Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) untuk empat propinsi di Sumatera bagian utara yaitu di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar) dan Riau.
Kegiatan yang dilakukan di Kantor Gubernur Sumut, Kota Medan pada minggu kemarin ini diikuti oleh gubernur, bupati/walikota beserta satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lainnya yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di propinsi itu.
Karena kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, Sumbar menjadi propinsi yang paling banyak mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) di Sumatera. Dari data Ditjen Minerba Kementerian ESDM tercatat sebanyak 281 izin dikeluarkan yang terdiri dari 140 IUP logam, 69 IUP non logam, 71 IUP Batubara, dan hanya sebanyak 136 izin yang berstatus clear and clean (CNC).
Ada 124 IUP mineral dan 21 IUP batubara yang tidak berstatus, yang bermasalah secara administrasi maupun wilayah (tumpang tindih). Dari 281 izin yang dikeluarkan, hanya 27 IUP yang memiliki data mengenai jaminan reklamasi.
Sebanyak 12 izin pertambangan terindikasi dalam kawasan hutan konservasi dengan total luas lahan 190,16 hektar dan sebanyak 69 izin pertambangan dalam kawasan hutan lindung dengan total luas lahan 97,315,06 hektar.
Sedangkan data Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan mencatat penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sebanyak 2 unit IPPKH (izin pinjam pakai kawasan hutan)-eksplorasi seluas 4.710,64 hektar. 2 unit telah diberikan persetujuan prinsip seluas 194,69 hektar, 7 unit IPPKH-operasi produksi seluas 1.685,79 hektar.
Wilayah kelola untuk sumber penghidupan bagi masyarakat di Sumbar sangatlah kecil jika dibandingkan dengan besarnya akses dan wilayah kelola yang dikuasai oleh pemerintahan dan diberikan kepada perusahaan. Dari 4.229.730 hektar luas wilayah Sumbar, seluas 2.382.058 hektar merupakan kawasan hutan dan seluas 192.745 hektar sudah diserahkan kepada perusahaan dalam bentuk IUPHHK Alam.
Pada 2002, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbar mencatat ada 43 perusahaan di sektor perkebunan yang memiliki hak guna usaha (HGU) dengan luas konsesi ± 242.827 hektar. Sedangkan data Dinas ESDM Sumbar tahun 2009 terdapat 263 perusahaan yang sudah mendapatkan izin pertambangan yang tersebar pada 14 kabupaten/kota dengan areal izin usaha pertambangan seluas 349.667 hektar, baik untuk kegiatan penyelidikan umum/eksplorasi ataupun kegiatan operasi produksi.
Selain tidak berkontribusi terhadap perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, banyak izin keruk dan pemanfaatan sumberdaya alam di Sumbar justru semakin menurunkan daya dukung lingkungan yang berakibat terhadap meningkatnya intensitas bencana ekologis seperti banjir, banjir bandang dan longsor.
Pada pertemuan kegiatan monitoring dan evaluasi korsup minerba di Medan, Kepala Dinas ESDM Sumbar, Marzuki Mahdi, menjelaskan Gubernur Sumbar telah menyurati bupati/walikota untuk segera melaksanakan penataan IUP dan mendaftarkan IUP ke Kementerian ESDM untuk mendapatkan sertifikat CNC, merekonsiliasi IUP, menagih tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), mengalihkan domisili NPWP IUP, memproses IUP yang belum CnC menjadi CNC, mengeluarkan IUP yang masuk kedalam hutan konservasi, mendorong proses pinjam pakai kawasan hutan sebelum IUP beroperasi, dan menyelesaikan masalah tumpang tindih IUP.
Marzuki menambahkan hasilnya kini di Sumbar sebanyak 105 IUP sudah berstatus CNC, sebanyak 71 IUP belum CNC, dan 100 IUP Non CNC. Progres penataan tumpang tindih IUP dengan kawasan hutan telah dilakukan yaitu seluas 8.970,21 hektar kawasan hutan telah diajukan pengurusan izin pinjam pakai kawasannya. Sementara itu pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan minerba yang telah direkapitulasi dalam bentuk PNBP tahun 2014 mencapai Rp22,5 triliun. Dan untuk penataan jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang teridentifikasi sekitar Rp5,5 triliun.
Tetapi masih ada permasalahan yaitu tidak tersedianya dokumen yang lengkap pada pelaku usaha (pemegang IUP), sebagai besar pemegang IUP di kabupaten/kota tidak mempunyai alamat yang tetap, pelaku usaha belum sepenuhnya memberikan laporan produksi kepada pemerintah, dan belum ada pelaku usaha yang membangun smelter di daerah.
