Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan stok ikan saat ini mencapai 7,305 juta ton yang tersebar di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Jumlah tersebut berasal dari hasil kajian perikanan yang dilakukan pada tahun 2013 dan dilakukan melalui beberapa metode penelitian.
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan KKP Achmad Poernomo menjelaskan, stok ikan yang sudah terdata sejak 2013 merupakan jumlah terbaik sejak riset stok ikan dilakukan pertama kali oleh Balitbang KP.
“Kita sudah melakukan kajian sejak lama. Namun baru (tahun) 2013 stok ikan mengalami peningkatan. Ini menunjukkan bahwa potensi kelautan di Indonesia masih cukup bagus,” ujar Achmad di Jakarta, Kamis (23/04/2015).
Namun, walau sudah dilakukan kajian sejak 2013, stok ikan paling mutakhir itu hingga kini masih belum menjadi data resmi Indonesia. Pasalnya, hingga sekarang data tersebut belum disahkan melaui peraturan menteri (Permen).
Oleh karenanya, Achmad berharap tahun ini Menteri KKP Susi Pudjiastuti bisa mengeluarkan permen untuk mensahkan data 2013 sebagai data resmi nasional.
Sebelum ada data 2013, KKP sudah memiliki data yang berasal dari hasil kajian stok ikan antara 1997 hingga 2011. Rinciannya, pada 1997, kajian meyimpulkan stok ikan nasional mencapai 6,190 juta ton; 1999 mencapai 6,4 juta ton; 2001 mencapai 6,409 juta ton; 2011 mencapai 6,502 juta ton.
“Sementara pada 2005 dilakukan kajian di 9 WPP terhadap 4 kelompok komoditas, yaitu pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan udang. Kemudian pada 2008 dilakukan kaji ulang kuantitatif dengan metode surplus produksi,” ungkapnya.
Tentang jumlah stok ikan yang lebih banyak pada hasil kajian 2013, Achmad menerangkan bahwa itu bisa didapat karena metode kajian yang digunakan lebih lengkap. Kata dia, pada 2013, kajian stok dilakukan dengan menggunakan kualitas data lebih baik dan melakukan kajian yang lebih detil terhadap kelompok ikan.
Walau data 2013 belum disahkan dan belum menjadi data resmi nasional, Achmad memastikan data tersebut akan diperbarui tahun ini setelah timnya melakukan kajian stok ikan di seluruh Indonesia. Untuk tahun ini, kajian akan menggunakan metode analitik dan holistik, yakni mencakup metode sapuan, akustik dan statistik perikanan.
“Tahun ini kami pastikan datanya lebih baik dan kemungkinan besar lebih banyak lagi. Dengan metode kajian yang komprehensif, ditambah dengan dukungan armada kapal yang berjumlah 5 unit, kajian tahun ini menjadi puncak penelitian perikanan selama ini,” ungkap Achmad.
Kapal yang akan digunakan mencakup kapal milik KKP, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Southeast Asia Fishery Development Center (SEAFDEC) dan didukung oleh ilmuwan dari Balitbang KP, Institut Pertanian Bogor, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Pattimura Maluku, Universitas Sumatera Utara Medan dan LIPI.
“Anggaran untuk Balitbang KP tahun ini juga besar mencapai Rp44,4 miliar. Sehingga, dana untuk kajian juga mengalami peningkatan. Ini akan membantu tim di lapangan untuk bekerja lebih baik lagi dan tahun ini untuk pertama kali dilakukan di 219 enumerator,” tandas dia.
Wilayah Tangkapan Semakin Berkurang
Meski dari segi jumlah stok ikan mengalami peningkatan, namun Balitbang KP memastikan wilayah tangkap setiap tahunnya terus mengalami penyusutan. Dengan demikian, wilayah tersebut dinyatakan tidak boleh lagi dieksplorasi.
