*Rony Megawanto, Pengamat dan Pekerja Konservasi Kelautan. Tulisan ini merupakan opini penulis. |
Kementerian Kelautan dan Perikanan meluncurkan program kajian stok ikan nasional tanggal 21 Mei 2015 lalu. Program kajian stok tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya sebab dilakukan di semua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), sehingga menjadi yang terlengkap sejak Indonesia merdeka.
Kondisi stok ikan di perairan Indonesia sejatinya memang perlu dipahami secara lebih serius sebab informasi tentang stok ikan menentukan apakah perikanan Indonesia berada pada level dibawah Maximum Sustainable Yield (MSY), tepat pada level MSY, sudah melampaui MSY, atau bahkan telah mengalami keruntuhan (collapse).
Informasi kondisi stok ikan ini selanjutnya menentukan kebijakan yang mesti diambil pemerintah agar perikanan Indonesai tidak collapse. Beberapa negara pernah mengalami keruntuhan perikanan yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap kondisi stok ikan, seperti perikanan cod di Kanada, perikanan anchoveta di Peru, dan perikanan hering di Laut Utara.
Untuk menghindari perikanan dunia mengalami collapse, Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) tahun 1982 telah memberi mandat kepada negara pantai untuk melakukan kajian stok ikan. Pasal-Pasal dalam UNCLOS terkait Zona Ekonomi Eksklusif dan laut lepas (high seas) mengharuskan negara pantai untuk mengambil tindakan pengelolaan berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence available) untuk memastikan agar stok ikan berada pada posisi yang tidak melampaui Maximum Sustainable Yield (MSY).
Demikian juga dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Tata Laksana Perikanan yang Bertanggungjawab yang yang disetujui oleh seluruh peserta Konferensi FAO tahun 1995 menyebutkan bahwa semua negara harus mengerahkan segala upaya untuk mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan untuk kegiatan kajian stok ikan.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan diberi kewenangan untuk menetapkan potensi, alokasi sumber daya ikan, dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaanya, menteri mendapat rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.
Komnas Kajiskan
Komnas Kajiskan atau Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan adalah lembaga nonstruktural yang bersifat mandiri dan berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Jumlah anggota Komnas Kajiskan sebanyak 23 orang yang terdiri dari beberapa bidang keahlian, seperti biologi perikanan, pengkajian stok ikan, teknologi/kapasitas penangkapan ikan, bio-ekonomi perikanan, pengelolaan perikanan, biologi laut, ekologi perairan, limnologi, oseanografi, dinamika populasi, akustik perikanan, penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan statistik perikanan.
Sebelum memberikan rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Komnas Kajiskan melakukan penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian mengenai sumber daya ikan dari berbagai sumber. Penggunaan kata penghimpunan dan penelaahan menunjukkan bahwa komisi ini tidak melakukan kegiatan penelitian sendiri.
Penelitian stok ikan dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian perikanan, seperti Balitbang Kelautan dan Perikanan, LIPI, perguruan tinggi, dan lembaga lainnya. Lembaga-lembaga inilah yang mensuplai hasil penelitian kepada Komnas Kajiskan
Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan rekomendasi dari Komnas Kajiskan adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 45/MEN/2011tentang estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Kepmen ini menyebutkan bahwa estimasi potensi sumber daya ikan di Indonesia adalah sebesar 6,5 juta ton per tahun yang dikelompokkan ke dalam 11 Wilayah Pengelolaah Perikanan (WPP).
Selain menyajikan potensi sumber daya ikan di semua WPP RI, Kepmen ini juga menyajikan status tingkat eksploitasi sumber daya ikan di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan. Terdapat empat tingkatan status eksploitasi, yaitu 1) Over-exploited (warna merah), yaitu tingkat eksploitasi telah melewati level MSY, 2) Fully exploited (warna kuning), yaitu tingkat eksploitasi berada pada level MSY, 3) Moderate (warna hijau), yaitu tingkat exploitasi dibawah level MSY, dan 4) Moderate to fully-exploited (warna jingga), yaitu tingkat eksploitasi berada antara level moderate dengan fully-exploited.
Debat Metodologi
Menghitung ikan di laut memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibandingkan, misalnya, dengan menghitung tegakan pohon di hutan sebab ikan tidak terlihat secara langsung dan terus bergerak. Beberapa jenis ikan memulai siklus hidupnya di laut lalu bermigrasi ke perairan sungai saat dewasa. Jenis ikan lainnya memiliki siklus hidup sebaliknya, yaitu mulai di sungai atau estuaria lalu berpindah ke wilayah laut saat dewasa. Ada juga beberapa jenis ikan yang memiliki kemampuan bermigrasi yang sangat jauh, melintasi batas-batas negara. Tingkat kerumitan perikanan Indonesia semakin besar dengan tingginya keragaman jenis ikan.
