Tantangan berat masih dirasakan sektor perikanan budidaya dalam mengembangkan rumput laut sebagai komoditas utama di Indonesia. Tantangan itu di antaranya adalah masih minimnya diversifikasi produk, persyaratan pasar global, persaingan antar produsen, zonasi dan infrastruktur, dan minimnya investasi berbasis rumput laut. Pengakuan itu diungkapkan Direktur Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto di Jakarta pekan ini. Menurut dia, walau Indonesia saat ini menjadi negara net eksportir nomor satu dunia untuk komoditas rumput laut, tetapi pada kenyataannya 80 persen ekspor masih didominasi oleh produk bahan baku kering (raw material). “Untuk jenis Eucheuma Cottoni dan Gracilaria kita jadi nomor satu. Tapi kita masih didominasi oleh bahan baku kering, artinya nilai tambah ekonomi yang dirasakan masih minim,” ungkapnya. baca : KKP: 2020, Tak Ada Lagi Ekspor Mentah Rumput Laut Seorang pembudidaya rumput laut sedang memanen hasil rumput laut dari pesisir laut Sumba Timur, NTT, pada pekan lalu. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP Untuk mengatasi persoalan tersebut, Slamet mengaku sudah menyiapkan langkah dan strategi melalui pembangunan industrialisasi rumput laut nasional. Cara tersebut, diharapkan bisa memberikan nilai tambah ekonomi lebih tinggi dari sebelumnya. Menurut Slamet, melalui industrialisasi nasional, pihaknya akan melakukan upaya untuk menggenjot produksi yang berkualitas di hulu. Salah satu yang dilakukan, adalah melalui pengembangan kawasan budidaya rumput laut berbasis klaster, pengembangan kebun bibit rumput laut hasil kultur jaringan, dan pengembangan sistem kebun bibit rumput laut yang memenuhi estetika. “Dan (juga) kaidah ramah lingkungan serta telah digunakan secara luas oleh pembudidaya,” tambahnya. Bibit rumput laut hasil kultur jaringan memiliki performa yang…
↧