Beragam kritikan dan argumentasi bermunculan merespon hadirnya UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H) yang dinilai dapat merugikan hak-hak masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Undang-Undang ini dipandang sangat diskriminatif serta dapat mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat terhadap hutan. Adanya UU P3H ini membawa dampak besar memisahkan hubungan masyarakat dengan hutan, padahal di Sumbar, hutan merupakan bagian dari ulayat.
Di Sumbar terdapat 517 nagari/desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan, yang mengakibatkan sering terjadi konflik kehutanan, mulai dari permasalahan penetapan kawasan hutan, tata batas, pemetaan serta mengenai pengelolaannya.
Hutan merupakan bagian dari ulayat seperti itu ketentuan dalam hukum adat yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat, termasuk berfungsi sebagai cadangan ekonomi bagi anak-cucu kemenakan di masa yang akan datang.
Untuk menjamin keberlanjutannya, hutan diatur secara adat berdasar fungsi yaitu mulai dari rimbo larangan, hutan cadangan dan hutan olahan. Pengaturan hutan secara adat hingga kini masih dipakai dan diakui oleh masyarakat.
Pakar hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum pada Rabu (11/03/2015), mengatakan bahwa hak ulayat merupakan hak tradisional yang bersifat komunal dari masyarakat hukum adat untuk menguasai dan mengelola suatu wilayah tertentu dalam rangka mendukung kelangsungan hidup anggota masyarakatnya sendiri.
Maka setiap anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan berhak dengan bebas mengolah dan memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam yang ada dalam kawasan mereka. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi masyarakat luar atau pendatang, kecuali setelah mendapatkan izin dari masyarakat itu sendiri.
Kalau ada undang-undang dalam penyelenggaraan negara yang menghapus keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam pengelolaan tanah dan kekayaan alam tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional).
Pasal 11 ayat (4) UU P3H menyatakan, bahwa “masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang masyarakat yang dimaksud termasuk masyarakat hukum adat. Dalam pelaksananaan hak ulayat, pengambilan hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu dalam wilayah adatnya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya, merupakan hak internal yang melekat dengan anggota masyarakat hukum adat, tegasnya.
Kurnia menambahkan masyarakat hukum adat mengalami nasib tragis, ibarat kata pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Hak ulayat mereka atas bumi, air dan kekayaan alam, terutama hutan telah dirampas oleh pemerintah, dan mereka terancam dipidana pula pada saat memanfaatkan hutan ulayat tanpa izin negara. Kondisi ini tentu sangat bertentangan dengan amanah konstitusi yang dengan tegas mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.
Peneliti kebijakan kehutanan dari Perkumpulan Qbar, Roky Septiary, S.H saat mengatakan UU P3H merupakan contoh produk legislasi buruk yang cacat formil, dibuat secara tidak partisipatif dan tidak transparan. Secara materi, isi undang-undang ini menimbulkan ketidakpastian hukum, menciptakan masalah baru serta sangat berpotensi mencederai hak-hak Konstitusional warga negara. Mestinya hal itu menjadi pertimbangan utama pada saat melakukan pembahasan terhadap rancangan undang-undang tersebut.
Dia menambahkan bahwa undang-undang ini justru melanggengkan konflik kehutanan sebagai akibat dari ketidakpastian jaminan negara atas pengelolaan hutan oleh masyarakat. Norma-norma yang terdapat dalam undang-undang ini sangat tendensius, menyasar kepada masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan penduduk desa di sekitar dan dalam kawasan hutan.
Yontameri Rajo Jambak, salah seorang pemohon dalam pengujian UU P3H yang berasal dari Sumbar kepada Mongabay pada Rabu (18/03/2015) mengatakan Nagari Malalo merupakan daerah yang berdampingan langsung dengan kawasan hutan bahkan diantaranya masyarakatnya ada yang bermukim dalam kawasan hutan.
Keberadaan hutannya sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan sumberdaya air serta menjaga kawasan pemukiman dari ancaman bencana longsor atau galodo. Untuk itu masyarakat menerapkan sanksi adat bagi siapa saja yang memasuki hutan larangan dan hutan cadangan yang telah diperuntukkan.
Masyarakat adat Malalo membagi pengelolaan hutan tersebut menjadi tiga fungi pengelolaan yaitu hutan larangan, hutan cadangan dan hutan paramuan. Hutan larangan, merupakan hutan ulayat Nagari yang belum terbagi kepada suku-suku, seluruh isi hutannya tidak dapat dimanfaatkan baik berupa hasil hutan kayu maupun bukan kayu, biasanya letaknya jauh ditengah hutan.
Hutan cadangan merupakan kawasan hutan yang belum terbagi kepada suku-suku namun memungkinkan untuk dibagi seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemanfaatannya dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu dan harus seizing ninik mamak penguasa ulayat.
Sedangkan hutan paramuan merupakan kawasan hutan yang sudah terbagi kedalam suku-suku dan dapat dimanfaatkan oleh Anak Nagari baik berupa kayu, hasil hutan lainnya, maupun diolah menjadi areal peladangan, kata Yontameri saat memberikan keteranganya sebagai saksi dalam pengujian UU P3H pada Jum’at (20/11/2014).
“Sudah ada aturan adat serta peraturan nagari mengenai pengelolaan sumberdaya hutan di Malalo dan hingga kini masih berlaku,” tegasnya.
Sedangkan Agita Fernanda, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan UU P3H disahkan pada 2013, sedangkan pada 2012 sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana dalam putusannya memisahkan antara hutan adat dan hutan negara.
Lantas kenapa UU No. 18 Tahun 2013 ini tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut?, Negara semestinya menghormati hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya hutannya.
Agita bersama mahasiswa lainnya di kampus tengah menggalang dukungan pada seluruh civitas akademika Universitas Andalas dengan membuat petisi yang memuat tentang penolakan atas pemberlakuan UU P3H karena dipandang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan dapat mengkriminalisasi masyarakat atas pengelolaan sumberdaya hutan kedepannya.
Mereka mendukung upaya judicial review terhadap undang-undang ini yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan meminta kepada Hakim Konstitusi untuk mengabulkan pemohonan Judicial Review atas pengujian undang-undang tersebut.
Ironi Masyarakat Hukum Adat Terhadap UU P3H di Sumbar. Seperti Apa? was first posted on March 21, 2015 at 12:00 am.