Dahi Haslan berkerut. Tak ada keceriaan di wajahnya ketika memasukkan rumput laut yang telah dikeringkan ke dalam karung plastik. Sebagian rumput laut itu malah terlihat masih basah, namun sepertinya ia tak peduli. Dengan nada suara sedikit putus asa ia menceritakan kegundahannya.
“Harga rumput laut lagi anjlok total,” katanya putus asa ketika Mongabay mengunjunginya di Desa Ollo Selatan, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada awal Oktober 2015.
Sejak beberapa bulan terakhir harga rumput laut memang anjlok total. Khusus rumput laut jenis Spinosum (Sp), dari dulunya seharga Rp 8.000/kg, kini hanya diharga Rp 1.500. Bahkan, sejak Agustus lalu mekanisme penjualan rumput laut juga berubah.
“Dulu pembeli membeli semua seragam. Sekarang mereka pisah yang halus dan kasar,” tambahnya.
Rumput laut yang lebih lembut sebenarnya dihargai masih lebih mahal, yaitu Rp 4000/kg. Tetapi karena perairan di sekitar Pulau Kaledupa yang agak keruh membuat sebagian besar rumput laut yang dihasilkan kasar.
Juwita, warga Desa Ollo Selatan juga merasakannya. Ketika harga rumput laut masih stabil, ia bisa menghasilkan Rp16 juta sekali panen dari ratusan bentangan tali rumput laut. Kini hanya mengantongi Rp3 juta, belum dipotong biaya pembelian bibit dan ongkos tenaga kerja.
“Sekarang penghasilan sedikit sekali, belum lagi kalau rumput lautnya ditolak,” ujarnya.
Ketika harga rumput laut masih tinggi Juwita mengakui menjual langsung ke Bau-Bau agar bisa mendapat selisih harga yang lebih baik. Dengan anjloknya harga, kini ia terpaksa menjual di pengumpul lokal dengan harga rendah.
“Sekarang jual ke Bau-bau ongkosnya justru rugi, karena harus bayar transportasi, upah buruh angkut, di Kaledupa dan di Bau-bau.”
Harga rumput laut yang tinggi dirasakan hingga Maret 2015 lalu, dan kemudian perlahan menurun. Pada bulan Juli lalu harga masih di kisaran Rp 5.000/kg.
Permainan harga
Mereka tidak tahu penyebab turunnya harga, tetapi mencurigai karena permainan pedagang pengumpul di Kota Bau-bau. “Kita kan tidak pernah tahu harga yang sebenarnya. Katanya ini memang dari harga dari Bau-bau,” tambah Juwita.
Masrika, aktivis Forum Kahedupa Toudani (Forkani), mendukung dugaan tersebut. Analisisnya, persoalan dari pedagang pengumpul di Bau-bau. “Selama ini memang tak pernah ada transparansi tentang harga dan terkesan pedagang pengumpul seenaknya menurunkan harga,” katanya.
Dampak turunnya harga ini, mematikan perekonomian masyarakat 16 desa di Kecamatan Kaledupan dan Kaledupan Selatan, Pulau Kaledupa. Apalagi, 8 desa diantaranya bergantung hidup sepenuhnya dari budidaya rumput laut.
“Sekitar 80 persen penduduk Kaledupa menggantungkan hidup dari rumput laut. Kini roda ekonomi di Kaledupa hampir berhenti berputar sejak tiga bulan terakhir. Dengan turunnya harga rumput laut otomatis daya beli masyarakat menurun dan berdampak pada usaha-usaha lain sekitarnya,” kata Masrika.
Jika harga rumput laut tidak segera membaik, dikhawatirkan warga kembali menangkap ikan dengan cara buruk karena tergiur hasil yang lebih cepat dan banyak.
“Tidak menutup kemungkinan aktivitas pengeboman, pembiusan ikan ataupun eksploitasi mangrove besar-besaran, akan kembali marak seperti dulu karena kini tuntutan ekonomi yang semakin besar dan mereka sebelumnya telah terbiasa dengan penghasilan yang besar dari rumput laut, sementara dengan cara pemancingan biasa hasilnya tak seberapa.”
Ini terlihat dengan adanya kasus penebangan ilegal kawasan mangrove di Kaledupa, yang termasuk dalam kawasan konservasi, pada Agustus 2015 lalu. Untungnya, aparat kepolisian segera bertindak, dengan mengamankan pelaku puluhan nelayan dari Suku Bajo.
“Ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat mulai terdesak oleh tuntutan ekonomi maka cara apapun bisa dilakukan meski itu melanggar hukum karena ini adalah menyangkut masalah keberlanjutan hidup,” ungkap Mariska.
Sedangkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Najib Prasyad, mengatakan turunnya harga juga terjadi di daerah sekitar Kaledupa. Ia juga menduga penyebabnya berasal dari permainan harga para pedagang. “Kita tak bisa tangani itu karena memang ada permainan harga,” katanya.
