Berbekal pemahaman sederhana bahwa hutan gundul akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dapat merugikan masyarakat, Wagisan bersama warga Dusun Mendiro, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, melakukan upaya penanaman kembali hutan yang gundul seluas lebih dari 50 hektar.
Awal mulanya hutan di kawasan Dusun Mendiro ditumbuhi banyak tanaman kayu, serta tanaman buah-buahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Hutan seluas 50 hektar yang masuk dalam wilayah penguasaan Perhutani ini mengalami kerusakan dan menjadi gundul, akibat penebangan kayu hutan secara ilegal pada tahun 1998-1999. Tidak hanya oleh warga masyarakat sekitar, penebangan kayu juga banyak dilakukan oleh oknum aparat.
Melalui inisiatif dan swadaya sendiri, Wagisan bersama 10 orang yang menamakan diri sebagai kelompok Kepuh (Kelompok Pelindung Hutan dan Pelestari Mata Air), kelompok masyarakat yang peduli terhadap hutan melakukan penanaman bibit pohon buah-buahan, pada lahan yang gundul. Wagisan beranggapan bila kondisi ini dibiarkan, maka tidak hanya akan berakibat pada bencana lingkungan, namun juga mempengaruhi perekonomian warga yang semula sangat bergantung pada hutan.
“Dulu jaman saya kecil tanaman duriannya berbuah lebat, tapi kemudian semuanya dijarah orang, ditebangi sampai habis total dan gundul. Kemudian saya bersama warga yang lain mulai lagi menanami, selain durian ada juga nangka, kemiri, jengkol, dan masih banyak lagi,” ujar Wagisan, ditemui di rumahnya di Dusun Mendiro, Sabtu (18/04/2015).
Melalui gerakan menanami kembali hutan yang gundul, Wagisan beranggapan bahwa keberadaan pohon-pohon atau tanaman berkayu akan mampu menahan serta menyimpan air, mencegah bahaya longsor dan banjir bandang, dan mengembalikan debit air dari mata air yang sempat hilang atau mati.
Secara mandiri, mereka melakukan pembibitan tanaman buah aneka macam, melakukan penanaman dan penyiraman, hingga bergantian melakukan patroli untuk menjaga agar tidak ada lagi penebangan pohon secara ilegal. Pada awal mula kelompok Kepuh melakukan pembibitan hingga 10.000 bibit tanaman buah-buahan dari 40 jenis tanaman.
“Semua kami lakukan sendiri, tidak ada bantuan dari siapa pun, semua swadaya masyarakat,” tukas Wagisan.
Kerelaan menjadi penjaga hutan dan pelestari mata air juga diakui oleh Tumariono, warga Dusun Mendiro. Tumariono mengaku tidak dibayar untuk menjadi bagian dari kelompok Kepuh. Melalui upaya menjaga hutan dengan cara menanam pohon dan merawat mata air, “bayarannya” berupa air bersih gratis dirasa lebih dari cukup bagi Tumariono serta warga lainnya.
“Masyarakat disini tidak pakai pompa air, pompa airnya ya pohon yang ditanam. Dengan itu semua airnya bisa langsung disalurkan lewat pipa paralon ke masing-masing rumah warga. Kalau bayarannya ya gak ada,” tutur Tumariono yang mengaku pernah bertengkar antar warga, karena berebut sumber mata air saat debit air yang keluar masih sedikit.
Selama lebih dari 3 tahun, Tumariono mengaku tidak sampai mengalami kekurangan air, bahkan saat memasuki musim kemarau. Kebutuhan warga akan air bersih, serta air untuk berternak dan berladang, selalu tercukupi sejak reboisasi berhasil dilakukan di hutan Dusun Mendiro.
“Ini setelah warga sadar dan melakukan pembibitan, menanam di sebelah mata air, terutama di Petung Pecut dan Sumber Gintung. Warga menanam aneka tanaman kayu, seperti kayu bendho, durian, kemiri, trembesi, gondang, pucung, juga bambu apus dan bambu petung,” jabar Tumariono.
