Masa depan pertanian Indonesia terancam dengan semakin berkurangnya minat generasi muda untuk terjun di bidang pertanian, khususnya untuk pertanian pangan. Merosotnya luas lahan garapan kepemilikan pribadi dinilai sebagai salah satu penyebab keengganan ini.
“Ini terjadi dimana-mana, generasi muda semakin hilang dan berkurang yang mau bekerja di sektor pertanian. Ini menjadi tantangan pertanian kita ke depan,” ungkap Nurhady Sirimorok, peneliti dari Ininnawa, dalam sebuah diskusi di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Mei 2015 lalu.
Menurutnya, pembangunan desa akan sangat bergantung pada tenaga produktif, sehingga ketika tak ada lagi generasi muda yang mau mengerjakan lahan, maka kebutuhan pangan pasti akan disuplai dari luar.
Dengan semakin banyak orang yang meninggalkan desa maka kebutuhan pangan mereka akan diimpor dari luar. Apalagi jika lahan tersebut diubah menjadi lahan perkebunan untuk keperluan ekspor, seperti sawit dan lain-lain. Desa yang dulunya eksportir pangan akan berubah menjadi importir.
“Rendahnya keuntungan dari usaha tani, kurangnya lahan, dan tingginya harga tanah pertanian menjadi halangan utama generasi muda desa membayangkan masa depan mereka bersama cangkul dan tanah,” kata Nurhady, yang juga peneliti di Insist ini.
Ia mencontohkan apa yang terjadi di Desa Maleali, sebuah desa penghasil kakao di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Di desa tersebut, sebagian besar lahan pertanian sudah disulap menjadi lahan kakao, termasuk pekarangan rumah yang dulunya untuk tanaman sayuran.
“Mereka pada akhirnya semakin terdesak oleh komoditas kakao, sehingga seluruh kebutuhan pangan kemudian harus diimpor dari luar,” katanya.
Trend pertanian kakao yang dimulai sejak tahun 1990-an, selain memberi harapan baru bagi kesejahteraan juga dinilai sebagai ancaman bagi keberlanjutan pertanian pangan.
“Masalahnya adalah kakao memiliki siklus hidup. Kakao itu seperti mesin, ketika sudah melewati usia 10-15 tahun maka produktifitasnya akan semakin menurun dan tidak bisa diperbaiki lagi,” lanjut Nurhady.
Ketika lahan pertanian ini semakin rusak maka akan ditinggalkan karena tidak menjanjikan lagi. Mereka akhirnya menjadi buruh tani di usia tuanya.
“Mereka pergi menjadi buruh tanam atau buruh pengupas kelapa padahal usia mereka tidak muda lagi. Dulunya mereka membuka lahan untuk pangan, menanam dan mendapatkan hasilnya. Sekarang mereka bangkrut,” jelasnya.
Di Desa Cendana Hijau, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur, bahkan sejumlah petani transmigran meninggalkan lahan pertaniannya untuk diubah menjadi pabrik pembuatan batu bata, karena dinilai lebih prospektif.
Lebih jauh Nurhady menjelaskan tentang fenomena di Desa Maleali, tentang generasi muda terdahulu yang tumbuh di masa kejayaan kakao.
“Dulu mereka tidak ada yang tertarik bekerja di luar pertanian karena mereka merasakan hasilnya. Prestise mereka naik sehingga mereka tidak tertarik untuk kerja kantoran.”
Kondisi ini membuat mereka banyak yang tidak melanjutkan sekolah dan justru fokus untuk mengerjakan lahan perkebunan kakao mereka.
“Itu sebabnya mereka banyak yang tidak sekolah atau putus sekolah. Hasilnya, saat ini banyak di antara mereka, yang sekarang telah berusia 30-an, hanya tamatan SD.”
Mereka ini tetap bertahan di dunia pertanian hanya jika mereka melihat prospeknya bagus. Keyakinan ini runtuh, ketika mereka akhirnya menyadari bahwa butuh modal besar untuk melewati siklus itu. Khususnya untuk mengembalikan kesuburan tanah yang terkuras oleh kakao dan menyemprotan kimia bertahun-tahun.