Untuk mengatasinya, pemerintah telah membangun gudang penyimpanan rumput laut, dengan harapan pemerintah akan tetap membeli rumput laut dari petani dengan sistem pembayaran bertahap, yaitu hanya membayar setengah dari harga normal ketika kondisi harga turun drastis. Pembayaran selajutnya baru diberikan ketika harga normal kembali.
Meski telah berdiri, gudang ternyata belum berfungsi. “Ini kan harus disiapkan segala sesuatunya, dari perlu dibangun dulu sistem kerjanya dan sumberdayanya. Dari pusat sendiri belum ada kelanjutannya,” ungkap Najib.
Dinas terus berkomunikasi dengan kementerian terkait tentang masalah ini. “Saya sekarang di Jakarta. Kami selalu sampaikan hal-hal seperti ini di kementerian.”
Menurut Boedi Sardjana Julianto, dari Jaringan Sumber Daya (Jasuda), harga rumput laut untuk jenis Spinosum memang sedang turun drastic, berkisar Rp1500 – Rp2500 per kg, tergantung kualitasnya, yaitu kadar air 36-38%, kotoran ˂ 5% dan umur panen 45 hari. “Kalau harga di pengumpul saja kini hanya Rp3000 dan di Makassar Rp4000,” tambahnya.
Menurutnya, krisis harga rumput laut ini antara lain karena melimpahnya produksi rumput laut dari Indonesia, Filipina dan Tanzania.
“Kalau tahun lalu sempat harga tinggi karena kurangnya produksi dari Filipina dan Tanzania. Kini mereka melimpah. Penyebab lain saya kira tak terlepas dari krisis yang terjadi di Tiongkok,” katanya.
Menurutnya, selama ini ekspor rumput laut kering dari Indonesia sekitar 60 persen ditujukan ke Tiongkok. Sementara dalam tiga bulan terakhir permintaan pembelian rumput laut dari negeri tirai bambu ini tidak begitu aktif.
“Tidak hanya petani, pabrik pengolahan rumput laut pun banyak yang terkena imbasnya karena kurangnya permintaan.”
Mengenai transparasi atau informasi harga rumput laut, harus menjadi menjadi perhatian pemerintah. “Petani memang selama ini tidak memiliki sumber informasi yang jelas akan harga rumput yang berlaku, akibatnya muncul banyak spekulasi-spekulasi permainan harga. Mereka biasa berpikir kalau dolar menguat maka harga rumput laut akan otomatis naik juga. Padahal ada faktor-faktor lain juga yang berpengaruh, seperti kondisi global yang terjadi seperi saat ini,” tambahnya.
Boedi juga tidak yakin realisasi usulan penetapan harga dasar rumput laut, karena selama ini harga mengikuti pasar.
“Ada yang bisa mengatur harga? Penetapan harga rumput laut bisa berlaku kalau industri rumput laut Indonesia kuat dan kita banyak mengkonsumsi rumput laut, seperti halnya pada beras. Apakah pemerintah mau membantu dengan membuat instansi seperti Bulog? Jika harga rumput laut jatuh, membeli semua produksi petani dengan harga dasar?”
Idealnya memang ada penetapan harga dasar rumput laut di tingkat petani, misalnya Rp4-5 ribu per kg untuk jenis Spinosum dan Rp 8-10 ribu untuk jenis Cottoni. Sementara di tingkat eksportir harga maksimal 1 US Dollar untuk Cottoni dan 0,5 US Dollar untuk Spinosum.
“Ini agar petani tertarik melakukan budidaya rumput laut dan pihak pabrik atau industri bisa berkompetisi dengan produsen utama rumput laut dunia seperti Tiongkok dan Filipina.”
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, menilai turunnya harga terdampak krisis di Tiongkok sebagai pembeli utama rumput laut dari Indonesia, sehingga munculnya permainan di pasar. Kran pembelian ditutup, sehingga praktis harganya turun.
“Tiongkok sengaja memainkan hal ini dikarenakan tingginya ongkos produksi,” katanya.
Halim menilai penetapan harga dasar rumput laut tak akan menyelesaikan persoalan. “Itu takkan menyelesaikan persoalan, karena problem mendasarnya adalah tidak tersambungnya hulu ke hilir atau dari pra produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran.”
Pemerintah justru bisa menyusun roadmap jangka panjang hilirisasi budidaya rumput laut, menambah nilai tambah, dan tidak hanya berkutat pada persoalan peningkatan produksi.
“Kita bisa masuk ke pengolahannya tidak lagi semata pada peningkatan hasil produksi rumput laut semata.”
Harga Rumput Laut Anjlok, Perekonomian di Pulau Kaledupa Terancam was first posted on October 26, 2015 at 2:31 am.