Upaya Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, untuk mempercepat pengesahan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat terus intens dilakukan.
Setelah menyelenggarakan lokakarya percepatan Perda pada akhir Juli 2015, Pansus DPRD segera melakukan kunjungan konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri pada 5 Agustus 2015 lalu.
“Pansus gerak cepat segera ke Jakarta melakukan konsultasi dengan Dirjen Perundang-undangan Kemendagri. Seluruh anggota Pansus turut serta bersama instansi terkait dan perwakilan dari masyarakat adat,” ungkap Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Enrekang, Paundanan Embong Bulan, di Enrekang, yang ditemui pertengahan Agustus.
Sebanyak 14 anggota Pansus Perda Masyarakat Adat memang ikut serta dalam kegiatan ini, termasuk juga Kepala Dinas Pendidikan, Kabag Kebudayaan, dan perwakilan masyarakat adat yang di wakili oleh Ketua AMAN Enrekang.
Menurut Paundanan, hal positif yang diperoleh dari kunjungan ini adalah adanya kepastian tentang proses pembuatan Perda yang mereka lakukan, bahwa mereka tetap berada koridor yang telah digariskan oleh pemerintah terkait penyusunan kebijakan di tingkat daerah.
“Pada dasarnya dari konsultasi ini kami mendapatkan petunjuk agar apa yang kami lakukan tidak bertentangan dengan perundang-udangan yang lebih tinggi. Dari draf yang kami telah buat hasilnya telah sejalan dengan yang dipersyaratkan, meski kita tetap diminta untuk tetap konsultasi dengan instansi-instansi yang terkait,” ungkap Paundanan.
Tidak hanya di Kemendagri, Pansus dan rombongan juga melakukan konsultasi ke Kementerian Pendidikan Nasional.
“Kami banyak mendapat masukan yang konstruktif, apalagi di kementerian pendidikan ini juga ternyata memiliki program yang sejalan dengan perlindungan masyarakat adat.”
Setelah kunjungan ini, baik pihak Pansus ataupun DPRD Enrekang, segera menindaklanjuti hasil konsultasi tersebut dengan harapan Perda bisa segera disahkan.
“Akan ada segera pertemuan antara DPRD dan Pemda membahas hal ini. Kita akan terus dorong dan kawal proses ini. Kita tentunya banyak memberikan masukan-masukan.”
Sardi Razak, Ketua BPH AMAN Sulsel, menyambut baik antusiasme pemerintah dan masyarakat Enrekang mendorong Perda Masyarakat Adat ini, jauh dari yang dikhawatirkan selama ini.
“Ini adalah momentum yang baik saya kira karena seluruh pihak begitu antusias untuk segera menetapkan Perda ini. Ketua DPRD bahkan menjanjikan jauh dari cepat dari yang kami perkirakan. Bupati pun selalu mengikuti dengan baik perkembangan proses Perda ini,” ungkap Sardi.
AMAN Sulsel sendiri selama ini banyak memberikan masukan dalam penyusunan draf Perda, termasuk memfasilitasi pertemuan dengan komunitas adat di Kabupaten Enrekang.
Menurut Haji Banteng K, Ketua DPRD Enrekang, keberadaan regulasi yang mengatur tentang masyarakat adat di Enrekang sebenarnya telah lama dinantikan. Belasan tahun silam perjuangan ini telah dilakukan dan berbuah surat keputusan Gubernur Sulsel, yang ketika itu masih dijabat oleh Amien Sjam. Hanya saja ketika itu tidak segera tindaklanjuti dengan kebijakan daerah yang lebih operasional.
“Ini sudah di depan mata, semoga setelah pengakuan akan segera ada tindak lanjut, tidak seperti yang dulu,” katanya.
Masyarakat adat di Kabupaten Enrekang sendiri, menurutnya, masih banyak yang masih memiliki kelembagaan adat dan tradisi yang terus terjaga dengan baik. Ia mencontohkan ketika enam tahun menjadi camat, tak pernah satu kasus perdata pun yang berproses di pengadilan, namun diselesaikan dengan adat setempat.
Dia berharap kehadiran perda ini tidak menimbulkan riak dan pertentangan dan bisa tetap sejalan dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh sekitar 90 persen warga Enrekang.