“Para petani ini ternyata kemudian tidak memiliki persiapan melalui siklus tersebut, sehingga kemudian harus bekerja keras lagi memulai dari awal.”
Dengan pengalaman kegagalan di masa lalu disertai perspektif baru bahwa tak ada lagi masa depan untuk pertanian, mereka pun mendorong anak-anak meninggalkan desa, untuk sekolah yang tinggi. Ironsinya, ketika anak-anak ini tak ingin lagi kembali ke desa.
“Jadi beberapa tahun ke depan kita akan menemukan banyak generasi muda yang meninggalkan desa, dan dari sinilah akan menimbulkan masalah baru, dengan semakin jauhnya mereka dari pertanian.”
Nurhady mencontohkan kasus menarik lainnya di Desa Soga, Kecamatan Marioriawa, Soppeng, Sulsel, yang tidak ada pertandingan sepak bola karena tidak ada lagi pemuda. “Tak banyak generasi muda yang tertinggal desa, bahkan untuk membentuk satu tim sepakbola pun sudah tak cukup.”
Di desa tersebut memang tak ada SMA, yang ada hanya sebuah SMP. Anak-anak yang sekolah ke luar desa biasanya tidak kembali lagi. Sementara yang tidak sekolah juga banyak meninggalkan desa karena melihat tak ada harapan lagi di sektor pertanian.
“Desa itu juga kampung kakao seperti halnya di Maleali. Ketika kakao tidak lagi memberi hasil yang baik, lahan pun tidak serta merta pulih kesuburannya maka tak ada jalan lain bagi mereka selain meninggalkan desa mencari penghidupan di tempat lain.”
Desa Soga ini pun kini memilih komoditas lain untuk ditanam, seperti jagung, meski tidak seprospektif tanaman kakao sebelumnya. Itupun lebih banyak untuk dijual dibanding untuk konsumsi sendiri.
“Untuk mendapatkan beras sebagian warga kemudian menjadi buruh panen di desa-desa lain sekitar. Dari situlah kemudian mereka mendapatkan beras untuk konsumsi pribadi. Ini ironis, karena dulunya desa ini justru dikenal sebagai daerah pertanian.“
Nurhady sendiri belum bisa memastikan penyebab kelangkaan generasi untuk bertani di Desa Soga ini. Untuk mengetahui persoalannya secara jelas harus diketahui dulu struktur kepemilikan lahan di desa tersebut.
“Sekarang kami masih meneliti bagaimana struktur kepemilikan tanah di sana. Asumsi saya, sebagian anak-anak yang pergi itu adalah mereka yang tidak punya lahan atau punya lahan sedikit sehingga tidak cukup untuk diwariskan. Prospeknya tidak mencukupi, akhirnya mereka mencari pekerjaan di luar pertanian.”
Pada akhirnya di desa tersebut muncul dilema bagi mereka, di satu sisi mereka senang ketika anak-anak mereka bisa bekerja dan berkiprah di luar, namun di sisi lain merasa resah karena tak ada lagi generasi pelanjut yang akan membangun desa kelak.
Kekhawatiran Nurhady ini sejalan dengan hasil Sensus Pertanian 2013 lalu, yang menunjukkan tren penurunan jumlah petani, yaitu dari 31,7 juta rumah tangga (RT) petani turun pada 2003, menjadi 26,13 juta RT (2013), atau penurunan sekitar 5,04 juta RT (1,75%).
Hasil sensus ini juga menunjukkan bahwa rumah tangga petani rata-rata hanya menguasai 0,89 hektar dan khusus untuk sawah rata-rata cuma 0,39 hektar.
“Lahan pertanian seluas rata-rata 0,89 hektar per RT inilah yang diperebutkan oleh sekitar 30 juta keluarga petani Indonesia. Banyak generasi muda petani harus mencari uang dengan merantau demi mendapatkan lahan garapan pada masa tua.”
