Surga bawah laut. Itulah julukan Indonesia yang disematkan oleh para penyelam dunia karena keindahan alam bawah lautnya. Beberapa spot menyelam terbaik di Indonesia, ada di Sulawesi Utara (Sulut).
Itu mengapa, kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulut meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut mencatat ada peningkatan 50,67 persen menjadi 2.248 orang pada Januari 2015 dibanding Desember 2014.
Sulut, menurut catatan para ahli memiliki ekosistem laut yang merupakan salah satu yang terkaya di wilayah Indonesia yang terdiri dari terumbu karang yang masih asli, padang lamun yang sehat dan ekosistem mangrove. Keanekaragaman hayati tersebut juga telah membuat daerah ini sebagai tujuan wisata dan rekreasi.
Akan tetapi, keanekaragaman hayati tersebut terancam eksploitasi sumber daya kelautan yang berlebihan dan kurangnya pengetahuan serta kesadaran masyarakat dan pemangku kepentingan. Meski telah dibentuk daerah perlindungan laut (DPL), upaya pelestarian masih perlu mendapat perhatian, karena sedikit DPL yang berlanjut dikelola masyarakat setempat.
Hasil survey Wildlife Conservation Society (WCS) tahun 2013, menunjukkan sebanyak 27 DPL, 6 daerah perlindungan mangrove (DPM) dan 5 daerah kontrol/pembanding di Sulut. Dari jumlah tersebut, hanya 12 DPL yang aktif, dan dan satu DPM yang aktif di Kota Bitung.
DPL dikategorikan aktif bila masih ada kelompok dengan pertemuan desa dan pengawasan DPL yang aktif, serta adanya peraturan desa dan tanda batas DPL.
Salah satu desa yang masih mempertahankan DPL adalah Desa Bahoi di Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara. DPL tersebut dikelola oleh masyarakat dengan dukungan dari PNPM LMP dan WCS IP. Program tersebut dilanjutkan dan dikembangkan oleh lembaga swadaya masyarakat dan pusat kajian pesisir yaitu Yapeka, Celebio, PKSPL IPB dan GoodPlanet.
Direktur Yapeka, Edy Hendras Wahyono mengatakan mereka fokus pada isu pesisir melalui program “Penguatan Keanekaragaman Hayati Laut melalui Pengembangan dan Perluasan DPL di Bahoi-Talise-Linunu” dengan dukungan pendanaan dari GoodPlanet Foundation, Perancis.
“Hal ini penting untuk memberikan peningkatan pengetahuan dan kapasitas pengelolaan pesisir berbasis masyarakat dan pemanfaatan wilayah secara berkelanjutan, salah satunya melalui ekowisata di kawasan penyangga perlindungan laut,” jelasnya dalam acara workshop ekowisata pesisir, “Penguatan Keanekaragaman Hayati Laut dan Pesisir Melalui Dukungan Teknis dan Kebijakan untuk Ekowisata Berbasis Masyarakat” pada Selasa (10/03/2015).
Workshop yang didukung Environmental Technical Assistance and Information Exchanve Facility (ENV-TAIEF)-Uni Eropa, YAPEKA, GoodPlanet, PKSPL IPB, Manengkel Solidaritas, Celebio, Pemprov Sulut, Pemkab Minahasa Utara, Mitra Bahari, WCS, F/21, menghadirkan dua ahli dari luar negeri yaitu Carlo Franzosini dan Rene Henkens.
Carlo Franzosini yang merupakan ahli biologi kelautan & GIS dalam pengembangan daerah perlindungan laut di Miramare Merditerania di Italia dan Rene Henkens sebagai salah satu pakar ekologi-rekreasi-wisata di Alterra dari Pusat Penelitian Universitas Wageningen (WUR) di Belanda.
Rene membagikan pengalaman yang dilakukannya selama ini terkait dengan pengembangan ekowisata. Bahwa pengembangan pariwisata dunia saat ini berkembang sangat pesat dari tahun 1950 hingga 2010 bahkan prediksi hingga tahun 2030.
“Jumlah wisatawan pada tahun 1950 sekitar dan meningkat di tahun 2012 sebanyak 1 miliar wisatawan. Perkembangan pariwisata tersebut terjadi di Negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia-Pasifik, Amerika, dan Eropa. Sementara itu di Indonesia, pertumbuhan ± 9,4% di tahun 2013 atau sekitar 8,8 juta,” ungkapnya.
“Untuk menuju ekowisata ke depannya perlu mempertimbangkan manusia-planet-profit yang meliputi bentang alam sebagai titik awal, keberlanjutan, penelitian multi-disiplin, dan melibatkan banyak pemangku kepenting,” tambahnya.
