Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah berjalan sekitar setengah jam menyusuri pesisir pantai yang ditumbuhi beragam jenis mangrove, kami akhirnya tiba di lokasi tujuan.
Dalam gelapnya malam, terlihat di kejauhan cahaya kemerahan dari lampu petromaks perahu nelayan. Pantai sedang surut dan kami bisa melangkah hingga puluhan meter ke arah tengah laut, ikut bersama warga yang sedang mencari teripang.
“Ini adalah salah satu wilayah sasi. Tak usah terlalu ke sana, di sini saja,” ungkap Laurent, seorang penduduk lokal yang menemani kami.
Malam itu, kami melakukan perjalanan menuju sebuah kawasan ‘sasi’ yang disebut Tanjung Vagita, yang termasuk dalam wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
Sasi sendiri bisa diartikan sebagai larangan. Sebuah hukum adat berupa larangan mengambil sesuatu di lokasi tertentu, yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan populasi sumberdaya hayati. Sasi dikenal luas di daerah timur Indonesia, khususnya Maluku dan Papua.
Sakralisasi sasi ini bisa dilihat dari proses penutupan dan pembukaannya, yang selalu didahului oleh ritual dan doa-doa tertentu, baik oleh pemangku adat, pendeta di gereja ataupun imam di mesjid.
Laurent lalu memperlihatkan teripang tangkapannya, masih kecil, tak sampai 10 cm. Ia melepasnya kembali, lalu kembali menyusuri pesisir pantai dengan senter tambang yang pasangkan di kepala.
Hewan laut yang hidupnya di dasar dan kadang bersembunyi di antara karang, pasir atau lumpur, tidak selalu menampakkan diri, sehingga proses pencarian memang membutuhkan kejelian tersendiri.
Teripang dicari karena harganya yang mahal, berkisar Rp 300 ribu – Rp1,2 juta per kilo kering, yang tergantung pada jenis. Butuh 15-20 teripang kering baru bisa dapat takaran sekilo.
Menurut Awaluddinnoer, Koordinator Bidang Monitoring dan Evaulasi The Nature Conservancy (TNC) Raja Ampat, pencarian teripang di Folley sudah menjadi tradisi musiman. Ketika sasi telah dibuka maka warga kampung bisa mencari teripang dimana saja di lokasi sasi. Pencarian bisa dilakukan di siang atau pun malam hari.
“Ini tergantung pada jenis teripangnya. Ada sejumlah jenis teripang baru muncul di di siang hari, ada juga di malam hari ketika air sedang surut atau meti.”
Menurut Nugroho Arif Prabowo, Media Officer TNC Raja Ampat, dalam kawasan konservasi laut daerah Raja Ampat, sasi ini termasuk dalam salah satu model atau zona pemanfaatan tradisional dan bahkan memiliki zona tersendiri yang disebut zona sasi.
Umumnya sasi yang dikenal di Misool adalah sasi adat atau sasi gereja dan sasi musiman.
Kunjungan kami ke Kampung Folley pada pertengahan April 2015 ini secara kebetulan bertepatan dengan masa buka sasi. Ketika kami datang, sasi sudah dibuka selama dua hari, dan masih ada lima hari lagi waktu tersisa sebelum ditutup kembali oleh panitia sasi atau gereja.
Menurut Kaleb Fadimpo, Kepala Kampung Folley, meski sasi telah dikenal sejak dulu, namun baru di tahun 2009 dilakukan sasi secara meluas dengan melibatkan panitia dari gereja dan petuanan atau pemangku adat setempat, dengan luas wilayah sasi sekitar 84 hektar, memanjang dari garis pantai sekitar 4 km.
“Selama ini sasi yang banyak dilakukan keluarga, dan itu tanpa pengawasan. Itupun tergantung kita saja kapan mau buka atau tutup. Beda dengan sekarang sudah ada pengelolanya dari gereja yang difasilitasi oleh TNC,” ungkap Kaleb.
Menurutnya, meski Folley dikenal kaya dengan teripang, namun pada 1990-2000, teripang berkurang drastis dan bahkan hilang. Ini akibat penangkapan berlebihan tanpa adanya aturan ukuran yang boleh diambil.
“Dulu semuanya diambil dan ini membuat teripang sempat hilang. Kita tak menemukan teripang dimana pun, tak seperti sekarang-sekarang ini.”
Ketika TNC masuk ke Misool di tahun 2007, berbagai sosialisasi konservasi pun dilakukan. Sasi sebagai tradisi leluhur ternyata kemudian sejalan dengan semangat konservasi, sehingga kemudian didorong lebih luas dengan melibatkan gereja dan petuanan setempat.
Pada tahun 2009, pelaksanaan sasi tahap pertama mulai dilakukan di Folley, meski masih diliputi rasa curiga dari warga tentang tujuan TNC di daerah tersebut.
Hasilnya? Ketika sasi dibuka di tahun 2011, banyak teripang yang berhasil dikumpulkan warga. Sayangnya hasil tangkapan yang diperoleh dari sasi pertama ini tak tercatat dengan baik. Kaleb sendiri mengingat bahwa hasilnya jauh melebihi harapan harapan mereka.
Sukses dengan sasi pertama ini, sasi dilanjutkan selama dua tahun, 2011-2013. Bedanya, pembukaan sasi di tahap kedua ini dilakukan setelah dilakukan monitoring.
