Pesatnya pertumbuhan industri di suatu negara khususnya di kawasan Asia Tenggara, menjadikan konsumsi energi juga menjadi semakin besar. Data dari International Energy Agency (IEA) tahun 2014 menyebutkan, terjadi peningkatan permintaan energi hingga 80 persen di kawasan Asia Tenggara hingga tahun 2035. Secara umum pemenuhan kebutuhan energi hingga kini masih disediakan dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui, yang dapat menimbulkan kekhawatiran polusi hingga perubahan iklim global.
Kondisi seperti ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk memunculkan energi alternatif yang terbarukan, untuk mengatasi persoalan ancaman kelangkaan energi. Persoalan energi terbarukan inilah yang menjadi pokok bahasan 27 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Asia Tenggara (ASEAN), pada Project Camp bidang energi ASEAN Youth Energy Institute 2015, 13-17 Maret 2015, di Universitas Surabaya Training Center, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur.
Kegiatan yang didanai oleh Young South East Asian Leaders Initiative (YSEALI) Seeds for the Future dari Amerika Serikat, ingin mengajak dan membangkitkan kesadaran generasi muda akan krisis energi serta kebutuhan energi terbarukan yang merupakan alternatif energi pada masa depan.
Project Manager ASEAN Youth Energy Institute 2015, William Alex Ginardy Lie mengatakan dikumpulkannya mahasiswa dari berbagai negara di ASEAN dengan keahlian di bidang energi, bertujuan membangun kesadaran masyarakat melalui generasi muda agar mulai beralih menggunakan energi terbarukan.
“Pemuda sebagai agen perubahan memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kemandirian energi bagi suatu bangsa, terutama di wilayah Asia Tenggara. Maka kami berinisiatif untuk mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa ASEAN yang berpotensi dibidang energi, terutama energi terbarukan, untuk dapat belajar bersama dan membagi ilmu mereka dalam suatu forum,” terang William.
Perkembangan industri serta perekonomian suatu negara yang begitu pesat menurut William, menjadi sebuah ironi karena masih banyaknya daerah-daerah terpencil di Asia Tenggara yang masih belum teraliri energi listrik.
“Kami melihat energi terbarukan belum banyak berkembang karena keterbatasan informasi, sehingga dibutuhkan informasi yang lebih baik dan penyuluhan ke masyarakat yang lebih baik,” kata William, mahasiswa yang baru lulus dari Universitas Kristen Petra Surabaya.
Persoalan energi masih tergantung pada bahan bakar fosil, dimana cadangan minyak bumi global bakal habis kurang dari 20 tahun. Sedangkan untuk gas alam diperkirakan akan habis sekitar 30 tahun, serta batu bara akan habis sekitar 70 hingga 80 tahun kedepan. Selain mudah habis, energi fosil juga memiliki dampak paling buruk bagi lingkungan.
Diungkapkan oleh Elieser Tarigan, Dosen sekaligus peneliti dari Pusat Penelitian Energi Terbarukan, Universitas Surabaya (Ubaya), semua kekurangan bahan bakar fosil itu harus menjadi landasan kuat dimulainya pemanfaatan energi terbarukan secara serius. Hingga saat ini hampir semua negara masih bergantung pada energi fosil, yaitu batubara, gas alam, dan minyak bumi, yang ikut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia secara ekonomi dan sosial politik.
“Mau tidak mau kita harus mengantisipasi bagaimana kedepannya, karena ini berkaitan dengan global warming yang menimbulkan perubahan iklim. Cara mengatasinya ada 2 yang sekaligus dapat berjalan bersama, yaitu konservasi dengan hemat energi, serta mencari sumber energi baru yang bersih dan selalu tersedia tanpa harus merusak lingkungan,” ujar Elieser.
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara, bahkan di dunia, yang memiliki potensi energi terbarukan yang tidak terbatas, yang belum digunakan maksimal dan optimal.
Energi terbarukan ini sangat tergantung pada karakteristik suatu daerah, sehingga efektivitasnya harus memperhatikan kondisi dan potensi daerah itu. Di Indonesia sedikitnya ada 7 potensi energi terbarukan, antara lain geothermal atau panas bumi, energi surya atau matahari, biomassa, air, angin, hy\idrogen, serta blue energi atau oceanic energi.
