabaya. Pemerintah masih harus memperbanyak fasilitas air bersih seperti itu di masyarakat. Foto : Petrus Riski

Sementara itu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika mengungkapkan, dicabutnya UU No.7/2004 harus ditindaklanjuti pemerintah dengan menutup perusahaan air minum dalam kemasan.

“Pertama, pemerintah harus segera menutup perusahan air kemasan dan mencabut ijinnya. Pemerintah harus segera menyusun RUU SDA baru yang prinsipnya untuk kepentingan, keselamatan rakyat dan fungsi-fungsi keberlanjutan alam,” kata Ony.

Banyaknya perusahaan air minum dalam kemasan justru menjadikan sumber mata air di sejumlah daerah menjadi hilang atau mati. Dampak terburuk kehidupan masyarakat yang bergantung dari sumber mata air juga banyak yang terganggu.

“Rakyat tidak lagi bisa menikmati sumber mata air karena banyak yang mati, akibatnya terjadi krisis mata air setiap tahunnya, padahal air bukanlah komoditi melainkan untuk kehidupan,” tandas Ony.

Sampah Plastik Di Ekosistem Air

Kondisi air sungai di Surabaya yang masih banyak tercemar oleh limbah industri maupun limbah rumah tangga, juga menjadi keprihatinan ditengah sulitnya masyarakat memperoleh air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sampah plastik menjadi salah satu ancaman serius bagi lingkungan dan ekosistem air, yang paling mendesak adanya pembatasan pemakaian plastik di masyarakat.

Hermawan Some dari Komunitas Nol Sampah mengatakan, keberadaan sampah plastik di Surabaya terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari total volume sampah yang ada, diprediksi lebih dari 12 persen adalah sampah plastik. Sampah plastik termasuk hidrokarbon, yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk bisa terurai di alam. Selain itu plastik mengandung bahan kimia dan bahan berbahaya lainnya seperti BPA, yang dapat mempengaruhi jenis kelamin ikan dan satwa yang ada di sungai.

“Pengurangan sampah plastik di sungai sangat penting, karena sebagian besar sampah plastik pasti masuk ke laut dan sungai. Sampah plastik di Indonesia bisa mencapai 4,5 juta ton yang masuk ke laut, dan Indonesia merupakan peringkat kedua penyumbang sampah palstik di dunia setelah China,” ujar Hermawan.

Hermawan mengatakan bahwa upaya menjaga sungai dari limbah maupun sampah plastik harus menjadi gerakan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini dilakukan agar bahaya sampah plastik tidak semakin mengancam kehidupan makhluk lain, khususnya yang ada di dalam sungai maupun laut.

“Dampak terburuk misalnya bisa membunuh satwa-satwa atau biota yang ada di situ, kemudian dia bisa menyumbat saluran kalau itu masuk saluran. Kita lihat pantai timur Surabaya, banyak mangrove yang mati karena sampah plastik menutupi akar dan menutupi anak-anak mangrove yang ada disana,” pungkas Hermawan.


Menolak Privatisasi Air, Melawan Pencemaran Sungai di Jawa Timur. Kenapa? was first posted on March 24, 2015 at 2:12 am.
Viewing all 2588 articles
Browse latest View live