Menurutnya, saat ini adalah momentum untuk menegaskan kembali eksistensi dan identitas budaya masyarakat adat Enrekang, apalagi dengan adanya dukungan Gubernur Sulsel yang sekarang, Syahrul Yasin Limpo, yang secara emplisit menegaskan perlunya adanya pengakuan bagi masyarakat adat termasuk pula hutan adatnya.
Di Enrekang sendiri saat ini terdapat sekitar 19 komunitas adat yang terdaftar dalam AMAN. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari klaim pemerintah yaitu sebanyak 48 komunitas adat.
“Keberadaan Perda ini memberi harapan bagi kami masyarakat adat yang selama ini seperti dianggap tak ada,” ungkap Paundanan.
Paundanan berharap keberadaan Perda ini bisa semakin memperkuat peran dan posisi masyarakat adat, termasuk memperkuat kembali kelembagaan masyarakat adat yang selama ini tegerus oleh dominasi negara.
Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN, dalam acara lokakarya percepatan Perda Masyarakat Adat Enrekang, di Enrekang akhir Juli 2015 lalu, turut menyambut baik upaya cepat Pemda dan DPRD Enrekang terkait penetapan Perda ini. Ia bahkan berharap Enrekang bisa menjadi pionir dan bisa menjadi motivasi bagi Pemda lain untuk melakukan hal yang sama.
“Pemerintah Enrekang ini sebenarnya pionir kalau prosesnya cepat dan akan menjadi contoh buat di daerah lain, di Luwu prosesnya tidak secepat di sini. Jangan khawatir dengan RUU masyarakat adat yang belum disahkan karena nanti di pasal peralihan kita sudah siapkan. Dengan DPR sepakat bahwa ini juga akan berlaku ke seluruh Perda-perda ini. Jadi tidak harus mulai dari nol lagi.”
Abdon berharap dalam Perda yang akan dihasilkan benar-benar menunjukkan identitas dan karakter budaya masyarakat adat Enrekang, yang berbeda dengan masyarakat adat lainnya. Kekhasan ini diharapkan muncul di naskah akademik.
“Harus terlihat kekhasan masyarakat adat Enrekang dibanding yang lainnya. Apakah berdasarkan bahasa atau perilaku yang khas Enrekang. Bisa juga dari kekhasan bahasa, tanpa mesti sama dialeknya. Kalau di pesta adat dari ritual pernikahan. Ada identitas budaya. Identitas budaya inti penting.”
Menurutnya, pentingnya identitas budaya karena lahir hasil dari interaksi ratusan tahun, yang kemudian membentuk sistem pengetahuan. Ia mencontohkan pengetahuan leluhur dalam menemukan tanaman-tanaman tertentu yang bisa dijadikan sebagai obat-obatan, ataupun seni budaya.
“Adanya sistem pengetahuan, budaya dan seni yang khas karena adanya interaksi budaya dengan lingkungan,” tambahnya.
Abdon berharap komunitas adat di Enrekang juga bisa memperkuat kembali aturan-aturan adat yang ada, misalnya aturan dalam hal penebangan pohon atau ritual pemakanan. “Ada namanya hukum dan aturan-aturan hidup bersama yang disebut hukum adat.”
Hukum adat ini tidak berjalan sendiri, namun didukung secara kelembagaan melalui lembaga adat, hal yang menjadi perjuangan AMAN selama ini.
Perjuangan masyarakat adat sendiri, menurut Abdon, bukanlah hal yang baru, namun sudah berlangsung sejak dulu. Akar kemerdekaan RI bahkan berasal dari perjuangan masyarakat adat.
“Jadi identitas budaya sebagai nusantara itu adalah salah satu faktor pendorong kemerdekaan dari Belanda, di samping kita memang mengalami penjajahan langsung dari dulu. Tapi hal utama adalah kita punya identitas yang berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa. Ini menjadi salah satu faktor pendorong maka kita ingin merdeka.”
Hanya saja, kemerdekaan yang diraih Indonesia tidak serta memerdekakan masyarakat adatnya. Bahkan, setelah Indonesia merdeka tingkat penjajahan ke masyarakat adat justru lebih tinggi.
Kenapa itu bisa terjadi?
