Ada yang berbeda di tepi pantai pasir putih Sanur, Bali. Terlihat sebuah kano besar berbendera Hawaii bernama Hōkūle a. Kano tradisional Hawaii berumur 40 tahun ini telah berlayar 150.000 mil di Samudra Pasifik. Diawaki 13 orang yang mengandalkan angin, matahari, dan navigasi tradisional.
Selama tiga tahun berlayar sejak Mei 2014 sampai Juni 2017 nanti, Hōkūle a mengkampanyekan kearifan lokal pelaut tangguh Hawaii di masa lalu sekaligus pelestarian lingkungan dan perubahan iklim.
Perahu ini membawa pesan mālama honua, artinya memelihara bumi dalam bahasa Hawaii. Dengan berlayar menggunakan metode leluhur, mereka memulai mendorong komunitas global untuk berlayar melalui rute baru, mengkampanyekan planet yang sehat dan berkesinambungan untuk generasi masa depan.
Hōkūle a bakal melanjutkan perjalanan 47.000 mil laut mengunjungi 26 negara. Dari Hawaii mereka telah melakukan perjalanan ke Perancis, kemudian Kepulauan Cook lalu Samoa, Tonga, New Zealand, Australia, dan kini di Bali. Selanjutnya akan melanjutkan perjalanan ke Madagaskar, Afrika.
Pemerintah saat ini boleh saja bermimpi jadi poros maritim dunia, namun awak Hōkūle a ini sudah membuktikan. Mereka merevitalisasi teknologi masa lalu dan lautan bisa dijelajahi.
Ketika merapat di Sanur, para awak dan pendukung pelayaran ini menampilkan lagu dan tarian Hawaii berjudul Ave Vahitie dan Oli Kahea tentang permohonan ijin untuk berlabuh dan ucapan rasa syukur karena telah sampai dengan selamat.
Juga ada lagu dan tari berjudul Ka Uluwehi a Kei Kai yang menceritakan tentang hubungan yang baik antara manusia dengan manuasia serta manusia dengan alam. Mirip dengan filosofi Hindu di Bali, Tri Hita Karana, tiga hubungan harmonis dengan manusia, alam, dan Tuhan.
Pelayaran ini dipimpin Nainoa Thompson. Ia memberikan oleh-oleh garam laut dari Hawaii sebagai bentuk kekayaan laut mereka. Dikemas cantik dan dililit medali masyarakat pelayaran Polinesia (PVS).
Ia memperkenalkan dua awak wanita yang memegang peran penting sebagai navigator dengan teknik tradisional penunjuk arah perjalanan mereka yaitu, Lehua Kamalu dan Jenna Ishii.
Nainoa yang juga Presiden PVS dan ahli navigasi tradisional Polinesia ini mengatakan kampanye seperti ini penting di tengah perubahan iklim di dunia. “Kami ingin berbagi pengetahuan dan budaya antar negara pesisir untuk menjaga alam dengan cara kita sendiri,” ujarnya. Bali menurutnya sangat unik karena masih menjaga kearifan lokalnya.
Pemerintah Provinsi Bali menampilkan tari penyambutan Sekar Jempiring dan Tari Joged Bumbung dari pelajar SMKN 1 Denpasar. Asisten Bidang Perekonomian, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Bali Ketut Wija menyambut kedatangan perahu ini awal Agustus 2015 lalu. Pemerintah Bali dan Hawaii sebelumnya menandatangani kerjasama sister island karena banyak persamaan.
Nyoman Wardawan, salah seorang pejabat di Dinas Pariwisata Bali mengatakan Bali harus belajar dari Hawaii dalam menjaga kelestarian lingkungan. “Tak ada sampah sedikit pun di pantai mereka,” ujar pria yang tahun lalu berukunjung ke sana.
Sebagai pulau yang menjual pantai dan budaya seperti Hawaii, menurutnya Bali jangan hanya mengandalkan taksu dan ritual tapi juga praktik pelestarian dalam keseharian. “Bali masih diselamatkan oleh taksunya (semacam nilai intrinsik),” tambahnya.
Navigasi Tradisional
Hōkūle a berlayar menggunakan pengetahuan leluhur atas konstelasi bintang, pergerakan laut, kehidupan laut, pola cuaca, dan tanda-tanda yang berasal dari alam. Dengan panjang 18,9 m, lebar 6,1 m, mampu menampung 12-14 awak. Pertama kali berlayar tahun 1975 dari Hakipu’u, O’ahu, Hawai’i.
