Edi Saritonga mengirim pesan pendek kepada Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Kamis (05/03/2015), pada pukul 08.44, dengan isi “Saya Ketua LPHD (lembaga pengelolaan hutan desa) Desa Segamai. Tolong desak Plt Gubernur Riau menerbitkan SK HPHD Desa Segamai dan Serapung karena semua proses telah kami lewati dan batas waktunya berakhir tanggal 8 Maret 2015. Kalau lah Plt Gubernur tidak mau menandatangani SK tersebut, sia-sialah perjuangan kami untuk mempertahankan hutan di Semenanjung Kampar.”
Dua jam kemudian, Siti Nurbaya membalas pesan Edy .”Saat ini sedang berproses. Tadi pagi saya sudah telepon Gubernur dan sekarang sedang ditangani Gubernur. Draft SK-nya sudah siap. Ajudan saya terus memantaunya.”
Balasan tersebut diterima Edi saat di kantin kantor gubernur, usai bertemu dengan salah seorang staf Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Propinsi Riau. “Menurut BP2T draft SK-nya sudah dibuat, kini ada di asisten II Gubernur Riau,” kata Herbert dari Yayasan Mitra Insani (YMI) yang menemani Edi Saritonga dan Junari saati itu.
Herbert mengatakan, pagi itu juga, Plt Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman mengumpulkan SKPD terkait penerbitan Hak Pengolalan Hutan Desa (HPHD).
Sehari sebelumnya, Edi Saritonga bersama YMI dan Jikalahari menggelar konferensi pers di Jalan KH Ahmad Dahlan, Pekanbaru. Edi bercerita bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan Hutan Desa (HD) sejak 2010.
Saat itu Kepala Desa Segamai mengajukan usulan HD seluas 7.532 hektar dan Kepala Desa Serapung seluas 2.317 hektar kepada Bupati Pelalawan, Riau. Menurut Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, areal HD yang diajukan tersebut adalah Hutan Produksi yang pernah diajukan oleh PT Surya Alam Perkasa untuk tanaman industri, namun ditolak oleh Kemenhut karena kondisi lahan bergambut dalam.
Areal itu juga bagian dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Tasik Serkap seluas 513.276 ha yang ditelah ditetapkan oleh Menhut sejak 21 September 2010.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada prinsipnya menyetujui permohonan Desa Serapung dan Desa Segamai dengan pertimbangan kegiatan HD utamanya usaha restorasi ekosistem, perdagangan karbon, jasa lingkungan atau pemungutan hasil hutan bukan kayu tanpa penebangan hutan alam yang ada.
Lantas pada 16 Juni 2011 Menhut menerbitkan pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, salah satunya Propinsi Riau diberi alokasi pencadangan HD/Hkm (hutan kemasyarakatan) seluas 12.360 ha.
Hasil verifikasi Kemenhut pada 2012 ternyata mengurangi luasan HD menjadi 2.270 ha untuk Desa Segamai dan 2.317 ha untuk Desa Serapung. Dan pemberian status HPHD Segamai dan Serapung dibatasi hanya untuk pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemungutan hasil hutan kayu.
Lantas pada 8 Maret 2013 Menhut Zulkifi Hasan menerbitkan Keputusan Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Desa untuk Desa Segamai seluas 2.270 ha di Kecamatan Teluk Meranti dan Desa Serapung seluas 1.956 ha di Kecamatan Kuala Kampar.
Isi keputusan Menhut tersebut, dua diantaranya, yaitu PAK HD digunakan sebagai dasar pemberian HPHD oleh Gubernur Riau kepada lembaga desa dan bila dalam jangka dua tahun sejak keputusan Menhut ditetapkan tidak ada penerbitan HPHD dari Gubernur, maka keputusan batal dengan sendirinya.
Pada 22 Oktober 2013 Bupati Pelalawan HM Harris menerbitkan status HPHD, kemudian meneruskan kepada Gubernur Riau Annas Mamun (sekarang Gubernur Riau non aktif) yang ditindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Gubernur No 18 tahun 2014 tentang pedoman verifikasi permohonan HPHD pada 11 April 2014.
Gubernur baru membentuk tim verifikasi pada 12 Agustus 2014. Tim verifikasi pada September 2014 telah menyelesaikan tugasnya dan menyatakan permohonan HPHD telah memenuhi persyaratan administrasi. Sejak saat itu, Herbert yang diberi kepercayaan masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung untuk mengurus HPHD ke kantor BP2T dan kantor gubernur.
Tiga hari jelang masa akhir PAK tanggal 8 Maret 2015, inilah yang membuat Edi Saritonga, Ketua LPHD Desa Segamai khawatir. “Sia-sia perjuangan kami selama lima tahun menyelamatkan hutan untuk dikelola masyarakat desa, hanya gara-gara Gubernur tidak menerbitkan HPHD,” kata Edi.
