Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2538

Hindari Tengkulak, Warga Ini Jualan Produk Hasil Lautnya Lewat Online

$
0
0

Nurhayati tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Senyum lebar mengembang di wajahnya yang terlihat letih. Belum beberapa jam ia memajang produk kelompok usahanya, berupa ikan bandeng cabut duri di sebuah toko online yang cukup popular di Indonesia, ia telah mendapatkan tawaran pembelian.

“Alhamdulillah sudah ada penawaran 100 ekor bandeng cabut duri. Terima kasih Oxfam yang sudah memfasilitasi kegiatan pelatihan ini,” tulisnya pada statusnya di facebook.

Hal serupa dirasakan Daeng Rani. Hanya beberapa menit setelah memasang iklan penjualan rumput laut kering, ia telah mendapatkan tawaran pembelian sebanyak 1 ton. Ia segera membalas penawaran itu di akun toko online yang baru saja dibuatnya.

“Wah sudah ada tawaran pembelian satu ton. Cepat sekali ya,” katanya setengah berteriak. Ia tak menyangka respon pembeli begitu cepat, padahal sebelumnya ia pesimis. Lapak penjualan rumput laut yang dibuatnya bahkan masih berupa uji coba pelatihan.

 

Untuk meluaskan pemasaran produknya, para ibu -dari kelompok pesisir dari empat kabupaten di Sulsel binaan program RCL Oxfam ini antusias memanfaatkan toko online sebagai sarana pemasaran, meski dengan keterbatasan pengetahuan internet. Foto : Wahyu Chandra

Untuk meluaskan pemasaran produknya, para ibu -dari kelompok pesisir dari empat kabupaten di Sulsel binaan program RCL Oxfam ini antusias memanfaatkan toko online sebagai sarana pemasaran, meski dengan keterbatasan pengetahuan internet. Foto : Wahyu Chandra

 

Daeng Rani mengakui tidak pernah membayangkan sebelumnya jika penjualan melalu toko online tenyata sangat sederhana dan mudah dilakukan tanpa harus memiliki pengetahuan internet yang luas.

Pengalaman Nurhayati dan Daeng Rani ini dialami ketika mereka mengikuti pelatihan marketing  online yang dilaksanakan oleh Oxfam melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL),  pada 10-12 Juni 2015, di Hotel M Regency, Makassar, Sulawesi Selatan.

Kegiatan ini diikuti 18 peserta yang berasal dari anggota kelompok usaha pesisir binaan program RCL Oxfam di empat kabupaten di Sulsel, yaitu Takalar, Barru, Maros dan Pangkep. Jenis usaha mereka bermacam-macam, mulai dari usaha rumput laut, produk makanan olahan hasil laut, seperti keripik kepiting, nuget ikan bandeng, sirup rumput laut, ikan bandeng cabut duri dari tambak organik, pertanian organik dan beragam makanan dan minuman olahan dari hasil laut dan pesisir.

Tidak hanya diberikan materi, para peserta di hari ketiga bahkan diajari cara pendaftaran sebagai penjual di berbagai laman toko online. Akun penjualan dari simulasi ini bahkan diarahkan bisa menjadi akun kelompok, yang bisa digunakan para peserta secara berkelanjutan setelah pelatihan.

Menurut Alauddin Latief, Media Officer RCL Oxfam, kegiatan ini bertujuan untuk mendukung pemasaran kelompok usaha yang dalam lima tahun terakhir telah didampingi Oxfam. Selama ini penjualan mereka terbatas dengan kemasan yang sederhana dan distribusi yang terbatas hanya sekitar desa saja.

“Kita lihat ada potensi besar dari kelompok-kelompok usaha ini. Kualitas produk mereka juga semakin baik, sehingga kami cukup yakin ini bisa dijual secara luas melalui pasar online,” ungkap Alauddin.

Untuk pasar rumput laut, Alauddin berharap dengan semakin terbukanya pasar rumput laut ini akan memutus mata rantai tengkulak di daerah yang masih sering ditemukan di daerah pesisir. Petani rumput laut diharapkan bisa mendapatkan selisih keuntungan yang lebih besar karena tidak melalui perantara lagi dan terbebas dari cengkeraman utang pada tengkulak.

“Kalau mereka mendapatkan pasar langsung tanpa perantara, harganya tentu akan lebih baik. Selama ini kan pembelinya bertingkat dari petani ke pedagang kecil sebagai pengumpul yang lalu dijual ke pedagang besar. Melalui pemasaran online bisa langsung. Petani pun tidak lagi harus dirugikan oleh fluktuasi harga yang kadang sangat merugikan,” katanya.

Hal yang menarik dari pelatihan ini adalah para peserta, yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, hanya memiliki pengetahuan internet yang terbatas. Tapi ternyata mereka tetap antusias mengikuti dengan baik pelatihan itu. Sebagian besar mereka selama ini hanya aktif di facebook melalui handphone. Bahkan untuk membuat email sebagai syarat bergabung di pasar online, peserta harus mendapat bimbingan khusus.

Faisal, salah satu narasumber, menjelaskan bahwa meski toko online memiliki prospek untuk pemasaran produk namun prinsip kehati-hatian harus selalu diutamakan.

“Memang ada juga biasa yang nakal yang berpura-pura sebagai pembeli ataupun penjual namun niatnya adalah penipuan. Harus selalu dipegang prinsip kehati-hatian,” katanya.

