Udara dingin dan kabut putih mulai turun di kaki Bukit Suroloyo, Wonolelo, Desa Kenalan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Sabtu (02/05/2015). Terlihat aktivitas belajar mengajar di Sekolah Dasar Kanisius Kenalan.
Di sekolah yang terlihat asri dengan berbagai tanaman seperti terong, gambas, cabe, pisang dan singkong, FX Fri Harna bersama beberapa siswa Sekolah Dasar Kanisius Kenalan bersiap belajar membuat pupuk organik.
“Ini pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terintegrasi dengan Matematika Agraria dan Bahasa Agraria. Tujuannya mengenalkan mereka tentang lingkungan tidak hanya dalam teori di buku tapi praktiknya secara nyata,” kata Fri.
Pelajaran IPA didapat dengan mempelajari nama tetumbuhan untuk membuat pupuk, belajar fermentasi dan proses kimianya. Dengan menghitung takaran pembuatan pupuk, jumlah botol kemasan penampung pupuk cair, hitungan modal dan keuntungan penjualan, siswa belajar matematika.
Satu jerigen berkapasitas 20 liter berisi larutan pupuk organik siap dikemas. Murid-murid mengambil peran masing-masing. Ada yang menyaring endapan pupuk, menuangkannya dan memasukkannya ke dalam botol kemasan.
“Botol didapatkan dari hasil memungut sampah di jalan. Sembari berangkat sekolah beberapa murid dan guru memungut sampah dan memilahnya setelah sampai di sekolah,” kata Fri.
Bau rempah-rempah seperti jahe, kencur dan kunyit begitu terasa dari pupuk cair yang diproses selama tiga minggu. Pupuk cair yang diberi nama “Ji Thul” yang berasal dari kelompok anak tani “Wiji Thukul” SD Kenalan, terbuat dari bahan alam yang dirancang untuk mencukupi nutrisi tumbuhan secara berimbang dan ramah lingkungan. Setiap dua tutup botol air mineral dicampur dengan 10 liter air.
“Untuk sayuran dan tanaman hias seminggu sekali 0,10 liter tanaman. Untuk tanaman holtikultura seminggu sekali 0,25 liter dan untuk yang sudah berbuah 1 liter per minggu,” ujar Fri.
Dia bercerita, ide membuat pupuk organik dimulai tahun 2012. Berawal dari membaca buku tentang agraria dan pertanahan. Fri Harna dan guru-guru lainnya di SD Kenalan merasa perlu bertindak konkrit untuk menyelaraskan antara pendidikan dengan lingkungan sekitar. Selain karena kondisi orang tua murid yang mayoritas petani dan letak geografis sekolah di lereng bukit yang rentan bencana longsor.
“Pupuk kimia akan memberikan dampak rusaknya kualitas tanah. Selain itu, mahalnya pupuk organik di pasaran menjadi tantangan untuk menunjukkan bahwa organik itu murah dan baik untuk lingkungan,” kata Fri Harna.
Mereka berharap dengan belajar pembuatan pupuk organik dan menjualnya ke pasar tradisional, mengajarkan murid untuk merencanakan hidup dan mengatur kebutuhan hidup. Dengan menjual pupuk ke orang tua dan orang lain di pasar, murid berinteraksi langsung yakni tawar-menawar.
Integrasi Pelajaran
SD Kanisius Kenalan berusaha menghindari konsep pembelajaran teoritis yang semu dengan mengaitkan pembelajaran langsung dengan lingkungan. Praktik menjadi keseharian murid dalam belajar.
“Di sekolah ini konsepnya adalah sekolah lingkungan, dan harapannya lingkungan terus lestari,” kata Fri.
Tidak hanya pupuk organik, murid juga belajar membuat kompos. Sampah hasil bebersih di sekolah dan sekitar rumah, dipilah oleh murid. Sampah organik dibuat kompos, dan sampah plastik dibuat kerajinan tangan dan dekorasi oleh murid.
Botol, kaleng, panci dan lainnya digunakan untuk alat musik. “Blekotek” nama kelompok musiknya. Semua alat musiknya dari barang bekas dan lagu-lagu yang dibawakan selalu mengusung tema lingkungan. Lirik dan aransemen lagu dibuat murid sendiri dengan arahan guru. “Lagu-lagunya lebih banyak tentang air, binatang dan alam,” kata Fri.