“Untuk Indonesia yang paling potensi adalah geothermal. Kita sering langka listrik padahal di pegunungan-pegunungan yang kita miliki ini sangat besar potensi geothermal di dalamnya, dan itu belum dieksploitasi, tidak sampai 15 persen yang dieksploitasi,” tutur Elieser yang menyebut potensi energi geothermal di Indonesia terbesar di dunia.
Penerapan energi terbarukan kata masih terkendala kebiasaan serta pemahaman masyarakat yang masih sudah sangat tergantung dengan energi fosil. Kampanye penyadaran untuk membuka pemahaman masyarakat sangat diperlukan, agar generasi kini dan yang akan datang dapat lebih terbuka dan memahami pentingnya energi terbarukan.
“Masyarakat kita mungkin tidak terbiasa dan tidak tahu, sehingga generasi muda harus dilibatkan untuk menimbulkan awareness bahwa energi yang kita pakai saat ini harus dicari solusi penggantinya,” imbuhnya.
Selain energi geothermal, Indonesia juga sangat kaya dengan energi matahari atau tenaga surya, karena letak Indonesia di garis khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari selalu terpancar sepanjang tahun. Selain itu energi angin dan tenaga arus laut juga sangat potensial, mengingat wilayah Indonesia yang kebanyakan terdiri dari kepulauan dan lautan.
Persoalan energi di Indonesia juga berkaitan dengan masih rendahnya tingkat elektrifikasi, yaitu 20-25 persen atau sekitar 48 juta dari sekitar 240 juta penduduk di Indonesia yang belum menikmati manfaat energi listrik, yang tersebar di berbagai pulau dan desa-desa terpencil.
“Kalau dibangun jaringan listrik oleh PLN mereka tidak akan mampu, salah satu solusinya ya energi matahari karena tersebar sepanjang hari dan sepanjang tahun. Dari penelitian saya, energi matahari per Kwh bisa Rp2500-2700, sementara PLN menjual energi listrik ke masyarakat Rp1500. Kenapa mampu, karena PLN disubsidi,” jabarnya.
Selain sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat, langkah alih energi dari fosil ke terbarukan juga memerlukan niat baik dan kebijakan pemerintah. Ia mengatakan bahwa sejauh ini pemerintah telah memberikan dukungan pengembangan energi terbarukan, meski belum mencapai pada tataran regulasi kebijakan.
“Secara omongan iya, tapi implementasi masih jauh. Mereka sudah mempunyai program, sudah ada peraturan-peraturan menteri dan sebagainya, tapi pada kenyataan kadang ada beberapa pihak yang menyalahgunakan dengan bermain proyek, sehingga masyarakat menjadi apatis,” ucap Elieser,
Sementara itu Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Joaquin F. Monserrate usai membuka Camping Project bidang energi, Sabtu (140/3/2015) mengatakan, program pertemuan mahasiswa Asia Tenggara di bidang energi ini diharapkan dapat menjadi jembatan, khususnya untuk saling menciptakan peluang kerjasama dibidang energi terbarukan.
“Harapannya adalah bahwa pemuda ini yang semuanya mahasiswa, tidak hanya bisa menjadi tokoh di masa depan, tapi juga bisa kerjasama dengan negara lain di Asia Tenggara di bidang energi terbarukan. Hari ini ada perwakilan dari Filipina, Vietnam, dan negara ASEAN lainnya, kami senang sekali karena bisa menciptakan kesempatan-kesempatan seperti ini,” tandas Joaquin.
Mahasiswa dari Mindanau University of Science and Technology, Filipina, Merogim Pairat Mugot mengatakan, pertemuan antar mahasiswa ASEAN yang membahas persoalan energi terbarukan, merupakan forum yang sangat bermanfaat bagi pengembangan energi terbarukan di setiap negara. Potensi energi terbarukan di negaranya lanjut Merogim, diharapkan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat.
“Saya akan menginformasikan kepada masyarakat di tempat tinggal saya mengenai pemanfaatan energi alternatif secara maksimal, bahwa selain sumber tenaga air juga banyak sumber energi terbarukan lainnya yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat, seperti panel tenaga matahari, dan banyak energi lainnya yang ada di sekitar,” pungkas Merogim.
Energi Terbarukan Dibahas Pada Pertemuan Mahasiswa ASEAN di Mojokerto was first posted on March 19, 2015 at 2:33 am.