Pada pertemuan tersebut, Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki mengatakan bangsa ini kurang cerdas dalam pengelolaan sumbedaya alam karena dipandang tidak mampu memanfaatkan anugerah kekayaan alam untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketika KPK melakukan pemantauan, banyak pihak akhirnya berkasus ke pengadilan dan masuk penjara.
“KPK hadir dalam elemen bangsa bukan sebagai ‘monster’ yang menakut-nakuti, namun ikut serta untuk memperbaiki bangsa itu, untuk sebesar-besarnya mewujudkan kemakmuran rakyat. Untuk itu sejak dua tahun yang lalu, KPK muncul dalam sisi yang soft dalam sisi pencegahan tentang pidana korupsi. KPK bergerak masuk untuk melakukan analisa dan evaluasi serta mempelajari sebuah sistem yang ada di pemerintahan ini lalu memperbaiki sistem itu disana-sini dan efeknya luar biasa,” katanya.
Ditempat terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat, Uslaini kepada Mongabay mengatakan pihaknya akan membawa permasalahan pertambangan, kehutanan dan perkebunan di Sumbar ke KPK, sebab ada indikasi kerugian negara atas kegiatan-kegiatan tersebut. Kerugian terebut dapat dilihat dari minimnya kesadaran dari perusahaan-perusahaan tersebut untuk membayar segala bentuk kewajiban-kewajibannya terhadap negara.
Melalui Koalisi Anti Mafia Tambang, telah disampaikan persoalan tambang dalam rapat konsolidasi korsup KPK terkait Tambang Minerba di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Kini, pihaknya tengah melakukan riset di sektor pertambangan Batubara kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat menyangkut kerusakan lingkungan yang ditimbulkan serta keterlibatan masyarakat dalam pemberian izin.
Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam
Kegiatan korsup ini berawal dari banyaknya pengaduan tentang korupsi kehutanan yang masuk ke KPK. Setelah dilakukan kajian pada 2010, ditemukan hampir 90% kawasan hutan di Indonesia diragukan keabsahannya karena belum dikukuhkan.
Oleh karena itu, pada tanggal 11 Maret 2013, dilaksanakanlah penandatanganan nota kesepakatan bersama 12 kementerian dan lembaga negara tentang percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia. Dalam nota kesepakatan bersama tersebut, masing-masing kementerian memiliki rencana aksi mengenai harmonisasi regulasi dan kebijakan, penyelarasan teknis dan prosedur serta resolusi konflik, dan sebagian rencana aksi kementerian ESDM yang fokus mengenai izin usaha pertambangan (IUP) disebut korsup minerba.
Kegiatan Korsup Minerba pada periode tahun pertama (awal 2014) difokuskan di 12 propinsi pemilik IUP terbanyak (mencangkup 70 persen IUP se-Indonesia) yang berlokasi di Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumsel, Jambi, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim (mencangkup Kaltara), Sulsel, Sulteng, Sultreng dan Maluku Utara.
Kegiatan tersebut melibatkan instansi pemerintah pusat yang terkait, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Hasilnya antara lain dicabutnya izin-izin yang tidak memenuhi ketentuan regulasi, dibayarkannya kewajiban keuangan yang selama ini diabaikan oleh pelaku usaha, penegakan aturan, dan pengetatan pengawasan dengan melibatkan berbagai pihak.
Pada 6 Februari 2014, masing-masing pemprov menandatangani rencana aksi korsup minerba yang berlaku setahun, terdiri atas lima tema utama penataan izin usaha pertambangan, pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan, pelaksanaan pengawasan produksi pertambangan, pelaksanaan kewajiban pemurnian hasil tambang, dan pelaksanaan pengawasan penjualan dan pengangkutan/pengapalan hasil tambang.
Mengingat tidak hanya di sektor pertambangan semata yang berpeluang menimbulkan kerugian negara maka Korsup KPK ini diubah menjadi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam Indonesia.
Gerakan Nasional Penyelamatan SDA Indonesia di sektor kehutanan dan perkebunan bertujuan untuk mendorong perbaikan tata kelola sektor kehutanan dan perkebunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan memperhatikan aspek keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemiteraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Melakukan perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya kehutanan dan perkebunan untuk mencegah korupsi, kerugian keuangan negara dan kehilangan kekayaan negara.
Sumatera Barat Pasca Koordinasi dan Supervisi KPK. Seperti Apa? was first posted on April 4, 2015 at 3:35 am.