Kondisi seperti ini diharapkan Wagisan tidak sampai menimbulkan perusakan dan pembabatan hutan kembali, setelah masyarakat merasakan manfaat hutan secara ekonomis.
“Sekarang sudah menjadi hutan, ada durian dan jengkol yang sudah berbuah, alpukat, nangka, kemiri, juga ada manggis, langsep. Kami menjadikan lahan yang gundul sebagai hutan beraneka ragam buah. Harapan kami hutan lestari, masyarakat banyak rejeki, dan tidak lagi merusak hutan,” harap Wagisan.
Melalui upaya konservasi yang dilakukan kelompok Kepuh bersama masyarakat setempat, tidak hanya mengembalikan kondisi hutan seperti semula, tapi juga ikut menjaga satwa serta ekosistem yang ada sebelumnya.
“Kita juga melindungi satwa jangan sampai diburu. Sekarang kita sudah mulai menemui lutung, kancil, kijang, berbagai jenis burung, bahkan masih terlihat macan kumbang,” imbuh Wagisan yang merupakan mantan Kepala Dusun Mendiro ini.
Meski telah berupaya melakukan penanaman kembali hutan yang gundul, ternyata masih ada juga masyarakat serta oknum aparat yang melakukan penebangan pohon. Sekitar 50 pohon kemiri yang telah ditanam kelompok Kepuh bersama warga didapati ditebang oleh orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga sempat menimbulkan ketegangan antara warga dengan Perhutani.
“Setelah pohon kemiri jadi dan banyak, sekitar 50 pohon ditebangi pada Mei 2010, sejak saat itu kelompok Kepuh sudah siaga semuanya. Kalau ada yang menebang atau mencuri, ramai-ramai akan diambil tindakan dan dilaporkan pihak berwajib. Kalau pencurian ini dibiarkan, kasihan anak cucu kita nanti kalau hutannya rusak kembali,” tegas Wagisan.
Wagisan berharap konservasi hutan yang telah dilakukan warga yang dimotori kelompok Kepuh ini, tidak sampai dirusak oleh pihak yang kurang bertanggungjawab dan ingin mencari keuntungan sendiri. pemerintah diminta turun tangan dan terlibat secara langsung dalam mendukung upaya konservasi yang telah digalakkan oleh kelompok Kepuh bersama masyarakat.
“Jangan sampai hutan konservasi yang sudah jadi seperti ini dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, kalau pemerintah tidak turun tangan ya tidak menutup kemungkinan bisa rusak lagi,” serunya.
Selain meminta dukungan pemerintah daerah Kabupaten Jombang dan Pemprov Jatim, kelompok Kepuh berharap potensi sumber daya alam khususnya di hutan Wonosalam dapat dikembangkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi masyarakat secara maksimal.
“Kalau pas panen durian, ini jadi hutan durian. Ini yang bisa mendatangkan pemasukan ekonomi warga, juga tanaman dengan buah yang lain. Sejauh ini kami menjual sendiri, belum ada yang menampung hasil panen warga. Selain itu akses jalan yang kurang baik jadi hambatan kami,” ucap Wagisan.
Pada waktu panen durian, hampir seluruh area yang dihijaukan menghasilkan buah durian. Rata-rata 1 pohon menghasilkan 10 hingga 20 buah durian. Bila dijual seharga Rp30.000, masyarakat memperoleh pemasukan Rp300.000- Rp600.000 per pohon. Padahal dalam sebidang lahan yang digarap warga bisa ada lebih dari 10 pohon durian.
Sedangkan dari panen kemiri, setiap 100 butir kemiri dihargai Rp7.000, sedangkan setiap pohonnya bisa menghasilkan antara 500 hingga 1.000 butir kemiri. Pohon kemiri di hutan Mendiro merupakan salah satu jenis pohon yang paling banyak ditanam di lahan seluas 50 hektar, karena pohonnya yang merupakan jenis tegakan.
“Bisa dihitung sendiri berapa hasil yang diperoleh sekali panen untuk kemiri dan durian. Belum lagi jengkol, nangka, dan hasil pohon buah lainnya. Intinya masyarakat semakin sejahtera setelah upaya penghijauan ini berhasil,” ungkap Wagisan.
