Warga dan aktivis yang menolak pertambangan di pulau Bangka, Sulawesi Utara, seharusnya bergembira karena gugatan mereka dikabulkan dengan putusan PTUN Jakarta Timur pada Selasa (14/07/2015) yang menyatakan pembatalan Surat Keputusan Menteri ESDM tertanggal 17 Juli 2014 soal izin produksi pertambangan di pulau Bangka.
Namun, tidak demikian yang terjadi. Pasca putusan PTUN, mereka masih menyaksikan aktivitas perusahaan tambang di pulau itu. “Istilahnya menang. Senanglah. Tapi, di balik itu semua mereka masih kerja. Masih buat jalan,” kata Potros Liaha, warga pulau Bangka, ketika dihubungi Mongabay, Kamis (16/07/2015).
Potros mengatakan, selama proses hukum berjalan, PT Mikgro Metal Perdana (MMP) terus melakukan aktifitas di sana. Padahal seharusnya perusahaan tidak boleh beraktifitas. Apalagi, beberapa kali gugatan warga dimenangkan oleh lembaga hukum di negara ini.
Potros khawatir, PT MMP akan terus beroperasi meski putusan hukum untuk kesekian kalinya kembali memenangkan warga. Sebab, sejak upaya banding warga dikabulkan PTUN Makassar pada 1 Maret 2013, ditolaknya banding MMP oleh MA pada 24 September 2013 hingga ditolaknya Peninjauan Kembali Bupati Minahasa Utara pada 5 Maret 2015, perusahaan tambang tidak kunjung menghentikan aktifitasnya.
“Bukan baru pertama kali warga menang. Seharusnya kita ikuti hukum. Tapi, nyatanya, tidak hanya hari ini mereka mengabaikan hukum di Indonesia,” sesalnya.
Ia berharap, melalui putusan PTUN Jaktim, perusahaan tambang segera angkat kaki dari pulau Bangka. Putusan itu, menurut dia, sekali lagi menegaskan bahwa pulau Bangka tidak layak menjadi areal pertambangan.
“Kami masih menunggu surat putusan dari Jakarta. Akan ada gerakan untuk menghentikan aktifitas mereka. Tapi, kami berharap, pemerintah baik daerah maupun pusat segera merespon keputusan tersebut. Jangan sampai gerakan masyarakat kembali dikriminalisasi,” tegas Potros.
Maria Taramen, Ketua Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau, bersyukur karena untuk kesekian kali hukum masih berpihak pada masyarakat kecil. Lewat kemenangan ini, ia menghimbau kepada masyarakat untuk tidak pesimis dalam memperjuangkan hak-haknya.
“Walau implementasi belum memuaskan, tapi ini jadi bukti bahwa masih ada individu-individu di lembaga hukum yang masih berpihak pada masyarakat,” katanya.
Namun, sejak awal Maria sudah memperkirakan bahwa perusahaan tambang tidak akan menghentikan aktifitasnya karena keberpihakan pemda pada PT MMP.
“Perusahaan tambang masih pede karena pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten hanya diam, bahkan memback-up mereka,” ujarnya.
Karena itu, ia mendesak pemerintah pusat untuk segera turun tangan mengatasi permasalahan ini dan mencabut izin perusahaan tambang di pulau Bangka. “Jangan sampai ketika masyarakat bergerak memperjuangkan haknya dan menuntut PT MMP serta pemerintah daerah untuk mematuhi hukum, mereka dikriminalisasi. Kasus seperti ini sudah pernah terjadi, sebelumnya,” tambah Maria.
Jull Takaliuang, dari Yayasan Suara Nurani Minaesa, menyatakan pihaknya akan terus berupaya mengusir perusahaan tambang dari pulau Bangka, dengan memastikan penegak hukum mematuhi putusan.
“Tahap selanjutnya memastikan penegakan hukum. Artinya, jangan ada lagi Brimob yang menjaga aset MMP. Penegak hukum harus mematuhi hukum. Kami akan kembali mempertanyakan hukum karena keputusan hukum tidak dihargai. Kami akan meminta eksekusi keputusan ini. Menteri ESDM harus perintahkan pencabutan izin MMP,” katanya.