Pesan yang terungkap dalam presentasi yang disampaikan bahwa perlu adanya kehati-hatian terhadap parisiwata, karena adanya wisata masal dapat berdampak pada ekologi dan sosial. Sehingga tepatlah kalau saat ini kegiatan pariwisata di arahkan ke ekowisata. Artinya dalam perjalanan wisata ada tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial yang ada.
Selanjutnya yang menjadi perhatian ke depan adalah pemberdayaan masyarakat lokal, pengembangan visi-misi, mempertahankan keaslian dan identitas setempat, skenario pengembangan berasarkan penelitian, kerjasama lokal, dan varisasi produk wisata.
Sedangkan Carlo Francosini menjelaskan sulitnya membentuk jaringan daerah perlindungan laut di Merditerania, memerlukan waktu dan proses. Salah satu prosesnya dalah dengan dikeluarkannya Konvensi dan Protokol Barcelona oleh UNEP.
Kegiatan yang dilakukan dalam DPL di Merditerania meliputi jaringan MedPAN pendidikan, monitoring, snorkling, pesca tourism, perencanaan, dan kerjasama. “Ada sekitar 21 negara Merditeranian dan Komunitas Eropa yang masuk dalam Merditeranian Action Plan (MAP) yang diadosi sejak tahun 1975,” ungkap Carlo.
Dia menyoroti pentingnya mengatur keseluruhan peraturan yang baik, kerjasama antara DPL setempat untuk berbagi pengetahuan umum, layanan, dan alat, kepercayaan dari masyarakat, serta penegakan hukum dan daya tahan.
Ternyata tidak hanya pemerintah dan LSM yang peduli terhadap konservasi laut, pihak swasta pun turut serta dalam pengembangan DPL dan ekowisata. “Kami dari pihak resort telah memiliki kawasan untuk dibuat daerah perlindungan laut, lalu bagaimana proses yang dapat kami lakukan agar DPL tersebut terwujud’, kata Paul, pengelola resort, yang menjadi peserta dalam workshop itu.
Sedangkan Yunita dari Selamatkan Yaki melihat tidak semua DPL di Sulut dapat bertahan setelah program awal pembentukannya. “Banyak DPL di buat, namun tidak dapat bertahan lama,” katanya.
Sementara Penanggungjawab kegiatan Pesisir & Penelitian Yapeka, Akbar A. Digdo melihat pentingnya dukungan semua pihak dan integrasi kebijakan nasional dan daerah untuk pengelolaan keanekaragaman hayati laut di masa depan. Pemprov dan Pemkab harus aktif membantu penerapan manajemen ekowisata yang baik, yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat setempat.
“Penting untuk ke depan agar DPL dan Ekowista dapat dijalankan dengan baik adalah adanya pendekatan multisektor yang terkoordinasi dari berbagai lembaga/pihak serta berpikir dan bertindak secara jangka panjang,” kata Akbar.
Desa Ekowisata
Sebagai desa pesisir laut, masyarakat Desa Bahoi hidup dari hasil laut, sehingga laut perlu dijaga keberadaanya melalui daerah perlindungan laut.
“Saat ini masyarakat sudah mulai menerima manfaat dari keberadaan DPL sebagai bank ikan. Melindungi laut merupakan upaya tidak hanya untuk kehidupan saat ini namun juga untuk kehidupan generasi yang akan datang,” kata tokoh masyarakat Desa Bahoi, Maxi Lahading.
Pemerintah Desa Bahoi juga telah memasukkan pengembangan ekowisata dalam RPJMDes sebagai program pariwisata berkelanjutan dan konservasi sekaligus pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat setempat.
Pemdes Bahoi telah mengeluarkan Peraturan Desa No.02/2010 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk keberlanjutan DPL. Ekowisata dibuat untuk memanfaatkan daerah penyangga DPL dan saat ini telah tersedia infrastruktur sederhana meliputi penginapan, pemandu wisata, souvenir. Modalitas sosial ini sangat baik, tetapi untuk implementasi yang lebih baik masih perlu bantuan teknis dan dukungan kebijakan dari Pemerintah Daerah dan LSM.
Tantangan pengembangan ekowisata Desa Bahoi adalah perlunya sinergi program pemda dan desa, serta pengembangan infrastruktur yang memperhatikan aspek lingkungan.
Kelompok ekowisata dan DPL juga penguatan kapasitas agar lebih siap menerima wisatawan. Program desa juga diharapkan menginisiasi kemandirian masyarakat dalam menjalankan pengelolaan DPL dan ekowisata yang berkelanjutan.
Sinergi Konservasi dan Pemberdayaan Ekonomi Di Bahoi Sulut Lewat Ekowisata Pesisir. Seperti Apakah? was first posted on March 15, 2015 at 4:57 pm.