Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2538

Lautku Sayang, Lautku Meradang

$
0
0
 *Agus Supangat, Mantan Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Sekarang bekerja di Regional Climate Projections Consortium and Data Facility in Asia and the Pacific. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Keanekaragaman laut terus tergerus

Komponen laut berupa jutaan spesies tumbuhan dan hewan harus bekerja

Kalau dibiarkan habis, laut pun meradang

Mungkin ia tak lagi dapat mendukung kehidupan

Ibarat orkestra, sekelompok peneliti dari Universitas Dalhousie, Halifax, Kanada, memainkan konsistensi teori, eksperimen, dan observasi di sepanjang skala dan ekosistem yang berbeda dengan harmonis. Kelompok ini bermain dengan 32 eksperimen secara terkontrol, juga mengamati 48 wilayah perlindungan laut dan data tangkapan ikan serta invertebrata di seluruh dunia sepanjang tahun 1950 – 2003 dari lembaga pangan dunia.

Mereka pun menggunakan data dalam rangkaian waktu selama 1.000 tahun di 12 daerah pesisir yang meliputi arsip, perikanan, sedimen, dan arkeologi. Hasilnya, laut sedang meradang dan harus ”turun mesin” pada tahun 2050.

Peran Spesies Laut

Jurnal Science Vol. 314 (3 November 2006) menulis bahwa para pakar ekologi dan ekonomi mengingatkan bahwa hilangnya keragaman hayati akan secara ekstrem menurunkan kemampuan laut untuk memproduksi makanan, menjaga daya tahan terhadap penyakit, menyaring polutan, dan memulihkan diri dari tekanan seperti perubahan iklim.

Hilangnya tiap spesies menyebabkan pemisahan secara cepat dari keseluruhan ekosistem. Sebaliknya, pertumbuhan tiap spesies secara nyata meningkatkan produktivitas dan stabilitas keseluruhan ekosistem dan kemampuannya bertahan terhadap tekanan. Gambaran ini terjadi di seluruh lautan. Hasil yang di luar perkiraan ini begitu mengejutkan dan mengganggu.

Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi

Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi

Selama empat tahun, semua data mengenai spesies laut dan ekosistem diuji. Rangkaian data historis baik eksperimen, perikanan, maupun pengamatan pun disintesa untuk mengetahui pentingnya keragaman hayati pada skala global.

Sungguh mencengangkan. Hilangnya keragaman hayati secara progresif tidak hanya merusak kemampuan laut memberi makan manusia yang jumlah populasinya terus meningkat, tapi juga merusak stabilitas lingkungan laut dan kemampuannya untuk memulihkan diri dari berbagai tekanan.

Selama ini, manusia mengagumi organisme laut karena ukuran, warna, wujud, keganasan, kekuatan, sekaligus keindahannya. Masalahnya, tumbuhan dan hewan yang tinggal di dalam laut tak cukup hanya dikagumi. Kita harus menjaga keseimbangan mereka karena berdampak langsung terhadap kesehatan laut dan keberadaan manusia.

Yang melegakan adalah fakta bahwa ekosistem laut masih mempunyai kemampuan yang sangat besar untuk kembali sehat, walau kecendurangan global saat ini menunjukkan laut sedang meradang. Ibarat mesin, hampir semua komponennya yang berupa spesies laut mengalami penurunan 90 persen pada tahun 2050. Laut semakin panas temperaturnya, semakin asam, dan semakin berkurang oksigennya.

Meradangnya laut juga dipercepat penurunan seluruh kesehatan ekosistem: ikan bergantung kepada air bersih, populasi mangsanya dan habitat yang beragam berkaitan dengan sistem keragaman yang lebih tinggi. Resiko kesehatan manusia juga muncul saat terjadinya kerusakan ekosistem pesisir, maraknya spesies pendatang, ledakan penyakit, dan serbuan algal bloom yang berbahaya.

Laut merupakan mesin daur ulang yang besar. Laut membawa limbah dan mendaurnya menjadi nutrien, mencuci racun keluar dari air, memproduksi makanan dan mengubah karbondioksida (CO2) menjadi makanan dan oksigen. Tapi dalam rangka menyediakan jasa tersebut, laut membutuhkan seluruh komponennya bekerja, yaitu jutaan spesies tumbuhan dan hewan yang hidup di laut.