“Meski belum dapat HPHD dari gubernur, masyarakat Desa Segamai sudah melakukan ragam aktivitas, seperti reboisasi dengan menanam pohon jelutung di areal yang tak berhutan, bloking kanal, menanam karet, bahkan monitoring hutan untuk memastikan tak ada warga yang menebang hutan alam dan tidak ada yang membakar lahan di dalam areal HD. “Kami tidak akan rusak hutan. Ini hutan alam yang tersisa milik kami. Bahkan rumah warga sekarang sudah mulai memakai bahan dari pohon kelapa, tidak lagi dari kayu alam,” katanya. Edi juga mengatakan di tengah HD Segamai dan Serapung ada tasik yang masih bagus di kelilingi pepohonan berhutan haa. “Di dalam tasik tersebut ada ikan arowana. Saya sudah penah ke sana.”
“Sejak kami berkomitmen menyelamatkan hutan, kami tak izinkan warga Segamai merambah hutan yang dulu adalah mata pencaharian mereka. Namun, jika HPHD belum diterbitkan gubernur, jangan salahkan kami, warga kembali menebang hutan alam,” lanjutnya.
Namun, hingga jatuh tempo tanggal 8 Maret 2015, gubernur belum menerbitkan SK HPHD. Herbert yang terus mengikuti perkembangan SK HPHD menceritakan pada Jum’at 6 Maret 2015, menemani staff Dinas Kehutanan Provinsi Riau untuk mempercepat proses di kantor gubernur.
Ternyata surat keputusan HPHD dan lampiran peta belum di paraf oleh Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Zaini Ismail,. “Untuk mendapatkan paraf Sekda kami ke rumah Sekda dan bersedia paraf. Langsung kami antarkan dokumen tersebut ke Plt Gubernur Riau di kediamannya yang diterima oleh ajudan. Lepas itu hingga sore kami tidak bisa lacak lagi,” kata Herbert.
Herbert kemudian menelepon asisten Plt Gubernur. Asisten itu mengatakan secara prinsip sudah ditanda tangani Gubernur. “Saya kejar menanyakan lagi apakah SK tersebut sudah di tanda tangani? Saya butuh satu kalimat untuk menenangkan masyarakat dan apa yang harus saya sampaikan kepada masyarakat karena masyarakat butuh bahasa yang sederhana. Beliau menyarankan untuk disampaikan kepada masyarakat SK sudah di tandatangani,” katanya.
Tiba-tiba pada Minggu (08/13/2015), siang itu Plt Gubernur Arsyadjuliandi Rachman mengadakan rapat mendadak. Ia mengundang Sekda, Asisten II, Kepala BAPPEDA, Kepala Biro Hukum, Dinas Kehutanan, BPDAS Indragiri Rokan serta pelaksana teknisnya, dan pihak terkait.
Dalam pembicaraan Plt. Gubernur Riau masih ragu untuk memberikan tanda tangan dengan pertimbangan, karena berdasar PP No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang, bahwa Rencana Tata Ruang dan Wilayah Propinsi (RTRWP) Riau belum disahkan.
“Catatan saya terkait hal ini adalah gangguan psikologis dari kasus Gubernur Riau (Anas Mamun) yang saat ini ditangani KPK terkait kasus suap perubahan fungsi kawasan Hutan. Sehingga mereka selalu mengaitkan peristiwa itu dengan SK HPHD. Argumen ini selalu keluar dari Kepala BAPPEDA dan Asisten pribadi Plt. Gubernur Riau,” kata Herbert.
Alasan kedua dari Plt Gubernur adalah areal hutan desa masuk ke dalam wilayah Penundaan Pemberian Izin Baru (PPIB) pengelolaan kawasan hutan. “Catatan saya terkait hal ini adalah argumen baru yang muncul, karena sebelumnya saya tidak pernah dengar alasan ini dari mereka. SK PAK Hutan Desa dikeluarkan oleh Menhut 2013 lalu memang pada saat PPIB sudah berjalan, karenanya dalam SK tersebut pemanfaatannya untuk kegiatan restorasi lingkungan.”
Lantas muncul solusi memperpanjang SK PAK dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga RTRWP Riau disahkan. Ini yang membuat Herbert khawatir, sebab tidak ada kejelasan waktu pengesahan RTRWP Riau “Ini akan membuat warga semakin resah,” katanya.
“IUPHHD (izin usaha pemanfaatan hasil hutan desa) masih ditangguhkan sampai RTRW Riau keluar. Perpanjangan pencadangan sudah kita usulkan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Irwan Effendi, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau via pesan pendek kepada Mongabay Indonesia.
Warga : Gubernur Jangan Salahkan Kami Jika Warga Kembali Menebang Hutan Alam was first posted on March 14, 2015 at 5:28 am.