Indonesia dilimpahi keanekaragaman hayati flora dan faunanya. Banyak sekali jenis hewan dan tumbuhan eksotis yang hanya ada di negara khatulistiwa ini. Tetapi makin banyak pula yang terancam punah. Tidak terkecuali satwa eksotis dan endemik di Sulawesi Utara, seperti monyet hitam Sulawesi (yaki/Macaca nigra), tarsius, kuskus dan ular piton.
Satwa-satwa tersebut masih banyak diburu untuk dijadikan satwa peliharaan. Tetapi tidak hanya itu, ternyata ada satu kebiasaan khas masyarakat di Sulut yang menyebabkan tingginya perburuan tersebut, yaitu perilaku mengkonsumsi satwa liar.
Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) Sulut menyebutkan populasi yaki menurun 80 persen dalam 30 tahun terakhir. Diyakini, penyebabnya adalah pengrusakan habitat serta tingginya tingkat konsumsi. Intervensi manusia tadi berdampak pula kepunahan populasi anoa dan babirusa di Sulawesi Utara.
“Terakhir anoa dan babirussa masih bisa dijumpai sekitar tahun 1990-an. Kepunahan anoa dan babirusa di Sulawesi Utara ini akibat tinginya tingkat perburuan. Anoa dan babirusa masih dapat ditemui di area hutan Nantu, Gorontalo, namun di sana mereka masih terancam perburuan untuk dibawa dan di jual di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara,” tulis Billy Gustafianto, Staff Education and Information dalam rilis yang diterima Mongabay pada Senin (5/10/2015).
“Salah satu satwa endemik Sulawesi Utara yaitu tarsius siau bahkan masuk dalam daftar 25 primata paling terancam di dunia, akibat tingginya tingkat perburuan untuk dikonsumsi sebagai cemilan sambil minum minuman keras,” tambah dia.
Satwa lainnya yang juga sering diburu untuk dikonsumsi memang belum dilindungi oleh hukum Indonesia. Tetapi, masih dikatakan Billy, menangkap satwa liar di alam secara terus menerus juga merupakan ancaman serius.
Ia khawatir, penurunan populasi satwa liar turut berdampak pada kehidupan manusia. Sebab, setiap jenis satwa liar diketahui memiliki peran ekologis untuk menjaga keseimbangan alam.
Padahal, menurut Billy, perilaku konsumsi satwa liar sebenarnya membahayakan bagi masyarakat. Karena, daging satwa liar mengandung berbagai bakteri dan parasit yang dapat membahayakan kesehatan. Ia menyebut sejumlah penyakit zoonosis yang dapat ditularkan pada manusia, seperti hepatitis, rabies, infeksi cacing, dan lain sebagainya.
“Ada banyak jenis satwa liar yang populasinya menyusut drastis dan semakin terancam punah, sehingga negara pun memberlakukan sejumlah peraturan untuk melindungi mereka. UU No 5 Tahun 1990, pasal 22, memaparkan larangan berburu, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam PP No 7 tahun 1999. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui adanya peraturan-peraturan ini.”
Oleh karena itu, PPST bersama dengan aktivis pecinta satwa di Sulut seperti Animal Friends Manado Indonesia (AFMI), JAR Entertain, Komunitas Toudano Minahasa mengadakan kampanye cinta satwa.
Kampanye dalam rangka peringatan Hari Satwa Sedunia digelar pada Minggu (04/10/2015) dilakukan dalam bentuk pawai, teatrikal hingga pertunjukan musik yang menyuarakan rasa cinta pada satwa. Kampanye yang dipusatkan di Tondano, kabupaten Minahasa ini, mengusung tema “Mari Torang Sayang Deng Peduli: Jaga Bae-Bae Kong Jang Makang”.
JAR Entertain turut mengisi kegiatan teatrikal, sementara pertunjukan musik dipentaskan oleh band-band lokal, seperti Banana Split dan Lamb of Bottle.
Stop Makan Anjing dan Kucing
Tak hanya menyerukan stop konsumsi satwa liar, dalam peringatan Hari Satwa Sedunia, aktivis pecinta satwa juga mengajak masyarakat di Sulawesi Utara untuk tidak lagi makan daging anjing dan kucing. Mereka menilai, kedua hewan ini adalah hewan peliharaan, bukannya ternak untuk kepentingan konsumsi.
Bahkan, sejak Juni 2015 silam, AFMI telah membuat petisi di change.org yang mengajak masyarakat untuk menghentikan penyelundupan, perdagangan dan konsumsi daging anjing dan kucing di Indonesia.
Dalam petisi yang kini sudah mendapat dukungan sebanyak 8.872 tandatangan, dikatakan, mengkonsumsi daging anjing dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti rabies, kolera, toxocariasis hingga kandungan racun akibat penggunaan racun untuk menangkap kedua hewan tersebut.
“Hewan ternak selalu diawasi oleh tim kesehatan. Anjing dan kucing tidak sama sekali,” demikian tertulis dalam petisi yang ditujukan pada Menteri Pertanian dan Peternakan, Menteri Kesehatan serta Menteri Pariwisata.
Selain berbahaya untuk kesehatan, AFMI menyatakan, perdagangan, penyelundupan, pembunuhan anjing dan kucing dilakukan dengan cara yang kejam. “Diracun, dimasukkan dalam karung lalu dipukul sampai mati, bahkan dibakar, dikuliti dan dimasak secara hidup-hidup. Sungguh kejam. Sangat kejam,” seru AFMI.
Mereka berharap, pemerintah menerapkan larangan lengkap tentang penjualan, penyelundupan, perdagangan dan konsumsi anjing dan kucing di seluruh Indonesia, dengan menegakkan KUHP 302 dan UU Perlindungan Hewan.
“Masyarakat yang modern butuh penegakkan UU Perlindungan Hewan. Kami juga mohon dukungan semua pecinta hewan dan suporter untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bisa membela diri sendiri,” ajak AFMI.
Miris… Satwa Dilindungi Makin Habis Karena Dikonsumsi was first posted on October 7, 2015 at 5:56 am.