Monitoring ini adalah sebuah metode untuk mengukur jumlah rata-rata teripang yang ditemukan di lokasi yang dijadikan sebagai lokasi sampling. Di perairan yang agak dalam monitoring dilakukan dengan cara menyelam, sementara di daerah dangkal bisa dengan berjalan sambil melihat ke kanan dan kiri lintasan.
“Sasi dengan monitoring ini adalah sebuah kolaborasi antara pengalaman budaya masyarakat dengan pengetahuan modern. Ada alat ukur yang digunakan untuk mengetahui potensi teripang di lokasi sasi. Jadi tak harus memeriksa seluruh wilayah yang sangat luas,” jelas Awaluddinnoer.
Monitoring ini penting karena dapat menjadi acuan kapan sebuah sasi bisa dibuka dengan hasil yang banyak. Banyak sasi yang gagal karena dibuka di saat yang tak tepat.
Tidak hanya soal waktu, lokasi sasi pun ternyata menjadi penentu hasil yang akan diperoleh, sehingga penentuan lokasi sasi pun kemudian harus didahului dengan monitoring.
“Ini berbeda dengan pendekatan tradisional yang menetapkan lokasi sasi begitu saja. Makanya banyak juga sasi yang gagal karena dilakukan di lokasi yang tak tepat,” jelas Awaluddinnoer.
Ketika pertama kali metode monitoring ini diperkenalkan di tahun 2013, TNC terlebih dahulu membicarakannya dengan pihak petuanan dan gereja. Setelah izin diperoleh, monitoring pun dilakukan dengan melibatkan tokoh pemuda, pemilik sasi dan tokoh adat serta pemerintah kampung untuk sama-sama terlibat dalam melakukan monitoring.
Dari hasil monitoring sasi ternyata ditemukan sekitar 100 ekor teripang dalam 7 transek, dalam jarak sekitar 50 m.
TNC lalu menyampaikan hasil monitoring ini kembali kepada masyarakat. Hasil rembuk antara TNC, masyarakat, gereja dan petuanan kemudian memutuskan pembukaan sasi pada tanggal 14 Juni 2013 dan ditutup pada 23 Juni 2013. Pembukaan ini dilakukan melalui sebuah prosesi doa di gereja.
Hasil sasi yang didahului dengan monitoring ini ternyata membuahkan hasil. Jauh dari perkiraan, hasil tangkapan mencapai 1.338 ekor, dengan ukuran rata-rata teripang antara 15-20 cm.
“Selama sasi tersebut dibuka, tercatat 20 nelayan yang memanen selama 4 hari dengan rata-rata tangkapan setiap perahu mencapai 67 teripang per malamnya,” jelas Awaluddinnoer.
Sasi pun berlanjut, kembali selama dua tahun, 2013-2105. Pembukaan sasi yang ketiga ini dilakukan pada pertengahan April 2015, bertepatan dengan kunjungan kami ke Folley.
“Sasi ketiga inilah yang baru dibuka dua hari lalu, dengan kesepakatan buka sasi selama seminggu. Dua hari ini jumlah teripang yang berhasil ditangkap sebanyak 1.232 ekor.”
Hasil tangkapan selama dua hari ini, berdasarkan kesepakatan diserahkan ke panitia sasi untuk disumbangkan untuk pembangunan gereja.
Menyangkut pembagian hasil sasi ini, menurut Awaluddinnoer, memang ditentukan melalui kesepakatan di gereja. Di Folley sendiri, kesepakatannya bahwa hasil tangkapan dua malam pertama akan diberikan kepada panitia atau gereja, lima hari selebihnya akan menjadi milik warga yang menangkapnya.
“Di kampung lain bisa beda. Ada yang menggunakan sistem persentase, misalnya sekian persen untuk gereja, petuanan sebagai pemilik sasi dan warga yang menangkapnya. Jumlah persentasenya juga tergantung pada kesepakatan bersama.”
Sasi ini sendiri memiliki sejumlah aturan. Selain aturan pembagian hasil tangkapan, ada juga tentang ukuran taripang yang boleh ditangkap, yaitu antara 10 – 25 cm. Selain ukuran itu harus dikembalikan lagi ke laut.
“Semua tangkapan itu harus dilaporkan untuk dicatat dan sebagai bentuk pengawasan apakah ukuran teripang yang ditangkap sudah sesuai aturan,” jelas Kaleb.
TNC sendiri, sejak 2015 ini berupaya memperbaiki metode monitoring yang dilakukan dengan melihat pengalaman pada pelaksanaan monitoring sebelumnya.
“Hanya perubahan metode saja yang lebih mudah dipahami oleh warga,” jelas Awaluddinnoer.
Selain di Kampung Folley, sasi yang didorong TNC juga di delapan kampung lainnya, lima di Misool dan empat di Kofiau. Tak semua sasi ini berjalan efektif karena akan sangat tergantung pada efektifitas kepengurusan panitia pelaksana sasi.
Ke depan, TNC berencana akan melakukan penguatan hanya di tiga sasi, yang dinilai memiliki kepengurusan yang berjalan baik.
Sasi, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal Di Raja Ampat was first posted on July 12, 2015 at 5:00 am.