Justru yang meningkat kemudian adalah unit pertanian dan perkebunan padat modal yang berarti bahwa orang-orang inilah yang kemudian menjadi buruh tani.
Data BPS 2014 menyebutkan, Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman pangan hanya mencapai 100,24 pada 2013 dan 100,07 pada 2014. Angka ini menunjukkan betapa mereka hanya hidup dari keuntungan marjinal.
NTP adalah rasio antara harga produk petani dan harga barang-barang kebutuhan petani, salah satu indikator utama untuk melihat kesejahteraan petani. Angka NTP 100 berarti petani mengalami impas, lebih besar dari itu mereka untung dan lebih kecil menandakan kerugian.
“Angka ini pun masih rata-rata, belum memilah antara petani kecil, menengah dan besar, juga antara petani pemilik tanah dan tunakisma atau orang yang tak punya tanah.”
Dengan segala kondisi ini Nurhady melihat adanya ancaman ke depan terhadap pertanian di Indonesia.
Pertama, Indonesia akan kehilangan generasi petani. Kalaupun jadi petani mereka hanya menjadi buruh tani, sehingga tidak bisa mengontrol apa yang ingin ditanam.
“Kalau perusahaan bilang tanam sawit mereka akan tanam sawit. Sehingga makanan pokok kita akan tergantung dari luar melalui impor.”
Kedua, Indonesia akan kehilangan pertanian berbasis keluarga atau rumah tangga. Kondisi sekarang, dinilai Nurhady membuat petani sulit untuk bertahan mempertahankan kepemilikan lahannya.
“Dengan naiknya harga saprodi akan menaikkan biaya produksi, sehingga mereka akan memilih jadi buruh dibanding mengolah lahan mereka yang sedikit.“
Jika semua itu terjadi, maka pengetahuan bertani akan hilang sendirinya karena tergantikan dengan mekanisasi mesin. Petani tidak lagi belajar tentang pengetahuan pemuliaan, cuaca, dan pengendalian hama. Kearifan lokal pertanian perlahan akan hilang.
“Masalah berlanjut ketika semua alat yang digunakan tersebut tenyata harus dibeli dan diimpor dari luar. Meskipun ada petani tapi kita tetap bergantung dari alat-alat dari luar tersebut. Ketahanan pangan terancam. Misalnya suatu saat kita tak punya benih lagi, maka apa yang bisa dilakukan pemerintah jika suatu saat ada embargo dari luar?”
Globalisasi industri pangan saat ini, menurutnya, hanya dipegang oleh sedikit perusahaan dan secara progresif melakukan pengintegrasian petani dan lahan mereka ke dalam sistem pasar global. Petani hanya salah satu pekerja dalam industri pangan.
“Kalau dalam kasus padi ada mekanisasi dan input kimia. Jadi yang paling diuntungkan adalah mereka produsen input-input tersebut.”
Pada kasus kakao, Nurhady melihat petani hanya menjadi buruh tani kakao global. Karena semua standar mutu dan harga akan ditentukan oleh pasar dunia.
Andaikan keluarga petani mempunyai lahan dua hektar, yang dapat dibagi sebagai lahan pertanian monokultur baik sawit maupun kakao.
“Mereka bermain diinsentif, padahal merekalah yang mendapatkan keuntungan paling kecil dari produksi kakao global, sementara seluruh risiko ditanggung sendiri oleh petani. Kalau terjadi gagal panen maka ini tidak ditanggung oleh mata rantai yang lain.”
Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar hanya bergerak pada level atas saja misalnya menyuplai alat pertanian, bahan kimia, industri prosesing.
“Tidak ada satupun yang bergerak di bidang produksi kakao di Indonesia. Tahun 2007, sekitar 89% produksi kakao dihasilkan oleh petani kecil sisanya dihasilkan oleh perusahaan negara. Karena memang risikonya tinggi.”
Petani Berkurang, Masa Depan Pertanian Indonesia Terancam was first posted on June 25, 2015 at 5:21 am.