Untuk menyokong pelayaran Hōkūle a, ada kano tambahan yang lebih modern yakni Hikianalia yang juga berteknologi ramah lingkungan berlayar dengan energi solar dan layar. Dilengkapi dua panel photovoltaic dan dua motor listrik.
Bagaimana alam bisa memandu perahu ini?
Bintang digunakan sebagai kompas dan merupakan bagian utama dari navigasi. Para penjelajah mengingat posisi lebih dari 200 bintang dan melihat terbit dan terbenamnya bintang untuk menentukan posisi perahu terhadap tempat tujuan. Tanda-tanda yang sengaja ditaruh di perahu disejajarkan dengan bintang-bintang dekat cakrawala untuk menjadi titik panutan dan membantu menjaga arah pelayaran.
Dari awan, para navigator melihat bentuk, tinggi, dan warna awan sebagai penanda arah dan cuaca. Awan cenderung berkumpul di atas daratan dengan bentuk tertentu, memberikan tanda untuk navigator dalam pelayaran mereka.
Perilaku burung laut memberikan tanda penting akan arah pulau atau atol terdekat. Para navigator berpengalaman bisa melihat membedakan burung laut yang terbang dari pesisir di pagi hari untuk mencari makan dan kembali ke sarang mereka pada malam hari, yang mengindikasikan arah daratan.
Pergerakan ombak diawali dari jarak yang jauh dan ini membantu navigator untuk menjaga dan menentukan arah ketika tanda-tanda di langit tidak terlihat. Di samudra Pasifik, angin timur laut menyebabkan adanya gerakan ombak timur laut, sementara angin tenggara menyebabkan gerakan ombak tenggara.
Dalam materi publikasi mereka disebutkan penduduk kepulauan Pasifik telah menguasai tata cara tersebut dan menggunakannya dalam mengeksplorasi dan menduduki kepulauan Pasifik. Masyarakat Pelayaran Polinesia menemukan kembali dan merevitalisasi pengetahuan ini untuk Hawaii setelah menghilangnya pengetahuan ini selama 600 tahun. Mereka melakukannya untuk menghubungkan masa lalu dan menemukan impian untuk masa depan.
Kedua perahu itu dilengkapi teknologi untuk menghubungkan kelas-kelas di sekolah dan perorangan dari seluruh dunia melalui situs hokulea.org. Situs ini memungkinkan Hōkūle’a dan Hikianalia menjadi kelas-kelas terapung yang bisa mendemonstrasikan potensi belajar yang berbasis proyek seperti ini dalam skala dunia.
Portal pendidikannya memberikan akses kepada sekolah-sekolah dan para pengajar kepada kekayaan kurikulum mālama honua, rencana belajar, dan alat-alat belajar. Sumber data ini akan terus bertambah seiring dengan dilakukannya perjalanan keliling dunia untuk menghubungkan komunitas global.
Menghidupkan Tradisi
Perahu Polinesia terakhir, atau yang disebut sebagai wa’a kaulua punah ditahun 1400-an. Tahun 1973, seniman dan penulis Herb Kāne memimpikan untuk membangun perahu dua lambung pertama kalinya dalam berabad-abad. Ide tersebut menyatukan banyak orang dari beragam latar belakang dan profesi untuk membentuk PVS.
Pada tanggal 8 Maret 1975, perahu pertama PVS – Hōkūle a – berlayar. Dirancang berdasarkan replika gambaran perahu kuno di kepulauan Pasifik. Suksesnya pelayaran Hōkūle a ke Tahiti di tahun 1976 tanpa menggunakan alat navigasi modern menandakan ditemukannya kembali seni pelayaran tradisional dan pencarian arah.
Perahu ini dinamakan dari bintang Arcturus yang menandakan garis lintang Hawai’i ketika bintang tersebut berada tepat diatasnya. Hōkūle a memiliki dua lambung yang membuatnya mampu melintasi ombak tinggi dan cepat berlayar kembali melalui ombak yang ganas. Layar kanvasnya yang berbentuk segitiga memanfaatkan tenaga angin dan membuatnya bisa melaju sampai 20 knot.
Perahu ini menggunakan elemen tradisional serta materi baru. Seperti lambung fiberglas, layar yang terbuat dari kanvas dan tali temali sintetis untuk menambah kekuatan di atas laut.
Belajar Navigasi Alam Keliling Dunia Dari Kano Tradisional Hawaii was first posted on August 16, 2015 at 2:00 am.