Matahari mulai bersinar di ufuk timur, menerangi kawasan tebing karst yang berdiri kokoh sepanjang Kecamatan Padalarang hingga Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Hamparan dasar laut yang muncul ke permukaan bumi jutaan tahun lalu, kini membentuk deretan perbukitan kapur yang begitu mempesona dipandang mata.
Gunung Hawu merupakan salah satu tebing kapur yang masuk wilayah karst Citatah, memiliki luas sekitar satu hektare. Tetapi ironisnya, keindahan gunung kapur itu sedang menuju kerusakan karena penambangan kapur yang masif.
Hal itulah yang sedang dikampanyekan oleh Suku Badot, sebuah komunitas pelestari lingkungan setempat, untuk menyelamatkan Gunung Hawu dari gemuruh industri batu kapur yang semakin marak.
Yoga (27), salah satu dari sembilan pelopor terbentuknya komunitas Suku Badot yang peduli terhadap konservasi lingkungan. Sejak terbentuk tahun 2013 lalu, Suku Badot tidak hanya melakukan kegiatan konservasi lingkungan saja, tetapi juga mengemban misi yaitu save taman bermain dan ruang terbuka hijau dikawasan tersebut.
Ketika ditemui Mongabay di Gunung Hawu di Kampung Cidadap, Padalarang, Bandung Barat, pada Sabtu (03/10/2015), Yoga mengatakan pertambangan tersebut bermula sejak tahun 1970-an dimulai dari pertambangan tradisional hingga akhirnya menjadi pertambangan modern sekarang ini.
Padahal menurut peneliti, kawasan karst di Padalarang memiliki keistimewaan yakni adanya jembatan alami (natural bridge) yang terjadi akibat proses terbentuknya gua vertikal di Gunung Hawu dengan nama Goa Karang Hawu. Di belahan dunia lain juga terdapat natural bridge yang berada di Amerika , seperti natural bridge Virginia dan Arches National Monument di Utah.
“Kepedulian kami diuji tatkala dihadapkan dengan pesoalan ekonomi warga sekitar yang menggantungkan hidupnya pada pertambangan batu kapur. Kami menyadari bahwa tidak bisa begitu saja menghentingkan pertambangan tanpa diimbangi solusi kongkrit. Harus adanya campur tangan semua pihak disini dan pasti akan menjadi persoalan yang pelik. Maka dari itu kami bertekad dan berupaya semampu kami akan terus melakukan konservasi dan berkegiatan alam bebas di Gunung Hawu untuk melestarikan lingkungan sekitar demi keseimbangan ekosistem,” kata Yoga pria berambut panjang itu.
Konservasi lingkungan yang dilakukan Wardo sapaan akrab Yoga itu dimulai sejak 2013. Meskipun berkegiatan di lahan tidur milik pemerintah,t ak menyurutkan niat komunitas Suku Badot untuk terus melakukan kegiatan outdoor activity sebagai kegiatan rutin setiap akhir pekan.
Sungguh menjadi ironi memang ketika disekitaran Gunung Hawu terdapat tambang – tambang batu kapur yang beroperasi hampir setiap hari. Menurut Wardo terdapat 30 penambangan liar dan 11 penambangan yang mengantongi izin dikawasan karst tersebut.
Selama 2 tahun, Suku Badot bergelut dengan kemustahilan seperti dugaan banyak orang akan usahanya yang lambat laut akan memudar juga. Salah satu strategi Wardo dalam melakukan sosialisasi kawasan tersebut yaitu dengan menggaet beberapa mahasiswa pencinta alam diantaranya Perikmatrik Universitas Telkom, Mahapeka UIN Bandung dan beberapa kampus lainya se- Bandung Raya.
Harapan dari usahanya yang ditempuh Wardo dan komunitas lainnya yakni demi mempertahankan kawasan Gunung Hawu agar tak tergerus oleh aktivitas pertambangan batu kapur yang tidak mempedulikan kaidah konservasi.
“ Adanya Suku Badot memang tidak menyebabkan perubahan apapun. Namun, indikator keberhasilan kami adalah dengan banyaknya orang yang berkunjung ke sini, banyak juga orang yang nanti sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam, demi keseimbangan yang berkelanjutan” ujar wardo.
Kegiatan alam bebas
Panjat Tebing (rock climbing) merupakan salah satu dari sekian banyak olah raga alam bebas yang disuguhkan di Gunung Hawu. Untuk melakukanya dibutuhkan skill khusus yaitu teknik – teknik pemanjatan yang kemudian ditunjang dengan peralatan khusus.
Wardo mengatakan panjat tebing merupakan salah satu olah raga terlengkap. Pasalnya dibutuhkan kejelian berpikir untuk mencari jalur yang akan dilalui. Tidak hanya menuntut kejelian otak saja, diperlukan pula fisik yang prima untuk melakukan pendakian atau pemanjatan sampai top. Untuk bisa menikmati sensasi melakukan panjat tebing ini, dikenakan biaya yang cukup terjangkau yaitu cukup dengan mengeluarkan uang sebesar Rp. 100 ribu dengan fasilitas manjat yang aman dan dijamin anti mainstream.