Menurut Alauddin, salah satu kendala pemasaran produk selama ini pada kemasan yang tidak menarik dan tak tahan lama, sehingga ia berharap ketika produk kelompok usaha, khususnya untuk makanan olahan dari hasil laut, ingin dipasarkan secara online harus benar-benar sudah diperbaiki dan dipercantik bentuknya.

“Meski produknya bagus tapi jika tak dikemas dengan baik maka tak akan menarik banyak pembeli. Kita akan membantu dalam hal kemasan sebagai branding. Tapi kita takkan sekedar membantu tetapi juga tetap memperhatikan keberlanjutan. Ketika Oxfam tidak membantu lagi, kita berharap warga bisa tetap eksis,” jelasnya.

Nurhayati berharap dengan pengetahuan baru dari pelatihan ini bisa memperluas pasar produk mereka. Selama ini beberapa produk makanan olahan milik kelompoknya terbatas dijual di desa atau dititipkan di gerai milik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep di Patampa, Kecamatan Bungoro. Ini membuat produk mereka terbatas. Untuk penjualan ikan bandeng cabut duri, misalnya, paling mereka hanya bisa menjual 30 ekor per minggunya.

“Tadi meski baru uji coba bisa langsung dapat pesanan hingga 100 ekor. Semoga ini bisa menjadi penyemangat bagi anggota kelompok untuk memproduksi lebih banyak lagi.”

 

Rumput lau menjadi salah satu produk andalan masyarakat pesisir, yang kini dikelola secara lebih serius oleh ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok usaha tani. Kendala utamanya pada harga yang fluktuatif permainan tengkulak. Pemasaran secara online diharapkan bisa menjadi solusi. Foto : Wahyu Chandra

Rumput lau menjadi salah satu produk andalan masyarakat pesisir, yang kini dikelola secara lebih serius oleh ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok usaha tani. Kendala utamanya pada harga yang fluktuatif permainan tengkulak. Pemasaran secara online diharapkan bisa menjadi solusi. Foto : Wahyu Chandra

 

Optimisme juga dirasakan oleh Rabbasiah Nutta, peserta dari Kepulauan Tanakeke Kabupaten Takalar. Ia berharap dengan adanya fasilitas penjualan online ini bisa menghidupkan kembali berbagai usaha olahan laut di desanya yang sempat dihentikan karena kurangnya pembeli.

“Selama ini usaha makanan olahan sulit berkembang karena pembeli yang terbatas. Itulah kemudian sebabnya kami fokus ke budidaya rumput laut saja. Kalau melihat sekarang ternyata ada pasar online, semoga bisa dihidupkan kembali usaha yang sempat mati suri itu,” katanya.

Hanya saja, tantangan yang dihadapi di desanya adalah akses internet yang terbatas. Meskipun telah ada menara BTS di desanya namun untuk akses internet biasanya membutuhkan waktu lama.

“Di kampung kami jauh di kepulauan meski sudah ada tower di Desa Baladatu namun aksesnya sangat lambat. Untuk membuka facebook saja butuh waktu lama, apalagi untuk buka website. Tapi kita akan carikan solusi,” katanya.

Optimisme juga dirasakan oleh Salmiah, peserta dari Kabupaten Barru. Ia malah bercita-cita untuk bisa segera membagi ilmu pemasaran online ini bagi warga lain di desanya.

“Ada banyak produk yang bisa dijual di desa. Semoga pengetahuan dari pelatihan ini bisa mendukung usaha kelompok usaha tani di desa,” katanya.

Usaha kue bolu, salah satu makanan khas lokal masyarakat Bugis, yang dikembangkan Salmiah dan kelompoknya, Kelompok Bahagia, cukup menjanjikan. Dalam sehari ia bisa membuat adonan kue dari bahan 200 kg terigu dengan hasil ribuan buah kue bolu. Pasarnya pun sudah sampai ke daerah lain. Usaha ini bahkan mampu meningkatkan taraf hidup belasan perempuan anggota kelompok.

RCL Oxfam adalah sebuah program peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir di Sulsel, yang dimulai sejak 2010 silam dan akan berakhir pada Agustus 2015 mendatang. Dalam rentang waktu lima tahun ini 100-an kelompok usaha masyarakat pesisir telah dibentuk. Dukungan diberikan melalui bantuan barang (in kind) yang penggunaanya bersifat bergulir.

Kelompok-kelompok ini juga diberikan berbagai pelatihan pengembangan usaha. Salah satu kelompok dampingan RCL yaitu Pita Aksi bahkan telah mendapatkan penghargaan dari Presiden RI pada awal tahun 2015 lalu.

Tidak hanya focus pada usaha-usaha olahan dari hasil laut, program RCL juga mendorong pertanian dan tambak organik. Salah satu hasilnya adalah pada pertengahan April 2015 lalu, Kelompok Makkawaru dari Desa Paopao, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, berhasil panen perdana untuk padi organik, dengan hasil mencapai 7,5 ton per hektar, melebihi jumlah panen pada sawah non-organik.

“Kita berharap produk-produk organik dari binaan Oxfam ini juga bisa kelak dipasarkan secara luas melalui toko online. Apalagi pasar produk organik cukup menjanjikan dan harga yang lebih mahal,” tandas Alauddin.


Hindari Tengkulak, Warga Ini Jualan Produk Hasil Lautnya Lewat Online was first posted on June 18, 2015 at 5:25 am.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 2538

Trending Articles