Pihaknya juga akan menuntut pertanggungjawaban pemda provinsi dan kabupaten yang dinilai mendukung aktifitas pertambangan di pulau yang dikategorikan kecil tersebut.
Bahkan, Jull menduga, draft perda tentang Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang sedang dipersiapkan Pemprov Sulut merupakan cara untuk memuluskan langkah agar perusahaan tambang bisa beroperasi di pulau Bangka.
“Beberapa waktu silam, pemerintah provinsi mengadakan sosialisasi perda itu. Tapi, tidak ada naskah akademik. Miskin data. Hanya beberapa daerah saja yang punya. Selain itu kosong. Kemudian, MMP menjadi satu-satunya perusahaan tambang yang diundang. Sisanya PNS dari kabupaten/kota. Ini, kan, aneh.”
Oleh karena itu, mereka akan terus mengawal pembuatan kebijakan di tingkat daerah, khususnya yang bersinggungan dengan pulau Bangka. “Tak boleh ada pertambangan di pulau Bangka. Yang harus dilakukan adalah menghentikan operasi perusahaan dan memperbaiki kerusakan lingkungan di sana,” tegasnya.
Kepada media lokal, Rosit Balfas, penasehat hukum MMP dan Kepala Bagian Hukum Pemkab Minahasa Utara Paulin Puansalaing akan mengajukan banding.
“Selama surat resmi belum dipegang, belum yakin hal tersebut 100 persen. Namun kalau sudah seperti itu (putusan PTUN Jaktim), kenapa tidak (banding),” kata Paulin, dikutip dari manadopostonline.com, Rabu (15/7/2015).
Tambang Bikin Susah
Merty Katulung, warga pulau Bangka, turut menyesalkan dan kecewa masih beraktifitasnya perusahaan tambang. Aparat kepolisian juga tetap menjaga aktifitas PT MMP yang menyerobot tanah adat dengan cara memaksa untuk pembangunan jalan itu
“Sangat disesalkan, warga sudah menang dan harusnya dilindungi. Harusnya polisi menegakkan hukum. Tapi perusahaan tambang masih beraktifitas. Berarti mereka (polisi) yang berjaga di sana berpihak pada pelanggar hukum,” tutur Merty.
Dulunya, di lokasi tersebut, warga masih bisa menananam jambu mente, kelapa dan kayu jati. “Lokasi tanah adat sekarang dirusak MMP untuk pembuatan jalan. Lebarnya 12 Meter, panjang sekitar 4 Meter,” katanya.
Aktifitas perusahaan tambang di pulau Bangka selama ini, masih dikatakan Merty, turut berdampak pada sulitnya mengakses air bersih. Air di desa Kahuku sudah mulai keruh. Diduga, kondisi itu disebabkan sumber air bersih disekat perusahaan tambang untuk kepentingan mereka.
Kehadiran MMP juga dinilai sebagai pemicu bentrok antara warga desa penolak dan pendukung tambang, pada Sabtu (12/7/2014) silam. Bentrok kemudian berdampak penangkapan dua warga asal desa Kahuku yang menolak tambang. Mereka dituduh membakar alat berat perusahaan.
“Karena kejadian-kejadian itu, kami minta polisi harus ditarik dari pulau Bangka. MMP Juga harus keluar. Jangan lagi ketika warga bertindak nanti dikriminalisasi,” tegas Merty.
Sementara itu, Wilson Damanik, Humas Polda Sulawesi Utara, ketika dihubungi Mongabay enggan berkomentar banyak mengenai hal ini. Ia berjanji akan melakukan langkah selanjutnya jika sudah menerima dokumen asil dari PTUN Jaktim. “Saya belum bisa berkomentar banyak sebelum lihat dokumen resminya. Yang jelas, hukum harus ditegakkan. Itu saja dulu,” jawabnya.
Astaga! Berulang Kali Kalah, Perusahaan Tambang Masih Beraktifitas Di Pulau Bangka? was first posted on July 22, 2015 at 4:17 am.