Selain itu, bermalam di atas tebing menggunakan hammock (ayunan yang terbuat dan dirancang dari kain/jaring khusus) menjadi sensasi tersendiri bagi para penikmat kegiatan luar ruang. Hammocking merupakan adaptasi dari masyarakat Suku Maya di Amerika Latin dimana mereka membuat hammock dari bahan alami yang berasal dari akar dan kulit pepohonan agar terlindung dari ancaman binatang buas.
Seiring waktu, hammocking digandrungi banyak orang karena konsep leave no trash (tidak membuat sampah) sebagai etika berkegiatan di alam. Demikian dengan teknisnya, hammocking harus mengedepankan keamanan (safety first). Beberapa alat seperti harnest, carabiner, tali prusik dan webbing merupakan alat yang wajib menyertai kegiatan hammocking.
Tidak perlu khawatir apabila tidak meiliki peralatan tersebut. Pasalnya Suku Badot menyediakan paket bermalam hammocking senilai Rp125 ribu per malam. Jika sedang beruntung kita dapat menikmati malam dengan beratapkan miliaran bintang yang tak beraturan di langit – langit Hawu.
Ketika matahari kian meninggi, Wardo dengan cekatan memasang instalasi pengaman di tebing yang dianggap cocok untuk bergelantungan tanpa mengidahkan terik matahari yang mengigit kulit. Waktu pun menunjukan pukul 15.00 WIB kala itu, ketika 6 hammock sudah terpasang rapih.
Menjadi kanak – kanak kembali
Hembusan angin sore menerpa tubuh. Memulihkan ingatan masa lalu saat alam kini sudah tak lagi semesra dulu. Tak ada kicauan burung sore itu yang biasanya bergema diantara tebing – tebing karst kawasan Padalarang, hanya sesekali kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) menampak diri di atas tebing. Bahkan kawanan tersebut tak segan turun dan menghampiri kumpulan manusia saat lapar mendera perutnya.
Rupanya waktu itu bertepatan dengan acara ngopi senja. Acara yang diselenggarakan Suku Badot setiap sebulan sekali yang ditandai dengan dibagikanya selembaran bulletin berisi mandat pelestarian lingkungan. Wardo menuturkan agenda acara ini diperuntukan untuk para pencinta kopi sebagai memperkenalkan kopi khas Indonesia yang diracik sendiri. Yang menarik disini tersajinya diskusi asyik berdurasi 30 menit membahas tentang permasalah hutan yang beralih fungsi, gunung – gunung yang dikomersilkan, udara yang terkena polusi industri dan air yang tercemar limbah.
Letak Gunung Hawu yang jauh dari bisingnya perkotaan menyebabkan kami sedikit bisa bernafas lega dari hiruk – pikuk kesibukan rutinitas yang tak tahu kapan harus jeda. Mungkin waktu itu Mongabay bersama pengunjung Hawu lainnya menjadi populasi kecil manusia yang mendadak suka kopi Indonesia.
“ Disini bebas, jangan malu untuk bernostalgia menjadi kanak – kanak kembali, walapun memang perlu kedewasaan lebih untuk melakukannya” kata Wardo.
Suku Badot memiliki program sosial yaitu menghidupkan kembali permainan – permainan tradisional Jawa barat. Egrang merupakan permainan bambu, cara bermainya yaitu bambu yang sama panjang kemudian diberi pijakan dengan jarak tertentu. Permainan ini cukup popular dikalangan anak – anak pada saat musim panen tiba. Diperlukan keahlian untuk mengatur keseimbangan agar bisa berdiri menggunkan egrang.
Wardo mengatakan bermain layang – layang pun menjadi salah satu permainan yang dilakukan di Gunung hawu. Keprihatinannya muncul saat anak usia dini tidak mau lagi berinteraksi bersama teman sebayanya. Mereka lebih memilih permainan modern yang kurang memberikan ruang interaksi. Padahal, hematnya game online berpengaruh terhadap psikologi dan perkembangan anak tersebut.
Gunung Hawu adalah sebuah miniatur kawasan yang keberadaanya ingin dilestarikan. Eksploitasi alam seyogyanya harus dilandasi hati nurani, bukan kepentingan pribadi. Mau sampai kapan manusia akan terbelenggu euforia kemajuan zaman yang sebetulnya kebahagian semu tanpa ada aksi nyata. Mau sampai apatisme ini terhadap lingkungan terbelenggu dalam jiwa. Aksi tanpa teori adalah anarki, teori tanpa aksi adalah omong kosong. Mari mulai dari kita!
Mongabay Travel : Asyiknya Bermain Sekaligus Konservasi Di Tebing Padalarang was first posted on October 11, 2015 at 8:50 am.