Nyatanya, penurunan spesies laut meningkat cepat selama 1.000 tahun terakhir yang berakibat hilangnya kapasitas penyaringan biologis, habitat plasma nuftah, dan perikanan yang sehat.

Mesin alam tersebut mengingatkan manusia untuk lebih peduli terhadap produksi bahan pangan dari laut (ikan maupun hasil laut lainnya) yang diperkirakan akan mengalami gangguan sangat besar dengan munculnya perubahan pola arus, temperatur, tinggi muka laut, umbalan, dan seterusnya.

Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012).  Berdasarkan kajian yang sama, Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dan pengasaman laut (ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut.

Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy

Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy

Uji terhadap wilayah perlindungan laut diseluruh dunia menunjukkan bahwa pulihnya keragaman hayati akan meningkatkan produktivitas empat kali lipat dan membuat ekosistem rata-rata meningkat daya tahannya terhadap fluktuasi yang disebabkan lingkungan dan manusia. Data menunjukkan bahwa untuk memperbaikinya belum terlambat. Saat ini, kurang dari 1% lautan global yang dilindungi secara efektif.

Memperbaiki keragaman hayati laut dapat dilakukan melalui pengelolaan sumber daya berbasis ekosistem, termasuk pengelolaan perikanan yang terintegrasi, pengontrolan polusi, perlindungan habitat penting dan pembuatan wilayah perlindungan laut. Langkah tersebut penting untuk menghindari tekanan serius terhadap keamanan pangan global, kualitas air laut, dan stabilitas kehidupan laut.

Saatnya Memperhatikan Laut

Kejadian tersebut merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang terbukti telah terjadi secara perlahan (slow onset) di Indonesia (Kompas.com, 1 April 2013). Dari berbagai kejadian yang telah teridentifikasi di Indonesia, sebagian besar berkaitan erat dengan aspek kelautan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena dua alasan.

Pertama, laut memiliki arti dan fungsi besar bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Laut bukan saja merupakan sarana transportasi antar pulau. Bagi Indonesia, laut juga merupakan salah satu habitat utama keragaman hayati laut tropis di dunia serta sumber bahan pangan yang sangat penting.

Kedua, laut merupakan salah satu penggerak utama mesin iklim dan cuaca di Indonesia. Artinya, perubahan pada laut berpengaruh besar terhadap iklim dan cuaca. Peningkatan frekuensi, intensitas mesin iklim dan cuaca ekstrem (rapid onset) serta kejadian slow onset di Indonesia membuat aspek kelautan dan perikanan menghadapi potensi permasalahan yang perlu diperhatikan secara khusus.

Implikasi permasalahan yang timbul pada aspek kelautan dan perikanan sangat berpotensi menimbulkan kerugian dan kerusakan (loss and damage) yang besar di Indonesia. Cakupan loss and damage akibat permasalahan ini juga akan merambat pada sektor-sektor lainnya.

Sebagai contoh, pengasaman laut akan menyebabkan turunnya produksi perikanan dan hasil-hasil laut lain yang menjadi salah satu sumber bahan pangan sekaligus mata pencaharian penting terutama bagi masyarakat pesisir yang berjumlah 42 juta jiwa.

Pada tahap lebih lanjut, masalah ini akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat hingga ketahanan pangan nasional berbasis hasil laut.

Upaya adaptasi Indonesia terhadap perubahan iklim bukan lagi bertujuan menjaga kelangsungan hidup rakyat serta keberlanjutan pembangunan nasional semata. Loss and damage memberikan dimensi baru yang memerlukan strategi dan pendekatan lebih maju dalam menghadapi kejadian rapid onset dan slow onset.

Sebagai bagian dari dampak merugikan perubahan iklim, kejadian “slow onset” dibedakan dari “rapid onset” dan mendapatkan perhatian yang lebih besar. Kajian teknis membagi dampak perubahan iklim ke dalam dua kategori besar, yaitu akut dan kronis.

Untuk itu, perlu rencana aksi pembangunan berkelanjutan menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya, ekologi, dan etika dalam upaya menghadapi permasalahan tersebut.

 


Lautku Sayang, Lautku Meradang was first posted on March 16, 2015 at 3:39 am.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 2538

Trending Articles