“Kawasan yang sudah tidak boleh diambil ikannya lagi, adalah kawasan yang dikategorikan sebagai kawasan merah. Kawasan seperti ini tidak tergantung pada lokasi dan lebih tergantung pada kelompok ikannya,” ujar Kepala Balai Penelitian Perikanan Laut Balitbang KP KKP Prof Dr Ali Suman.
Menurut Ali, kawasan merah saat ini berada di sejumlah titik di perairan Indonesia. Lokasinya sangat bergantung pada populasi ikan yang ada. Dengan demikian, kawasan merah bisa saja berpindah lokasi dari waktu ke waktu.
“Karenanya, walau di gambar yang menjadi area merah ada di laut Samudra Hindia lepas Pulau Jawa, namun itu tidak berarti disana semuanya merah. Karena sekali lagi, kawasan merah yang sebenarnya itu tergantung pada populasi ikan,” tutur dia.
Selain kawasan merah, ada juga kawasan hijau dan kuning yang berarti masih bisa dieksplorasi dan harus mulai berhati-hati. Untuk kawasan kuning, ini memang peringatan karena artinya ikannya mulai menyusut jumlahnya.
Untuk ikan yang mengalami penyusutan, kata Ali, adalah ikan pelagis yang biasa bergerombol di permukaan air hingga ke kedalaman sekitar 200 meter. Selain itu, udang juga menjadi ikan yang paling cepat penyusutannya dalam beberapa tahun ini. Penyebabnya, karena udang hidup di laut cukup dalam dan menetap.
“Karena menetap, udang tidak bisa bertahan saat menghadapi tekanan. Mereka tidak akan berpindah tempat. Karenanya, udang penyusutannya termasuk cepat,” tandas dia.
250 Hari Kajian Stok Ikan
Sementara itu menurut Sekretaris Komnas Pengkajian Stok Ikan Prof Dr Wudianto, untuk tahun ini kajian yang dilakukan termasuk lengkap karena didukung biaya yang memadai dari Pemerintah. Namun, berbeda dengan negara kelautan besar di Eropa seperti Norwegia dan Islandia, kajian ikan yang ada di Indonesia sifatnya lebih lengkap dan menyeluruh.
“Karena di Indonesia itu wilayah tropis, maka ikannya banyak. Sementara di Eropa itu sub tropis, maka jumlah ikannya paling banyak ada 10 jenis saja,” tutur dia.
Di tempat terpisah, Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Alan Koropitan mengatakan sesuai dengan amanat UU No. 31/2004 tentang Perikanan, dan UU No 45/2009 tentang Perubahan atas UU No 32/2004, KKP bertugas untuk menetapkan potensi dan alokasi sumber daya ikan di WPP Indonesia.
“Apa yang dilakukan oleh KKP untuk survey hitung stok ikan sudah tepat. Bahwa sesuai mandat UU Perikanan, maka setiap 2 tahun kegiatan update stok ikan harus dilakukan oleh Menteri KP,” kata Alan kepada Mongabay.
Namun, dia mengatakan ada komponen lain yang juga penting, yaitu data pendaratan ikan di pelabuhan. “Ini harus benar dilakukan, berapa sebetulnya data hasil tangkapan di seluruh WPP? Data pendaratan ikan berupa pencatatan di seluruh TPI (tempat pelelangan ikan), pelabuhan Samudra serta pendaratan tradisional,” kata Pengamat Isu Kemaritiman Thamrin School of Climate Change and Sustainability.
Kemudian, kapal-kapal berbobot diatas 30 GT (gross tonnage) perlu melaporkan log book perikanan yang benar. “Ini perlu dicocokkan dengan data pendaratan ikan dan hasil survey 5 kapal riset tersebut. Dengan demikian, stok ikan bisa akurat serta penentuan overfishing dan total allowable catch per WPP bisa tepat sasaran,” tambahnya.
Hasil Kajian KKP, Stok Ikan Nasional Tinggal 7,305 Juta Ton was first posted on April 24, 2015 at 2:00 am.