Amed di ujung Timur pulau Bali adalah kawasan wisata yang sempurna menikmati mentari.
Jelang matahari terbenam, warga dan turis menyemut di Jemeluk, titik terbuka di atas tebing untuk menikmati laut dan menunggu mentari tergelincir di balik punggung Gunung Agung. Ini adalah gunung berapi tertinggi di Bali.
Jelang pagi sang Surya merangkak di horizon, batas laut dan langit. Menebarkan jingga yang hangat. Beberapa turis mengatupkan tangan, mengucapkan terima kasih. Sinar matahari memang harus disambut suka cita.
Demikian juga bagi petani garam tradisional di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali. Musim kemarau saat ini, bebukitan gersang. Petani tidak memelihara ternak karena sulit mencari rerumputan. Beberapa petani yang masih menjaga lahan garamnya kini bekerja di pinggir laut.
Petani di Amed mampu bersiasat dengan cuaca. Saat musim hujan menjadi peternak, dan musim panas membuat garam. Itu jika masih memiliki lahan. Karena sangat sulit bersiasat soal lahan ini. Fasilitas pariwisata merangsek ke pinggir pantai. Membuat harga tanah melesat tiap tahun.
Sebagian petani sudah menjual lahan garamnya. Sisanya kini kurang dari 100 orang. Mereka setia bekerja di celah antara hotel-hotel, restoran, dan villa. Lahan garam yang membentang begitu indah di pesisir dengan pemandangan tinjungan dan bilah-bilah palungannya kini masa lalu. Para petani kini harus meliuk-liuk dan terjepit.
Sekitar pukul 5 pagi, beberapa petak lahan garam sudah mulai ramai. Mesin penarik air laut dihidupkan. Jika mesin mati, para petani mengambil timba tradisional untuk mengais air laut. Petani perempuan dan laki-laki hilir mudik dari pantai mengangkut air laut. Kaki-kaki telanjang mereka sudah kebal dari bebatuan yang menutupi sebagian pantai.
Sebagian mengurus petak-petak lahan. Membuat tanah sari. Petani garam Amed punya ciri khasnya sendiri. Jika biasanya garam diproduksi di atas tanah atau tambak, di sini dijemur di palungan. Palungan terbuat dari batang kelapa yang dibelah dua. Kemudian dibuat cekungan untuk wadah menjemur.
Namun sebelum air laut disiram ke palungan, ada proses yang lebih rumit dan berbeda lainnya. Inilah yang disebut membuat garam Amed istimewa, lebih kaya mineral dan tak terasa pahit asinnya di mulut. Sudah ada hasil laboratorium yang menganalisis ini karena itu didaftarkan untuk mendapat Sertifikat Indikasi Geografis halnya kopi Kintamani dan mente Kubu di Bali.
Begini prosesnya. Petak-petak lahan dibersihkan dari batu dan sampah plastik. Digenangkan sedikit air laut, ditunggu sampai mengendap. Kemudian hari ke-2, tanah digemburkan dan dibiarkan sehari. Hari berikutnya tanah dipadatkan, dan hari keempat tanah sari ini dimasukkan dalam wadah penyaringan air laut yang disebut tinjungan.
Tinjungan terbuat dari anyaman bambu, dialasi daun lontar dan plastik. Wadah berbentuk prisma ini ditutup tanah sari sampai sepertiga. Diinjak-injak perlahan beberapa jam sampai padat. Setelah itu baru diguyur air laut. Tanah sari sebagai filter alami. Hasil filter dialirkan di bawah tinjungan ke bak penampungan air garam yang dibuat permanen dengan beton. Air laut bening ini yang siap dijemur di palungan untuk menghasilkan bunga dan bulir garam halus selama 4 hari jika terik.
Nyoman Patra Gunawan, salah satu petani yang masih bertahan menjaga lahannya. Ia hanya punya sekitar 2 are. Ini sudah cukup banyak dibanding petani garam lain.
Patra juga terhitung petani muda, kurang dari 40 tahun usianya. “Godaannya besar sekali untuk menjual lahan, sudah diminta Rp 200 juta per are,” pria ini tersenyum. Mengenakan capil dari daun lontar, ia sedang rehat di bawah pohon.
Jika hanya membuat garam, penghasilan tak cukup. Patra memulai harinya dini hari agar mendapat penghasilan tambahan. Mulai dini hari membuat garam sampai tengah hari. Kemudian setelah tengah hari mengurus ternak.