Partisipasi Masyarakat
Aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) Amiruddin Muttaqin mengungkapkan, keberadaan kelompok Kepuh merupakan salah satu contoh partisipasi yang dilakukan masyarakat, dalam menjaga dan melindungi hutan terutama hutan-hutan lindung yang ada di perbatasan desa-desa paling ujung.
“Seharusnya memang di hampir semua hutan itu ada kelompok-kelompok seperti yang dilakukan kelompok Kepuh ini, yang sudah menjadikan hutan ini lebih bagus, terjaga, terawat, mata airnya terus mengalir dan bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat yang ada di hulu maupun di hilir,” katanya.
Amiruddin menilai bahwa sangat penting melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan, karena masyarakatlah yang setiap hari berinteraksi di hutan dengan berbagai ikatan emosional dan ekonomi yang terkandung di dalamnya. Fungsi hutan baik secara ekologi maupun ekonomi inilah, yang menjadikan hutan sebagai ekosistem yang harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat.
“Mau tidak mau masyarakat harus menjaga hutan dan melindunginya, karena ini untuk tujuan peningkatan ekonomi dan juga melindungi mata air yang ada,” kata Amir yang sudah mendampingi kelompok Kepuh sejak 2010.
Sudah selayaknya, lanjutnya, pemerintah harus berterimakasih dan memberikan apresiasi bagi masyarakat di hulu yang sudah menjaga hutan dan mata air.
Keberhasilan kelompok Kepuh ini perlu didukung oleh semua pihak, karena upaya menjaga serta melestarikan hutan serta mata air tidak dapat dilakukan sendiri, khususnya masyarakat yang berdekatan dengan kawasan hutan yang kritis.
“Sebenarnya masih ada kawasan yang gundul di sekitar gua Sigolo-golo seluas 5-10 hektar, itu di wilayah Perhutani. Tidak tahu kenapa petugasnya kurang antusias. Masyarakat sebenarnya bisa saja melakukan penghijauan di situ, tapi ternyata hanya menanam tanaman palawija,” tukas Wagisan.
Saat ini hutan di Dusun Mendiro yang hijau dan lebat menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara, baik untuk tujuan rekreasi maupun studi lingkungan. Bahkan tidak sedikit kelompok pelajar dan mahasiswa yang melakukan studi mengenai kehutanan, sekaligus melakukan aksi menanam pohon di hutan Desa Mendiro.
“Sekarang ini banyak kelompok masyarakat seperti pramuka, kelompok pemuda yang datang dan menanam disana, ditempat yang masih jarang pohonnya. Setiap kunjungan rata-rata kami siapkan 50-100 bibit untuk ditanam, dan tiap bulan selalu ada yang datang berkunjung,” pungkasnya.
Dengan banyaknya perhatian dari masyarakat di luar Wonosalam, Wagisan berharap ekosistem hutan Mendiro tetap terjaga, dan tetap menjadi sumber penghidupan masyarakat yang ikut menjaga kelestarian hutan dan mata air.
Mengajarkan Cinta Hutan Sejak Dini
Kesadaran untuk mau menjaga serta melestarikan hutan serta mata air, merupakan kunci mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan hutan beserta ekosistem di dalamnya. Melalui pendidikan dapat diberikan pemahaman serta pengetahuan mengenai pentingnya hutan bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Berawal dari kekhawatiran terhadap kondisi hutan yang semakin rusak oleh ulah orang yang tidak bertanggungjawab, Mukhlas Bassa menjadi pelopor untuk mengajarkan pentingnya menjaga hutan dan mata air kepada para pelajar.
Guru Madrasah Aliyah (MA) Fasser, Kecamatan Wonosalam ini, akhirnya terjun total mengajarkan pentingnya melestarikan hutan kepada siswa-siswi didiknya. Dibantu LSM Ecoton, Mukhlas mengawali membentuk kelas khusus yang mengajarkan mengenai pelajaran hutan dan mata air. Mata pelajaran ini mungkin menjadi satu-satunya mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa di tingkat SMA sederajat.