Y.O Maryono atau akrab disapa Pak Guru Simus mengatakan sabawana menjadi aktivitas rutin murid. Saba berarti berjalan-jalan sambil belajar dan wana berarti hutan. Kegiatan ini bertujuan agar murid melihat langsung kondisi hutan, satwa yang ada di hutan, mengenal tumbuhannya dan tentu pesan lingkungan diajarkan kepada siswa. Menurut Simus, pembelajaran lingkungan menyatu dengan alam akan mendekatkan anak agar lebih peduli, memperhatikan, meneliti, mengamati, cermat melihat, tepat mencatat dan mendengarkan dengan rasa.
“Tahun 2014 Sabawana di Bukit Gajah Mungkur dan 2015 di Bukit Gempal,” kata Simus.
Bukit Gempal dipilih karena disana ada banyak kera (Macaca fascicularis) yang dianggap warga sekitar bukit sebagai musuh dan hama. Padahal persoalannya adalah karena tumbuhan pakan kera di atas banyak yang habis. Sehingga direncanakan kegiatan bersama masyarakat sekitar dan pemerintah untuk menanam tanaman pakan kera di atas bukit agar kera tidak lagi merusak tanaman warga sekitar.
“Selain berkurangnya tanaman pakan monyet, dampak karena semakin hilangnya predator juga menjadi soal,” katanya.
Selain Sabawana ada juga kegiatan tilik belik yakni melihat dan mengamati mata air. Ada banyak mata air di sekitar sekolah. Pada awalnya warga sekitar bukit Suroloyo tidak tahu jika air dan sumber air harus dijaga. Kegiatan ini dilakukan dua kali dalam setahun, yakni disaat musim kemarau dan musim hujan. Adapun tujuannya agar murid bisa membandingkan kondisi air diantara kedua musim tersebut. Siswa akan mencatat, melihat langsung, membersihkan di area sekitar mata air dan mendoakan agar mata air terus baik dan lestari.
“Di lapangan murid diajarkan bagaimana bumi harus lestari, sehat dan berhemat energi dan air,” tambah Fx. Fri Harna.
Di Desa Wonolelo ada 3 mata air besar yang digunakan warganya. Di Dusun Sawit ada 2 sungai besar dan 8 sumber mata air. Dusun Gempal ada 5 mata air. Selain mendata jumlah mata air, murid juga diajarkan menghitung berapa keperluan air setiap orang tiap hari, berapa jika harus beli dan bagaimana menjaganya agar terus lestari.
Aktivitas Remen Peken
Setiap Sabtu Legi, murid SD Kenalan akan melakukn “remen peken” yaitu beraktivitas di pasar tradisional untuk mencintai pasar tradisional. Sebagai pelaksanaan pembelajaran lingkungan tema pasar, kegiatan dilakukan dengan berbagai pendekatan, mulai dengan bermain musik blekothek dan menjual produk seperti hasta karya murid dan pupuk organik. Murid akan wawancara langsung dengan para penjual atau pedagang.
“Pasar tradisional sebagai ruang belajar, sosial dan ekonomi semakin surut. Mengenalkan kepada anak sebagai bentuk kecintaan dan mengangkat pasar sebagai ruang eduksi menarik,” kata Fri Harna.
SD Kenalan mempunyai konsep Balai Tani Anak Menoreh yaitu bangunan untuk pembuatan kompos dan kandang kambing.
Fri Harna melihat kelestarian bumi dan konsep belajar dekat dengan lingkungan adalah harga mati. Sekolah agar menjadi tempat belajar sekaligus memecahkan persoalan masyarakat sekitar yang berprofesi petani dan menjaga lingkungan.
“Apa yang kami lakukan ini belum sempurna dan dan memerlukan perbaikan. Harapannya dari waktu kewaktunya bisa menjawab persoalan yang ada dan saling berbagi untuk manusia, alam dan bumi ini,” tutup Fri.
SD Ini Menebarkan Cinta Lingkungan Kepada Muridnya was first posted on May 6, 2015 at 6:13 am.