Sadar bahwa sumber daya laut tidak selamanya akan tersedia, Pemerintah mulai fokus mengembangkan budidaya perikanan dan kelautan. Salah satu komoditas yang digenjot pengembangannya secara masif adalah rumput laut.
Pengembangan budidaya rumput laut saat ini dinilai sudah menunjukkan perkembangan pesat, mulai dari penelitian, produksi, hingga pengolahannya. Pemerintah hal itu, karena rumput laut di pasar internasional sangat diminati dan belum banyak negara yang melakukan budidayanya.
Direktur Jenderal Budidaya Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebijakto mengatakan, pemilihan rumput laut sebagai komoditas utama dalam pengembangan budidaya perikanan, karena komoditas tersebut dinilai paling bisa dipasarkan secara domestik maupun internasional.
“Dibandingkan dengan komoditas lain, memang rumput laut ini yang paling menjanjikan. Makanya sebagian besar produksi dari marikultur atau budidaya (perikanan) disumbang dari rumput laut,” ujar Slamet.
Selain bisa bersaing di pasar internasional, pemilihan rumput laut sebagai komoditas utama budidaya perikanan karena berbiaya murah dan mudah untuk dikembangkan oleh siapapun.
“Yang paling penting, dari rumput laut ini, adalah dalam pengembangannya bisa menyerap tenaga kerja, terutama mereka yang tinggal di kawasan pesisir pantai. Dengan demikian, rumput laut akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pada akhirnya,” tuturnya.
Berdasarkan data Dirjen Budidaya Perikanan KKP, produksi rumput laut pada 2013 mencapai 930.000 ton. Dari jumlah tersebut, 176.000 ton kering diekspor dengan nilai mencapai USD162,4 juta, sedangkan rumput laut yang diolah jumlahnya 120.000 ton kering.
Zonasi Pantai untuk Budidaya Rumput Laut
Mengingat rumput laut saat ini menjadi komoditas andalan dalam pengembangan budidaya perikanan, KKP perlu menata zonasi di berbagai daerah dengan batasan hingga 4 mil dari garis pantai.
“Rumput laut ini zonasinya 4 mil. Sementara yang zonasi di atas 4 mil bisa dikembangkan untuk komoditas yang lain dan disesuai dengan daerah masing-masing. Misalnya, ada yang mengembangkan kakap, kerapu, bawal bintang, abalone, atau tuna,” papar Slamet.
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) KKP Achmad Poernomo juga menilai sama bahwa penataan zonasi pantai mutlak agar pembudidayaan rumput laut akan lebih terjamin keamanannya, sehingga bisa tumbuh dengan baik. Bila zonasi tidak diatur, budidaya rumput laut di lepas pantai bisa terancam keberlangsungannya.
“Kalau ada zonasi, maka itu dijamin tidak ada aktivitas lain selain rumput laut saja. Namun, kalau tidak ditata zonasi, maka bisa saja beberapa meter dari lokasi budidaya rumput laut, ada aktivitas budidaya perikanan lain atau bahkan aktivitas lain di luar budidaya perikanan,” jelasnya.
Achmad mengungkapkan, perlunya dilakukan penataan zonasi karena itu bisa memicu perbaikan kualitas dan peningkatan produksi. Pasalnya, dengan kondisi sekarang saja, kata dia, rumput laut dari Indonesia produksinya sudah bisa mengalahkan Filipina yang sejak lama dikenal sebagai produsen rumput laut dunia.
“Selain zonasi, yang harus dilakukan oleh para petani adalah bagaimana memilih bibit unggul dan mengatasi penyakit ice-ice yang masih menyerang di sejumlah tempat budidaya. Selain itu juga, sekarang Pemerintah harus bisa menentukan output secondary dari rumput laut ini,” tandasnya.
Output secondary dimaksudkan rumput laut saat ini tidak hanya untuk menyuplai kebutuhan produksi agar-agar saja, tetapi juga menyuplai kebutuhan produksi farmasi, dan atau kosmetik.
“Yang paling utama adalah bagaimana sekarang petani bisa bersabar hingga 45 hari menunggu rumput laut siap dipanen. Jika tidak, maka itu akan mengancam kualitasnya dan kandungan agarnya menjadi berkurang,” ucap Achmad.
Saat ini, potensi lahan marikultur yang bisa digunakan untuk budidaya perikanan mencapai 4,58 juta hektare yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena rumput laut menjadi prioritas, sebagian besar dari lahan tersebut bisa digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Untuk rumput laut sendiri, KKP saat ini memiliki sentra penelitian dan pengembangan di Boalemo, Gorontalo. Menurut Achmad, untuk sentra produksinya, saat ini tersebar sepanjang garis pantai dari Boalemo hingga ke Teluk Tomini di Sulawesi Tenggara.
Daya Serap Masih Sedikit
Meski menjadi prioritas oleh Pemerintah, namun kenyataannya saat ini daya serap rumput laut untuk industri di Indonesia masih sedikit. Namun, itu terjadi karena industri di Indonesia yang menggunakan bahan baku rumput laut masih sangat sedikit.
“Kebutuhan pasar nasional rumput laut bisa dipenuhi karena memang industrinya masih sedikit. Sementara, produksinya sangat besar karena Indonesia sudah dikenal sebagai salah satu negara penghasil rumput laut di dunia,” ungkap Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis.
Karena belum banyak terserap, Safari berpendapat kalau rumput laut harus bisa diberdayakan sebaik mungkin, termasuk dengan mengekspor ke negara lain.
Perlu Penataan Zonasi Pantai Dalam Budidaya Rumput Laut was first posted on June 15, 2015 at 3:38 am.