Jika tiap petani bisa mengolah 100 liter air laut hasil filter, maka hasilnya 50 kg garam jika punya cukup palungan untuk menjemur. Jika dibagi per hari, hasilnya sekitar Rp 60 ribu. Ini jika panen habis terjual.
Untungnya, kepastian terjual ini kini didapatkan petani garam Amed. Selama beberapa tahun ini mereka kompak membuat kelompok yang membeli semua panen dengan harga di atas pasar.
Kelompok Petani Garam
Adalah I Nengah Suanda, ketua atau Kelian Dusun Lebah, salah satu banjar di Desa Purwakerthi yang mengambil inisiatif perlindungan petani dan garam Amed yang termasyur di zaman Kerajaan Karangasem ini. Konon, raja kerap minta dibawakan garam Amed sebagai persembahan dari desa ini.
Suanda kini didapuk jadi Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali yang baru terbentuk Februari lalu. Ia berharap sertifikat ini segera turun untuk memantapkan upaya pemasaran, pengemasan, dan lainnya.
Ia berharap walau jumlah petani dan lahan terus berkurang, hasil penjualan makin tinggi. Salah satunya dengan mendafarkan indikasi geografis ini.
Ada lima kelompok yang tersebar di lahan kurang dari 1 km pesisir Amed. “Saya juga heran, kualitas air laut yang bagus itu panjangnya 750 meter di sini,” kata Suanda.
Petani diwajibkan menjual panen ke kelompok untuk proteksi harga dan persediaan. Garam dibeli Rp5000 per kg. Oleh kelompok, dijual dalam partai kecil ke restoran di sekitar mereka dengan merk Garam Amed.
Suanda dan rekannya baru belajar membuat kemasan plastik dan membuat partai-partai kecil ukuran 100-500 gram. Untuk distributor besar, garam yang belum dikemas dihargai Rp20 ribu per kg.
Produksi garam Amed terbatas terkait penyempitan lahan. Hanya sekitar 20 ton per tahun. Karena itu, kelompok petani ingin memaksimalkan harga jual untuk memastikan garam Amed masih ada di masa depan.
Pengetahuan soal indikasi geografis dan pengujian kualitas garam ini didapatkan ketika 2011 ada orang Prancis dan mahasiswa Indonesia yang mendatanginya untuk mendiskusikan soal garam.
“Mereka menyarankan harus buat kelompok untuk perlindungan dan mencegah makin banyak lahan dijual,” urai Suanda. Setelah itu, kelompok minta bantuan mesin genset untuk menarik air. Pada 2012, ada sekelompok orang dari lembaga semacam HAKI Swiss berkunjung dan meminta petani mendaftarkan paten indikasi geografis ini.
Sampai akhirnya warga terdiri dari kepala desa, petani, dan kelompok garam diundang ke Prancis untuk studi banding dan melihat produksi garam rakyat di sana. “Di Nantes, Perancis, tambaknya jauh dari laut. Mereka menangkap air laut saat pasang lalu dialirkan lewat tanggul ke tambak. Lahannya luas-luas hektaran,” kisah Suanda.
Ia lalu belajar mengenai rasa dan bau garam. Ia kaget garam ternyata beda-beda rasanya. “Mereka lebih tahu bau garam Amed yang seperti es krim,” Suanda tertawa.
Wisatawan Prancis memang terlihat mendominasi di kawasan Amed. Mereka menyukai pedesaan yang dekat laut dan gunung selain panorama bawah laut Amed yang terkenal.
Suanda bergabung kini juga dipilih sebagai ketua tim pewarta Amed. Ia belajar membuat blog berjudul garamamed.wordpress.com untuk memperkenalkan potensi daerahnya. Juga membuat poster kampanye untuk menarik perhatian orang melindungi petani garam. Salah satunya mengajukan zona perlindungan petani garam tradisional ini dalam kawasan konservasi Karangasem.
Selain lahan, alat-alat tradisional dalam produksi garam Amed juga harus dilestarikan. Misalnya menyiapkan palungan-palungan baru bagi petani. Sebagian besar palungan berusia hampir 40 tahun dan sudah hampir rusak.
Inilah Garam Es Krim Dari Amed Bali was first posted on October 18, 2015 at 9:08 am.