Karena itu para pakar kajian stok ikan menggunakan teori, model matematika, dan data statistik untuk menentukan status kekinian stok ikan, tren dalam biomassa, dan kecenderungan trend dengan pilihan-pilihan strategi pengelolaan.
Terdapat beberapa mazhab dalam metodologi kajian stok ikan, namun menurut Widodo dan Suadi (2008), kajian stok ikan secara tradisional dapat digolongkan kedalam dua kelompok besar, yaitu model produksi surplus (surplus production model) dan model dinamika kolam renang (dynamic pool model). Model pertama dipelopori oleh Schaefer (1954) dan model kedua oleh Beverton dan Holt (1957).
Konsep produksi surplus merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan yang didasarkan pada pemikiran bahwa peningkatan populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedangkan penurunan dari populasi tersebut merupakan akibat dari mortalitas, baik karena faktor alam maupun oleh eksploitasi manusia. Model ini hanya memerlukan data catch (hasil tangkapan) dan effort (upaya penangkapan), dua jenis data yang selama ini dikumpulkan dan dipublikasikan dalam statistik perikanan. Sementara dalam model dynamic pool, parameter-parameter penyusun populasi ikan dipilah dan dihitung satu per satu, sehingga model ini juga sering disebut sebagai model analitik.
Menurut Ketua Komnas Kajiskan dalam sebuah pertemuan komunitas EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) di kampus IPB beberapa waktu yang lalu, kajian stok ikan nasional yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) mengkombinasikan antara metode analitik dan holistik (produksi surplus, sapuan, dan akustik).
Tindakan Pengelolaan Perikanan
Tujuan dari kajian stok ikan adalah menyajikan rekomendasi teknis kepada pengambil kebijakan dalam rangka mempertahankan produktifitas stok ikan. Dengan memahami kondisi stok ikan yang terdapat di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), maka salah satu kebijakan yang bisa diambil adalah menentukan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC).
JTB di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, menurut Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.15/1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEE Indonesia, setinggi-tingginya 90% dari jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY). Sementara JTB menurut Kepmentan No. 995/Kpts/lK210/9/99 tentang Potensi Sumber Daya Ikan dan JTB di Wilayah Perairan Indonesia adalah sebesar 80%. Berdasarkan ketentuan ini, angka JTB yang sering digunakan adalah 80% dari potensi sumber daya ikan lestari (MSY).
Hasil kajian stok ikan nasional tahun 2013 dilaporkan sebanyak 7,305 juta ton per tahun, meskipun belum menjadi data resmi sebab belum disahkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Dengan demikian, estimasi JTB adalah sebesar 6 juta ton per tahun yaitu 80% dari 7,305 juta ton.
Untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari JTB, beberapa negara telah menerapkan kebijakan kuota individual yaitu batasan jumlah tangkapan dari setiap unit penangkapan ikan dalam suatu periode tertentu. Jika total kuota individual telah mencapai JTB, maka pemerintah menghentikan semua kegiatan perikanan pada kurun waktu tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada stok ikan melakukan reproduksi. Namun hingga saat ini, Indonesia belum menerapkan kebijakan kuota individual ini.
Kebijakan perikanan lain yang bisa diambil berdasarkan informasi stok ikan adalah pembatasan jumlah kapal, pembatasan alat tangkap, selektifitas alat tangkap, pemilihan ukuran ikan, pemilihan jenis kelamin, pengaturan waktu tangkap, dan pengaturan jalur penangkapan ikan. Pilihan-pilihan kebijakan perikanan ini termasuk dalam kategori input control dan technical measure. Pemerintah Indonesia sudah cukup banyak mengeluarkan kebijakan kategori ini.
Kebijakan perikanan Indonesia hingga saat ini lebih menitikberatkan pada input control dan technical measures ketimbang kebijakan output control. Dengan momentum kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan output control, yaitu membatasi jumlah tangkapan kapal-kapal ikan secara keseluruhan sedemikian hingga tidak melampaui JTB. Dengan kebijakan ini, didukung oleh penegakan hukum, sumber daya ikan yang sudah berada pada level merah (Over-exploited) dan kuning (Fully exploited) dapat segera terpulihkan.
Semakin banyak stok ikan di laut, semakin mudah dan murah nelayan kita menangkap ikan. Inilah ujung dari kegiatan menghitung ikan di laut: kesejahteraan nelayan!
Opini : Menghitung Ikan di Laut was first posted on June 3, 2015 at 5:14 am.