“Hutan kami rusak sekitar tahun 1998-2002. Malah pada tahun 2002 terjadi banjir bandang di wilayah Mojokerto akibat hutan di sekitar kita gundul. Kekhawatiran terhadap hutan yang semakin rusak, serta terhadap mata air yang pada 2007 semakin banyak yang mati atau hilang, menjadi awal kegiatan kami di bidang lingkungan,” kisah Mukhlas.
Berawal dari kebosanan para siswa saat belajar di dalam kelas, memunculkan ide bagi Mukhlas untuk mengajak para siswa belajar mengenai lingkungan di luar kelas. Pelajaran di luar kelas itulah yang semakin menunjukkan bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari dari lingkungan, selain pelajaran teori mengenai ilmu pengetahuan alam.
Meski pada awal mula para siswa tampak kebingungan dengan metode yang baru ini, akhirnya lambat laun siswa didiknya dapat menikmati dan menyukai pelajaran baru yang diberikan tiap hari Sabtu, dengan sistem pengajaran lebih banyak di dalam hutan dan sekitar mata air.
“Kami mengajarkan tentang morfologi tumbuhan, pelestariannya, hidrologinya, kesehatan sungai, pembibitan, dan kemudian wirausaha sosial di bidang lingkungan. Awalnya siswa kami kebingungan karena banyak yang jurusan sosial, bukan IPA. Tapi lama-lama mereka semakin tertarik,” terangnya.
Tidak hanya semakin banyak siswa yang berminat mengikuti pelajaran hutan dan mata air, Madrasah Aliyah Fasser Wonosalam mulai menggandeng sekolah lain untuk bekerjasama melakukan penyelamatan hutan serta mata air bagi kehidupan manusia.
“Kalau kita belajar mengenai pembibitan tanaman hutan, kita juga mengundang teman-teman dari luar kota, seperti Surabaya, Gresik, Mojokerto, dan Jombang sendiri. Kita juga belajar tentang kondisi sungai-sungai kita dengan melakukan biomonitoring, inventarisasi tanaman-tanaman yang masih ada di hutan lindung, juga patroli,” jabar Mukhlas yang menyadari masih banyak anggota keluarga para siswa yang belum peduli terhadap kondisi hutan.
Selain belajar bersama di hutan, para siswa juga diajarkan untuk memberikan pengajaran mengenai hutan dan mata air kepada pelajar lain dibawahnya, baik tingkat SMP maupun SD. Pengajaran dan penyadaran mengenai pentingnya menjaga serta melestarikan hutan dan mata air menurut Mukhlas, merupakan upaya dasar untuk menanamkan kecintaan terhadap lingkungan sejak usia dini.
“Harapan kami memang ada pengaruh yang cukup besar walaupun tidak sekarang, karena sebagian besar anak-anak kami ini rata-rata orang tua mereka hidupnya juga tergantung dari hutan di sekitarnya. Dengan mereka kita sadarkan tentang pengetahuan hutan dan mata air, lambat laun mereka lebih arif lagi terhadap hutannya dan ikut menjaga hutannya,” tutur Mukhlas.
Melalui kegiatan belajar mengajar di hutan, sekaligus patroli hutan dan mata air yang dilakukan setiap Sabtu, membuat aktivitas penebangan kayu hutan serta perburuan liar menjadi jauh berkurang. Mukhlas berharap upaya kecilnya dalam menyelamatkan hutan dan mata air membuahkan hasil, berupa tersebarnya pemahaman baru yang positif mengenai kecintaan masyarakat akan hutan, sehingga dapat mencegah kerusakan yang terjadi.
“Dampaknya mungkin orang-orang yang merusak hutan mulai berkurang, dan keterlibatan kita menanam pohon dihutan menjadikan mereka ikut sadar dan ikut menanam tanaman hutan. Jadi kesadaran masyarakat tentang hutan sangat perlu diberikan sejak dini, khususnya melalui dunia pendidikan,” pungkas Mukhlas yang berharap ada materi khusus mengenai hutan yang dimasukkan pada kurikulum pendidikan.
Belajar Konservasi Hutan dan Mata Air Di Wonosalam was first posted on April 30, 2015 at 8:57 am.