Abdon menjelaskan bahwa UUD 1945 adalah salah satu konstitusi terbaik di dunia terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Selama 70 tahun, UUD 1945 sudah memberikan tempat yang mulia ke masyarakat adat, tertera dalam 18 ayat 2, yang menegaskan bahwa asal usul kesatuan masyarakat hukum adat itu diakui, dihormati, dilindungi oleh negara.
Ia membandingkannya dengan Filipina yang baru bisa dikonstitusikan pada tahun 1987, yang kemudian terjabarkan dalam UU Masyarakat Adat di tahun 1997. Hanya selang 10 tahun sejak diakui dalam konstitusi.
“Bandingkan dengan Filipina, mereka hanya butuh 10 tahun agar konstitusi ini bisa terjabarkan dalam UU, sementara kita 70 tahun belum ada. Kenapa?” Kan dalam konstitusi kita ada pengaturan tentang masyarakat adat itu.”
Ia menjelaskan bahwa perihal hak masyarakat adat sebenarnya pernah diatur dalam UU No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Di sana disebutkan tentang hak ulayat. Tetapi di BPN sampai sekarang tidak ada administrasi hak ulayat. Hanya ada sertifikasi individual dalam bentuk sertifikat.
“Jadi sejak dimandatkan 55 tahun lalu sampai hari ini tidak dikerjakan. Kenapa tidak dikerjakan? Karena Soeharto memang tidak suka dengan UU PA ini,” tambahnya.
Menurutnya, begitu berkuasa di 1967, UU PA ini tak lagi pernah digubris. Justru kemudian yang muncul adalah undang-undang yang bersifat sektoral. Salah satunya adalah UU No.5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, yang menyebutkan menteri berhak menunjuk kawasan hutan dan kawasan hutan itu adalah hutan negara.
“Jadi UU No.5/1967 inilah yang membuat sebagian besar wilayah adat itu menjadi hutan negara. Direvisi dengan UU No.41/1999. Ok kawasan hutan, hutan negara dan hutan hak. Tapi ada penegasan dan hutan adat adalah hutan negara. Artinya apa, 70 persen wilayah adat kita tanpa kita ketahui tanpa kita ditanya, tanpa persetujuan kita berubah status menjadi hutan negara.”
Keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi No.35/2013 memberi harapan baru bagi masyarakat adat. MK ini adalah koreksi terhadap relasi masyarakat adat dan negara itu. Dalam MK ini disebutkan bahwa penempatan hutan adat sebagai hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat.
Dalam putusan MK ini juga menegaskan bahwa hutan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ulayat wilayah adat. Jadi hutan itu bukan bagian negara lagi, namun bagian dari masyarakat hukum adat.
“Pertanyaannya kemudian, apakah kita punya peta?”
Keberadaan Perda ini diharapkan dapat mempercepat lahirnya peta adat sebagaimana diamanatkan oleh MK 35.
Penegasan ketiga dari MK ini adalah dikatakan bahwa ulayat atau wilayah itu merupakan hak dari masyarakat adat.
“Jadi jangan ragu lagi. Sudah ada penegasan. Tanah tempat hutan itu tumbuh adalah tanah adat. Jadi seluruh tanah yang ada di wilayah adat adalah tanah adat. Ini bisa dilakukan bisa berjalan kalau ada Perda. Tetap dipakai pasal 67 dari UU Kehutanan. Jadi perda ini akan menjadi sangat penting karena berapa persen wilayah masyarakat adat Enrekang nantinya akan kembali ke Enrekang.”
Abdon juga menegaskan bahwa tujuan adanya Perda bukan semata sebagai pengakuan hukum, karena pengakuan hukum ini sebenarnya sudah banyak tertulis dalam UU.
“Yang tidak kita punya adalah instrumen operasional, mekanisme dan prosedur. Jadi nanti Perda ini nantinya harus operasional. Jangan sepeti UU. Jadi sudah harus bisa menentukan siapa masyarakat adat di Enrekang, apa saja hak-haknya, akan dimana diadministrasikan, apa perannya dalam proses pembangunan dan bagaimana perlindungannya. Jadi memang belum selesai, karena nanti akan ada kerjaan lain ke SKPD-SKPD dan proses-proses lainnya.”
Perda Memperkuat Identitas Budaya Masyarakat Adat Enrekang was first posted on August 29, 2015 at 4:35 am.